Anda di halaman 1dari 39

PERAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DALAM SISTEM

AUDIT KEUANGAN NEGARA INDONESIA PERSPEKTIF SIYASAH


MALIYAH

ABSTRAK

Proposal ini bertujuan untuk mengetahui peran Badan Pemeriksa


Keuangan (BPK) dalam sistem audit keuangan negara Indonesia dalam perspektif
Siyasah Maliyah.
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif dengan
metode pendekatan perundang-undangan (statue-approach). Metode ini
merupakan cara penelitian hukum yang menggunakan data sekunder melalui
kepustakaan (library research) sebagai data awalnya, yang dilanjutkan dengan
wawancara langsung kepada Badan atau Lembaga Negara yang bersangkutan
dengan permasalahan yang hendak diteliti.
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) adalah sebuah lembaga negara yang memiliki peran dalam memeriksa
pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah
Pusat, Daerah, dan Lembaga Negara lainnya, seperti Bank Indonesia, Badan
Usaha Milik Negara, dll. Sistem audit (pemeriksaan) keuangan negara dalam
perspektif siysah maliyah sendiri apabila diterapkan pada sistem audit di
Indonesia terdiri dari 3 konsep, yaitu pada Al Musyarif Al Maliyah yaitu untuk
mengawasi kinerja dan seluruh kegiatan pengelolaan keuangan. Sedangkan pada
Wilayatul Hisbah untuk memeriksa dan mengawasi pengelolaan keuangan. Serta
pada Wilayah Mazhalim yaitu pemeriksaan kecurangan yang dilakukan oleh
pejabat negara yang tidak bertanggungjawab.
Kata Kunci : BPK, Audit Keuangan Negara, Siyasah Maliyah
Daftar Pustaka : Dari tahun 1990 sampai 2018

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah swt. berkat nikmat,
anugerah dan ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“PERAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DALAM SISTEM
AUDIT KEUANGAN NEGARA INDONESIA PERSPEKTIF SIYASAH
MALIYAH”.
Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada Nabi Muhammad saw.
yang telah memimpin umat Islam menuju jalan yang diridhai Allah Swt. Dalam
penyelesaian skripsi ini, tak luput peran pihak-pihak yang senantiasa sabar dan
setia membantu, membimbing serta mendoakan. Sehingga dengan rasa hormat,
penulis ingin mengucapakan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H., Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara dan kepada
Ibu Masyrofah S.Ag., M.Si., Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara.
3. Bapak Atep Abduroifq, M.Si., Dosen Pembimbing yang senantiasa
menyediakan waktu untuk memberikan pendapat dan saran sehingga skripsi ini
dapat selesai.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi
peneliti dan umumnya bagi pembaca.

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1

iii
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 7
D. Tinjauan Studi Terdahulu ........................................................................ 8
E. Metode Penelitian....................................................................................
10
F. Sistematika Pembahasan .........................................................................
12

BAB II TEORI PENGAWASAN KEUANGAN


A. Fungsi dan Tujuan Pengawasan Keuangan Negara ................................
13
B. Jenis-Jenis Pengawasan ...........................................................................
16
C. Keuangan Negara ....................................................................................
19
D. Siyasah Maliyah ......................................................................................
21
E. Pemeriksaan Keuangan Negara dalam Siyasah Maliyah ........................
30

iv
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dalam pasal 1


ayat (3) menegaskan, bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara
hukum1 yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Menurut Scoot
Mainwaring, ciri-ciri sistem presidensial adalah posisi presiden sebagai kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan, presiden dan legislatif dipilih oleh rakyat,
lembaga eksekutif bukan bagian dari lembaga legislatif, sehingga tidak dapat
diberhentikan oleh lembaga legislatif terkecuali melalui mekanisme pemakzulan,
dan presiden tidak dapat membubarkan lembaga parlemen.2
Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus
dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan
politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa
Inggris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah “the rule of law, not of
man”. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem,
bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai “wayang” dari skenario
sistem yang mengaturnya.3 Dalam konsep negara hukum F.J Stahl dan A.V Dicey
men-syaratkan beberapa unsur seperti: (a) adanya jaminan terhadap hak asasi
manusia, (b) adanya pembagian kekuasaan, (c) pemerintah haruslah berdasarkan

1 Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa: negara Indonesia adalah negara hukum. Konsep negara
hukum mempunyai prinsip yang bersifat universal sehingga dalam mengukur suatu negara hukum
daat dilihat pada prinsip negara hukum umumnya. Sistem ketatanegaraan Indonesia telah
mengatur dan menempatkan posisi Undang-Undnag Dasar Republik Indonesia 1945 sebagai
hukum dasar tertulis yang tertinggi dan menjadi pedoman bagi semua Peraturan Perundang-
Undangan yang ada dibawahnya, sehingga dalam konsep negara hukum Indonesia makna dari
supremasi hukum tertuju pada penyelenggaraan bernegara dan pemerintahan dengan berdasarkan
supremasi konstitusi, lihat Ad. Basniwati, ”Hubungan DPR dan BPK dalam Melaksanakan
Fungsi Pengawasan”, Jurnal Hukum JATSWARA, Vol. 1, h.132.

2 Retno Saraswati, Desain Sistem Pemerintahan Presidensial yang Efektif, Jurnal MMH,
Vol. 41, No. 1 (Januari: 2012), h.138.

3 Jimly Asshiddiqie, Jurnal Gagasan Negara Hukum, h.152

1
2

peraturan-peraturan hukum, dan (d) adanya peradilan administrasi. Selain itu,


Indonesia juga menganut kekuasaan negara yaitu yang disebut dengan trias
politica.
Konsep Trias Politica adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan
yang sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.4 Sebagaimana yang telah
disebutkan oleh Montesquieu bahwa pembagian kekuasaan dalam negara hukum
yang demokratis dapat berupa kekuasaan Yudikatif, kekuasaan Legislatif, dan
kekuasaan Eksekutif. Fungsi dan tugasnya sudah diatur dalam UUD dan masing -
masing lembaga menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya sesuai dengan
UUD.5
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 hasil
amandemen menetapkan 5 (lima) kekuasaan dan 7 (tujuh) lembaga negara
sebagai berikut: 1) kekuasaan legislatif, di mana kekuasaan tersebut terdiri dari
Majelis permusyawaratn Rakyat (MPR) yang tersusun atas : a) Dewan perwakilan
Rakyat (DPR) b) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 2) Kekuasaan pemerintahan
negara (Eksekutif) yaitu presiden dan wakil Presiden 3) Kekuasaan Kehakiman
(Yudikatif), meliputi : a) Mahkamah Agung (MA) b) Mahkamah Konstitusi (MK)
4) Lembaga negara bantu (The Auxiliary State Body), yaitu Komisi Yudisial
(KY).6 5) Kekuasaan Eksaminatif, yang mana kekuasaan eksaminatif adalah
kekuasaan terhadap pemeriksaan keuangan negara. Kekuasaan eksaminatif di
Indonesia berdasark an pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sesudah
amandemen adalah BPK7

4 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,


2005)

5 I Gede Pantja Astawa, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, (Bandung: Refika
Aditima, 2009), h.103

6 Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD
1945, (Jakarta: Kencana, 2010), h.79

7 Titik Trriwulan Tutik, kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Aamandemen
UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2010), h.105
3

Badan Pemeriksa Keuangan merupakan lembaga negara yang bertugas


untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Peran dan
tugas pokok Badan Pemeriksa Keuangan yaitu pemeriksa semua asal-usul serta
besarnya penerimaan negara dari manapun sumbernya, dan mengetahui tempat
uang negara disimpan serta untuk apa uang negara digunakan8 Berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan dijelaskan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan merupakan
satu lembaga Negara yang bebas dan mandiri dalam melakukan pemeriksaan atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara.9 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara menyebutkan bahwa pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah,
analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional
berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan,
kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara.10
Badan pemeriksa Keuangan Negara (BPK) memiliki tugas dan
wewenang posisi strategis karena menyangkut semua aspek yang berkaitan
dengan sumber dan penggunaan anggaran dan keuangan negara, yaitu; memeriksa
tanggung jawab tentang keuangan negara, hasil pemeriksaan itu diberitahukan
kepada DPR, DPD dan DPRD, memeriksa semua pelaksanaan APBN dan
memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara. Keuangan
negara negara merupakan urat nadi dalam pembangunan suatu negara dan amat
menentukan kelangsungan perekonomian baik sekarang maupun yang akan
datang. Dimana keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelasanahak dan

8 Bahrullah Akbar, Sistem Pengawasan Keuangan Negara di Indonesia, (Jakarta:


Prenanda Media, 2015), h.79.

