Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Era reformasi membawa perubahan mendasar bagi Negara Kesatuan

Republik Indonesia yaitu semakin dianutnya asas transparansi dan akuntabilitas.

Prinsip pengawasan dan keseimbangan yang dianggap diabaikan selama masa

orde baru sehingga sistem pemerintahan Indonesia yang baru dimana Presiden

dibatasi kekuasaannya dengan memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat yang

ditemani oleh lembaga baru berupa perwakilan daerah yang disebut dengan

Dewan Perwakilan Daerah.1

Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk Republik. Sesuai

dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, dimana kekuasaan pemerintah negara Indonesia berada di tangan Presiden

berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Presiden sebagai kepala negara merangkap juga sebagai kepala pemerintahan

dimana konstitusi memberikan hak-hak konstitusional yang cukup luas tak saja

hak mejalakan pemerintahan tetapi dalam batas-batas tertentu memiliki juga hak-

hak legislasi dan hak-hak yudisial.2

Sistem pemerintahan Indonesia dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang

1
Todung Mulya Lubis, Problemmatika Seleksi Pejabat Negara : Presidensialisme Yang
Tergerus, Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-2, Padang, 2015, h.1.
2
.Todung Mulya Lubis, Problemmatika Seleksi Pejabat Negara : Presidensialisme Yang
Tergerus, Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-2, Padang, 2015, h.2.

1
2

kekuasaan negara dalam bidang legislatif (parlemen), eksekutif (presiden) dan

yudisial (pengadilan) sehingga lembaga-lembaga negara itulah yang dapat disebut

sebagai lembaga negara utama yang hubungannya satu dengan yang lain diikat

oleh prinsip pengawasan dan keseimbangan.3

Organ atau lembaga negara tersebut yang diberi kewenangan oleh

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk

menjalankan sistem pemerintahan, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih

kurang dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan dari konsep kedaulatan

rakyat. Selain diberi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dasar yang

berbeda-beda yaitu dengan konstitusi, undang-undang, bahkan ada yang dibentuk

dengan keputusan presiden saja.

Perkembangan tersebut memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi

negara, termasuk bentuk serta fungsi lembaga-lembaga negara. Sebagai jawaban

atas tuntutan masyarakat tersebut, berdirilah lembaga-lembaga negara baru yang

dapat berupa dewan, komisi, komite, badan, atau otorita.4 Dalam konteks negara

Indonesia, kecenderungan munculnya lembaga-lembaga negara baru terjadi

sebagai konsekuensi dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lembaga-lembaga baru tersebut bisa

dikenal dengan istilah lembaga negara bantu dan merupakan lembaga negara yang

3
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kencana Press, Jakarta, 2010,
h.178.
4
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Sekretaris Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, h.v.
3

bersifat sebagai penunjang. 5 Hal lain yang melatarbelakangi lahirnya lembaga

baru ini adalah “kekuatan baru” dalam struktur pemerintahan yang beasal dari

konsep demokrasi dan hak asasi manusia, yaitu kekuatan masyarakat sipil.6 Salah

satu lembaga baru yang terbentuk yaitu komisi negara. Pembentukan komisi-

komisi negara tersebut belum didasarkan pada konsepsi yang utuh untuk sebuah

sistem ketatanegaraan yang ideal, sehingga masih terjadi tumpang tindih

kewenangan dengan lembaga-lembaga lain.7

Salah satu lembaga negara bantu yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi.

Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu agenda penting dalam pembenahan

sistem tata pemerintahan di Indonesia.8 Cita-cita gerakan reformasi akan adanya

suatu pemerintah yang bersih dari korupsi untuk mewujudkan pemerintahan yang

efisien, terbuka, dan bertanggung jawab kepada rakyat serta untuk mewujudkan

cita-cita masyarakat Indonesia yang bebas dari korupsi, didorong oleh semakin

menguatnya tuntutan demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia serta

partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik.

