Anda di halaman 1dari 12

PAPER

SEJARAH DAN POLITIK HUKUM

“PEMBANGUNAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA: KAJIAN PASCA REFORMASI


DAN PERANANNYA”

Oleh:
Fathul Hamdani
I2B022018

Dosen Pengampu
Dr. Aris Munandar, SH., M.Hum

MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2022
1

PEMBANGUNAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA: KAJIAN PASCA


REFORMASI DAN PERANANNYA
Oleh: Fathul Hamdani (I2B022018)

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Setiap negara terdapat politik hukum yang perannya sebagai kebijakan dasar bagi
penyelenggara negara untuk menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan
dibentuk. Sebagaimana pengertian politik hukum menurut Padmo Wahjono dengan
mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa
yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup
pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.1 Persoalannya adalah bagaimana
penyelenggara negara mengelolaannya. Ada negara yang menyusun secara berencana
dan sistematis politik hukumnya, dan berkehendak menyusun kembali secara
menyeluruh tatanan hukum baik karena alasan idiologis atau karena perubahan sistem
politik. Misalnya dari negara jajahan menjadi negara merdeka atau dari negara kerajaan
menjadi negara republik. Akan berbeda halnya dengan negara yang sudah memiliki
sistem hukum yang sudah mapan. Politik hukumnya dilakukan dengan lebih sederhana
yaitu lebih dikaitkan pada kebutuhan yang bersifat khusus daripada yang pokok atau
asas-asanya.2
Di samping itu, perkembangan situasi politik memasuki era milinium ketiga, di
berbagai negara di dunia arus perubahan global ternyata meninggalkan otokrasi-
otokrasi politik yang mengisolasi menuju pembaharuan. Sebut saja Uni Sovyet, pada
saat dipimpim Gorbachev, ternyata mampu menghasilkan restorasi reformasi hingga ke
Eropa. Di Uni Soviet akhirya menghasilkan negara-negara baru. Di Eropa Jerman
Timur dan Barat bersatu. Di Afrika dan Timur Tengah saat ini terjadi pergolakan yang
menunjukkan tekad pembaharuan. Di Indonesia, era reformasi bergulir sejak 1998,
yang menumbangkan era rezim Orde Baru.3
Perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat di berbagai belahan dunia dalam
konteks akademik telah melahirkan berbagai teori tentang transisi, baik dalam konteks

1
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 160.
2
Frenki, “Politik Hukum dan Perannya dalam Pembangunan Hukum di Indonesia Pasca Reformasi”, Artikel
Ilmiah Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung, hlm. 2.
3
John Pickles dan Adrian Smith (Eds.), Theorising Transition; The Political Economy of Post-Contmunist
Trans' forntations (London: Routledge, 1998), hlm. 1-2.
2

politik, ekonomi, hukum, dan konteks-konteks lainnya. Dalam konteks politik, makna
"transisi politik" antara lain diartikan sebagai peralihan atau perubahan pemerintahan
yang terjadi di berbagai negara.4 Di beberapa negara, kekuatan-kekuatan oposisi telah
berubah menjadi penguasa; sementara itu di sebagian negara-negara lainnya, walaupun
tidak sepenuhnya terputuskan dengan rezim sebelumnya yang lalim, namun telah
menjauhkan dirinya dari mereka dan dari warisan pelanggaran-pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya yang bersifat otoriter.
Diantara beberapa kasus, arah transisi politik telah menuju demokrasi, baik dengan
cara memulihkan suatu bentuk demokrasi dari pemerintahan yang telah dirusak oleh
suatu tezim yang diktator, atau melalui langkah-langkah untuk membentuk suatu
pemerintahan demokrasi yang baru, dimana tak satu pihak pun dari rezim sebelumnya
yang dilibatkan.5 Di beberapa negara lainnya, rezim yang baru belum dipilih secara
demokratis; atau bahkan mereka masuk ke dalam kekuasaan melalui kekuatan, namun
mereka telah mengembangkan penghormatan terhadap HAM. Dalam beberapa situasi
yang lain, pemerintahan yang baru menyalahkan kejahatan-kejahatan yang dilakukan
oleh pemerintahan lalim sebelumnya, dan menghukum mereka-mereka yang
dinyatakan bersalah; namun mereka kemudian juga terlibat dalam praktek-praktek
represif sebagaimana dilakukan oleh rezim sebelumnya, meskipun dalam wujud
karakter yang berbeda atau di arahkan pada target-target yang berbeda.6
Sehingga, transisi tersebut dengan berbagai cara, telah menjadikan hak asasi
manusia (HAM) sebagai pusat dari revolusi demokratis yang telah menyentuh setiap
bagian dari belahan dunia dalam beberapa tahun terakhir ini. Walaupun arus demokrasi
telah mengalir dengan cepat, demokrasi-demokrasi yang muncul masih menghadapi
hambatan-hambatan yang menakutkan dalam menegakkan aturan-aturan hukum dan
membentuk jaminan yang kokoh terhadap HAM.
Di Indonesia, walaupun tidak dapat dikatakan berlangsung dengan mulus, dalam
periode sejak tahun 1990 hingga awal 1998 atau hampir 8 (delapan) tahun waktu itu,
bangsa lndonesia telah memasuki masa reformasi. Dalam khazanah politik Indonesia,
pengertian era reformasi merujuk pada masa pasca berhentinya Jenderal (Purn.)
Soeharto sebagai Presiden Republik lndonesia (RI) pada tanggal 21 Mei 1998.

