Anda di halaman 1dari 15

PAPER HUKUM DAN MASYARAKAT

“MEDIASI: ANALISIS NILAI SILA KE – 4 MENGENAI MUSYAWARAH


MUFAKAT”

Oleh:
Fathul Hamdani
I2B022018

Dosen Pengampu
Prof. Dr. H. Arba, S.H., M.Hum

MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2022
1

MEDIASI: ANALISIS NILAI SILA KE – 4 MENGENAI MUSYAWARAH


MUFAKAT1
Oleh: Fathul Hamdani (I2B022018)2

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hukum acara perdata peninggalan kolonial, Reglement Tot Regeling
van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java en Madura (RBg)
ataupun Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR), selalu memosisikan
hakim sebagai orang yang menyelesaikan sengketa, baik dengan cara
memutus perkara atau mendamaikan para pihak yang berperkara.
Kewajiban hakim untuk menawarkan perdamaian telah diatur dalam Pasal
154 RBg dan Pasal 130 HIR. Cara berpikir dalam regulasi peninggalan
kolonial tersebut membuat hakim selalu menempatkan perdamaian sebagai
formalitas dalam setiap perkara perdata, meskipun akhirnya dilanjutkan
hingga tahap putusan.3
Jalur litigasi dianggap memakan waktu (time-consuming) dan berbiaya
tinggi (high-cost). Selain itu, litigasi bagi hakim telah mengakibatkan
penumpukan serta beban perkara, sementara bagi para pihak dapat
memengaruhi reputasi mereka sendiri. Alasan tersebut mendorong
Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk menghidupkan kembali cara
perdamaian atau penyelesaian sengketa yang bersifat solusi menang-
menang (win-win solution) serta efisien dari segi waktu dan biaya, atau
dikenal juga dengan istilah mediasi di pengadilan.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan pada umumnya menggunakan
cara-cara yang berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan,
yakni digunakannya beberapa cara antara lainnya ialah negosiasi dan

1
Makalah, Dipersantasikan pada Mata Kuliah Hukum dan Masyarakat, 2022.
2
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Mataram.
3
A. Haryo Yudanto, “Memberdayakan Mediasi: Musyawarah untuk Mufakat”,
https://jdih.bappenas.go.id/data/file/Memberdayakan_Mediasi_musyawarah_mufakat.pdf, diakses
pada 15 Oktober 2022.
2

mediasi. Bentuk penyelesaian sengketa secara mediasi misalnya, juga telah


diatur secara tersendiri di dalam Pasal 1 Angka 1 Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan (PERMA 1/2016).4
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui mediasi tersebut
sebenarnya juga merupakan amanah sila ke-4 Pancasila, yakni “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan”. Hal ini menyiratkan bahwa sebagai bangsa Indonesia,
menyelesaikan masalah yang terjadi itu harus dengan bijak, dan salah satu
caranya adalah dengan mengadakan musyawarah. Dalam sila ini juga
tercermin bahwa keputusan secara musyawarah akan mendatangkan hasil
yang adil bagi kedua belah pihak yang berperkara. Keputusan yang akan
diambil nantinya akan menjadi jalan tengah dalam penyelesaian konflik
yang terjadi.
Jika dikaitkan dengan proses mediasi, tentu banyak kesamaan antara
mediasi dengan sila ke-4 Pancasila ini. Beberapa kesamaannya diantaranya
adalah tidak boleh ada pemaksaan kehendak dalam proses musyawarah.
Pada proses mediasi, salah satu pihak tidak dibenarkan untuk terus bertahan
dengan posisinya. Dalam hal ini kedua belah pihak harus mampu
bekerjasama untuk mencapai keputusan yang adil dan bermanfaat bagi
semua pihak.
Prinsip tersebutlah yang juga menjadi bagian dari studi sosiologi
hukum, yakni bagaimana hukum mampu mewujudkan ketertiban sosial.
Sehingga melalui mediasi, nantinya kedua belah pihak akan sama-sama
menurunkan ego masing-masing, dan bertanggung jawab atas tanggung
jawab yang di emban, serta menjalankan kewajiban dan menerima hak yang
telah disepakati. Setelah disepakati, perkara yang terjadi juga dianggap

4
Laurensius Arliman S., “Mediasi melalui Pendekatan Mufakat sebagai Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional”, UIR Law Review,
Vol. 2 No. 2 (2018), hlm. 387.
3

selesai, dan diharapkan akan menciptakan ketertiban sosial, yakni tidak


akan menimbulkan dendam atau masalah yang berkelanjutan ke depannya.
Oleh karena itu, terhadap uraian di atas Penulis tertarik untuk mengkaji
bagaimana nilai sila ke-4 Pancasila di dalam mediasi, yakni mengenai
musyawarah mufakat. Sehingga judul yang diangkat adalah “Mediasi: Nilai
Sila Ke – 4 mengenai Musyawarah Mufakat”.

2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana analisis nilai sila ke-4 mengenai musyawarah mufakat dalam
pelaksanaan mediasi?
b. Sejauh mana mediasi dapat memberikan kemanfaatan, rasa adil, dan
kepastian hukum kepada para pihak?

3. Tujuan Permasalahan
a. Mengetahui nilai sila ke-4 mengenai musyawarah mufakat dalam
pelaksanaan mediasi.
b. Mengetahui sejauh mana mediasi dapat memberikan kemanfaatan, rasa
adil, dan kepastian hukum kepada para pihak.

B. PEMBAHASAN
1. Nilai Sila Ke-4 mengenai Musyawarah Mufakat dalam Pelaksanaan
Mediasi
Sebagai dasar negara, Pancasila memang menjadi sumber nilai bagi
hukum lainnya. Terutama keberadaan sila ke-4, yakni dengan
mengimplementasikannya dalam penyelesaian sengketa.
Pengimplementasian sila ke-4 tersebut, khususnya dalam pelaksanaan
mediasi menjadi sangat penting. Mediasi merupakan kosakata atau istilah
yang bersalah dari kosakata Inggris, yaitu mediation. Di Indonesia lebih
suka menggunakannya dengan istilah mediasi. W. Poeggel and E. Oeser
menyatakan mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Ia
bisa individu (pengusaha) atau lembaga atau organisasi profesi atau dagang.
Mediator ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya ia dengan
4

kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupa mendamaikan para pihak


dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.5
Pendekatan mufakat sendiri di dalam mediasi sebagai lembaga
alternatif penyelesaian sengketa dapat dilihat dalam Pasal 26 bagian
keterlibatan ahli dan tokoh masyarakat PERMA 1/2016 yang menyatakan:
ayat (1) Atas persetujuan Para Pihak dan/ atau kuasa hukum, Mediator dapat
menghadirkan seorang atau lebih ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama, atau
tokoh adat; dan ayat (2) Para Pihak harus terlebih dahulu mencapai
kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan
dan/atau penilaian ahli dan/atau tokoh masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1). Karena menurut Takdir Rahmadi bahwa proses dari mediasi
akan menghasilkan dua kemungkinan, yaitu para pihak mencapai
kesepakatan perdamaian atau gagal mencapai kesepakatan perdamaian, atas
hal tersebut maka para pihak wajib untuk: 1) merumuskan kesepakatan
perdamaian secara tertulis dan menandatanganinya; 2) menyatakan
persetujuan secara tertulis atas kesepakatan perdamaian jika dalam proses
mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum; dan 3) menghadap kembali
kepada hakim pada hari sidang yang ditentukan untuk memberitahukan
kesepakatan perdamaian, terutama diutamakan secara pendekatan mufakat.6
Di dalam proses pengambilan keputusan alternatif penyelesaian
sengketa, maka harus menerapkan prinsip musyawarah untuk mencapai
mufakat berdasarkan aturan hukum dan etika (the rule of law and the rule
of ethics) yang diakui dan/ atau disepakati Bersama).7 Karena itu, sistem
pengambilan keputusan dalam alternatif penyelesaian sengketa dalam
lembaga mediasi haruslah berorientasi kepada upaya untuk dari waktu ke
waktu memperdekat jarak antara para pihak. Hal ini menunjukkan bahwa
cara penyelesaian sengketa secara musyawarah untuk mufakat sesuai

