Anda di halaman 1dari 18

ALTERNATIF

PENYELESAIAN
SENGKETA
KELOMPOK 01
1. Luk Lukul Maknun (101210109)
2. Luluk Maysaroh (101210110)
3. Muhammad Fuad Ainul Yaqin (101210121)
4. Muhammad Ulin Nuha (101210122)
5. Muhammad Rizqi Habib Al Muqoffi (101210136)
 Hukum adalah rumusan dari norma-norma baik berisi perintah maupun larangan
untuk keterlibatan manusia, Hukum ada untuk menjaga berbagai kepentingan yang
satu dengan yang lain.
 Fungsi Hukum diantaranya untuk menertibkan dan mengatur pergaulan dalam
masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah timbul. Hukum menjadi saluran
untuk meminimalisasi berbagai konflik kepentingan yang tumbuh dalam pergaulan
masyarakat. Oleh karena itu, hukum akan selalu ada dan tumbuh berkembang
dalam setiap pergaulan manusia.
 Pengertian Konflik secara Hukum adalah perbedaan pendapat, perselisihan
paham, sengketa antara kedua belah pihak tentang hak dan kewajiban pada saat
keadaan yang sama.
 Pengertian konflik secara umum adalah konflik atau peselisihan paham, sengketa,
diartikan dengan pendapat yang berlainan antara dua pihak mengenai masalah
tertentu pada saat keadaan yang sama.

Perbedaan konflik atau sengketa dianta lain sebagai berikut:


1. pra-konflik, adalah keadaan yang mendasari rasa ketidakpuasan seseorang
2. konflik, adalah keadaan ketika para pihak menyadari atau mengetahui tentang
adanya perasaan ketidakpuasan tersebut
3. konflik sering disebut dalam kajian sosiologi
4. sengketa, adalah keadaan ketika konflik tersebut dinyatakan di muka umum atau
dengan melibatkan para pihak.
5. penggunaan stan sengketa fokus pada kajian hukum dan antropologi.
 Alternatif penyelesaian sengketa merupakan
penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para
pihak yang bersengketa melalui jalur di luar
pengadilan (non litigation) dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi,
atau penilaian ahli.
 Undang-undang Nomar 30 Tahun 1999
tentang merupakan dasar hukum yang berisi
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
 Karakteristik dari Alternatif penyelesaian
sengketa bersifat win win solution atau
mutual acceptable solution.
1 Terbatasnya pemahaman penyelesaian sengketa alternatif di masyarakat, baik masyarakat awam
maupun akademis

2 Adanya ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga penyelesaian sengketa alternatif

3 Tidak adanya kekuatan eksekutorial bagi lembaga penyelesaian sengketa alternatif

4 Diperlukannya kesadaran para pihak dalam menjalankan hasil-hasil kesepakatan yang telah dicapai

5 Rendahnya kerelaan untuk melepas hak-hak yang telah disepakati dalam kesepakatan yang telah
disepakati

6 Rendahnya etika bisnis para pihak


7. Summary jury
1. Konsultasi 4. Konsiliasi
Trial

10. Med-arbi
(Mediasi-
2. Negoisasi 5. Arbitrase 8. Minitrial
Arbitrase)

6. Good offices
3. Mediasi 9. Renta judge
(jasa baik)
proses penyelesaian sengketa dengan melibatkan lembaga
pengadilan.

Proses penyelesain sengketa tanpa melibatkan lembaga pengadilan.


Sengketa ini sering dusebut dengan penyelesain sengketa alternatif
(alternative dispute resolution).
Dilihat dari efektivitas waktu dan efisiensi biaya
ketika peran dan fungsi pengadilan dianggap
mengalami beban (overload), maka dengan
penyelesaiannya sengketa alternatif (Alternatif
dispute Resolution) dapat menghindari
kelambatan dan buang waktu, biaya yang mahal.
 Yaitu pembinaan hubungan baik bagi para pihak dengan
kata lain penyelesaian sengketa alternatif ini diharapkan
tidak ada permusuhan diantara para pihak. Sehingga
hubungan baik tetap terjaga dalam proses
penyelesaiannya dan para pihak diberlakukan secara
wajar dan manusiawi.
 Tujuan ini tercapai karena proses penyelesaian sengketa
alternatif yang mudah disesuaikan, yaitu lebih memiliki
kemampuan untuk menghasilkan kesepakatan yang
mencerminkan kepentingan dan kebutuhan para pihak.
 Penyelesaian sengketa bukan merupakan hal yang baru. adanya jiwa
kooperatif dalam penyelesaian sengketa merupakan perwujudan
dari sila ke-4 menjadi ruh dalam setiap sendi-sendi dalam pergaulan
hidup bangsa Indonesia.
 Misalnya, masyarakat batak dengan budaya litigious, masih
mengandalkan perunggu ada dan budaya adat lainnya secara
normatif dikuatkan dengan undang-undang nomor 12 tahun 1957
tentang penyelesaian perselisihan pemburuan yang
memperkenalkan Adanya lembaga perantara, jauh sebelum lahirnya
UU Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa.
Adanya kebijakan-kebijakan yang mengarah pada
peningkatan keterlibatan masyarakat di tingkat pengambil
keputusan (influence paraticipation). Bentuk-bentuk pelibatan
masyarakat seperti ikut berpartisipasi dalam setiap proses
dibuatnya suatu kebijakan, mulai dari tahap identifikasi, tahap
perumusan, tahap pelaksanaan kebijakan dan tahap evaluasi
kebijakan. Akibat adanya pelibatan ini maka diperlukan
lembaga pengelolaan berbagai perbedaan (konflik).

Anda mungkin juga menyukai