Anda di halaman 1dari 19

KEGIATAN MAGANG II – PANITERA PENGGANTI

DISKUSI PAPER – RESUME DISKUSI BUKU PADA MINGGU KESEBELAS

1 NAMA NENTEE : ANDY NARTO SILTOR, S.H.


2 NIP : 198812042017121003
3 PPC ANGKATAN : III
4 PENGADILAN : PENGADILAN NEGERI KUPANG
MAGANG
5 MINGGU KE : XI
6 NAMA MENTOR : IKRARNIEKHA ELMAYAWATI FAU, S.H., M.H.
FRANSISKA DARI PAULA NINO, S.H., M.H.
PRASETIO UTOMO, S.H.

Telah terlaksana diskusi paper untuk minggu tigabelas pada hari Jumat, tanggal 14 Desember
2018, bertempat di ruang rapat Pengadilan Negeri Kupang. Kegiatan diskusi paper minggu ini
dihadiri oleh seluruh Mentee (12 orang) dan Para Mentor. Dalam diskusi tersebut, para mentee
menyampaikan dan mendiskusikan resume buku yang dibuat oleh para mentee, dengan hasil
diskusi sebagai berikut:

1. Mentee ARGA FEBRIAN, S.H.


Resume Buku berjudul: “PERBANDINGAN HIR DAN RBG SEBAGAI HUKUM ACARA
PERDATA POSITIF DI INDONESIA”, Penulis: Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H.
Dalam perihal tatacara pengajuan gugatan antara Pasal 118 HIR dan Pasal 142 Rbg, jika
dalam HIR juka tempat kediaman maupun tempat tinggal tergugat tidak diketahui
atautidak dikenal maka gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat
tinggalpenggugat atau salah satunya, atau jika yang digugat benda tak bergerak maka
gugatanm diajukan ke pengadilan tempat objek tersebut dan jika ada dalam surat
perjanjian tempatkedududkan domisili yang disetujui menjadi tempat gugatan maka dapat
diajukan ke domisili yang dimasukan dalam perjanjian. Sedangkan dalam Rbg tidak
diatur adanyaperjanjian domsili untuk memilih tempat diajukan suatu gugatan;
Dalam perihal gugatan lisan pasal 120 HIR dan pasal 144 Rbg, dalam HIR tidak ada
ketentuan yang melarang kuasa tidak dapat mengajukan gugatan lisan, sedangkan dalam
Rbg itu diatur larangan mengajukan gugatan lisan oleh kuasa;
Perihal Verzet, Pada pasal 129 HIR dan pasal 153 Rbg, dalam HIR jangka waktu verzet
apabila putusan diberitahukan kepada oraangnya langsung adalah 14 hari dan jika tidak
disampaikan secara langsung jangka waktunya 8 hari setelah putusan diberitahukan,
sedangkan dalam Rbg selain jangka waktu disebut dalam HIR juga diatur jika pengadilan
negeri berwenang dalam putusannya memperpanjang jangka waktu berdasarkan keadaan
terterntu yang dinilai oleh pengadilan negeri;

SELLYA UTAMI CANDRASARI, S.H.


Pertanyaan:
Bagaimana Jika diwilayah pengadilan yang berlaku rbg terdapat perjanjian tentang
pemilihan domsili untuk mengajukan gugatan?
Jawaban: Pengadilan dapat menerima pengajuan gugatan tersebut karena berdasarkan
pasal 1338 BW perjanjian merupakan undang-undang bagi mereka yang membuat dan
sepakat tunduk pada perjanjian tersebut. Jadi selama mereka telah sepakat dalam
perjanjian tersebut maka dibolehkan
BAHARA IVANOVSKI STEVANUS NAPITUPULU, S.H
Pertanyaan:
Yang manakah lebih lengkap aturannya antara HIR atau RBG?
Jawaban:
Yang lebih detail adalah rbg sebab, masyarakat diluar jawa dan madura dianggap banyak
yang belum memahami secara mendalam mekanisme hukum acara perdata sehingga
pengaturannya lebih banyak dan lengkap di RBG dibandingkan HIR

2. Mentee KUNTI KALMA SYITA, S.H.


Resume Buku berjudul: “TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PERLINDUNGAN
KONSUMEN DITINJAU DARI HUKUM PERDATA” dan membahas terkait apakah
ketentuan label produk pangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan) telah memenuhi asas-asas perlindungan
konsumen. Selain itu, dalam buku ini juga dibahas mengenai akibat hukum dari tanggung
jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran ketentuan label pangan, serta prosedur
penyelesaian sengketa konsumen dalam rangka memberikan perlindungan hukum
terhadap konsumen

SELLYA UTAMI CANDRASARI, S.H.