Dalam suatu negara yang memiliki otoritas kuat, harus disadari dengan

pendekatan terhadap pemberantasan korupsi secara konvensional yang berbasis

pada penegakan hukum dan perbaikan ditempuh terbukti tidak efektif. Di sinilah

rakyat, yang merupakan korban sesungguhnya dan perbuatan penyalahgunaan

kekuasaan harus mengambil insiatif untuk mengembangkan pengawasan misal,

5
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi,Sekretaris Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, h.v.
6
Lukman Hakim, Kedudukan Hukum Komisi Negara Di Indonesia, Malang, 2010, h.4.
7
Lukman Hakim, Kedudukan Hukum Komisi Negara Di Indonesia, Malang, 2010, h.4.
8
Mahmussin Muslim, Jalan Panjang Menuju Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Indonesia, Jakarta, 2004, h. 33.
4

yang melibatkan peran serta masyarakat di semua lapisan sosial dan profesi. 9

Melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2015 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2015 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5698), komisi ini merupakan komisi yang sah didirikan dan memiliki legitimasi

untuk menjalankan tugasnya. Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk sebagai

respons atas tidak efektifnya kepolisian, keakiman, dan kejaksaan dalam

memberantas korupsi yang semakin merajalela. Adanya Komisi Pemberantasan

Korupsi diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan tata kelola pemerintah


10
yang baik. Namun demikian, dalam struktur negara Indonesia mulai

dipertanyakan oleh berbagai pihak. Mulai dari tugas, wewenang, dan kewajiban

yang dilegitmasi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2015

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 107,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5698) memang membuat

komisi ini terkesan menyerupai sebuah lembaga super dan sebagai organ

kenegaraan yang namanya tidak tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.


9
Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h.78.
10
Firmansyah Arifin, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antara Lembaga
Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KHRN), Jakarta, 2005, h.88.
5

Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki sifat yang independen dan bebas

dari pengaruh kekuasaan manapun, maka dapat menjadikan lembaga ini berkuasa

secara absolud dalam lingkup kerjanya. Selain itu, kewenangan istimewa berupa

penyatuan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu organ juga

semakin mengukuhkan argumen bahwa eksistensi Komisi Pemberantasan.

Korupsi cenderung menyeleweng dari prinsip hukum yang berlaku dan tidak

menutup kemungkinan bertentangan dengan konstitusi. 11 Komisi Pemberantasan

Korupsi merupakan lembaga yang bersifat independen, maka dalam pemilihan

calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi haruslah dilakukan dengan

sangat cermat dan memerlukan pertimbangan yang lebih matang untuk memilih

seorang calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan keadaan ini,

maka Pemerintah membentuk panitia pembantu untuk meyeleksi dan mencari

calon pemimpin lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi. Panitia yang di bentuk

oleh pemerintah yang kemudian disebut dengan Panitia seleksi Komisi

Pemberantasan Korupsi.

Adapun dasar dari pembentukan Panitia seleksi Komisi Pemberantasan

Korupsi terdapat pada Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan

11
Wirakusumah, Mulyana, Menilai Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga
Ekstrakonstitusional, Putusan Makhkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 012-016-
019/PUU-IV/2006,h.33.
6

Lembaran Negara Nomor 4250). 12 Panitia seleksi dibentuk oleh presiden dan

ditunjuk secara langsung oleh presiden anggota-anggota dari Panitia seleksi

Komisi Pemberantasan Korupsi. Keanggotaan panitia seleksi harus memenuhi

unsur sesuai dengan ketentuan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4250).13 Unsur ini dibuat agar tidak terjadi

kesalahan pahaman antara Pemerintah dengan masyarakat.

Panitia seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan suatu lembaga

yang dibuat untuk diperbantukan oleh Pemerintah, sifat dari Panitia seleksi

Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu mandiri (independen) dan sementara.

Panitia seleksi yang dibentuk harus merepresentasikan lembaga yang berwenang

dalam membentuk panitia seleksi sekaligus memasukan unsur masyarakat sebagai

jaminan prinsip partisipatif.14 Selain prinsip partisipatif, prinsip yang digunakan

dalam pembentukan Panitia seleksi ini yaitu prinsip efektif dan efisien, prinsip

kenegaraan, prinsip transparan dan akuntabel, prinsip pengawasan dan

keseimbangan, serta prinsip biaya ringan. Panitia seleksi Komisi Pemberantasan

Korupsi bertugas untuk melakukan seleksi terhadap calon pimpinan Komisi

Pemberantasan Korupsi. Selain bertugas untuk menyeleksi calon pemimpin

Komisi Pemberantasan Korupsi, Panitia seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi

12
“untuk memperlancar pemilihan dan penentuan colon pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi Pemerintah membentuk Panitia seleksi yang bertugas melaksanakan ketentuan yang diatur
Undang-Undang ini”.
13
“Keanggotaan Panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (2) terdiri atas
unsur pemerintah dan unsur masyarakat”.
14
Zainal Arifin Mochtar, Memikirkan Kembali Seleksi Komisioner Lembaga Negara
Independen, Padang, 2015, h.9.
7

juga bertugas melakuka pencarian orang dalam rangka menemukan calon

komisioner pengimbang calon yang ditunjuk oleh cabang kekuasaan yang

berwenang melakukan penunjukan.15

Panitia seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk selain atas dasar

untuk diperbantukan oleh Pemerintah yaitu untuk menjadi dasar keinginan

Pemerintah mendapatkan kepercayaan dan keraguan masyarakat akan pemilihan

calon pemimpin ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Keraguan tersebut timbul

karena masyarakat ingin benar-benar memiliki seorang pemimpin anti korupsi di

Indonesia agar kehidupan masyarakat Indonesia dapat menjadi sejahtera dan lebih

baik dari keadaan sebelumnya. Keinginan inilah yang akhirnya mendorong

pemerintah untuk membentuk suatu panitia seleksi sebagai bentuk menampung

aspirasi dari masyarakat, karena kedaulatan Indonesia berada pada tangan rakyat.

Dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia panitia seleksi Komisi

Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk kepentingan lembaga komisi dengan

tujuan untuk benar-benar dapat memfokuskan seleksi tersebut pada para calon

yang mendaftar sebagai calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi,

sehingga hasil akhir dari penyeleksian tersebut sangatlah efektif dan efisien serta

memuaskan masyarakat. Namun negara Indonesia mempunyai kendala dalam

mendapatkan anggota yang benar-benar dapat diandalkan, karena dalam

pemilihan anggota Panitia seleksi ini bisa saja disalahgunakan oleh pemerintah

demi tercapainya kepentingan politik partainya.

15
Zainal Arifin Mochtar, Memikirkan Kembali Seleksi Komisioner Lembaga Negara
Independen, Padang, 2015, h.9.
8

Dewasanya saat ini para anggota panitia seleksi Komisi Pemberantasan

Korupsi dapat merangkap menjadi panitia seleksi dalam Komisi Yudisial.

Perangkapan jabatan ini terjadi saat proses seleksi pada uji kelayakan dan

kepantasan annggota panitia seleksi. Uji kelayakan dan kepantasan telah

mengubah kemugkinan mendapatkan orang terbaik bagi publik, tetapi hanya

terbaik bagi para politisi. Keterjebakan itu didukung dengan pola pemilihan yang

memang membesarkan kemungkinan terjadinya penguasaan partai politik dengan

penguasaan proses pemilihan. 16 Sedangkan untuk perangkapan jabatan dalam

peraturan pemerintahan Negara Indonesia tidak diperbolehkan karena

perangkapan jabatan ini akan menimbulkan problematika antar partai politik

sehingga dapat memicu timbulnya permasalahan yang baru dalam partai politik.

2. Rumusan Masalah

Bardasarkan latar belakang masalah, peneliti merumuskan rumusan

masalah berupa pernyataan penelitian yaitu “eksistensi Panitia seleksi Komisi

Pemberantasan Korupsi dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia”.

3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan dan melakukan analisa dari

eksistensi panitia seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem

pemerintahan Republik Indonesia.

16
Zainal Arifin Mochtar, Memikirkan Kembali Seleksi Komisioner Lembaga Negara
Independen, Padang, 2015, h. 3.
9

4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :

a. Manfaat Teoritis

Memberi kontribusi pemikiran bagi Ilmu Hukum Tata Negara karena

perkembangan Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia selalu mengalami

perubahan.

b. Manfaat Praktis

Memberi kontribusi pemikiran bagi Ilmu Hukum Tata Negara dan diharapkan

penelitian ini dapat berguna sebagai informasi bagi penegak hukum yaitu

hakim dan jaksa.

5. Metode Penelitian

Metode Penelitian merupakan prosedur atau cara peneliti di dalam

mengumpulkan dan menganalisis bahan hukum.17 Kata “Metode” dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan

suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki. Sedangkan kata

“penelitian” menurut Hikmahanto Juwana adalah memberikan jawaban atas

pertanyaan hukum yang bersifat praktis dan akademis.18

17
Fakultas Hukum, Petunjuk Penulisan Hukum (Skripsi), Fakultas Hukum Universtitas 17
Agustus 1945 Surabaya, Surabaya, 2014, h. 20.
18
Digest Epistem, Berkala Isu Hukum dan Keadilan Eko-Sosial, Volume 5, Jakarta,
2015, h. 7.
10

