Anda di halaman 1dari 48

UNIVERSITAS INDONESIA

MAKALAH AKHIR
Sejarah Judicial Review Amerika Serikat, Jerman, dan
Indonesia Serta Perkembangannya

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Politik Hukum


Dosen Pengampu: Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.

Bintang Parashtheo
NPM 2006615490 (No. Presensi 19)
Kelas Hukum Ekonomi Pagi

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
JAKARTA
JUNI 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat

dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul " Sejarah

Judicial Review Amerika Serikat, Jerman dan Indonesia Serta Perkembangannya "

dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum

Politik Hukum. Selain itu, Makalah ini bertujuan menambah wawasan

tentang keilmuan mengenai politik hukum pada umumnya, dan keilmuan mengenai

sejarah judicial review serta perkembangannya pada khususnya bagi para pembaca

dan juga bagi penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr.

Satya Arinanto, S.H., M.H. selaku Dosen Pengampu mata kuliah Politik Hukum.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu

diselesaikannya Makalah ini. Penulis menyadari Makalah ini masih jauh dari

sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi

kesempurnaan paper ini.

Jakarta, 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i

DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii

DAFTAR TABEL...................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5

C. Tujuan ........................................................................................................ 5

BAB II SEJARAH JUDICIAL REVIEW ..................................................................... 7

A. Amerika Serikat .......................................................................................... 7

B. Jerman ..................................................................................................... 15

C. Indonesia.................................................................................................. 17

BAB III PERKEMBANGAN JUDICIAL REVIEW .................................................... 29

A. Sistem Uji Materiil Yang Dianut Negara Amerika Serikat dan Jerman. .... 29

B. Sistem Uji Materiil Yang Dianut Oleh Negara Indonesia. ......................... 32

ii
C. Dampak Mendasar Yang Menjadi Alasan Pentingnya Peradilan Tata

Usaha Negara Dalam Negara Hukum Demokratis............................................. 33

BAB IV PENUTUP................................................................................................. 38

A. Kesimpulan .............................................................................................. 38

B. Saran........................................................................................................ 40

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 41

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan Konstitusi RIS dan UUDS 1950………………………...........23

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semua bermula pada suatu tahun, sebuah tahun yang berat bagi suatu

negara besar dimana kejadian pertama kali munculnya sejarah pengujian

(judicial review) dimulai sejak adanya kasus Marbury versus Madison Ketika

Mahkamah Agung Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall pada tahun

1803.1 Semejak kasus tersebut, ide pengujian Undang – Undang menjadi

populer dan secara luas didiskusikan dan diperbincangkan dibanyak negara,

yang kemudian merambah kebanyak negara – negara Eropa, salah satunya

adalah negara Jerman,2 hingga ke negara Asia Tenggara dimana ide ini juga

mempengaruhi sehinnga “the founding fathers” Indonesia dalam sidang BPUPKI

tanggal 15 Juli 1945 mendiskusikannya secara mendalam.3

1 Assiddiqie, Jimly. 2004. "Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang." Jurnal Hukum
Nomor 27 Volume 11 September 2, hlm. 2.
2 Nasir, Cholidin. 2020. "Judicial Review di Amerika Serikat, Jerman, dan Indonesia." Jurnal Hukum

Progresif, Volume 8 Nomor 1, April 67, hlm. 67.


3 Assiddiqie, Jimly, Op.cit.

1
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

1945) dalam Amandemen Ketiganya secara tegas menyebutkan bahwa negara

Indonesia adalah negara hukum.4 Aturan dasar yang dapat dikatakan sebagai

pedoman semua aspek – aspek berkehidupan. Disebabkan hal tersebut, seluruh

tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, berpedoman

pada norma hukum.5 Negara menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan

negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya

dilakukan di bawah kekuasaan hukum, disebabkan hal tersebut, seluruh sistem

penyelenggaraan ketatanegaraan harus berdasarkan konstitusi.6

Penyelenggaraan negara yang didelegasikan kepada organ – organ

negara harus berjalan sesuai dengan koridor hukum yang ditentukan oleh

konstitusi.7 Dapat disimpulkan bahwa setiap penyelenggaraan kekuasaan

negara atau pemerintahan selalu terbangun oleh dan berlandaskan pada prinsip

– prinsip serta ketentuan – ketentuan konstitusi.8

4 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen
Ketiga, Pasal 1 ayat (3).
5 Effendy, Marwan. 2005. Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Prespektif Hukum. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, hlm. 1.
6 D., Mahfud M. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta:
LP3ES, hlm. 57.
7 Assiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, hlm.
57.
8 Bachtiar. 2015. Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi pada Pengujian UU
Terhadap UUD. Jakarta: Raih Asa Sukses, hlm. 9.

2
“Dari Rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” merupakan ungkapan

pengertian demokrasi yang sudah banyak diketahui masyarakat awam.

Demokrasi secara etimologis adalah berasal dari bahasa Yunani, yaitu

gabungan dari kata Demos dan Kratos, demos dapat diartikan sebagai rakyat/

khalayak, dan Kratos dapat diartikan sebagai pemerintahan. Kamus Besar

bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan demokrasi adalah bentuk atau sistem

pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan

perantaraan wakilnya yang terpilih.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam definisi diatas, dalam sistem

demokrasi penyelenggaraan negara itu harus bertumpu pada partisipasi dan

kepentingan rakyat. Implementasi negara hukum itu harus di topang dengan

sistem demokrasi dan hubungan antara negara hukum dan demokrasi tidak

dapat dipisahkan. Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk

dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. 9 Dalam

suatu negara hukum yang demokratis, kekuasaan harus dibatasi dan

konstitusilah merupakan media yang tepat dalam membatasi kekuasaan dalam

suatu negara. Untuk menjaga agar konstitusi tidak disalahgunakan oleh

penguasa maka diperlukan lembaga yang diberikan tugas khusus untuk menjaga

konstitusi, dan sekaligus menyelesaikan segala problematika ketatanegaraan

9 R., Ridwan H. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajagrafindo Persada, hlm. 8.

3
akibat pengabaian tugas utamam penyelenggara negara sebagai pengemban

amanat konstitusi. Sistem ketatanegaraan di Indonesia menngenal lembaga

yang bernama Mahkamah Konstitusi. Lahir dan adanya lemabaga ini dalam

struktur ketatanegaraan Indonesia adalah dalam rangka mewujudkan sistem

pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan prinsip check and

balance.10

Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji secara

konstitusionalitas suatu Undang – Undang, menguji sejauh mana Undang –

Undang yang bersangkutan bersesuai atau bertentangan dengan UUD.11

Pengujian ini penting karena Undang – Undang adalah produk politik, sebab ia

merupakan kristalisasi, formalisasi, atau legalisasi dari kehendak – kehendak

politik yang saling bersaingan, baik melalui kompromi politik maupun melalui

dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar.12

Selain Mahkamah Konstitusi, di negara Belanda sistem uji materiil (judicial

review) juga dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Pendirian

Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu perubahan terpenting

dalam sistem hukum Indonesia.13 Perlindungan hukum dan supremasi hukum

10 Assiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press, hlm. 20.
11 Bachtiar, Op. cit, hlm. 11.
12 D., Mahfud M. 2009. Politik Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, hlm. 5.
13 Bedner, Adriaan W. 2010. Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Jakarta: Hu-Ma, hlm. 1.

4
adalah konsep – konsep yang tidak lazim dikaitkan dengan rezim orde baru yang

otoriter. Sebuah topik yang menarik bila melihat bahwa di Indonesia sendiri

Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan ciptaan yang menyebabkan

perubahan yang sangat dalam terhadap lingkungan hukum, maka perlu diketahui

oleh khalayak umum bagaimana konteks politik yang terdapat dalam sejarah

pembentukan lingkungan pengadilan tersebut, dan bagaimana dampak

mendalam adanya Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap konstitusi yang

menganut sistem demokrasi di Indonesia sendiri.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan apa yang dijelaskan dalam latar belakang di atas, dapat

dirumuskan dan diambil beberapa permasalah yaitu:

1. Bagaimana sejarah politik yang berkaitan dengan judicial review di negara

Amerika Serikat, Jerman, dan Indonesia?

2. Bagaimana perkembangan judicial review di berbagai negara dan

perbandingannya dengan negara Indonesia?

C. Tujuan

Berdasarkan apa yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah

diatas, dapat diambil tujuan daripada makalah ini dibuat, yaitu:

5
A. Untuk mengetahui sejarah politik yang berkaitan dengan judicial review di

negara Amerika Serikat, Jerman, dan Indonesia

B. Untuk Mengetahui perkembangan judicial review di berbagai negara dan

perbandingannya dengan negara Indonesia.

6
BAB II

SEJARAH JUDICIAL REVIEW

A. Amerika Serikat

Judicial review atau uji materiil tidak dikenal sama sekali pada awal

sejarahnya negara Amerika Serikat hingga munculnya gugatan pertama judicial

review yang diajukan ke Makmakah Agung Amerika serikat terjadi pada tahun

1796 dalam kasus Hylton vs. Amerika Serikat. Sebelum membahas lebih lanjut

mengenai sejarah perjalanan politik hukum dalam uji materiil di Indonesia, lebih

dahulu harus dipahami mengenai konsepsi daripada demokrasi. Negara hukum

yang demokratis, tidak akan terlepas dari pembahasan tiga subtansi dasar

yangn dikandungnya, yaitu negara hukum itu sendiri, konstitusi, dan

demokrasi.14

Negara hukum pada hakikatnya menghendaki adanya supremasi

konstitusi. Supremasi konstitusi di samping merupakan akibat daripada konsep

negara hukum, sekaligus juga merupakan pelaksanaan demokrasi karena

14 Bachtiar, Op. cit, hlm. 28.

7
konstitusi merupakan wujud pelaksanaan perjanjian sosial tertinggi. 15 Paham

negara berdasarkan atas konstitusi tidak dapat dipisahkan dari negara

berdasarkan hukum. Keduanya sama – sama bertujuan untuk membatasi

kekuasaan pemerintah dan menolak setiap bentuk kekuasaan tanpa batas. 16

Konstitusi adalah fondasi menuju demokrasi.17 yang berarti merupakan

dasar untuk tujuan demokrasi atau dapat dikatakan sebuah prasyarat untuk

demokrasi dapat berjalan dengan baik, atau dengan kata lain penyelenggaraan

pemerintahan harus terbangun oleh dan berlandaskan pada prinsip – prinsip dan

ketentuan – ketentuan konstitusi.18

Berlanjut kepada sejarah judicial review di Amerika Serikat, dimana

pada kasus Marbury vs Madison di tahun 1803 merupakan sejarah awal adanya

judicial review pada masa masa pemerintahan Presiden John Marshall.

Walaupun objek gugatan bukanlah sebuah Undang – Undang, namun sebuah

writ of mandamus yaitu sebuah gugatan untuk membuat oejabat publik untuk

melakukan sesuatu saja.19

15 Arinanto, Satya, and Ninuk Triyanti. 2009. Memahami Hukum dan Konstruksi Sampai
Implementasi. Jakarta: Rajawali Press, hlm. 223.
16 Manan, Bagir, and Kuntana Magnar. 1993. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia.

Bandung: Alumni, hlm. 104.


17 Eschborn, Norbert. 2005. Tugas dan Tantangan Mahkamah Konstitusi di Negara-Negara

Transformasi dengan Contoh Indonesia. Jakarta: Konrad Adenauer Stiftung, hlm. 27.
18 Bachtiar, Op. cit, hlm. 29.
19 Nasir, Cholidin, Op.Cit, hlm. 69.

8
Semula, John Marshall adalah menjabat sebagai Secretary of State

dalam Pemerintahan Presiden John Adams yang dikenal sebagai tokoh The

Federalist (Partai Federal). Presiden John Adams adalah Presidan pertama yang

menduduki Gedung Kepresidenan yang baru dibangun. Istrinya Abigail tiba

disana pertama kalinya di bulan November tahun 1800.20 Dalam pemilihan

umum tahun 1800 untuk masa jabatan keduanya, John Adams dikalahkan oleh

Thomas Jefferson dari Partai Democratic-Republic.21

Setelah kalah, dalam masa peralihan untuk serah terima jabatan

dengan Presiden terpilih Thomas Jefferson, John Adams membuat keputusan-

keputusan yang di antaranya, menurut para pengeritiknya dimaksudkan untuk

menyelamatkan sahabat-sahabatnya sendiri supaya mendapatkan kedudukan-

kedudukan yang penting. Termasuk, Secretary of State John Marshall

diangkatnya menjadi Ketua Mahkamah Agung (Chief Justice).22

Maret 1801 Jefferson berjalan dari rumah indekos dekat ke ruang senat

didalam bangunan Capitol untuk mengambil sumpahnya dari John Marshall,

sepupu jauhnya dan Hakim Ketua Amerika Serikat yang baru dipilih dari

Marshall.23 Mereka-mereka yang namanya tercantum dalam surat

20 Arinanto, Satya. 2001. Politik Hukum 3. Jakarta: Faculty of Law University of Indonesia, hlm. 3.
21 Dunn, Susan. 2004. Jefferson's Second Revolution: The Electron Crisis of 1800 and the Triumph
of Replubicanism. New York: Houghton Mifflin Company, hlm. 28.
22 Assiddiqie, Jimly. 2021. Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah

Konstitusi. Mei 15. http://jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-


gagasan-pembentukan-mk/, diakses pada tanggal 15 April 2021.
23 Arinanto, Satya, Op.Cit, hlm. 5.

9
pengangkatan hakim perdamaian itu antara lain ialah William Marbury, Denis

Ramsay, Robert Townsend, William Harper. Karena surat pengangkatannya itu

ditandatangani dan dicap di detik-detik terakhir menjelang pergantian Presiden

dari John Adams ke Thomas Jefferson (4 Maret 1801), William Marbury dan

kawan-kawannya itu kemudian dijuluki sebagai “midnight judges”.24

Sayangnya, copy surat pengangkatan mereka tidak sempat lagi

diserahterimakan sebagaimana mestinya. Pada keesokan harinya, tanggal 4

Maret 1801, surat-surat tersebut masih berada di kantor kepresidenan. Karena

itu, ketika Thomas Jefferson sebagai Presiden baru mulai bekerja pada hari

pertama, surat – surat itu ditahan oleh James Madison yang diangkat oleh

Presiden Thomas Jefferson sebagai the Secretary of State menggantikan John

Marshall.25 Madison menahan surat itu karena dianggap sudah tidak relevan

karena Presiden sudah berganti dari John Adams ke Thomas Jefferson.26

Atas dasar penahanan surat itulah maka Willaim Marbury dkk melalui

kuasa hukum mereka, yaitu Charles Lee yang dikenal sebagai mantan Jaksa

Agung Federal, mengajukan tuntutan langsung ke Mahkamah Agung yang

dipimpin oleh John Marshall agar sesuai dengan kewenangannya

24 Rehnquist, William H. 2002. The Supreme Court (Revised and Update). New York: Vintage Book
- Random House, hlm. 26-27.
25 Assiddiqie, Jimly, Op.cit.
26 Assiddiqie, Jimly. 2005. Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta:

Konstitusi Press), hlm. 17.

10
memerintahkan Pemerintah melaksanakan tugas yang dikenal sebagai „writ of

mandamus‟ dalam rangka penyerahan surat-surat pengangkatan tersebut.

Karena, pengangkatan mereka menjadi hakim telah mendapat persetujuan

Kongres sebagaimana mestinya dan pengangkatan itu telah pula dituangkan

dalam Keputusan Presiden yang telah ditandatangani dan telah dicap resmi

(sealed).27

Ketua MA John Marshall saat itu menyatakan bahwa Section 13

Judiciary Act of 1789 yang memberikan kewenangan MA mengeluarkan surat

perintah pengadilan (writ of mandamus) yang memerintahkan pejabat

melaksanakan tugas dari jabatannya itu, yang juga berlaku kepada pejabat

negara dengan posisi setinggi James Madison (Secretary of State/setingkat

Mendagri dan Menlu digabungkan di Indonesia) pada waktu itu dinyatakan

bertentangan dengan Pasal III Konstitusi Amerika Serikat di mana MA hanya

berwenang untuk perkara yang melibatkan duta besar, pejabat setingkat

menteri, pejabat konsuler dari negara lain serta perkara yang melibatkan satu

negara bagian sebagai pihak dalam perkara tersebut, sementara Marbury bukan

kedua-duanya28

27 Assiddiqie, Jimly. 2021. Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah
Konstitusi, Op.cit.
28 Latif, Abdul. 2009. Fungsi Mahkamah Konstitusi: Upaya Mewujudkan Negara HUkum Demokrasi.

Yogyakarta: Total Media, hlm.188.

11
Pro kontra muncul dalam masyarakat Amerika Serikat mengenai hal ini.

Bahkan dari Pemerintah dan Kongres muncul komentar-komentar yang pada

pokoknya tidak berpihak kepada para penggugat. Tetapi, dalam putusan yang

ditulis sendiri oleh John Marshall, jelas sekali Mahkamah Agung membenarkan

bahwa pemerintahan John Adams telah melakukan semua persyaratan yang

ditentukan oleh hukum sehingga William Marbury dan kawan-kawan dianggap

memang berhak atas surat-surat pengangkatan mereka itu menurut hukum.

Namun, Mahkamah Agung sendiri dalam putusannya menyatakan tidak

berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan

surat-surat dimaksud.29

Di dalam salah satu pertimbangan hukumnya, Supreme Court

mendalilkan pertimbangan sebagai berikut:

“It one of the purpose of written constitution to define and limit the

powers of the legislature. The legislature cannot be permittes to pass

statutes contrary to a constitution, if the letter is to prevail as superior law.

A court avoid choosing between the constitution and a conflicting statute

when both are relevant to a case which the court is asked to decide. Since

29 Assiddiqie, Jimly, Op.cit.

12
the constitution is paramount law, judges have no choice but to prefer it to

refuse to give effect to the latter.”30

Mahkamah Agung menyatakan bahwa apa yang diminta oleh

penggugat, yaitu agar Mahkamah Agung mengeluarkan ‘writ of mandamus’

sebagaimana ditentukan oleh Section 13 dari Judiciary Act Tahun 1789 tidak

dapat dibenarkan, karena ketentuan Judiciary Act itu sendiri justru bertentangan

dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat. Oleh karena itu, dalil yang

dipakai oleh Mahkamah Agung di bawah pimpinan Chief Justice John Marshall

untuk memeriksa perkara Marbury versus Madison itu, bukanlah melalui pintu

Judiciary Act Tahun 1789 tersebut, melainkan melalui kewenangan yang

ditafsirkannnya dari dari konstitusi. Konstitusi tertulis dimaksudkan penyusunnya

sebagai kaidah-kaidah hukum yang paling fundamental sehingga tindakan-

tindakan eksekutif, termasuk UU yang dihasilkan kekuasaan legislatif yang

bertentangan dengan kaidah-kaidah konstitusi tidak berlaku sah dan tidak

mengikat. Pengadilan memiliki kewanangan untuk menilai hal tersebut.31

Dengan sendirinya, menurut John Marshall, segala undang-undang

buatan Kongres, apabila bertentangan dengan konstitusi sebagai „the supreme

law of the land’ harus dinyatakan „null and void‟. Kewenangan inilah yang

30 Fanani, Ahmad Zaenal. n.d. Hermeneutika Hukum Sebagai Metode Penemuan Hukum: Telaah
Filsafat Hukum, hlm. 11-12.
31 Harman, Benny K. 2013. Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi: Sejarah Pemikiran Pengujian

UU Terhadap UUD. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hlm. 63.

13
kemudian dikenal sebagai doktrin ‘judicial review‟ sebagai sesuatu yang sama

sekali baru dalam perkembangan sejarah hukum di Amerika Serikat sendiri dan

juga di dunia.32

Di dalam mengambil putusan fenomenal tersebut Chief Justice John

Marshall mengemukakan tiga alasan mengapa ia sampai pada putusan itu.

Pertama, hakim bersumpah untuk menujunjung tinggi konstitusi, sehingga jika

ada peraturan yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, maka hakim

harus melakukan pengujian terhadap peraturan tersebut. Kedua, Konstitusi

adalah the supreme law of the land sehingga harus ada peluang pengujian

terhadap peraturan yang ada dibawahnya agar isi konstitusi itu tidak dilanggar.

Ketiga, hakim tidak boleh menolak perkara sehingga kalau ada yang

mengajukan permintaan judicial review, permintaan tersebut haruslah

dipenuhi.33

Dengan putusan itu, maka meskipun dalam pertimbangannya

membenarkan bahwa hak Marbury dkk adalah sah menurut hukum, tetapi

gugatan Marbury dkk ditolak karena Mahkamah Agung menyatakan tidak

berwenang mengeluarkan „writ of mandamus‟ seperti yang diminta. Namun

demikian, yang lebih penting lagi putusan itu justru membatalkan undang-

32 Assiddiqie, Jimly, Op.cit.


33 D., Mahfud M. 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, hlm. 99.

14
undang yang mengatur tentang ‘writ of mandamus’ itu sendiri yang dinilai oleh

Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, yaitu tepatnya

bertentangan dengan ketentuan Section 2 Article III UUD Amerika Serikat.34

B. Jerman

Judicial review di Negara Jerman, dikenal dengan dua jenis, yaitu,

Pengujian Norma Abstrak (abstract norm review) dan Pengujian Norma Konkret

(Concrete Norm Review) di mana keduanya baik abstract review maupun

concrete review dalam kerangka posteriori review, yaitu pengujian undang-

undang setelah undang-undang tersebut diundangkan35, dan penting untuk

diketahui bahwa abstract review yang berlaku di Jerman ini hanya dapat diajukan

oleh organ-organ negara tertentu saja. Sedangkan individu/perorangan tidak

diberi hak untuk mengajukan pengujian jenis ini. Mekanisme pengujian

konstitusional yang dapat diakses oleh individu/perorangan adalah mekanisme

concrete review, akan tetapi hal itu pun harus diajukan oleh hakim pengadilan

(judicial referral of constitutional question). Di Jerman Individu/perseorangan

dapat mengajukan melalui mekanisme constitutional complaint

(verfassungsbescwerde) yang merasa hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar

34 Assiddiqie, Jimly, Op.cit.


35 Finck, Danielle E. 1997. "Judicial Review: The United States Supreme Court Versus the German
Constitutional Court." Boston College International and Comparative Law Review 20, Nomor
1, hlm. 36.

15
oleh tindakan pejabat atau badan publik. Dalam pengujian norma abstrak yang

dilakukan di Jerman diajukan oleh Pihak-pihak (organ negara) yaitu (1)

Pemerintah Federal; (2) Pemerintah Negara Bagian; dan (3) 1/4 anggota

Bundestag.36

Selain menguji norma abstrak (abstract norm review), Mahkamah

Konstitusi Jerman juga mempunyai wewenang menguji norma konkret yang

disebut dengan istilah concrete norm review, yaitu pengujian terhadap norma

peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan/sudah berlaku setelah

ada penyerahan dari hakim peradilan umum atau dengan kata lain pengujian

undang-undang tersebut berawal dari kasus konkret yang sedang berjalan di

pengadilan37. Dalam mekanisme concrete review, suatu perkara berasal dari

peradilan umum. Penyerahan oleh badan peradilan umum itu baru dapat terjadi

setelah para pihak berperkara atau hakim pengadilan biasa (ordinary court)

menilai bahwa undangundang yang mendasari perkara tersebut diragukan

konstitusionalitasnya. Ketika penyerahan atau permohonan concrete review itu

sudah dilakukan, persidangan perkara tersebut harus ditunda sampai adanya

putusan Mahkamah Konstitusi mengenai konstitusionalitas undang-undang yang

dimohonkan pengujian. Dengan demikian melalui kedua mekanisme pengujian

36 Jerman, Basic Law 1949 (Konstitusi Federal Jerman).


37 Assiddiqie, Jimly, and Ahmad Syahrizal. 2012. Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Edisi Kedua.
Jakarta: Sinar Grafika.

16
baik abstrack review dan concrete review, menurut Erhard Blankenburg kini

Jerman telah menunjukan dirinya sebagai negara demokrasi yang stabil dengan

pola negara hukumnya yang mapan38.

Berdasarkan uraian penjelasan di atas maka terdapat perbedaan yang

mendasar antara judicial review di Amerika Serikat dan Jerman, yaitu pertama di

Negara Amerika Serikat berdasarkan praktik, judicial review tidak diajukan

langsung kepada Mahkamah Agung seperti judicial review yang berlaku di

Jerman tetapi melalui kasus konkret seperti kasus Marbury vs. Madison.

Sementara di Jerman judicial review bisa diajukan langsung ke Mahkamah

Konstitusi Federal Jerman oleh Pemerintah Federal, atau melalui kasus konkret

di pengadilan biasa yang diajukan oleh hakim pengadilan biasa. Kedua, di

Amareika Serikat judicial review tidak dilakukan terpusat oleh Mahkamah Agung

Amerika Serikat tetapi dapat dilakukan oleh pengadilan negara bagian atau yang

dikenal dengan Model Amerika atau desentralisasi, sedangkan di Jerman

dilakukan terpusat oleh Mahkamah Konstitusi Federal Jerman, yang dikenal

dengan Model Austria atau sentralisasi.

C. Indonesia

38 Palguna, I Dewa Gede. 2013. Constitutional Complaint (Pengaduan Konstitusional) Upaya Hukum
Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara. Jakarta: Sinar Grafika, hlm.
36.

17
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai sejarah perjalanan politik

hukum dalam uji materiil di Indonesia, lebih dahulu harus dipahami mengenai

konsepsi daripada demokrasi. Negara hukum yang demokratis, tidak akan

terlepas dari pembahasan tiga subtansi dasar yangn dikandungnya, yaitu negara

hukum itu sendiri, konstitusi, dan demokrasi.39

Negara hukum pada hakikatnya menghendaki adanya supremasi

konstitusi. Supremasi konstitusi di samping merupakan akibat daripada konsep

negara hukum, sekaligus juga merupakan pelaksanaan demokrasi karena

konstitusi merupakan wujud pelaksanaan perjanjian sosial tertinggi.40 Paham

negara berdasarkan atas konstitusi tidak dapat dipisahkan dari negara

berdasarkan hukum. Keduanya sama – sama bertujuan untuk membatasi

kekuasaan pemerintah dan menolak setiap bentuk kekuasaan tanpa batas.41

Konstitusi adalah fondasi menuju demokrasi.42 yang berarti merupakan

dasar untuk tujuan demokrasi atau dapat dikatakan sebuah prasyarat untuk

demokrasi dapat berjalan dengan baik, atau dengan kata lain penyelenggaraan

39 Bachtiar, Op. cit, hlm. 28.


40 Arinanto, Satya, and Ninuk Triyanti. 2009. Memahami Hukum dan Konstruksi Sampai
Implementasi. Jakarta: Rajawali Press, hlm. 223.
41 Manan, Bagir, and Kuntana Magnar. 1993. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia.

Bandung: Alumni, hlm. 104.


42 Eschborn, Norbert. 2005. Tugas dan Tantangan Mahkamah Konstitusi di Negara-Negara

Transformasi dengan Contoh Indonesia. Jakarta: Konrad Adenauer Stiftung, hlm. 27.

18
pemerintahan harus terbangun oleh dan berlandaskan pada prinsip – prinsip dan

ketentuan – ketentuan konstitusi.43

Demokrasi, dimana dalam demokrasi terkandung prinsip-prinsip

kedaulatan rakyat (democratie) sedangkan di dalam konsepsi negara hukum

terkandung prinsip-prinsip negara hukum (nomocratie), yang masing-masing

prinsip dari kedua konsepsi tersebut dijalankan secara beriringan sebagai dua

sisi dari satu mata uang. Paham negara hukum yang demikian dikenal dengan

sebutan “negara hukum yang demokratis” (democratische rechtsstaat) atau

dalam bentuk konstitusional disebut constitutional democracy.44 Demokrasi yang

benar adalah demokrasi yang teratur dan berdasarkan hukum.45 Sebagai

perjanjian sosial tertinggi, di satu pihak negara hukum haruslah demokratis dan

di pihak lain negara demokrasi itu haruslah didasarkan atas hukum.46

Indonesia adalah sebagai Negara Hukum yang Demokratis, menganut

kedaulatan rakyat sekaligus kedaulatan hukum.47 Dari sisi pemahaman

kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara berada di tangan

rakyat. Kekuasaan tertinggi di tangan rakyat itu dibatasi oleh kesepakatan yang

43 Bachtiar, Op. cit, hlm. 29.


44 Assiddiqie, Jimly. 2008. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamamn Konstitusi RI, hlm. 690.
45 Bachtiar, Loc. Cit.
46 Assiddiqie, Jimly. 2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran

Hukum, Media dan HAM. Jakarta: Konstitusi Press, hlm 298.


47 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan

Ketiga, 2001, Pasal 1.

19
mereka tentukan sendiri secara bersama-sama yang dituangkan dalam aturan

hukum yang berpuncak pada rumusan konstitusi sebagai produk kesepakatan

tertinggi dari seluruh rakyat.48

Melanjuti mengenai sejarah, Ketika Indonesia memproklamirkan

kemerdekaan nasionalnya di tahun 1945, diciptakan negara republik modern

berdasarkan basis prinsip demokratis. Dimulai dengan penciptaan institusi –

institusi demokratis.49 Periode terakhir dalam masa penjajahan Belanda ditandai

dengan meningkatnya otoritarianisme, yang jelas tidak memberikan kesempatan

bagi uji material, ditambah lagi karena sistem hukum tata negara Belanda tidak

mengenal pengujian Undang – Undang oleh badan peradilan, maka secara de

jure sistem yang sama berlaku di negeri jajahan.50 Tidak juga penaklukan Hindia

Belanda oleh Jepang pada tahun 1942, Jepang tidak sepenuhnya mengubah

sistem pengadilan Hindia Belanda dan tidak menciptakan pengadilan tata usaha

negara seperti yang diterapkan dinegerinya.51 Aturan hukum Belanda yang tetap

48 Pigome, Martha. 2011. "Implementasi Prinsip Demokrasi dan Nomokrasi Dalam Struktur
Ketatanegaraan RI Pasca Amandemen UUD 1945." Jurnal Dinamika Hukum Volume 11
Nomor 2, hlm. 336.
49 Arinanto, Satya. 2001. Politik Hukum 2 Part Three. Jakarta: Faculty of Law University of Indonesia,

hlm. 159.
50 Harman, Benny K. 2013. Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi: Sejarah Pemikiran Pengujian

UU Terhadap UUD. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hlm 164.


51 Bedner, Adriaan W, Op. cit, hlm 21.

20
berlaku adalah Pasal 20 ABvW, dengan syarat yaitu sepanjang tidak

bertentangan dengan kepentingan Jepang.52

Alasan kedua menolak mengenal kemerdekan yang baru diproklamirkan

dan pendirian NKRI, Belanda datang kembali ke Indonesia mencoba

mendapatkan kembali kontrol koloninya.53 Jadi revolusi Indonesia kemerdekaan

nasional dengan perjuangan bersenjata menentang Belanda. Selama revolusi,

Indonesia mengupayakan eksperimen baru dalam praktek demokrasi liberal.

Namun, konsep tersebut ditentang oleh Soepomo dengan alasan bahwa

demokrasi liberal bukan merupakan paham yang dianut oleh UUD 1945 yang

didalamnya tidak digunakan sistem pemisahan kekuasaan, yang membuat

kekuasaan kehakiman tidak akan mengontrol kekuasaan yang memebentuk

Undang – Undang.54 Uji materiil Undang – Undang pada saat itu juga menjadi

salah satu materi rancangan UUD yang menjadi berdebatan cukup panjang

dalam rapat BPUPKI.55 Demikian pula, kesepakatan umum bahwa konstitusi ini

bersifat sementara tidak berhasil mendorong pembahasan yang serius tentang

konsep negara. Dengan demikian, konstitusi yang dirancang oleh Soepomo ini

disahkan sebagai Undang – Undang Dasar yang baru lahir ini dengan beberapa

52 Mertokusumo, Sudikno. 1983. Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan di Indonesia Sejak


1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Liberty, hlm.
11 – 12.
53 Arinanto, Satya, Loc. Cit.
54 Benny K. Harman, Op. cit, hlm 169.
55 Soebechi, Imam. 2016. Hak Uji Materiil. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 84.

21
perubahan “liberal” setelah dikritik oleh anggota – anggota BPUPKI saat itu.56

Kemudian pada awal kemerdekaan pemerintah Indonesia menggunakan sistem

presidensial.

Masa parlementer dan peralihan ke demokrasi terpimpin diawali setelah

konfrensi meja bundar di Den Haag dan pengalihan kedaulatan pada 1949

indonesia mendapati sistem federal yang baru dan suatu konstitusi yang baru

pula. Pada tahun ini, terdapat dua Undang – Undangn dasar yang berlaku, yaitu

Konstitusi RIS dan UUDS 1950. 57Gagasan gagasan para tokoh seperti

Soepomo dan Yamin dituangkan dalam UUD 1950 yang kemudian disahkan dan

dikenal sebagai UUD Sementara. Tidak semua kosntitusi memuat uji materiil

terhadap Undang – Undang, bahkan Konstitusi RIS dan UUDS 1950 secara

tegas menganut Undang – Undang tidak dapat diganggu gugat.58 Tetapi,

terdapat dinamika bahwa konstitusi baru dianggap memperkuat posisi uji

material, dimana kedudukan badan peradilan diberikan posisi penting daripada

yang diatur dalam UUD 1945.59

Mahkamah agung dimungkinkan untuk menguji konstitusionalisme semua

ketentuan dalam peraturan atau hukum yang disusun negara dan atas

permintaan negara, dan peradilan perdata bisa melakukan uji material apabila

56 Bedner, Adriaan W, Op. cit, hlm 22.


57 Soebechi, Imam, Op. cit, hlm. 90.
58 Soebechi, Imam, Op. cit, hlm. 99.
59 Bedner, Adriaan W, Op. cit, hlm 25.

22
muncul dalam proses perdata sebagaimana disebutkan bahwa administrasi

keadilan dalam sengketa yang melibatkan hukum tata usaha negara akan

dilakukan oleh pengadilan perdata atau badan lain yang harus memenuhi syarat

– syarat keadilan dan kebenaran.60 Baik konstitusi RIS maupun UUDS 1950

mengatur alat – alat kelengkapan negara termasuk Mahkamah Agung, walaupun

dengan sedikit perbedaan berkaitan dengan bentuk negara Indonesia pada saat

itu, yang dijelaskan dalam table berikut ini:

Tabel 2.1

Perbedaan Konstitusi RIS dan UUDS 1950

Konstitusi RIS UUDS 1950

Republik Indonesia Serikat jang Republik Indonesia yang merdeka

merdeka dan berdaulat jalah suatu dan berdaulat ialah suatu

negara-hukum jang demokrasi dan NegaraHukum yang demokratis dan

berbentuk federasi.61 berbentuk kesatuan.62

60 Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Serikat Nomor 7 Tahun 1950 Tentang
Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia, 1950, Pasal 108.
61 Republik Indonesia, Konstitusi Republik Indonesia Serikat, 1950, Pasal 1 ayat (1).
62 Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Serikat Nomor 7 Tahun 1950 Tentang

Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang


Dasar Sementara Republik Indonesia, 1950, Pasal 1 ayat (1).

23
Mahkamah Agung Indonesia jalah Mahkamah Agung ialah Pengadilan

pengadilan federal tertinggi.63 Negara Tertinggi.64

Dalam menghadapi situasi krisis yang diciptakan oleh kemacetan majelis

konstituante, maka pembagian negara sepanjang garis ideologi, kondisi ekonomi

yang tidak menyenangkan, pemberontakkan, dan gejolak daiam hubungan

dengan Belanda seputar Irian Barat masih dalam kendali Belanda, kalangan

hukum khususnya korps hakim yang tergabung dalam ikatan hakim Indonesia

melancarkan gerakan hukum untuk menuntut agar Mahkamah Agung diberi

kewenangan menguji Undang – Undang,65 namun proses terhenti setelah

muncul usulan Presiden memutuskan membubarkan majelis konstituante dan

memutuskan dekrit konstitusi 45 dan dimulailah periode demokrasi terpimpin 66,

yang membuat badan peradilan kehilangan pencapaiannya dan kembali ke titik

awal. Uji material yang masih terbatas pada gugatan terhadap penguasa menjadi

semakin berat.

Ditandai dengan ketiadaan badan parlemen, demokrasi terpimpin

menyisakan peradilan sebagai satu – satunya institusi negara yang mampu

63 Republik Indonesia, Konstitusi Republik Indonesia Serikat, 1950, Pasal 147 ayat (1).
64 Republik IndonesiaUndang-Undang Republik Indonesia Serikat Nomor 7 Tahun 1950 Tentang
Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia, 1950, Pasal 105 ayat (1).
65 Lev, Daniel S. 1990. Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta:

LP3ES, hlm. 375.


66 Arinanto, Satya, Op. cit, hlm. 162.

24
melakukan pengendalian terhadap pemerintah, hingga beberapa tahun

kemudian dimana ketua Mahkamah Agung menjadi anggota kabinet dan pada

febuari 1965, disahkannya Undang – Undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang

Ketentuan – Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana disebutkan

didalamnya bahwa peradilan tata usaha negara negara sebagai lingkungan

peradilan tersendiri.67 Persiapan demi persiapan dilakukan oleh Menteri

Kehakiman Astrawinata untuk menyiapkan Rancangan Undang – Undang

tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Rangcangan Undang – Undang ini mengadung beberapa revolusi kecil

dan digunakan sebagai manifesto politik hukum kekuasaan kehakiman dan

peradilan di Indonesia.68 Meskipun telah berlangsung peralihan dari masa

demokrasi terpimpin ke asa orde baru, demokrasi terpimpin sudah digantikan

demokrasi Pancasila dan ini adalah pengalaman baru dimana praktik demokratis

akan disesuaikan pada tradisi Indonesia, kultur dan karakternya. Ciri utama

demokrasi pancasila selama orde baru adalah naiknya peran militer. Militer

mengambil bagian dalam bidang non-militer terutama kehidupan nasional.69

Meskipun demikian, RUU ini masih mencerminkan ciri – ciri demokrasi terpimpin,

dimana adanya pencampuran antara uji material dengan beberapa ciri sistem

67 Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan – Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 7 ayat (1).
68 Soebechi, Imam, Op. cit, hlm. 94.
69 Arinanto, Satya, Op. cit, hlm. 164.

25
banding administratif, yaitu adalah susunan panitia hakim yang berisikan

seorang hakim profesional sebagai ketua, dan seorang anggota DPRD dan

empat pejabat departemen berbeda akan menjadi hakim anggota, serta

penyidikan yang dilakukan tertutup sehingga memungkinkan adanya

keberpihakan dalam prosedur. Wawanang peradilan tata usaha negara dalam

RUU masih dibatasi pada kasus – kasus seputar gugatan terhadap penguasa,

pegawai negeri, refosmasi agrarian, pajak, bea cukai, perumahan dan kontrak.

Hal ini didasari pada alasan bahwa pembatasan ini hanya berlaku sementara

hingga peradilan baru ini selesai mempelajari kasus – kasus tersebut dan akan

diperluas cakupannya kemudian hari. Gagasan untuk membentuk pengadilan

tersendiri pun menjadi tidak begitu jelas karena komitmen pemerintah untuk

mendirikan peradilan tata usaha negara seperti dimuat dalam UU Nomor 19

Tahun 1964.

Tahun – tahun pertama dimasa orde baru muncul banyaknya keinginan

bahwa kepastian hukum akan kembali dan sasaran utamanya adalah

pencapaian yang masih menggantung yaitu kekuasaan penuh untuk melakukan

uji konstitusional pada Mahkamah Agung70 serta kemandirian peradilan

sepenuhnnya dari lembaga kehakiman, serta membentuk peradilan tata usaha

negara yang terpisah. Dibahas lebih lanjut dalam seminar hukum nasional pada

70 S., Pompe. 1996. The Indonesian Supreme Court: Fifty Years of Judicial Development. Leiden:
Leiden University, Halaman 67.

26
1968 oleh Ikatan Hakim Indonesia dan organisasi hukum lainnya dengan

mendapatkan keputusasn untuk mendukung pembentukan pengadilan tata

usaha negara yang mandiri di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.71 Masa

peralihan pun berkahir dengan disahkannya Undang – Undang Nomor 14 Tahun

1970 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, hak uji

material tidak diberikan kepada Mahkamah Agung dan administrasi peradilan

tetap dikelola oleh departemen kehakiman, namun peraturan – peraturan selain

ketetapan MPR dapat digugat langsung di muka Mahkamah Agung walaupun

kekuasaan dalam badan ini hanya dibatasi untuk mengeluarkan perintah untuk

menarik kembali peraturan itu, alias tidak dapat langsung membatalkannya.72

Dengan kondisi sosial dan ekonomi yang menyebabkan keperluan akan uji

material meningkat, maka dimungkinkan bahwa pembetukan pengadilan tata

usaha negara akan terwujud dengan dukungan politik orde baru, terlebih pada

13 mei 1982 pemerintah Indonesia mengirimkan RUU PTUN ke DPR. Meskipun

memiliki banyak permasalahan yang timbul, mulai dari proses yang tergesa –

gesa dikarenakan akan adanya pembaruan DPR, ABRI yang tidak mendukung

gagasan ini secara terang – terangan, hingga penyusunan RUU yang dianggap

mencurigakan dan bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun

1970 karena melibatkan sedikit politikus dan hanya terdiri dari pejabat

71 Bedner, Adriaan W, Op. cit, hlm 38.


72 Bedner, Adriaan W, Loc. Cit.

27
departemen kehakiman dan beberapa hakim yang seharusnya tim dibuat antar

departemen, dan pada akhirnya pembatalan pun menjadi keputusan yang dipilih

terhadap RUU ini.

Terakhir semejak RUU PTUN 1982, RUU baru tentang cara berperkara di

pengadilan tata usaha negara mulai kembali disusun. Dimana awalnya

terencana untuk memperbaiki apa yang ada di dalam RUU 1982 dan

menggabungkannya dengan RUU yang baru, alih – alih diputuskan untuk hanya

berfokus untuk membuat RUU yang baru dengan melibatkan Indroharto yang

faseh berbahasa Belanda dan mengenal baik sistem peradilan Belanda. Singkat

cerita, pada tanggal 20 desember 1986, sidang pleno diadakan dan 9 hari

kemudian UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

diumumkan. Keberhasilan yang tidak luput dari pengaruh dukungan politik yang

mendukung dari segi keadaan dimana panitia pembahas dan pengesahan telah

saling mengenal dan akrab dengan Menteri Kehakiman Ismail Saleh yang

memiliki kemampuan yang tinggi dalam membela kedudukannya.73

73 Bedner, Adriaan W, Loc. Cit.

28
BAB III

PERKEMBANGAN JUDICIAL RIVIEW

A. Sistem Uji Materiil Yang Dianut Oleh Negara Amerika Serikat dan

Jerman.

Konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara dan

menetukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir

dari setiap masyarakat, konstitusi merupakan aturan – aturan dan penguasa

harus mengatur negara menurut aturan – aturan tersebut.74 Walaupun pemikiran

tersbut masih bisa dibilang belum jelas, memicu timbulnya konsep rerchtsstaat

dari freidrich Julius Stahl, unsur – unsur senaga hukum (rechtsstaat) sebagai

berikut:75

a. Perlindungan hak – hak asasi manusia;

b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak – hak itu;

c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perUndang – Undangan; dan

d. Peradilan administrasi perselisihan.

74 Azhary. 1995. Negara Hukum Indonesia. Jakarta: UI-Press, hlm. 20.


75 Budihardjo, Miriam. 1982. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, hlm. 57-58.

29
Kemudian, pada negara anglo-saxon, timbul konsep negara hukum (rule

of law) dari A.V. Dicey, dengan unsur – unsur sebagai berikut:76

a. Supremasi aturan – aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya

kekuasaan sewenang wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa

seseorang hanya boleh dihukum kalua melanggar hukum;

b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality vefore the law).

Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun pejabat; dan

c. Terjaminnya hak – hak mannusia oleh Undang – Undang (di negara lain oleh

Undang – Undang Dasar) serta keputusan – keputusan pengadilan.

dalam pengujian norma terdapat dua istilah, yaitu Toetsingrecht dan

Judicial Review, kedua istilah tersebut, menurut Fatmawati, tergantung dari

tradisi hukum yang dianut oleh satu negara, bagi negara yang menganut tradisi

hukum civil law dikenal dengan Toetsingrecht dan bagi negara yang menganut

tradisi hukum common law dikenal dengan Judicial Review.77 meskipun memiliki

pengertian yang sama antara Toetsingrecht dan Judicial Review yaitu hak untuk

menguji, akan tetapi Toetsingrecht dilakukan tidak hanya oleh hakim melainkan

juga dilakukan oleh lembaga negara lain yang diberi kewenangan berdasarkan

76 Ibid.
77 Fatmawati. 2005. Hak Menguji (Toetsingrechts) yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum
Indonesia. Jakarta: Radja Grafindo Press, hlm. 45.

30
peraturan perundang-undangan dalam hal ini lembaga legislatif dan lembaga

eksekutif.

Judicial review secara kelembagaan adalah pengujian oleh lembaga

peradilan dimana pada mulanya hanya terkait dengan norma konkret, seperti

keputusan-keputusan yang bersifat administratif yang dalam bahasa Belanda

disebut beschikking. Dalam bahasa Inggris peninjauan atas putusan pengadilan

juga disebut judicial review, seperti pengajuan banding, pengajuan kasasi, dan

peninjauan kembali yang kesemuanya adalah judicial review dalam bentuk

concrete norm review.78

Dalam sejarah amandemen Undang-Undang Dasar Amerikan Serikat yang

telah dilakukan selama kurang lebih 28 kali amandemen, tidak ditemukan

perubahan yang secara materil berkaitan dengan ketentuan di bidang kekuasaan

kehakiman. Karena itu kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-

Undang Dasar Amerika Serikat sampai saat ini adalah tetap di tangan

Mahkamah Agung (Supreme Court).Karena itu seluruh kekuasaan dan

kewenangan di bidang peradilan Amerika Serikat termasuk di dalamnya untuk

melakukan peradilan konstitusi atas pengujian perundang-undangan (judicial

review) tetap berada di tangan Mahkamah Agung (Supreme Court).79

78 Assiddiqie, Jimly. 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, hlm. 33.
79 Darusman, Yoyon M. 2013. "Pelaksanaan Pengujian Perundang-Undangan (Judicial Review)
Sebagai Suatu Proses Pengawasan Hukum di Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia dan

31
B. Sistem Uji Materiil Yang Dianut Oleh Negara Indonesia.

Sementara, Mahkamah Agung Republik Indonesia merupakan lembaga

yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 diberikan kewenangan langsung untuk

melaksanakan kekuasaan kehakiman. Sejak dikeluarkannya Ketetapan MPR

Nomor : III/MPR/1973 (Pasal 11); Ketetapan MPR Nomor : III/MPR/1978 (Pasal

11); Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1970 (Pasal 26); Undang-Undang

Nomor : 14 Tahun 1985 (Pasal 31), sampai dengan perubahan ketiga Undang-

Undang Dasar 1945 dan perubahan berbagai undang-undang di bidang

kekusaaan kehakiman, yang kesemuannya menetapkan bahwa Mahkamah

Agung RI memiliki kedudukan dan kewenangan untuk melakukan pengujian

peraturan perundang-undangan yang derajatnya di bawah undang-undang.80

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah

perubahan ketiga tahun 2001, maka pengujian perayuran perundang-undangan

secara substabtif dan pengorganisasiannya juga berubah sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 24 Ayat (2), Pasal 24A Ayat (1), Pasal 24C Ayat (1).

Pasal 24 Ayat (2)

Amerika Serikat (Suatu Studi Perbandingan)." Surya Kencana Satu (Dinamika Masalah
Hukum & Keadilan) Volume 3 Nomor 1 Maret, hlm. 10.
80 Hoesin, Zainal Abidin. 2009. Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian
Perundang-Undangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 58.

32
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitsi.***).

Pasal 24A Ayat (1)

Mahkamah Agung berwewenang mengadili pada tingkat kasasi,

meguji peaturan perundang-unangan dibawah undang-undang terhadap

undangundang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh

undangundang.***

Pasal 24 C Ayat (1)

Mahkamah Konstitusi berwewenang mengadili pada tingkat pertama

dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa

kewenangankewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai

politik, dan memutus perselisihan tentang pemilihan umum.***).

C. Dampak Mendasar Yang Menjadi Alasan Pentingnya Peradilan

Tata Usaha Negara Dalam Negara Hukum Demokratis.

33
Konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara dan

menetukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir

dari setiap masyarakat, konstitusi merupakan aturan – aturan dan penguasa

harus mengatur negara menurut aturan – aturan tersebut.81 Walaupun pemikiran

tersbut masih bisa dibilang belum jelas, memicu timbulnya konsep rerchtsstaat

dari freidrich Julius Stahl, unsur – unsur senaga hukum (rechtsstaat) sebagai

berikut:82

e. Perlindungan hak – hak asasi manusia;

f. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak – hak itu;

g. Pemerintahan berdasarkan peraturan perUndang – Undangan; dan

h. Peradilan administrasi perselisihan.

Kemudian, pada negara anglo-saxon, timbul konsep negara hukum (rule

of law) dari A.V. Dicey, dengan unsur – unsur sebagai berikut:83

d. Supremasi aturan – aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya

kekuasaan sewenang wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa

seseorang hanya boleh dihukum kalua melanggar hukum;

e. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality vefore the law).

Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun pejabat; dan

81 Azhary. 1995. Negara Hukum Indonesia. Jakarta: UI-Press, hlm. 20.


82 Budihardjo, Miriam. 1982. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, hlm. 57-58.
83 Ibid.

34
f. Terjaminnya hak – hak mannusia oleh Undang – Undang (di negara lain oleh

Undang – Undang Dasar) serta keputusan – keputusan pengadilan.

Unsur “peradilan administrasi dalam perselisihan” pada konsep

rechtsstaat, sementara pada konsep rule of law unsur itu tidak ada, menunjukkan

hubungan historis antara konsep negara hukum Eropa Konstinental dengan

sistem hukum Romawi dan kemunculan Hukum Administrasi Negara.84 Konsep

recthsstaat bertumpu pada sistem hukum continental yang disebut “civil law” atau

“Modern Roman Law”, sedangkan konsep rule of law bertumpu atas sistem

hukum yang disebut “common law”.85

Seiring perkembangannya konsepsi negara hukum tersebut kemudian

mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat unsur – unsurnya

sebagai berikut:86

a. Sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.

b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus

berdasar atas hukum atau peraturan perUndang – Undangan.

c. Adanya jaminan terhadap hak – hak asasi manusia (warga negara).

d. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.

84 R., Ridwan H. Op. Cit, hlm. 4.


85 Hadjon, Philipus M. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Jakarta: Bina Ilmu, hlm.
73.
86 Soemantri, Sri. 1992. Bunga Rampai HUkum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni, hlm. 29 –

30.

35
e. Adanya pengawasan dari badan – badan peradilan (rechterlijke controle)

yang bebas dan mandiri, dalam arti arti lembaga peradilan tersebut benar –

benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif.

f. Adanya peran yang nyata dari anggota – anggota masyarakat atau warga

negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijakan

yang dilakukan oleh pemerintah.

g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata

sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.

Terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum, yang bertumpu pada

konstitusi dan peraturan perUndang – Undangan, dengan kedaulatan rakyat,

yang dijalankan melalui sistem demokrasi, dimana korelasi ini tampak dari

kemunculan istilah demokrasi konstusional, sebagaimana disebutkan diatas.

Dalam sistem demokrasi, penyelenggaraan negara itu harus bertumpu pasa

partisipasi dan kepentingan rakyat, dan implementasi hukum harus ditopang

dengan sistem demokrasi. Maka, demokrasi dan negara hukum tidak

terpisahkan, dimana demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan

bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna.87

Kembali pada Pengadilan Tata Usaha Negara yang berhasil terbentuk

atas usaha dari para pendukung supremasi hukum yang memilih uji

87 R., Ridwan H. Loc. Cit, hlm. 8.

36
konstitusional dan tidak memperhatikan tentang bentuk uji material yang paling

tepat. Para penguasa lama bernaggapan bahwa peradilan tata usaha negara

akan bisa mengendalikan administrasi, atau menjadi jalan gugatan dari pihak –

pihak masyarakat yang dirugikan, maka dalam hal ini para penguasa tidak

menginginkan uji konstitusional, tapi sistem yang tampak jelas tanpa kekuasaa

uji material yang kuat dan sulit dijangkau.88

88 Bedner, Adriaan W, Op. cit, hlm 67.

37
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Judicial review yang dikenal secara perdana dalam sejarah adalah karena

adanya kasus Marbury vs. Madison yang diadili oleh Mahkamah Agung Amerika

Serikat, kemudian terus berlangsung dan berkembang judicial review di negara

lain. Judicial review di Amerika Serikat tidak diajukan langsung dalam menguji

langsung undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar melainkan melalui

kasus yang konkret. Judicial review di Amerika Serikat tidak hanya dilakukan

oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat tetapi juga oleh setiap Pengadilan yang

dikenal dengan model desentralisasi. Indonesia merupakan negara yang tidak

hanya memiliki lembaga peradilan Mahkamah Agung, tetapi juga memiliki

Mahkamah Konstitusi, dimana yaitu judicial review dilakukan oleh satu lembaga

yaitu Mahkamah Konstitusi, akan tetapi di Indonesia membedakan antara

pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung,

yaitu judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar menjadi

38
kewenangan Mahkamah Konstitusi dan judicial review peraturan perundang-

undangan di bawah undang menjadi kewenangan Mahkamah Agung.

Salah satu hasil politik dalam uji materiil di kekuasaan kehakiman adalah

lahirnya lingkungan pengadilan baru yaitu Pengadilan tata usaha negara yang

tercipta seperti disahkan dalam Undang – udang Peradilan Tata Usaha Negara

merupakan hasil keperluan politik, gagasan hukum yang diwujudkan dengan

waktu yang tidak singkat, dan bukan sebuah kebetulan belaka. UU PTUN pada

dasarnya merupakan bentuk pencakokan hukum Belanda, yang disebabkan oleh

pengaruh luas pemikiran hukum Belanda di Indonesia, banyaknya material dari

Belanda yang diperoleh para tim perancang UU tesebut, dan perkembangan

hukum tata usaha negara dan uji material Indonesia dan Belanda dari benih yang

sama, serta tidak luput bahwa UU PTUN adalah hasil pertarungan politik DPR,

meskipun pada dasarnya dimenangkan oleh pemerintah.

Pengadilan Tata Usaha Negara berperan penting sebagai penyempurna

unsur – unsur pada konsep negara hukum, pemerintah dalam melaksanakan

tugasnya harus berdasarkan Undang – Undang dan pengawasan dari badan –

badan pengadilan bebas dan mandiri, untuk mengawasi tindakan Para penguasa

lama yang menginginkan sistem yang tampak jelas tanpa kekuasaan uji material

yang kuat dan sulit dijangkau tanpa memperhatikan pihak – pihak masyarakat

yang dirugikan.

39
B. Saran

Politik merupakan istilah yang sangat dekat dengan negara, bahkan

segala sesuatu yang berkaitan dengan negara adalah tidak lain dan tidak bukan

merupakan hasil daripada politik, termasuk di dalamnya adalah lembaga penguji

materiil. Sebagai lembaga mandiri yang berfungsi untuk mengawasi dan

mencegah terjadinya kesewenangan terhadap eksekutif ataupun legislatif, perlu

dijaganya lembaga yang sehat dan baik agar terlepas dari segala politik yang

mengikuti, jangan sampai lembaga yang seharusnya bersifat mandiri,

Perbedaan sistem yang dianut oleh Indonesia yang berbeda dengan sejarah asli

uji matriil tidak memiliki dampak yang signifikan, namun patut kembali dilihat

kedalam sejarah politik bagaimana Indonesia memakai sistem adanya

Mahkamah Konstitusi, apakah Indonesia menciptakan sistem tersebut atau

mengadaptasi dari negara lain yang juga mengembangkan sistem judicial review

ini.

40
DAFTAR PUSTAKA

Arinanto, Satya. 2001. Politik Hukum 2 Part Three. Jakarta: Faculty of Law University
of Indonesia.
—. 2001. Politik Hukum 3. Jakarta: Faculty of Law University of Indonesia.
Arinanto, Satya, and Ninuk Triyanti. 2009. Memahami Hukum dan Konstruksi
Sampai Implementasi. Jakarta: Rajawali Press.
Assiddiqie, Jimly. 2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Serpihan
Pemikiran Hukum, Media dan HAM. Jakarta: Konstitusi Press.
—. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Assiddiqie, Jimly. 2004. "Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang."
Jurnal Hukum Nomor 27 Volume 11 September 2.
—. 2008. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamamn Konstitusi RI.
—. 2005. Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta:
Konstitusi Press.
—. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press.
—. 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer.
—. 2021. Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah
Konstitusi. Mei 15. http://jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-
constitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/.
Assiddiqie, Jimly, and Ahmad Syahrizal. 2012. Peradilan Konstitusi di 10 Negara,
Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Azhary. 1995. Negara Hukum Indonesia. Jakarta: UI-Press.
Bachtiar. 2015. Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi pada
Pengujian UU Terhadap UUD. Jakarta: Raih Asa Sukses.

41
Bedner, Adriaan W. 2010. Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Jakarta: Hu-
Ma.
Budihardjo, Miriam. 1982. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
D., Mahfud M. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi. Jakarta: LP3ES.
—. 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
—. 2009. Politik Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Darusman, Yoyon M. 2013. "Pelaksanaan Pengujian Perundang-Undangan
(Judicial Review) Sebagai Suatu Proses Pengawasan Hukum di Dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia dan Amerika Serikat (Suatu Studi
Perbandingan)." Surya Kencana Satu (Dinamika Masalah Hukum & Keadilan)
Volume 3 Nomor 1 Maret 10.
Dunn, Susan. 2004. Jefferson's Second Revolution: The Electron Crisis of 1800 and
the Triumph of Replubicanism. New York: Houghton Mifflin Company.
Effendy, Marwan. 2005. Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Prespektif Hukum.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Eschborn, Norbert. 2005. Tugas dan Tantangan Mahkamah Konstitusi di Negara-
Negara Transformasi dengan Contoh Indonesia. Jakarta: Konrad Adenauer
Stiftung.
Fanani, Ahmad Zaenal. n.d. Hermeneutika Hukum Sebagai Metode Penemuan
Hukum: Telaah Filsafat Hukum.
Fatmawati. 2005. Hak Menguji (Toetsingrechts) yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem
Hukum Indonesia. Jakarta: Radja Grafindo Press.
Finck, Danielle E. 1997. "Judicial Review: The United States Supreme Court Versus
the German Constitutional Court." Boston College International and
Comparative Law Review 20, Nomor 1.
Hadjon, Philipus M. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Jakarta:
Bina Ilmu.

42
Harman, Benny K. 2013. Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi: Sejarah
Pemikiran Pengujian UU Terhadap UUD. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Hoesin, Zainal Abidin. 2009. Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade
Pengujian Perundang-Undangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Latif, Abdul. 2009. Fungsi Mahkamah Konstitusi: Upaya Mewujudkan Negara
HUkum Demokrasi. Yogyakarta: Total Media.
Lev, Daniel S. 1990. Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan
Perubahan. Jakarta: LP3ES.
Manan, Bagir, and Kuntana Magnar. 1993. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia. Bandung: Alumni.
Mertokusumo, Sudikno. 1983. Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan di
Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa
Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Nasir, Cholidin. 2020. "Judicial Review di Amerika Serikat, Jerman, dan Indonesia."
Jurnal Hukum Progresif, Volume 8 Nomor 1, April 67.
Palguna, I Dewa Gede. 2013. Constitutional Complaint (Pengaduan Konstitusional)
Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga
Negara. Jakarta: Sinar Grafika.
Pigome, Martha. 2011. "Implementasi Prinsip Demokrasi dan Nomokrasi Dalam
Struktur Ketatanegaraan RI Pasca Amandemen UUD 1945." Jurnal Dinamika
Hukum Volume 11 Nomor 2 336.
R., Ridwan H. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Rehnquist, William H. 2002. The Supreme Court (Revised and Update). New York:
Vintage Book - Random House.
S., Pompe. 1996. The Indonesian Supreme Court: Fifty Years of Judicial
Development. Leiden: Leiden University.
Soebechi, Imam. 2016. Hak Uji Materiil. Jakarta: Sinar Grafika.
Soemantri, Sri. 1992. Bunga Rampai HUkum Tata Negara Indonesia. Bandung:
Alumni.

43

Anda mungkin juga menyukai