Anda di halaman 1dari 25

TISA GABY YUDHESA (18-306) MANAJEMEN

MATERI KULIAH MINGGU KE 1 – 15

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

1. Materi 1 (Pola hidup koruptif ,faktor penyebab korupsi)

FAKTOR PENYEBAB KORUPSI

Penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal merupakan faktor penyebab korupsi yang terlahir dari dalam diri sendiri.
Faktor internal terdiri dari beberapa aspek, yaitu:

- Aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kurangnya kejujuran, dan rasa malu.
- Aspek sikap dan perilaku, misalnya gaya hidup yang konsumtif
- Aspek sosial, misalnya keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup.

Faktor eksternal merupakan faktor penyebab korupsi yang datangnya dari luar. Faktor
eksternal terdiri dari beberapa aspek, yaitu:

- Aspek ekonomi, misalnya pendapatan / gaji yang tidak mencukupi kebutuhan


- Aspek politis, misalnya instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan
kekuasaan.
- Aspek managemen dan organisasi, misalnya ketiadaan akuntabilitas dan transparansi.
- Aspek hukum, misalnya buruknya wujud perundang-undangan dan lemahnya penegakkan
hukum.
- Aspek sosial, misalnya lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti
koripsi.

Menurut pandangan Nur Syam (2000) penyebab seseorang melakukan korupsi yaitu karena
ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Sudut pandang
yang seperti itulah yang menjadi salah satu penyebab korupsi yaitu cara pandang tarhadap
kekayaan.

Menurut pandangan yang dikemukakan oleh Arifin yang mengidentifikasi faktor-faktor penyebab
terjadinya korupsi antara lain:

- Aspek perilaku individu


- Aspek organisasi
- Aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada.
Dalam buku yang berjudul  Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi (ICW : 2000)
mengidentifikasikan empat faktor penyebab korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor
ekonomi dan birokrasi serta faktor transnasional.

Faktor politik

Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Politik bisa dikatakan suatu cara atau
alat untuk memperoleh atau mencapai suatu tujuan. Menurut De Asis (2000), korupsi pollitik
misalnya perilaku curang (politik uang) pada pemilihan anggota legislatif ataupun pejabat-pejabat
eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian konflik parlemen melalui cara-
cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang. Robert Klitgaard (2005) menjelaskan bahwa proses
terjadinya korupsi dengan formulasi M+D-A=C. Simbol M adalah monopoly, D adalah
discretionary (kewenangan), A adalah accountability (pertanggung jawaban). Jadi dapat dikatakan
bahwa korupsi adalah hasil dari adanya monopoli (kekuasaan) ditambah dengan kewenangan yang
begitu besar tanpa keterbukaan dan pertanggung  jawaban.

Faktor Hukum

Faktor hukum bisa dilihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan sisi lain
lemahnya penegakan hukum. Bibit Samat Riyanto (2009) mengatakan lima hal yang dianggap
berpotensi menjadi penyebab tindakan korupsi, yaitu:

Sistem politik, yang ditandai dengan munculnya aturan perundang-undangan, seperti perda dan
peraturan lain

Intensif moral seseorang atau kelompok

Remunerasi atau pendapatan (penghasilan) yang minim

Pengawasan baik bersifat internal ataupun eksternal

Budaya taat aturan

Faktor Ekononomi

Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi, terutama pada
permasalahan pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. Namun pendapat yang
demikian itu tidak mutlak benar karena dalam teori kebutuhan Maslow sebagai mana yang dikutip
oleh Sulistyantoro (2004), korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh orang yang memenuhi dua
kebutuhan yang paling bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat
yang pas-pasan yang bertahan hidup. Namun saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya dan
berpendidikan tinggi.
Faktor Organisani

Organisai dalan arti luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Aspek-aspek
penyebab terjadinya korupsi dalam organisasi, yaitu:

Kurang adanya teladan dari pimpinan

Tidak adanya kultur organisasi yang benar

Sistem akuntabilitas di intansi pemerintah kuarang memadai

Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.

Sebuah organisasi dapat berfungsi dengan baik apabila anggotanya bersedia mengintegrasikan diri
dibawah sebuah pola tingkah laku (yang normatif) , sehingga bisa dikatakan kehidupan bersama
hanya mungkin apabila anggota-anggota bersedia mematuhi dan mengikuti aturan permainan yang
telah ditentukan. Disinilah letaknya bila kurang ada teladan dari pemimpin bisa memicu perilaku
korup.

FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL PENYEBAB KORUPSI

Secara garis besar penyebab korupsi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal
danfaktor eksternal

Faktor internal , merupakan faktor prndorong korupsi dari dalam diri, yang dapat diperinci
menjadi:

Aspek perilaku individu, seperti:

Sifat tamak / rakus manusia

Moral yang kurang kuat

Gaya hidup yang konsumtif

Aspek sosial

Faktor eksternal, memicu perilaku korup yang disebabkan  oleh faktor diluar diri pelaku.

Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi

Sikap masyarakat yang berpotensi menyuburkan tindak korupsi terjadi karena:

Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi.

Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korban korupsi adalah masyarakat sendiri.

Masyarakat kurang menyadari bahwa dirinya terlibat korupsi.


Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan di berantas bila masyarakat
ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Aspek ekonomi

Aspek politis

Aspek organisasi

Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan

Tidak adanya kultur organisasi yang benar

Kurang memadainya`sistem akuntabilitas

Kelemahan sistem pengendalian manajemen

Lemahnya pengawasan, secara umum pengawasan dibagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal
(pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) dan pengawasan yang bersifat
eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat).

2. Materi ke 2 (Personal Korupsi)

Pada tingkat psikologis, gagasan korupsi pribadi melingkupi penyalahgunaan individu atas
kekuatan yang dipercayakan oleh hati nuraninya sendiri. Korupsi pribadi tersebar luas: dalam
banyak kasus itu adalah norma. Tanda korupsi pribadi adalah bahwa individu tersebut secara
teratur mencoba untuk melakukan tindakan salah yang benar merujuk pada tindakan salah orang
lain dan / atau ke tindakan salah sebelumnya yang dilakukan individu. Ini adalah rasionalisasi,
aktivitas pertahanan psikologis. Rasionalisasi berarti membuat alasan.

Pemikiran yang rusak sama dengan pemikiran yang dimotivasi oleh rasionalisasi. Pemikiran yang
rusak adalah pemikiran yang didukung oleh alasan.

Rasionalisasi dalam korupsi pribadi adalah tentang penolakan. Penolakan-aktivitas menandakan


masalah yang tidak terpecahkan dengan kenyataan, dan dekat dengan tindakan penghinaan. Orang
yang melakukan penghinaan memperoleh rasa bersalah. Rasa bersalah menempatkan manusia pada
posisi inferior yang dapat disangkal.