5
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional Prinsip-prinsip dan Konsepsi Dasar (Jakarta:
Rajawali Press, 2004), hlm. 12.
6
Takdir Rahmadi, Mediasi Peyelesaian Sengketa melalui Pendekatan Mufakat (Jakarta:
Rajawali Press, 2010), hlm. 41.
7
Jimly Asshiddiqie, “Pancasila dan Agenda Pembaruan Birokrasi”, Makalah, disampaikan pada
Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Rabu, 18 Mei, 2011.
5

prinsip dalam Alternatif Dispute Resolution yang menghindari permusuhan


para pihak telah mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut
nampaknya misalnya, dalam falsafah masyarakat jawa yang terkandung
dalam konsep rukun, yang artinya menjauhkan diri dari benturan atau
konflik dengan segala dimensinya.8 Bahkan di Minangkabaupun ada istilah
bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik, yang menjelaskan
bahwa apapun segala permasalahan tetap mengutamakan musyawarah
dalam mencapai solusi yang tepat.
Sebagaimana diketahui, selama ini masyarakat sudah mengenal adanya
penyelesaian kasus dengan acara perdamaian, baik dikenal sebagai acara
musyawarah untuk mufakat, dan juga berbagai jenis acara penyelesaian
melalui Lembaga Adat yang ditempuh sesuai dengan kelaziman dan
kebiasaan hukum adat tertentu sebagai traditional law, baik itu di dalam
sengketa perdagangan tradisional atau bahkan perdagangan yang merambah
ke bentuk modernisasi. Acara penyelesaian adat di Indonesia bisa bervariasi
bentuknya menurut konteks situasi lokal. Bahkan terminologi ‘musyawarah
untuk mufakat’ itu dipandang mengandung filosofi kepribadian khas
Indonesia, yang dirumuskan ke dalam Pancasila sebagai landasan paling
mendasar dalam hidup kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan
Republik Indonesia.9 Beberapa nilai budaya hukum Pancasila yang penting
diperkuat adalah semangat musyawarah untuk mufakat yang dikemas dalam
bahasa modern penyelesaian sengketa secara damai.10
Gagasan pendekatan mufakat di dalam mediasi sebagai lembaga
penyelesaian sengketa, secara ideologis ini sesuai dengan gagasan
Soekarno, untuk memberikan penegasan kembali identitas Indonesia
sebagai keagungan bangsa yang berdasarkan pada prinsip-prinsip
tradisional masyarakat Indonesia yang tinggi. Dimana identitas bangsa

8
I Made Sukadana, Mediasi Peradilan (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2012), hlm. 39.
9
Nikolas Simanjuntak, “Penguatan Lembaga Adat Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa”,
Jurnal Negara Hukum, Vol. 4 No. 1 (2013), hlm. 12.
10
Danang Wijayanto, et.al., Problematika Hukum dan Peradilan (Jakarta: Komisi Yudisial,
2014), hlm. 71.
6

Indonesia itu sendiri terkait dengan prinsip-prinsip tertentu mencirikan


watak Indonesia lama dan modern, yaitu bernama persaudaraan, ramah
tamah dan gotong royong. Gotong royong memiliki beberapa lapisan
makna. Hal ini menunjuk pada tingkat hubungan dengan prinsip simbiosis
mutualisme, saling membantu, bekerja sama, berbagi beban, semua untuk
semua, yang semuanya itu dimulai dengan mufakat untuk mencapai tujuan
bersama.11
Bahkan di dunia internasional, penyelesaian perselisihan dengan
menggunakan mediasi maupun pendekatan hukum adat (kearifan lokal)
yang tetap berakar pada nilai-nilai tradisional banyak digunakan di beberapa
negara, sebagai berikut:12
a. Peradilan adat di Papua Nugini: dilakukan pemerintah dengan
mekanisme penyelarasan sistem peradilan formal dan peradilan informal.
Sistem peradilan informal merupakan mekanisme penyelesaian sengketa
yang dominan karena pemerintah mendirikan apa yang dinamakan
dengan Unit Perantara Peradilan Komunitas (Community Justice Liaison
Unit/CJLU) merupakan bagian resmi bidang pemerintahan di sektor
hukum dan peradilan bertugas meningkatkan kapasitas pelaku peradilan
di luar negara. CJLU juga berfungsi untuk mendokumentasikan dan
menyebarluaskan inovasi yang mendukung keterlibatan masyarakat sipil
dalam sektor peradilan sehingga peradilan informal dan peradilan negara
saling menguatkan.
b. Peradilan adat di Samoa Barat: sebagai negara kepulauan/bahari (terdiri
dari dua pulau utama dan tujuh pulau kecil) norma yang hidup dalam
masyarakat dominan budaya bahari. Setiappulau di kepalai seorang
Matai yang bertanggungjawab membentuk dewan pertimbangan adat
yang disebut Fono dan merumuskan hukum yang berlaku bagi
masyarakat untuk menyelesaikan sengketa melalui musyawarah adat dan

