Anda di halaman 1dari 12

Demokrasi, Politik, dan Sistem Partai Politik

Demokrasi secara etimologis berasal dari dua kata dari bahasa Yunani, yakni demos
yang berarti rakyat dan kratos yang bermakna pemerintahan. Istilah demokrasi sebenarnya
diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles. Beliau menginterpretasikan demokrasi sebagai
suatu bentuk pemerintahan, yakni pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada
di tangan orang banyak atau dalam hal ini berarti rakyat. Kemudian Abraham Lincoln dalam
pidato Gettysburg-nya mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat (Lansford, 2007). Oleh karena itu, rakyat memiliki hak, kesempatan,
dan suara yang sama dalam mengatur kebijakan pemerintah.
Kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat merupakan suatu bentuk keniscayaan
dalam konsep demokrasi modern sekarang ini, karena bentuk demokrasi yang berlaku di
setiap Negara adalah demokrasi tidak langsung. Konsekuensinya rakyat melalui pemilihan
umum memilih wakilnya untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi
mereka (Lansford, 2007). Sehingga, demokrasi diperlukan agar segala hal yang dilakukan
pemerintah itu dapat mengarah pada kepentingan rakyat dan upaya untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat, pemenuhan hak rakyat, serta keadilan sosial.
Konsep lain yang dekat dengan demokrasi adalah ilmu politik. Menurut Brendan
O’Leary (2000), ilmu politik merupakan disiplin akademis, dikhususkan pada penggambaran,
penjelasan, analisis, dan penilaian yang sistematis mengenai politik (kebijakan) dan
kekuasaan. Sehingga ilmu politik adalah kajian tentang Negara, tujuan-tujuan Negara dan
lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu, hubungan antara Negara
dengan warga Negara serta dengan Negara-negara lain (Barents, 1965). Berkenaan dengan
lembaga-lembaga pelaksana tujuan tersebut, prinsip yang cukup mapan, diakui, dan
diterapkan oleh banyak Negara adalah prisnsip Trias Politica. Berdasarkan prinsip ini,
kekuasaan politik Negara dibedakan atas tiga, yakni: eksekutif (lembaga yang menjalankan
undang-undang/regulasi), legislatif (lembaga yang membuat undang-undang), dan yudikatif
(lembaga yang memiliki kekuasaan untuk mengadili).
Secara normatif, politik sendiri harusnya oleh lembaga-lembaga Negara (lihat kembali
penjelasan di atas) digunakan untuk memenuhi kepentingan rakyat dan mewujudkan tujuan
Negara yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat, pemenuhan hak dasar
rakyat, dan keadilan sosial. Namun pada kenyataanya, perilaku lembaga tersebut (baca: wakil
rakyat) mengarah pada upaya memenuhi kepentingannya sendiri beserta kroni-kroninya
sehingga tidak ayal perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) membudaya, mengakar,
dan menjadi penyakit yang akut. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya kasus KKN di
negeri ini, misalnya: kasus hambalang, kasus wisma atlet, kasus korupsi di departemen
keuangan, kasus suap pemilihan deputi gubernur senior BI (check pelawat Miranda
Gulhtom), dll. Tidak heran jika indeks persepsi korupsi di Indonesia masih rendah yakni 2,8
pada tahun 2009 (hasil survei Transparency International; BPKP, 2010).
Oleh karena itu, akuntabilitas publik menjadi hal yang begitu urgen dalam menjaga
tegaknya pilar demokrasi. Namun patut disayangkan, tidak banyak riset pada sektor publik
Indonesia terutama berkaitan dengan area akuntabilitas publik. Padahal riset sangat
dibutuhkan dalam rangka memberikan pengawasan bekerjanya lembaga Negara dan

1
memberikan feed-back bagi lembaga-lembaga tersebut untuk terus memperbaiki kinerjanya
sesuai dengan fungsi masing-masing lembaga (ongoing performance Management). Riset
hanya beberapa saja, misalnya dikenal dan dipublikasikannya riset dengan judul:
Performance Accountability in Indonesian Government: A Symbolic Conformity serta
Akuntabilitas dan Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah (oleh Akbar, dkk., 2012 dan
Akbar, 2009).
Kemudian, berkenaan dengan parpol sudah cukup lama para ilmuwan politik
menyatakan bahwa partai politik merupakan pilar dari kehidupan politik yang demokratis.
Keberadaannya menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip dasar kehidupan yang demokratis
(Bryce, 1921: Ismawan, 2004). Di Indonesia sendiri, semenjak bergulirnya reformasi
1997/1998 menunjukkan tendensi penguatan pola demokrasi. Hal tersebut ditandai dengan
pergeseran dari sistem partai “tiga-partai” (Golkar, PDIP, dan PPP), menjadi sistem multi-
partai kompleks. Menjelang pemilihan umum tahun 1999, tercatat ada 168 partai politik yang
ingin berpartisipasi, 48 partai berhak ikut dalam pemilihan umum, dan hanya 5 partai
mendapat suara signifikan (API, 1999; Ismawan, 2004). Menjelang pemilihan umum 2004,
tercatat 264 partai didirikan, 24 diantaranya menjadi kontestan resmi, dan hanya 7 partai
mendapat suara signifikan serta untuk pemilu 2009 diikuti oleh 38 parpol nasional dan 6
parpol lokal Aceh (KPU, 2004 dan 2009). Sementara itu, untuk sementara ini ada 16 parpol
yang lolos verifikasi administrasi oleh KPU untuk menjadi peserta pemilu 2014 (KPU, 2012).

