Anda di halaman 1dari 22

TUGAS KARYA TULIS KELOMPOK

DILEMATIKA PERUBAHAN STRUKTUR DAN KEWENANGAN KPK

Disusun Oleh:
Angelina Apsari Pardosi 2006580493
Chintya 2006530702
Julian Joseph Malwi 2006473440
Keane Natalia Christy Sualang 2006463660
Muhammad Faiza Zaidan 2006472955
Muhammad Syahravi Hatta 2006522833
Pande Putu Galuh Olivera Padma 2006533944
Regita Eka Maritza 2006530671
Reynhart Henry Halomoan 2006580594
Yohanes Maria Vianney Widoputranto 2006580154

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
2021
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Isu korupsi dalam suatu negara bukanlah hal yang baru. Bahkan, dapat dikatakan bahwa
korupsi telah ada dari awal peradaban manusia. Di Indonesia sendiri, korupsi telah meninggalkan
jejak dari masa kerajaan Nusantara, tetapi isu korupsi baru mulai marak dibahas
pasca-kemerdekaan Indonesia.1 Dari masa ke masa, korupsi di Indonesia makin berkembang
biak dan menjadi isu yang makin genting sampai saat ini. Walaupun nilai Indeks Persepsi
Korupsi ("IPK") Indonesia mengalami perkembangan yang positif pada tahun 2020 silam,
perkembangan IPK Indonesia pada lima tahun terakhir tidak konsisten dan peningkatan yang
terjadi pun tidak terlalu signifikan, sehingga dapat dikatakan bahwa isu korupsi masih prominen
di Indonesia.2
Indonesia sendiri sebagaimana tertuang pada Undang-Undang Dasar Negara Indonesia
Tahun 1945 ("UUD 1945") merupakan negara hukum materiil yang mengadopsi konsep negara
kesejahteraan (welfare state) yang bertujuan menjamin kesejahteraan masyarakatnya.3 Hal ini
dapat dilihat pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 di mana disebutkan bahwa salah satu
tujuan negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum.4 Selain itu,
pengadopsian konsep welfare state juga dimuat dalam berbagai pasal di UUD 1945. Misalnya,
pada Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, ditegaskan bahwa pengelolaan keuangan negara bertanggung
jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.5 Mengingat tujuan untuk menjamin
kesejahteraan tersebut, korupsi sebagai tindakan yang sangat tidak menguntungkan rakyat
tentunya perlu diatasi.
Setiap organ negara memiliki alat perlengkapan negara (state auxiliaries) berupa
lembaga-lembaga negara yang memiliki fungsi membantu organ negara mencapai tujuan dan
cita-cita bangsa.6 Indonesia pun berusaha merealisasikan cita-cita antikorupsi melalui
pembentukan lembaga negara. Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia melalui pembentukan
lembaga yang berwenang memberantas korupsi sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Pada
tahun 1967 misalnya, dibentuk suatu Tim Pemberantasan Korupsi.7 Namun, pada
pelaksanaannya, tim tersebut dan berbagai komisi lainnya yang dalam sejarah Indonesia pernah
dibentuk dengan harapan menanggulangi korupsi belum dapat melaksanakan fungsinya dengan
baik. Upaya ini terus berlangsung hingga era reformasi di mana Komisi Pemberantasan Korupsi
("KPK") akhirnya terbentuk.

1
Detha Arya Tifada dan Yudhistira Mahabarata, “Akar Sejarah Korupsi di Indonesia dan Betapa Kunonya
Mereka yang Hari Ini Masih Korup,” VOI,
https://voi.id/memori/22255/akar-sejarah-korupsi-di-indonesia-dan-betapa-kunonya-mereka-yang-hari-ini-masih-kor
up, diakses 7 November 2020.
2
Transparency International, “Corruption Perceptions Index,” Transparency International,
https://www.transparency.org/en/cpi/2020, diakses 7 November 2020.
3
​V Hadiyono, “Indonesia dalam Menjawab Konsep Negara Welfare State dan Tantangannya,” Jurnal
Hukum Politik dan Kekuasaan 1, no. 1 (Agustus 2020), hlm. 28–29.
4
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan.
5
Ibid, Ps. 23 ayat (1).
6
Hendra Nurtjahjo, “Lembaga, Badan, dan Komisi Negara Independen (State Auxiliary Agencies) di
Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara,” Jurnal Hukum & Pembangunan 35, no. 3 (Juli 2017), hlm. 276.
7
Komisi Pemberantasan Korupsi, “Sejarah Panjang Pemberantasan Korupsi di Indonesia,” Anti-Corruption
Clearing House, https://acch.kpk.go.id/id/artikel/fokus/144-sejarah-panjang-pemberantasan-korupsi-di-indonesia,
diakses 7 November 2020.
Pada umumnya, teori-teori mengenai alat perlengkapan negara membagi berbagai
lembaga tersebut sesuai dengan fungsinya. Misalnya, terdapat teori Trias Politica oleh
Montesquieu yang membagi kekuasaan suatu negara berdasarkan tiga fungsi: eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Eksekutif berfungsi menjalankan kekuasaan pemerintahan, legislatif
berfungsi membuat dasar hukum untuk berjalannya kekuasaan, dan yudikatif berfungsi
mengawasi dan mengadili berjalannya kekuasaan. Pembagian kekuasaan secara horizontal
seperti ini dikenal pula dengan separation of powers atau pemisahan kekuasaan. Pemisahan yang
dimaksud di sini berarti tiap organ hanya menjalankan fungsinya saja dan tidak ikut campur pada
fungsi lainnya.8 Dari pemisahan kekuasaan ini, lahir pula istilah checks and balances di mana
setiap fungsi saling "mengawasi" (checks) dan saling "mengimbangi" (balances) kekuasaan satu
sama lain agar meminimalisir penyalahgunaan wewenang.9
Namun, seiring dengan perkembangan yang terjadi dalam penyelenggaraan negara,
pembagian kekuasaan berdasarkan fungsinya kurang mengakomodasi mengingat kompleksnya
penyelenggaraan pemerintahan di masa modern ini. Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam rangka
menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif serta melihat kenyataan
beberapa lembaga yang memiliki fungsi-fungsi bercampur seperti semi-legislatif dan regulatif
atau campuran lainnya, maka diperlukannya lembaga-lembaga yang bersifat independen.10
Dalam kata lain, alat perlengkapan negara yang dibentuk sering kali sudah tidak mampu lagi
menampung tugas spesifik yang umumnya membutuhkan ruang untuk independensi dalam
pelaksanaannya.11Oleh karena fakta tersebut, berkembanglah lembaga-lembaga independen di
berbagai negara yang kerap dikenal sebagai independent and self-regulatory bodies.12
Menilik Pasal 3 UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ("UU KPK"), KPK berperan sebagai
lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan
bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Mengingat arti dari korupsi yang pada dasarnya
menurut World Bank merupakan suatu tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan
individu atau kelompok,13 tentunya penyalahgunaan kekuasaan akan rentan terjadi apabila KPK
bukan merupakan lembaga yang independen. Hal ini sudah disadari dari awal konsepsi KPK, di
mana KPK memang dirancang untuk menjadi lembaga yang independen. Akan tetapi, setelah
disahkannya perubahan kedua UU KPK melalui UU No. 19 Tahun 2019, independensi KPK
patut dipertanyakan kembali.
Salah satu hal yang paling kontroversial dari perubahan UU KPK merupakan
dibentuknya Dewan Pengawas. Salah satu tugas Dewan Pengawas KPK, yaitu mengawasi
pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, diargumentasikan sebagai suatu bentuk pelanggaran
terhadap konsep pemisahan kekuasaan checks and balances, di mana pengawasan dilakukan oleh
8
Yokotani dan Ndaru Satrio, “Mekanisme Seleksi Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
Perspektif Cita Hukum Pancasila,” PROGRESIF: Jurnal Hukum 13, no. 2 (Desember 2019), hlm. 125–126.
9
Hendra Nurtjahjo, “Lembaga, Badan, dan Komisi Negara Independen (State Auxiliary Agencies) di
Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara,” Jurnal Hukum & Pembangunan 35, no. 3 (Juli 2017), hlm. 277.
10
Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945”,
(makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 14-18 Juli 2003), hlm. 22.
11
Hendra Nurtjahjo, “Lembaga, Badan, dan Komisi Negara Independen (State Auxiliary Agencies) di
Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara,” Jurnal Hukum & Pembangunan 35, no. 3 (Juli 2017), hlm. 278.
12
Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945”,
(makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 14-18 Juli 2003), hlm. 22.
13
Happy Febrina Hariyani, Dominicus Savio Priyarsono, dan Alla Asmara, “Analisis Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Korupsi di Kawasan Asia Pasifik,” Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan 5, no. 2 (Desember
2016), hlm. 33.
Dewan Pengurus yang sendirinya menjadi bagian dari lembaga yang seharusnya ia awasi.
Terlebih dari itu, perubahan UU KPK juga memberikan ruang bagi intervensi politik yang sangat
besar karena Dewan Pengurus diangkat dan ditetapkan oleh Presiden.
Dalam makalah ini, kami akan membahas dilema yang terdapat pada eksistensi Dewan
Pengurus KPK. Kami menyadari bahwa polemik mengenai struktur KPK ini dilatarbelakangi
terganggunya independensi KPK sebagai lembaga yang seharusnya bebas dari pengaruh
kekuasaan apapun dengan adanya Dewan Pengurus KPK. Secara khusus, kami akan mendalami
mekanisme pengangkatan Dewan Pengurus yang berada di bawah kekuasaan Presiden dan
membahas bagaimana hal ini bertolak belakang dengan independensi yang dicanangkan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, kami juga akan membandingkan
lembaga korupsi di negara lain, yaitu Brazil dan Korea Selatan, sebagai referensi dalam upaya
kami menjawab permasalahan ini.

