Anda di halaman 1dari 12

1

BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian

Paling tidak ada empat kata yang harus menjadi perhatian kita kalau membicarakan
good and clean governance, yaitu (1) good government, (2) clean government, (3) good
governance, dan (4) clean governance. Dari empat pembagian tersebut dilihat bahwa yang
menjadi perhatian adalah good (baik), clean (bersih), government (pemerintahan), dan
governance (penyelenggara pemerintahan). Artinya paradigma yang hendak dikembangkan
adalah pemerintahan yang baik dan bersih yang juga didukung oleh penyelenggara
pemerintahan yang baik dan bersih. Dengan demikian government lebih memberikan
perhatian terhadap sistem, sedangkan governance lebih memberikan perhatian terhadap
sumber daya manusia yang bekerja dalam sistem tersebut. Tanpa menjaga keseimbangan
terhadap dua hal ini akan muncul ketimpangan dalam praktek peyelenggaraan pemerintahan
yang pada akhirnya akan menimbulkan kehancuran terhadap sistem bernegara.
Sementara itu, Riswanda Imawan (2000) berpendapat bahwa clean government adalah
satu bentuk atau struktur pemerintahan yang menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi yang
datang dari masyarakat serta menghindari terjadinya abuse of power. Untuk itu diperlukan (1)
pemerintah yang dibentuk atas kehendak orang banyak, (2) struktur organisasi pemerintah
yang tidak kompleks (lebih sederhana), (3) mekanisme politik yang menjamin hubungan
konsultatif antara negara dan warga negara, dan (4) mekanisme saling mengontrol antar
aktor-aktor di dalam infra maupun supra struktur politik.
Pengertian ini muncul karena dua thesis, pertama, kurangnya perhatian terhadap
pemerintahan yang baik dan bersih telah mendorong terciptanya praktik monopoli, korupsi,
kolusi dan nepotisme. Kedua, penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih
merupakan bahagian yang sangat penting dari sebuah proses demokrasi. Karena hal ini
menjadi syarat mutlak bagi pembangunan yang menyeluruh dan berimbang.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa pembahasan mengenai good and clean
governance baru dimulai pada tahun-tahun terakhir (Sukardi: 2000). Kalau hal ini dilihat dari
kecenderungan hari ini, pendapat ini ada benarnya. Tapi kalau dilihat dari perkembangan
peraturan perundang-undangan, pembicaraan ke arah pemerintahan yang baik dan benar
sudah dimulai seiring dengan kuatnya keinginan untuk membuat Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN).

2
Artinya, pembicaraan good and clean governance, paling tidak, sudah dimulai sejak
awal tahun 1970-an yaitu dengan penerbitan buku Kuntjoro Purbopranoto (1978) yang
berjudul Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara.
Kemudian secara kelembagaan, upaya itu dapat dilihat dari “Proyek Penelitian tentang Asas-
Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)” yang dilakukan oleh Badan Pembinaan dan
Pengembangan Hukum Nasional (BPHN) pada tahun 1989 (Lotulung, 1994). Buku dan hasil
penelitian tersebut berhasil menjadi doctrine penyelenggaraan pemerintahan yang baik di
Indonesia.
Meskipun upaya menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih telah dimulai sejak
tahun 1970-an tetapi tidak mampu membawa perubahan dalam praktek penyelenggaran
negara. Hal ini terjadi karena doctrine AAUPB tidak mempunyai kekuatan hukum yang
memaksa. Oleh karena itu para pelanggarnya tidak dapat dikenakan sanksi hukum.
Keinginan menjadi good and clean governance ke dalam norma hukum baru dimulai
setelah kita mengalami krisis pada tahun 1997 yang diikuti dengan kejatuhan rezim otoriter
Orde Baru pada bulan Mei 1998. Upaya ini dapat dilihat dengan adanya Ketetapan MPR No.
XI/MPR/1998 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN).
Kemudian diikuti dengan pemberlakuan UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenngaraan Negara yang Bersih dan (KKN) yang diikuti dengan empat Peraturan
Pemerintah sebagai pelaksana UU No. 28 yaitu PP No. 65/1999 tentang Tata Cara
Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, PP No. 66/1999 tentang Persyaratan dan Tata
Cara Pengangkatan serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa, PP No. 67/1999 tentang
Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa,
dan PP No. 68/1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam
Peyelenggaraan Negara.