Konsep Akuntabilitas Partai Politik dan Urgensinya


Akuntabilitas merupakan konsep yang kompleks dan memiliki segi yang banyak
(Sinclair, 1995). Banyak pandangan mengenai definisi akuntabilitas, karena sudut pandang,
sejarah, dan/atau latar belakang adanya akuntabilitas berbeda-beda.Sehingga, akuntabilitas
hanya bisa didefinisikan secara kasar. Melvin Dubnick misalnya, beliau menelusuri asal mula
konsep akuntabilitas terhadap munculnya tradisi kerajaan yang sah sampai pada munculnya
birokrasi modern di Inggris (Dubnick, 2005; Erkkilä, 2007). Tapi, konsep penelusuran
akuntabilitas dari waktu yang lama tersebut tidaklah cukup relevan karena pada masa itu
akuntansi keuangan belum diterapkan. Sehingga, yang lebih relevan akuntabilitas di mulai
dari penggunaan yang lebih luas Manajemen Publik Baru (New Public Management) pada
tahun 1980-an (Mulgan, 2003 dan Bovens, 2005; Erkkilä, 2007).
Selain memandang sudut pandang sejarah, Mulgan juga memandang konsep awal
akuntabilitas termasuk dalam aspek responsibilitas/pertanggungjawaban (Mulgan, 2000;
Erkkilä, 2007), yang didasarkan pada penelitian terdahulu (Harmon, 1980; Conroy, 2005).
Sementara itu, Dubnick justru cenderung memandang responsibilitas sebagai bagian dari
akuntabilitas (Dubnick, 2005; Erkkilä, 2007). Namun, konteks yang lebih relevan sekarang
ini adalah pandangan bahwa prinsip akuntabilitas dan responsibilitas termasuk dalam prinsip-
prinsip yang dijadikan acuan dalam pengembangan, penerapan, dan evaluasi tata kelola yang
baik (good governance), bersama dengan transparansi, kemandirian, dan kewajaran (BPKP,
2012).
Berdasarkan jenisnya, akuntabilitas dibedakan atas akuntabilitas politik, manajerial,
publik, profesional, dan personal (Sinclair, 1995; Conroy, 2005). Dalam dua dekade terakhir,
akuntabilitas sektor publik telah menjadi topik yang hangat dan mendunia (Akbar, 2009).
Banyak Negara yang telah mengintegrasikan konsep ini ke dalam tatanan regulasi dan

2
perundang-undangan (Fowles, 1993; Hyndman dan Anderson, 1995; Akbar, 2009).
Eksistensi parpol yang semakin berkembang kompleks semenjak bergulirnya reformasi, baik
dari segi kuantitas dan jumlah massa partai begitu urgen memerlukan akuntabilitas. Hal
tersebut dikarenakan kapasitas parpol sebagai organisasi sektor publik yang menyerap serta
mengelola dana dari masyarakat atau Negara (Bastian, 2001).
Akuntabilitas sektor publik secara umum diukur dengan indikator keuangan dan
kinerja. Untuk organisasi atau instansi pemerintah sekarang ini akan lebih melihat indikator
kinerja daripada indikator keuangan. Karena, kapasitas dan tanggung jawab pemerintah
sebagai pelayan publik secara langsung. Indikator kinerja memiliki peran yang signifikan
dalam pengendalian manajemen untuk menjamin bahwa organisasi pemerintah dikelola
dengan baik guna melayani para stakeholder-nya sebaik mungkin (Akbar, 2009).
Sementara itu, indikator akuntabilitas yang relevan mendapatkan perhatian intensif
pada parpol adalah indikator keuangan. Hal tersebut karena parpol tidak memiliki kewajiban
untuk memberikan pelayanan publik, namun menyerap dana subsidi dari APBN serta
eksistensinya mempengaruhi jalannya pemerintahan Negara dan tegaknya demokrasi. Lagi
pula tuntutan untuk dilakukannya akuntabilitas belum lama bergaung. Sehingga, sarana
akuntabilitas yang urgen dibutuhkan sekarang sebagai fase awal perwujudan akuntabilitas
dan transparansi pada parpol adalah dengan menyusun laporan keuangan terkait dengan
sumber dana bantuan parpol dan alokasi belanja parpol, kemudian memberikan akses publik
terhadap laporan tersebut.