1.2 Lingkup Bahasan


Pembahasan ini terfokus pada:
1. Dilema Dewan Pengawas KPK;
2. Struktur Baru Kewenangan KPK;
3. Pro dan Kontra Struktur KPK; dan
4. Lembaga Korupsi di Negara Lain yang Terbatas pada Negara Brazil dan Korea Selatan.

1.3 Tujuan
Secara umum tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kuliah mata
kuliah Lembaga Presiden serta memberikan pengetahuan kepada penulis dan pembaca. Terdapat
juga tujuan khusus dari penulisan makalah ini yaitu:
1. Apakah dilema dalam pembuatan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi?
2. Bagaimana struktur kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru?
3. Mengetahui pro dan kontra mengenai perubahan Komisi Pemberantasan Korupsi
4. Bagaimana perbandingan lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia dan negara lain?
BAB II
Pembahasan
2.1 Dilema Dewan Pengawas KPK
Zainal Arifin Mochtar menyatakan bahwa lembaga negara independen mempunyai
beberapa syarat esensial dalam keberlangsungannya. Lembaga negara indepnden seharusnya
lahir dan ditempatkan di luar cabang kekuasaan yang ada serta proses pemilihan dalam tiap
lembaga negara independen dilakukan melalui seleksi nonpolitis dalam satu kaidah khusus.
Sebagai sebuah lembaga negara yang dimandatkan untuk menjalankan tugas-tugas yang
membutuhkan independensi tanpa intervensi, setiap lembaga negara independen sudah
seharusnya mengamanahkan prinsip-prinsip tersebut14.
Independensi seharusnya merupakan prinsip paling fundamental bagi suatu KPK yang
tidak dimiliki oleh lembaga negara independen lain seperti kejaksaan dan kepolisian. Sebagai
suatu lembaga penegak hukum yang memiliki tupoksi untuk menangkap mereka-mereka yang
mencuri uang negara.15 KPK hadir di Indonesia dengan beberapa kewenangan khusus, yaitu
kewenangan dalam melakukan penyelidikan, kewenangan dalam melakukan penyidikan, serta
kewenangan dalam melakukan penuntutan. Akan tetapi, setelah beberapa tahun sejak
eksistensinya dimulai, KPK belum juga mampu untuk sepenuhnya menghapuskan budaya
korupsi di Indonesia.
2004 merupakan tahun pertama kredibilitas KPK mendapatkan perhatian luar biasa
karena berhasil mengusut dan menyelesaikan kasus penyuapan yang dilakukan oleh anggota
KPU kepada auditor BPK. Pada waktu KPK berhasil mendapatkan atensi publik, muncul hal-hal
yang dinilai sebagai batu penghambat dalam meningkatkan kepercayaan publik terhadap KPK.
Publik masih acapkali menganggap bahwa tindakan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh
KPK tidak dilaksanakan secara adil kepada seluruh pelaku tindak pidana korupsi. KPK masih
belum dapat menindak semua lapisan, khususunya kepada kaum elit politik dan para pemegang
kekuasaan.16
Dinamika perjalanan KPK memang semakin berwarna dalam waktu demi waktu baik
dalam konteks yang positif maupun yang negatif. Pada akhir masa jabatan Dewan Perwakilan
Rakyat (“DPR”) periode 2014-2019, dikemukakan bahwa ada wacana revisi UU KPK yang pada
akhirnya disahkan beberapa saat sebelum periode berakhir. Rafly Harun, salah satu ahli dalam
hukum tata negara, menyatakan bahwa sejatinya revisi UU KPK yang salah satunya mengatur
tentang eksistensi Dewan Pengawas KPK memiliki adicita untuk mengontrol KPK. DPR merasa
bahwa perlu diadakan pembaruan dalam tubuh KPK, khususnya dalam aspek hukum, untuk
dapat beradaptasi dengan kondisi dan situasi hukum masa kini terutama dalam tindak pidana
korupsi.17
Dewan Pengawas KPK merupakan struktur baru dalam tubuh KPK yang berlandaskan
pada Pasal 37B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas

14
Nehru Asyikin, Adam Setiawan, “Kedudukan KPK dalam Sistem Ketatanegaraan Pasca Diterbitkannya
Revisi Undang-Undang KPK,” Justitia 4 (April 2020), hlm. 136.
15
Kartika S. W., Hari S. D, dan Nyoman S., “Independensi Komisi Pemberantasan Korupsi: Benarkah
Ada?” Refleksi Hukum 4 (2020), hlm. 241.
16
Sena Kogam Mnv Irsyad, “Implikasi Yuridis Dewan Pengawas KPK dalam Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” Dinamika 27 (Juli 2021), hlm. 3013.
17
Feri Agus Setyawan, “Arsul Sani Ungkap Alasan DPR Usul Revisi UU KPK Jelang Akhir Masa
Jabatan,”
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/05/16351691/arsul-sani-ungkap-alasan-dpr-usul-revisi-uu-kpk-jelang-akh
ir-masa-jabatan?page=all, diakses 5 November 2021.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(“UU No. 19 Tahun 2019”). Berdasarkan pasal tersebut, dinyatakan bahwa Dewan Pengawas
KPK memiliki beberapa tugas yang secara umum adalah bentuk pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas dan wewenang KPK serta memiliki otoritas untuk memberikan beberapa izin
tertentu terhadap tindakan KPK. Bentuk perizinan yang harus diperoleh KPK sebelum
melakukan tindakan di antaranya adalah tindakan penyadapan, penyitaan, dan penahanan.18
Pasal-pasal perihal tupoksi Dewan Pengawas KPK dinilai merupakan bentuk pembatasan
terhadap wewenang KPK sebagai suatu lembaga negara independen. Dalam praktik riil, baik
pimpinan KPK maupun seluruh penyidik KPK telah terikat dalam suatu kode etik dan
pengawasan internal KPK yang sudah ada jauh sebelum adanya perubahan atau revisi UU KPK
yang dilakukan pada tahun 2019. Oleh karena itu, secara normatif, dirasa tidak ada urgensi bagi
pemerintah melalui DPR untuk membentuk dan mengesahkan eksistensi Dewan Pengawas KPK
yang bahkan diberikan kekuasaan pro justisia (demi hukum). Sejatinya apabila berbicara tentang
lembaga penegak hukum, di Indonesia dilaksanakan teori difeensial fungsional terhadap
masing-masing tupoksi lembaga penegak hukum sehingga masing-masing lembaga penegak
hukum memiliki tugas dan wewenang yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya.19 Oleh
karena itu, pemberian kewenangan kepada Dewan Pengawas KPK dinilai tidak tepat dan
malahan mencederai prinsip pengawasan itu sendiri yang dapat berujung kepada ketidakpastian
hukum.
Eksistensi Dewan Pengawas KPK tentu menimbulkan dilematika dari berbagai pihak,
khususnya masyarakat sipil yang memiliki rasa percaya yang sangat tinggi terhadap KPK.20
Walaupun memang, di atas kertas tujuan dari revisi UU KPK merupakan tujuan yang mulia,
tetapi sulit untuk dapat mengilhami tersebut setelah mengetahui fakta-fakta perihal tupoksi KPK.
Apabila berlandaskan pada tatanan tata negara, KPK sebagai lembaga independen harusnya lepas
dari pengaruh-pengaruh lembaga lain dan memang sejatinya sudah memiliki pengawas sendiri
dalam strukturnya dan bahkan dapat diawasi langsung oleh rakyat melalui DPR. Pada akhirnya,
KPK sebagai lembaga penegak hukum yang sering kali dijuluki “anak kandung reformasi”
semakin membuat publik khawatir terhadap independensi KPK setelah adanya revisi UU KPK,
khususnya mengenai Dewan Pengawas KPK.21

2.2 Struktur Baru Kewenangan KPK


Pada tahun 2020, KPK melakukan beberapa perubahan di dalam struktur organisasinya.
Oleh KPK, perubahan ini diatur di dalam Peraturan Komisi (Perkom) No. 7 Tahun 2020. Hal ini
dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk mewujudkan pelaksanaan Undang-Undang (UU) No. 19
Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Tentu, KPK memiliki suatu hal yang ingin dicapai dibalik perubahan yang dilakukan.
Tujuan yang ingin dicapai KPK dalam penataan kembali struktur organisasinya yakni untuk
meningkatkan kualitas pelayanan dalam menjalankan tugasnya agar lebih efektif dan efisien