1.2 Prinsip-prinsip Pemerintahan Yang Baik Dan Bersih


Kalau diperhatikan unsur-unsur yang dihasilkan dalam Annual Meeting ADB di
Fokuoka Jepang tahun 1997, perubahan peranan pemerintah dalam UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No. 28 tahun 1999 ada beberapa prinsip dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih tersebut :
1. Akuntabilitas
Menurut penjelasan Pasal 3 angka 7 UU No. 28 Tahun 1999 akuntabilitas
diartikan sebagai berikut :“adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan

3
hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.
Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa akuntabilitas
pertanggungjawaban setiap proses dan hasil akhir penyelenggaraan negara. Menurut
Willian C. Johnson (1998) pertanggungjawaban tersebut dapat dilakukan dalam
berbagai sifat atau cara.
Pertama, bersifat internal-formal dilakukan dalam bentuk (1) executive control, (2)
budget preparation and management, (3) rule-making procedures, (4) inspector
general and auditors, (5) chief financial officers, dan (6) investigative commission.
Kedua, external-formal dilakukan dalam bentuk (1) legislative oversight, (2)
budgetary review and enactment, (3) legislative rule-making, (4) legislative veto, (5)
legislative investigation, (6) legislative casework, (7) legislative audits, (8) ratification
and appointments, (9) judicial review and takeover, (10) intergovernmental controls,
dan (11) electoral process.
Ketiga, external-informal dilakukan dalam bentuk (1) monitoring by
interest/clientele groups, (2) professional communities, (3) informational media, dan
(4) freedom of information law. Keempat, internal-informal dilakukan dalam bentuk
(1) professional standars, (2) ethical codes and values, dan (4) whistle-blowers.
Munculnya beberapa sifat atau cara dalam melakukan pertanggungjawaban karena
ada anggapan bahwa satu sarana saja dirasakan tidak memadai untuk dapat mengenal
secara pasti kegiatan yang dilakukan oleh para penyelenggara negara. Misalnya
pendirian komisi Ombudsman adalah salah satu usaha untuk mewujudkan
pertanggungjawaban pelaksanaan pemerintahan yang bersifat external-informal.

2. Transparans
Menurut penjelasan Pasal 3 angka 4 UU No. 28 tahun 1999 prinsip transparan
diartikan sebagai berikut :
“Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara
dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan
rahasia negara”.
Dari pengertian tersebut terlihat bahwa masyarakat berhak memperoleh informasi
yang benar dan jujur tentang penyelenggaraan negara. Ini adalah peran serta
4
masyarakat secara nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih.
Secara lebih jelas peran serta masayarakat ini ditentukan dalam PP No. 68 Tahun
1999. Dalam Pasal 2 ayat (1) dikatakan peran serta masyarakat untuk mewujudkan
penyelenggara negara yang bersih dilaksanakan dalam bentuk :
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan
negara;
b. hak memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap
kebijakan penyelenggaraan negara.
Pengunaan hak dalam butir a, b dan c tersebut rakyat mendapat perlindungan
hukum. Untuk itu semua, menurut ketentuan Pasal 3 dan 4 dalam mempergunakan
hak tersebut rakyat berhak mempertanyakan langsung kepada instansi terkait atau
komisi pemeriksa. Hal itu dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung.
Penyampaian itu dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis. Kalau dibandingkan
dengan negara lain yang telah lama memberikan perhatian terhadap penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan bersih, Indonesia masih agak tertinggal karena pada
negara tersebut akses informasi masyarakat (public access to information) terhadap
penyelenggaraan negara diakui dengan undang-undang atau information act.
Dibandingkan dengan PP, pengaturan dengan UU tentu mempunyai kewibawaan yang
lebih tinggi untuk dipatuhi.