Pertanyaan:
Mendasarkan pada kasus yang baru saja terjadi, apakah pemberian informasi yang tidak
benar seperti produk SKM yang ternyata tidak mengandung susu dapat dikatan
penyesatan terhadap konsumen dan apakah dapat dijerat dengan pasal Penipuan?
Jawaban:
Dalam konteks perlindungan konsumen, hal tersebut jelas melanggar UU No. 8 Tahun
1999 dikarenakan produsen SKM memberikan informasi yang tidak benar terhadap
kandungan SKM. Iklan dan label yang dilakukan produsen SKM melanggar Pasal 17 UU
Perlindungan Konsumen dan PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Terhadap hal tersebut, melalui Pasal 62 UU No. 8 Tahun 1999 yang merupakan aturan
khusus terkait konsumen, sebenarnya telah memberikan aturan sanksi pidana tersendiri
terhadap Pelaku Usaha yang melakukan penyesatan iklan dengan ancaman pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah). Sehingga tidak perlu sampai menggunakan delik penipuan yang diatur di
dalam KUHP.
BAHARA IVANOVSKI STEVANUS NAPITUPULU, S.H.
Pertanyaan:
Apa perbedaan penyelesaian sengketa melalui non litigasi dengan penyelesaian sengketa
melalui BPSK?
Jawaban:
Pada dasarnya teknik penyelesaian sengketa melalui non litigasi dan melalui BPSK
adalah sama yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dapat dilakukan melalui
mediasi, konsiliasi, atau arbitrase. Meski demikian yang membedakan adalah lembaga
yang digunakan, apabila non litigasi biasa maka para pihak bebas memilih lembaga mana
dan hukum acara apa yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa melalui non litigasi
misalkan penyelesaian dengan arbitrase melalui lembaga BANI dengan hukum acara
yang berlaku di BANI. Sedangkan apabila memilih BPSK, maka para pihak harus tunduk
dengan hukum acara yang berlaku di BPSK karena anggota serta tata cara penyelesaian
sengketa melalui BPSK telah diatur tersendiri di dalam UU UU No. 8 Tahun 1999
Mentor IKRARNIEKHA ELMAYAWATI FAU, S.H., M.H.
Pertanyaan:
Bagaimana proses penyelesaian sengketa konsumen oleh para pihak?
Jawaban:
Apabila penyelesaian sengketa dilakukan melalui non litigasi maka tergantung
kesepakatan para pihak. Misal menggunakan arbitrase maka harus membuat perjanjian
arbitrase terlebih dahulu. Sedangkan apabila menggunakan jalur litigasi maka merupakan
hak dari Penggugat untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri yang berwenang

3. Mentee ARRAHMAN, S.H.


Resume Buku berjudul “EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI DI PENGADILAN
NEGERI”, Pengarang Dr. Ismail Rumadan, MH.
Dasar hukum mediasi diatur dalam Pasal 154 Rbg dan Pasal 130 HIR. Sebelum adanya
Perma no. 2 tahun 2003 terlebih dahulu dikeluarkan Surat Edaran Mahakamah Agung RI
(SEMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Lembaga Perdamaian dalam Pasal
130 HIR/154 Rbg. Namun Perma dan SEMA tersebut tidak efektif dan tidak mampu
menghambat lajunya arus perkara yang masuk ke Mahkamah Agung. Akibat proses
mediasi pada Perma 2 tahun 2003 seolah hanya sebagai proses formalitas belaka sebelum
masuk ke persidangan sehingga tujuan dan makna mediasi ini tidak tercapai, maka
ditebitkan Perma Nomor 1 Tahun 2008. Perma ini menegaskan secara Praktis mengenai
posisi dan kedudukan pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara yang diterimanya, tetapi juga berkewajiban
mengupayakan perdamaian antara para pihak-pihak yang berpekara. ternyata dalam
prakteknya masih tetap ada kekurangan sehingga Mahkamah Agung kemudian
melakukan perubahan dan perbaikan dengan sedikit memperketat dan mewajibkan para
pihak untuk tunduk dan patuh terhadap ketentuan kewajiban mediasi dengan
mengeluarkan Perma Nomor 1 tahun 2016. Pemberlakukan Perma Nomor 1 Tahun 2016
ini secara fundamental telah mengubah praktek peradilan di Indonesia yang berkenaan
dengan perkara-perkara perdata. Mediasi sebagai upaya untuk mendamaikan pihak-pihak
yang berpekara bukan hanya penting, tetapi harus dilakukan sebelum perkaranya
diperiksa, bahkan para pihak yang tidak memiliki dan menunjukan itikad baik dalam
upaya perdamaian melalui tahapan mediasi di Pengadilan akan dikenai sanksi secara
tegas terhadap penggugat dan tergugat yang dengan sengaja tidak beritikad baik untuk
hadir. Perma 1 tahun 2016 mengubah mediasi menjadi upaya penyelesaian sengekata
yang wajib ditempuh para pihak dalam gugatan perdata di Pengadilan, seolah-olah
terintegrasi dalam proses litigasi itu sendiri. Akan tetapi tetap saja ada kendala dalam
pelaksanaan mediasi ini antara lain: Perkara telah akut dan kurangnya antusias dari para
pihak untuk di mediasi; Para pihak tetap berkeinginan untuk perkaranya diselesaikan
melalui jalur litigasi; Mediator kurang mengali potensi-potensi perdamaian dalam diri
para pihak untuk melakukan mediasi; dan Kendala terkait dengan kultur masyarakat yang
sudah mengalami perubahan sikap dari sifat masyarakat yang hidup secara bersama
kemudian mengarah kepada sifat dan sikap masyarakat yang individualis. sedangkan
faktor menghambat keberhasil mediasi ini ada faktor internal pertama terutama berkaitan
dengan faktor hakim sebagai mediator, pertama terkait dengan pemaknaan hakim
terhadap ketentuan atau aturan hukum tentang mediasi itu sendiri, dan yang kedua adalah
mindset hakim itu sendiri terkait dengan orientasi untuk selalu memutus perkara sehingga
ruang yang disediakan untuk melakukan negosiasi secara optimal untuk para pihak
berdamai tidak dimanfaatkan di satu sisi terungkap kenyataan bahwa hakim dalam
melaksanakan proses mediasi perkara cenderung bersifat pragmatis (melaksanakan tugas
rutinitasnya saja dan bersifat formalitas), hanya melaksanakan ketentuan hukum, karena
ada aturan yang mewajibkan adanya tahapan penyelesaian perkara melalui mediasi di
pengadilan tingkat pertama, Sedangkan faktor eksternalnya berkaitan dengan, (1)
minimnya pemahaman tentang mediasi dari pihak yang berpekara; (2) budaya
masyarakat yang lebih suka untuk langsung “beracara” dari pada melalui mediasi lebih
dahulu, maupun (3) faktor campur tangan pihak ketiga termasuk di dalamnya para
penasihat hukum atau pengacara yang banyak berperan mengagalkan proses mediasi di
pengadilan serta (4) karena minimnya saran dan prasarana untuk melakukan mediasi
yang lebih ideal.

SOLEMAN DAIRO TAMAELA, S.H.


Pertanyaan:
jadi menurut buku tersebut apakah pelaksanaan mediasi saat ini sudah berjalan efektif
atau tidak?
Jawaban:
menurut buku tersebut sampai saat ini perkara selesai dari mediasi tidak sampai 5 persen
dari total perakra yang masuk ke mahkamah agung, banyka faktor yng menyebabkan hal
tersebut yaitu 4 faktor kedala yang sudah disebut kan tadi dan juga ada faktor internal
dan ekternal dari pelaskaan mediasi ini sendiri.
DIMAS INDRA SWADANA, S.H.
Pertanyaan:
apa parameter efektife pada buku tersebut terkait pelaksanaan mediasi dan apa itu
perdamaian.
Jawaban:
dalam buku ini parameter mediasi dianggap sukses dan berhasil yaitu apabila perkara
yang masuk hingga ke mahkamah agung sedikit, karena dalam buku ini pada tataran
pelaksanaan mediasi masiih belum efektif membendung masuk perkara hingga ke MA
dimana dalam penelitian tersebut perkara yang selesai melalui mediasi masih dibawah 5
persen dari total perkara p[erdata yang masuk hingga ke MA. selain terkait perdamaian
ini adalah menyelesaikan sengketa kedua belah pihak secara baik dan tidak sampai ke
tahap litigasi untuk mencari win-win solusi
Mentor Bapak PRASETIO UTOMO, S.H.
Pertanyaan:
jadi apa solusi untuk penyelesaian terkait masih banyak perkara yang masuk ke
mahkamah agung ini dari buku tersebut?
Jawaban:
dari buku ini tidak ada memberikan solusi atas kendal-kendala terhadap temuan atau
penilitian terkait efektivitas, kalau menurut saya buku ini mengambarkan temuan terkait
pada tataran praktek sampai sejauh mana efektifitas mediasi ini dan apa yang menjadi
mediasi masih gagal menyelesaikan perkara atau meniminalisir perkara masuk hingga ke
Mahkamah agung, selain itu pada buku ini hanya memberikan gambaran ciri-ciri
mediator yang sukses melakukan pengembangan penyelesaian perkara dengan mediasi.

Dalam rangka peningkatan pengelolaan perpustakaan di Pengadilan Negeri Kupang Kelas


IA, maka perlu dilakukan langkah-langkah yang bisa meningkatkan pengelolaan
perpustakaan dengan cara dan inovasi antara lain sebagai:
 Mengadakan Internet atau Jaringan Internet untuk perpustakaan agar pengelolaan
koleksi buku dan penginputan buku dapat dipublish dan diketahui masyarakat
banyak ketika dibrowsing mengunakan internet oleh masyarakat atau anggota
perpustakaan.
 Perlu peningkatan dan penambahan SOP yang ada terkait perpustakaan di
Pengadilan Negeri Kupang Kelas IA yang antara lain SOP Pengolahan Buku, SOP
Pemeliharaan Buku, SOP Peminjaman buku, SOP Pengembalian buku, dan SOP
Keanggotaan perpustakaan.
 Perlu adanya Tata tertib di perpustakaan Pengadilan Negeri Kupang Kelas IA,
karena tata tertib perpustakaan akan menjadi acuan dalam pengelolaan
perpustakaan yang berisikan ketentuan yang mengikat setiap komponen
perpustakaan mulai dari anggota hingga pengunjung perpustakaan. Tata tertib ini
nantinya harus ditempel di tempat yang mudah dilihat oleh pengunjung atau
anggota perpustakaan sehingga mereka memahami aturan atau tata tertib yang ada
di perpustakaan Pengadilan Negeri Kupang Kelas IA
 Perlu adanya Mesin Scan untuk koleksi buku sebagai wujud dalam mengikuti
perkembangan jaman dimana pada era digital ini, koleksi buku perpustakaan juga
dibuat dalam bentuk e-book sehingga perpustakaan saat ini tidak hanya dalam
bentuk konvensional saja tapi juga perpustakaan digital. E-book atau buku
elektronik sangat diminati pada zaman penuh dengan era digital ini, karena
ukurannya yang kecil bila dibandingkan dengan buku, dan juga umumnya
memiliki fitur pencarian, sehingga kata-kata dalam buku elektronik dapat dengan
cepat dicari dan ditemukan. Selain itu salah satu usaha untuk melestarikan
literatur berbentuk buku yang banyak jumlahnya dan memerlukan biaya
perawatan yang mahal adalah dengan melakukan transfer dari bentuk buku ke
bentuk buku elektronik. Dalam hal ini akan banyak ruang dan juga upaya yang
dihemat untuk merawat literatur-literatur tersebut.

