PENDAHULUAN
Setelah Negara Indonesia merdeka lebih dari enam puluh tahun yang lalu, Indonesia telah
mengalami berbagai peristiwa penting dalam bidang kenegaraan. Pergolakan masyarakat di
daerah, peralihan pemegang kekuasaan pemerintah, hingga pergantian hukum dasar negara
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sejarah negara ini sejak awal terbentuknya
hingga beberapa tahun terakhir. Salah satu perkembangan yang menonjol dari sudut pandang
ketatanegaraan diawali ketika negara ini mengalami gejolak pasca krisis moneter yang
mengakibatkan tersingkirnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan pada 1998. Setelah
melewati masa transisi yang dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie selama sekitar dua tahun,
tuntutan kebutuhan akan sistem ketatanegaraanyang lebih baik pun mulai berusaha
diwujudkan oleh para petinggi di negara ini.
Tahun 1999 menjadi tonggak yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa ide penyakralan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
Negara RI Tahun 1945) tidaklah relevan dalam kehidupan bernegara. Salah satu lembaga
negara bantu yang dibentuk pada era reformasi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu bagian agenda pemberantasan
korupsi yang merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan
di Indonesia. Dengan demikian, kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem
ketatanegaraan yang dianut negara Indonesia masih menarik untuk diperbincangkan. Makalah
ini akan membahas lebih lanjut mengenai kedudukan lembaga negara yakni KPK dalam
struktur ketatanegaraan RI, tidak hanya ditinjau dari UUD Negara RI Tahun 1945, tetapi juga
berdasarkan berbagai pendapat para ahli di bidang hukum tata negara, dengan menjadikan
KPK sebagai contoh lembaga negara bantu yang akan dianalisis kedudukannya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Dengan membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat mengerti dan memahami tentang :
1.Mengetahui Komisi Pemberantasan Korupsi
D. Manfaat Penulisan
Dengan penulisan makalah ini, kami menaruh harapan besar kepada para pembaca untuk
lebih memahami lembaga negara di negara ini, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) secara umum.
BAB II
KERANGKA TEORI
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang bersifat independen yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan komisi
pemberatasan korupsi atau biasa disingkat KPK ini, terdiri dari lima orang yang merangkap
sebagai anggota yang semuanya merupakan pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas
unsur masyarakat dan unsur pemerintah, sehingga pada sistem pengawasan yang dilakukan
oleh masyarakat terhadap kinerja komisi pemberantasan korupsi dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan serta penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi tetap
melekat pada komisi pemberantasan korupsi.
Persyaratan untuk menjadi anggota komisi pemberantasan korupsi, selain dilakukan secara
transparan dan melibatkan keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan
administratif dan harus melalui uji kelayakan yang dilakukan oleh DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat), yang kemudian dikukuhkan oleh presiden Republik Indonesia.
Disamping itu untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenang komisi
pemberantasan korupsi dapat mengangkat tim penasihat yang berasal dari berbagai bidang
kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan kepada komisi
pemberantasan korupsi. Adapun mengenai aspek kelembagaan, ketentuan yang memuat
struktur organisasi komisi pemberantasan korupsi diatur sedemikian rupa sehingga
memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-
langkah yang dilakukan oleh komisi pemberantasan korupsi, serta pada penyelenggaraan
program kampanye publik dapat dilakukan secara konsisten dan sistematis, sehingga kinerja
komisi pemberantasan korupsi dapat diawasi oleh masyarakat luas.
Untuk mendukung kinerja komisi pemberantasan korupsi yang sangat luas dan berat dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi, maka lembaga komisi pemberantasan korupsi perlu
didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari APBN. Komisi pemberantasan korupsi
dalam UU dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara dan jika dipandang perlu sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, maka komisi pemberantasan korupsi dapat membentuk
perwakilan di daerah provinsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenang komisi
pemberantasan korupsi yaitu penyelidikan, penyidikan dan juga penuntutan, komisi
pemberantasan korupsi disamping itu mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan UU No. 20 Tahun 2001 mengenai pemberantasan
tindak pidana korupsi. Dalam UU ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan
khusus. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi, maka dalam UU ini diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana
korupsi pada lingkungan peradilan umum,yaitu di lingkungan pengadilan negeri jakarta pusat
untuk pertama kalinya. Pengadilan tindak pidana kourpsi tersebut bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis hakil
yang terdiri oleh dua orang hakim pengadilan negeri dan tiga orang hakim ad hoc, hal ini juga
berlaku dalam proses pemeriksaan baik ditingkat banding maupun tingkat kasasi.