3. Partisipasi
Pengertian ini tidak ditemui dalam UU No. 28 Tahun 1999, tetapi kalau
dipahami misi UU No. 22 Tahun 1999 maka partisipasi masyarakat adalah hal yang
hendak diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan agak ringkas
Sukardi (2000) menterjemahkan partisipasi sebagai upaya pembangunan rasa
keterlibatan masyarakat dalam berbagai proses yang dilakukan oleh pemerintah.
Pendapat ini adalah upaya melibatkan masyarakat dalam setiap proses pengambilan
keputusan. Dalam teori pengambilan keputusan semakin banyak partisipasi dalam
proses kelahiran sebuah policy maka dukungan akan semakin luas terhadap
kebijaksanaan tersebut (Dunn, 1997). Bahkan David Osborne dan Ted Gaebler (1996)
menyatakan bahwa pemerintah sebaiknya berperan sebagai katalis. Hal ini dapat
dipahami karena kecenderungan ke depan pemerintah yang mempunyai peranan
terbatas dapat mempercepat pembangunan masyarakat.

5
4. Kepastian Hukum
Pengertian kepastian hukum dapat ditemui dalam Pasal 3 angka 1 UU No. 28
Tahun 1999 yang menyatakan :“adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan
dalam setiap pelaksanaan penyelenggaraan negara”.
Prinsip keempat ini mengarahkan agar penyelenggara negara bekerja sesuai
dengan ketentuan yang berlaku (taat asas). Kepatuhan terhadap norma hukum adalah
bukti bahwa adanya keinginan untuk menegakkan supremasi hukum dalam
penyelenggaraan negara. Adalah sesuatu yang tidak masuk akal kalau keinginan untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih tidak didukung dengan
penghormatan terhadap norma hukum yang telah disepakati sebagai kaedah landasan
hukum. Oleh karena itu, kepastian hukum adalah prinsip yang harus dipelihara.

1.3 Karakteristik Good Governance


ada tiga karakteristik dasar good governance, yaitu :
1. Diakuinya semangat pluralisme.
Pengertian pluralisme sendiri adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi
beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan
toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan
hasil tanpa konflik asimilasi.Di akui sebagai semangat pluralisme Artinya, pluralitas
telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak
mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi. Dengan kata lain, pluralitas
merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Pluralisme bertujuan
mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis, dan merupakan
sumber dan motivator terwujudnya kreativitas yang terancam keberadaannya jika
tidak terdapat perbedaan. Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah
sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta apabila manusia memiliki sikap
inklusif dan kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar.
Namun, dengan catatan, identitas sejati atas parameter-parameter otentik agama tetap
terjaga.

2. Tingginya sikap toleransi


Baik terhadap saudara sesama agama maupun terhadap umat agama lain.
Secara sederhana, Toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan

6
menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal itu,
‘‘QuraishShihab‘‘ menyatakan bahwa agama tidak semata-mata mempertahankan
kelestariannya sebagai sebuah agama, namun juga mengakui eksistensi agama lain
dengan memberinya hak hidup, berdampingan, dan saling menghormati.
3. Tegaknya prinsip demokrasi
Demokrasi bukan sekadar kebebasan dan persaingan, demokrasi juga
merupakan suatu pilihan untuk bersama-sama membangun dan memperjuangkan
perikehidupan warga dan masyarakat yang semakin sejahtera. Masyarakat madani
mempunyai ciri-ciri ketakwaan yang tinggi kepada Tuhan, hidup berdasarkan sains
dan teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup modern dan progresif,
mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak, beradab dan moral yang baik,
mempunyai pengaruh yang luas dalam proses membuat keputusan, serta menentukan
nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, politik, dan lembaga masyarakat.