Akuntabilitas Keuangan Partai Politik


Sekarang ini, akuntabilitas keuangan parpol terutama berkenaan dengan sumber
pendanaan dan penggunaan bantuan dana parpol merupakan sesuatu hal yang harus
diimplementasikan. Hal tersebut mengingat pengeluaran operasional parpol yang cukup
tinggi sementara sumber pendanaan yang legal tidak begitu memadai. Jangan sampai parpol
melalui politikusnya mencari sumber pendanaan ilegal yang justru mengarah pada skandal
korupsi, politik uang, dan pencucian uang.
Namun sungguh ironi, di saat masyarakat dan regulator membutuhkan laporan
akuntabilitas dalam rangka mengawasi pengelolaan dana dan kegiatan partai tidak dibarengi
dengan komitmen parpol untuk menyajikan dan menyampaikan laporan keuangan parpol ke
publik. Penelitian yang dilakukan oleh Emmy Hafild bersama Transparency International
tahun 2008, menunjukkan partai politik di tingkat pusat sangat rendah kepatuhannya terhadap
kewajiban menyajikan laporan keuangan partai politik yang baik dan benar sehingga
akuntabilitas partai politik di tingkat pusat rendah, karena masyarakat tidak dapat mengakses
secara luas sumber-sumber pendanaan yang digunakan oleh partai politik.

Regulasi Bantuan Partai Politik


Pascapemilu 2004, kasus-kasus perburuan dana ilegal oleh politisi dan partai politik
mulai terungkap ke permukaan, seperti skandal korupsi dana Kementerian Kelautan dan
Perikanan dan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang melibatkan sejumlah
politisi dari beberapa partai politik. Kemudian yang terbaru, mulai terkuaknya kasus
hambalang membuat Menpora (Menteri Pemuda dan Olahraga) yang notabenenya salah satu
petinggi partai penguasa, harus nonaktif dari posisinya sebagai menteri. Semestinya

3
pengungkapan skandal-skandal oleh KPK tersebut mendorong partai politik untuk
memperketat pengelolaan keuangan partai politik melalui perubahan undang-undang partai
politik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. UU No. 2 Tahun 2008 yang merupakan
pengganti UU No. 31/2002 malah melonggarkan pengaturan sumber keuangan partai politik.
Dalam undang-undang tersebut, walau dilakukan pembedaan penyumbang
perseorangan anggota partai politik dan penyumbang perseorangan bukan anggota partai
politik namun jenis penyumbang perseorangan non-anggota ini tidak dibatasi besaran
sumbangannya sehingga bisa menjadi jalan untuk menampung dana dari siapapun sebesar
apapun. Hal ini tentu dikhawatirkan terjadinya penguasaan para pemilik uang yang selama ini
menjadikan partai sebagai institusi oligarkhi, elitis, dan personalistis (Messwati, 2011).
UU No. 2 Tahun 2011 yang merupakan perubahan terhadap UU No. 2 Tahun 2008
baru terjadi perubahan signifikan pada pengaturan sumber keuangan partai politik. Hal
tersebut nampak pada peningkatan besaran sumbangan perusahaan, dari Rp 4 miliar menjadi
Rp 7,5 miliar. Namun demikian, terjadi juga pengetatan pada pengaturan bantuan keuangan.
UU No. 2 Tahun 2011 memang mempertahankan kriteria partai politik yang berhak
menerima sumbangan, yakni partai politik yang mendapatkan kursi di DPR/DPRD. Demikian
juga cara penghitungan besaran sumbangan berdasarkan perolehan suara.
Hal baru dari UU No. 2 Tahun 2011 adalah peruntukan dana bantuan negara, yakni
diprioritaskan untuk pendidikan politik daripada operasional sekretariat. Selain itu, untuk
menegakan prinsip transparansi dan akuntabilitas, laporan keuangan penggunaan bantuan
keuangan partai politik harus diaudit oleh BPK. Sementara itu, partai politik yang tidak
membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan bantuan keuangan, bantuan keuangan
berikutnya dihentikan. Untuk mengetahui perbedaan dalam hal pengaturan bantuan partai
politik dengan UU sebelumnya, akan disarikan dalam tabel berikut:

Tabel 1.1
Pengaturan Sumber Keuangan Partai Politik dalam Empat Undang-undang
Perihal UU No.2/1999 UU No. 31/2002 UU No. 2/2008 UU No. 2/2011
Sumber Iuran anggota; Iuran anggota; Iuran anggota; Iuran anggota;
sumbangan; usaha sumbangan; sumbangan; sumbangan;
lain yang sah; bantuan negara bantuan negara bantuan negara
bantuan negara
Batasan Perseorangan Perseorangan Perseorangan Perseorangan
sumbangan anggota maksimal anggota anggota maksimal Rp1
(bantuan Rp15 juta; maksimal Rp200 maksimal Rp1 miliar;
non-negara) perusahaan juta; perusahaan miliar; perusahaan
maksimal Rp150 maksimal Rp800 perusahaan maksimal Rp7,5
juta juta maksimal Rp4 miliar
miliar
Metoda (tidak diatur) Secara Secara Secara
penetapan proporsional proporsional proporsional
jumlah berdasarkan berdasarkan berdasarkan
bantuan jumlah kursi jumlah jumlah perolehan
negara perolehan suara suara
Penerima Parpol yang Parpol yang Parpol yang Parpol yang
bantuan memperoleh suara memiliki kursi di memiliki kursi di memiliki kursi di
negara dalam pemilu DPR/DPRD DPR/DPRD DPR/DPRD

4
Peruntukan (tidak diatur) (tidak diatur)Pendidikan Diprioritaskan
politik dan untuk pendidikan
opersional politik
sekretariat
Laporan (tidak diatur) (tidak diatur) Menyampaikan Menyampaikan
pertanggung- laporan laporan
jawaban pertanggung- pertanggung-
jawaban kepada jawaban kepada
pemerintah BPK untuk
setelah diperiksa diaudit
BPK
Sanksi tidak (tidak diatur) (tidak diatur) Penghentian Penghentian
menyerahkan bantuan sampai bantuan sampai
laporan laporan diterima laporan diterima
pemerintah pemerintah
Sumber: UU No. 2/1999, UU No. 31/2002, UU No. 2/2008, UU No. 2/2011.

Sarana Akuntabilitas: Standar Jenis, Bentuk, dan Isi, serta Praktik Pelaporan
Setidaknya, laporan keuangan partai politik dibedakan atas 2 jenis: laporan keuangan
tahunan dan laporan keuangan pemilu. Berdasarkan pasal 39 UU No. 2 Tahun 2011, partai
politik diwajibkan membuat laporan keuangan untuk keperluan audit dana oleh akuntan
publik serta diumumkan secara periodik, yang meliputi: (a) laporan realisasi anggaran partai
politik; (b) laporan neraca; dan (c) laporan arus kas. Untuk laporan pemilu diatur dengan
peraturan KPU No. 1 Tahun 2009, yang mengharuskan pembuatan laporan
pertanggungjawaban (sumber) dana kampanye. Namun demikian, standar yang dipakai saat
ini yakni PSAK No. 45 tentang Laporan Keuangan Organisasi Nirlaba, di mana sangat tidak
memadai karena tidak mengakomodasi karakteristik partai (Hafild, 2008). Perbedaan
karaketristik tentu akan mengakibatkan perbedaan transaksi keuangan, bentuk laporan
keuangan, dan pengukuran-pengukuran tertentu terhadap pos-pos dalam laporan keuangan.

Tabel 1.2
Perbedaaan Karakter Antara Organisasi Nirlaba dengan Partai Politik
Organisasi Nirlaba Partai Politik
UU Yayasan UU Partai Politik dan Pemilu
Tidak ada batasan penyumbang Ada batasan penyeumbang
Tidak ada kewajiban melaporkan daftar Daftar penyumbang wajib dilaporkan
penyumbang
Hasil kegiatan berupa jasa layanan untuk Hasil kegiatan berupa kekuasaan politik
kepentingan umum
Akuntabilitas berupa kegiatan sesuai dengan Akuntabilitas berupa bersih dari politik uang,
tujuan organisasi dan manajemen yang baik kepatuhan terhadap hukum, dan posisi politik
sesuai dengan janji kepada rakyat
Kinerjanya dinilai dari rasio biaya terhadap Kinerjanya dinilai dari rasio biaya dan
kualitas jasa dan jasa/produk sosial yang jumlah suara yang didapatkannya dalam
dihasilkan pemilu
Kecuali untuk ormas, pada umumnya Merupakan organisasi publik sehingga
organisasi merupakan organisasi publik kebutuhan publik untuk menilai kinerja partai

5
sehingga kebutuhan publik untuk menilai politik lebih besar dibanding organisasi
kinerjanya lebih kecil dibandingkan parpol nirlaba lainnya
Sumber: IAI, 2003