4. Mentee ANDY NARTO SILTOR, S.H.


PENEGAKAN HUKUM PIDANA “ILLEGAL MINING” (Penelitian Asas, Norma
Dan Praktek Penerapannya)
Hakim bertugas memutus perkara dalam rangka menciptakan keadilan bagi masyarakat.
Hakim harus memutus dengan seadil-adilnya, dengan mempertimbangkan prinsip-
prinsip, substansi serta prosedur yang benar dan adil. Kesadaran diri para Hakim atas
keluhuran posisi dan perannya tesebut harus mewujudkan dan tergambar dalam setiap
putusan Hakim.
Kejahatan lingkungan tidak hanya mengancam lingkungan saja, melainkan juga
mengancam kelangsungan generasi manusia dimasa mendatang. Kejahatan lingkungan
merupakan kejahatan yang luar biasa pembuktiannya tidak cukup mendasarkan
pembuktian yang alamiah, tetapi sarat dengan pembuktian yang bersifat ilmiah, teknis
dan dinamis. Hakim dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan selalu
meningkatkan dan mengembangkan pemahamannya tentang hukum lingkungan,
termasuk memahami secara sungguh-sungguh tentang kejahatan hukum lingkungan
hidup. Hakim dalam memutus perkara juga perlu diperkuat dengan keberpihakan hakim
terhadap perlindungan lingkungan.
Bahwa dapat dilihat secara fakta bahwa kerusakan lingkungan hidup akibat perbuatan
illegal mining benar-benar telah terjadi. Terjadinya kejahatan tersebut dikarenakan
permasalahan yang kompleks antara lain karena keserakahan demi keuntungan ekonomi,
lemahnya peraturan perudang-undangan dibidang tambang, lemahnya penegakan hukum
oleh penyidik sehingga tidak ada perkara illegal mining yang sampai ke meja sidang.
Peraturan perundang-undangan yang ada tidak saling menguatkan seperti Undang-undang
nomor 4 Tahun 2009 dengan Undang-undang nomor 32 Tahun 2009. Ijin yang diberikan
dalam bidang pertambangan dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten tanpa kontrol dan
pengawasan dari pusat. Hal tersebut terlihat dengan tidak adanya perkara illegal mining
yang tidak disidangkan dan ditingkat penyidikan, perkara illegal mining selalu dapat
diselesaikan secara damai, oleh karena perkara yang timbul adalah mengenai sengketa
ijin lahan, sedangkan untuk adanya keruskan lingkungan akibat illegal mining tiak ada
satupun perkara yang sedang ditangani baik oleh penyidik, kejaksaan maupun
disidangkan.
Kejahatan lingkungan hidup, penyidik sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum
lingkungan hidup. Aparat penegak hukum yakni polisi, jaksa, hakim, wajib diberikan
wawasan yang sama tentang pembuktian dalam perkara illegal mining sehingga tidak
terjadi silang pendapat dan saling menyalahkan antara penegak hukum serta kejalahatan
illegal mining yag termasuk ke dalam kejahatan lingkunga hidup, maka penegak hukum
wajib merupakan orang-orang yang sudah terlatih dan berkeahlian khusus di bidang
lingkungan hidup.

BAHARA IVANOVSKI NAPITUPULU, S.H.:


Apakah illegal mining masih saja dilakukan sampai dengan saat ini?
Jawaban:
Sampai saat ini masih banyak tindakan illegal mining, terlebih yang mentee lihat ada di
wilayah Kalimantan dan wilayah Sulawesi. Namun penegakan hukum masih kurang
dilakukan, sebagaimana yang ada dalam buku yang mentee baca tersebut, bahwa perkara
illegal mining telah terselesaikan di dalam tingkat penyidikan, sehingga pengadilan atau
hakim belum melakukan perannya, sehingga harapan mentee ada dilakukan hal-hal yang
penting antara lembaga-lembaga penegak hukum, yang menimbulkan hal-hal sebagai
berikut:
a. Pemahaman yang sama di bidang penegakan hukum lingkungan hidup/illegal mining
b. Mendapatkan pelatihan dalam bidang lingkungan hidup/illegal mining
c. Melakukan penegakan hukum sebagaimana ketentuan dalam undang-undang
d. Memiliki ilmu pengetahuan dalam bidang lingkungan hidup/illegal mining
NADIA SEKAR WIGATI, S.H.:
Bagaimana Mahkamah Agung menyiapkan hakim yang akan memeriksa perkara illegal
mining?
Jawaban:
Mahkamah Agung melalui Pusdiklat Teknis Peradilan dibawah Badan Diklat dan
pelatihan Mahkamah Agung sering melakukan pelatihan terkait lingkungan hidup yang
mana illegal mining termasuk ke dalam lingkungan hidup. Pelatihan tersebut
dimaksudkan agar para hakim yang akan memeriksa tersebut akan lebih memahami
masalah-masalah yang ada dan bagaimana mengambil putusan nantinya ketika perkara
lingkungan hidup atau illegal mining ada di pengadilan. Mahkamah Agung juga
membekali dan memberikan hakim-hakim yang memiliki sertifikat hakim lingkungan,
sehingga dengan hakim yang tela bersertifikasi hakim lingkungan diharapkan di setiap
pengadilan hakim yang memiliki sertifikasi hakim dapat memiliki pemahaman yang utuh
terkait permasalahan lingkungan hidup. Menurut mentee yang masih kurang adalah
belum adanya pengadilan lingkungan hidup, sebagaimana pengadilan tipikor atau
pengadilan perikanan.