Hubungan erat antara rasionalisasi, memerankan penghinaan, penolakan, dan rasa bersalah
menjelaskan pengamatan bahwa kekuasaan sering kali korupsi. Latar belakang awal korupsi
pribadi paling sering adalah defisit dan perasaan bersalah yang digunakan untuk melebihi rasa
bersalah yang sebenarnya, telah menjadi korban berulang dari orang lain yang bertindak
penghinaan, imitasi, identifikasi dengan individu yang korup, tidak adanya batasan yang berarti
dan kurangnya alternatif yang konstruktif. untuk mengidentifikasi dengan. Korupsi pribadi berarti
kebalikan dari renungan, mengambil tanggung jawab, pengaturan rasa bersalah, dan kemandirian.

Faktor internal yang mendorong perilaku korupsi menurut Utari (2011) adalah aspek perilaku
individu, yaitu sifat tamak atau rakus manusia, moral yang kurang kuat, dan gaya hidup yang
konsumtif. Sejalan dengan Utari, Yuwanto (2015) menambahkan faktor internal pendorong
perilaku korupsi salah satunya adalah nilai (values) yang dimiliki individu. Nilai adalah
keyakinan individu yang mendorong perilaku mencapai sebuah tujuan. Salah satu teori nilai yang
menjadi dasar perilaku manusia adalah basic human values (nilai dasar insani) yang
dikemukakan Schwartz (1992). Berdasarkan hasil penelitian Schwartz (1992), terdapat 10 nilai
yang berlaku universal, yaitu achievement, stimulation, power, hedonism self direction, tradition,
universalism, security, conformity, dan benevolence (Schwartz, 1992). Kesepuluh nilai yang
dikemukakan Schwartz kemudian disebut dengan basic human values yang memiliki kekuatan
mendorong perilaku individu. Berikut penjelasan masing-masing values menurut Schwartz
(1994).  

Achievement menggambarkan nilai pencapaian kesuksesan pribadi. Power berfokus pada


pencapaian status sosial dan dominasi terhadap orang lain. Hedonism mengarah pada
kenyamanan, kesejahteraan dan kesenangan diri sendiri. Stimulation menggambarkan minat atau
kesenangan terhadap variasi, tantangan, dan risiko. Self direction merupakan nilai tentang
perilaku yang tidak terikat, kontrol atau kekuasaan, mandiri dan tidak tergantung pada orang lain
dalam berperilaku. Security menggambarkan kebutuhan rasa aman. Conformity merupakan nilai
tentang kebutuhan individu untuk menjaga keseimbangan fungsi sosial, mengurangi perpecahan
sosial, dan menjaga kehidupan berkelompok. Tradition merupakan nilai yang meliputi
penghargaan, penghormatan, dan pengakuan terhadap budaya, kebiasaan, adat-istiadat, dan
tradisi. Benevolence menekankan pada kesejahteraan orang lain yang sering berinteraksi atau
orang-orang di dalam kelompoknya. Universalism merupakan nilai yang menekankan pada
kesejahteraan setiap orang tidak terbatas pada kelompoknya.

Mengacu pada sepuluh nilai yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa perilaku yang
ditampilkan individu dapat didasari nilai yang dominan yang dimiliki individu. Dengan demikian
kemudian memunculkan pertanyaan bagaimana gambaran nilai yang dimiliki pelaku korupsi
(koruptor). Berdasarkan literatur studi yang terjangkau peneliti belum menemukan penelitian
mengenai nilai dasar insani pelaku korupsi. Nilai dasar insani pelaku korupsi perlu diketahui
sebagai bentuk identifikasi faktor internal yang mendorong munculnya perilaku korupsi.
Penelitian ini memiliki dua tujuan, pertama bertujuan menggambarkan profil psikologi koruptor
berdasarkan tinjauan basic human values. Kedua, dengan diketahui profil koruptor dapat
digunakan sebagai masukan bagi pendidikan antikorupsi, dasar acuan seleksi personel, dan
penanganan psikologis yang tepat bagi koruptor.

3. Materi ke 3 (Macam-macam atau bentuk-bentuk pidana korupsi)

7 Jenis Tindak Pidana Korupsi paling umum dilakukan.

1. Perbuatan Merugikan Negara


perbuatan yang merugikan negara. Perbuatan yang merugikan negara, dapat di bagi menjadi dua
bagian, yaitu mencari keuntungan dengan cara melawan hukum dan  merugikan negara serta
menyalahgunakan jabatan untuk mencari keuntungan dan merugikan negara seperti tujuan hukum
bisnis .

Syaratnya harus ada keuangan negara yang masih diberikan. Biasanya bentuknya tender,
pemberian barang, atau pembayaran pajak sekian yang dibayar sekian. Kalau ada yang bergerak di
sektor industri alam kehutanan atau pertambangan, itu mereka ada policy tax juga agar mereka
menyetorkan sekali pajak, semua itu kalau terjadi curang nanti bisa masuk ke konteks ini (kerugian
negara).

2. Suap

Suap – menyuap yaitu suatu tindakan pemberian uang atau menerima uang atau hadiah yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya sebagimana perbedaan hukum formil dn materiil . Contoh ;
menyuap pegawai negei yang karena jabatannya bisa menguntungkan orang yang memberikan
suap, menyuap hakim, pengacara, atau advokat. Korupsi jenis ini telah diatur dalam UU PTPK .

3. Menyalah Gunakan Kekuasaan

Dalam hal ini yang dimaksud dengan penyalahgunaan jabatan adalah seorang pejabat pemerintah
yang dengan kekuasaan yang dimilikinya melakukan penggelapan laporan keuangan seperti
pada contoh hukuman disiplin ringan , menghilangkan barang bukti atau membiarkan orang lain
menghancurkan barang bukti yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dengan jalan
merugikan negara hal ini sebagaiamana rumusan Pasal 8 UU PTPK.

Selain undang-undang tersebut diatas terdapat juga ketentuan pasal- pasal lain yang mengatur
tentang penyalahgunaan jabatan, antara lain:

Pasal 9 UU PTPK;

Pasal 10 huruf a UU PTPK;

Pasal 10 huruf b UU PTPK;

Pasal 10 huruf c UU PTPK.