Selain masalah belum memadainya standar, praktik pelaporan keuangan parpol


sebagai sarana mewujudkan akuntabilitas dan transparansi partai politik tidak berjalan
sebagaimana yang diharapkan. Misalnya adalah hampir semua laporan pertanggungjawaban
partai politik buruk karena melaporkan penggunaan dana bantuan keuangan tidak sesuai
dengan peruntukan. Namun, partai politik yang menyampaikan laporan pertanggungjawaban
sesungguhnya sudah lebih baik karena kenyataannya banyak partai politik yang tidak
menyampaikan laporan pertanggungjawaban. Padahal, sebagaimana diatur dalam PP No. 5
Tahun 2009 yang diperjelas lagi oleh Permendagri No. 24 Tahun 2009, format laporan
pertanggungjawaban penggunaan dana bantuan keuangan itu sangat sederhana sebagaimana
tampak pada tabel berikut:

Tabel 1.3
Format Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan Dana Bantuan Keuangan
No Jenis Pengeluaran Jumlah (Rp) Realisasi (Rp) Keterangan
1 2 3 4 5
A PENDIDIKAN POLITIK
B OPERASIONAL SEKRETARIAT
Administrasi umum
Keperluan ATK
Rapat internal sekretariat
Ongkos perjalanan dinas dalam rangka
mendukung operasional sekretariat
Langganan daya dan jasa
Telepon dan listrik
Air minum
Jasa dan pos giro
Surat-menyurat
Pemeliharaan jasa dan arsip
Pemeliharaan peralatan kantor
JUMLAH
Sumber: PP No. 5 Tahun 2009 dan Permendagri No. 24 Tahun 2009.

Dari hasil pemeriksaan BPK, tampak bahwa partai politik pada semua tingkatan tidak
memahami bagaimana laporan penggunaan dana subsidi negara dari APBN/APBD, meskipun
PP No. 5 Tahun 2009 dan Permendagri No. 24 Tahun 2009 sudah menjelaskan mana kegiatan
yang boleh dan mana yang tidak boleh didanai oleh dana subsidi. Akibatnya, banyak parpol
pada tiap daerah di Indonesia tidak menyusun laporan penggunaan dana subsidi parpol. Dari
20 daerah tingkat 1 dan 2 yang diperiksa, hanya 5 daerah saja yang semua parpolnya
melakukan penyusunan laporan penggunaan dana bantuan. Daerah tersebut diantaranya: DKI
Jakarta, Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten Bandung, Kota Semarang, dan Kota
Banjarmasin (BPK, 2009; Supriyanto dan Wulandari, 2012).
Selain itu, BPK telah menunjukkan adanya berbagai masalah dan pelanggaran
terhadap ketentuan penggunaan dana subsidi ABPN/APBD. Namun sampai sejauh ini, hasil

6
pemeriksaan BPK tidak dijadikan tolok ukur untuk memberikan sanksi kepada partai politik
yang terbukti telah melanggar ketentuan penggunaan dana subsidi.
UU No. 2 Tahun 2011 mewajibkan partai politik menyampaikan laporan
pertanggung-jawaban penggunaan bantuan keuangan untuk diaudit BPK dan bisa diakses
publik. Namun kenyataannya, banyak partai politik tidak membuat laporan
pertanggungjawaban. Hal tersebut akan berpengaruh pada lambatnya pencairan dana bantuan
yakni pada perioda Oktober-November dan pada gilirannya prinsip transparansi dan
akuntabilitas penggunaan dana bantuan keuangan partai politik tidak berjalan baik
(Supriyanto dan Wulandari, 2012). Dengan perioda pencairan dana yang dekat dengan
perioda untuk membuat laporan, maka sangat masuk akal jika kualitas laporan yang
dihasikan juga rendah apalagi aktivitas parpol sendiri sudah banyak, mulai dari kampanye,
muktamar, pengkaderan, kunjungan kerja, dll.
Untuk mengatasi hal di atas, UU No. 2 Tahun 2011 sebetulnya secara eksplisit sudah
mengatur tentang pemberian sanksi bagi parpol yang tidak menyerahkan laporan
pertanggungjawaban penggunaan keuangan. Sanksi berupa dihentikannya bantuan keuangan
pada tahun anggaran berjalan. Kenyataannya, sanksi tersebut tidak pernah dijatuhkan
sehingga semua partai politik pada setiap tingkatan. Pada akhirnya mereka tetap menerima
bantuan keuangan setiap tahun anggaran (dari berbagai sumber, disarikan).
Mengapa demikian? Diduga kuat, selain karena tekanan partai politik melalui wakil-
wakilnya di DPR/DPRD kepada pemerintah agar terus mencairkan dana bantuan setiap tahun,
pemerintah juga tidak bisa memastikan partai mana yang harus mendapatkan sanksi, dan
partai mana yang tidak, karena mekanisme dan siklus pencairan dana bantuan keuangan
belum jelas diatur oleh peraturan pemerintah.
Oleh karena itu, UU No. 2 Tahun 2011 menegaskan kembali, bahwa partai politik
yang tidak menyampaikan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana bantuan tahunan
sebelumnya, pencairan dana bantuan tahun anggaran berjalan bisa ditangguhkan, maka
peraturan pemerintah harus mengatur penjatuhan sanksi ini. Pengenaan sanksi ini akan
mudah dilakukan apabila siklus bantuan keuangan partai politik diatur secara jelas dalam
peraturan pemerintah.

