Anda di halaman 1dari 16

WHOSE AGENDA?

“PARTNERSHIP” AND
INTERNATIONAL ASSISTANCE TO
DEMOCRATIZATION AND GOVERNANCE
REFORM IN INDONESIA
KELOMPOK 3

MUHAMMAD ZAID ALKAHFI


2221031002
ALIFIA TIARA PUTRI 2221031003
EVI RATNAWATI SETYANINGSIH
2221031014
FADHILA 2221031017
DITA PUSPITA SARI RAMDIAH
2221031046
PENDAHULUAN

Pada Mei 1998, Presiden Soeharto turun dari jabatannya setelah 32 tahun pemerintahan
otoriter, membuka peluang bagi aktor internasional untuk terlibat dalam reformasi politik di
Indonesia, khususnya “reformasi pemerintahan”. Kemitraan untuk Reformasi Tata
Pemerintahan di Indonesia dibentuk pada Oktober 2000 oleh tiga organisasi multilateral:
Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), World Bank, dan Bank
Pembangunan Asia (ADB). Artikel ini mempertanyakan apakah agenda kemitraan untuk
reformasi tata pemerintahan konsisten dengan atau menyimpang dari analisis isu-isu utama
reformasi demokrasi yang berkelanjutan di Indonesia atau melalui pemeriksaaan struktur dan
kegiatan Kemitraan Tata Kelola, didominasi Indonesia atau internasional? Artikel ini terdiri
dari tiga bagian: isu-isu kunci tentang demokratisasi dan pemerintahan yang lebih baik di
Indonesia, struktur dan kegiatan Kemitraan Tata Kelola, serta pertanyaan kunci tentang sifat
Kemitraan Tata Kelola.
DEMOKRATISASI DAN GOOD GOVERNANCE: ISU DAN TANTANGAN
DI INDONESIA PASCA-SOEHARTO

Tujuh isu penting dalam demokratisasi dan tata pemerintahan yang baik menjadi
subjek perdebatan dan diskusi publik di Indonesia:
Reformasi Militer
Membangun supremasi sipil atas militer merupakan elemen kunci dari
demokratisasi dan isu penting bagi Indonesia. Ini juga merupakan tantangan
khusus dalam konteks Indonesia, karena kekuatan dan kekuasaan militer yang
terus berlanjut sejak era Soeharto, serta doktrin yang terus berlanjut. dwifungsi
(dwifungsi), di mana militer berfungsi baik sebagai agen keamanan dan
pertahanan maupun sebagai kekuatan sosial dan politik yang penting. Di bawah
mandat gandanya, Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi tulang punggung
pemerintahan otoriter Suharto.
Menghadapi Masa Lalu: Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan
Korupsi

Penyelesaian pelanggaran HAM pada masa lalu sangat penting sehubungan


dengan isu keadilan dan rekonsiliasi, yang merupakan persyaratan utama bagi
pembangunan demokrasi. Beberapa kasus HAM di masa lalu seperti Peristiwa
Tanjung Priok, Juli Berdarah, hingga Peristiwa Trisakti belum terselesaikan
meski tuntutan penyelesaian selalu didengungkan. Salah satu upaya
penyelesaian adalah dibentuknya Pengadilan HAM pada Maret 2001 melalui
undang-undang yang disahkan oleh DPR yang diusulkan Komisi Independen.
Namun sayangnya tindakan hukum atas pelanggaran HAM tersebut tidak
dijalankan penuh oleh Pemerintah, dan menyebabkan hilangnya momentum
untuk menyelesaikannya.

Selain pelanggaran HAM, pemerintah era order baru juga terkenal dengan
skandal korupsinya. Publik menuntut agar dilakukannya pengusutan korupsi,
khususnya pada kerabat serta keluarga Presiden Soeharto. Tanpa adanya
penyelesaian kasus korupsi di masa lalu, masyarakat pesimis akan
pemerintahan yang bersih di masa mendatang.
Reformasi Konstitusi
Terdapat argumen agar dibentuknya konstitusi baru dengan alasan perlunya kerangka
hukum untuk menetapkan aturan dasar dan fungsi negara demokrasi serta lembaganya.
Amandemen konstitusi akhirnya dijalankan oleh MPR pada Oktober 1999. Namun muncul
kritik atas peristiwa tersebut, yaitu reformasi konstitusi dianggap hanya mementingkan
kepentingan anggota parlemen, serta adanya pembatasan partisipasi publik dalam
melakukan amandemen karena MPR menolak dibentuknya komite independen. Koalisi LSM
Ornop berpendapat jika Indonesia berkomitmen membangun demokrasi, supremasi
hukum, dan pemerintahan yang baik, maka UUD 1945 pada amandemen pertama dan
kedua perlu diubah dengan konstitusi baru.
Pemerintah Pusat dan Daerah
Terbatasnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola daerah sendiri pada era
orde baru menimbulkan masalah, seperti adanya gerakan separatis yang menginginkan
kemerdekaan. Masalah tersebut dijawab dengan undang-undang Desentralisasi yang
dibentuk pada Januari 2001. Dengan adanya otonomi daerah yang dijelaskan pada undang-
undang Desentralisasi, maka masyarakat dapat berpartisipasi dalam membangun
perekonomian serta politik pada daerahnya masing-masing. Namun terdapat kekhawatiran
pemerintah pusat atas perluasan desentralisasi tersebut yang dapat menghambat
demokratisasi, yaitu kurangnya kapasitas manajerial dalam perencanaan untuk melakukan
otonomi, adanya kesenjangan sumber daya alam antar daerah, serta munculnya kasus
korupsi jika pemerintah daerah kurang transparan dalam menjalankan otonomi.