9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

10 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan


Tanggung Jawab Keuangan Negara.
4

kewajiban tersebut. Keuangan negara meliputi APBN, APBD, keuangan negara


dan Parjan, PERUM, PN-PN, dan sebagainya.11
Berdasarkan Konsep Hukum Keuangan Negara, Pertanggung jawaban
keuangan negara merupakan konseku ensi logis dari kesediaan pemerintah
melaksanakan APBN yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
sebagaimana dalam pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, menurut
konsep hukum keuangan negara, hakikat APBN adalah kedaulatan yang diberikan
kepada DPR -RI, bahwa bukti pemegang kedaulatan adalah Rakyat melalui DPR -
RI.12 Secara hukum kedudukan BPK diatur dalam UUD 1945 pada pasal 23E,
23F, dan 23G serta Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan. Dalam pasal 23E UUD 1945 pascaamandemen menyatakan bahwa:
Ayat (1): “untuk memeriksa pengelolaan tanggungjawab tentang keuangan negara
diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri” peraturannya
ditetapkan dengan Undang-Undang. Ayat (2): “hasil pemeriksaan itu
diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai kewenangannya. Ayat (3): “hasil
pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan
sesuai dengan undang- undang.13
Terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan
dengan tujuan tertentu. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) berupa temuan audit, opini audit dan rekomendasi. Kemudian
laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus
dilaporkan atau disampaikan kepada DPR untuk ditindaklanjuti.14

11 Sutedi Adrian, Hukum Keuangan Negara, Cet Ke 3 (Jakarta: Sinar Grafika, 2012),
h.10.

12 Sutedi Adrian, Hukum Keuangan Negara, Cet Ke 3 (Jakarta: Sinar Grafika, 2012),
h.14

13 Undang-Undang No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan

14 Putera Astomo, Hukum Tata Negara: Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Thafa Media,
2014), h.170.
5

Untuk menunjang peran penting BPK dalam melakukan pemerikaan


keuangan terdapat asas-asas yang di atur oleh undang-undang keuangan negara
dimana salah satunya adalah asas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksaan
yang bebas dan mandiri, dimana asas tersebut memberikan kebebasan bagi badan
pemeriksaan keuangan untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara dengan
tidak boleh di pengaruhi oleh siapapun.15
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengumumkan
hasil pemeriksaannya baru-baru ini. Berdasarkan dua Pemeriksaan Dengan Tujuan
Tertentu (PDTT) yang dilakukan BPK dalam kurun waktu 2010-2019,
diungkapkan bahwa penyebab utama gagal bayarnya Jiwasraya yaitu kesalahan
mengelola investasi dalam perusahaan.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati turut
mengapreasiasi kinerja BPK yang menyampaikan temuan-temuan tersebut.
Berdasar pada permintaan Komisi XI DPR RI dengan surat Nomor
PW/19166/DPRXI/2019 tertanggal 20 November 2019, BPK didorong untuk
melakukan PDTT lanjutan yang nantinya akan membantu dalam proses
penyelidikan.16
Secara keseluruhan dalam agama islam telah diajarkan bahwa bagaimana
cara untuk menjaga kemaslahatan umat dengan menjaga keuangan negara.
Keuangan negara dapat dijaga dan digunakan dengan baik jika dilindungi dan
ditempatkan dengan baik pula. Hal tersebut, bermaksud adalah mengenai lembaga
negara yang khusus mengatur pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu, Islam
telah mengajarkan agar dalam pengelolaan keuangan negara dilakukan
pemeriksaan dengan cara membentuk lembaga khusus yaitu dibahas dalam kajian

15 Mieke Rayu Raba, Peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam melakukan
pemeriksaan terhadap pengelolahan keuangan Pemerintah yang baik menurut UU No. 15 tahun
2006, Jurnal Lex Crimen Volume VI, no 3 (Mei,2017), h.157.

16 www.dpr.go.id, Diakses Tanggal 02 Maret 2020. Pukul 12.30 WIB


6

siyāsah māliyah. siyāsah māliyah yaitu menyangkut secara umum tentang harta,
rakyat dan penguasa.17
Melihat fenomena di atas, sudah sepatutnya pengawas keuangan di
negara menjalankan tugas nya dengan sebaik baiknya dan bermartabat untuk
memeriksa orang yang telah menyalahgunakan kekayaan milik Allah dan Negara.
Oleh karena itu, berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas, maka penulis
menuangkan dalam bentuk penelitian skripsi yang berjudul “Peran Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) Dalam Pelaksanaan Sistem Audit Keuangan Negara
Indoensia Perspektif Siyasah Maliyah”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis paparkan, dapat ditarik
kesimpulan bahwa terdapat beberapa permasalahan terkait dengan keuangan
negara dalam perspektif hukum positif dan hukum islam terhadap sistem audit
yang ada di indonesia. Adapun identifikasi masalah yang akan dijelaskan lebih
lanjut adalah sebagai berikut:
a. Peran BPK dalam sistem audit keuangan negara Indonesia
b. Keuangan negara menurut siyasah Maliyah
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
dipaparkan, banyak permasalahan-permasalahan penting yang perlu dijawab.
Akan tetapi, untuk mempermudah pembahasan dan penelitian skripsi ini, perlu
diadakannya pembatasan masalah agar pembahasan dari penelitian skripsi ini
hanya berfokus untuk menjawab satu permasalahan, yaitu peran BPK dalam
sistem audit keuangan Negara Indonesia perspektif siyasah Maliyah.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat
ditarik beberapa substansi rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana Peran BPK Dalam Sistem Audit Keuangan Negara Indonesia?


17 H. A.Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu
Syariah, (Jakarta: Kencana, 2003), h.177.
7

b. Bagaimana Sistem Audit Keuangan Negara Indonesia dalam Perpekstif


Siyasah Maliyah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan tambahan literatur bagi
ilmu pengetahuan khususnya hukum tata negara dalam penanganan masalah.
Peran BPK dalam sistem audit keuangan negara Indonesia perspektif siyasah
maliyah Selain itu penelitian skripsi ini juga bertujuan:
a. Untuk mengetahui peran BPK dalam sistem audit keuangan Negara Indonesia
dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2006;
b. Untuk mengetahui sistem audit keuangan Negara Indonesia dalam perspektif
siyasah maliyah.
2. Manfaat Penelitian
Didalam setiap penelitian, disamping memiliki tujuan tentunya penulis
juga mengharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya
penulis pribadi, adapun manfaatnya adalah sebagai berikut: a. Manfaat Akademis
Penelitian skripsi ini dapat digunakan sebagai acuan bahan penelitian
lebih lanjut guna untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang Peran BPK
(Badan Pemeriksa Keuangan) dalam Sistem Audit Keuangan Negara Indonesia
dalam Perspektif Siyasah Maliyah b. Manfaat Teoritis
Secara teoritis tulisan ini diharapkan dapat menggambarkan
kemanfaatan secara khusus bagi pengembangan ilmu hukum tata negara dan
secara umum bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum itu sendiri. c. Manfaat
Praktis
1) Tulisan ini diharapkan sebagai pemberian pemahaman yang utuh bagi
Pemerintah atas pemahaman peran BPK dalam sistem audit keuangan
negara Indonesia perspektif siyasah maliyah.
2) Agar masyarakat menegetahui pemahaman peran BPK dalam sistem audit
keuangan negara Indonesia perspektif siyasah maliyah.
8

D. Tinjauan Studi Terdahulu


Untuk membuktikan originalitas dari penelitian ini, penulis perlu untuk
melakukan tinjauan kajian studi terdahulu. Berikut ini beberapa penelitian dan
perbedaan dari penelitian sebelumnya.
1. Kajian Skripsi yang dittulis oleh Salfi Mardayanti (2019) yang berjudul
Analisis Fiqih Siyasah Terhadap Relasi Badan Pemeriksa Keuangan Dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Sistem Audit
Keuangan Negara dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya. Dalam skripsi ini dibahas menganalisis
tentang relasi BPK dengan DPR RI dalam mengaudit sistem keuangan negara
dan menganalisis system audit keuangan negara berdasarkan fiqih siyasah. 18
Bedanya saya dengan kajian skripsi ini adalah saya lebih membahasas untuk
peran BPK nya sendiri yang saya tinjau berdasarkan atau dalam perspektif
siyasah Maliyah.
2. Kajian Tesis yang ditulis oleh Wiwin Guanti (2018) yang berjudul Peran
Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan
Negara dalam Perspektif Siyasah Maliyah dari Pascasarjana Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Dalam tesis ini
dibahas dan menganalisis tentang sistem pemeriksaan terhadap pengelolaan
keuangan negara dalam UU No. 15 Tahun dan 23E UUD dan menganalisis
tinjauan siyasah maliyah terhadap pemeriksaan pengelolaan keuangan
negara.19 Bedanya saya dengan kajian tesis ini adalah saya lebih kepada peran
BPK dalam system audit keuangan negaranya lebih menjalar kepada peran si
BPKnya. Dan saya mengambil UU no 15 tahun 2006.