4. Pemerasan

Berdasarkan definisi dan dasar hukumnya, pemerasan dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah kepada orang lain atau kepada masyarakat.
Pemerasan ini dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) bagian berdasarkan dasar hukum dan definisinya
yaitu :
Pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah karena mempunyai kekuasaan dan dengan
kekuasaannya itu memaksa orang lain untuk memberi atau melakukan sesuatu yang
menguntungkan dirinya. Hal ini sesuai dengan Pasal 12 huruf e UU PTPK

Pemerasan yang dilakukan oleh pegawai negeri kepada seseorang atau masyarakat dengan alasan
uang atau pemberian ilegal itu adalah bagian dari peraturan atau haknya padahal kenyataannya
tidak demikian. Pasal yang mengatur tentang kasus ini adalah Pasal 12 huruf e UU PTPK.

b. Pemerasan yang di lakukan oleh pegawai negeri kepada pegawai negeri yang lain. Korupsi jenis
ini di atur dalam Pasal 12 UU PTPK.

5. Korupsi yang Berhubungan dengan Kecurangan

Yang dimaksud dalam tipe korupsi ini yaitu kecurangan yang dilakukan oleh pemborong,
pengawas proyek, rekanan TNI / Polri, pengawas rekanan TNI / Polri, yang melakukan kecurangan
dalam pengadaan atau pemberian barang yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau
terhadap keuangan negara atau yang dapat membahayakan keselamatan negara pada saat perang.
Selain itu pegawai negeri yang menyerobot tanah negara yang mendatangkan kerugian bagi orang
lain juga termasuk dalam jenis korupsi ini sebagai contoh hukum kebiasaan.

Adapun ketentuan yang mengatur tentang korupsi ini yaitu :

Pasal 7 ayat 1 huruf a UU PTPK;

Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PTPK;

Pasal 7 ayat (1) huruf c UU PTPK;

Pasal 7 ayat (2) UU PTPK;

Pasal 12 huruf h UU PTPK

6. Gratifikasi

Yang dimaksud dengan korupsi jenis ini adalah pemberian hadiah yang diterima oleh pegawai
Negeri atau Penyelenggara Negara dan tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari
sejak diterimanya gratifikasi. Gratifikasi dapat berupa uang, barang, diskon, pinjaman tanpa bunga,
tiket pesawat, liburan, biaya pengobatan, serta fasilitas-fasilitas lainnya.

Korupsi jenis ini diatur dalam Pasal 12B UU PTPK dan Pasal 12C UU PTPK, yang menentukan :
“Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut
di dugabahwa hadiah, tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan jabatannya.”
7. Korupsi yang Berhubungan dengan Pengadaan

Pengadaan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghadirkan barang atau jasa yang dibutuhkan
oleh suatu instansi atau perusahaan. Orang atau badan yang ditunjuk untuk pengadaan barang atau
jasa ini dipilih setelah melalui proses seleksi yang disebut dengan tender.

Pada dasarnya proses tender ini berjalan dengan bersih dan jujur. Instansi atau kontraktor yang
rapornya paling bagus dan penawaran biayanya paling kompetitif, maka instansi atau kontraktor
tersebut yang akan ditunjuk dan menjaga, pihak yang menyeleksi tidak boleh ikut sebagai peserta.
Kalau ada instansi yang bertindak sebagai penyeleksi sekaligus sebagai peserta tender maka itu
dapat dikategorikan sebagai korupsi. Hal ini diatur dalam Pasal 12 huruf i UU PTPK
sebagai contoh hukum positif  .

4. Materi ke 4 (Suap menyuap)

Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam undang-undang sebagai suatu hadiah atau
janji (giften/beloften) yang diberikan atau diterima meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif.

Ada 3 unsur yang esensial dari delik suap yaitu:

1. Menerima hadiah atau janji;

2. Berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan;

3. Bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat Pasal-Pasal mengenai delik penyuapan aktif (Pasal
209 dan Pasal 210) maupun penyuapan pasif (Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420) yang kemudian
semuanya ditarik dalam Pasal 1 Ayat (1) sub c UU Nomor 3 Tahun 1971 yang sekarang menjadi
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian juga dengan penyuapan aktif dalam penjelasan
Pasal 1 Ayat (1) sub d Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (sekarang Pasal 13 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999) dan delik suap pasif dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pelaku yang memberi suap (delik suap aktif)
dan yang menerima suap (delik suap pasif) adalah subyek tindak pidana korupsi dan penempatan
status sebagai subyek ini tidak memiliki sifat eksepsionalitas yang absolut.

Dengan demikian makna suap telah diperluas, introduksi norma regulasi pemberantasan korupsi
telah menempatkan Actief Omkoping (suap aktif) sebagai subyek tindak pidana korupsi, karena
selama ini delik suap dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengatur Passief
Omkoping (suap pasif). Delik suap tidaklah selalu terikat persepsi telah terjadinya pemberian uang
atau hadiah, tetapi dengan adanya pemberian janji saja adalah tetap obyek perbuatan suap.

Adanya percobaan (pogging) suap saja sudah dianggap sebagai delik selesai yang berarti adanya
prakondisi sebagai permulaan pelaksanaan dugaan suap itu sudah dianggap sebagai tindak pidana
korupsi.

Si penerima wajib membuktikan bahwa pemberian itu bukan suap, karenanya terdakwa akan
membuktikan bahwa pemberian itu tidaklah berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya, sedangkan unsur menerima hadiah atau janji tetap harus ada
dugaan terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum.

Definisi suap menerima gratifikasi dirumuskan pada penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 dan dari penjelasan Pasal 12B Ayat (1) dapat ditarik beberapa kesimpulan seperti
pengertian suap aktif, artinya tidak bisa untuk mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan
dengan menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi menurut Pasal ini.

Dengan demikian, luasnya pengertian suap gratifikasi ini, maka tidak bisa tidak, akan menjadi
tumpang tindih dengan pengertian suap pasif pada Pasal 5 Ayat (2), Pasal 6 Ayat (2) dan Pasal 12
huruf a, b dan c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang masih dapat diatasi melalui
ketentuan hukum pidana pada Pasal 63 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai
perbarengan perbuatan (concursus idealis).

Penyuapan terdiri dari dua jenis yaitu sebagai berikut:

Penyuap aktif, yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan sesuatu, baik berupa uang
atau barang. Penyuapan ini terkait erat dengan sikap batin subjek hukum berupa niat (oogmerk)
yang bertujuan untuk menggerakkan seorang pejabat penyelenggara negara atau pegawai negeri
agar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan
kewajibannya.

Dari pemberian hadiah atau janji tersebut, berarti subjek hukum mengetahui tujuan yang
terselubung yang diinginkannya, yang didorong oleh kepentingan pribadi, agar
penyelenggara negara atau pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau janji berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatan yang bertentangan dengan kewajibannya. Meskipun pejabat yang
bersangkutan menolak pemberian atau janji tersebut, perbuatan subjek hukum sudah memenuhi
rumusan delik dan dapat dijerat oleh delik penyuapan aktif, mengingat perbuatannya sudah selesai
(voltoid).