1.4 Otonomi Daerah dan Upaya Menciptakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih
Perubahan paradigma hubungan pusat dan daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999
adalah merupakan upaya melakukan reformasi total penyelenggaraan negara di daerah.
Dampak reformasi total ini ditinjau dari segi politik ketatanegaraan membuktikan telah
terjadi pergeseran paradigma dari pemerintahan yang bercorak highly centralized menjadi
pola yang lebih terdesentralisasi dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk
mewujudkan otonomi daerah secara lebih luas sesuai dengan karakter khas yang dimiliki
daerah. Hal ini dilakukan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat sesuai
dengan potensi wilayahnya.
Perubahan yang dilakukan ini adalah untuk mewujudkan masyarakat madani dalam
kehidupan berpemerintahan, bermasyarakat dan bernegara yang memiliki nilai-nilai good
governance atau behoorlijk bestuur (Koswara, 2000). Hal ini sangat diperlukan karena
berkurangnya secara signifikan peranan pemerintah pusat di daerah terutama dalam
melakukan pengawasan preventif. Oleh karena itu, unsur-unsur pelaksanaan pemerintahan
yang baik dan benar dapat memainkan peranan penting di daerah. Apalagi UU No. 22 Tahun
1999 secara terang mengatakan bahwa aspirasi rakyat akan menjadi roh pelaksanaan
pemerintahan daerah.
Sehubungan dengan good governance dalam pelaksanaan otonomi daerah, ada tiga
hal penting yang harus dilakukan di tingkat daerah. Pertama, transparasi kebijakan. Pendapat

7
ini muncul karena pada era Orde Baru nafas birokrasi sebagai alat kekuasaan yang represif
sangat menonjol. Perumusan kebijakan pembangunan dan pemerintahan yang cenderung
elitis, tertutup, dan berbau nepotis. Oleh karena itu, dalam era otonomi daerah, kondisi ini
diharapkan tidak muncul lagi karena perilaku penyelenggara negara harus mengedepankan
terjadinya transparasi kebijakan publik (Hadimulyo 2000).
Kedua, partisipasi masyarakat. Walaupun UU No. 22 Tahun 1999 memberikan
peluang kepada DPRD untuk melakukan kontrol kepada eksekutif tapi hal itu dirasakan
belum cukup karena adanya indikasi bahwa DPRD dan pihak eksekutif “bermain mata”
dalam menyikapi kebijakan-kebijakan politik yang strategis di daerah. Untuk mencegah ini
diperlukan peranan yang optimal dari masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap
pelaksanaan pemerintahan. John Fenwick (1995) mengatakan bahwa dalam penataan
pemerintahan daerah sudah waktunya diperlakukan prinsip the public as consumers. Hal ini
dilakukan agar pemerintah lebih mengambil posisi sebagai fasilitator dan advokator
kepentingan masyarakat.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah prinsip ini sudah pada tempatnya dilaksanakan di
daerah karena dari dulu masyarakat hanya dilibatkan secara terbatas dalam memanajemen
pemerintahan dan pembangunan. Bahkan dalam waktu yang lama rakyat lebih banyak
dijadikan sebagai objek pembangunan. Peranan masyarakat hanya sebatas retorika,
kepentingan birokrasi lebih menonjol dan birokrasi berubah menjadi personifikasi
sekelompok elit birokrat.
Subari Sukardi –bekas Walikota Sawahlunto Sumatra Barat— berpendapat ada tiga
alasan meengedepankan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah untuk
mewujudkan good governance. Pertama, kualitas program akan meningkat karena dengan
partisipasi masyarakat yang besar akan memberikan jaminan bahwa tidak ada kepentingan
masyarakat yang tidak dipertimbangkan dalam proses penentuan kebijakan pemerintah.
Kedua, akan diperoleh legitimasi yang lebih besar karena dengan partisipasi masyarakat yang
lebih besar maka rakyat akan mempunyai tanggung jawab terhadap kebijakan tersebut. Dan
dukungan masyarakat akan menjadi lebih besar dalam pelaksanaan kebijakan pemerintahan.
Ketiga, partisipasi masyarakat merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan
perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
Yang pasti, membiasakan diri untuk memberikan akses informasi penyelenggaraan
negara terhadap masyarakat. Kebiasaan instansi pemerintah tertutup terhadap pihak luar
(terutama yang ingin menadapatkan informasi) harus segera dihilangkan. Ketertutupan ini
dapat menimbulkan rasa curiga yang berlebihan masyarakat terhadap penyelenggaraan
8
pemerintahan. Sikap arogan sudah tidak masanya lagi karena ini dapat menimbulkan sikap
vis a vis antara masyarakat dengan jajaran penyelenggara negara di daerah. Dan, kalau ini
berlanjut, ia akan menimbulkan krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap pemerintah.

1.5 Hubungan Antara Good Governance dengan Otonomi Daerah


Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah merupakan salah satu instrumen yang merefleksikan keinginan
pemerintah untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan hukum,
transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam hal penegakan hukum, UU No. 32 Tahun 2004
telah mengatur secara tegas upaya hukum bagi para penyelenggara pemerintahan daerah yang
diindikasikan melakukan penyimpangan.
Dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya terdapat 7 elemen
penyelenggaraan pemerintahan yang saling mendukung tergantung dari bersinergi satu sama
lainnya, yaitu :
1. Urusan Pemerintahan
2. Kelembagaan
3 Personil
4. Keuangan
5. Perwakilan
6. Pelayanan Publik
7. Pengawasan.
Ketujuh elemen di atas merupakan elemen dasar yang akan ditata dan dikembangkan
serta direvitalisasi dalam koridor UU No. 32 Tahun 2004. Namun disamping penataan
terhadap tujuan elemen dasar diatas, terdapat juga hal-hal yang bersifat kondisional yang
akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari grand strategi yang merupakan kebutuhan
nyata dalam rangka penataan otonomi daerah di Indonesia secara keseluruhan yaitu penataan
Otonomi Khusus NAD, dari Papua penataan daerah dari wilayah perbatasan , serta
pemberdayaan masyarakat.Setiap elemen tersebut disusun penataannya dengan langkah-
langkah menyusun target ideal yang harus dicapai, memotret kondisi senyatanya dari
mengidentifikasi gap yang ada antara target yang ingin dicapai dibandingkan kondisi rill yang
ada saat ini.

9
Meskipun dalam pencapaian GoodGovernance rakyat sangat berperan, dalam
pembentukan peraturan rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi, namun peran
negara sebagai organisasi yang bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas.
Untuk menghindari kesenjangan didalam masyarakat pemerinah mempunyai peran yang
sangat penting. Kebijakan publik banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat yang
menjadi dasar absahnya sebuahnegara. UU no 32 tahun 2004 yang memberikan hak otonami
kepada daerah juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan untuk
mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri. Dari pemilihan kepala
daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU no 25 tahun 1999). Peraturan daerah
pun telah masuk dalam Tata urutan peraturan perundang - undangan nasional (UU no 10
tahun 2004), Pengawasan oleh masyarakat.
Sementara itu dalam upaya mewujudkan transparansi dalam penyelenggaran
pemerintahan diatur dalam Pasa127 ayat (2), yang menegaskan bahwa sistem akuntabilitas
dilaksanakan dengan kewajiban Kepala Daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada Pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Sistem akuntabilitas semacam ini maka terdapat keuntungan yang dapat diperoleh yakni,
akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut pandang politis semata. Hal ini
merupakan antitesis sistem akuntabilitas dalam UU No. 22 Tahun 1999 dimana penilaian
terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah oleh DPRD seringkali tidak berdasarkan
pada indikator-indikator yang tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada indikator
kinerja yang terukur,maka laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak
mempunyaidampak politis ditolak atau diterima. Dengan demikian maka stabilitas
penyelenggaraanpemerintahan daerah dapat lebih terjaga.
Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh
masyarakat sebagai perorangan, kelompok maupun organisasi dengan cara: Pemberian
informasi adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi atau nepotisme di lingkungan pemerintah
daerah maupun DPRD. Penyampaian pendapat dan saran mengenai perbaikan,
penyempurnaan baik preventif maupun represif atas masalah.
Informasi dan pendapat tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang dan atau
instansi yang terkait. Menurut Pasal 16 Keppres No. 74 Tahun 2001, masyarakat berhak
memperoleh informasi perkembangan penyelesaian masalah yang diadukan kepada pejabat
10
yang berwenang. Pasal tersebut berusaha untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat
dalam menjalankan pengawasan. Dengan demikian, jelas bahwa Undang-undang Nomor 32
tahun 2004 dipersiapkan untuk menjadi instrumen yang diharapkan dapat menjadi ujung
tombak pelaksanaan konsep goodgovernance dalam penyelenggaraan pemerintahan di
indonesia.

11
12

Anda mungkin juga menyukai