Anda di halaman 1dari 4

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Manusia adalah makhluk sosial, sehingga dituntut untuk dapat melakukan
hubungan yang baik dengan orang lain, supaya tercipta kehidupan yang selaras dan
damai.1 Namun pada implementasinya, suatu hubungan hukum tidak selalu berjalan
dengan lancar, melainkan adakalanya timbul perselisihan dan sengketa, salah satu
faktor yang mendasari timbulnya kondisi demikian yaitu adanya pihak yang tidak
dapat memenuhi kewajibannya terhadap pihak lain, sehingga pihak lain tersebut
merasa dirugikan haknya.2 Adapun guna menjaga hubungan dan keberlangsungan
pelaksanaan hak dan kewajiban antar pihak, maka sengketa harus segera
diselesaikan.
Dalam penyelesaian sengketa, sejak dahulu masyarakat Indonesia sudah
mengenal istilah musyawarah mufakat, upaya ini dapat melibatkan kepala adat atau
tokoh-tokoh masyarakat, dengan tujuan menghasilkan penyelesaian sengketa yang
dapat diterima oleh semua pihak. Proses penyelesaian masalah demikian dalam
perkembangannya kemudian dikenal dengan istilah mediasi. Upaya penyelesaian
sengketa melalui mediasi seringkali mencapai perdamaian, sebab para pihak
mempunyai kesempatan untuk mengemukakan argumen-argumen sesuai
kepentingannya. Jikapun mediasi tidak atau belum berhasil mencapai kesepakatan,
setidaknya melalui proses ini dapat mengklarifikasi permasalahan dan memperkecil
perselisihan, karena dalam upaya ini para pihak telah menyampaikan apa yang
dirasakan dan diinginkan.3
Berdasarkan hal demikian, tentu masyarakat mulai lebih memilih proses
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi) atau lazim disebut alternatif
penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution) dalam hal ini adalah mediasi.
Sebab mediasi memiliki proses yang sederhana dan cepat, serta dengan sifat putusan
yang win-win solution. Dikatakan demikian karena hasil didapat melalui
musyawarah dan atas kesepakatan bersama, sehingga para pihak merasa tidak ada
yang dirugikan. Terlebih lagi, seperti yang telah disinggung sebelumnya, mediasi
merupakan proses perundingan pemecahan masalah dengan bantuan pihak ketiga
yang netral yaitu mediator. Meskipun mediator bekerja membantu para pihak yang

1
Sarwono, Hukum Acara Perdata dan Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 5.
2
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm. 84.
3
Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata, Grafitri, Bandung, 2015, hlm. 63.
bersengketa untuk menyelenggarakan pertemuan, memimpin perundingan, mencatat,
membuat agenda, mengajukan usul penyelesaian, bahkan sampai membantu
menghasilkan keputusan yang memuaskan4, namun mediator tidak berwenang untuk
memutuskan persengketaan layaknya hakim dan arbiter.5
Adapun mediasi di luar pengadilan selama ini berdasar pada Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Padahal, dalam regulasi tersebut belum diatur secara lengkap mengenai tahapan
pelaksanaan mediasi, sehingga antara mediator satu dengan yang lainnya belum
memiliki standar yang sama terkait hal tersebut, kecuali standar tahapan mediasi
ditetapkan oleh organisasi atau lembaga-lembaga mediasi yang ada seperti Pusat
Mediasi Nasional.
Kemudian, terkait mediasi di luar pengadilan lazimnya menghasilkan
kesepakatan atau perjanjian perdamaian, yang selanjutnya berdasarkan Pasal 1851
BW, hal tersebut pada dasarnya harus menghakhiri sengketa, dan dinyatakan dalam
bentuk tertulis serta harus dilaksanakan oleh seluruh pihak dalam sengketa. Menurut
Retnowulan Sutantio, perjanjian perdamaian adalah awal dari terbitnya akta
perdamaian (acte van dading) dari pengadilan (hakim) yang memiliki kedudukan
yang sama layaknya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde).6 Namun, mengingat dalam hal ini mediasi dilaksanakan di luar
pengadilan, yang itu maknanya perjanjian perdamaian dibuat oleh para pihak sendiri,
maka hasil dari mediasi harus dibawa ke pengadilan untuk dapat dikukuhkan
menjadi akta perdamaian.
Namun pada implementasinya, seringkali di masyarakat terjadi gugat-
menggugat di pengadilan yang diawali oleh adanya perjanjian perdamaian yang
dibuat oleh para pihak. Adapun permasalahan timbul karena terdapat satu pihak
yang tidak melaksanakan isi perjanjian perdamaian, sehingga menyebabkan pihak
lain menggugatnya ke pengadilan. Keadaan demikian tentu menunjukkan bahwa
masih terdapat permasalahan mengenai kedudukan dari kesepakatan atau perjanjian
perdamaian yang dihasilkan dari mediasi.

4
Sri Mamudji, “Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan”, Jurnal Hukum &
Pembangunan, Vol. 34, No. 3, 2004, hlm. 194-209.
5
Karmawan, “Diskursus Mediasi dan Upaya Penyelesaiannya”, Kordinat: Jurnal Komunikasi antar Perguruan
Tinggi Agama Islam, Vol. 16, No. 1, 2017, hlm. 123.
6
Retnowulan Sutantio, Mediasi dan Dading, Proceedings Arbitrase dan Mediasi, Pusat Pengkajian Hukum
Departememen Kehakiman dan HAM, Jakarta, 2003, hlm. 161.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas
lebih mendalam terkait mediasi. Namun, untuk menjaga agar tidak terjadi pelebaran
topik pada makalah, perlu kiranya penulis melakukan pembatasan permasalahan.
Adapun perumusan masalah yang disusun oleh penulis antara lain:
1. Bagaimana eksistensi mediasi dalam penyelesaian sengketa perdata di luar
pengadilan?
2. Bagaimana efektivitas mediasi dalam penyelesaian sengketa perdata di luar
pengadilan?
3. Bagaimana kekuatan hukum pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa
perdata di luar pengadilan?

1.3. Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan
yang hendak dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui bagaimana eksistensi mediasi dalam penyelesaian sengketa
perdata di luar pengadilan.
2. Untuk mengetahui bagaimana efektivitas mediasi dalam penyelesaian sengketa
perdata di luar pengadilan.
3. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan hukum pelaksanaan mediasi dalam
penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Harahap, K. (2015). Hukum Acara Perdata. Bandung: Grafitri.
Mertokusumo, S. (2001). Hukum Acaa Perdata. Yogyakarta: Liberty.
Sarwono. (2012). Hukum Acara Perdata dan Praktek. Jakarta: Sinar Grafika.
Sutantio, R. (2003). Mediasi dan Dading, Proceedings Arbitrase dan Mediasi. Jakarta: Pusat
Pengkajian Hukum Departememen Kehakiman dan HAM

Artikel Jurnal
Mamudji, S. (2004). Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan.
Jurnal Hukum dan Pembangunan, 34 (3), 194-209.
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1440/1360
Karmawan. (2017). Diskursus Mediasi dan Upaya Penyelesaiannya. Kordinat: Jurnal
Komunikasi antar Perguruan Tinggi Agama Islam, 16 (1), 123.
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ kordinat/article/view/6457/3953

Anda mungkin juga menyukai