4
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1999), hlm. 19.
5
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 1.
6
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia (Jakarta: YLBHI, 1988), hlm. 2.
3

Berhentinya Soeharto tersebut antara lain diakibatkan adanya protes yang bertubi-tubi
dan terus-menerus dari rakyat pada umumya dan para mahasiswa pada khususnya, di
tengah-tengah merosotnya keadaan sosial dan ekonomi.7 Sebagaimana diketahui,
Wakil Presiden B.J. Habibie kemudian dilantik sebagai Presiden untuk menggantikan
Soeharto.
Berbagai tuntutan pun kemudian disuarakan oleh elemen-elemen masyarakat untuk
memperbaiki kondisi dan struktur ketatanegaraan pasca Orde Baru. Tuntutan-tuntutan
tersebut antara lain adalah sebagai berikut: (1) amandemen UUD 1945; (2)
penghapusan Dwifungsi ABRI; (3) penegakan supremasi hukum, penghormatan HAM,
dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); (4) desentralisasi dan
hubungan yang adil antara Pusat dan Daerah (otonomi daerah); (5) mewujudkan
kebebasan pers; dan (6) mewujudkan kehidupan demokrasi.8
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, Penulis tertarik untuk mengangkat
artikel dengan judul “Pembangunan Politik Hukum di Indonesia: Kajian Pasca
Reformasi dan Peranannya”.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana sistem hukum Indonesia pasca reformasi?
b. Bagaimana peran politik hukum di Indonesia pasca reformasi?

B. PEMBAHASAN
1. Sistem Hukum Indonesia Pasca Reformasi
Dengan telah diselenggarakannya pemilihan umum secara langsung dan
terbentuknya berbagai pranata baru yang makin mendorong langkah-langkah menuju
demokratisasi, diantaranya dengan telah dipenuhinya beberapa tuntutan masyarakat
yang mengemuka pada masa-masa awal reformasi sebagaimana disebutkan di atas,
walaupun dalam kenyataannya tidak dapat berlangsung dengan mulus - tahap demi
tahap bangsa Indonesia telah memasuki era pasca reformasi.
Dalam era yang disebut sebagai pasca reformasi ini, beberapa tuntutan yang
dikemukakan masyarakat akan tetap ada, terutama yang terkait dengan sektor-sektor

7
Donald K. Emmerson (ed.), Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan The Asia Foundation, 2001), hlm. xi.
8
Untuk memahami hal ini, lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Panduan
dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003), hlm. 6.
4