5. Mentee BAHARA IVANOVSKI STEVANUS NAPITUPULU, S.H.


Resume Buku berjudul: “SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG”
Berdasarkan UU No. 8/2010 ttg Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, sistem
pemidanaan TPPU terdiri dari:
1. TPPU Aktif sebagaimana diatur dalam Ps. 3 dan Ps. 4 UU TPPU;
2. TPPU Pasif sebagaimana diatur dalam Ps. 5 UU TPPU);
3. Tindak pidana lain yg terkait dengan TPPU, yakni:
a. Kerahasiaan dokumen atau keterangan (Ps. 11)
b. Larangan memberitahukan laporan transaksi keuangan (Ps. 12)
c. Campur tangan pelaksanaan tugas PPATK (Ps. 14)
d. Pelanggaran kewajiban utk menolak campur tangan (Ps. 15)
e. Kewajiban merahasiakan pelapor (Ps. 16)
Tindak pidana asal sebagaimana dimaksud Ps. 2 ayat (1):
Kekhususan Hukum acara:
1. Penyidik merupakan penyidik tindak pidana asal
2. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap TPPU tidak
wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, sehingga tidak perlu
menunggu perkara tindak pidana asalnya diputus atau telah memperoleh putusan
yang berkekuatan hukum tetap
3. Pelimpahan berkas dari PU ke PN paling lama 30 hari sejak tanggal diterimanya
berkas perkara yg telah dinyatakan lengkap
4. Paling lama 3 hari setelah pelimpahan berkas, KPN wajib sudah menunjuk Majelis
Hakim yg akan memeriksa perkara ybs
5. Alat buktinya ialah alat bukti Ps. 184 KUHAP ditambah alat bukti lain berupa
informasi yg diucapkan, dikirimkam, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau alat-alat serupa optik dan dokumen
6. Beban pembuktian juga ada pada terdakwa
7. Apabila terdakwa yang telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang
pengadilan tanpa alasan yg sah, maka perkara dpt diperiksa dan diputus tanpa
hadirnya terdakwa
8. Putusan terhadap sidang tanpa hadirnya terdakwa diumumkan oleh PU di papan
pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada
kuasanya

ROSIANI NITI PAITRI, S.H.


Pertanyaan:
Sampai sejauh mana peran negara untuk mengambil uang hasil TPPU yang ada di luar
negeri?
Jawban:
Hal ini tidak termasuk ke dalam pembahasan buku yang diresume, sebab cakupan buku
yg diresume hanya terbatas pada sistem pemidanaan terhadap pelaku TPPU saja_
BUHA AMBROSIUS SITUMORANG, S.H.
Pertanyaan:
Apa urgensi dibentuknya UU TPPU sehingga penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
persidangan terhadap TPPU tidak harus menunggu tindak pidana asalnya telah dibuktikan
terlebih dahulu?
Jawaban:
Berdasarkan buku yang diresume, urgensi dibentuknya UU TPPU ini ialah untuk dapat
segera mengamankan uang hasil tindak pidana asal, sebab apabila menunggu tindak
pidana asalnya dibuktikan atau diputus atau memperoleh putusan yg BHT terlebih
dahulu, maka uang hasil tindak pidana tersebut dapat dihilangkan_
Mentor Ibu FRANSISKA DARI PAULA NINO, S.H., M.H.
Pertanyaan:
a. Apa yang diutamakan dari UUTPPU ini?
b. Bagaimana penomoran terhadap perkara TPPU ini? Apakah nomor yang berbeda
dengan nomor perkara tindak pidana asal atau nomor yang berbeda?
c. Bagaimana apabila ternyata perkara TPPU-nya telah diputus terlebih dahulu namun
ketika dalam putusan tindak pidana asalnya dinyatakan bahwa perbuatan tindak
pidana asalnya tidak dapat dibuktikan?
Jawaban:
a. Pengamanan terhadap uang hasil tindak pidana asal_
b. Penomoran dilakukan dengan nomor perkara yang berbeda apabila perkara tindak
pidana asalnya telah diputus atau telah memiliki putusan yg BHT atau perkaranya
sdh masuk dalam pemeriksaan persidangan di pengadilan. Namun, apabila
penyidikan perkara tindak pidana asalnya dilakukan secara bersamaan dengan
penyidikan TPPU, maka ketika melakukan pelimpahan berkas nantinya akan
menggunakan satu nomor perkara yang sama dengan kode Pid.Sus-TPPU dengan
men-juncto-kan Pasal tindak pidana asal dengan Pasal TPPU-nya.
c. Buku yang diresume dan UUTPPU tidak ada mengatur atau menyinggung hal
demikian. Namun, dalam praktiknya tidak pernah ada perkara TPPU diputus terlebih
dahulu daripada perkara tindak pidana asalnya. Karena pada hakikatnya yg lebih
dahulu diputus adalah perkara tindak pidana asalnya, kecuali apabila penyidikan
terhadap TPPU dilakukan bersama-sama dengan penyidikan tindak pidana asalnya,
yang mana dalam hal ini keduanya akan diputus secara bersama-sama dalam satu
perkara yang sama.

Mentor IKRARNIEKHA ELMAYAWATI FAU, S.H., M.H. (Masukan):


Dalam praktik peradilan, perkara tindak TPPU selalu diputus setelah perkara tindak
pidana asalnya diputus atau diputus bersama-sama dengan perkara tidak pidana asalnya

6. Mentee BUHA AMBROSIUS SITUMORANG, S.H.


Resume Buku berjdul: “PENYIDIKAN PAJAK”, Penulis: Dr. H.M. Hary Djatmiko, S.H.,
M.S.
Buku yang berisi lima bab ini membahas tentang proses penyidikan dalam tindak pidana
di bidang perpajakan, baik penerapan hukumnya; kegiatan interview dan interogasi;
koordinasi penyidikan antara Penyidik Kepolisian dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
dalam hal ini Penyidik Khusus Direktorat Jenderal Pajak yang diusulkan oleh Menteri
Keuangan ke Menteri Hukum dan HAM; dan administrasi penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan. Secara umum pelaksanaan penyidikan di bidang perpajakan sama
dengan pelaksanaan penyidikan dalam perkara lain. Selama di dalam Undang-Undang
nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan sebagaimana
ditambah dan diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 tahun 2009 (UU KUP)
tidak diatur, maka ketentuan dalam KUHP dan KUHAP lah yang berlaku.

KUNTI KALMA SYITA, S.H.