11
Muzayin Mahbub, Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Komisi Yudisial,
2012), hlm. 260.
12
Mohammad Jamin, Peradilan Adat, Pergeseran Politik Hukum, Perspektif Undang-undang
Otonomi Khusus Papua (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 88-89.
7

memutuskan bentuk sanksi yang dijatuhkan dan dilaksanakan (termasuk


pemenjaraan, pemukulan, pidana menghadap matahari dalam waktu
lama, ganti rugi dalam bentuk uang/benda).
c. Peradilan adat di Filipina: pada tahun 1997 Filipina behasil menyusun
Indigenous Peoples Right Act/IPRA yang mengatur mengenai pengakuan
tentang hak-hak masyarakat hukum adat secara baik sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum termasuk dalam hukum internasional. Peradilan
adat dengan sebutan sistem peradilan Barangay atau The Barangay
Justice Sistem/BJS merupakan lembaga konsiliasi dan mendiasi wajib di
tingkat barangay, komunitas adat atau desa. Tidak ada sengketa yang
boleh ditangani oleh pengadilan sebelum usaha awal untuk menengahi di
tingkat barangay dilaksanakan.
d. Peradilan adat di Bangladesh: dilaksanakan oleh lembaga yang disebut
Shalis yang berorientasi pada keadilan restoratif dengan community
based dimana setiap perselisihan (termasuk tindak pidana) yang terjadi
di masyarakat diselesaikan melalui jalur informal. Tahapan
penyelesaiannya melalui tahap mediasi untuk mencari solusi terbaik
diantara para pihak, melalui panel yang terdiri dari tokoh masyarakat
yang dituakan dan berpengaruh mencari solusi termasuk memberikan
sanksi pidana. Penyerahan penyelesaian kepada panel adalah atas
persetujuan para pihak sehingga putusannya wajib dilaksanakan. Atau
kedua tahapan tersebut (mediasi dan panel) dapat dilakukan secara
bersama-sama dimana panel berfungsi sebagai mediator.
Dengan demikian, terhadap berbagai contoh di atas, maka perlunya
penyelesaian sengketa melalui mediasi melalui pendekatan mufakat, pada
intinya untuk mencapai kesepakatan bersama diantara para pihak, selain
menutup kemungkinan menumpuknya berkas perkara di pengadilan, juga
dapat dijadikan sarana dalam memecahkan persengketaan secara damai
yang diterima, dan mengikat para pihak yang bersengketa dan
mengandalkan konsep mufakat sebagai ciri khas bangsa Indonesia.
8

2. Jangkauan Mediasi dalam Memberikan Kemanfaatan, Rasa Adil, dan


Kepastian Hukum Kepada Para Pihak
Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi bertujuan untuk
memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-
perbedaan mereka secara pribadi dengan bantuan pihak ketiga yang netral
(mediator). Mediator menolong para pihak untuk memahami pandangan
para pihak lainnya sehubungan dengan masalah-masalah yang
disengketakan, dan selanjutnya membantu mereka melakukan penilaian
yang objektif dari keseluruhan situasi atau keadaan yang sedang
berlangsung selama dalam proses perundingan-perundingan. Jadi mediator
harus tetap bersikap netral, selalu membina hubungan baik, berbicara
dengan bahasa para pihak, mendengarkan secara aktif menekankan pada
keuntungan potensial, meminimalkan perbedaan-perbedaan dan
menitikberatkan persamaan-persamaan, yang bertujuan untuk membantu
para pihak bernegosiasi secara lebih baik atas penyelesaian suatu sengketa.13
Mediasi merupakan salah satu upaya penyelesaian sengketa dimana
para pihak yang berselisih atau bersengketa bersepakat untuk menghadirkan
pihak ketiga yang independen guna bertindak sebagai mediator (penengah).
Mediasi sebagai salah satu proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
dewasa ini digunakan oleh pengadilan sebagai proses penyelesaian
sengketa. Penggunaan mediasi sebagai bagian dari proses awal penyelesaian
sengketa perdata di Pengadilan merupakan suatu langkah untuk menafsirkan
secara praktis perwujudan ketentuan kewajiban hakim dalam mendamaikan
para pihak yang bersengketa, sebagaimana ketentuan Pasal 130 HIR/154
RBg.14
Di samping adanya tuntutan dan kewajiban untuk mendamaikan para
pihak bagi hakim pada saat proses penyelesaian perkara di hadapan majelis

13
Teddy Lesmana, “Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana dalam
Perspektif Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Jurnal Rechten: Riset Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Vol. 1 No. 1 (2019), hlm. 4.
14
Ismail Rumadan, “Efektivitas Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Negeri”,
https://bldk.mahkamahagung.go.id/id/component/k2/item/5-efektivitas-pelaksanaan-mediasi-di-
pengadilan-negeri.html, diakses tanggal 10 Oktober 2022.
9

yang dipraktekkan melalui proses mediasi. Kebijakan MA-RI


memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di Pengadilan didasari
pula atas beberapa alasan praktis sebagai berikut:
Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah
penumpukan perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa
tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah perkara yang harus diperiksa oleh
hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui
perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi karena
perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga
mereka tidak akan mengajukan upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara
diputus oleh hakim, maka putusan merupakan hasil dari pandangan dan
penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak.
Pandangan dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan para
pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu
menempuh upaya hukum banding dan kasasi. Pada akhirnya semua perkara
bermuara ke Mahkamah Agung yang mengakibatkan terjadinya
penumpukan perkara.
Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa
yang lebih cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di
Indonesia memang belum ada penelitian yang membuktikan asumsi bahwa
mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan proses
litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan
pada alasan pertama bahwa jika perkara diputus, pihak yang kalah sering
kali mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat
penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu
bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama
hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika
perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan
sendirinya dapat menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka
yang mencerminkan kehendak bersama para pihak.
10

Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses


bagi para pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya
dapat diperoleh melalui proses litigasi, tetapi juga melalui proses
musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya mediasi ke
dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya
dan para pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu
mengupayakan penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan
musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut
mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka telah menempuh proses
musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke
Pengadilan, Mahkamah Agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan
para pihak menempuh upaya perdamaian yang dibantu oleh mediator, tidak
saja karena ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu HIR dan RBg,
mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum
proses memutus dimulai, tetapi juga karena pandangan, bahwa penyelesaian
yang lebih baik dan memuaskan adalah proses penyelesaian yang
memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari dan
menemukan hasil akhir.
Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan
dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam
penyelesaian sengketa. Jika pada masa-masa lalu fungsi lembaga
pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi memutus, dengan
diberlakukannya PERMA tentang Mediasi diharapkan fungsi mendamaikan
atau memediasi dapat berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi
memutus. PERMA tentang Mediasi diharapkan dapat mendorong
perubahan cara pandang para pelaku dalam proses peradilan perdata, yaitu
hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi
juga mendamaikan. PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk
dicapainya perdamaian.
Alasan-alasan mendasar tersebut di atas sehingga kemudian Mahkamah
Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung sebagai landasan hukum
11

untuk mengakomodir pelaksanaan mediasi secara prosedur di Pengadilan.


Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 tahun 2003 menjadikan mediasi
sebagai bagian dari proses beracara pada pengadilan. Mediasi menjadi
bagian integral dalam penyelesaian sengketa di pengadilan. Mediasi pada
pengadilan menguatkan upaya damai sebagaimana yang tertuang dalam
hukum acara pasal 130 HIR atau pasal 154 RBg. hal ini ditegaskan dalam
pasal 2 PERMA No. 02 tahun 2003, yaitu semua perkara perdata yang
diajukan kepada pengadian tingkat pertama harus terlebih dahulu di
selesaikan dengan upaya damai. Ketentuan Pasal 2 PERMA mengharuskan
hakim untuk menawarkan mediasi sebagai jalan penyelesaian sengketa
sebelum perkara diperiksa. Mediasi merupakan kewajiban yang harus
ditawarkan kepada pihak yang berperkara.
Ketentuan Pasal 3 PERMA dapat kita terjemahkan bahwa bagi pihak
yang menolak mediasi tidak membawa konsekuensi hukum apapun
terhadap perkaranya, karena perkaranya tersebut tetap akan dilanjutkan jika
jalan mediasi gagal. Namun, pelanjutan sidang perkara tetap akan
dipertimbangkan persyaratan formal perkara yang telah ditentukan dalam
hukum acara.
Dengan demikian, melalui uraian di atas didapati suatu benang merah
bahwa: Pertama, aspek kebermanfaatan yang diperoleh dari mediasi di
samping untuk mengurangi perkara di pengadilan, namun juga melalui
mediasi akan dapat memberikan para pihak win-win solution. Selain itu, dari
segi biaya yang dikeluarkan para pihak juga tidak akan sebanyak yang
dikeluarkan ketika menyelesaikan sengketa melalui proses litigasi. Kedua,
aspek keadilan yang diperoleh adalah adanya kesepakatan yang di dalam
mediasi, yang dalam hal ini para pihak memiliki posisi yang setara. Dalam
hal ini hasil dari persetujuan dan tawar-menawar yang diperoleh dari
mediasi adalah fair. Karena dengan adanya situasi posisi asali (para pihak
tidak dikondisikan oleh suatu sistem negara), relasi semua orang yang
simetri, maka situasi awal ini adalah fair antar individu sebagaimana person
moral, yakni sebagai makhluk rasional dengan tujuan dan kemampuan
12

mereka mengenali rasa keadilan. Posisi asali ini dapat dikatakan merupakan
status quo awal yang pas, sehingga persetujuan fundamental yang dicapai
di dalamnya adalah fair. Sehingga dalam pengambilan suatu keputusan akan
sangat sarat dengan kata “mufakat”, yang artinya tidak ada pihak yang
dirugikan atau berada di bawah paksaan ketika menjalani proses mediasi.
Ketiga, terkait aspek kepastian hukum, bahwa sesuai dengan Pasal
1858 ayat (1) dan (2) KUHPerdata dan Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg ayat
(2) dan (3) yang mengatur mengenai perdamaian dan perjanjian perdamaian,
menerangkan bahwa akta perdamaian mempunyai kekuatan hukum sebagai
berikut:
a. Putusan perdamaian mempunyai kekuatan yang sama layaknya putusan
hakim (pengadilan) dalam tingkat akhir, sehingga memiliki kekuatan
hukum tetap, dan terhadap putusan tersebut tidak dapat dimintakan upaya
hukum banding maupun kasasi. Dengan demikian, akta perdamaian yang
dikukuhkan dalam putusan perdamaian yang telah dibacakan di muka
sidang oleh majelis hakim telah memiliki kepastian hukum layaknya
putusan biasa yang telah berkekuatan hukum tetap.
b. Akta perdamaian memiliki kekuatan pembuktian sempurna, artinya
apabila akta perdamaian tersebut dijadikan alat bukti, maka tidak
memerlukan alat bukti pendukung lainnya untuk membuktikan telah
terjadinya peristiwa maupun hubungan hukum lainnya yang telah
menimbulkan hak dan kewajiban, karena akta perdamaian sama halnya
dengan akta otentik buatan pejabat umum yakni hakim melalui putusan
perdamaian dan dibuat secara sengaja untuk dapat dijadikan dan
digunakan sebagai alat bukti.
c. Akta perdamaian (acta van dading) hasil mediasi memiliki kekuatan
eksekutorial, karena dalam putusan perdamaian tersebut memuat irah-
irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”. Setiap akta atau putusan yang dalam kepala putusannya
memuat irah-irah, maka termasuk dalam akta otentik yang memiliki
kekuatan eksekutorial.
13

C. PENUTUP
1. Sebagai dasar negara, Pancasila memang menjadi sumber nilai bagi hukum
lainnya. Terutama keberadaan sila ke-4, yakni dengan
mengimplementasikannya dalam penyelesaian sengketa, yaitu melalui
mediasi. Gagasan pendekatan mufakat di dalam mediasi sebagai lembaga
penyelesaian sengketa, secara ideologis ini sesuai dengan gagasan
Soekarno, untuk memberikan penegasan kembali identitas Indonesia
sebagai keagungan bangsa yang berdasarkan pada prinsip-prinsip
tradisional masyarakat Indonesia yang tinggi. Sehingga perlunya
penyelesaian sengketa melalui mediasi melalui pendekatan mufakat, pada
intinya untuk mencapai kesepakatan bersama diantara para pihak, selain
menutup kemungkinan menumpuknya berkas perkara di pengadilan, juga
dapat dijadikan sarana dalam memecahkan persengketaan secara damai
yang diterima, dan mengikat para pihak yang bersengketa dan
mengandalkan konsep mufakat sebagai ciri khas bangsa Indonesia.
2. Pertama, aspek kebermanfaatan yang diperoleh dari mediasi di samping
untuk mengurangi perkara di pengadilan, namun juga melalui mediasi akan
dapat memberikan para pihak win-win solution. Kedua, aspek keadilan
yang diperoleh adalah dalam hal ini hasil dari persetujuan dan tawar-
menawar yang diperoleh dari mediasi adalah fair. Karena dengan adanya
situasi posisi asali (para pihak tidak dikondisikan oleh suatu sistem negara),
relasi semua orang yang simetri, maka situasi awal ini adalah fair antar
individu sebagaimana person moral, yakni sebagai makhluk rasional dengan
tujuan dan kemampuan mereka mengenali rasa keadilan. Ketiga, terkait
aspek kepastian hukum, bahwa sesuai dengan Pasal 1858 ayat (1) dan (2)
KUHPerdata dan Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg ayat (2) dan (3) yang
mengatur mengenai perdamaian dan perjanjian perdamaian, menerangkan
bahwa akta perdamaian mempunyai kekuatan hukum sebagai berikut: a.
layaknya putusan hakim (pengadilan); b. Akta perdamaian memiliki
kekuatan pembuktian sempurna; dan c. Akta perdamaian (acta van dading)
hasil mediasi memiliki kekuatan eksekutorial.
14

DAFTAR PUSTAKA
Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional Prinsip-prinsip dan Konsepsi
Dasar. Jakarta: Rajawali Press, 2004.
Arliman S. Laurensius. “Mediasi melalui Pendekatan Mufakat sebagai Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi
Nasional”. UIR Law Review. Vol. 2 No. 2 (2018).
Asshiddiqie, Jimly. “Pancasila dan Agenda Pembaruan Birokrasi”. Makalah.
Disampaikan pada Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Negeri
Semarang, Rabu, 18 Mei, 2011.
Jamin, Mohammad. Peradilan Adat, Pergeseran Politik Hukum, Perspektif
Undang-undang Otonomi Khusus Papua. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014.
Lesmana, Teddy. “Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana
dalam Perspektif Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Indonesia”. Jurnal
Rechten: Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia. Vol. 1 No. 1 (2019).
Mahbub, Muzayin. Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia. Jakarta:
Komisi Yudisial, 2012.
Rahmadi, Takdir. Mediasi Peyelesaian Sengketa melalui Pendekatan Mufakat.
Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Rumadan, Ismail. “Efektivitas Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Negeri”.
https://bldk.mahkamahagung.go.id/id/component/k2/item/5-efektivitas-
pelaksanaan-mediasi-di-pengadilan-negeri.html. Diakses tanggal 10 Oktober
2022.
Simanjuntak, Nikolas. “Penguatan Lembaga Adat Sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa”. Jurnal Negara Hukum. Vol. 4 No. 1 (2013).
Sukadana, I Made. Mediasi Peradilan. Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2012.
Wijayanto, Danang, et.al. Problematika Hukum dan Peradilan. Jakarta: Komisi
Yudisial, 2014.
Yudanto, A. Haryo. “Memberdayakan Mediasi: Musyawarah untuk Mufakat”.
https://jdih.bappenas.go.id/data/file/Memberdayakan_Mediasi_musyawarah
_mufakat.pdf. Diakses pada 15 Oktober 2022.

Anda mungkin juga menyukai