3. Kajian jurnal yang ditulis oleh Mieke Rayu Raba (2017) yang berjudul
Peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam melakukan pemeriksaan
terhadap pengelolahan keuangan Pemerintah yang baik menurut UU No. 15

18 Salfi Mardayanti (2019), Analisis Fiqih Siyasah Terhadap Relasi Badan Pemeriksa
Keuangan Dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Sistem Audit Keuangan
Negara

19 Wiwin Guanti (2018), Peran Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Pemeriksaan


Pengelolaan Keuangan Negara dalam Perspektif Siyasah Maliyah,
9

tahun 2006, Jurnal Lex Crimen Volume VI, No 3. Dalam jurnal ini dibahas
mengenai peran BPK dalam melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan
keuangan negara menurut UU No. 15 Tahun 2006 dan untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik (good governance) menurut UU No 15 Tahun 2006
tentang BPK.20
4. Kajian Jurnal yang ditulis oleh Gilang Prama Jasa dan Ratna Herawati
yang berjudul Dinamika Relasi Antara Badan Pemeriksa Keuangan Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Sistem Audit Keuangan Negara, Jurnal
Law Reform; Program Studi Magister Ilmu Hukum Volume 13, Nomor 2,
Tahun 2017 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Dalam Jurnal ini
dibahas menganalisis sistem audit keuangan negara berdasarkan peraturan
perundangundangan, relasi antara Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam sistem audit keuangan negara dan menganalisis
hambatan yang dihadapi oleh Badan Pemeriksa Keuangan dalam pelaksanaan
sistem audit keuangan negara dengan Dewan Perwakilan Rakyat.21
5. Kajian jurnal yang ditulis oleh Dedi Soemardi yang berjudul Hubungan
Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan Pemeriksa Keuangan, Jurnal
Hukum dan Pembangunan vol 20, No 6 Tahun 1990. Dalam Jurnal ini
dibahas mengenai peran dan hubungan DPR RI dengan BPK dalam
pengelolaan keuangan negara.22

Perbedaan dengan peneliti sebelumnya adala h dalam penelitian skripsi


ini akan dibahas mengenai Peran BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dalam
Sistem Audit Keuangan Negara Indonesia Perspektif Siyasah Maliyah.
20 Mieke Rayu Raba (2017) Peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam melakukan
pemeriksaan terhadap pengelolahan keuangan Pemerintah yang baik menurut UU No. 15 tahun
2006, Jurnal Lex Crimen Volume VI, No 3

21 Gilang Prama Jasa dan Ratna Herawati Dinamika Relasi Antara Badan Pemeriksa
Keuangan Dan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Sistem Audit Keuangan Negara, Jurnal Law
Reform; Program Studi Magister Ilmu Hukum Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017

22 Dedi Soemardi, Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan Pemeriksa


Keuangan, Jurnal Hukum dan Pembangunan vol 20, No 6 Tahun 1990.
10

E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian yang besifat kualitatif. Penelitian yang
digunakan yaitu penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif
adalah berupa penelitian dengan metode atau pendekatan studi kasus (case study).
Kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata kata tertulis atau lisan dari orang orang dan perilaku yang dapat diamati.
Studi kasus termasuk dalam penelitian analisis deksriptif, yaitu penelitian yang
dilakukan terfokus pada suatu kasus tertentu untuk diamati dan dianalisis se cara
cermat sampai tuntas. Data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang
bersangkutan, dengan kata lain dalam studi ini dikumpulkan dari berbagai
sumber.
2. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Pendekatan perundang-undangan (statue-approach). Pendekatan ini dilakukan
dengan cara menelaah semua undang-undang (UU No 15 Tahun 2006 Tentang
Badan Pemeriksa Keuangan) dan regulasi yang bersangkut paut dengan
permasalahan penelitian yang hendak diteliti. Tujuan pendekataan ini digunakan
adalah untuk menemukan konsistensi dan kesesuaian antara satu undang-undang
dengan undang-undang lainnya, undang-undang dengan regulasi lainnya, serta
undang-undang dengan undang-undang dasar.
3. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dikategorikan sebagai
berikut:
a. Data primer
Data ini peneliti daptakan melalui wawancara yang dilakukan dengan
informan yaitu Badan pengawas keuangan (BPK) metode ini dilakukan untuk
mendapatkan data dan informasi tentang Sistem Audit Keuangan Negara
Republik Indonesia. Hal ini dilakukan dengan cara Tanya jawab secara langsung
dengan para informan yang benar benar mengetahui permasalahan dalam
penelitian ini. b. Data Sekunder
11

Data sekunder dari penelitian ini adalah semua bahan yang memberikan
penjelasan mengenai data primer berupa tulisan tulisan baik dalam bentuk buku,
jurnal, artikel maupun dari infomasi internet.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan dengan pertimbangan masalah yang hendak
diteliti. Teknis pengumpulan data penelitian disesuaikan dengan permasalahan
yang diteliti sehingga memiliki persinggungan yang logis antara permasalahan
dan upaya pengejaran terhadap kebenarannya. Adapun teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Dokumentasi atau Pustaka
Library Research, yaitu dengan membaca dan mencatat dari Buku- buku dan
Undangundang yang relevan dengan permasalahan penelitian yang hendak
diteliti.
5. Metode Analisis Data
Dalam menyusun dan menganalisis data, penulis menggunakan
penalaran deduktif23. Penalaran deduktif merupakan langkah berpikir dengan
mengumpulkan pernyataan yang bersifat umum untuk selanjutnya ditarik suatu
kesimpulan yang bersifat khusus, dengan metode deskriptif-analitis24. Metode
deskriptif-analitis adalah metode yang digunakan untuk mempelajari
permasalahan yang ada dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam
masyarakat sehari-hari serta situasi tertentu. Tujuan dari metode deskriptif ini
adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan yang antar fenomena yang diteliti untuk
mendapatkan suatu pemecahan. Setelah proses analisis, dilakukan proses sintesis
dengan menarik dan menghubungkan rumusan masalah, tujuan penulisan serta
pembahasan yang dilakukan. Berikutnya ditarik simpulan yang bersifat umum

kemudian direkommendasikan beberapa hal sebagai upaya transfer gagasan yang


diakhiri dengan kesimpulan hasil analisis.

23 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan, 2001), h.49.

24 Moh Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghia Indonesia, 2005), h.35.


12

6. Pedoman Penulisan Skripsi


Dalam penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2017.

F. Sistematika Pembahasan
Dalam pembahasan proposal ini peneliti membuat
sistematika pembahasan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN yang merupakan gambaran umum isi penelitian yang
terdiri dari: latar belakang, identifikasi, pembatasan, dan rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, dan metodologi
penelitian, sistematika pembahasan.
BAB II KAJIAN TEORI; TEORI PENGAWASAN berisi tentang teori
pengawasan.
BAB II TEORI PENGAWASAN KEUANGAN

A. Fungsi dan Tujuan Pengawasan Keuangan Negara


Keuangan Negara berperan penting dalam mewujudkan tujuan
bernegara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan anak anak dan
generasi para penerus bangsa, dan ikut melestarikan dan melaksanakan ketertiban
dunia yang beraadasarkan keadilan, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyatnya.25
Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan diatas atau yang telah penulis
sampaikan bahwa perlu dibangunnya suatu sistem pengelolaan keuangan Negara
yang bertumpu pada prinsip prinsip ketertiban, ketaatan pada Negara dan juga
terhadap Perundang-Undangan, efeksiensi, ekonomis, efektif, transparan dan
akuntabel. Bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara adalah sistem
pengawasan dan pemeriksaan untuk memastikan bahwa keuangan Negara telah
dilaksanakan sesuai Target dan tujuan yang hendak dicapai dengan menaati
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keuangan negara hakikatnya bersumber dari rakyat, misalnya saja pajak
dan retribusi dipungut dari rakyat, laba BUMN/BUMD modalnya dari rakyat
(APBN/D), hutang akan menjadi beban rakyat, hibah karena ada kepentingan
rakyat dan eksploitasi sumber daya alam yang mana notabane nya juga punya
rakyat.26
Pemahaman diatas mengandung konsekuensi bahwa keuangan negara
harus dipertanggung jawabkan oleh pemerintah sebagai pemegang kekuasaan
pengelola keuangan negara kepada DPR/DPRD sebagai representasi rakyat yang
ada di pemerinntahan dan kepada masyarakat sebagai pemilik kedaulatan melalui
keterbukaan akses masyarakat terhadap informasi dan segala macam yang
berkaitan

25 Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Alinea ke IV.

26 Ikhwan Fahrojih, Memahami Anggaran Publik, (Jakarta: MCW-YAPPIKA, 2006), h.14.

13
14

dengan Keuangan Negara, sebagaimana diamanahkan dalam pasal 23 Undang-


Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan ketiga, “Anggaran
pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara
yang ditetapkan dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Maka dari itu
keuangan negara sifatnya sangat lah penting karena ketika suatu Negara
keuangannya tidak stabil, maka negara tersebut mungkin akan mengalami krisis
yang berkepanjangan.
Pengertian pengawasan menurut KBBI (kamus besar bahasa Indonesia)
adalah penilikan dan penjagaan.27 Secara umum pemeriksaan merupakan bagian
dari pengawasan, sehingga melakukan fungsi pemeriksaan sekaligus juga berarti
melakukan pengawasan. Pengawasan menyangkut kegiatan yang luas yaitu setiap
usaha menjaga agar kegiatan pemerintah tetap sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai, kegiatan tersebut mencakup pembentukan sistem pengendalian intern,
pembentukan job description yang tidak tumpang tindih, struktur yang dapat
saling kontrol dan mengendalikan (check and balance) termasuk di dalamnya
adalah pemeriksaan terhadap pelaksanaan kegiatan pemerintah apakah sesuai
dengan aturan maupun tujuan yang telah dicapai, dalam hal ini keberadaan
pemeriksaan terdapat pada tahapan setelah pelaksanaan kegiatan pemerintah (post
audit) serta memiliki sistem dan standar tertentu yang telah ditetapkan.28
Adapun menurut Arrens dan Loebbecke, auditing (pemeriksaan atau
pengawasan) adalah proses pengumpulan data dan pengevaluasian bahan bukti
tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang
dilakukan oleh seseorang yang berkopeten dan independen untuk dapat
menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi yang dimkasud dengan
kriteria-kriteria yang di harapkan.29

27 https://kbbi.web.id/Pengawasan. Diakses pada tanggal 17 November 2020 Pukul 20.10


WIB.