Penyuap pasif adalah pihak yang menerima pemberian atau janji baik berupa uang
maupun barang. Bila dikaitkan dengan Badan Usaha Milik Negara, rumusan delik ini, dapat
dikenakan kepada Anggota Komisaris, Direksi atau Pejabat di lingkungan Badan Usaha Milik
Negara bilamana kapasitasnya masuk dalam pengertian pegawai negeri (karena menerima
gaji/upah dari keuangan negara) sebagaimana yang diatur didalam Pasal 1 angka 2 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apabila pegawai
negeri tersebut menerima pemberian atau janji dalam Pasal ini, berarti pegawai
negeri/penyelenggara negara dimaksud akan menanggung beban moril untuk
memenuhi permintaan pihak yang memberi atau yang menjanjikan tersebut.

Selain penyuapan aktif dan pasif tersebut yang lazim juga terjadi terkait dengan praktek korupsi
adalah penggelapan dan pemerasan. Larangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi jenis ini
adalah perbuatan menggelapkan uang atau surat berharga yang menjadi tanggung jawab jabatannya
atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan orang lain.

5. Materi ke 5 (prosedur penindakan terhadap pelaku korupsi)

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus
meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan
negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta
lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana
korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.
Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak
lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.
Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut
cara-cara yang luar biasa.  

Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional
selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum
secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas,
independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi, yang  pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta
berkesinambungan. Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah
meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai
kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki
kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung
jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang.  

Undang-Undang ini dibentuk berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang tersebut
di atas. Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai
institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain yang berkaitan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena itu pengaturan kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi
tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut.

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan


penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang : a. melibatkan aparat
penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;  b. mendapat
perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau  c. menyangkut kerugian negara paling sedikit
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).  

Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi: 1) dapat


menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada
sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara
efisien dan efektif; 2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan; 3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam
pemberantasan korupsi (trigger mechanism); 4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan
memantau  institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan
wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh
kepolisian dan/atau kejaksaan.

Selain itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah didukung oleh
ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain:

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor  20  Tahun  2001  tentang 
Perubahan  atas  Undang-Undang  Nomor  31  Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian
terbalik;

ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat melakukan tugas
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara, tanpa ada hambatan
prosedur karena statusnya selaku pejabat negara;
ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik dan
menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;

ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota Komisi atau pegawai
pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan korupsi; dan

ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi
yang melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah pentingnya adalah sumber
daya manusia yang akan memimpin dan mengelola Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-
Undang ini memberikan dasar hukum yang kuat sehingga sumber daya manusia tersebut dapat
konsisten dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini.  Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya  bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai Anggota yang
semuanya adalah pejabat negara.  Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur
masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.  

Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan keikutsertaan
masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan harus melalui uji kelayakan  (fit
and proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang
kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia.

Di samping itu untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Komisi
Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasihat yang berasal dari berbagai bidang
kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi. Sedang mengenai aspek kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi Komisi
Pemberantasan Korupsi diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap
dapat ikut berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan secara
sistematis dan konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diawasi oleh
masyarakat luas.  

Untuk mendukung kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat luas dan berat  dalam 
pemberantasan  tindak  pidana korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi perlu didukung oleh
sumber keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam
UndangUndang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara,
dan jika dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi
dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenang
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi di samping mengikuti
hukum acara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dalam Undang-Undang ini
dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis).

Di samping itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak
pidana korupsi di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis
hakim terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
Demikian pula dalam proses pemeriksaan baik di tingkat banding maupun tingkat kasasi juga
dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim dan 3 (tiga) orang hakim ad
hoc. Untuk menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat pemeriksaan ditentukan jangka waktu
secara tegas.

Untuk mewujudkan asas proporsionalitas, dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai
ketentuan  rehabilitasi  dan kompensasi dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan
tugas dan wewenangnya bertentangan dengan Undang-Undang ini atau hukum yang berlaku.

6. Materi ke 6 (gratifikasi)

Gratifikasi merupakan pemberian dalam sebuah arti yang luas, yaitu pemberian biaya tambahan,
barang, uang, rabat (diskon), komisi pinjaman tanpa bunga, fasilitas penginapan, tiket perjalanan,
pengobatan cuma-cuma, serta fasilitas lainya. Baik yang diterima di dalam ataupu diluar negeri
gratifikasi yang dilakukan dengan memakai sarana elektronik atau tidak memakai sarana
elektronik.

Gratifikasi Menurut Undang-Undang

Dasar hukum untuk tindak gratifikasi diatur dalam UU 31/1999 dan UU No. 20/2001 Pasal 12 di
mana ancaman yang dihukum penjara seumur hidup atau penjara selama empat tahun dan
maksimal 20 tahun dan denda minimal 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.

U
U 20/2001 pada setiap gratifikasi yang diperuntukan pegawai atau pejabat negara sipil dianggap
suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku jika penerima menerima laporan gratifikasi ke
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang harus dilakukan selambat-lambatnya 30 ( tiga puluh)
hari kerja setelah tanggal gratifikasi tersebut diterima.
Contoh yang bisa digolongkan sebagai gratifikasi

1. Pembiayaan kunjungan kerja legislatif, karena hal ini dapat mempengaruhi legislasi dan
implementasinya oleh eksekutif.

2. Souvenir untuk guru (PNS) setelah pembagian raport / lulus.

3. Pemerasan di jalan raya dan tidak disertai dengan bukti gol sumbangan tidak jelas, petugas yang
terlibat bisa menjadi polisi (polisi lalu lintas), retribusi (Receipt), LLAJR dan masyarakat
(preman). Jika hal ini terjadi Komisi merekomendasikan agar laporan yang diterbitkan oleh media
massa dan tindakan tegas terhadap pelaku.

4. Penyediaan biaya tambahan (fee) 10-20 persen dari nilai proyek.

5. Biaya untuk masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh Piers Badan, Dinas Perhubungan,
dan Dinas Pendapatan.

6. Kereta ponsel canggih terbaru dari majikan ke pejabat.

7. Dan perjalanan ke gubernur menuju posisi akhir.

8. Pembangunan tempat ibadah di kantor-kantor pemerintah (seperti biasanya sudah tersedia


anggaran untuk pembangunan tempat ibadah di mana anggaran harus digunakan sesuai dengan
anggaran barang dan dana tambahan dapat menggunakan kotak sumbangan).