Gejala Isomorfik dalam Organisasi Parpol

Teori Isomorfisme Institusional


Teori isomorfisme merupakan suatu teori yang terbentuk dari teori birokrasi, yang
notabenenya cukup mapan diterapkan pada sektor publik, terutama di pemerintahan. Dalam
birokrasi ditemukan suatu kecenderungan antar organisasi dalam dimensi cakupan dan
kondisi lingkungan yang sama melakukan operasi perusahaan dengan berdasar pada struktur,
tujuan, visi, dan misi yang sama. Konsep ini juga bisa dikatakan sebagai bentuk umum
organisasional. Hal ini membuat organisasi-organisasi beroperasi secara mirip/sama. Bentuk
operasi yang terstandardisasi lebih menitikberatkan pada legitimasi dan kekuatan politik.
Identik dengan birokrasi, teori isomorfisme institusional juga masih menjelaskan
gejala dan fenomena homogenisasi atau standardisasi. Hanya saja, teori ini menitikberatkan
pada aspek keperilakuan dalam proses menjalankan aturan. Isomorfisme dapat dikatakan
sebagai proses desakan yang mendorong satu unit organisasi cenderung sama dengan
organisasi lain yang punya kekuatan dalam suatu lingkungan yang sama (Hawley, 1968;
DiMaggio dan Powell, 1983).
Ada dua jenis isomorfisme, yaitu isomorfisme kompetitif (competitive isomorphism)
dan isomorfisme institusional (institutional isomorphism). Pada hakikatnya kedua jenis

7
isomorfisme ini sama, yang membedakan hanyalah bagaimana cara organisasi mendapatkan
kekuatan untuk mengatur. Jenis yang pertama, dalam rangka mendapatkan kekuatan untuk
mengatur, organisasi harus menang dalam kompetisi pasar. Sementara itu, jenis yang kedua
diperoleh melalui persaingan politik untuk mendapatkan kekuatan politik dan legitimasi
institusional. Studi ini mengadopsi jenis yang kedua karena organisasi sektor publik dalam
hal ini partai politik tidak berada dalam lingkungan kompetisi bebas dan terbuka sepenuhnya.
Kemudian, untuk mengetahui dorongan eksternal yang membuat organisasi
menjalankan standar atau regulasi yang ditetapkan organisasi di atasnya dapat dijelaskan
melalui tiga mekanisme perubahan isomorfik institusional berikut ini (DiMaggio dan Powell,
1983):
1. Isomorfisme Koersif (coercive isomorphism)
Koersif merupakan bentuk isomorfik yang disebabkan oleh paksaan dari kepastian
aturan/standar yang diberikan. Suatu pihak diharuskan untuk mengikuti atau menjalankan
aturan yang diberikan, karena ada alat untuk menekan berupa sanksi atau hukuman. Jika ada
mandat/perintah dari pemegang kekuasaan maka pihak yang dipimpin secara langsung
memberikan respon.
2. Mimetik (mimetic isomorphism)
Berbeda dengan perilaku isomorfik koersif yang disebabkan faktor kepastian (aturan),
proses mimetik justru disebabkan oleh hal-hal yang sifatnya tidak pasti. Organisasi di sini
dihadapkan dengan masalah kompleks yang tidak jelas penyebabnya. Untuk itu, dalam
rangka mendapatkan solusi yang cepat dan aman maka organisasi memilih untuk meniru
kebanyakan organisasi lainnya dalam mematuhi suatu regulasi.
3. Normatif (normativeisomorphism)
Bentuk perilaku/proses isomorfik ini adalah yang terbaik karena muncul atas dasar
profesionalisme. Profesionalisme timbul dari proses pembelajaran yang baik dan kepercayaan
yang kuat dari organisasi. Organisasi sadar bahwa sesuatu (aturan) itu dilakukan karena
tanggung jawabnya sebagai pihak yang diatur. Organisasi tersebut juga sadar dan percaya
bahwa tanggung jawab yang dilakukan, nantinya juga akan memberikan manfaat pada
organisasi tersebut.