28 Ikhwan Fahrojih, Memahami Anggaran Publik, (Jakarta: MCW-YAPPIKA, 2006), h.67.


29 Arren dan Loebbrcke, Auditing Pendekatan Terpadu Cet. ke-2, (Jakarta: Salemba
Empat, 1997), h.1.
15

Menurut UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan


pengertian pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi
yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standard
pemeriksaan untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas dan keandalan
informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. 30 Tujuan
pengawasan keuangan negara pada dasarnya adalah:
a. Untuk menjaga agar anggaran yang telah disusun benar benar dapat dijalankan
dengan semaksimal mungkin tanpa adanya kendala maupun hambatan yang
ada.
b. Untuk menjaga agar kegiatan pengumpulan penerimaan dan pembelanjaan
yang menggunakan uang negara sesuai dengan anggaran yang telah digariskan
atau yang telah ditetapkan sebelumnya.
c. Untuk menjaga agar pelaksanaan APBN benar benar dapat dipertanggung
jawabkan di dunia maupun diakhirat kelak.31
Tujuan pengawasan sendiri pada hakikatnya bukan untuk mencari-cari
kesalahan orang, namun melaikan untuk menjaga agar pelaksanaan program dan
kegiatan pemerintahan itu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Sedangkan pemeriksaan merupakan salah satu dari sekian banyaknya bagian dari
pengawasan yang dilakukan setelah selesainya pelaksanaan program dan kegiatan.
Pemeriksaan sendiri bertujua unntuk menilai apakah pelaksanaan dari suatu
kegiatan beserta pengelolaan keuangannya telah dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku serta sesuai dengan target dan tujuan yang telah
ditetapkan, pemeriksaan juga akan mendeteksi hambatan maupun penyimpangan
baik secara administratif maupun pidana dalam pengelolaan keuangan negara.32
Dalam konteks keuangan negara ini, pemeriksaan bertujuan untuk
menilai dan menguji melalui bukti bukti yang kompeten dan cukupapakah
pelaksanaan pengelolaan keuangan negara oleh pemerintah telah dilaksanakan
sesuai dengan

30 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

31 Revrison Baswier, Akuntansi Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: BPFE, 2000), h.119.


32 Fahrojih Ikhwan, Pengawasan Keuangan Negara, (Malang: Intrans Publishing, 2016),
h.25.
16

APBN yang telah disetujui bersama dan peraturan perundang-undangan yang


berlaku. Menurut founding fathers, pemeriksaan keuangan negara bertujuan untuk
memeriksa cara pemerintah mempergunakan anggaran negara yang telah disetujui
oleh DPR.33

B. Jenis-Jenis Pengawasan
Pada dasarnya, pengawasan terhadap keuangan negara
dapat diklarifikasikan menjadi pengawasan internal dan pengawasan
eksternal.
1. Pengawasan Internal
Yang dimaksud dengan pengawasan internal ini sendiri adalah
pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengawas internal, seperti apa sih
lembaga pengawas internal itu, lembaga pengawas internal itu seperti lembaga
yang berada dalam srtuktur pemerintahan/eksekutif. Pengawasan ini terdiri dari: a.
Pengawasan Atasan Langsung atau Pengawasan Melekat
Pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat sendiri adalah
sebagai serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus
menerus, dilakukan oleh atasan langsung terhadap pengendalian bawahannya
secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan
dengan secara efektif dan efisien seusai dengan rencana kegiatan dan peraturan
perundang undangan yang berlaku.34 b. Pengawasan Fungsional
Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat
pengawasan secara fungsional, baik internal pemerintah maupun eksternal
pemerintah, terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan
agar sesuai dengan rencana dan peraturan perundang undangan yang berlaku.35

33 Fahrojih Ikhwan, Pengawasan Keuangan Negara, (Malang: Intrans Publishing, 2016), h.


28.
34 Intruksi Presiden Republik Indonesia tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan
Melekat, Inpres Nomor 1 Tahun 1989, Lampiran Umum Angka (1).

35 Inpres Nomor 1 Tahun 1989, Lampiran bagian umum huruf (c).


17

Pengawasan fungsional dalam artian sempit adalah pengawas yang


dilakukan oleh aparat pengawas yang berasal dari lingkungan internal suatu
instansi, baik aparat pengawas maupun pihak yang diawasii berada dalam suatu
instanis yang mana sama sama dibawah pimpinan yang sama, (Irjen Departemen,
Inspektorat Wilayah baik provinsi, kota atau kabupaten yang sekarang disebut
BASWADA/BASWAKOT). Pengawasan fungsional dalam arti luasnya adalah
pengawasan yang berasal dari Lembaga khusus pengawasan, yang dibentuk secara
internal oleh Pemerintah (BPKP, Injerbang).36
2. Pengawasan Eksternal
Pengawasan eksternal adalah suatu bentuk pengawasan yang dilakukan
oleh suatu unit pengawasan yang sama sekali berasal dari luar lingkungan
eksekutif. Dengan demikian, antara pengawas dan pihak yang diawasi tidak lagi
ada hubungan kedinasan.37 Lembaga yang melakukan pengawasan eksternal
adalah DPR/DPRD dan BPK.
Pengawsan DPR/DPRD dikenal dengan pengawasan legislatif, yaitu
pengawasan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap suatu
kebijakan serta pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintah dan pembangunan.
Menurut Ismail Sunny, bentuk pengawasan yang dilakukan oleh
DPR/DPRD ada tiga “control of executive”, “control of expenditure”, dan
“control of taxation”. Yang pertama adalah control DPR/DPRD yang senantiasa
mengawasi tindakan tindakan eksekutif/pemerintah. Yang kedua adalah kontrol
terha dap anggaran pendapatan dan belanja negara/ daerah (APBN/APBD), dan
yang terakhir adalah kontrol yang dilakukan terhadap segala pajak untuk
keperluan negara atau daerah.38

36 Bachtiar Bisman “Pelaksanaan Fungsi Kontrol DPRD Terhadap Pemerintah


Daerah” (Malang; UMM 2002), h.25.

37 Ikhwan Fahrojih, Mengerti dan Melawan Korupsi, (Jakarta: YAPPIKA, 2005), h. 65.

38 Bachtiar Bisman, “Pelaksanaan Fungsi kontrol DPRD terhadap Pemerintah Daerah”.


(Malang: UMM, 2002), h.28.
18

Di atas telah dijelaskan bahwa Lembaga Pengawas Keuangan terdiri atas


lembaga pengawas internal dan lembaga pengawas eksternal. Lembaga pengawas
internal adalah lembaga pengawasan yang berasal dari struktur pemerintah
sedangkan lembaga pengawas eksternal berada di luar struktur pemerintah atau
tidak ada hubungan kedinasan dengan pemerintah. Lembaga pengawas eksternal
terdiri atas DPR, DPD, DPRD, serta BPK.39
Lembaga pengawas keuangan negara yang memiliki fungsi pemeriksaan
umumnya merupakan lembaga fungsional atau lembaga khusus pengawasan.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK adalah untuk kepentingan DPR sebagai
pemegang fungsi pengawasan dan anggaran. Laporan hasil pemeriksaan BPK
termasuk instansi pemerintah, bahkan yang berkewajiban melaksanakan
rekomendasi BPK adalah instansi pemerintah, DPR menggunakan laporan hasil
pemeriksaan BPK sebagai bahan pengawasan terhadap instansi pemerintah.40
Menurut Revrisond Baswir, pengawasan terhadap segala tindakan
pemerintah termasuk juga keputusan dan peraturan dapat dibagik menjadi 2
bagian:
a. Pengawasan preventif yaitu pengawasan yang dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya kesalahan. Pengawasan ini dikaitkan atau dilakukan sebelum
dimulainya suatu kegiatan atau sebelum terjadinya pengeluaran keuangan
negara. Pengawasan ini juga pada dasarnya dilakukan untuk mencegah
terjadinya penyimpangan kegiatan.
b. Pengawasan detektif adalah suatu pengawasan yang dilakukan untuk atau
dengan meneliti dan mengevaluasi dokumen-dokumen laporan pertanggung
jawaban bendaharawan. Pengawasan ini biasanya dilaksanakan setelah
dilakukannya tindakan, yaitu dengan membandingkan anatar hal yang telah
terjadi dengan hal yang seharusnya terjadi.

39 Ikhwan Fahrojih, Mengerti Dan Melawan Korupsi, (Jakarta: YAPPIKA, 2005), h.73.

40 Ikhwan Fahrojih, Mengerti Dan Melawan Korupsi, (Jakarta: YAPPIKA,


2005), h.68.
19

C. Keuangan Negara
Dian Puji Simatupang mengklasifikasikan penafsiran tentang pengertian
keuangan negara menjadi 3 macam:
a. Keuangan negara diartikan secara sempit, seperti dikemukakan Harun
AlRasyid. Dia berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan keuangan
negara dalam pasal 23 ayat (5) UUD 1945 pra-perubahan adalah keuangan
negara dalam arti sempit. Sebagai alasan dari pendapatnya tersebut dia
menerapkan penafsiran sistematisnya yang menghubungkan ayat (5) dengan
ayat (1) pasal 23 UUD 1945 yang mengatur soal APBN.
b. Penafsiran kedua mengartikan bahwa keuangan negara secara luas, seperti
dikemukakan oleh mantan anggota BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), Hasan
Akman. Bahwa dalam kaitan dengan pertanggung jawaban keuangan negara
sebagaimana yang dimaksudkan oleh pasal 23 ayat (5) UUD 1945 ini
merupakan artian luas dari keuangan negara sendrii. Jadi pertanggung jawaban
keuangan negara yang harus dilakukan ole pemerintah tidak saja mengenai
APBN, tapi meliputi APBD, Keuangan unit-unit usaha negara, dan pada
hakikatnya seluruh kekayaan negara.
c. Penafsiran ketiga, dilakukan melalui “pendekatan sistematis dan teleologis
atau sosiologis terhadap keuangan negara yang dapat memberikan penafsiran
yang relatif lebih akurat sesuai dengan tujuannya.
Pendekatan ini sendiri mengandunng makna bahwa keuangan negara
didasarkan atas “tujuan atau fungsi ketentuan peraturan yang bersangkutan dalam
konteks masyrakat dewasa ini.”
Dan adapun menurut beberapa peraturan perundang-undangan yang
memberikan pengertian keuangan negara, antara lain UU Nomor 17 tahun 1965
yang menyatakan bahwa:41
“Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara, termasuk di
dalamnya segala bagian-bagian harta milik kekayaan itu dan segala hak dan
kewajiban yang timbul karenanya, baik kekayaan yang berada dalam pengurusan

41 UU Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-


Undang No 6 Tahun 1964 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan (Lembaran Negara 1964 No
41)
20

para pejabat- pejabat atau lembaga -lembaga termasuk di dalamnya pemerintah,


maupun berada lama penguasaan dan pengurusan bank-bank pemerintah,
dengan status hukum publik atau perdata.”
Ada juga UU Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan tindak pidana
korupsi memberikaan penngertian keuangan negara :42
“Hakikatnya keuanga negara itu termasuk seluruh kekayaan negara,
termasuk keuangan daerah atau suatu badan/badan hukum yang mempergunakan
modal atau kelonggaran – kelonggaran dari negara atau masyarakat dengan
dana dana yang diperoleh dari masyarakat tersebut untuk kepentingan sosial,
kemanusiaan, dan lain – lain. Tidak termasuk keuangan negara dalm undang-
undang ini iala keuangan dari badan hukum uang seluruh modalnya diperoleh
dari swasta misalnya PT, FIRMA, CVA dan lain-lain.”
Sedangkan, UU Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara sendiri
memberikan pengertian keuangan negara, seperti dalam pasal 1:
“Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa baran yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut.”
Ketentuan ini di lebih rincikan dalam pasal 2, menjelaskan:43
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,
dan melakukan pinjaman.
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah
negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan negara
d. Pengeluaran negara
e. Penerimaan daerah
f. Pengeluaran daerah
g. Kekayaan negara / kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat
diliai
42 UU No 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

43 UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.


21

dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/


perusahaan daerah.
h. Kekayaan pihak lainn yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintah dan atau kepentingan umum.
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan oleh pemerintah.
Sesuai Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, terdapat
kesesuaian makna keuangan negara berhubungan erat dengan pengelolaan
anggaran maupun barang oleh pemerintah yang berasal dari publik dan harus
digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat. Keuangan daerah
berhubungan erat dengan hak dan kewajiban daerah terkait dengan penerimaan,
pengeluaran keuangan juga pemanfaatan barang milik daerah, yang dimulai dari
perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Dengan demikian,
merupakan suatu tindakan naif jika pemerintah tidak melakukan kewajiban hukum
untuk mengelola anggaran dengan baik dan bertanggung jawab.

D. Siyasah Maliyah
Kata siyasah berasal dari kata sasa berarti mengatur, mengurus dan
memerintah atau suatu pemerintahan, politik dan pembuatan kebijaksanaan
keputusan. Pengertian secara kebahasaan ini bahwa tujuan siyasah adalah
mengatur dan membuat suatu kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politik
untuk mencapai tujuan sesuatu.44
Kata siyasah juga dapat di lihat dari sisi triminologinya dan disini dapat
perbedaan pendapat banyak tokoh ahli hukum islam ada yang menyatakan siyasah
berati mengatur sesuatu dengan cara membawa kemaslahatan. Dan sini juga ada
yang mengartikan sebagai undang-undang yang dibuat untuk memelihara
ketertiban dan kemaslahatan serta mengatur beberapa hal.45

44 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:


Gaya Media Pratama, 2001), h. 3.

45 Imam Amrusi Jailani Dkk, Hukum Tata Negara Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel
Press, 2013), h.3.
22

Dalam hal ini, bisa ditarik kesimpulan perngertian fiqh siyasah adalah
suatu tatanan yang berguna unutk mengatur ketatanegaraan dalam bangsa dan
bernegara untuk mecapai tujuan kemaslahatan masyrakat. Ada beberapa macam
macam fiqh siyasah ini dan banyak yang berbeda pendapat dalam macam-macam
fiqh siyasah ini. Antara lain fiqh siyasah, fiqh siyasah dusturiyah, fiqh siyasah
maliyah, dan fiqh siyasah dauliyah.
Fiqh siyasah maliyah dalam prespektif islam tidak lepas dari Al-Quran,
sunnah Nabi, dan praktik yang dikembangkan oleh al-khulafah serta pemerintahan
Islam sepanjang sejarah. Siyasah maliyah ini merupakan kajian yang sangat tidak
asing dalam islam, terutama setelah nabi Muhammad saw. Fiqh siyasah maliyah
adalah salah satu bagian terpenting dalam sistem pemerintahan islam karena
menyangkut tentang anggaran pendapatan dan belanja negara.46
Dalam fiqh siyasah maliyah orang kaya di sentuh hatinya untuk mampu
bersikap dermawan, dan orang orang miskin di harapkan bersikap selalu bersabar
dan berkerja keras untuk berusaha dan berdoa kepada Allah. 47 Kebijakan yang
diatur dalam bentuk zakat, infak, sadaqah yang diwajibakn peda setiap umat orang
kaya yang telah mengeluarkan sebagian kecil hartanya untuk barokah dari Allah
swt. Pengelolaan keuangan dikenal sejak zaman nabi Muhammad saw sejak masa
masa pemerintahan di Madinah. Dengan itu kaum muslim mendapatkan ghanimah
atau harta rampasan perang.48
Negara sebagai institusi tertinggi di dalam masyrakat memiliki
sumbersumber pendapatan yang diambil dari rakyat, sekaligus didistrubusikan
kembali kepada rakyatnya,49 dan Siyasah Maliyah merupakan aspek sangat
penting dalam mengatur pemasukan dalam pengeluaran keuangan untuk
kemaslahatan

46 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik, (Jakarta: Gaya


Media Pratama, 2001), h. 273.

47 Jeje Abdul Rojak, Hukum Tata Negara Islam, (Surabaya: UIN Sunan Ampel
Pres,2014), h. 91.

48 Jeje Abdul Rojak, Hukum Tata Negara Islam, (Surabaya: UIN Sunan Ampel
Pres,2014), h.95.

49 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah, (Jakarta: Erlangga, 2008), h.
32.
23

masyarakat. Ruang lingkup fiqh Siyasah Maliyah adalah bagaimana cara


kebijakan yang harus di ambil untuk mengharnomiskan anatara orang kaya dan
orang miskin, agar kesenjangan antara orang kaya dan miskin tidak semakin
melebar50 Islam menunjukan bahwa kepedulian yang sangat tinggi oleh orang
fakir dan miskin pada umunya kepedulian ini yang seharusnya di perhatian oleh
para penguasa atau pemimpin agar masyarakatnya tidak mengalami kemiskinan
dan terbetas dari kehimpitan ekonomi.
Fiqh siyasah juga merupakan kebijakan hukum yang dibuat oleh suatu
pemerintahan menyangkut pembangunan ekonomi untuk menjamin terpenuhinya
kebutuhan masyarakat dengan menjadikan nilai- nilai syariat Islam sebagai
ukurannya. Kebijakan tersebut merupakan hukum yang mengatur hubungan antara
negara dengan masyakarakat, individu di masyarakat, dan individu dengan
individu dalam aktivitas ekonomi. Kebijakan hukum yang dibangun bukan dengan
sebagai aturan internal negara dalam pembentukan suatu program. 51 Dan di dalam
Al-Quran juga menyebutkan Dalam memakmurkan kehidupan di dunia ini dalam
Al-Quran surat Hud ayat 61 :
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh
berkata: Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan
selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah
kepadaNya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi
memperkenankan (doa hamba-Nya).”
Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa hanya ada 2 sumber zakat dan harta
rampasan perang, yakni:

50 Tasbih, “Kedudukan dan Fungsi Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam”, Jurnal AL-
FIKR Vol. 3, (2010), h. 337.

51 Juhaya s. Praja, Politik Ekonomi Islam Siyasah Maliyah, (Bandung: Pustaka Setia,
2010), h.1.
24

1. Hak Milik
Islam telah menetapkan adanya hak milik perseorangan terhadap harta
kekayaan yang telah dihasilakan tidak melanggar hukum syara’. Dalam islam juga
menetapkan cara melindungi harta milik ini dari pencurian, perampokan,
perampasan yang di lengkapi dengan saksi. seorang pemilik harta juga memiliki
hak menasarufkan hartanya dengan cara menjualnya, menyewakanya,
mewasiatkanya, menggadaikan memberikan sebagian dari hak ahli waris.52
2. Zakat
Zakat adalah sejumlah harta yang tertentu yang diwajibakan Allah untuk
memberikan kepada orang yang berhak menerima. Zakat merupakan rukun islam
yang ke empat. zakat adalah kadar harta yang tertentu, yang diberikan kepada
yang berhak menerimanya, dengan beberapa syarat. Zakat merupakan salah satu
rukun
Islam dan hukumnya fardu ‘ain atas tiap tiap orang cukup syarat-syaratnya.
Sesungguhnya zakat dapat membersihkan manusia dari kekikiran dan cinta yang
berlebih-lebihan kepada harta benda dan mampu menyuburkan sifat-sifat
kebaikan dalam hati manusia dan memperkembangkan harta bendanya. Zakat
mulai diberlakukan dan diwajibkan kepada umat Islam pada tahun kedua Hijriyah.
Zakat meliputi zakat maal (binatang ternak, emas dan perak, biji makanan yang
mengenyangkan, buah-buahan, harta perniagaan), zakat rikaz, dan zakat fitrah.53
Dalam terminologi fiqih, secara umum, zakat didenifisikan sebagai
bagian tertentu dari harta kekayaan yang diwajibkan Allah untuk sejumlah orang
yang berhak menerimanya. Mahmud syaltut, seorang ulama kontemporer di mesir
berpendapat bahwa zakat sebagai ibadah kebendaan yang diwajibkan oleh Allah
agar orang kaya menolong orang yang miskin berupa sesuatu yang dapat
menutupi kebutuhan pokoknya.54

52 H. A. Djajuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu


Syariah, (Jakarta: Kencana, 2003), h.208.

53 Ali Ridlo, “Kebijakan Ekonomi Umar Ibn Khattab”, Jurnal Al-‘Adl, Vol.2, (Juli,
2013) h.5-6.

54 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 32.
25

Ada delapan golongan orang yang berhak menerima zakat. Suatu ketika
Umar bin Khatab pernah menyalahkan Abu Musa al-Asy’ari yang telah
mengangkat pegawai pajak dari non-muslim, dan beliau berkata: katakanlah
kepada sekretarismu untuk membaca Alquran, Abu Musa al-Asy’ari menjawab:
“dia” adalah seorang Nasrani, tidak pernah masuk masjid Kemudian Umar
berkata:
“jangan pernah kalian menghormati mereka, karena Allah sudah
menghinannya, dan janganlah kalian memberi amanat kepada mereka karena
Allah sudah menganggapnya sebagai orang yang berikhianat”.
Zakat itu diberikan kepada mereka untuk melindung mereka dari
kejelekan dan yang membahayakan imannya, serta untuk melemah lembutkan hati
mereka. Jika Islam sudah berjaya dan jumlah orang Islam sudah banyak dan
mereka enjadi kuat dan dahsyat, maka mereka tidak boleh diberi bagian zakat,
baik orang yang diberi orang yang harus mendapatkan perlindungan atau orang
yang hatinya harus dilemah lembutkan.55
Sedangkan selain menurut Ibnu Taimiyyah ada juga beberapa sumber
keuangan negara yang dapat diperoleh diantaranya:
1. Ghanimah
Ghanimah adalah harta yang berhasil di rampas dari orang-orang kafir
melalui peperangan. Allah menyebutkannya dalam surah Al-Anfal yang
diturunkan ketika perang badar. Allah menamakan dengan ghanimah dengan anfal
karena harta itu merupakan tambahan (ziyadah) pada harta kekayaan kaum
muslimin.56 Allah berfiman dalam surah Al-Anfal:
“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan
perang. Katakanlah: harta rampasan perang itu kepunyakan Allah dan Rasul,
sebab itu bertawakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara
sesamu, dan ta’atlah kepada allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang
yang beriman.”

55 Ali Ridlo, “Kebijakan Ekonomi Umar Ibn Khattab”, Jurnal Al-‘Adl, Vol.2, (Juli,
2013), h.6-8.

56 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah, (Jakarta: Erlangga, 2008), h.326.
26

Dalam ini kewajiban dalam harta Ghanimah untuk di bagi lima dan
menyalurkan seperlimanya kepada kelompok yang telah di sebutkan Allah dalam
Al-Qur’an. Dan sisanya dibagikan kepada anggota pasukan yang ikut tempur.57
Siapa saja yang mengharamkan umat muslim untuk mengumpulkan
ghanimah, pada saat memperkenakan sang imam berbuat kehendakhatinya hal ini
amat kontradiktif. Bentuk dari keadilan dalam pembagian rampasan perang adalah
bagi pasukan yang berjalan kaki yang mendapatkan satu anak panah, sementara
pasukan penunggang kuda yang mengendarai kuda arab miliknya mendapatkan
tiga anak panah, satu anak anak panah di berikan kepada pemilik kuda dan yang
dua di berikan yang menunggangi kuda. Apabila ghanimah itu berupa harta yang
tidak bergerak maupun bergerak yang aslnya merukan milik kamu muslim, dan
sebelum di bagikan pemiliknya mengetahui maka dari itu kaum muslim sepakat
untuk mengembalikanya.58
2. Jizyah
Jizyah adalah iuran Negara yang diwajibkan atas orang ahli kitab sebagai
imbangan bagi usaha membela mereka dan melindungi mereka atau segai
imbangan bahwa mereka memperoleh apa yang di peroleh orang-orang islam
tersendiri baik dalam kemerdekaan diri, pemeliharaan harta, kehormatan, dan
agama. Hasbi AshShiddieqy mengistilahkan jizyah dengan pajak yang diwajibkan
keada semua orang non muslim laki-laki, meredeka dan sudah dewasa, sehat dan
kuat serta masih mampu bekerja. Jizyah yang diambil dari warga negara yang
bukan islam adalah imbangan zakat yang di ambil dari warga negara yang
muslim. Karena itu tiap warga negara yang mampu wajib memberikan sebagian
hartanya untuk maslahatan bersama sebagai imbangan atau ha-ak yang mereka
terima.59
Para ahli fiqh berbeda pendapat tentang besarnya jisyah. Abuhanifah
melegelompokan besarnya jizyah yang harus dibaya kepada tiga kelompok.

57 Mujar Ibnu Syarif Dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah, (Jakarta: Erlangga, 2008), h.326.

58 Mujar Ibnu Syarif Dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah, (Jakarta: Erlangga, 2008),
h.336338.

59 H. A. Djajuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu


Syariah, h. 229 -230.
27

Kelompok pertama, orang kaya di pungut jizyah besar empat puluh


delapan dirham. Kelompok kedua, kalangan menegah di pungut jizyah sebesar
duapuluh dirham. Kelompok ketiga kalangan fakir dari mereka di pungut sekedar
yang tersebesar dan melarang hak pemerintah untuk dalam menetapkan jizyah ini.
Di dalam menentukan kriteria kekayaan ada perbedaan pendapat. Ada yang
mengatakan bahwa ang yang memliki harta senilai sepuluh ribu dirham ke atas
adalah kaya. Yang memliki dua ratus keatas adalah golonan menengah dan
kurangnya dari duaratus adalah golongan fakir.60
3. Fai’
Tentang fai atau harta yang di peroleh tanpa pertempuran dasar acunya
ini ada terdapat firman Allah ketika pecah perang bani Nadhir dan pasca perang
badar sebagai berikut yang artinya:
“apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-
Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak
mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang
memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orangorang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar
di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya (Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung
halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan
keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu lah
orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah
dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka
mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap

60 Mujar Ibnu Syarif Dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah, (Jakarta: Erlangga, 2008),
h.344345.
28

apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka


mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun
mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara
dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-
orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya
Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara- saudara kami yang telah beriman
lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam
hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya
Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". (surah Al-Hasyr: 6-10).
Disebut dengan fai’ karena memang di anugrahkan Allah kepada kaum
muslimin. Allah mengembalikan hak dari tangan kafir dan pada hakikatnya Allah
menciptakan Harta kekayaan itu semata mata dengan tujuan untuk menolong oara
hamba dalam beribah kepadanya. Harta yang di kumoulkan dari fai’ termasuk
harta kekayaan Negara yang menjadi milik admistrasi baitul mal. Allah hanya
menyebutkan fai dalam Alquran mengingat pada masa Rasulullah tidak seorang
pun yang meninggal tanpa memiliki ahli waris secara jelas. Seperti yang terjadi
pada kalangan sahabat Rasullah yang mudah dapat di runtut garis keturunannya.61
4. Kharaj
Al-Kharāj dari segi bahasa berasal dari kata akhraja-yukhriju ikhrājan,
yang arti dasarnya mengeluarkan. Sementara menurut sebagian ulama’, kharāj
merupakan kata asing yang diarabkan. Sebagian ulama’ mengatakan bahwa kharāj
berasal dari bahasa Aramaic dan masuk ke dalam bahasa Arab melalui bahasa
Persia. Sementara Dāirat al-Ma’ārif al-Islāmiyah mengatakan bahwa kharāj
berasal dari bahasa Persia Choregia yang berarti pajak.
Kharaj juga merupakan pungutan yang harus dibayar atas tanah. Tentang
kharaj ada nash tersendiri dari Al-Quran yang memberikan penjelasan tentang
kharaj ini dengan penjelasan yang berbeda dengan penjelasan tentang jizyah. Oleh
karena itu, penentuan kharaj diserahkan kepada hasil ijtihad para imam.62

61 Mujar Ibnu Syarif Dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah, (Jakarta: Erlangga, 2008), h.
340341.
62 Mujar Ibnu Syarif Dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah, (Jakarta: Erlangga, 2008),
h.350351.
29

Allah berfirman sebagai berikut dalam QS. Al-Mu’minun ayat 72:


“atau kamu meminta upah kepada mereka? Maka upah dari Tuhanmu
adalah lebih baik dan dia adalah pemeberi rezeki yang paing baik.”
5. Baitul Mal
Al-Quran dan Hadist yang mengatur secara langsung masalah baitul mal.
Posisi baitul mal sekarang sangat penting, baitul mal merupakan lembaga
keuangan yang pada zaman Rasulullah. Baitul mal bertugas dalam mengawasi
kekayaan Negara terutama pemasukan dan pengelolaan maupun dengan masalah
pengeluaran dan lain lain. Baitul mal pihak yang memliki kewajiban dalam tugas
khusus untuk melakukan penanganan atas segala harta yang di miliki oleh umat
dalam bentuk pendapatan maupun pengeluaran.63
Baitul mal bertujuan untuk melaksanakan pembangunan Negara dan
untuk membangun Negara yang ekonomi modern. Harta baitulmal sebagai harta
muslim yang harus dijaga dengan pengelolaan dan pengeluaran harta. Dalam masa
pemerintahan khalifah peruntunkan masalah masalah ekonomi apa yang dihadapi
umat muslim. Umat muslim harus memperhitungkan dalam menetapkan sebagian
harta64 kebutuhan warganya dan Negara sebagai berikut:
▪ Untuk orang fakir miskin.
▪ Untuk mengingatkan profesionalisme tentara dan rangka pertahanan dan
keamanan Negara.
▪ Untuk menigkatkan supermasi hukum.
▪ Untuk membiayai sektor pendidikan dalam rangka menciptakan sumber daya
manusia yang bertakwa dan berilmu pengetahuan.
▪ Untuk membayar gaji pegawai dan pejabat Negara.
▪ Untuk pengembangan infrastuktur dan sarana atau prasarana fisik
▪ Untuk meningkatkan kesehatab masyarakat

63 Agus Mariin, “Baitul Maal Sebagai Lembaga Kauangan Islam Dalam


Memeperlancar Aktivitas Perekonomian”, Jurnal akuntasi dan Pajak Vol.02 (Januari: 2014), h.39-
41.

64 Agus Mariin, “Baitul Maal Sebagai Lembaga Kauangan Islam Dalam


Memeperlancar Aktivitas Perekonomian”, Jurnal akuntasi dan Pajak Vol.02 (Januari: 2014), h.41.
30

▪ Untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan pemerataan pendapatan


kekayaan

E. Pemeriksaan Keuangan Negara dalam Siyasah Maliyah


1. Konsep Pengawasan Keuangan dalam al Musyrif al Maliyah
Al musyrif al mali merupakan sebuah lembaga yang mengurusi
keuangan dalam pengawasan. Hal tersebut dapat dilihat pada masa dinasti
Mu’awiyah, yang mana Mu’awiyah mengangkat seorang Kristen menjadi
pengawas keuangan. Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa pengawas
keuangan sudah ada sejak kejayaan peradaban Islam.
Pengawas keuangan yang kala itu diangkat oleh Mu’awiyah merupakan
keturunan Manshur ibn Sarjun (bahasa Yunani, Segius), yang Damaskus pada
masa penaklukan Arab. Manshur berasal dari keluarga Kristen terhormat yang
beberapa anggota keluarganya menduduki posisi penting sebagai pengawas
keuangan negara pada masa akhir Bizantium. Kemudian, selain itu Mu’awiyah
juga mengangkat ibn
Utsal menjadi pengawas atau pemeriksa keuangan di Provinsi Himsh.65
2. Konsep Pengawasan dalam Wilayatul Hisbah
Secara etimologis wilayatul hisbah berasal dari dua kata, “al- Wilayah
dan al-hisbah. Kata Al-Wilayah adalah bentuk masdar dari yang makna dasarnya
menguasai, mengurus, memerintah, dan menolong. Kata al-Hisbah (kasrah ha)
menurut bahasa berasal dari kata dengan berbagai bentuk masdar. Sedangkan,
secara terminologis pengertian hisbah dirumuskan oleh sarjana klasik dan sarjana
kontemporer. Sarjana Islam pertama yang merumuskan pengertian hisbah adalah
Abu Hasan al- Mawardi, dan disempurnakan oleh ulama- ulama sesudahnya
seperti al- Syaizari, Ibn al-Ukhwah, al-Ghazali, Ibn Khaldun, dan Ibn Taymiyyah.
Menurut al-Mawardi, hisbah ialah menyuruh kepada kebaikan jika terbukti
kebaikan ditinggalkan (tidak dikerjakan), dan melarang dari kemungkaran jika
terbukti kemungkaran dikerjakan.66
65 Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet
Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), h.243.

66 Marah Halim, “Eksisensi Wilayatul Hisbah dalam Sistem Pemerintahan Islam,” Jurnal
Ilmiah Islami Futura, Vol. 10, No. 2, (Februari 2011), h. 66-67.
31

Lembaga wilayatul hisbah dalam Islam dibentuk berdasarkan perintah


amar ma’ruf nahi munkar yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an maupun Hadis
Rasulullah saw. Oleh karena itu, lembaga wilayatul hisbah dalam Islam lebih
bersifat keagamaan dari pada bersifat tradisi semata. Salah satu ayat yang menjadi
landasan pelaksanaan wilayatul hisbah adalah surat Ali Imran yaitu:

َ ُۡ ‫وف َوي ۡنَ َۡو َن َع ِّن أ مل‬ ٞ ُُۡ


َ ‫نك ّ ِِۚر َوُأ ْو َل َِّٰٓئ كَ ُُه أ مل ُۡ ۡف ِل ّ ُح‬
١٠٤ ‫ون‬ ِ ّ ‫ون ِب ّأ مل َۡ ۡع ُر‬
َ ‫ُون َل أ خلَۡ ۡ ّ ِي َويَأ ُۡم ُر‬َ ‫َول َۡت ُكن ِّمنك ُأ َّمة َۡيدع‬
‫ِإ‬
Artinya: “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”
Berdasarkan ayat tersebut ‘Abd al-Karim Zaydan menyatakan bahwa
seluruh ayat al-Qur’an dan Hadis Rasulullah saw. yang berisi perint ah tentang
amar ma’ruf nahi munkar merupakan dasar hukum pelaksanaan hisbah dalam
Islam.
Berdasarkan fakta sejarah bahwa Rasulullah menunjuk Sa’id bin Sa’id
al‘As sebagai muhtasib pasar Mekkah, setelah fath al-Makkah tahun 630 M,
sedangkan pasukan Byzantium dikalahkan pasukan Islam dalam pertempuran di
Yarmuk pada bulan Agustus 634 M di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid
pada masa akhir jabatan Khalifah Abu Bakar dan awal Khalifah ‘Umar bin al-
Khattab, dan dalam pertempuran di Malazgird oleh pasukan Seljuk pada tahun
1071 M. Oleh karena itu, lembaga hisbah dibentuk pada awal Islam ketika belum
ada kontak apapun dengan Byzantium. Jadi, bagaimana mungkin Isla m akan
meniru lembaga Agronomos Byzantium jika tidak ada kontak sama sekali dengan
daerah tersebut.
Tugas hisbah, walaupun terlembaga secara resmi pada periode
kemudian, namun pelaksanaannya telah dimulai dari masa yang paling awal yaitu
masa Rasulullah saw, sesuai dengan tugasnya yaitu mengajak orang untuk
melakukan kebaikan dan menjauhkan diri dari kemungkaran. Asal-usul lembaga
hisbah itu berawal ketika Rasulullah saw selalu melakukan pengawasan dan
investigasi terhadap aktifitas yang dilakukan oleh para gubernur dan pejabat-
32

pejabat ya. Jika beliau mendapati salah seorang di antara mereka melakukan lain
ketidakadilan maka beliau tidak segan-segan mengganti pejabat itu dengan yang
lain.67

Inspeksi pengawasan yang dilakukan Rasulullah saw ini tidak lain


adalah upaya mencegah seseorang dari melakukan suatu tindakan yang bisa
merugikan orang lain atau perbuatan yang tidak disukai Allah. Untuk membantu
melakukan pengawasan pasar, beliau menunjuk Sa’id bin Sa’id bin al-‘As sebagai
muhtasib pertama di pasar Mekkah dan ‘Umar bin al- Khattab sebagai muhtasib di
pasar Madinah. Insiden ini secara jelas membuktikan bahwa lembaga hisbah itu
telah ada pada masa Rasulullah, tetapi belum dibentuk secara resmi. Hal ini dapat
dijadikan presiden bagi Khulafa’ al Rasyidin untuk melanjutkan keberadaan
lembaga ini pada masa pemerintahan mereka.
Pengawasan yang dilakukan oleh Rasulullah saw itu merupakan bagian
penting dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar agar dalam hubungan antar
sesama manusia tidak ada yang dirugikan. Sehingga tercipta masyarakat yang
damai dan tenteram dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara dengan
semangat persaudaraan antar sesama manusia. Pada masa al-Khulafa’ al-
Rashidun, lembaga hisbah terus berjalan sesuai dengan perkembangan masyarakat
Islam yang terus menyebar ke berbagai kota besar seiring dengan perluasan
wilayah kekuasaan daulah islamiyyah dari satu khalifah ke khalifah lainnya.68
Pada masa Abu Bakar (632-634 M), beliau sendiri yang menjadi
muhtasib, seperti yang ditunjukkannya dengan tindakan memerangi orang- orang
murtad, orang yang menafikan kewajiban membayar zakat dan orang yang
mengaku menjadi nabi. Kemudian pada masa ‘Umar bin al- Khattab (634-644 M),
hisbah mendapat perhatian yang lebih serius. ‘Umar sering mengadakan inspeksi

67 Menurut Ibnu taimiyah, Rasulullah saw melakukan inspeksi ke pasar-pasar untuk


mengecek harga dan mekanisme pasar. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw sangat
peduli dengan bahan makanan pokok. Jika harga padi-padian murah maka beliau pergi ke pasar
untuk membuktikan apakah padi yang dijual itu basah atau kering dengan memasukkan tangan ke
dalam onggokan padi tersebut. Beliau bertanya kepada penjual mengapa tidak meletakkan padi
yang basah di atas sehingga orang mudah melihatnya. Lalu beliau bersabda bahwa orang yang
menipu bukan golongan umatnya.

68 Akhmad Mujahidin, “Eksistensi Lembaga Hisbah dalam Sejarah: Analisis Terhadap


Peran Muhtasib dalam Perdagangan,” Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 4, No. 2, (Juli-Desember
2005), h .120-122.
33

ke pusat-pusat perdagangan dan memantau perkembangannya. Bahkan ‘Umar


terkenal sebagai khalifah yang rajin keluar pada malam hari untuk melihat
keadaan rakyatnya. Salah satu kebijakan yang dilakukan ‘Umar adalah
mengangkat muhtasib tidak hanya dari kaum laki- laki, seperti Sa’id bin Yazid
dan ‘Abd Allah bin ‘Utbah bin Mas’ud untuk pasar Madinah, tetapi juga dari
kaum wanita, seperti
Sayyidah al-Shifa’ dan Samra’ bint i Nuhayk al-Asadiyyah di kota Madinah.69
Pada masa ‘Umar, wewenang hisbah meliputi larangan terhadap unta
yang kelebihan muatan di punggungnya, mengawasi penerapan akhlak yang
mulia, mengawasi pelaksanaan hukum-hukum syari’ah, mengawasi peraturan
yang berlaku di pasar-pasar, merubah perilaku masyarakat tanpa menimbulkan
kekecewaan sehingga tidak menimbulkan tertundanya pelaksanaan hukum,
memeriksa timbangan dan takaran untuk mencegah terjadinya kecurangan dan
penipuan, memberi hukuman kepada para pelanggar syari’ah atau pelaku dosa,
melarang penyerobotan terhadap hak-hak tetangga dan melarang bangunan orang
non-muslim (ahl al-dhimmah) yang lebih tinggi dibandingkan bangunan kaum
muslimin.
Pada masa Khalifah ‘Uthman bin ‘Affan (644-656 M), muhtasib yang
diangkatnya adalah al-Haris bin al-Hakam.70 Sedangkan pada masa Khalifah ‘Ali
bin Abi Thalib (656-661 M), beliau sendiri yang menjadi muhtasib dan
mengadakan inspeksi ke pasar-pasar. Kemudian beliau juga mengangkat Samrah
ibn Jamrah menjadi muhtasib di Kota Ahwaz. Tugas ini dilaksanakan sampai pada
masa awal kekuasaan Daulah Bani Umayyah.
Berdasarkan tersebut, dapat dipahami bahwa para al-Khulafa’ al-
Rasyidun telah menjadikan hisbah sebagai bagian penting dalam siste m pemer int
ahannya, sekaligus menjadikan dirinya sebagai mutasi secar a langsung selain

69 Akhmad Mujahidin, “Eksistensi Lembaga Hisbah dalam Sejarah: Analisis Terhadap


Peran Muhtasib dalam Perdagangan”, Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 4, No. 2, (Juli-Desember
2005), h. 122-123.

70 Akhmad Mujahidin, “Eksistensi Lembaga Hisbah dalam Sejarah: Analisis Terhadap


Peran Muhtasib dalam Perdagangan”, Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 4, No. 2, (Juli-Desember
2005), h. 122-123.
34

petugas yang ditunjuknya. Dengan adanya perint ah al- Qur’an dan praktek yang
dijalankan oleh Rasulullah itu, maka jelaslah bahwa sebuah negara terikat
kewajiban untuk menjalankan dan mempraktekkan institusi hisbah ini, karena
efektifitas kerja lembaga hisbah ini hanya bisa dicapai bila ada dukungan
kekuatan politik. Hal ini bisa dilihat dari fakta sejarah, baik pada masa Rasulullah
saw maupun pada masa khalifah sesudah beliau. Penentuan dan pengangkatan
orang yang melakukan tugas hisbah dilakukan oleh negara.71
3. Konsep Pengawasan dalam Wilayah Mazhalim
Wilayah mazhalim terdiri dari dua suku kata yaitu wilayah dan mazhalim.
Kata wilayah berarti “tempat menghukum” yang merupakan bentuk ismun
makanun yaitu kata yang menunjukkan keterangan tempat, dari asal kata hakman
yang memiliki arti hukum/hukuman. Sedangkan kata Madzalim memiliki arti
yaitu orang-orang yang didzalimi yang merupakan ismun maf’ulun dalam bentuk
shigat muntahal jumuk, kata yang menunjukkan objek dalam bentuk jamak, dari
asal kata dzulman yang artinya kedzaliman.72
Berdasarkan pengertian dari kata per-kata dapat disimpulkan bahwa
wilayah mempunyai berarti pengadilan. Sedangkan kata Madzalim yang
merupakan bentuk jamak dari madzlimah yang berarti kejahatan, kesalahan,
ketidaksamaan, dan kekejaman yaitu tempat untuk mengadili orang-orang yang
melakukan kejahatan.
Wilayah Mazhalim adalah suatu komponen peradilan yang berdiri
sendiri dan merupakan lembaga peradilan untuk mengurusi penyelesaian perkara
perselisihan yang terjadi antara rakyat dan negara. Selain itu, juga menangani
kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat tinggi, bangsawan,
hartawan, atau keluarga sultan terhadap rakyat biasa. Secara operasional, hakim
lembaga ini bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh

qadha dan hisbah.


71 Akhmad Mujahidin, “Eksistensi Lembaga Hisbah dalam Sejarah: Analisis Terhadap
Peran Muhtasib dalam Perdagangan,” Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 4, No. 2, (Juli-Desember
2005), h..122-123.

72 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,


(Jakarta: Kencana, 2008), h.168.
35

Lembaga Wilayah Mazhalim punya kewenangan untuk menerima upaya


banding atau peninjauan kembali terhadap putusan yang dibuat oleh hakim qadha
dan hisbah.73 Mahkamah Madzalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang
pengadilan, yang lebih tinggi dari kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib.
Lembaga Wilayah Mazhalim memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk
kedalam wewenang hakim biasa. Wilayah Mazhalim memeriksa perkara-perkara
penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim maupun
anak-anak dari orang-orang yang berkuasa.
Sebagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam Wilayah Mazhalim
adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya dan
sebagainya pula tidak memerlukan pengaduan dari yang bersangkutan, tetapi
memang jadi wewenang lembaga untuk memeriksa.

73 Imam Al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam.


Terj. Fadli Bahri, Cet. II, (Jakarta: Darul Falah, 2006), h.132.
36

Anda mungkin juga menyukai