yang belum tercapai pada masa reformasi. Sektor-sektor tersebut diantaranya adalah
yang berkaitan dengan penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN. Di samping
itu juga akan selalu muncul tuntutan terhadap pemenuhan keadilan dalam bidang
ekonomi. Agenda reformasi sebagaimana tersebut di muka terus bergulir dari semenjak
masa kepresidenan B.J. Habibie, dan bahkan akan terus berlanjut pada masa
kepresidenan Joko Widodo. Salah satu inti dari berbagai tuntutan yang diajukan rakyat
adalah terpenuhinya rasa keadilan masyarakat. Namun demikian, dalam realitanya,
ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Karena itulah pembangunan hukum
akan menjadi sangat penting dalam era reformasi.
Salah satu permasalahan mendasar yang sering diwacanakan dalam era reformasi
ini adalah mengenai aspek hukum. Aspek hukum yang dimaksudkan di sini mencakup
berbagai dimensi yang luas, yang secara mendasar dapat disarikan menjadi 3 (tiga)
anasir sebagai berikut: (1) structure (tatanan kelembagaan dan kinerja lembaga); (2)
substance (materi hukum); dan (3) legal culture (budaya hukum). Ketiga aspek ini
merupakan teori Lawrence M. Friedman yang sangat sering dirujuk dalam berbagai
penelitian dan kajian tentang sistem hukum di Indonesia.9
Friedman mendeskripsikan elemen-elemen dari sistem hukum dalam kalimat-
kalimat sebagai berikut:
"In modern American society, the legal system is everywhere with us and around
us. To be sure, most of us do not have much contact with courts and lawyers except
in emergencies. But not a day goes by, and hardly a waking hour, without contact
with law in its broader sense - or with people whose behavior is modified or
influence by law. Law is vast, though sometimes invisibIe, presence".10

Elemen pertama yang disebut Friedman adalah structure (tatanan kelembagaan dan
kinerja lembaga). Sedangkan elemen kedua yang dipaparkan oleh Friedman adalah
substance (ketentuan perundang-undangan). Sementara tentang elemen ketiga adalah
legal culture (budaya hukum). Struktur hukum menurut Friedman, adalah kerangkanya,
dan sebagai bagian-bagian dari hukum yang tetap senantiasa bertahan, atau bagian yang
memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Kelembagaan hukum
adalah bagian dari struktur hukum, seperti Lembaga Mahkamah Agung, Kejaksaan,
Kepolisian. Substansi atau materi hukum, yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata

9
Ana Fauzia, Fathul Hamdani, Deva Gama Rizky Octavia, “The Revitalization of the Indonesian Legal
System in the Order of Realizing the Ideal State Law”, Progressive Law Review, Vol. 3 No. 1 (2021), hlm. 13.
10
Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction (New York: W.W, Norton dan Company, 1984),
hlm. 23.
5

manusia yang berada dalam sistem itu. Subtansi hukum juga berarti produk yang
dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang
mereka keluarkan, juga aturan baru yang mereka susun.
Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya pada aturan
yang ada dalam kitab hukum (law in books). Sementara budaya hukum adalah sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, dan
harapannya. Budaya hukum juga mencakup suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial
yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa
budaya hukum, maka sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya.11
Pengaruh dari pandangan Friedman ini, khususnya yang terkait dengan 3 (tiga)
unsur sistem hukum, bahkan tetap ada hingga saat ini, yakni dalam politik hukum yang
diberlakukan dalam era pasca reformasi. Yang dimaksud dengan politik hukum dalam
era pasca reformasi ini secara khusus merujuk pada beberapa arahan yang bertajuk
"Pembenahan dan Sistem Politik Hukum" yang merupakan salah satu bagian dari
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Dengan
demikian pembahasan dalam bagian berikutnya ini juga akan didasarkanpada ketiga
unsur sistem hukum tersebut.
RPJMN ini bahkan dapat dilihat sebagai semacam Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) dalam era Orde Lama dan Orde Baru. Sebagai akibat dari proses
perubahan UUD 1945, dimana salah satu dasar pemikiran perubahannya adalah tentang
kekuasaan tertinggi di tangan MPR, maka semenjak tahun 2004, MPR hasil pemilihan
umum pada tahun tersebut tidak lagi menetapkan produk hukum yang berupa GBHN.
Padahal selama ini GBHN merupakan salah satu sumber unfuk meninjau politik hukum
dalam arti legal policy, baik yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh
karena itu, untuk menganalisis politik pembangunan hukum nasional dalam era pasca
reformasi, salah satu rujukan utama kita adalah pada naskah RPJMN tersebut.
Dalam RPJMN ini pengaruh Friedman sangat tampak pada bagian-bagian awal,
dimana permasalahan politik pembangunan hukum nasional ditinjau dari 3 (tiga) hal:
substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Dalam konteks substansi
hukum, terdapat beberapa permasalahan yang mengemuka antara lain sebagai berikut:

11
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Sekretariat
Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012), hlm. 78.
6

terjadinya tumpang tindih dan inkosistensi peraturan perundang-undangan dan


implementasi undang-undang terhambat peraturan pelaksanaannya.
Selanjutnya dalam konteks struktur hukum juga disebutkan beberapa kendala
antara lain sebagai berikut: kurangnya independensi dan akuntabilitas kelembagaan
hukum, padahal faktor independensi dan akuntabilitas merupakan dua sisi mata uang
logam. Selanjutnya disinggung pula mengenai kualitas sumber daya manusia di bidang
hukum, mulai dari peneliti hukum, perancang peraturan perundang-undangan sampai
tingkat pelaksana dan penegak hukum masih memerlukan peningkatan. Ditegaskan
pula mengenai permasalahan sistem peradilan yang transparan dan terbuka. Konteks ini
juga menyarankan perlunya pelaksanaan pembinaan satu atap oleh Mahkamah Agung
(MA) sebagai upaya untuk mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman dan
menciptakan putusan pengadilan yang tidak memihak (impartial).
Terakhir, dalam konteks budaya hukum, disoroti beberapa permasalahan yang
antara lain sebagai berikut: timbulnya degradasi budaya hukum di lingkungan
masyarakat. Gejala ini ditandai dengan meningkatnya apatisme seiring dengan
menurunnya tingkat apresiasi masyarakat, baik kepada substansi hukum maupun
kepada struktur hukum yang ada. Selanjutnya disinggung pula permasalahan
menurunnya kesadaran akan hak dan kewajiban hukum dalam masyarakat.
Sehubungan dengan beberapa permasalahan tersebut, menurut Perpres tersebut,
sasaran yang akan dilakukan dalam rentan tahun 2004 - 2009 adalah terciptanya sistem
hukum nasional yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif (termasuk tidak
diskriminatif terhadap perempuan atau bias jender); terjaminnya konsistensi seluruh
peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi; dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum
yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan
masyarakat secara keseluruhan pada hukum.
2. Peran Politik Hukum di Indonesia Pasca Reformasi
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, politik hukum
diartikan sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang
akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat untuk tujuan negara yang dicita-citakan. Dengan demikian, sangat jelas
bahwa politik hukum dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-cita ideal Negara
Republik Indonesia.
7

Politik hukum yang akan, sedang dan telah diberlakukan di wilayah yurisdiksi
Republik Indonesia itu sangat penting, karena hal itu akan menjadi sebagai pedoman
dasar dalam proses penentuan nilai-nilai, penerapan, pembentukan dan pembangunan
hukum di Indonesia. Artinya, baik secara normatif maupun praktis-fungsional,
penyelenggara negara harus menjadikan politik hukum sebagai acuan pertama dan
utama dalam proses-proses di atas. Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan
dalam proses pembentukan hukum adalah konsepsi dan kekuasaan politik, yaitu bahwa
hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam
negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi
politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya.12
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak
diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali
proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi
dan kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan
terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik dan
hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi,
kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya,
selain institusi hukumnya sendiri.
Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu
proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum.
Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang
pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan kata
“institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai
produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-
undang oleh suatu institusi politik yang sangat dipengaruhi oleh kekuata-kekuatan
politik yang besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam
Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk
mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-
akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan.13

12
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan (Jakarta: LP3ES, 1990),
hlm. 190.
13
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. Ke-27 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005),
hlm. 18.
8

Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang


geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances,
seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika
diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan
negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-
lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan
menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap
lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu
pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada
yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-
fungsi masing-masing.14
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga
negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi
politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut.
Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka
dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk
hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada
Mahkamah Agung.
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik,
terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi
produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut
berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya
menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti
kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi
profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No.
10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X
menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53:
“Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka
penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan
Daerah.”