18
Indonesia, Undang Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 19 Tahun 2019, LN No. 197, TLN No. 6409, Ps. 37B.
19
Irsyad, “Implikasi Yuridis Dewan Pengawas KPK,” hlm. 3015.
20
Yulianto, “Politik Hukum Revisi Undang-Undang KPK yang Melemahkan Pemberantasan Korupsi,”
Cakrawala Hukum 11 (April 2020), hlm. 113
21
Asyikin, “Kedudukan KPK,” hlm. 129.
berdasarkan pengembangan-pengembangan yang diterapkan.22 Untuk mencapai hal tersebut,
dilakukanlah beberapa pendekatan yang terbagi atas dua pendekatan, yaitu pendekatan preventif
dan pendekatan represif. Pendekatan preventif dilaksanakan dengan mengadakan pendidikan
antikorupsi dan memperbaiki sistem dan kebijakan mengenai korupsi, sedangkan pendekatan
represif dilakukan dengan mengadakan penindakan bagi orang yang melakukan korupsi melalui
kegiatan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan agar orang menjadi jera dan tidak lagi
melakukan tindakan korupsi.23
Sekilas, bila dibandingkan antara Pasal 2 Perkom No. 3 Tahun 2018 dan Pasal 3 Perkom
No. 7 Tahun 2020, dapat dilihat bahwa terjadi sebuah perampingan terhadap kuantitas jabatan
dalam susunan organisasi KPK. Namun, apabila diteliti kembali, jabatan Deputi pada berbagai
bidang yang tercantum di dalam Perkom No. 3 Tahun 2018 tetap ada, bahkan menjadi lebih
besar, tetapi oleh KPK dirangkum menjadi “Pegawai yang merupakan penggerak, pelaksana,
pendukung, dan pengawas yang tecermin dalam susunan organisasi KPK” pada Perkom No. 7
Tahun 2020.24
Setidak-tidaknya ada 19 (sembilan belas) jabatan yang berubah dalam struktur organisasi
terbaru. Perubahan yang terjadi di dalam Perkom No. 7 Tahun 2020 meliputi penambahan Deputi
Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, Staf Khusus, Pusat Perencanaan Strategis
Pemberantasan Korupsi, Inspektorat, dan Juru Bicara sebagai bidang-bidang yang berada di
bawah Pimpinan KPK, perubahan nama Deputi Bidang Pencegahan menjadi Deputi Bidang
Pencegahan dan Monitoring, serta perubahan nama Deputi Bidang Penindakan menjadi Deputi
Bidang Penindakan dan Eksekusi.25
Lahirnya beberapa bidang baru menimbulkan kelahiran jabatan yang baru pula
didalamnya. Pertama, kelahiran Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat. Di
dalam tugasnya, ditambahkanlah juga beberapa jabatan di bawah Deputi Bidang Pendidikan dan
Peran Serta Masyarakat untuk mencapai tujuan langkah preventif dalam pengedukasian
masyarakat terkait tindakan korupsi. Jabatan yang dimaksudkan itu adalah Direktur Jejaring
Pendidikan, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi, Direktur Pembinaan Peran Serta
Masyarakat, Direktur Pendidikan dan Pelatihan Antikorupsi, serta Sekretaris Deputi Bidang
Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat.26 Kedua, terdapat penambahan Deputi Bidang
Koordinasi dan Supervisi yang berakibat menimbulkan beberapa jabatan baru lagi di bawahnya,
yakni Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah I hingga V serta Sekretaris Deputi Koordinasi
dan Supervisi.27
Tidak hanya itu, terdapat pula perubahan bukan pada penambahan Deputi Bidang, tetapi
menambahkan jabatan baru di bawah Deputi Bidang yang sudah ada sebelumnya. Misalnya,
dibentuk jabatan Direktur Antikorupsi dan Badan Usaha di bawah Deputi Bidang Pencegahan
dan Monitoring28 dan jabatan Direktur Manajemen Informasi serta jabatan Direktur Deteksi dan
Analisis Korupsi di bawah Deputi Bidang Informasi dan Data.29

22
Siaran Pers KPK, “KPK Tata Ulang Struktur Organisasi,”
https://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/1939-kpk-tata-ulang-struktur-organisasi, diakses 7 November 2021.
23
Ibid.
24
Indonesia, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia tentang Organisasi dan Tata
Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi, Perkom No. 7 Tahun 2020, Pasal 3 huruf c.
25
Ibid., Pasal 6.
26
Ibid., huruf b.
27
Ibid., huruf e.
28
Ibid., huruf c angka (4).
29
Ibid., huruf f angka (2) dan (4).
Perubahan yang terjadi tidak hanya meliputi 19 (sembilan belas) jabatan baru, tetapi juga
mengurangi 3 (tiga) jabatan dari struktur organisasi sebelumnya. Beberapa jabatan yang
ditiadakan ini adalah Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat beserta
Direktur Pengawas Internal di bawahnya dan Unit Kerja Pusat Edukasi Anti
Korupsi/Anti-Corruption Learning Center (ACLC). Sedangkan, Direktur Pengaduan Masyarakat
yang pada mulanya berada di bawah Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan
Masyarakat pada Perkom No. 3 Tahun 2018 dipindahkan ke bawah Deputi Bidang Informasi dan
Data pada Perkom No. 7 Tahun 2020.30 Peniadaan Deputi Bidang Pengawasan Internal dan
Pengaduan Masyarakat inilah yang akhirnya berdampak pada kelahiran Dewan Pengawas KPK.
Dewan Pengawas KPK di dalam Pasal 5 ayat (1) disebut-sebut sebagai pengganti pengawas
pelaksanaan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh KPK.31
Dewan Pengawas KPK memiliki lima orang yang menduduki jabatan di dalamnya, yakni
seorang ketua yang juga merangkap anggota beserta dengan empat orang anggota lainnya.32
Seluruh anggota, baik ketua maupun anggota lainnya diangkat dan ditetapkan oleh Presiden.33
Nantinya, Presiden akan membentuk panitia seleksi dalam proses pengangkatan ketua dan
anggota Dewan Pengawas KPK ini.34 Panitia Seleksi yang dibentuk oleh Presiden akan
berjumlah sebanyak sembilan orang dan terbagi atas unsur pemerintaeh pusat dan masyarakat.
Seluruh tahapan seleksi dilaksanakan oleh Panitia Seleksi, dimulai dari tahapan awal, yakni
mengumumkan penerimaan calon Dewan Pengawas KPK, sampai kepada penentuan calon
anggota Dewan Pengawas KPK yang dikategorikan sebagai calon anggota yang memenuhi
syarat untuk dipilih oleh Presiden. Ketika Presiden telah memperoleh nama siapa saja calon
anggota yang sudah dikategorikan sebagai calon anggota yang memenuhi syarat yang ditetapkan
oleh Panitia Seleksi, Presiden nantinya akan berkonsultasi dengan DPR terkait nama-nama
tersebut. Dalam jangka empat belas hari, nama anggota Dewan Pengawas KPK sudah harus
berada di tangan Presiden.35
Selain Dewan Pengawas KPK yang memiliki kewenangan pengawasan, tiap deputi lain
juga memiliki kewenangan serta fungsinya masing-masing dalam rangka kerja pencegahan
tindak korupsi, contohnya Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat. Deputi bidang
ini mempunyai peranan menyusun strategi pencegahan tindak korupsi serta pemberdayaan
masyarakat sebagai upaya tindakan pencegah tindak korupsi.36 Dibawah deputi ini ada beberapa
direktorat yang bekerja secara berkoordinasi serta terpadu. Diantaranya ada Direktorat Jejaring
Pendidikan, Direktorat Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi, Direktorat Pembinaan Peran
Serta Masyarakat, Direktorat Pendidikan dan Pelatihan Antikorupsi, dan Sekretariat Deputi
Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat. Deputi ini berperan sangat penting dimana
mengedukasi masyarakat secara luas mengenai korupsi dan segala hal tentangnya.

30
Ibid., angka (1).
31
Ibid., Pasal 5 ayat (1).
32
Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Tata Cara Pengangkatan Ketua dan
Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PP No. 4 Tahun 2020, Pasal 2.
33
Ibid., ayat (1).
34
Ibid., ayat (2).
35
Muhammad Yasin, “Sudah Terbit, PP tentang Dewan Pengawas KPK,” Hukumonline.com,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e3823b69a5d8/sudah-terbit--pp-tentang-dewan-pengawas-kpk/,
diakses 7 November 2021
36
Indonesia, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia tentang Organisasi dan Tata
Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi, Perkom No. 7 Tahun 2020, Pasal 37 ayat (2)
Kemudian ada Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring. Deputi ini memiliki tugas
serta mengawasi untuk segala macam tindak korupsi yang terjadi.37 Dalam menjalankan
tugasnya, Deputi ini memiliki beberapa direktorat di bawahnya seperti Direktorat PP LHKPN,
Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik, Direktorat Monitoring, Direktorat Antikorupsi
Badan Usaha, dan Sekretariat Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring. Deputi ini bekerja
sama dengan Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat memiliki peran paling
penting yakni sebagai upaya pertama sebelum terjadinya tindakan korupsi itu sendiri (preventif).
Ada pula Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi. Deputi ini memiliki tugas untuk
menjadi eksekutor ataupun investigator pada adanya penyelidikan tindak pidana korupsi yang
diduga telah terjadi.38 Bidang ini membawahi beberapa direktorat yakni Direktorat Penyelidikan,
Direktorat Penyidikan, Direktorat Penuntutan, Direktorat pelacakan aset, Pengelolaan Barang
Bukti dan Eksekusi, dan Sekretariat Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi. Deputi ini secara
langsung menjadi suatu deputi yang berperan vital pada proses eksekusi mulai dari sekedar
laporan berupa dugaan hingga seorang koruptor terbukti bersalah.
Selanjutnya ada Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi yang memiliki tugas dan fungsi
sebagai koordinator pada penyelenggaraan tindakan investigasi maupun eksekusi dari tindak
pidana korupsi dengan institusi penegak hukum lainnya seperti kepolisian.39 Deputi ini
membawahi beberapa direktorat. Diantaranya adalah Direktorat Koordinasi dan Supervisi
Wilayah I, Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah II, Direktorat Koordinasi dan Supervisi
Wilayah III, Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah IV, Koordinasi dan Direktorat
Supervisi Wilayah V, dan Sekretariat Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi. Tiap Direktorat
saling berkoordinasi pada wilayah yang dinaunginya dalam permasalahan supervisi. Bidang ini
juga menjadi supervisor pada tiap kasus yang sedang bergulir.
Terakhir adalah Deputi Bidang Informasi dan Data. Deputi ini memiliki peran penting
pada pembaharuan informasi serta digitalisasi dari data pada KPK sebagai rangka modernisasi
serta membuka akses yang lebih terbuka pada masyarakat. Bidang ini juga mengelola jaringan
korupsi di tingkat internasional bukan hanya nasional.40 Deputi ini membawahi beberapa
direktorat yakni Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat, Direktorat
Manajemen Informasi, Direktorat PJKAKI, Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi, dan
Sekretariat Deputi Bidang Informasi dan Data. Semua direktorat tersebut bekerja secara
berkoordinasi antara satu dengan yang lainnya.
Tiap Deputi yang ada ini bekerja secara berkoordinasi tiap deputinya dalam rangka
menciptakan suatu efektivitas pada pelaksanaan pemberantasan korupsi. Tentunya pembagian
lebih banyak adanya berbagai Deputi ini bertujuan membuat KPK menjadi lembaga yang lebih
besar serta dapat bekerja secara lebih efisien pada proses pemberantas korupsi di Indonesia yang
dimotori utama oleh lembaga KPK.
Kemudian, seluruh deputi tersebut memiliki pimpinan yakni seorang Deputi yang
pengangkatannya dilakukan langsung oleh Presiden RI dengan pencalonan oleh Pimpinan KPK
secara langsung. Untuk pengangkatan Sekretaris dan Kepala Direktorat dibawahnya dilakukan
oleh Sekretaris Jenderal dengan persetujuan Pimpinan KPK. Dewan Pengawas sendiri akan
berfungsi sebagai suatu pengawas kode etik, Dewas ini akan berkoordinasi dengan pengawasan

37
Ibid, Pasal 45 ayat (2)
38
Ibid, Pasal 53 ayat (2)
39
Ibid, Pasal 61 ayat (2)
40
Ibid, Pasal 68 ayat (2)
internal mengenai segala dugaan kode etik baik dari laporan masyarakat atau dari internal KPK.41
Adanya lebih banyak Deputi dan suatu Dewas (Dewan Pengawas) dibandingkan pada struktur
lembaga KPK sebelumnya menimbulkan reaksi yang beragam.

2.3 Pro - Kontra Struktur Baru KPK dan Kaitannya dengan Kewenangan Presiden
Reaksi yang timbul dari berbagai macam instansi hingga masyarakat tentunya bukan
tanpa alasan. Pasalnya, penambahan jumlah di dalam struktur KPK yang kini disebut “gemuk”42
oleh banyak media ini memperkeruh suasana isu-isu yang tengah didera lembaga antirasuah
tersebut, sebut saja isu soal Tes Wawasan Kebangsaan (“TWK”) atau bagaimana KPK
memperlakukan tersangka mereka.43 Setidaknya, hal ini dikonfirmasi oleh Bivitri Susanti,
seorang Dosen Hukum Sekolah Tinggi Hukum Jentera, yang menyatakan bahwa KPK yang
sekarang adalah KPK yang berbeda. Bivitri mudah meyakini bahwa KPK tengah mengalami
permasalahan struktural, dimana hal tersebut dikarenakan banyaknya problematika yang dialami
oleh KPK akhir-akhir ini.44 Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagai lembaga yang
memperhatikan gerak-gerik KPK juga mengkritik pelantikan 37 pejabat baru di badan KPK.
Mereka fokus pada mempermasalahlan sisi profil serta track record pejabat, hingga sisi legalitas
daripada penggemukan struktur. Pasalnya, pengisian jabatan Deputi Bidang Pendidikan dan
Peran Serta Masyarakat, Inspektorat, Staf Khusus yang dibuat di dalam Peraturan KOmisi No, 7
Tahun 2020 saja sudah tidak sejalan dengan UU KPK.45
Bagi pihak KPK, Gemuk dan berlemaknya struktur KPK yang dilontarkan oleh ICW
dianggap kurang tepat untuk menafsirkan fenomena pelantikan banyak posisi baru di dalam
struktur lembaga antirasuah tersebut. Menurut Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, fenomena ini perlu
diamati secara bijak dan melihat fakta yang ada. Ali mengekui bajwa penambahan jabatan harus
juga memperhitungkan jumlah jabatan yang dihapus, hingga adanya penggantian
nama/nomenklatur jabatan.46 Ada pula pengakuan dimana penambahan jabatan juga tidak
seharusnya dipermasalahkan karena hanya terdapat 7 jabatan yang baru.47 Wakil Ketua KPK,

41
Budiarti Utami Putri, “Ini Beda Dewan Pengawas KPK dengan Pengawas Internal,”
https://nasional.tempo.co/read/1300386/ini-beda-dewan-pengawas-kpk-dengan-pengawas-internal/full&view=ok,
diakses 7 November 2021
42
Aditya Budiman, Perubahan Struktur Organisasi Buat KPK Gemuk,
https://nasional.tempo.co/read/1407053/perubahan-struktur-organisasi-buat-kpk-gemuk/full&view=ok, diakses pada
8 November 2021.
43
Zakki Amali, Pro-Kontra Gaya Baru KPK: Bikin Efek Jera atau Poles Kinerja?,
,https://tirto.id/pro-kontra-gaya-baru-kpk-bikin-efek-jera-atau-poles-kinerja-ffkG, diakses pada 8 November 2021.
44
Aditya Budiman, Dosen Hukum Jentera Nilai Ada Masalah Struktural di KPK,
https://nasional.tempo.co/read/1506278/dosen-hukum-jentera-nilai-ada-masalah-struktural-di-kpk, diakses pada 8
November 2021.
45
Eko Ari Wibowo, ICW Sebut Struktur Baru KPK Semakin Kikis Independensi Kelembagaan,
https://nasional.tempo.co/read/1420391/icw-sebut-struktur-baru-kpk-semakin-kikis-independensi-kelembagaan/full
&view=ok, diakses pada 8 November 2021.
46
Amirullah, KPK Anggap Kritik ICW Soal Struktur Baru Keliru,
https://nasional.tempo.co/read/1420939/kpk-anggap-kritik-icw-soal-struktur-baru-keliru, diakses pada 8 November
2021.
47
Eko Ari Wibowo, Struktur Baru KPK, Jubir: Tidak Gemuk karena Hanya Tambah 7 Jabatan Baru,
https://nasional.tempo.co/read/1407905/struktur-baru-kpk-jubir-tidak-gemuk-karena-hanya-tambah-7-jabatan-baru,
diakses pada 8 November 2021.
Alexander Marwata, juga menjabarkan bahwa penataan struktur di dalam tubuh KPK merupakan
bentuk dari rencana strategis pimpinan KPK periode 2020 hingga 2024.48 Wakil Ketua yang lain,
Nurul Ghufron menyatakan bahwa adanya penambahan struktur merupakan bentuk “penguatan”
KPK dalam melancarkan operasi-operasinya yang dimana pendekatan pemberantasannya sudah
bukan secara personal, namun haurs ditindak secara sistemik seperti pencegahan,
pendidikan,sosialisasi, sampai kampanye apabila diperlukan.49
KPK diyakini telah mengalami disfungsi yang berarti sejak adanya Revisi
Undang-Undang KPK pada tahun 2019 silam.50 Hal ini masih belum ditambah lagi dengan
adanya indikasi pelemahan KPK di dalam RKUHP yang masih diwacanakan. Hal tersebut
menyebabkan adanya inkonsistensi baik dalam regulasi maupun praktik pelaksanaan
kelembagaan di dalam tubuh KPK.51 KPK yang menjadi simbol reformasi kini seakan disetir
oleh rumpun kekuasaan dan dikebiri independensinya.52 Fakta ini dapat dibuktikan di dalam
Pasal 7 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2019 dimana disini KPK dengan jelas bertanggung jawab
kepada Presiden. KPK kini berada di dalam lingkaran eksekutif, khususnya telah tunduk
terhadap kekuasaan Presiden. Lantas, struktur di dalam KPK setidaknya penuh dengan intrik
politik yang rentan terhadap praktik Korupsi, Kolusi, hingga Nepotisme. Belum lagi, hal tersebut
diperkeruh dengan fakta bahwa tren pejabat KPK kini banyak diduduki oleh banyak pejabat
Kepolisian Republik Indonesia sejak Firli Bahuri dipercaya sebagai Ketua KPK.
Namun, pihak istana secara menarik membantah tudingan-tudingan intervensi pemerintah
di dalam tubuh KPK.53 Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman menegaskan bahwa KPK
merupakan lembaga independen, jadi tidaklah tepat untuk menanyakan kejelasan kepada
Presiden terkait dengan fenomena-fenomena yang terjadi di KPK. Menurut Moeldoko, Kepala
Staf Kepresidenan, Urusan KPK bukanlah di tangan Presiden, melainkan harus dibantu oleh
orang-orang dibawahnya.

2.4 Lembaga Pemberantasan Korupsi Negara Lain


Untuk dapat memahami implikasi dari perubahan struktural dan kewenangan dalam
KPK, ada baiknya untuk melihat contoh dari lembaga anti korupsi negara asing. Dengan adanya
perbandingan ini, dapat dibentuk pemahaman tingkat efektifitas dan independensi dari KPK itu
sendiri dan juga terbentuk suatu spekulasi atas dasar fakta berdasarkan lembaga yang sudah
48
Syailendra Perada, Struktur Organisasi KPK Berubah, Wakil Ketua: Rencana Strategis Pimpinan KPK,
https://nasional.tempo.co/read/1406963/struktur-organisasi-kpk-berubah-wakil-ketua-rencana-strategis-pimpinan-kp
k/full&view=ok, diakses pada 8 November 2021.
49
Eko Ari Wibowo, Struktur KPK Berubah Tambah Gemuk, Nurul Ghufron: Korupsi Kini Makin
Sistemik,
https://nasional.tempo.co/read/1406589/struktur-kpk-berubah-tambah-gemuk-nurul-ghufron-korupsi-kini-makin-sist
emik/full&view=ok, diakses pada 8 November 2021.
50
Ibid, Zakki Amali, Pro-Kontra Gaya Baru KPK: Bikin Efek Jera atau Poles Kinerja?
51
Ibid,
52
Indonesia, Undang Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 19 Tahun 2019, LN No. 197, TLN No. 6409, Ps. 7.
53
Lizsa Legeham, Istana Tegaskan Nasib Pegawai Tak Lulus TWK Jadi Kewenangan KPK,
https://www.merdeka.com/peristiwa/istana-tegaskan-nasib-pegawai-tak-lulus-twk-jadi-kewenangan-kpk.html,
diakses pada 8 November 2021.
berjalan sebelumnya. Pada karya tulis ini, dua contoh yang akan diangkat adalah lembaga anti
korupsi dari Korea Selatan dan Brazil. Kedua negara ini dipilih dikarenakan beberapa hal, untuk
Korea Selatan, banyak dari institusi pemerintahan di Indonesia seperti pemisahan antara
mahkamah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang mengikuti model pemisahan yang
sama, sedangkan Brazil memiliki sebaran populasi dan sejarah yang mirip dengan Indonesia
serta tingkatan korupsi yang sama.

2.4.1 Brazil
Sebelum reformasi yang dicetuskan pada tahun 2016, Brazil mengadopsi suatu
sistem multi-agensi dalam menangani penanggulangan korupsi.54 Setelah berakhirnya
tiga dekade kediktatoran militer ada dorongan besar dalam pemberantasan korupsi di
segala sektor kehidupan di Brazil. Hal ini mengikuti pengadopsian konstitusi federal
Brazil yang dimana antara lain mempromosikan demokrasi serta perlindungan HAM dan
hak sipil.
Beberapa institusi kunci dalam lembaga anti-korupsi Brazil adalah berikut: Public
Prosecutor Office (MPF), Federal Police Department (DPF), National Courts of
Accounts (TCU) dan Office of the Comptroller General (CGU). Dimana dari semua ini
MPF memiliki otonomi dan kebebasan serta kewenangan terbesar dalam mandatnya.55
Selain itu MPF juga memiliki anggaran sendiri dan dianggap serta dilihat sebagai
lembaga kunci dan tertinggi dalam penanggulangan korupsi.
DPF, sebagai lembaga anti-korupsi dan kepolisian memiliki tujuan umum yang
beragam. DPF lebih mengutamakan penangan kasus korupsi yang berkaitan dengan
sektor publik. Hal ini seperti penyeludupan, narkotika, terorisme dan aksi pidana
melawan alam.
TCU adalah lembaga pengawas legislatif Brazil yang berkewenangan dan
bertugas mengaudit keuangan negara dan pemerintah. Hal ini tentu terkait anggaran dan
juga penggunaannya serta alokasi aset pemerintah dan pengeluaran. TCU berperan
sebagai suatu kontroler eksternal dalam mekanisme federal Brazil dimana mereka
membawahi lembaga-lembaga regional. Dalam praktek nya TCU berperan sebagai
auditor dan pengawas tertinggi dalam penanggulangan korupsi secara federal di Brazil.
The Office of the Comptroller General (CGU) mungkin adalah yang paling unik
dalam sistem kelembagaan anti-korupsi di Brazil.56 Dibentuk oleh presiden Lula pada
tahun 2003 dan dibantu oleh kesekretariatan Prevention of Corruption and Strategic
Information, lembaga ini berkewenangan dan bertugas dalam kontrol internal khususnya
pada dewan kehormatan dan transparansi serta penanggulangan korupsi secara federal.
CGU telah monumental dalam mengawas serta mereformasi berbagai reformasi hukum
dan regulasi yang dikaitkan dengan praktik korupsi dalamnya.57
Salah satu dari bagian CGU dan kesekretariatan Internal Control adalah The
Special Operations Divisions. Sebuah lembaga rahasia yang berkewenangan mengawasi

54
P Pilay, Anti-Corruption Agencies In South Africa And Brazil, ebook, 9th ed. (repr., Stellenbosch
University, 2017), https://core.ac.uk/download/pdf/287818331.pdf.
55
De Figueiredo, F.O. 2015. ‘Suit Up to Go to Jail: How the Multi-institutional Approach against
Corruption Can Work in Brazil’ in King’s College Political Science Dialogue magazine. Issue 11, Spring 2015.
Available on https://issuu.com/kcldialogue/docs/issue_11_online/1
56
P Pilay, Anti-Corruption Agencies In South Africa And Brazil, ebook, 9th ed. (repr., Stellenbosch
University, 2017), https://core.ac.uk/download/pdf/287818331.pdf.
57
Ibid
dan menginvestigasi kasus korupsi yang ada pada kepolisian dan kejaksaan. Bertugas
dalam pengumpulan informasi secara rahasia mengenai malpraktek dan korupsi dalam
pemerintahan dan memberi bantuan pada lembaga anti-korupsi lainya. Mengikuti
Provisional Measure 726/2016 pada 12 Mei tahun 2016, CGU dan fungsi serta divisi di
bawahnya telah dilebur ke dalam Kementerian Transparansi, Supervisi dan Kontrol
Brazil.58
Keputusan ini terdorong fakta bahwa meski dengan berbagai pencapaian dari
CGU dan lembaga anti-korupsi dibawahnya, kasus korupsi, skandal politik hingga
penyalahgunaan kewenangan malah bertambah.59 Salah satu dari kasus terbesar ialah
Operation Car Wash dimana berujung pada pemakzulan mantan-presiden Brazil
Rousseff. Sekitar 130 pejabat dan petinggi negara Brazil terjerat kasus korupsi dalam
investigasi tersebut.
Meskipun adanya kesuksesan dalam aksi pemberantasan korupsi di Brazil
menggunakan model seperti yang tertera diatas, masih terdapat kritik serius pada
keefektifan dan praktek dari sistem tersebut. Kritik menyatakan bahwa ada celah besar
diantara penyelidikan dan penjatuhan hukuman pada kasus korupsi.60 Terdapat bahwa
kasus korupsi di Brazil secara efektif dapat selidiki akan tetapi penjatuhan hukuman
ternilai kurang memberikan efek jera sehingga memberikan kesempatan dan ruang bagi
korupsi untuk menyebar. Kritik juga menyatakan bahwa adanya korupsi yang terjadi di
dalam berbagai lembaga anti-korupsi itu sendiri, sehingga penyuapan sering terjadi di
dalam investigasi kasus.
Faktanya, kasus seperti Operation Car Wash dapat terjadi dikarenakan adanya
kekurangan integrasi informasi dan kooperasi di antara lembaga anti-korupsi. Secara
struktural, kurangnya lembaga pengawas atas lembaga-lembaga pengawas itu sendiri juga
berkontribusi pada korupsi secara internal. Maka pengumpulan informasi, kerahasiaan
investigasi dan operasional terganggu.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa model multi-agensi Brazil yang di bantu
oleh lembaga khusus anti-korupsi di pemerintahan bisa secara efektif menyelidiki kasus
korupsi. Adanya spesialisasi di setiap lembaga memudahkan pemfokusan sumber daya
dalam penyelidikan dan adanya dukungan dari lembaga eksekutif memudahkan upaya
penanggulangan korupsi itu sendiri. Akan tetapi model seperti ini justru masih kurang
dalam upaya nya memberantas korupsi. Adanya fragmentasi kewenangan serta campur
tangan politik mempersulit penuntutan serta kebebasan bergerak dalam mengawasi
korupsi. Terdapat juga dimana lembaga anti-korupsi itu sendiri yang justru menyebarkan
korupsi di dalam pemerintahan.
Dalam sistem barunya Brazil, banyak dari fungsi dan kewenangan dari beberapa
lembaga di atas yang dihibahkan pada Kementerian Transparansi, Supervisi dan Kontrol.
Hal ini dikarenakan adanya harapan sentralisasi kewenangan dapat mempermudah
investigasi dan pengumpulan informasi dalam upaya penanggulangan korupsi. Hanya
dengan waktu dapat dilihat apakah reformasi kali ini dapat efektif dalam penanggulangan
korupsi.
58
"MEDIDA PROVISÓRIA Nº 726, DE 12 DE MAIO DE 2016" . Presidência da República Casa Civil
Subchefia para Assuntos Jurídicos. May 12, 2016.
59
De Voss, P. 2016. Who’s watching the Hawks? Daily Maverick, 1 September. Available at: https://www.
dailymaverick.co.za/opinionista/2016-09-01-whos-watching-the-hawks/#.WY_5ZDMjHIU.
60
P Pilay, Anti-Corruption Agencies In South Africa And Brazil, ebook, 9th ed. (repr., Stellenbosch
University, 2017), https://core.ac.uk/download/pdf/287818331.pdf.
2.4.2 Korea Selatan
Kasus korupsi yang terungkap pada Oktober 2016, yang melibatkan presiden
Korea Selatan saat itu Park Geun-hye, merupakan skandal korupsi terbesar dan terburuk
sepanjang sejarah Korea Selatan. Kasus ini mengguncangkan keadaan masyarakat Korea
Selatan sampai mayoritas rakyat menuntut pemakzulan presiden.61 Meskipun korupsi
sejatinya masih terjadi di Korea Selatan, skandal presiden Park ini mencolok karena
berbeda dari skandal korupsi lainnya dalam dua aspek utama, yakni ruang lingkup
korupsi dan tingkat korupsi. Dari sekian banyak skandal korupsi di Korea Selatan,
skandal tahun 2016 mencolok karena merupakan salah satu kasus yang terbesar diukur
dari jumlah orang yang terlibat didalamnya.
Pemain utama yang terlibat dalam kasus korupsi besar-besaran ini termasuk
Presiden, Staf Khusus Kantor Kepresidenan, menteri, Pejabat Publik, sampaii CEO dari
Chaebol (Konglomerat). Selain itu, skandal ini mengakibatkan presiden wanita pertama
Korea Selatan, Park Geun-hye, dilengserkan dari jabatan presiden, pertama kalinya
terjadi dalam sejarah politik Korea. Kasus korupsi ini merupakan kemunduran besar bagi
Korea Selatan dalam hal reformasi anti-korupsi karena menghancurkan pemikiran bahwa
Korea Selatan sudah bebas dari kasus sedemikian, tetapi juga memberi Korea Selatan
momen penting untuk memikirkan kembali arah kebijakan, program, serta lembaga saat
ini untuk mengelola dan mencegah masalah korupsi kronis yang kerap terjadi.62
Sejarah pemberantasan korupsi di Korea Selatan bermula pada tahun 1961 pada
saat Undang-Undang tentang Perlakuan Akumulasi Kekayaan Ilegal atau Act on the
Treatment of Illegal Accumulation of Wealth disahkan. Undang-undang ini memiliki
ketentuan pidana kepada pejabat publik dan orang yang memiliki kuasa yang
menyalahgunakan posisi dan kekuasaan mereka untuk mengumpulkan kekayaan pribadi
secara illegal. Selanjutnya, pada tahun 1963, dibentuklah Badan Audit dan Inspeksi yang
bertugas untuk memeriksa keuangan negara tetapi juga pegawai pemerintah. Selanjutnya,
Pada tahun 1980 dibentuk Dewan Pemurnian Sosial (DPS) atau Social Purification
Council yang bertugas untuk mengawasi kedisiplinan Pejabat Publik. Tindak lanjut dari
pendirian DPS ini adalah pemberlakuan Undang-Undang Etika Pelayanan Publik pada
tahun 1981, yang mana didalamnya termuat ketentuan bagi pejabat publik untuk
melaporkan kekayaan yang dimilikinya.
Selanjutnya, pada tahun 1990, pemerintahan meluncurkan program baru bernama
Orde Baru dan Gerakan Hidup Baru atau New Order and New Life Movement sebagai
sarana untuk menerapkan reformasi anti korupsi. Pada tahun 1993, Pemerintah
mengamandemen Undang-Undang Etika Pelayanan Publik untuk memuat ketentuan
pengumuman aset terdaftar pejabat publik kepada masyarakat luas, dan pada tahun yang
sama pemerintah mengeluarkan Keputusan Darurat Presiden No. 16 tentang Sistem
Keuangan Nama Asli yang bertujuan untuk memberantas ekonomi bawah tanah yang
menunjang transaksi keuangan ilegal dan korupsi besar-besaran, dengan cara
menggunakan nama samaran dalam bertransaksi. Meskipun upaya yang dilakukan

61
Choe Sang-hun, “South Korean Right Is Frozen, as Impeached Leader’s Loyalists Won’t Let Go,” The New
York Times, February 18, 2017,
https://www.nytimes.com/2017/02/18/world/asia/south-korea-impeached-leader-park-geun-hye.html.
62
Jin-Wook Choi, “Corruption Control and Prevention in the Korean Government,” Asian Education and
Development Studies 7, no. 3 (July 9, 2018): 303–14, https://doi.org/10.1108/aeds-11-2017-0111.
pemerintah Korea Selatan terlihat konkret dalam kertas, kenyataannya adalah tindakan
pemberantasan korupsi di Korea Selatan masih bersifat sporadis dan hanya retorik sampai
pada tahun 2001.63
Sampai pada tahun 2001, kebijakan dan ketentuan hukum mengenai
pemberantasan korupsi tetap melimpahkan seluruh kewenangan penyidikan dan
pemeriksaan pada kejaksaan dan pihak kepolisian, hal ini berubah oleh karena
disahkannya Undang-Undang Anti-Korupsi atau Anti Corruption Act, dan oleh karena
Undang-undang tersebut, dibentuknya Komisi Independen Korea Melawan Korupsi atau
Korean Independent Commission for Anti-Corruption, dengan dibentuknya Komisi
Independen ini, landasan kelembagaan sistematis untuk khusus melawan korupsi
terpenuhi.
Sebelum adanya UU Anti Korupsi dan Komisi Independen, undang-undang yang
tadi disebutkan diatas termasuk yang khusus membahas mengenai korupsi dilimpahkan
kepada Kejaksaan untuk pelaksanaannya. Permasalahan yang muncul adalah karena
Lembaga kejaksaan ini sendiri tidak didedikasikan semata-mata untuk masalah korupsi,
sehingga dianggap tidak efektif. Sejak adanya UU Anti Korupsi dan Komisi Independen,
sudah ada landasan kelembagaan dan badan yang khusus menangani mengenai Korupsi
di Korea Selatan, dan karena fungsi pencegahan korupsi sebagaimana diatur dalam UU
Anti Korupsi berpusat pada Komisi Independen, Keberadaan dan kinerja Komisi
Independen dianggap sebagai pencapaian besar dalam pengendalian korupsi.
Sekarang, Komisi Independen ini dilebur dengan Komisi Banding Administratif
dan Ombudsman Korea, membentuk Komisi Anti Korupsi dan Hak Sipil atau
Anti-Corruption and Civil Rights Commission (ACRC). Peleburan ini memunculkan
kekhawatiran baru, bahwa penggabungan tiga organisasi yang berbeda mendasar secara
fungsional dapat melemahkan peran Komisi Independen sebagai lembaga antikorupsi
yang berdedikasi, kebijakan antikorupsi utama masih dijalankan oleh ACRC. Tidak
seperti lembaga antikorupsi pada umumnya, yang biasanya menjalankan tiga fungsi yakni
represi korupsi, pencegahan korupsi, dan pendidikan dan kampanye publik, ACRC tidak
memiliki fungsi represi yakni untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan, hal ini
melemahkan kapasitas dan efektivitas dari pemberantasan korupsi dari badan tersebut.
Sebaliknya, ACRC bertanggung jawab atas pembuatan kebijakan anti-korupsi dan
kegiatan pencegahan. 64
Sejak Januari 2021, terdapat Lembaga baru yang menjalankan tugas ACRC, yakni
Kantor Investigasi Korupsi Pejabat Tinggi atau Corruption Investigation Office for
High-ranking Officials (CIO). CIO sendiri merupakan Lembaga independen pemerintah
Korea Selatan yang bertanggung jawab untuk menuntut kejahatan dan menyelidiki
tuduhan yang melibatkan pejabat tinggi atau anggota keluarga langsung dari pejabat
tinggi tersebut; yang mana Undang-undang yang menjadi landasannya, yakni UU
Pembentukan Kantor Penyidikan Korupsi Pejabat Tinggi atau Act ons the Establishment
and Operation of the Corruption Investigation Office for High-Ranking Officials,

63
Choi, J.W., “Institutional structures and effectiveness of anticorruption agencies: a comparative
analysis of South Korea and Hong Kong”, Asian Journal of Political Science, Vol. 17 No. 2, 2009.
64
Jin-Wook Choi, “Corruption Control and Prevention in the Korean Government,” Asian Education and
Development Studies 7, no. 3 (July 9, 2018): 303–14, https://doi.org/10.1108/aeds-11-2017-0111.
menetapkan pejabat tinggi sebagai pejabat setingkat eselon tinggi pemerintah, anggota
parlemen, jaksa, hakim, dan Presiden.65
Kepala CIO ini sendiri ditunjuk oleh Presiden di antara dua kandidat yang
direkomendasikan oleh komite nominasi, yang terdiri dari Menteri Kehakiman, Menteri
Administrasi Pengadilan, Ketua Asosiasi Pengacara Korea dan empat anggota lainnya,
yang mana dari empat anggota dua direkomendasikan oleh partai yang pemerintahan dan
dua lainnya oleh partai oposisi. Permasalahan percampuran politis ini muncul pada proses
pengusungan kandidat calon oleh Komite Nominasi. Sesuai UU yang diamandemen,
Komite ini harus mengajukan dua calon dengan satu calon setidaknya disetujui oleh 5
dari 7 anggota komite nominasi, namun, sebelum diamandemen UU CIO menyebutkan
bahwa setidaknya 6 dari 7 anggota komite nominasi harus menyetujui satu calon untuk
dinominasikan menjadi salah satu dari dua calon. Dengan diadakannya sistem
sedemikian, diharapkan bahwa akan terjadi pengimbangan dari oposisi dalam pemilihan
kepala CIO ini karena secara praktis akan memberikan “hak veto” pada oposisi. Namun,
kenyataan yang terjadi adalah mengalami jalan buntu karena oposisi tidak setuju dengan
nama-nama yang diajukan, alih-alih memulai ulang pencarian Kepala CIO yang netral
dan dapat diterima semua pihak, pihak pemerintah malah mengajukan amandemen pada
UU CIO dengan menurunkan jumlah suara untuk setuju dari 6 menjadi 5 dan dengan
demikian menghilangkan hak veto oposisi dan keperluan untuk mendapatkan persetujuan
dari oposisi dalam pemilihan Ketua CIO berikutnya.66
Dapat dilihat bahwa sistem prosedural pemberantasan korupsi di Korea Selatan
banyak mengalami pasang surut dan perubahan sepanjang sejarah Korea Selatan berdiri.
Namun, suatu hal yang mencolok dari keadaan Korea Selatan adalah fakta bahwa seluruh
aparatus pemberantasan korupsi, sebelum adanya CIO sekalipun setelah pemberlakuan
UU Anti Korupsi, adalah ranah dari Kejaksaan Agung Republik Korea, yang sendirinya
merupakan bagian dari Kementerian Kehakiman Republik Korea. CIO pun dibentuk dan
“dibebaskan” dari kementerian kehakiman dan kejaksaan agung, namun proses pemilihan
Ketua CIO tetap merupakan suatu proses politis yang tidak netral, yang dilihat dari
pemberian kursi kepada partai oposisi dalam komite nominasi, namun dalam pemutusan
akhirnya oposisi tidak berdaya dalam memberikan rekomendasi, sehingga dapat dilihat
sebagai suatu komite “rubber stamp” atas kemauan pemerintah saat itu. Keadaan ini
membuat proses pemberantasan korupsi sangat mudah untuk dicampur tangani oleh
kepentingan politik dari pemerintah dan partai penguasa, dapat dilihat dari kejadian
dileburnya Komite Independen menjadi ACRC dan pembentukan CIO, dua Lembaga
yang sebenarnya memiliki kerja yang saling beririsan. Sehingga, kendati mengalami
kemajuan dalam hal struktural, sejatinya pemberantasan korupsi di Korea Selatan masih
sangat erat terhubung dengan situasi politis dari negaranya sendiri, sehingga untuk
mewujudkan keadaan ideal dalam hal pemberantasan korupsi, seharusnya pemilihan
ketua dibebaskan dari proses politis, dan diberikan kewenangan lebih untuk tidak hanya
memeriksa dan menuntut pejabat tinggi atau High-Ranking Officials, namun semua
pejabat publik, bahkan mereka yang menerima pendanaan dari sektor publik.

65
Shin & Kim, “South Korea Set to Launch Corruption Investigation Office for High-Ranking Officials &
Its Implications,” www.shinkim.com, June 2, 2020, https://www.shinkim.com/eng/media/newsletter/1251.
66
Tak-Kyun Hong, “South Korea Set to Launch Corruption Investigation Office for High-Ranking Officials
& Its... | Article | Chambers and Partners,” chambers.com, July 29, 2020, https://chambers.com/articles/south-korea
-set-to-launch-corruption-investigation-office-for-high-ranking-officials-its.
Mengingat bagaimana korupsi telah menghambat kemajuan demokrasi dan bagaimana
hal itu berdampak negatif pada kepercayaan publik terhadap politik dan administrasi publik
dimanapun, maka mendesak bagi pemerintah untuk mengubah kondisi masalah korupsi saat ini,
baik di Brazil, Korea Selatan, maupun Indonesia. Faktanya, pengendalian dan pencegahan
korupsi yang efektif bukanlah tugas yang mudah ataupun sederhana. Dapat dilihat bahwa
beberapa tindakan sporadis dan terspesialisasi untuk melawan korupsi tidak dapat menyelesaikan
masalah korupsi dalam jangka panjang, sehingga membutuhkan kerangka hukum yang jelas,
luas, dan system checks and balances. Selain kerangka hukum tersebut, diperlukan juga strategi
reformasi yang komprehensif untuk membongkar lingkungan dan keadaan yang memungkinkan
korupsi yang mengakar. Jika pengendalian dan pencegahan korupsi yang efektif dapat dicapai
dengan melembagakan lembaga antikorupsi, penegakan hukum tanpa toleransi yang independen
dan tidak memihak sangat diperlukan. Sehingga, meskipun sudah menuju arah yang benar,
Indonesia, Brazil, dan Korea Selatan masih memiliki jalan yang panjang untuk mewujudkan
pemerintah dan masyarakat yang bebas korupsi.
BAB III
Kesimpulan
Dalam konstitusi kita telah tertuang kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan
masyarakat dengan mengelola keuangan negara sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Dengan itu lembaga anti-korupsi di Indonesia, bernama KPK, memiliki peran yang sangat
penting untuk mewujudkan cita-cita ini. Untuk menjaga peran yang dipegang, prinsip
independensi merupakan salah satu hal yang paling fundamental. Mengingat bahwa kebanyakan
tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang berkerah putih, dibutuhkan sebuah lembaga penegak
hukum untuk menangkap mereka yang telah merampas uang negara. Namun kemudian,
independensi ini mulai dipertanyakan sebab tumbuhnya struktur baru dalam tubuh KPK yang
dinamakan Dewan Pengawas KPK. Selain itu juga terjadi restrukturisasi yang di dalamnya.
Restrukturisasi KPK ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan pelaksanaan
tugas yang lebih efektif, hal ini dilakukan melalui pendekatan preventif dan pendekatan represif.
Pendekatan preventif dilakukan dengan mengadakan sosialisasi pendidikan anti-korupsi, diiringi
dengan berbagai perbaikan dalam sistem juga mengenai kebijakan tentang korupsi. Kemudian
juga pendekatan represif ditujukan untuk mengadakan penindakan bagi orang yang telah
melakukan korupsi agar orang tersebut menjadi jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Selain
mengenai pendekatan yang dilakukan, restrukturisasi pada KPK juga terjadi dalam penambahan
beberapa bidang baru di dalam badan KPK juga turut menghapuskan beberapa badan yang telah
ada sebelumnya.
Dengan ini dapat dipahami bahwa lembaga anti-korupsi merupakan sebuah lembaga yang
sangat penting bagi sebuah negara, tentu hal ini tidak hanya terbatas di Indonesia. Pada
kesempatan kali ini, kami juga telah membahas mengenai lembaga anti-korupsi yang berada di
Brazil dan Korea Selatan. Sedikit berbeda dari di Indonesia, Brazil menerapkan sebuah model
multi-agensi yang telah dibuktikan dapat meningkatkan efektivitas dari penyelidikan dan
investigasi kasus korupsi. Namun, kekurangan yang dimiliki ada terdapat kesenjangan yang
terjadi antara investigasi tersebut dengan hukuman yang dijatuhkan. Ditambah juga fakta bahwa
kasus korupsi pada nyatanya kian bertambah. Kemudian beralih ke Korea Selatan, kewenangan
pemberantasan korupsi dapat dibilang merupakan ranah dari Kejaksaan Agung Republik Korea.
Walaupun Korea Selatan memiliki kemajuan dalam struktur lembaga pemberantasan korupsinya,
pada nyatanya aksi pemberantasan korupsi di negara tersebut masih sangat erat dengan situasi
politis di dalamnya.
Daftar Pustaka

Jurnal

Asshiddiqie, Jimly. “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD


1945”. Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII,
Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Asyikin, Nehru dan Adam Setiawan. “Kedudukan KPK dalam Sistem Ketatanegaraan Pasca
Diterbitkannya Revisi Undang-Undang KPK.” Justitia 4 (April 2020). Hlm. 129.

Choi, Jin-Wook. “Corruption Control and Prevention in the Korean Government.” Asian
Education and Development Studies 7, no. 3 (July 9, 2018): 303–14.
https://doi.org/10.1108/aeds-11-2017-0111.

De Figueiredo, F.O. 2015. ‘Suit Up to Go to Jail: How the Multi-institutional Approach against
Corruption Can Work in Brazil’ in King’s College Political Science Dialogue magazine.
Issue 11, Spring 2015. Available on https://issuu.com/kcldialogue/docs/issue_11_online/1

De Voss, P. 2016. Who’s watching the Hawks? Daily Maverick, 1 September. https://www.
dailymaverick.co.za/opinionista/2016-09-01-whos-watching-the-hawks/#.WY_5ZDMjHI
U.

Hadiyono, V. “Indonesia dalam Menjawab Konsep Negara Welfare State dan Tantangannya.”
Jurnal Hukum Politik dan Kekuasaan 1, no. 1 (Agustus 2020). Hlm. 23-33.

Hariyani, Happy Febrina, Dominicus Savio Priyarsono, dan Alla Asmara. “Analisis
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Korupsi di Kawasan Asia Pasifik.” Jurnal Ekonomi
dan Kebijakan Pembangunan 5, no. 2 (Desember 2016). Hlm. 32–44.

Hong, Tak-Kyun. “South Korea Set to Launch Corruption Investigation Office for High-Ranking
Officials” chambers.com, July 29, 2020. https://chambers.com/articles/
south-korea-set-to-launch-corruption-investigation-office-for-high-ranking-officials-its.

Irsyad, Sena Kogam Mnv. “Implikasi Yuridis Dewan Pengawas KPK dalam Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
Dinamika 27 (Juli 2021). Hlm. 3015.

MEDIDA PROVISÓRIA, DE 12 DE MAIO DE 2016 . Presidência da República Casa Civil


Subchefia para Assuntos Jurídicos. May 12, 2016.

Nurtjahjo, Hendra. “Lembaga, Badan, dan Komisi Negara Independen (State Auxiliary
Agencies) di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara.” Jurnal Hukum & Pembangunan
35, no. 3 (Juli 2017). Hlm. 275-287.
P Pilay, Anti-Corruption Agencies In South Africa And Brazil, ebook, 9th ed. (repr., Stellenbosch
University, 2017), https://core.ac.uk/download/pdf/287818331.pdf.

S. W., Kartika, Hari S. D dan Nyoman S. “Independensi Komisi Pemberantasan Korupsi:


Benarkah Ada?” Refleksi Hukum 4 (2020). Hlm. 241.

Yokotani, dan Ndaru Satrio. “Mekanisme Seleksi Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam Perspektif Cita Hukum Pancasila.” PROGRESIF: Jurnal Hukum 13, no. 2
(Desember 2019). Hlm. 115–133.

Yulianto. “Politik Hukum Revisi Undang-Undang KPK yang Melemahkan Pemberantasan


Korupsi.” Cakrawala Hukum 11 (April 2020). Hlm. 113

Undang-Undang

Indonesia. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia tentang Organisasi


dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi, Perkom No. 7 Tahun 2020.

Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Tata Cara Pengangkatan Ketua
dan Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PP No. 4
Tahun 2020.

Indonesia. Undang Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 19 Tahun 2019, LN No. 197, TLN
No. 6409.

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.

Website

Amali, Zakki. “Pro-Kontra Gaya Baru KPK: Bikin Efek Jera atau Poles Kinerja”.
https://tirto.id/pro-kontra-gaya-baru-kpk-bikin-efek-jera-atau-poles-kinerja-ffkG. Diakses
8 November 2021.

Amirullah, “KPK Anggap Kritik ICW Soal Struktur Baru Keliru”.


https://nasional.tempo.co/read/1420939/kpk-anggap-kritik-icw-soal-struktur-baru-keliru,
Diakses 8 November 2021.

Budiman, Aditya. “Perubahan Struktur Organisasi Buat KPK Gemuk” Tempo.co.


https://nasional.tempo.co/read/1407053/perubahan-struktur-organisasi-buat-kpk-gemuk/f
ull&view=ok. Diakses 8 November 2021.

Komisi Pemberantasan Korupsi. “Sejarah Panjang Pemberantasan Korupsi di Indonesia.”


Anti-Corruption Clearing House.
https://acch.kpk.go.id/id/artikel/fokus/144-sejarah-panjang-pemberantasan-korupsi-di-ind
onesia. Diakses 7 November 2021.
Legeham, Lizsa. “Istana Tegaskan Nasib Pegawai Tak Lulus TWK Jadi Kewenangan KPK”.
https://www.merdeka.com/peristiwa/istana-tegaskan-nasib-pegawai-tak-lulus-twk-jadi-ke
wenangan-kpk.html. Diakses 8 November 2021.

Perada, Syailendra. “Struktur Organisasi KPK Berubah, Wakil Ketua: Rencana Strategis
Pimpinan KPK”.
https://nasional.tempo.co/read/1406963/struktur-organisasi-kpk-berubah-wakil-ketua-ren
cana-strategis-pimpinan-kpk/full&view=ok, diakses pada 8 November 2021.

Putri, Budiarti Utami “Ini Beda Dewan Pengawas KPK dengan Pengawas Internal,”
https://nasional.tempo.co/read/1300386/ini-beda-dewan-pengawas-kpk-dengan-pengawas
-internal/full&view=ok .Diakses 7 November 2021.

Sang-hun, Choe. “South Korean Right Is Frozen, as Impeached Leader’s Loyalists Won’t Let
Go.” The New York Times, February 18, 2017.
https://www.nytimes.com/2017/02/18/world/asia/south-korea-impeached-leader-park-geu
n-hye.html.

Setyawan, Feri Agus. “Arsul Sani Ungkap Alasan DPR Usul Revisi UU KPK Jelang Akhir Masa
Jabatan.”
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/05/16351691/arsul-sani-ungkap-alasan-dpr-us
ul-revisi-uu-kpk-jelang-akhir-masa-jabatan?page=all. Diakses 5 November 2021.

Siaran Pers KPK. “KPK Tata Ulang Struktur Organisasi.”


https://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/1939-kpk-tata-ulang-struktur-organisasi.
Diakses 7 November 2021.

Shin & Kim. “South Korea Set to Launch Corruption Investigation Office for High-Ranking
Officials & Its Implications.” Shin & Kim Legal NewsLetter, June 2, 2020.
https://www.shinkim.com/eng/media/newsletter/1251.

Tifada, Detha Arya, dan Yudhistira Mahabarata. “Akar Sejarah Korupsi di Indonesia dan Betapa
Kunonya Mereka yang Hari Ini Masih Korup.” VOI.
https://voi.id/memori/22255/akar-sejarah-korupsi-di-indonesia-dan-betapa-kunonya-mere
ka-yang-hari-ini-masih-korup. Diakses 7 November 2021.

Transparency International. “Corruption Perceptions Index.” Transparency International.


https://www.transparency.org/en/cpi/2020. Diakses 7 November 2021.

Wibowo, Eko Ari. “ICW Sebut Struktur Baru KPK Semakin Kikis Independensi Kelembagaan”.
https://nasional.tempo.co/read/1420391/icw-sebut-struktur-baru-kpk-semakin-kikis-indep
endensi-kelembagaan/full&view=ok, Diakses 8 November 2021.
Yasin, Muhammad. “Sudah Terbit, PP tentang Dewan Pengawas KPK.” Hukumonline.com.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e3823b69a5d8/sudah-terbit--pp-tentang-de
wan-pengawas-kpk/. Diakses 7 November 2021.

Anda mungkin juga menyukai