Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Setelah Negara Indonesia merdeka lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu, Indonesia
telah mengalami berbagai peristiwa penting dalam bidang kenegaraan. Pergolakan
masyarakat di daerah, peralihan pemegang kekuasaan pemerintah, hingga pergantian
hukum dasar negara menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sejarah negara ini sejak
awal terbentuknya hingga beberapa tahun terakhir. Salah satu perkembangan yang
menonjol dari sudut pandang ketatanegaraan diawali ketika negara ini mengalami gejolak
pasca krisis moneter yang mengakibatkan tersingkirnya Presiden Soeharto dari tampuk
kekuasaan pada 1998. Setelah melewati masa transisi yang dipimpin oleh Presiden B.J.
Habibie selama sekitar dua tahun, tuntutan kebutuhan akan sistem ketatanegaraanyang
lebih baik pun mulai berusaha diwujudkan oleh para petinggi di negara ini.
Tahun 1999 menjadi tonggak yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa ide
penyakralan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD Negara RI Tahun 1945) tidaklah relevan dalam kehidupan bernegara. Salah
satu lembaga negara bantu yang dibentuk pada era reformasi di Indonesia adalah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu bagian agenda
pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan
tata pemerintahan di Indonesia. Dengan demikian, kedudukan lembaga negara bantu
dalam sistem ketatanegaraan yang dianut negara Indonesia masih menarik untuk
diperbincangkan. Makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai kedudukan lembaga
negara yakni KPK dalam struktur ketatanegaraan RI, tidak hanya ditinjau dari UUD
Negara RI Tahun 1945, tetapi juga berdasarkan berbagai pendapat para ahli di bidang
hukum tata negara, dengan menjadikan KPK sebagai contoh lembaga negara bantu yang
akan dianalisis kedudukannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Komisi Pemberantasan Korupsi ?
2. Apa Visi dan Misi KPK ?
3. Bagaimanakah kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia (RI) ?
4. Apa fungsi dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ?
5. Apa ciri-ciri dan faktor penyebab korupsi ?

C. Tujuan Penulisan
Dengan membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat mengerti dan memahami
tentang :
1.Mengetahui Komisi Pemberantasan Korupsi
2. Mengetahui Visi dan Misi KPK
3. Mengetahui kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia (RI)
4. Mengetahui fungsi dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
5.Mengetahui faktor-faktor penyebab korupsi

D. Manfaat Penulisan
Dengan penulisan makalah ini, kami menaruh harapan besar kepada para pembaca
untuk lebih memahami lembaga negara di negara ini, terutama Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) secara umum.

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Tinjauan Umum tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)


Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang bersifat independen
yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.
Pimpinan komisi pemberatasan korupsi atau biasa disingkat KPK ini, terdiri dari lima
orang yang merangkap sebagai anggota yang semuanya merupakan pejabat negara.
Pimpinan tersebut terdiri atas unsur masyarakat dan unsur pemerintah, sehingga pada
sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja komisi
pemberantasan korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan serta penuntutan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi tetap melekat pada komisi pemberantasan korupsi.
Persyaratan untuk menjadi anggota komisi pemberantasan korupsi, selain dilakukan
secara transparan dan melibatkan keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi
persyaratan administratif dan harus melalui uji kelayakan yang dilakukan oleh DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat), yang kemudian dikukuhkan oleh presiden Republik
Indonesia. Disamping itu untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenang
komisi pemberantasan korupsi dapat mengangkat tim penasihat yang berasal dari berbagai
bidang kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan kepada komisi
pemberantasan korupsi. Adapun mengenai aspek kelembagaan, ketentuan yang memuat
struktur organisasi komisi pemberantasan korupsi diatur sedemikian rupa sehingga
memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut berpartisipasi dalam aktivitas dan
langkah-langkah yang dilakukan oleh komisi pemberantasan korupsi, serta pada
penyelenggaraan program kampanye publik dapat dilakukan secara konsisten dan
sistematis, sehingga kinerja komisi pemberantasan korupsi dapat diawasi oleh masyarakat
luas.

Untuk mendukung kinerja komisi pemberantasan korupsi yang sangat luas dan berat
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka lembaga komisi pemberantasan korupsi
perlu didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari APBN. Komisi pemberantasan
korupsi dalam UU dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara dan jika dipandang perlu
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka komisi pemberantasan korupsi dapat
membentuk perwakilan di daerah provinsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenang
komisi pemberantasan korupsi yaitu penyelidikan, penyidikan dan juga penuntutan, komisi
pemberantasan korupsi disamping itu mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan UU No. 20 Tahun 2001 mengenai pemberantasan
tindak pidana korupsi. Dalam UU ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan
khusus. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi, maka dalam UU ini diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak
pidana korupsi pada lingkungan peradilan umum,yaitu di lingkungan pengadilan negeri
jakarta pusat untuk pertama kalinya. Pengadilan tindak pidana kourpsi tersebut bertugas
dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh majelis hakil yang terdiri oleh dua orang hakim pengadilan negeri dan tiga orang
hakim ad hoc, hal ini juga berlaku dalam proses pemeriksaan baik ditingkat banding
maupun tingkat kasasi. Melihat begitu besarnya wewenang komisi pemberantasan korupsi
dan kedudukan yang independen, harapan rakyat Indonesia hanyalah tinggal kepada
komisi pemberantasan korupsi untuk mampu menegakkan peraturan perundang-undangan
di bidang tindak pidana korupsi, karena instansi-instansi konvensional seperti auditor,
kepolisian dan kejaksaan sudah dianggap tidak mampu lagi. Penegakan hukum untuk
memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh auditor, kepolisian dan kejaksaan
selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan, karena auditor dan penegak hukum
tersebut turut melakukan korupsi.
Sumber : Buku dalam Penulisan Pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi :
– Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2013. Judul : Strategi dan Teknik Korupsi (Mengetahui
untuk Mencegah).

B. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana


a. Pengertian Tindak Pidana
Pidana berasal kata straf (Belanda), sering disebut dengan istilah hukuman. Istilah
pidana lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum sudah lazim merupakan
terjemahan dari Precht, dapat dikatakan istilah pidana dalam arti sempit adalah
berkaitan dengan hukum pidana. Pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang
sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai
akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum
pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana
(strafbaar feit).Pidana dapat berbentuk punishment atau treatment. Pidana merupakan
pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat. Sedangkan tindakan adalah
untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan si pembuat. Pelaku pidana disebut
seorang kriminal. Biasanya yang dianggap kriminal adalah seorang pencuri, pembunuh,
perampok, atau teroris. Walaupun begitu kategori terakhir, teroris, agak berbeda dari
kriminal karena melakukan tindak kejahatannya berdasarkan motif agama, politik atau
paham. Selama kesalahan seorang kriminal belum ditetapkan oleh seorang hakim, maka
orang ini disebut seorang terdakwa. Sebab ini merupakan asas dasar sebuah negara
hukum, seseorang tetap tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti. Pelaku tindak
kriminal yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan harus menjalani hukuman
disebut sebagai terpidana atau narapidana. Perbuatan pidana atau tindak pidana
dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan dirumuskan
dalam buku kedua KUHP, dan tindak pidana pelanggaran dirumuskan dalam buku
ketiga KUHP.

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana


 Kejahatan
Meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang menjadi
tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan dan
patut dipidana, istilahnya disebut rechtsdelict (delik hukum). Dimuat didalam buku
II KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488. Contoh pencurian (pasal 362 KUHP),
pembunuhan (pasal 338 KUHP), perkosaan (pasal 285 KUHP).
 Pelanggaran
Orang baru menyadari hal tersebut merupakan tindakpidana karena perbuatan
tersebut tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik
undang-undang ). Dimuat dalam buku III KUHP pasal 489 sampai dengan pasal
569. Contoh mabuk ditempat umum (pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas
tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551
KUHP).
C. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi
a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan
pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat
dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan
kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan
sepihak.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
 perbuatan melawan hukum
 penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
 memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
 merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah :
 memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
 penggelapan dalam jabatan,
 pemerasan dalam jabatan,
 ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
 menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri /penyelenggara negara).
BAB III
PEMBAHASAN

A. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI


Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) adalah lembaga negara
yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberi amanat melakukan pemberantasan
korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga
negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bebas dari kekuasaan manapun.
KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari
lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran
KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar
upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi
lebih efektif dan efisien. Adapun tugas KPK adalah: koordinasi dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK); supervisi terhadap
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK; melakukan tindakan-tindakan pencegahan
TPK; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian
hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK
bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan
berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK. KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri
atas lima orang, seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua
merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan pejabat negara, yang
berasal dari unsur pemerintahan dan unsur masyarakat. Pimpinan KPK memegang jabatan
selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam
pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.
Pimpinan KPK membawahkan empat bidang, yang terdiri atas bidang Pencegahan,
Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Masing-masing bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga dibantu
Sekretariat Jenderal yang dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada
pimpinan KPK. Ketentuan mengenai struktur organisasi KPK diatur sedemikian rupa
sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat berpartisipasi dalam aktivitas dan
langkah-langkah yang dilakukan KPK. Dalam pelaksanaan operasional, KPK mengangkat
pegawai yang direkrut sesuai dengan kompetensi yang diperlukan.

B. VISI DAN MISI KPK


Visi dan Misi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni :
 Visi : Bersama Elemen Bangsa, Mewujudkan Indonesia Yang Bersih Dari
Korupsi
 Misi : Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum dan
menurunkan tingkat korupsi di Indonesia melalui koordinasi. supervisi,
monitor, pencegahan, dan penindakan dengan peran serta seluruh elemen
bangsa.

C. KEDUDUKAN KPK DI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK


INDONESIA
Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang
bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak berada di
bawah kekuasaan kehakiman. Dalam hal ini juga di tegaskan terkait status keberadaan
sebuah lembaga negara, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, istilah “lembaga negara” tidak selalu dimasukkan sebagai
lembaga negara yang hanya disebutkan dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 saja, atau yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tetapi
juga ada lembaga negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di
bawah konstitusi, seperti Undang Undang dan bahkan Keputusan Presiden (Keppres).
Salah satu hasil dari Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya sejak masa
reformasi, Indonesia tidak lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara
sehingga semua lembaga negara sederajat kedudukannya dalam sistem checks and
balances. Hal ini merupakan konsekuensi dari supremasi konstitusi, dimana konstitusi
diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-
lembaga penyelenggara Negara. Perkembangan konsep trias politica juga turut
memengaruhi perubahan struktur kelembagaan di Indonesia. Di banyak negara, konsep
klasik mengenai pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga
fungsi kekuasaan yang ada tidak mampu menanggung beban negara dalam
menyelenggarakan pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk
jenis lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi
persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara bantu dalam bentuk
dewan, komisi, komite, badan, ataupun otorita, dengan masing-masing tugas dan
wewenangnya. Beberapa ahli tetap mengelompokkan lembaga negara bantu dalam
lingkup eksekutif, namun ada pula sarjana yang menempatkannya tersendiri sebagai
cabang keempat kekuasaan pemerintahan.
Dalam konteks Indonesia, kehadiran lembaga negara bantu menjamur pasca
perubahan UUD Negara RI Tahun 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak
dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di antaranya berdiri atas amanat
konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang
ataupun keputusan presiden. Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk dengan
undang-undang adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Walaupun bersifat
independen dan bebas dari kekuasaan manapun, KPK tetap bergantung kepada kekuasaan
eksekutif dalam kaitan dengan masalah keorganisasian, dan memiliki hubungan khusus
dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana
korupsi.
Kedepannya, kedudukan lembaga negara bantu seperti KPK membutuhkan legitimasi
hukum yang lebih kuat dan lebih tegas serta dukungan yang lebih besar dari masyarakat.
Lembaga ini juga dibentuk sebagai salah satu bagian agenda pemberantasan korupsi yang
merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di
Indonesia. Dengan demikian, kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem
ketatanegaraan yang dianut negara Indonesia masih menarik untuk diperbincangkan.