Pertanyaan:
Apakah ada pembedaan antara tindak pidana di bidang perpajakan dengan tindak pidana
umum lainnya?
Jawaban:
Ya, ada. UU KUP ini secara khusus menindak perbuatan-perbuatan yang dengan sengaja
menghindari pajak sebagaimana diatur dalam pasal 39 sampai dengan pasal 41 UU KUP.
Kemudian, dalam perkara perpajakan tidak serta merta dibawa ke ranah pidana. Apabila
setelah dilakukan proses teguran terhadap wajib pajak, dan wajib pajak tersebut mau
membayar pajak beserta sanksinya sevara sukarela, maka tidak akan dilakukan
penyidikan terhadap wajib pajak tersebut.
BAHARA IVANOVSKI STEVANUS NAPITUPULU, S.H.
Pertanyaan:
Bagaimana proses penyidikan di bidang perpajakan terhadap wajib pajak yang melarikan
diri ke luar wilayah Indonesia dan negara tersebut tidak memiliki perjanjian ekstradisi
dengan Indonesia?
Jawaban:
Terhadap wajib pajak yang demikian tentu saja tidak dapat dilakukan penyidikan.
Dengan tidak adanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan negara tersebut, akan
menyulitkan untuk melakukan penangkapan terhadap wajib pajak/tersangkanya.
SELLYA UTAMI CANDRASARI, S.H.
Pertanyaan:
Disampaikan bahwa daluwarsa penyidikan pajak adalah sepuluh tahun. Terhitung sejak
kapan?
Jawaban:
Daluwarsa penyidikan pajak adalah sepuluh tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak,
berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak yang bersangkutan.
Artinya, sejak tahun pajak mana wajib pajak tersebut diduga/terindikasi melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan.
ANDY NARTO SILTOR, S.H.
Pertanyaan:
Perkara pajak seperti apa yang termasuk ke ranah Pengadilan Pajak dan seperti apa yang
termasuk dalam ranah Pengadilan umum?
Jawaban:
Ranah Pengadilan Pajak adalah sengketa yang timbul di bidang perpajakan antara wajib
pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang
dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan pajak.
Sedangkan ranah pengadilan umum adalah perbuatan yang melanggar ketentuan pidana
dalam UU KUP.

7. Mentee RIZKY AULIA CAHYADRI, S.H.


Resume Buku berjudul: “TEORI DAN SENI MENYELESAIKAN PERKARA PERDATA
DI PENGADILAN”
Latar Belakang permasalahan penulisan buku tersebut adalah banyaknya kritik yang
diajukan terhadap dunia pengadilan kita di Indonesia, antara lain proses peradilan yang
berjalan terlalu formal dan kaku, proses peradilan yang hanya memperhatikan aspek
yuridis, dan dari sekian banyak perkara perdata di pengadilan tingkat pertama sebagian
besar diajukan banding dan kasasi sehingga menunjukkan sebagian besar putusan tidak
diterima oleh pencari keadilan meskipun perkara telah diputuskan. Sehingga perlu
dilakukan perombakan sistem pengadilan dengan cara mendesain ulang pengadilan
menjadi tempat menyelesaikan sengketa yang sejuk, aman, nyaman, menyenangkan,
manusiawi, tuntas, final, dan memuaskan. Untuk bisa menyelesaikan perkara secara
tuntas, final, dan holistik diperlukan Teknik Penyelesaian Perkara, Manajemen dan
Kepemimpinan Hakim, serta membutuhkan Seni Penyelesaian Perkara. Penyelesaian
sengketa di persidangan juga merupakan suatu ilmu dan seni. Sebagai ilmu, ia memiliki
metode ilmiah, yaitu: logis, sistematis, dan metodis. Sebagai seni, ia memiliki etika dan
estetika yang dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkuta. Seni bersidang
diperlukan agar proses penyelesaian perkara menjadi lebih sempurna dan indah dirasakan
antara lain dilakukan dengan cara: Hakim harus bersikap dan memperlakukan para pihak
secara adil, Hakim harus mampu membangkitkan rasa persaudaraan antar para pihak
yang bersengketa, dan Hakim harus mampu menyentuh hati nurani para pihak dan rasa
imannya kepada Tuhan.

DIMAS INDRA SWADANA, S.H.


Pertanyaan:
a. Bagaimana penjelasan dari pernyataan bahwa Manajemen dan Kepemimpinan
Hakim itu termasuk bagian daripada seni di persidangan?
b. Siapa penulis buku tersebut dan latar belakangnya?
Jawaban:
a. Buku Teori dan Seni Menyelesaikan Perkara Perdata di Pengadilan memberikan
penjelasan bahwa Ilmu Hukum merupakan Ilmu Humaniora, artinya Ilmu yang
bertujuan untuk membuat kehidupan masyarakat lebih manusiawi dan beradab.
Karena tujuan yang demikian, hukum sebagai suatu Ilmu membutuhkan bantuan dari
Ilmu lainnya antara lain Ilmu Manajemen dan Kepemimpinan agar dapat
mewujudukan Pengadilan yang dapat menyelesaikan permasalahan secara sistematis,
rapi, dan prosedural, sedangkan Seni dalam Manajemen dan Kepemimpinan Hakim
dibutuhkan supaya Pengadilan menjadi tempat yang ideal serta nyaman. Hal tersebut
dimulai dari Manajemen administrasi Pengadilan yang harus dilaksanakan secara
tertib dan juga peka terhadap perkembangan masyarakat. Sedangkan untuk seni
dalam Kepemimpinan Hakim, harus sesuai dengan asas Primus Inter Peres (sama
dan sederajat) artinya walaupun Hakim Ketua Majelis yang memimpin persidangan
tetapi anggota Majelis Hakim tanggung jawabnya sama dan Majelis Hakim
merupakan satu kesatuan. Di dalam sebuah Majelis Hakim terutama pada saat
musyawarah harus dijaga etika-etika dalam berpendapat, agar tidak melukai atau
bahkan bertengkar sesama Hakim karena ketidakharmonisan dalam Majelis mungkin
akan terbawa ke persidangan.
b. Penulis buku adalah Dr. H. A. Mukti Arto, S.H., M.Hum, latar belakang beliau
adalah seorang Hakim Agung di Kamar Agama MA RI
ARGA FEBRIAN, S.H.
Pertanyaan:
Bagaimana penjelasan bahwa Hukum adalah suatu seni apabila dikaitkan dengan Ilmu
Semiotika?
Jawaban:
Semiotika secara bahasa berarti “Study of Sign” atau Ilmu yang mempelajari makna
yang tersirat dari sebuah simbol, tanda, atau kata-kata tertulis. Kata-kata tertulis memiliki
keterbatasan dalam bentuknya yang kaku dan formal. Hukum pun juga demikian, yaitu
ketika menampilkan wujudnya dalam bentuk kata-kata dalam undang-undang. Sehingga
Hakim harus mampu untuk menafsirkan makna apa yang tersirat dalam undang-undang
agar bisa diterapkan sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang ada di masyarakat.