Isomorfisme di Organisasi Parpol tehadap Regulasi Penyelenggaraan Akuntabilitas


Pada praktik penyerahan laporan partai politik secara periodik kepada pemerintah
terutama terkait dengan sumber pendanaan partai dan penggunaan dana bantuan tidak
menunjukkan indikasi adanya isomorfisme institusional. Hal tersebut dikarenakan dalam UU
No. 2 Tahun 2011 tidak mengatur sanksi yang tegas bagi partai politik yang tidak
menyelenggarakan akuntabilitas dan transparansi. Sanksi yang dijatuhkan bagi parpol
pelanggar aturan ini hanya berupa penghentian bantuan dari APBN sampai laporan diterima
pemerintah. Sementara itu, nilai bantuan keuangan partai politik dari APBN hanya 1,3% dari
total kebutuhan operasional partai politik per tahun (Anggraini, 2012; Supriyanto dan
Wulandari, 2012). Kepatuhan yang rendah pada regulasi ini tidak sejalan dengan teori
isomorfisme institusional.
Gejala adanya isomorfisme pada partai politik justru diduga kuat terjadi terhadap
praktik pelaporan dana kampanye yang diatur oleh KPU melalui peraturan KPU No. 1 Tahun
2009. Aturan ini memberikan sanksi tegas berupa penganuliran kemenangan parpol peserta

8
pemilu dan/atau calon eksekutif dan legislatif yang diusungnya jika tidak menyerahkan
laporan pertanggungjawaban dana kampanye pada KPU sampai batas waktu yang ditetapkan.
Selaras dengan teori isomorfisme institusional, KPU melalui regulasinya memiliki kekuatan
dan legitimasi untuk menekan partai politik dalam rangka menyelenggarakan pelaporan
pertanggungjawaban dana kampanye. Oleh karena itu, dalam konteks inilah isomorfisme
koersif kemungkinan besar hadir di dalam organisasi partai politik.
Dugaan penulis selaras atau diperkuat dengan penelitian dari Anzar (2011) terhadap
pelaksanaan pemilu di Banten tahun 2009. Anzar menemukan bahwa calon anggota legislatif
yang menjadi informan dalam penelitiannya merasa tidak ada kewajiban moral bagi mereka
untuk melaporkan kepada publik seluruh penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yang
telah mereka peroleh dan pergunakan selama masa kampanye dan pada saat pemungutan
suara, karena dana yang mereka peroleh berasal dari dana pribadi dan pihak ketiga yang tidak
meminta laporan atas dana yang diterima dan digunakan oleh mereka.

KONKLUSI
Bergulirnya reformasi tahun 1998 menandai runtuhnya rezim orde baru yang represif.
Rakyat begitu larut pada eforia demokrasi setelah sebelumnya terbelenggu kebebasannya
selama kurang lebih 32 tahun. Eksistensi partai politik pun memiliki peran yang begitu vital
demi tegaknya demokrasi karena dianggap sebagai konektor rakyat dengan pemerintahan.
Ekspektasi rakyat yang besar diberikan kepada parpol melalui kader-kadernya di lembaga
eksekutif dan legislatif untuk mendesakkan aspirasi rakyat atau parpol oposisi yang bertindak
untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat.
Namun demikian, ekspektasi yang besar hanyalah hal normatif. Realita sekarang
menunjukkan parpol justru cenderung dijadikan alat oleh kelompok tertentu untuk memenuhi
ambisi/kepentingan mereka dan acapkali merugikan rakyat. Hal tersebut dibuktikan dengan
banyaknya skandal korupsi, suap, politik uang, dan pencucian uang yang melibatkan kader
partai bahkan ironinya partai penguasa itu sendiri. Oleh karena itu, tuntutan penyelenggaraan
akuntabilitas kian kencang berkumandang.
Bentuk akuntabilitas yang begitu urgen adalah berkenaan dengan keuangan parpol
terutama sumber dana sumbangan dan kampanye parpol beserta penggunaannya. Pengeluaran
operasional parpol yang besar sementara sumber dana resmi tidak cukup memadai
mendorong parpol mencari dana ilegal. Ada tendensi kuat kader-kader partai yang
menduduki anggota eksekutif maupun legislatif dipaksa untuk korupsi uang Negara. Hal
tersebut tidak lain adalah untuk menyumbang partai demi membiayai operasional parpol
bermanuver politik yang sarat akan “nafsu berkuasa”. Kalaupun sumber dana dari pihak
swasta, realita sekarang menunjukkan tendensi terjadinya skandal suap atau pencucian uang
dan tentu sarat akan “kepentingan tertentu”. Oleh karena itu, akuntabilitas keuangan parpol
dapat dijadikan sarana untuk mengawasi parpol agar terhindar dari praktik-praktik tersebut.
Praktik akuntabilitas parpol sendiri saat ini terdapat beberapa masalah. Selain
persoalan standar keuangan yang dinilai tidak memadai karena tidak sesuai dengan
karakteristik parpol, komitmen parpol juga rendah dalam menyelenggarakan laporan
keuangan. Banyak partai politik yang tidak menyampaikan laporan pertanggungjawaban
penggunaan dana sumbangan, padahal format laporan yang sederhana (disarikan dari hasil
pemeriksaan BPK dan transparency international Indonesia: tinjau kembali penjelasan
sebelumnya). Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh sanksi yang kurang tegas yakni hanya
berupa penghentian bantuan dari APBN sampai laporan diterima, padahal bantuan tersebut
hanya cukup mendanai 1,3% saja dari total pengeluaran partai.

