“PARTNERSHIP” AND
INTERNATIONAL ASSISTANCE TO
DEMOCRATIZATION AND GOVERNANCE
REFORM IN INDONESIA
KELOMPOK 3
Pada Mei 1998, Presiden Soeharto turun dari jabatannya setelah 32 tahun pemerintahan
otoriter, membuka peluang bagi aktor internasional untuk terlibat dalam reformasi politik di
Indonesia, khususnya “reformasi pemerintahan”. Kemitraan untuk Reformasi Tata
Pemerintahan di Indonesia dibentuk pada Oktober 2000 oleh tiga organisasi multilateral:
Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), World Bank, dan Bank
Pembangunan Asia (ADB). Artikel ini mempertanyakan apakah agenda kemitraan untuk
reformasi tata pemerintahan konsisten dengan atau menyimpang dari analisis isu-isu utama
reformasi demokrasi yang berkelanjutan di Indonesia atau melalui pemeriksaaan struktur dan
kegiatan Kemitraan Tata Kelola, didominasi Indonesia atau internasional? Artikel ini terdiri
dari tiga bagian: isu-isu kunci tentang demokratisasi dan pemerintahan yang lebih baik di
Indonesia, struktur dan kegiatan Kemitraan Tata Kelola, serta pertanyaan kunci tentang sifat
Kemitraan Tata Kelola.
DEMOKRATISASI DAN GOOD GOVERNANCE: ISU DAN TANTANGAN
DI INDONESIA PASCA-SOEHARTO
Tujuh isu penting dalam demokratisasi dan tata pemerintahan yang baik menjadi
subjek perdebatan dan diskusi publik di Indonesia:
Reformasi Militer
Membangun supremasi sipil atas militer merupakan elemen kunci dari
demokratisasi dan isu penting bagi Indonesia. Ini juga merupakan tantangan
khusus dalam konteks Indonesia, karena kekuatan dan kekuasaan militer yang
terus berlanjut sejak era Soeharto, serta doktrin yang terus berlanjut. dwifungsi
(dwifungsi), di mana militer berfungsi baik sebagai agen keamanan dan
pertahanan maupun sebagai kekuatan sosial dan politik yang penting. Di bawah
mandat gandanya, Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi tulang punggung
pemerintahan otoriter Suharto.
Menghadapi Masa Lalu: Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan
Korupsi
Selain pelanggaran HAM, pemerintah era order baru juga terkenal dengan
skandal korupsinya. Publik menuntut agar dilakukannya pengusutan korupsi,
khususnya pada kerabat serta keluarga Presiden Soeharto. Tanpa adanya
penyelesaian kasus korupsi di masa lalu, masyarakat pesimis akan
pemerintahan yang bersih di masa mendatang.
Reformasi Konstitusi
Terdapat argumen agar dibentuknya konstitusi baru dengan alasan perlunya kerangka
hukum untuk menetapkan aturan dasar dan fungsi negara demokrasi serta lembaganya.
Amandemen konstitusi akhirnya dijalankan oleh MPR pada Oktober 1999. Namun muncul
kritik atas peristiwa tersebut, yaitu reformasi konstitusi dianggap hanya mementingkan
kepentingan anggota parlemen, serta adanya pembatasan partisipasi publik dalam
melakukan amandemen karena MPR menolak dibentuknya komite independen. Koalisi LSM
Ornop berpendapat jika Indonesia berkomitmen membangun demokrasi, supremasi
hukum, dan pemerintahan yang baik, maka UUD 1945 pada amandemen pertama dan
kedua perlu diubah dengan konstitusi baru.
Pemerintah Pusat dan Daerah
Terbatasnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola daerah sendiri pada era
orde baru menimbulkan masalah, seperti adanya gerakan separatis yang menginginkan
kemerdekaan. Masalah tersebut dijawab dengan undang-undang Desentralisasi yang
dibentuk pada Januari 2001. Dengan adanya otonomi daerah yang dijelaskan pada undang-
undang Desentralisasi, maka masyarakat dapat berpartisipasi dalam membangun
perekonomian serta politik pada daerahnya masing-masing. Namun terdapat kekhawatiran
pemerintah pusat atas perluasan desentralisasi tersebut yang dapat menghambat
demokratisasi, yaitu kurangnya kapasitas manajerial dalam perencanaan untuk melakukan
otonomi, adanya kesenjangan sumber daya alam antar daerah, serta munculnya kasus
korupsi jika pemerintah daerah kurang transparan dalam menjalankan otonomi.
Kegiatan
Dari perbandingan antara isu-isu kunci yang dikemukakan di sini di bagian satu dan
agenda kemitraan, dijelaskan beberapa perhatian krusial yang dihilangkan dari
agenda kemitraan, yaitu :
Hubungan sipil-militer dan peran militer dalam pemerintahan, bisnis, dan
masyarakat.
Pelanggaran HAM masa lalu, termasuk di Timor Timur, dan masalah keadilan dan
rekonsiliasi.
Ketidakstabilan politik dan konflik sipil termasuk Konflik etnis dan agama.
Reformasi konstitusi, dengan UUD 1945 saat ini membatasi pertumbuhan
demokrasi.
Kesimpulan :
Analisis ini adalah tentang mitos “kemitraan” dan
“kepemilikan nasional”, dan keengganan badan-
badan internasional untuk melepaskan kendali atas
kegiatan reformasi tata kelola. Hal ini menimbulkan
pertanyaan mengapa aktor-aktor Indonesia diundang
untuk berpartisipasi, mengingat potensi beberapa
hilangnya kendali Dewan Pengurus yang didominasi
oleh Indonesia?
Untuk menanggapi hal itu lebih lanjut disarankan
bahwa retorika “kemitraan” dan “kepemilikan” adalah
bagian dari tren strategis oleh badan-badan
internasional dimana intervensi mereka dalam
reformasi politik dan ekonomi di negara-negara
berdaulat disamarkan dan secara bersamaan
memberikan legitimasi yang lebih besar. Gagasan
terkait yang memiliki fungsi serupa adalah gagasan
“partisipasi” dan “pemberdayaan”.
Thanks!