8. Mentee SOLEMAN DAIRO TAMAELA, S.H.


Resume Buku berjudul: “PRINSIP-PRINSIP HUKUM PIDANA-EDISI REVISI”, ditulis
oleh Prof. Dr. Edward Omar Hiariej, S.H., M. Hum,
Mentee kemudian membahas tentang salah satu Bab pada Buku tersebut yaitu tentang
Locus Delicti. Locus Delicti sangat menetukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku
ataukah tidak terhadap suatu perbuatan pidana yang telah terjadi. Arti penting
yang lain adalah Locus Delicti dapat menentukan Pengadilan manakah yang berwenang
mengadili suatu perkara pidana. Berarti dalam hal ini kita berbicara tentang Kompetensi
Relatif. Kompetensi Realtif terdiri atas 2 (dua) yaitu Kompetensi Relatif yang
Positif dn Kompetensi Relatif yang Negatif. Kompetensi Relatif yang Positif adalah jika
lebih dari 1 (satu) Pengadilan merasa berhak mengadili suatu perkara pidana,
sedangkan Kompetensi Relatif yang Negatif adalah adalah jika tidak ada satupun
Pengadilan yang merasa berhak mengadili suatu perkara pidana. Kalau Kompetensi
Relatif berbicara tentang Locus Delicti, maka Kompetensi Absolut berbicara tentang
pelaku dan substansi suatu perbuatan pidana.
Berikutnya Mentee menjelaskan tentang Teori-Teori untuk menentukan Locus
Delicti. Bahwa ada 2 (dua) aliran dalam menentukan Locus Delicti.Pertama, aliran yang
menentukan hanya satu tempat terjadinta perbuatan pidana. Kedua, aliran yang
menentukan dibeberapa tempat terjadinya suatu perbuatan pidana. Aliran pertama ada 2
(dua) teori yaitu yang pertama leer deer lichamelijk daad atau teori tentang tempat
dimana tindakan atau kelakukan terjadi dan leer van instrument atau teori instrument.
Aliran kedua dapat memilih untuk menggunakan leer deer lichamelijk daad atau teori
tentang tempat dimana tindakan atau kelakukan terjadi atau menggunakan teori akibat.
Pertama, leer deer lichamelijk daad. Bahwa menurut teori ini, Locus Delicti adalah
tempat dimana tindakan atau kelakuan terjadi. Contoh X berada di batas Kota A,
menembak Y yang berada di Kota B dengan menggunakan senjata laras panjang dan Y
mati seketika, maka Locus Delicti nya berada di Kota A. Penulis dalam Buku ini
menyatakan bahwa teori ini lebih mudah untuk diterapkan pada delik-delik yang
dirumuskan secara formil atau delik formil yang menitikberatkan pada tindakan atau
kelakuan. Kalau diterapkan pada delik materiil maka akan terdapat celah hukum karena
akibat yang terjadi pada tempat yang sama dengan tindakan atau kelakuan
Kedua, leer van instrument atau teori instrumentatau teori instrumen. Menurut teori ini,
Locus Delicti ditentukan oleh alat yang dipergunakan dan dengan alat itu perbuatan
pidana diselesaikan. Sebenarnya bahwa tori ini adalah perluasan dari teori leer deer
lichamelijk daad. Contoh X memasang bom waktu di Kota A, setelah memasang bom
waktu, X kemudian kembali kerumahnya di Kota B. Beberpa jam kemudian bom waktu
tersebut meldak dan mengakibatkan Korban Jiwa. Maka Locuc Delictinya adalah di Kota
A. Pendapat Penulisan dalam buku ini adalah teori instrument sangat berarti dalam
kejahatan-kejahatan yang modus operandinya canggih atau terjadi pada lintas batas.
Ketiga, Teori akibat yang menyatakan bahwa Locus Delicti ada pada tempat dimana
akibat perbuatan pidana itu terjadi. Contoh X berada di batas Kota A, menembak Y yang
berada di Kota B dengan menggunakan senjata laras panjang dan Y mati seketika, maka
Locus Delicti nya berada di Kota B. Aliran kedua ini boleh memilih Locus Delicti antara
tempat dimana perbuatan dimulai dengan tindakan (leer deer lichamelijk daad) atau
tempat dimana akibat perbuatan pidana itu terjadi (teori akibat).
Penulis berpendapat, untuk Delik Formil menggunakan teori leer deer lichamelijk daad,
untuk Delik Materiil menggunakan teori akibat. Bahwa untuk kejahatan dengan modus
operandi canggih dan meliputi lintas batas mengggunakan teori instrument. Bahwa untuk
aliran yang kedua untuk menentukan Locus Delicti nya, kiranya dalam Dakwaan baik
terjadinya tindakan atau akibat disebutkan secara tegas.

NADIA SEKAR WIGATI, S.H.