9. Sebuah hadiah pernikahan untuk keluarga PNS yang lulus batas yang dapat diterima (baik nilai
atau harga).

10. KTP / SIM / Passport “dipercepat” dengan uang ekstra.

11. Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan biaya perjalanan transparan dan
kegunaan, penerimaan ganda mereka, angka-angka tidak masuk akal.

12. Izin sangat rumit.

Kategori Gratifikasi

Penerimaan gratifikasi dapat dikategorikan menjadi dua kategori yaitu :

1. Gratifikasi yang Dianggap Suap

Gratifikasi yang Dianggap Suap adalah Gratifikasi yang diterima oleh Aparatur Kementerian
Kesehatan yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas
penerima. Gratifikasi yang Dianggap Suap meliputi penerimaan namun tidak terbatas pada :
- Marketing fee atau imbalan yang bersifat transaksional yang terkait dengan pemasaran suatu
produk;
- Cashback yang diterima instansi yang digunakan untuk kepentingan pribadi;
- Gratifikasi yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa, pelayanan publik, atau proses
lainnya; dan
- Sponsorship yang terkait dengan pemasaran atau penelitian suatu produk.

Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap

Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap adalah Gratifikasi yang diterima oleh Aparatur Kementerian
Kesehatan yang tidak berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban dan
tugas penerima. Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang terkait dengan Kegiatan Kedinasan
meliputi penerimaan dari:

Pihak lain berupa cinderamata dalam kegiatan resmi kedinasan seperti rapat, seminar, workshop,
konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis.

Pihak lain berupa kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan, seperti honorarium,
transportasi, akomodasi dan pembiayaan lainnya sebagaimana diatur pada Standar Biaya yang
berlaku di instansi penerima, sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat Konflik
Kepentingan, atau tidak melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima.

7. Materi ke 7 (korupsi E-Ktp)

Kasus korupsi e-KTP adalah kasus korupsi di Indonesia terkait pengadaan KTP elektronik untuk
tahun 2011 dan 2012 yang terjadi sejak 2010-an. Mulanya proyek ini berjalan lancar dengan
pengawasan.  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diminta oleh Gamawan
Fauzi yang saat itu menjabat sebagai menteri dalam negeri. Namun kejanggalan demi kejanggalan
yang terjadi sejak proses lelang tender proyek e-KTP membuat berbagai pihak mulai dari Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Government Watch, pihak kepolisian, Konsorsium Lintas
Peruri bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi menaruh kecurigaan akan terjadinya korupsi. Sejak
itu KPK melakukan berbagai penyelidikan demi mengusut kronologi dan siapa saja dalang di balik
kasus ini. Para pemangku kebijakan terkait proyek e-KTP pun dilibatkan sebagai saksi, mulai dari
Gamawan Fauzi, Nazaruddin, Miryam S. Hani, Chairuman Harahap bahkan hingga Diah
Anggraini.

Melalui bukti-bukti yang ditemukan dan keterangan para saksi, KPK menemukan fakta bahwa
negara harus menanggung keruigan sebesar Rp 2,314 triliun. Setelah melakukan berbagai
penyelidikan sejak 2012, KPK akhirnya menetapkan sejumlah orang sebagai tersangka korupsi,
beberapa di antaranya pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi Dewan Perwakilan DPR.
Mereka adalah Sugiharto, Irman, Andi Narogong, Markus Nari, Anang Sugiana dan Setya
Novanto. Miryam S. Haryani sebenarnya juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Namun
statusnya adalah bukan sebagai tersangka korupsi, melainkan sebagai pembuat keterangan palsu
saat sidang keempat atas nama Sugiharto dan Irman dilaksanakan. Penetapan tersangka oleh KPK
dalam kasus ini pertama kali dilakukan pada 22 April 2014 atas nama Sugiharto sementara sidang
perdana atas tersangka pada kasus ini digelar pada 9 Maret 2017. Tercatat ada puluhan sidang yang
berjalan setelah itu untuk para tersangka KPK.

Dalam perjalanannya, para pihak berwenang dibuat harus berusaha lebih giat dalam menciptakan
keadilan atas tersangka Setya Novanto. Berbagai lika-liku dihadapi, mulai dari ditetapkannya Setya
Novanto sebagai tersangka, sidang praperadilan, dibatalkannya status tersangka Novanto oleh
hakim, kecelakaan yang dialami Novanto bahkan hingga ditetapkannya ia lagi sebagai tersangka.
Perkara ini juga diselingi oleh kematian Johannes Marliem di Amerika Serikat yang dianggap
sebagai saksi kunci dari tindakan korupsi. Untuk kepentingan pengembangan kasus atas tewasnya
Marliem, KPK pun melakukan kerja sama dengan FBI.

Perkembangan kasus e-KTP yang terjadi di era digital membuat kasus ini mendapatkan sorotan
dari para warganet. Dalam beberapa kesempatan para warganet meluapkan ekspresi mereka terkait
kasus korupsi e-KTP dengan menciptakan trending topic tertentu di twitter dan membuat meme
untuk kemudian diunggah di media sosial. Namun reaksi warganet lebih condong ditujukan pada
Setya Novanto ketimbang tersangka yang lain. Tak hanya media nasional, media asing seperti AFP
dan ABC juga turut memberitakan perkara ini, terutama terkait keterlibatan Setya Novanto.

Kendati perkara proyek e-KTP telah berjalan selama beberapa tahun, kasus ini belum mencapai
penyelesaian. Baru dua orang, yakni Irman dan Sugiharto yang telah divonis hukuman penjara
sementara yang lain masih harus menghadapi proses hukum yang berlaku . Oleh karena itu, para
pihak berwenang masih harus ekstra kerja keras lagi untuk menutup buku atas perkara ini.

8. Materi ke 8 (sebab dan akibat korupsi)

Sebab-sebab Korupsi
Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai
hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi,
tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk
melakukan korupsi. Berikut ini adalah aspek-aspek penyebab seseorang berbuat Korupsi.
Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua hal yang jelas,
yakni :
a. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya),
b. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan
sebagainya.
Dr. Andi Hamzah dalam disertasinya menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi, yakni :
a. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat;
b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab
meluasnya korupsi;
c. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan
peluang orang untuk korupsi;
d. Modernisasi pengembangbiakan korupsi
Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab korupsi diutarakan oleh Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul "Strategi Pemberantasan
Korupsi," antara lain :
1. Aspek Individu Pelaku
a. Sifat tamak manusia
Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak
cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk
memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri
sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
b. Moral yang kurang kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan
itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi
kesempatan untuk itu.
c. Penghasilan yang kurang mencukupi
Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang
wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai
cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang
akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga,
pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.
d. Kebutuhan hidup yang mendesak
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal
ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas
diantaranya dengan melakukan korupsi.
e. Gaya hidup yang konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku
konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka
peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu
kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
f. Malas atau tidak mau kerja
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas
bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah
dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.
g. Ajaran agama yang kurang diterapkan
Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk
apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur di tengah
masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam
kehidupan.
2. Aspek Organisasi
a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting
bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan
bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil
kesempatan yang sama dengan atasannya.
b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi
tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai
kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang
untuk terjadi.
c. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai
Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang
diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam
periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit
dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih
lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki.
Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
d. Kelemahan sistim pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam
sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan
semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir
oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan
dengan berbagai bentuk.
3. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada
a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh
budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang
dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari
mana kekayaan itu didapatkan.
b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat masih kurang
menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat
umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah
masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.
c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti melibatkan
anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali
masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka
namun tidak disadari.
d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila
masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah korupsi itu tanggung
jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila
masyarakat ikut melakukannya.
e. Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di
dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik
yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan
yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten
dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.

Akibat Korupsi
Korupsi selalu membawa konsekuensi. Konsekuensi negatif dari korupsi sistemik terhadap
proses demokratisasi dan pembangunan yang berkelanjutan adalah:
1. Korupsi mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap
proses politik melalui politik uang.
2. Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya
akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi hanya melayani
kepada kekuasaaan dan pemilik modal.
3. Korupsi meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena
hubungan patron-client dan nepotisme.
4. Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan
tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang
berkelanjutan.
5. Korupsi mengakibatkan kolapsnya sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan
penumpukan beban hutang luar negeri.

10. Materi ke 10 (lanjutan materi ke 5)


Tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa yang sering dilakukan secara terencana dan
sistematis dan merupakan pelanggaran terhadap hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas
dan endemik, merusak sendi-sendi ekonomi nasonal, serta merendahkan martabat bangsa di
forum internasional, sehingga pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa oleh karena
itu penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus diatur secara khusus.

Dengan telah diratifikasinya United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi


Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006
maka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, perlu dicabut dan
diganti dengan Undang-Undang baru yang sesuai dengan ketentuan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Jumat (30/12) Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-
undangan bersama dengan instansi lain mengadakan rapat Rancangan Undang Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

11. Materi ke 13 (eksistensi KPK)

Sekalipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersifat ad hoc (sementara), sesungguhnya


masyarakat sangat berharap eksistensi KPK tetap dipertahankan. Namun mengapa selama ini
terlalu banyak gempuran untuk melucuti eksistensi KPK, dari kriminalisasi terhadap
pimpinan, keinginan mengurangi fungsi KPK lewat revisi Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi, angket KPK, hingga rencana membentuk Densus Tipikor?
Sesungguhnya fenomena ini merupakan wujud kepedulian bangsa dan negara terhadap KPK
supaya lembaga antirasuah itu melaksanakan tugasnya secara maksimal. Gebrakan dengan
penindakan, seperti operasi tangkap tangan, ternyata tidak membuat jera koruptor. Semestinya
hal itu diiringi dengan koordinasi, supervisi, pencegahan, dan monitor bersama berbagai
instansi terkait, khususnya aparat penegak hukum lain, supaya tidak ada kesan "menyapu
lantai tapi sapunya kotor".

Untuk mempertahankan eksistensinya, KPK justru harus bersih luar-dalam. Mustahil pula
KPK dapat berjalan sendirian tanpa melibatkan aparat penegak hukum lain, seperti polisi,
jaksa, dan hakim. Namun, yang menjadi sasaran OTT KPK justru koleganya sendiri, yakni
aparat peradilan, kepolisian, dan kejaksaan. Hal ini seharusnya dapat dikoordinasikan terlebih
dulu lewat pimpinan Mahkamah Agung atau Ketua Komisi Yudisial, Jaksa Agung, dan
Kepala Polri. Ini perlu dilakukan supaya institusi tersebut menegakkan tata kelola yang baik,
termasuk sumber daya manusia serta visi dan misi yang sama, seperti yang sudah dibangun
KPK dengan MA melalui Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli).

Jika, misalnya, ada jaksa yang terindikasi korupsi dan KPK akan menggelar OTT, KPK bisa
secara langsung menghubungi Jaksa Agung. Dengan demikian, pimpinan lembaga itulah yang
pertama sekali menindak anak buahnya tanpa harus diketahui publik melalui siaran pers. Ini
penting untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di
Indonesia. Tentunya, tiga lembaga penegak hukum itu harus merespons secara positif temuan
KPK tersebut.

Mengapa hal ini sangat urgen dilakukan KPK? Sebab, ini untuk menjaga profesionalitas,
akuntabilitas, dan kepercayaan publik. Bayangkan saja, bagaimana jika seorang hakim
ditangkap dan dipertontonkan kepada dunia melalui siaran televisi. Apa kata masyarakat dan
dunia terhadap peradilan Indonesia, yang seharusnya KPK turut serta menjaga harkat dan
wibawanya di mata dunia.
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali berpendapat, dari hasil studi banding yang dilakukan di
Negara Belanda, tidak seorang pun hakim Belanda pernah ditangkap dan diberhentikan. Kalau
hakim itu bermasalah, dia akan diminta mengundurkan diri sebagai hakim dengan kerahasiaan
tetap dijaga. Jika ia tidak bersedia mundur, barulah dikenakan proses hukum.

Saya mengapresiasi contoh tersebut. Apalagi selama ini telah ada kerja sama antara KPK dan
pimpinan Mahkamah terkait dengan Saber Pungli. Mahkamah pun sudah menerbitkan
Maklumat Ketua Mahkamah Agung Nomor 01/2017 tentang tanggung jawab pimpinan
pengadilan terhadap anak buahnya yang tidak melaksanakan pembinaan dan pengawasan.
Pimpinan pengadilan kini dapat dicopot dari jabatannya. Ini adalah salah satu wujud
keseriusan pimpinan Mahkamah untuk memperbaiki sistem. Langkah tersebut dilakukan agar
tidak terjadi lagi peristiwa OTT seperti yang sudah dipertontonkan KPK kepada publik ketika
seorang Ketua Pengadilan Tinggi Manado diringkus KPK lewat OTT.