Melihat begitu besarnya wewenang komisi pemberantasan korupsi dan kedudukan yang
independen, harapan rakyat Indonesia hanyalah tinggal kepada komisi pemberantasan korupsi
untuk mampu menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana korupsi,
karena instansi-instansi konvensional seperti auditor, kepolisian dan kejaksaan sudah
dianggap tidak mampu lagi. Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh auditor, kepolisian dan kejaksaan selama ini terbukti mengalami
berbagai hambatan, karena auditor dan penegak hukum tersebut turut melakukan korupsi.
Sumber : Buku dalam Penulisan Pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi :
– Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2013. Judul : Strategi dan Teknik Korupsi (Mengetahui
untuk Mencegah).
Pidana berasal kata straf (Belanda), sering disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana
lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari
Precht, dapat dikatakan istilah pidana dalam arti sempit adalah berkaitan dengan hukum
pidana. Pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan
oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas
perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam
hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit).Pidana dapat berbentuk
punishment atau treatment. Pidana merupakan pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan
si pembuat. Sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan
si pembuat. Pelaku pidana disebut seorang kriminal. Biasanya yang dianggap kriminal adalah
seorang pencuri, pembunuh, perampok, atau teroris. Walaupun begitu kategori terakhir,
teroris, agak berbeda dari kriminal karena melakukan tindak kejahatannya berdasarkan motif
agama, politik atau paham. Selama kesalahan seorang kriminal belum ditetapkan oleh
seorang hakim, maka orang ini disebut seorang terdakwa. Sebab ini merupakan asas dasar
sebuah negara hukum, seseorang tetap tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti. Pelaku
tindak kriminal yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan harus menjalani hukuman
disebut sebagai terpidana atau narapidana. Perbuatan pidana atau tindak pidana dibedakan
menjadi 2 (dua), yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan dirumuskan dalam buku kedua
KUHP, dan tindak pidana pelanggaran dirumuskan dalam buku ketiga KUHP.Unsur-
UnsurTindak Pidana
Pelanggaran. orang baru menyadari hal tersebut merupakan tindakpidana karena perbuatan
tersebut tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik undang-undang
). Dimuat dalam buku III KUHP pasal 489 sampai dengan pasal 569. Contoh mabuk ditempat
umum (pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah yang oleh pemiliknya dengan
cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP).
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah
tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat
dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan
publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) adalah lembaga negara yang
dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberi amanat melakukan pemberantasan
korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara
yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari
kekuasaan manapun.
KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-
lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai
trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan
korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Adapun tugas KPK adalah: koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK); supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan TPK; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap TPK; melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan melakukan monitor
terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum,
keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK bertanggung
jawab kepada publik dan
menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK. KPK
dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, seorang ketua merangkap anggota
dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan
pejabat negara, yang berasal dari unsur pemerintahan dan unsur masyarakat. Pimpinan KPK
memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa
jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.
Pimpinan KPK membawahkan empat bidang, yang terdiri atas bidang Pencegahan,
Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Masing-masing bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga dibantu Sekretariat
Jenderal yang dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK. Ketentuan
mengenai struktur organisasi KPK diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan
masyarakat luas tetap dapat berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang
dilakukan KPK. Dalam pelaksanaan operasional, KPK mengangkat pegawai yang direkrut
sesuai dengan kompetensi yang diperlukan.
Visi : Bersama Elemen Bangsa, Mewujudkan Indonesia Yang Bersih Dari Korupsi
Misi : Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum dan menurunkan tingkat
korupsi di Indonesia melalui koordinasi. supervisi, monitor, pencegahan, dan penindakan
dengan peran serta seluruh elemen bangsa.
Salah satu hasil dari Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya sejak masa reformasi, Indonesia
tidak lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sehingga semua lembaga
negara sederajat kedudukannya dalam sistem checks and balances. Hal ini merupakan
konsekuensi dari supremasi konstitusi, dimana konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi
yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara Negara.
Perkembangan konsep trias politica juga turut memengaruhi perubahan struktur kelembagaan
di Indonesia. Di banyak negara, konsep klasik mengenai pemisahan kekuasaan tersebut
dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan yang ada tidak mampu menanggung
beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut,
negara membentuk jenis lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam
mengatasi persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara bantu dalam
bentuk dewan, komisi, komite, badan, ataupun otorita, dengan masing-masing tugas dan
wewenangnya. Beberapa ahli tetap mengelompokkan lembaga negara bantu dalam lingkup
eksekutif, namun ada pula sarjana yang menempatkannya tersendiri sebagai cabang keempat
kekuasaan pemerintahan.
Dalam konteks Indonesia, kehadiran lembaga negara bantu menjamur pasca perubahan UUD
Negara RI Tahun 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar
hukum yang seragam. Beberapa di antaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula
yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang ataupun keputusan presiden. Salah
satu lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang adalah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Walaupun bersifat independen dan bebas dari kekuasaan
manapun, KPK tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitan dengan masalah
keorganisasian, dan memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan yudikatif dalam hal
penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana korupsi.
Kedepannya, kedudukan lembaga negara bantu seperti KPK membutuhkan legitimasi hukum
yang lebih kuat dan lebih tegas serta dukungan yang lebih besar dari masyarakat.
Lembaga ini juga dibentuk sebagai salah satu bagian agenda pemberantasan korupsi yang
merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia.
Dengan demikian, kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan yang
dianut negara Indonesia masih menarik untuk diperbincangkan.
A. Tugas KPK
B. Wewenang KPK
3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi
yang terkait.
3. Menyusun laporan tahunan dan menyampaikan kepada presiden RI, DPR RI, dan Badan
Pemeriksa Keuangan.
5. Menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan azas-azas yaitu (azas
kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas).
a) Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up politik,
sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
c) Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan
sebatas formalitas.
g) Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap
bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan
hukumannya.
h) Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering
terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
i) Gagalnya pendidikan agama dan etika. Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah
gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku
masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang
lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya, sebab agama
memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya. Jika diterapkan dengan
benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi
bisa membawa dampak yang sangat buruk (Indopos.co.id, 27 September 2005).
Mengutip teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory,
bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
1. Greeds (keserakahan): berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada
di dalam diri setiap orang.
Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua hal yang
jelas, yakni :
1. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya).
2. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan
sebagainya.
1. Faktor Internal Penyebab Korupsi
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri seseorang. Persepsi terhadap
korupsi. Pemahaman seseorang mengenai korupsi tentu berbeda-beda. Menurut Pope
(2003/2007), salah satu penyebab masih bertahannya sikap primitif terhadap korupsi karena
belum jelas mengenai batasan bagi istilah korupsi, sehingga terjadi ambiguitas dalam melihat
korupsi.
Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai
berikut:
a. peninggalan pemerintahan kolonial.
Menurut bidang psikologi ada dua teori yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu teori
medan dan teori big five personality. Menurut Lewin (dikutip dalam Sarwono, 2008) teori
medan adalah perilaku manusia merupakan hasil dari interaksi antara faktor kepribadian
(personality) dan lingkungan (environment) atau dengan kata lain lapangan kehidupan
seseorang terdiri dari orang itu sendiri dan lingkungan, khususnya lingkungan kejiwaan
(psikologis) yang ada padanya. Melalui teori ini, jelas bahwa perilaku korupsi diapat
dianalisis maupun diprediksi memiliki dua opsi motif yakni dari sisi lingkungan atau
kepribadian individu terkait.
Teori yang kedua adalah teori big five personality. Menurut Costa dan McCrae (dikutip
dalam Feist & Feist, 2008), big five personality merupakan konsep yang mengemukakan
bahwa kepribadian seseorang terdiri dari lima faktor kepribadian, yaitu extraversion,
agreeableness, neuroticism, openness, dan conscientiousness.
Selain faktor-faktor internal di atas, terdapat faktor-faktor internal lainnya.faktor tersebut
yaitu :
a. Aspek Perilaku Individu:
Korupsi yang dilakukan bukan karena kebutuhan primer, yaitu kebutuhan pangan. Pelakunya
adalah orang yang berkecukupan, tetapi memiliki sifat tamak, rakus, mempunyai hasrat
memperkaya diri sendiri. Unsur penyebab tindak korupsi berasal dari dalam diri sendiri yaitu
sifat tamak/rakus. Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.
2. Moral yang kurang kuat
Orang yang moralnya kurang kuat mudah tergoda untuk melakukan tindak korupsi. Godaan
bisa datang dari berbagai pengaruh di sekelilingnya, seperti atasan, rekan kerja, bawahan,
atau pihak lain yang memberi kesempatan.
Gaya hidup di kota besar mendorong seseorang untuk berperilaku konsumptif. Perilaku
konsumtif yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang sesuai, menciptakan peluang bagi
seseorang untuk melakukan tindak korupsi.
b. Aspek Sosial
Perilaku korupsi dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris mengatakan
bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk
korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya.
Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman
pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.
Dalam sebuah organisasi, kesalahan individu sering ditutupi demi menjaga nama baik
organisasi. Demikian pula tindak korupsi dalam sebuah organisasi sering kali ditutup-tutupi.
Akibat sikap tertutup ini, tindak korupsi seakan mendapat pembenaran, bahkan berkembang
dalam berbagai bentuk. Sikap masyarakat yang berpotensi memberi peluang perilaku korupsi
antara lain:
b. Aspek Ekonomi
Aspek Ekonomi sering membuka peluang bagi seseorang untuk korupsi. Pendapatan yang
tidak dapat memenuhi kebutuhan atau saat sedang terdesak masalah ekonomi membuka
ruang bagi seseorang untuk melakukan jalan pintas, dan salah satunya adalah korupsi.
c. Aspek Politis
Politik uang (money politics) pada Pemilihan Umum adalah contoh tindak korupsi, yaitu
seseorang atau golongan yang membeli suatu atau menyuap para pemilih/anggota partai agar
dapat memenangkan pemilu. Perilaku korup seperti penyuapan, politik uang merupakan
fenomena yang sering terjadi. Terkait hal itu Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran
bahwa politik uang sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political
influence (menggunakan uang dan keuntungan material untuk memperoleh pengaruh politik).
Penyimpangan pemberian kredit atau penarikan pajak pada pengusaha, kongsi antara
penguasa dan pengusaha, kasus-kasus pejabat Bank Indonesia dan Menteri di bidang
ekonomi pada rezim lalu dan pemberian cek melancong
yang sering dibicarakan merupakan sederet kasus yang menggambarkan aspek politik yang
dapat menyebabkan kasus korupsi (Handoyo: 2009).
d. Aspek Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau di
mana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang
atau kesempatan terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Aspek-aspek penyebab korupsi dalam
sudut pandang organisasi meliputi:
Pemimpin adalah panutan bagi bawahannya. Apa yang dilakukan oleh pemimpin merupakan
contoh bagi bawahannya.
Organisasi harus memiliki Tujuan Organisasi yang fokus dan jelas. Tujuan organisasi ini
menjadi pedoman dan memberikan arah bagi anggota organisasi dalam melaksanakan
kegiatan sesuati tugas dan fungsinya. Tatacara pencapaian tujuan dan pedoman tindakan
inilah kemudian menjadi kultur/budaya organisasi.
Dalam sebuah organisasi perlu ditetapkan visi dan misi yang diembannya, yang dijabarkan
dalam rencana kerja dan target pencapaiannya. Apabila organisasi tidak merumuskan tujuan,
sasaran, dan target kerjanya dengan jelas, maka akan sulit dilakukan penilaian dan
pengukuran kinerja.
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam
sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi
semakin terbuka peluang tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) adalah lembaga negara yang
dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi.
– Visi : Bersama Elemen Bangsa, Mewujudkan Indonesia Yang Bersih Dari Korupsi
– Misi : Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum dan menurunkan tingkat
korupsi di Indonesia melalui koordinasi. supervisi, monitor, pencegahan, dan penindakan
dengan peran serta seluruh elemen bangsa.
3. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang bersifat
independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak berada di bawah
kekuasaan kehakiman.
B. SARAN
Banyak kejahatan korupsi yang terjadi di negeri ini, oleh karena itu dibentuklah KPK untuk
memberantasnya. Negeri ini miskin dan sengsara
karena ulah para koruptor. Maka sudah menjadi kewajiban kita sebagai warga negara
Indonesia untuk mencegah dan menanggulangi ‘penyakit’ yang mengerikan ini agar kedepan,
negara kita bisa menjadi negara maju bukan hanya berkembang seperti sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Entri Selpawani Fredy. “Makalah tentang kinerja lembaga pemberatasan korupsi”. 8 Mei
2013. http://selpawaani.blogspot.co.id/2013/05/makalah-tentang-kinerja-lembaga.html.
2. Anonim. Visi dan misi kpk. “ Komisi Pemberatasan Korupsi”. 2015-2019
.https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/visi-misi.
3. Alvan Noris, Binta k, Ginanjar Bann, Jnez Annisa , Naili Husna D , Nindyaruspita, dan
Tika D. “Makalah Pkn Pemberatasan Korupsi di Indonesia”. 5 Oktober
2010.http://dewikdewok.blogspot.co.id/2012/06/makalah-pkn-pemberantasan-korupsi-
di.html.