Check and Balances


Sistem check and balances diperlukan untuk menjaga akuntabilitas pemerintah, namun
pada era orde baru sistem ini tidak berlaku. Tidak adanya partai oposisi dan media massa
yang kritis menjadi buktinya. Lembaga negara seperti DPR, MPR, BPK, dan Dewan
Pertimbangan juga gagal melakukan pengendalian terhadap pemerintahan. Namun setelah
bergantinya era Soeharto, terjadi penguatan pada sistem check and balances, hal itu
ditandai aktifnya legislatif dalam memantau kinerja eksekutif. Namun disisi lain eksekutif
dianggap lebih lemah dibandingkan legislatif, hal itu ditunjukkan adanya konflik di
pemerintah Wahid yaitu antara eksekutif dan legislatif. Media massa pun menjadi lebih
kritis dalam berpendapat, namun di sisi lain objektivitas dan netralitas media massa
dipertanyakan, seiring terjadinya pelanggaran kode etik yang menyebabkan adanya
ketegangan sosial dan politik akibat informasi dan analisis yang tidak berdasar.
Legal Reform and Law Enforcement
Selama tiga dekade otoritarianisme, sistem hukum sangat lemah dan rentan terhadap intervensi
pemegang kekuasaan politik. Dengan lembaga hukum yang telah kehilangan kredibilitasnya di
mata masyarakat, reformasi hukum merupakan prioritas yang jelas dari upaya demokratisasi.
Reformasi yang termasuk pada pengarahan terhadap lembaga penegak hukum polisi, kejaksaan
dan pengadilan, dimana mendorong komitmen mereka untuk melaksanakan proses hukum yang
adil. Dengan cara ini, sistem hukum mulai mendapatkan kembali rasa hormatnya di mata publik.

Political Instability and Conflict


Ketidakstabilan politik adalah tantangan lainnya bagi demokratisasi dan good
governance, dimana pada akhir era Soeharto, konflik terus-menerus bermunculan.
Seperti permintaan kemerdekaan atas Aceh dan Papua Barat yang sangat kuat,
dengan gerakan kelompok yang memperburuk krisis ini. Konflik suku dan agama
yang intens di Kalimantan Barat, Batam, Ambon, Kupang, dan beberapa tempat
lainnya. Berkelanjutan dengan jatuhnya kekuasaan Soeharto, Indonesia menghadapi
situasi yang amat sulit.
KEMITRAAN UNTUK REFORMASI TATA
PEMERINTAHAN DI INDONESIA
Meskipun kemitraan untuk reformasi tata pemerintahan di Indonesia ini didirikan
relatif baru, hal ini memberikan contoh yang baik bagi Indonesia untuk
mengeksplorasi peran internasional dalam mempromosikan demokratisasi dan
reformasi tata kelola. Hanya saja perlu diperhatikan pertanyaan tentang “agenda
siapa” yang berlaku, mengingat upaya eksternal dalam case ini dikemas dengan
istilah kemitraan dan subordinasi terhadap pengendalian internal.
Kemitraan ini diprakarsai oleh tiga lembaga multilateral yaitu:
• UNDP
• World Bank, dan
• ADB
Kemitraan pemerintahan (Governance partnership) telah membentuk kerjasama
penuh dengan Pemerintah Indonesia.
Struktur Pengambilan Keputusan Kemitraan

Berikut ini komposisi badan beserta fungsinya:

 Governing Board (Dewan Pengurus)


Terdiri dari anggota Indonesia dan dan internasional, dengan rasio 2:1 dimana anggota Indonesia berjumlah 22
(berasal dari pemerintah, parlemen, sektor swasta, dan masyarakat sipil). Perkiraan jumlah anggota
pemerintah dan non-pemerintah adalah sama. Pertemuan tiap 3 bulan dan pengambilan keputusan diambil
dengan cara konsensus.

 Executive Board (Dewan Eksekutif)


Dewan eksekutif ini dibentuk dan diadakan pertemuan tiap bulan. Keanggotaannya terdiri Dewan Pengurus
(termasuk semua anggota Indonesia, kecuali anggota kabinet, dan tidak termasuk anggota internasional).
Bertanggung jawab untuk mengarahkan implementasi strategis dari rencana kerja partnership.

 Policy Committee (Komite Kebijakan)


Bertanggung jawab pada pengelolaan partnership sehari-hari (termasuk sumber daya keuangan),
melaksanakan keputusan yang diambil oleh Dewan Pengurus dan Dewan Eksekutif, dan memberikan
panduan kepada executive office staff.
Bagaimana cara pemilihan anggota Dewan Pengurus (dan juga Dewan
Eksekutif) Indonesia?
Pertama, mengenai prosedur pemilihan
Kedua, mengenai keterwakilan Dewan Pengurus

Kegiatan

1. Agenda-setting dan identifikasi prioritas kerja


2. Pelaksanaan rencana kerja untuk setiap tema prioritas melalui dua lengan
Kemitraan, Fasilitas Dialog Kebijakan dan Analisis dan Dana Tata Kelola
Indonesia.
Pengaturan agenda
Sebuah buletin, yang diterbitkan sebelum pertemuan pertama Dewan Pengurus
pada tanggal 12 Mei 2000, mencantumkan enam bidang fokus Kemitraan dengan
"tanggung jawab utama" sebagai berikut:
« Pemberdayaan Legislatif (UNDP) « Reformasi pemilu (UNDP)
« Penguatan masyarakat sipil (UNDP) « Reformasi peradilan (World Bank)
« Reformasi pegawai negeri (World Bank) « Tata Kelola Perusahaan
(ADB)

Fasilitas dan dana

Melalui kontribusi donor. Misalnya, di bidang reformasi hukum/peradilan dan


reformasi pegawai negeri. Kemitraan berkontribusi pada masing-masing kelompok
kerja donor, yang dipimpin oleh World Bank dalam kedua kesempatan tersebut, yang
bertujuan “untuk merumuskan kerangka kerja dan strategi donor bersama” bagi
setiap sektor. Sementara kemitraan juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan lain.
Pertanyaan Kritis

Pertama, berkenaan dengan isi program reformasi Kemitraan Tata Pemerintahan,


perbedaan apa yang dapat dirasakan antara tantangan krusial terhadap
demokratisasi di Indonesia, yang diidentifikasi pada bagian pertama artikel ini dan
langkah-langkah reformasi yang saat ini dipromosikan oleh Kemitraan? Bagaimana
kekhawatiran yang berbeda dapat dijelaskan?

Kedua, mengenai bentuk Kemitraan, apakah memang bisa digambarkan seperti


itu? Apakah ini merupakan “kemitraan” sejati antara aktor nasional dan
internasional, yang didasarkan pada “kepemilikan nasional” dan kedaulatan, seperti
yang digambarkan? Kalau tidak, jika agenda Kemitraan Tata Kelola tetap didorong
oleh pihak eksternal, apa motif yang mendasari badan-badan internasional
tersebut?
Whose Partnership
Konsep kemitraan semakin populer dalam bahasa
pembangunan, terutama dengan donor dan pemberi
pinjaman internasional yang sensitif terhadap kritik atas
kebijakan yang diberlakukan di negara berkembang.

Kemitraan sejati akan memerlukan kerja sama antara aktor


internal dan eksternal dalam mencapai tujuan bersama
meskipun yang didirikan oleh aktor nasional, mengingat hak
berdaulat negara-bangsa untuk menentukan pilihan
kebijakannya sendiri.
Whose Agenda
Beralih ke isi kegiatan Kemitraan, apakah isu paling signifikan terkait dengan
reformasi demokrasi yang berkelanjutan telah ditangani?

Dari perbandingan antara isu-isu kunci yang dikemukakan di sini di bagian satu dan
agenda kemitraan, dijelaskan beberapa perhatian krusial yang dihilangkan dari
agenda kemitraan, yaitu :
 Hubungan sipil-militer dan peran militer dalam pemerintahan, bisnis, dan
masyarakat.
 Pelanggaran HAM masa lalu, termasuk di Timor Timur, dan masalah keadilan dan
rekonsiliasi.
 Ketidakstabilan politik dan konflik sipil termasuk Konflik etnis dan agama.
 Reformasi konstitusi, dengan UUD 1945 saat ini membatasi pertumbuhan
demokrasi.
Kesimpulan :
Analisis ini adalah tentang mitos “kemitraan” dan
“kepemilikan nasional”, dan keengganan badan-
badan internasional untuk melepaskan kendali atas
kegiatan reformasi tata kelola. Hal ini menimbulkan
pertanyaan mengapa aktor-aktor Indonesia diundang
untuk berpartisipasi, mengingat potensi beberapa
hilangnya kendali Dewan Pengurus yang didominasi
oleh Indonesia?
Untuk menanggapi hal itu lebih lanjut disarankan
bahwa retorika “kemitraan” dan “kepemilikan” adalah
bagian dari tren strategis oleh badan-badan
internasional dimana intervensi mereka dalam
reformasi politik dan ekonomi di negara-negara
berdaulat disamarkan dan secara bersamaan
memberikan legitimasi yang lebih besar. Gagasan
terkait yang memiliki fungsi serupa adalah gagasan
“partisipasi” dan “pemberdayaan”.
Thanks!

Anda mungkin juga menyukai