12. Materi ke 14 (maksud dan tujuan perkuliahan pendidikan anti korupsi )

Tujuan pemberian materi PAK bagi mahasiswa adalah agar mereka mendapatkan pengetahuan
yang cukup tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya serta menanamkan nilai-nilai anti
korupsi sejak dini sehingga berkembang integritas diri dan lembaga. Dengan begitu diharapkan
akan  tumbuh budaya anti-korupsi di kalangan mahasiswa dan perguruan tinggi yang mendorong
segenap unsur perguruan tinggi dapat berperan serta aktif dalam gerakan anti korupsi. Tujuan
jangka panjangnya adalah bisa menghasilkan generasi penerus, sarjana lulusan perguruan tinggi
yang tidak “catat nilai”, profesional dan berintegritas serta memiliki komitmen kuat pada upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

13. Materi ke 15 (mahasiswa mampu menjadi pasukan terdepan/agen anti korupsi)

Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi dibedakan menjadi empat wilaya, antara lain
dilingkungan keluarga, lingkungan kampus, masyarakat sekitar, serta ditingkat local dan nasional.
Lingkungan keluarga dipercaya menjadi tolak ukur pertama dan utama bagi mahasiswa agar bisa
menguji apakah proses internalisasi antikorupsi didalam diri mereka sudah terjadi. 

Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi di lingkungan kampus tidak dapat dilepaskan
dari status mahasiswa sebagai peserta didik yang memiliki kewajiban untuk ikut menjalankan visi
dan misi kampusnya. Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi di masyarakat serta
ditingkat local dan nasional terkait dengan status mahasiswa sebagai seorang warrga Negara yang
memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat lainnya.

Peran Mahasiswa Dalam Mencegah Tindak Korupsi

Pemudah khususnya mahasiswa adalah asset paling menentukan kondisi zaman tersebut dimasa
depan. Mahasiswa salah satu bagian dari gerakan pemudah. Belajar dari masa lalu, sejarah telah
membuktikan bahwa perjalanan bangsa ini tidak lepas dari peran kaum mudah yang menjadi
bagian kekuatan perubahan. 

Tokoh-tokoh sumpah pemudah 1928 telah memberikan nasionalisme bahasa, bangsa dan tanah air
yang satu yaitu Indonesia. Peristiwa sumpah pemuda memberikan inspirasi tanpa batas terhadap
gerakan-gerakan perjuangan kemerdekaan di Indonesia. Peran tokoh-tokoh pemuda lainnya adalah
proklamasi kemerdekaan tahun 1945, lahirnya orde baru tahun 1966, dan reformasi tahun 1998
tidak dapat dipunggkiri bahwa dalam peristiwa-peristiwa besar tersebut mahasiswa tampil didepan
sebagai monitor penggerak dengan berbagai gagasan, semangat dan idealisme yang mereka miliki
dan jalankan. 

Untuk konteks sekarang dan mungkin masa-masa yang akan datang yang menjadi musuh bersama
masyarakat adalah praktek bernama korupsi. Peran penting mahasiswa tersebut tidak dapat
dilepaskan dari karakteristik yang mereka miliki, yaitu: intelektualitas. Jiwa mudah dan idealisme.

Peran Pendidikan Anti Korupsi Dini Dikalangan Mahasiswa Dalam Mencegah Terjadinya Tindak
Korupsi

Penddikan budi pekerti adalah salah satu pendidikan penting untuk bekal hidup setiap orang.
Dalam mempelajari nilai-nilai ini akan ditemukan manfaat jika kita mematuhi pagar aturan tersebut
dan apa akibanya jika kita melanggarnya. Sebetulnya inti dari pendidikan anti korupsi adalah
bagaimana penanaman kembali nilai-nilai universal yang baik yang harus dimiliki oleh setiap
orang agar dapat diterima dan bermanfat bagi dirinya sendiri serta lingkungannya. Di antara sifat-
sifat itu ada jujur, bertanggung jawab, berani, sopan, mandiri, empati, kerja keras dan lainnya.
Pendidikan adalah salah satu penuntun generasi mudah untuk kejalan yang benar. Jadi system
pendidikan sangat memengaruhi perilaku generasi mudah kedepannya. Termaksud juga pendidikan
anti korupsi dini. 

Pendidikan, sebagai awal printer pemikir besar, termaksud koruptor sebenarnya merupakan aspek
awal yang dapat merubah seseorang menjadi koruptor atau tidak. Pendidikan merupakan salah satu
tonggak kehidupan masyarakat demokratis yang madani, sudah sepantasnya memiliki andil dalam
hal pencegahan korupsi. Salah satu yang bisa menjadi gagasan baik dalam kasus korupsi ini adalah
penerapan anti korupsi dalam pendidikan karakter bangsa di Indonesia, khusunya ditujukan bagi
mahasiswa. Karena pada dasarnya mereka adalah agen perubahan bangsa dalam perjalanan sejarah
bangsa Indonesia. Pendidikan anti korupsi sesungguhnya sangat penting guna mencegah tindak
pidana korupsi. Jika KPK dan beberapa instansi anti korupsi lainnya menangkapi para koruptor,
maka pendidikan anti korupsi juga penting guna mencegah adanya koruptor.

Hambatan Dalam Penerapan Pendidikan Antikorupsi Di Lingkungan KampusMinimnya role-


models atau pemimpin yang dapat dijadikan panutan dan kurangnya political will dari pemerintah
untuk mengurangi korupsi.

Penegahkan hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah-setengah.Karena beberapa


perilaku social yang terlalu toleran terhadap korupsi.Struktur birokrasi yang berorienttasi keatas,
termaksud perbaikan birokrasi yang cenderung terjebak perbaikan renumerasi tanpamembenahi
struktur dan kultur.
Kontroversi Pembentukan Dewan Pengawas KPK

  

Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU KPK) telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang
Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi. Pengesahan ini dilakukan dalam Rapat Paripurna
DPR RI yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah pada Selasa, 17 September 2019.

Proses revisi RUU KPK hingga kemudian disahkan menjadi UU KPK berlangsung dalam waktu
cepat yakni hanya 12 hari. Tak hanya itu, proses pengesahan UU KPK pun hanya dihadiri oleh 102
orang dari total 560 orang anggota DPR. Ada beberapa poin dari hasil revisi UU KPK yang dinilai
dapat melemahkan KPK, salah satunya pembentukan Dewan Pengawas KPK oleh DPR.

Sebenarnya rencana pembentukan Dewan Pengawas KPK sudah dikonsepkan sejak lama oleh
DPR, tepatnya sejak awal 2016. Namun, baru saat inilah rencana tersebut dapat terealisasikan dan
telah dimasukkan pada pasal 37A sampai 37F dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019
tentang KPK

Pada pasal 37A ayat 1 menyebutkan "Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang
KPK, dibentuk Dewan Pengawas". Keberadaan dewan pengawas pada pasal 37 UU KPK
menimbulkan pro kontra dari berbagai pihak. Pembentukan dewan pengawas ini menjadi poin
yang disoroti karena dianggap akan mempersempit ruang gerak KPK, namun dengan telah
direvisinya UU KPK maka mau tidak mau, suka tidak suka Dewan Pengawas KPK akan tetap
dibentuk.