D. FUNGSI DAN WEWENANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI


Komisi pemberantasan korupsi ini dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 30
tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 1 undang-undang
ini menentukan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan serangkaian
tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya
koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Tindak pidana korupsi itu sendiriri adalah tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan
korupsi sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang
perubahan atas undang-undang no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi. Setiap penyelenggara negara seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang No
28 tahun 1999 tentang penyelanggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi
dan nepotisme diharapkan dapat di bebaskan dari segala bentuk perbuatan yang tidak
terpuji ini, sehingga terbentuk aparat dan aparatur penyelenggara negara yang benar benar
bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Dengan Undang-
Undang No.32 tahun 2002 ini, nama komisi pemberantasan tindak pidana korupsi
selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) status hukum komisi ini
secara tegas ditentukan sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun
pembentukan komisi ini bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi yang sudah berjalan sejak sebelumnya.

Adapun tugas, wewenang dan kewajibannya adalah sebagai berikut:


a. Tugas KPK
1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan,dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi.
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
5. Melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan negara.

b. Wewenang KPK
1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi.
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada
instansi yang terkait.
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi.
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

c. Kewajiban
1. Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan
laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana
korupsi.
2. Memberikan informasi terhadap masyarakat yang memerlukan atau memberikan
bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan
tindak pidana korupsi yang ditanganinya.
3. Menyusun laporan tahunan dan menyampaikan kepada presiden RI, DPR RI, dan
Badan Pemeriksa Keuangan.
4. Menegakkan sumpah jabatan.
5. Menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan azas-azas
yaitu (azas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan
proporsionalitas).
E. FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB KORUPSI
Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi, yaitu :
a. Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up politik,
sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
b. Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau tidak
menggunakan kesempatan.
c. Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya
dilakukan sebatas formalitas.
d. Rendahnya pendapatan penyelenggara Negara. Pendapatan yang diperoleh harus
mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong
penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada
masyarakat.
e. Kemiskinan, keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena
kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena
serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
keuntungan.
f. Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
g. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat
tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya
diringankan hukumannya.
h. Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering
terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
i. Gagalnya pendidikan agama dan etika. Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama
telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena
perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Sebenarnya agama bisa
memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan
institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para
pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki
agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat
buruk (Indopos.co.id, 27 September 2005).
Mengutip teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE
Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
1. Greeds (keserakahan): berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara
potensial ada di dalam diri setiap orang.
2. Opportunities (kesempatan): berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau
masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk
melakukan kecurangan.
3. Needs (kebutuhan): berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-
individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
4. Exposures (pengungkapan): berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang
dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Faktor-faktor penyebabnya
bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi
lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Berikut ini
adalah aspek-aspek penyebab seseorang berbuat Korupsi.
Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua hal
yang jelas, yakni :
1. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya).
2. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol
dan sebagainya.

Faktor Internal Penyebab Korupsi


Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri seseorang. Persepsi
terhadap korupsi. Pemahaman seseorang mengenai korupsi tentu berbeda-beda. Menurut
Pope (2003/2007), salah satu penyebab masih bertahannya sikap primitif terhadap korupsi
karena belum jelas mengenai batasan bagi istilah korupsi, sehingga terjadi ambiguitas
dalam melihat korupsi.
Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai
berikut:
a. peninggalan pemerintahan kolonial.
b. kemiskinan dan ketidaksamaan.
c. gaji yang rendah.
d. persepsi yang popular.
e. pengaturan yang bertele-tele.
f. pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Menurut bidang psikologi ada dua teori yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu
teori medan dan teori big five personality. Menurut Lewin (dikutip dalam Sarwono, 2008)
teori medan adalah perilaku manusia merupakan hasil dari interaksi antara faktor
kepribadian (personality) dan lingkungan (environment) atau dengan kata lain lapangan
kehidupan seseorang terdiri dari orang itu sendiri dan lingkungan, khususnya lingkungan
kejiwaan (psikologis) yang ada padanya. Melalui teori ini, jelas bahwa perilaku korupsi
diapat dianalisis maupun diprediksi memiliki dua opsi motif yakni dari sisi lingkungan
atau kepribadian individu terkait.
Teori yang kedua adalah teori big five personality. Menurut Costa dan McCrae
(dikutip dalam Feist & Feist, 2008), big five personality merupakan konsep yang
mengemukakan bahwa kepribadian seseorang terdiri dari lima faktor kepribadian, yaitu
extraversion, agreeableness, neuroticism, openness, dan conscientiousness.

Selain faktor-faktor internal di atas, terdapat faktor-faktor internal lainnya.faktor


tersebut yaitu :
a. Aspek Perilaku Individu:
1. Sifat Tamak/Rakus Manusia
Korupsi yang dilakukan bukan karena kebutuhan primer, yaitu kebutuhan
pangan. Pelakunya adalah orang yang berkecukupan, tetapi memiliki sifat tamak,
rakus, mempunyai hasrat memperkaya diri sendiri. Unsur penyebab tindak korupsi
berasal dari dalam diri sendiri yaitu sifat tamak/rakus. Maka tindakan keras tanpa
kompromi, wajib hukumnya.
2. Moral yang kurang kuat
Orang yang moralnya kurang kuat mudah tergoda untuk melakukan tindak
korupsi. Godaan bisa datang dari berbagai pengaruh di sekelilingnya, seperti
atasan, rekan kerja, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan.
3. Gaya hidup yang konsumtif
Gaya hidup di kota besar mendorong seseorang untuk berperilaku konsumptif.
Perilaku konsumtif yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang sesuai,
menciptakan peluang bagi seseorang untuk melakukan tindak korupsi.
b. Aspek Sosial
Perilaku korupsi dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris
mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan
bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi
traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan
memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.

Faktor Eksternal Penyebab Korupsi


a. Aspek Sikap Masyarakat terhadap Korupsi
Dalam sebuah organisasi, kesalahan individu sering ditutupi demi menjaga nama baik
organisasi. Demikian pula tindak korupsi dalam sebuah organisasi sering kali ditutup-
tutupi. Akibat sikap tertutup ini, tindak korupsi seakan mendapat pembenaran, bahkan
berkembang dalam berbagai bentuk. Sikap masyarakat yang berpotensi memberi
peluang perilaku korupsi antara lain:
1. Nilai-nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung untuk terjadinya
korupsi. Misalnya masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang
dimilikinya.
2. Masyarakat menganggap bahwa korban yang mengalami kerugian akibat tindak
korupsi adalah Negara. Padahal justru pada akhirnya kerugian terbesar dialami
oleh masyarakat sendiri. Contohnya akibat korupsi anggaran pembangunan
menjadi berkurang, pembangunan transportasi umum menjadi terbatas misalnya.
3. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat dalam perilaku korupsi.
Setiap tindakan korupsi pasti melibatkan masyarakat, namun masyarakat justru
terbiasa terlibat dalam tindak korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun
tidak disadari.
4. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi dapat dicegah dan
diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan
pemberantasan korupsi.
b. Aspek Ekonomi
Aspek Ekonomi sering membuka peluang bagi seseorang untuk korupsi. Pendapatan
yang tidak dapat memenuhi kebutuhan atau saat sedang terdesak masalah ekonomi
membuka ruang bagi seseorang untuk melakukan jalan pintas, dan salah satunya
adalah korupsi.

c. Aspek Politis
Politik uang (money politics) pada Pemilihan Umum adalah contoh tindak korupsi,
yaitu seseorang atau golongan yang membeli suatu atau menyuap para
pemilih/anggota partai agar dapat memenangkan pemilu. Perilaku korup seperti
penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi. Terkait hal itu
Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa politik uang sebagai use of
money and material benefits in the pursuit of political influence (menggunakan uang
dan keuntungan material untuk memperoleh pengaruh politik). Penyimpangan
pemberian kredit atau penarikan pajak pada pengusaha, kongsi antara penguasa dan
pengusaha, kasus-kasus pejabat Bank Indonesia dan Menteri di bidang ekonomi pada
rezim lalu dan pemberian cek melancong yang sering dibicarakan merupakan sederet
kasus yang menggambarkan aspek politik yang dapat menyebabkan kasus korupsi
(Handoyo: 2009).
d. Aspek Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi
atau di mana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena
membuka peluang atau kesempatan terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Aspek-aspek
penyebab korupsi dalam sudut pandang organisasi meliputi:
1. Kurang adanya sikap keteladanan Pemimpin
Pemimpin adalah panutan bagi bawahannya. Apa yang dilakukan oleh pemimpin
merupakan contoh bagi bawahannya.
2. Tidak Adanya Kultur/Budaya Organisasi yang Benar
Organisasi harus memiliki Tujuan Organisasi yang fokus dan jelas. Tujuan
organisasi ini menjadi pedoman dan memberikan arah bagi anggota organisasi
dalam melaksanakan kegiatan sesuati tugas dan fungsinya. Tatacara pencapaian
tujuan dan pedoman tindakan inilah kemudian menjadi kultur/budaya organisasi.

3. Kurang Memadainya Sistem Akuntabilitas


Dalam sebuah organisasi perlu ditetapkan visi dan misi yang diembannya, yang
dijabarkan dalam rencana kerja dan target pencapaiannya. Apabila organisasi
tidak merumuskan tujuan, sasaran, dan target kerjanya dengan jelas, maka akan
sulit dilakukan penilaian dan pengukuran kinerja.
4. Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran
korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian
manajemen sebuah organisasi semakin terbuka peluang tindak korupsi anggota
atau pegawai di dalamnya.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari makalah ini sebagai berikut :
1. Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) adalah lembaga negara
yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Visi dan Misi KPK
Visi : Bersama Elemen Bangsa, Mewujudkan Indonesia Yang Bersih Dari Korupsi
Misi : Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum dan menurunkan
tingkat korupsi di Indonesia melalui koordinasi. supervisi, monitor, pencegahan, dan
penindakan dengan peran serta seluruh elemen bangsa.
3. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang
bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak berada di
bawah kekuasaan kehakiman.
4. Komisi pemberantasan korupsi ini dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 30
tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 1 undang-
undang.
5. Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi bisa disebabkan 2 faktor diantaranya faktor
internal dan eksternal.
B. SARAN
Banyak kejahatan korupsi yang terjadi di negeri ini, oleh karena itu dibentuklah KPK
untuk memberantasnya. Negeri ini miskin dan sengsara karena ulah para koruptor. Maka
sudah menjadi kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia untuk mencegah dan
menanggulangi ‘penyakit’ yang mengerikan ini agar kedepan, negara kita bisa menjadi
negara maju bukan hanya berkembang seperti sekarang ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. Entri Selpawani Fredy. “Makalah tentang kinerja lembaga pemberatasan korupsi”. 8
Mei 2013. http://selpawaani.blogspot.co.id/2013/05/makalah-tentang-kinerja-
lembaga.html.
2. Anonim. Visi dan misi kpk. “ Komisi Pemberatasan Korupsi”. 2015-2019.
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/visi-misi.
3. Alvan Noris, Binta k, Ginanjar Bann, Jnez Annisa , Naili Husna D , Nindyaruspita,
dan Tika D. “Makalah Pkn Pemberatasan Korupsi di Indonesia”. 5 Oktober 2010.
http://dewikdewok.blogspot.co.id/2012/06/makalah-pkn-pemberantasan-korupsi-
di.html.

Anda mungkin juga menyukai