Disusun Oleh :
- David Samohaga - 6051901059
- Joshua Novandika - 6051901077
- Naja Rathin Makarim - 6052001038
- Wi Septian Nugraha Yogaswara - 6052001241
- Alvaro Zaidan - 6052001266
FAKULTAS HUKUM
2022
BAB I
PENDAHULUAN
Tindak pidana korupsi itu sendiri adalah tindakan sebagaimana dimaksud dalam
UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 21 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setiap penyelenggara negara,
seperti yang dimaksud dalam UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, diharapkan dapat
dibebaskan dari segala bentuk perbuatan yang tidak terpuji, sehingga terbentuk aparat
dan aparatur penyelenggara negara yang benar-benar bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk dapat diangkat menjadi pimpinan KPK syarat dan tata caranya terdapat di dalam
Undang Undang No.19 Tahun 2019 dalam pasal 29 yang mana disebutkan bahwa
Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman
paling sedikit 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum,
ekonomi, keuangan, atau perbankan;
e. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65
(enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan;
f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
i. melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya selama menjadi
anggota Komisi Pemberantasan Korupsi;
j. tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota
Komisi Pemberantasan Korupsi; dan
k. mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
1
UU No.19 Tahun 2019 Pasal 21
Untuk dapat diangkat sebagai Dewan Pengawan Komisi Pemberantasan Korupsi terdapat di
dalam Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK
Yang mana di dalam Undang Undang tersebut dalam Pasal 37E disebutkan bahwa :
1. Ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A
diangkat dan ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.
2. Dalam mengangkat ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Presiden Republik Indonesia membentuk panitia seleksi.
3. Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur Pemerintah
Pusat dan unsur masyarakat.
4. Setelah terbentuk, panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengumumkan
penerimaan calon.
5. Pendaftaran calon dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja secara terus
menerus.
6. Panitia seleksi mengumumkan kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan
terhadap nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
7. Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada panitia seleksi
paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diumumkan.
8. Panitia seleksi menentukan nama calon pimpinan yang akan disampaikan kepada
Presiden Republik Indonesia.
9. Dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya daftar nama calon dari panitia seleksi, Presiden Republik Indonesia
menyampaikan nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dikonsultasikan.
10. Presiden Republik Indonesia menetapkan ketua dan anggota Dewan Pengawas dalam
jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak konsultasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (9) selesai dilaksanakan.
11. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan ketua dan anggota Dewan
Pengawas diatur dengan Peraturan Pemerintah.2
Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967 tentang
Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim tidak bisa melakukan
pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir tidak berfungsi.
Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan
puncaknya di tahun 1970 yang kemudian ditandai dengan dibentuknya Komisi IV yang bertugas
2
Undang Undang Nomor 30 Tahun 2020
menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk
mengatasinya.
Masih di tahun yang sama, mantan wakil presiden pertama RI Bung Hatta memunculkan
wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal, lanjut Hatta, korupsi telah
menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto, padahal usia rezim ini masih
begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-cita pendiri Republik ini telah dikhianati dalam masa
yang masih sangat muda. Ahli sejarah JJ Rizal mengungkapkan, “Hatta saat itu merasa cita-cita
negara telah dikhianati dan lebih parah lagi karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas.
Padahal menurut dia, tak ada kompromi apapun dengan korupsi.” Salah satu beban tugas yang
diemban oleh KPK terkait kewenangan penyidikan yang tidak dapat dimonopoli oleh kejaksaan
atau kepolisian saja. Sistem ketatanegaraan Indonesia membagi kekuasaan menjadi eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Penempatan Kejaksaan dan Kepolisian sebagai lembaga penegak
hukum pada perkara korupsi selain KPK, memunculkan permasalahan berupa kemandirian
Kejaksaan dan Kepolisian, terutama terkait dengan penyidikan perkara korupsi. Hal ini dapat
dilihat dari Jaksa Agung dan Kapolri yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sehingga
dapat memungkinkan adanya intervensi politik. Kewenangan penuntutan yang ada pada KPK
sudah tepat karena lembaga ini bergerak secara independen tanpa intervensi kekuasaan
manapun.
Layaknya instansi lain, KPK tentu saja memiliki tugas dan wewenang. Secara umum,
tugas utama KPK tentu saja memberantas korupsi. Agar dapat menjalankan tugasnya
dengan efektif KPK diberikan tugas dan wewenang yang luar biasa.
Wewenang KPK - Pencegahan berada pada Pasal 7 UU Nomor 19 Tahun 2019 yaitu:
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK adalah lembaga negara yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun Hal tersebut dinyatakan pada Pasal 3 Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.KPK memiliki
hubungan kedudukan yang khusus dengan kekuasaan yudikatif, setidaknya untuk
jangka waktu hingga dua tahun ke depan karena Pasal 53 Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengamanatkan
pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang bertugas dan
berwenang memeriksa serta memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya
diajukan oleh KPK.4 Hubungan KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaaan bersifat
partnership yaitu KPK sebagai penunjang kinerja Kepolisian dan kejaksaan dalam
memberantas tindak pidana korupsi. KPK didirikan dengan asumsi bahwa Kepolisian
dan Kejaksaan kurang efektif dalam memberantas tindak pidana korupsi. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa eksistensi kewenangan Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam penuntutan perkara tindak pidana korupsi diawali dengan disahkannya
3
Undang Undang Nomor 19 Tahun 2019
4
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004,
hal. 14.
UU KPK, dimana KPK memiliki tiga kewenangan untuk melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi. Namun dalam
eksistensinya KPK dalam pelaksanaan kewenangannya tersebut tetap berkoordinasi
dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti Kepolisian dan Kejaksaan.
Keberadaan KPK disini dalam menjalankan tugasnya menjalin hubungan fungsional dan
koordinatif dengan lembaga penegak hukum yang telah ada yaitu Kepolisian dan
Kejaksaan. Hubungan fungsional dan koordinatif antara Kejaksaan dan Kepolisian
dengan KPK dapat dilihat dengan jelas dalam penjabaran Pasal 6 UU KPK seperti telah
disebut di atas. Dalam pasal tersebut terlihat wewenang dari KPK dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi.5 Pada Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang KPK mengatur bahwa KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau
penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh
kejaksaan. Disisi lain kejaksaan juga mempunyai kewenangan sebagai eksekutor
terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK, dilihat
dari hal tersebut maka KPK dengan kejaksaan akan selalu mempunyai hubungan
koordinasi, baik dalam penanganan perkara korupsi maupun dalam hal eksekusi
terhadap perkara yang ditangani oleh KPK, tetapi dengan adanya dualisme kewenangan
tersebut maka hubungan kejaksaan dengan KPK cenderung dapat menjadi kurang
harmonis.6 KPK juga memiliki hubungan dengan BPK yaitu kedua Lembaga ini saling
bekerja sama dalam mencegah dan menangani adanya tindak pidana korupsi dalam
keuangan negara. Dalam hal ini BPK berwenang untuk mengaudit keuangan negara jika
dicurigai adanya kerugian pada keuangan negara dan jika adanya unsur pidana korupsi.
Jika menurut hasil audit yang dilakukan oleh BPK, ditemukan adanya kerugian negara
dan unsur pidana, BPK akan menyerahkan hasil audit tersebut kepada KPK. Lalu KPK
akan menentukan apakah benar ada unsur tindak pidana korupsi, dan jika benar maka
KPK akan menindaklanjuti pemeriksaan tersebut sebagai proses penegakan hukum
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Struktur Kelembagaan KPK pasca berlakunya UU No.19 Tahun 2019 tentang perubahan UU
no.30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi membawa beberapa
dampak terhadap politik hukum kelembagaan KPK. yang dimana terdapatnya perubahan yang
dapat dikualifikasi menjadi beberapa sub bab yaitu:
1. Kedudukan Kelembagaan KPK
2. Koordinasi dan Supervisi
3. Model dan Mekanisme rekrutmen penyidik KPK
Dimana dari ketiga hal tersebut terdapatnya perubahan yakni kedudukan KPK mengalami
pergeseran dari lembaga negara independen menjadi lembaga eksekutif, kemudian yang kedua
koordinasi dan supervisi mengalami perubahan koordinasi yang dilakukan oleh KPK. dan
selanjutnya yang ketiga dimana model dan mekanisme rekrutmen penyidik KPK tidak lagi
diperkenankan untuk melakukan atau memiliki penyidik independen.
5
Syaiful Ahmad Dinar., KPK dan Korupsi (Dalam Studi Kasus), Cintya Press, Jakarta, 2012, hal 75.
6
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP Semarang, 1995, hal. 16.
BAB III
KESIMPULAN
Jadi KPK lembaga negara yang bersifat independen serta memiliki kebebasan dari
kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, dengan tujuan untuk
mencegah dan melakukan pemberantasan korupsi,di dalam KPK terdapat Pimpinan KPK yang
terdiri atas lima orang, seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua
merangkap anggota juga terdiri dari dewan pengawas KPK, dan pegawai KPK, yang mana cara
pengisian jabatan tersebut diatur di dalam Undang Undang No.19 Tahun 2019 dalam pasal 29
dan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ,berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) berdiri berdasarkan UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, Tugas, wewenang , dan kedudukan KPK telah diatur sebagaimana di dalam Pasal 6
UU Nomor 19 Tahun 2019 (yang mengatur tentang tugas), Pasal 7 UU Nomor 19 Tahun 2019
(yang mengatur tentang wewenang), dan kedudukan KPK yang mana Komisi Pemberantasan
Korupsi atau KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, kemudian Struktur KPK
pasca berlakunya UU No.19 Tahun 2019 tentang perubahan UU no.30 tahun 2002, terdapat
beberapa perubahan yaitu dalam Kedudukan Kelembagaan KPK, Koordinasi dan
Supervisi,Model dan Mekanisme rekrutmen penyidik KPK