9
Kemudian, untuk dana kampanye tingkat kepatuhan pembuatan laporan akuntabilitas
diduga kuat cukup tinggi. Hal tersebut karena sanksi dari KPU sebagaimana tertuang dalam
Peraturan KPU No. 1 Tahun 2009 yang menganulir kemenangan parpol atau kader yang
diusungnya. Namun demikian, kepatuhan pembuatan pelaporan diduga kuat terjadi coercive
isomorphism bagi parpol dan kadernya mengingat rendahnya kualitas laporan dan rendahnya
komitmen akuntabilitas yang selama ini ditunjukkan parpol.

10
REFERENSI
Akbar, Rusdi. 2009. “Akuntabilitas dan Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah”. Diajukan
dalam rangka Seminar Nasional Inisiatif BPK Dalam Peningkatan Transparansi dan
Akuntabilitas Keuangan Negara dan Daerah Melalui Pengembangan Kapasitas
Sumber Daya Manusia Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta: BPK RI.
Anonim. 2003. “Akuntansi Parpol dan Audit Dana Kampanye”. Dalam http://iaiglobal.or.id.
Diakses tanggal 27 Desember 2012.
Anonim. 2011. “Dana Parpol Tak Jelas, Demokrasi Buruk”. Dalam
http://nasional.kompas.com/. Diakses tanggal 25 Desember 2012.
Anzar, Dahnil. 2011. “Akuntabilitas Keuangan Partai Politik di Banten”. Dalam Jurnal LAB-
ANE dan proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011. ISBN: 978-602-
96848-2-7. Banten: FISIP Universitas Ageng Tirtayasa.
Barents J.. 1965. Ilmu Politik Suatu Perkenalan Lapangan, Terjemahan L. M. Sitorus.
Jakarta: Pembangunan.
Bastian, Indra. 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Yogyakarta: BPFE.
BPKP. 2010. “Rencana Strategis BPKP 2010-2014”. Dalam http://www.bpk.go.id. Diakses
tanggal 20 November 2012.
BPKP. 2012. “Program Pengembangan GCG”. Dalam
http://www.bpkp.go.id/konten/423/GCG.bpkp. Diakses tanggal 20 November 2012.
Conroy, Denise K.. 2005. “Non-profit Organisations and Accountability: A Comment on the
Mulgan and Sinclair Frameworks”. Dalam Jurnal Third Sector Review, 11 (1). pp.
103-116. Brisbane: Queensland University of Technology.
DiMaggio, P. J., and W. W. Powell. 1983. “The Iron Cage Revisited: Institutional
Isomorphism and Collective Rationality in Organizational Fields”. Dalam American
Sociological Review 48: 147-160.
Erkkilä, Tero. 2007. “Governance and Accountability – A Shift in Conceptualisation”. Dalam
PAQ SPRING dan Konferensi Tahunan EGPA.
Hafild, Emmy. 2008. “Laporan Studi Standar Akuntansi Keuangan Khusus Partai Politik”.
ISBN 979-9381-35-5. Jakarta: Transparency International Indonesia.
Ismawan, Riswandha. 2004. “Partai Politik di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati, Mencari
Jati Diri”. Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah
Mada dalam Rangka Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik tanggal 4 September 2004 di Yogyakarta.
Komisi Pemilihan Umum. 2012. Dalam http://kpu.go.id./ Diakses tanggal 26 Desember 2012.
Lansford, Tom. 2007. Democracy: Political System of World. Marshall Cavendish. ISBN
978-0-7614-2629-5.
Messwati, Elok Dyah. 2011. “Penting, Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Parpol” Dalam
http://nasional.kompas.com/read/2011/08/25/20291287/Penting.Akuntabilitas.Pengelo
laan.Keuangan.Parpol. Diakses tanggal 25 Desember 2012.

11
O’leary, Brendan. 2000. “Ilmu Politik” dalam Adam Kupper dan Jessica Kupper, Ed.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Haris Munandar, dkk. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Peraturan KPU No. 1 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaporan Dana
Kampanye. Permendagri No. 24 Tahun 2009.
PP No. 5 Tahun 2009.
Sinclair, A.. 1995. “The Chameleon of Accountability: Forms and Disclosures”. Dalam
Accounting Organizations and Society, 20 (2&3): 219-237.
Supriyanto, Didik dan Wulandari, Lia. 2012. BANTUAN KEUANGAN PARTAI POLITIK:
Metode Penetapan Besaran, Transparansi, dan Akuntabilitas Pengelolaan. Jakarta:
Perludem.
UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagai Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2002.
UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik sebagai Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008.
UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik sebagai Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1999.

12

Anda mungkin juga menyukai