14
Firoz Gaffar dan Ifdhal Kasim (Eds.), Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Cyberconsult, 2000), hlm.
84.
9

Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi


pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak
tuntutan masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil
dimenangkan, dengan ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Suharto
yang otoriter, maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala bidang
ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu
besar dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh
pakar filsafat publik Walter Lippmann, bahwa opini massa telah memperlihatkan diri
sebagai seorang master pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa yang
dipertaruhkan adalah soal hidup mati.15
Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para
lawmaker adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu: “Kalau opini
umum sampai mendomonasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu
penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang
hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah.16 Karena
itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan
suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk
mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik.
Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang
ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas
rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan
rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.
Perlu di jelas disini bahwa peran politik hukum terhadap pembangunan hukum
nasional di indonesia tidak bisa dilepas dari kontek sejarah. Sebagaimana diketahui,
setelah Indonesia merdeka hingga pasca reformasi bangsa Indonesia telah berupaya
untuk membenahi sistem hukum nasional sesuai dengan perkembangan negara
Indonesia saat ini.17 Dalam sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia telah terjadi
perubahan-perubahan politik secara bergantian (bedasarkan periode sistem politik)
antara politik yang demokratis dan politik otoriter. Sejalan dengan perubahan-
perubahan politik itu, karakter produk hukum juga berubah. Terjadinya perubahan itu

15
Walter Lippmann, Filsafat Publik (Jakarta: Yayasan Obor, 1999), hlm. 21.
16
Ibid., hlm. 15.
17
Soetandyo Wignjosoebroto, “Negara Hukum dan Permasalahan Akses Keadilan di Negeri-Negeri
Berkembang Pasca-Kolonial”, Makalah, Konferensi dan Dialog Nasional, Jakarta, Oktober 2012, hlm. 9-10.
10

karena hukum merupakan produk politik, maka karakter produk hukum berubah jika
politik yang melahirkannya berubah.

C. PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pembangunan politik
hukum nasional merupakan salah satu bidang pembangunan yang penting, yang juga
memerlukan perhatian dan penanganan secara intensif sebagaimana bidang-bidang
pembangunan lainnya. Salah satu permasalahan mendasar yang sering diwacanakan dalam
era reformasi ini adalah mengenai aspek hukum. Aspek hukum yang dimaksudkan di sini
mencakup berbagai dimensi yang luas, yang secara mendasar dapat disarikan menjadi 3
(tiga) anasir sebagai berikut: (1) structure (tatanan kelembagaan dan kinerja lembaga); (2)
substance (materi hukum); dan (3) legal culture (budaya hukum). Adapun ketiga aspek
hukum tersebut pasca reformasi tercermin dalam perumusan RPJMN, yang tujuannya
adalah agar terciptanya sistem hukum nasional yang adil, konsekuen dan tidak
diskriminatif (termasuk tidak diskriminatif terhadap perempuan atau bias jender);
terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan
daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi; dan kelembagaan
peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya
memulihkan kembali kepercayaan masyarakat secara keseluruhan pada hukum.
11

DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, M. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. Ke-27. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Emmerson, D. K (ed). 2001. Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat,
Transisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan The Asia
Foundation.
Fauzia, A., Hamdani, F., Octavia, D. G. R. 2021. “The Revitalization of the Indonesian Legal
System in the Order of Realizing the Ideal State Law”. Progressive Law Review. Vol. 3
No. 1.
Frenki. “Politik Hukum dan Perannya dalam Pembangunan Hukum di Indonesia Pasca
Reformasi”. Artikel Ilmiah Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung.
Friedman, L. M. 1984. American Law: An Introduction. New York: W.W, Norton dan
Company.
Gaffar, F., dan Kasim, I., (Eds). 2000. Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Cyberconsult.
Hartono, S. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni.
Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2012. Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia.
Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia.
Lev, D. S. 1990. Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta:
LP3ES.
Lippmann, W. 1999. Filsafat Publik. Jakarta: Yayasan Obor.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI). 2003. Panduan dalam
Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
Nusantara, A. H. G. 1988. Politik Hukum Indonesia. Jakarta: YLBHI.
Pickles, J., dan Smith, A., (Eds). 1998. Theorising Transition; The Political Economy of Post-
Contmunist Trans' forntations. London: Routledge.
Syaukani, I., dan Thohari, A. A. 1999. Dasar-dasar Politik Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Wahjono, P. 1986. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Wignjosoebroto, S. 2012. “Negara Hukum dan Permasalahan Akses Keadilan di Negeri-Negeri
Berkembang Pasca-Kolonial”. Makalah, Konferensi dan Dialog Nasional, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai