Anda di halaman 1dari 7

1. Perkembangan pengaturan lembaga perdamaian.

Istilah lembaga perdamaian tidak termuat secara eksplisit dalam


RIB/HIR. Peraturan lembaga perdamaian tertuang pada Pasal 154
Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten
Java En Madura, Staatsblad 1927:227) dan Pasal 130 Reglemen
Indonesia yang diperbarui (Het Herziene Inlandsch Reglement, Staatsblad
1941:44). Pasal 130 HIR menyatakan ”Jika pada hari yang ditentukan
kedua belah pihak datang, maka ketua pengadilan negeri akan mencoba
mendamaikan mereka.” Menurut Prof. Hapsoro Hadiwidjojo, ”mencoba
mendamaikan” berarti usaha perdamaian mutlak dilakukan dan
dicantumkan dalam berita acara (processverbaal). Jika suatu pemeriksaan
perkara tidak didahului usaha perdamaian, maka sidang berikutnya
menjadi batal. Kewajiban mendamaikan ini sesuai dengan nilai-nilai luhur
bangsa Indonesia, yakni musyawarah untuk mufakat. Oleh karena itu,
usaha pendamaian ini terus menerus dipertahankan. 1
Kata mediasi secara etimologis berasal dari bahasa Latin, yaitu
mediare yang berarti “berada di tengah”. Mediasi menunjuk kepada
peranan pihak ketiga, yakni sebagai mediator sebagai pihak yang
menengahi para pihak bersengketa. Istilah mediasi (mediation), muncul
pertama kali di Amerika Serikat sekitar tahun 1970. Mediasi muncul
karena masyarakat Amerika tidak puas terhadap sistem administrasi
penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di lembaga peradilan karena
membutuhkan waktu lama dan biaya tinggi. Pihak-pihak yang bersengketa
dan masyarakat sulit mendapatkan akses terhadap keadilan (access to
justice).2

1
Hapsoro Hadiwidjojo, Mochammad Djais, Kooesmargono. Hukum Acara Perdata,
Membaca Dan Mengerti HIR. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1984.
hlm. 57.
2
Dedy Mulyana, “Kekuatan Hukum Hasil Mediasi di Luar Pengadilan Menurut Hukum
Positif”, Jurnal Wawasan Yuridika, Vol. 3, No. 2, 2019. hlm. 183.

1
Meskipun pendamaian ini isinya adalah kehendak sendiri dari para
pihak yang berperkara, akan tetapi disusun dan dikuatkan oleh hakim.
Oleh karena itu, akta perdamaian memiliki kekuatan dan dilaksanakan
seperti putusan hakim biasa.3 Sifat dari perdamaian ini adalah sukarela
dan merupakan persetujuan dua pihak. Terhadap putusan perdamaian itu,
menurut ketentuan ayat 3 Pasal 130 HIR, yang bersangkutan tidak
diperkenankan untuk mengajukan permohonan banding atau kasasi. 4
Istilah yang dipergunakan dalam proses pendamaian ini disebut mediasi.
Dalam perkembangannya, eksistensi lembaga perdamaian diatur
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam UU ini, mediasi tergolong
sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa. 5 Secara khusus,
Mahkamah Agung memperkuat kedudukan mediasi lewat Surat Edaran
No 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan tingkat pertama
menerapkan lembaga damai. Guna mencapai pembatasan kasasi secara
substantif dan prosessual, MA meminta para Majelis agar mengusahakan
perdamaian dengan sungguh-sungguh. Hakim diberikan waktu paling
lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang dengan persetujuan Ketua
Pengadilan Negeri. Apabila terjadi proses perdamaian, maka proses
perdamaian tersebut dapat dijadikan sebagai alasan penyelesaian perkara
melebihi ketentuan 6 bulan.
Pasal 130 HIR mewajibkan hakim mengupayakan perdamaian. Jika
tidak diusahakan perdamaian, pemeriksaan perkara pun batal demi
hukum. Kewajiban mediasi ini tidak disertai ketentuan mengenai prosedur.
Maka, pada tanggal 11 September 2003, MA mengeluarkan SEMA No. 2
Tahun tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dengan
3
Hapsoro Hadiwidjojo, Mochammad Djais, Kooesmargono. Hukum Acara Perdata,
Membaca Dan Mengerti HIR. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1984.
hlm. 58.
4
R. Soebekti. Hukum Acara Perdata. Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional.
1982. hlm. 57. Lih. juga Soepomo. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta:
Pradnya Paramita. 2000. hlm. 56.
5
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

2
mencabut Surat Edaran No 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai karena SEMA
tersebut kurang efektif.6
Ketentuan berikutnya mengenai mediasi adalah Peraturan
Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia. 7 Karena Perma 01
tahun 2008 dianggap belum optimal memenuhi kebutuhan mediasi, maka
dikeluarkan ketentuan terbaru Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 01 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

2. Alasan diberlakukan mediasi di Pengadilan.


3. Tahapan pelaksanaan mediasi di Pengadilan.

4. Efektivitas mediasi di Pengadilan.

6
Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Universitas Atma
Jaya Yogyakarta. 2010. hlm. 154.
7
Hapsoro Hadiwidjojo, Mochammad Djais, Kooesmargono. Hukum Acara Perdata,
Membaca Dan Mengerti HIR. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1984.
hlm. 59.

3
Data yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum
(Badilum) Mahkamah Agung menyatakan peningkatan penyelesaian
kasus melalui mediasi. Data pelaksanaan mediasi pada pengadilan negeri
se-Indonesia adalah sebagai berikut 8:
DATA PELAKSANAAN MEDIASI PADA PENGADILAN NEGERI

Hasil Tidak
Tahun Perkara Dilakukan dilakukan
Mediasi mediasi
% Tidak
Gagal Berhasil Berhasil diketahui
2016 30,848 16,237 14,049 843 5% 1,345 14,611
2017 31,415 17,608 15,780 985 6% 843 13,807
2018 34,101 18,939 17,175 1,126 6% 638 15,162
2019 36,079 19,113 17,249 1,231 6% 633 16,966
Dari data tersebut, tampak bahwa jumlah keberhasilan mediasi
semakin meningkat. Persentase keberhasilan tidak banyak berubah, yani
di angka 6% setiap tahun. Akan tetapi, hal ini sangat penting untuk
mengurangi beban pengadilan negeri memutus perkara. Apabila di tingkat
pertama semakin mengecil, maka kemungkinan banding dan kasasi juga
akan semakin kecil.
Secara umum, mediasi sangat penting bagi masyarakat yang mencari
keadilan (justitiabelen). Kelebihan dari mediasi adalah:
a. Penyelesaian sengketa cepat dan ongkosnya ringan. Selain itu,
permusuhan antara kedua belah pihak yang berperkara menjadi
berkurang. Kedua pihak diikat dengan suatu akta perdamaian (acta van
dading). Akta perdamaian berisi kesepakatan bahwa dua pihak menaati
akta perdamaian tersebut. Akta perdamaian ini memiliki kekuatan seperti
suatu putusan hakim yang biasa yang memiliki keputusan hukum tetap (in
kracht van gewijsde).9 Akta perdamaian hasil mediasi memiliki kekuatan
8
https://badilum.mahkamahagung.go.id/publik/statistik-perkara.html (diakses 12 April
2021, pukul 10.00 WIB).
9
R. Soebekti. Hukum Acara Perdata. Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional.
1982. hlm. 57. Kekuatan akta perdamaian ini sama dengan kekuatan suatu keputusan
Hakim biasa dan dijalankan pula seperti keputusan biasa, akan tetapi putusan semacam

4
eksekutorial, karena dalam putusan perdamaian tersebut memuat irah-
irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA”. Akta atau putusan yang dalam kepala putusannya memuat irah-
irah, maka termasuk dalam akta otentik yang memiliki kekuatan
eksekutorial. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan apa yang
ditentukan dalam putusan perdamaian, maka pihak lain yang merasa telah
dirugikan dapat mengajukan permohononan pelaksanaan eksekusi ke
Pengadilan Negeri yang telah memutus perkara tersebut. 10
Proses mediasi dinilai lebih cepat dan mudah serta dapat memberikan
akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan
atau penyelesaian hukum. Proses mediasi dapat berlangsung selama 40
(empat puluh) hari sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh
ketua majelis hakim. Mediator berkedudukan sebagai pihak luar yang
tidak memihak (impartial) dan netral bekerja sama dengan pihak yang
bersengketa guna memperoleh perjanjian yang memuaskan (win-win
solution). Selama proses mediasi berlangsung, mediator wajib
menyiapkan jadwal mediasi, mendorong para pihak secara berperan aktif
dalam proses mediasi, dan bila dianggap perlu dapat melakukan
pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh
pihak yang lainnya (kaukus). Apabila para pihak tidak mencapai
kesepakatan dalam masa 40 (empat puluh) hari sejak para pihak memilih
mediator, maka mediator wajib menyampaikan secara tertulis dalam
proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan mediasi. 11

b. Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi sesuai dengan


landasan sosiologis yang bangsa Indonesia yakni musyawafah untuk
mufakat. Pada dasarnya, penyelesaian sengketa melalui proses
itu tidak boleh dimintakan banding atau kasasi.
10
Dedy Mulyana, “Kekuatan Hukum Hasil Mediasi di Luar Pengadilan Menurut Hukum
Positif”, Jurnal Wawasan Yuridika, Vol. 3, No. 2, 2019. hlm. 195.
11
Sindy Firginia Angelica Koloay, ”Kajian Hukum Tentang Prosedur Mediasi Dalam
Menyelesaikan Perkara Perdata di Pengadilan Negeri Menurut Peraturan Mahkamah
Agung RI No. 1 tahun 2016 tentang Mediasi” dalam Lex Privatum. Vol. VI/No.
2/April/2018. hlm. 155.

5
pengadilan pada dasarnya merupakan langkah terakhir apabila
musyawarah ternyata tidak berhasil. Mediasi juga sesuai dengan landasan
filosofis sila ke-4 Pancasila dan merupakan salah satu contoh
pengamalan sila tersebut. Mediasi bukan hal yang baru karena
pra-eksistensinya sudah muncul di masyarakat Indonesia dalam istilah
musyawarah untuk mufakat. Mediasi merupakan perwujudan nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia, yakni kekerabatan, paguyuban, kekeluargaan,
dan gotong royong. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa mediasi
harus terus didorongkan dan diperkuat di Indonesia.
Adapun salah satu kelemahan dari mediasi adalah perbedaan
kekuatan hukum hasil mediasi. Perbedaannya, kesepakatan yang
diperoleh dari mediasi di dalam pengadilan berupa putusan yang
berkekuatan hukum tetap. Sementara, kesepakatan hasil mediasi di luar
pengadilan kedudukannya belum memiliki kekuatan hukum tetap
melainkan hanya sebagai kontrak biasa bagi para pihak. 12 Kelemahan
kedua, sebagaimana ditunjukkan oleh Prof. Soepomo, kewajiban mediasi
pada permulaan sidang di mana kedua pihak hadir dianggap kurang tepat.
Alasannya, pada permulaan sidang hakim belum dapat mengetahui
dengan tepat duduk perkara yang sesungguhnya. Baru sesudah
pemeriksaan berjalan, hakim mengetahui sengketa kedua pihak secara
mendalam. Dalam waktu-waktu itu, sampai pada saat berakhirnya proses,
perdamaian dapat diusahakan.13

Daftar Pustaka:
Hadiwidjojo, Hapsoro. Mochammad Djais & Kooesmargono. (2011).
Hukum Acara Perdata, Membaca Dan Mengerti HIR. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

12
Dedy Mulyana, “Kekuatan Hukum Hasil Mediasi di Luar Pengadilan Menurut Hukum
Positif”, Jurnal Wawasan Yuridika, Vol. 3, No. 2, 2019. hlm. 177.
13
Soepomo. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita. 2000.
hlm. 55.

6
Koloay, Sindy Firginia Angelica. (2018). ”Kajian Hukum Tentang Prosedur
Mediasi Dalam Menyelesaikan Perkara Perdata di Pengadilan Negeri
Menurut Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 tahun 2016 tentang
Mediasi”. Lex Privatum Vol. VI/ No. 2.

Mertokusumo, Sudikno. (2010). Hukum Acara Perdata Indonesia.


Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Mulyana, Dedy. (2019). “Kekuatan Hukum Hasil Mediasi di Luar


Pengadilan Menurut Hukum Positif”, Jurnal Wawasan Yuridika, Vol. 3,
No. 2.

Soebekti, R. (1982). Hukum Acara Perdata. Bandung: Badan Pembinaan


Hukum Nasional.

Soepomo. (2000). Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta:


Pradnya Paramita.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008


tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik
Indonesia.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa.

https://badilum.mahkamahagung.go.id/publik/statistik-perkara.html
(diakses 12 April 2021, pukul 10.00 WIB).

Anda mungkin juga menyukai