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah

a. Jenis Penelitian

Penelitian hukum normatif dijelaskan bahwa “aktivitas untuk

menemukan norma-norma yang akan digunakan untuk memberikan dasar

pembenaran kepada keputusan yang diambil dalam rangka menyelesaikan sutu

perkara”. 19 Penelitian ini berdasarkan pada peraturan perundang-undangan

yang digunakan sebagai dasar untuk memecahkan masalah, serta berusaha

menelaah permasalahan dengan teori-teori maupun literatur-literatur yang

mendukung dan berkaitan khususnya difokuskan pada eksistensi panitia

seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Republik

Indonesia.

b. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-

undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan perundang-undangan yaitu

peraturan tertulis yang dibentuk lembaga Negara atau pejabat yang berwenang

dan mengikat secara umum. 20 Pendekatan konseptual dilakukan manakala

peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal ini dilakukan karena

memang belum atau tidak ada aturan untuk masalah yang dihadapi. 21

c. Sumber dan Jenis Bahan Hukum

Sumber dan jenis bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

19
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Konsep dan Metode, Setara Press, Malang, 2013,
h. 77
20
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010, h. 35.
21
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi,Kencana Penada MediaGroup,
Jakarta, 2014, h. 177.
11

1. Bahan hukum primer, adalah semua aturan hukum yang dibentuk

dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga Negara, dan/atau

badan-badan pemerintahan, yang demi tegaknya akan diupayakan

berdasarkan daya paksa yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat

Negara. 22 Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-

undangan, catatan-catatan resmi dan putusan-putusan hakim. Bahan

hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan

Lembar Negara Nomor 4250).

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pemberntukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389).

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran

Negara Rpublik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2015

tentang Penerapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-


22
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Konsep dan Metode, Setara Press, Malang, 2013,
h. 81.
12

Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2015 Nomor 107, Tambahan Lembar Negara Nomor 5698).

f. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan

Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

g. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Panitia Seleksi.

2. Bahan hukum sekunder adalah seluruh informasi tentang hukum yang

berlaku atau yang pernah berlaku di suatu negeri. 23 Bahan hukum

sekunder terdiri atas buku-buku teks, laporan penelitian hukum,

berbagai jurnal hukum yang memuat tulisan-tulisan kritik para ahli dan

para akademisi terhadap berbagai produk hukum.24

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu Kamus

Besar Bahasa Indonesia dan Black’s Law Dictionary Ninth Edition 2009.

d. Teknik Pengumpulan

Bahan hukum dikumpulkan melalui studi pustaka dan dokumen yaitu

dengan mengumpulkan bahan-bahan yang relevan dengan pokok

23
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Konsep dan Metode, Setara Press, Malang, 2013,
h. 82.
24
Soetandyo wignjosoebroto, Hukum Konsep dan Metode, Setara Press, Malang, 2013, h.
83.
13

permasalahan yang dikaji. Kemudian bahan-bahan tersebut dipahami secara

mendalam.

e. Teknik Analisis Bahan hukum

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam skripsi ini adalah

analisa deduktif. Analisa deduktif memiliki arti berpangkal dari prinsip-prinsip


25
dasar, kemudian peneliti menghadirkan objek yang hendak diteliti yaitu

menjelaskan hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus untuk

menarik suatu kesimpulan yang dapat memberikan jawaban untuk permasalahan

hukum dalam skripsi ini.

6. Pertanggungjawaban Penelitian

Pertanggungjawaban penelitian dimaksudkan untuk memberikan

gambaran mengenai hal yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu

yang diuraikan dalam empat bab, dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan, yang meliputi latar belakang permasalahan yang

akan ditulis, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian, dan pertanggungjawaban penelitian.

BAB II: Tinjauan Pustaka, yang meliputi tinjauan umum mengenai definisi

konseptual dan teori hukum. Definisi konseptual terdiri dari:

Komisi Pemberantasan Korupsi, Panitia Seleksi Komisi

Pemberantasan Korupsi, Sistem Pemerintahan Secara Umum,

Sistem Pemerintahan Indonesia. Teori hukum terdiri dari: teori

25
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010, h. 42.
14

pemisahan kekuasaan, teori pembagian kekuasaan , dan teori

lembaga negara.

BAB III: Berisi tentang Pembahasan dari skripsi ini, dalam bab ini berisi

jawaban dari rumusan masalah, yaitu: mengenai kedudukan

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Pemerintahan

Indonesia dan kedudukan Panitia Seleksi Komisi Pemberantasan

Korupsi dalam Sistem Pemerintahan Indonesia.

BAB IV: Penutup, dalam bab ini berisikan Kesimpulan dan Saran.

Kesimpulan dari penulisan skripsi ini serta Saran yang dapat

digunakan demi perbaikan dalam bidang hukum di masa yang

akaan data.

Anda mungkin juga menyukai