Sesuai dengan kesepakatan mayoritas fraksi dan pemerintahan, Dewan Pengawas diangkat atau
dipilih oleh Presiden. Pada pasal 37A ayat 3 menyebutkan "Anggota Dewan Pengawas berjumlah 5
(lima) orang, 1 (satu) orang diantaranya ditetapkan menjadi Ketua Dewan Pengawas berdasarkan
hasil rapat anggota pengawas".

Kemudian pada pasal 37B mengatur tugas dewan pengawas, yaitu mengawasi pelaksanaan tugas
dan wewenang KPK, memberikan izin penyadapan dan penyitaan, menyusun dan menetapkan
kode etik pimpinan KPK, memeriksa dan menyidang dugaan pelanggaran etik pimpinan KPK,
mengevaluasi kinerja pimpinan KPK dan menerima laporan masyarakat atas dugaan pelanggaran
etika pimpinan. Sekali setahun dewan pengawas akan membuat laporan kinerja dan
menyerahkannya ke presiden.

Adapun kriteria yang harus dimiliki dewan pengawas adalah tidak pernah dipidana penjara yang
diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, berusia paling rendah 55 tahun,
berpendidikan S1, tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik, melepaskan jabatan
struktural atau jabatan lainnya, tidak menjalankan profesinya selama menjadi angggota Dewan
Pengawas dan mengumumkan harta kekayaannya  sebelum dan setelah menjabat sesuai dengan
ketentuan pertaturan perundang-undangan yang berlaku.

Hal ini menjadi kewenangan Presiden untuk memilih dan mengangkatnya. "Dewan Pengawas ini
diambil dari tokoh masyarakat, akademisi atau pegiat antikorupsi. Bukan politisi, bukan birokrat
atau aparat penegak hukum aktif," kata Jokowi dalam jumpa pers di Istana Negara, Jakarta.

Presiden akan membentuk panitia seleksi (pansel) untuk menyaring dan menyeleksi orang-orang
yang mendaftar sebagai anggota Dewan Pengawas. Kemudian pansel akan menyerahkan nama-
nama tersebut kepada Presiden. Lalu presiden akan mengirimkan nama-nama tersebut kepada DPR
untuk dikonsultasikan, hingga akhirnya Presiden menetapkan ketua dan anggota Dewan Pengawas
KPK.

Mekanisme pemilihan Dewan Pengawas KPK oleh Presiden ini dikritik Fraksi Gerindra dan PKS.
Dua parpol  oposisi ini menilai jika semua anggota Dewan Pengawas KPK dipilih Presiden, maka
ia akann berpotensi melemahkan KPK. Salah satu kewenangan Dewan Pengawas KPK adalah
memberi izin penyadapan. Wakil Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Gerindra Desmond Junaedi
Mahesa mengatakan "pelemahan KPK terjadi ketika izin tersebut ditolak".

Karena itu Desmond menginginkan anggota Dewan Pengawas KPK tidak hanya dipilih Presiden,
namun juga dari DPR dan KPK. "Gerindra mengusulkan harusnya Presiden memilih 2, DPR 2,
satunya dari unsur pimpinan KPK". Ketua KPK (jadi) Dewan Pengawas," kata Desmond.

Hal serupa juga diungkapkan oleh anggota DPR dari Fraksi PKS Ledia Hanifa Amalia.
Menurutnya, Fraksi PKS menganggap Dewan Pengawas menyebabkan KPK tidak bekerja
independen dan kredibel, serta tidak selaras pula dengan misi revisi yaitu memberikan penguatan
kepada KPK.

Selain itu, PKS juga mengkritik mengenai KPK meminta izin penyadapan ke Dewan Pengawas.
Penyadapan adalah senjata KPK mencari bukti dalam mengungkap kasus extraordinary crime.
Oleh karena itu, sebaiknya KPK tidak perlu meminta izin kepada Dewas namun hanya sekedar
lapor saja guna menghindari kasus pelanggaran HAM saat penyadapan.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai bahwa,
wajar saja antara eksekutif dan legislatif memperebutkan "kursi" di Dewan Pengawas, karena
merekalah yang berpotensi korupsi lebih tinggi. Keberadaan Dewan Pengawas KPK ini dinilai
juga sebagai alat Presiden dan DPR untuk mengintervensi komisi antirasuah. Kemudian Dewan
Pengawas KPK juga dianggap dapat membocorkan informasi kepada orang-orang yang hendak
disadap, karena Dewan Pengawas ini berada dilingkungan eksternal KPK.

Presiden Jokowi menyebutkan keberadaan Dewan Pengawas KPK diperlukan karena semua
lembaga atau instrument pemerintahan bekerja dibawah pengawasan untuk keberlangsungan
fungsi chek and balancies, bahkan termasuk Presiden. "Hal ini dibutuhkan untuk meminimalkan
potensi penyalahgunaan kewenangan". kata Jokowi.

Hal serupa pun juga disampaikan oleh Jusuf Kalla, hanya saja beliau tidak menyetujui jika
Dewan Pengawas KPK diberi kewenangan untuk menentukan izin penyadapan yang akan
dilakukan KPK. Tak jauh berbeda dengan pernyataan calon Ketua KPK terpilih Frili Bahuri yang
juga mengaku setuju saja terhadap pembentukan Dewan Pengawas KPK sejauh untuk
memperkuat KPK.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukum) Wiranto


meninali kekhawatiran para aktivis berlebihan. Ia menegaskan Dewan Pengawas ada agar komisi
antirausah tidak sewenang-wenang bertindak, “Dalam sistem demokrasi, tidak ada lembaga yang
memiliki kekuasaan tak terbatas, Presiden sekalipun. Bukan melemahkan, tapi agar KPK tidak
abuse of power”.

Apabila Dewan Pengawas KPK dibentuk dengan dalih memperkuat KPK, seharusnya dalam hal
penyadapan tidak perlu untuk meminta izin terlebih dahulu. Namun hanya melaporkan saja
bahwasannya akan melakukan penyadapan guna memantau agar tidak teejadi tindak
pelanggaran. Jika hal itu terjadi, maka akan memberikan kesan bahwa KPK pada saat ini adalah
sebuah lembaga penegak hukum yang tidak independen lagi, melainkan aparatur sipil negara.
Pimpinan KPK pun tidak berfungsi lagi dengan adanya kebijakan itu.

Anda mungkin juga menyukai