Pertanyaan:
Jelaskan tentang delik formil dan delik materiil berkaitan dengan tindakan dan akibat?
Delik formil adalah delik yang menitikberatkan pada tindakan, sedangkan materiil adalah
delik yang menitikberatkan pada akibat.
Contoh delik formil: Pasal 362 KUHP yang menentukan “Barangsiapa mengambil
barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud
dimilik secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara
paling lama lima tahun dan denda paling banyak enam puluh rupiah” . Misalnya A
masuk kedalam rumah B untuk mengambil handphoneyang ada di atas meja. Ketika
hendak melarikan diri, A tertangkap oleh C (Satpam) di rumah B. Handphone tesebut
kemudian dikembalikan kepada B. Tindakan A tetap dikatan sebagai pencurian, meskipun
barang yang dicuri telah dikembalikan karena delik pencurian dirumuskan secara formil
yang lebih menitikberatkan kepada tindakan.
Contoh delik materiil: Pasal 338 KUHP yang menentukan “Barangsiapa sengaja
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun”. Misalnya S menembak T dengan pistol dari jarak dekat. T
kemudian dilarikan kerumah sakit dan nyawanya terselamatkan. S tidak dapat dikatakan
melakukan pembunuhan, melainkan percobaan pembunuhan, karena akibat mati pada T
tidak terjadi. Hal ini karena Pasal 338 dirumuskan secara materiil yang menghendaki
adanya akibat dari suatu tindakan. S hanya dapat dinyatakan telah
melakukan pembunuhan, jika S menembak T dan akibat dari tembakan tersebut nyawa T
tidak terselamatkan.
ARRAHMAN, S.H.
Pertanyaan:
Apakah yang harus dituliskan pada Dakwaan biar tidak terjadi penentuan Locus
Delictinya, sesuai dengan aliran kedua sebagaimana tadi yang telah dijelaskan?
Jawaban:
Bahwa untuk menghindari celah hukum, dengan berdasarkan pada aliran kedua untuk
menentukan Locus Delicti nya, kiranya dalam dakwaan baik tempat terjadinya tindakan
maupun akibatnya disebutykan secara tegas.
Contoh: X berada di batas Kota A, menembak Y yang berada di Kota B dengan
menggunakan senjata laras panjang dan Y mati seketika. Locus Delictinya di Kota A dan
Kota B. Uraian dalam dakwaan adalah X di kota A menembak Y di Kota B dengan
menggunakan senjata laras panjang. Tindakan X di kota A menimbulkan akibat mati bagi
Y yang berada di Kota B. Terkait Pengadilan manakah yang akan mengadili perkara
terdebut, tentunya tidak terlepas ari banyaknya tempat tinggal Saksi dan Bukti-bukti
lainnya.
ANDY NARTO SILTOR, S.H.
Pertanyaan:
Apakah ada pengecualian bagi Warga Negara Asing yang melakukan perbuatan pidana di
Indonesia?
Jawaban:
Berdasarkan Asas Teritorial sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Moeljatno yaitu
perundang-undangan Hukum Pidana suatu negara berlaku bagi semua orang yang
melakukan perbuatan pidana di negara tersebut, baik oleh warga negaranya sendiri
maupun warga negara asing. Dalam Konteks Hukum Pidana Indonesia, hal ini jug secara
eksplisit tertian dalam Pasal 2 KUHP yaitu “aturan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam
Indonesia”. Pengecualian terhadap asas ini terdiri atas 2 (dua) yaitu terhadap orang dan
terhadap tempat. Berdasarkan pertanyaan tersebut maka pengecualiannya adalah terhadap
orang. Tidak semua orang yang melakukan perbuatan pidana di suatu negara akan diadili
dengan hukum negara tersebut. Pengecualian terhadap orang tersebut antara lain Kepala
Negara, Duta Besar, Konsul, Diplomat serta petugas lembaga internasional. Pengecuaian
terhadap Kepala Negara tersebut berdasarkan asas par in parem non hebet imperium yang
berarti bahwa Kepala Negara tidak dapat dihukum dengan menggunakan hukum negara
lain. Asas ini merupakan hak impunitas atau kekebalan dari sesorang Kepala Negara
Asing dalam hubungan Internasional. Bahwa dalam perkembangannya asas par in parem
non hebet imperium dikecualikan dari kejahatan-kejahatan serius terhadao masyarakat
internasional seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
Dalam Pasal 27 Statuta Roma tidak mengenal relevansi jabatan resmi.
ROSIANI NITI PAITRI, S.H.
Pertanyaan:
Bagaimanakah solusi terkait dengan Kompetensi Relatif Positif dan Kompetensi Relatif
Negatif?
Jawaban:
Bahwa sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa Penulis dalam Buku ini
menjelaskan bahwa untuk Delik Formil menggunakan teori leer deer lichamelijk daad,
untuk Delik Materiil menggunakan teori akibat. Bahwa untuk kejahatan dengan modus
operandi canggih dan meliputi lintas batas mengggunakan teori instrument. Bahwa untuk
aliran yang kedua untuk menentukan Locus Delicti nya, kiranya dalam Dakwaan baik
terjadinya tindakan atau akibat disebutkan secara tegas.
Mentor Bapak PRASETIO UTOMO, S.H
Pertanyaan:
Bagaimanakah dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), kejadiannya terjadi di
Kota A (proses perekrutan dan lain) kemudian dari perekrutan tersebut mengakibatkan
kematian di Kota B, dimanakah Locus Delictinya?
Jawaban:
Bahwa yang dilihat pertama adalah itu termasuk dalam delik formil atau materiil, jika
termasuk pada delik formil maka Locus Delictinya ada di Kota A, jika delik materill
maka Locus Delictinya di Kota B. Kemudian Mentee Buha Ambrosium memberikan
tanggapan pada saat Diskusi bahwa TPPO itu termasuk dalam dalam delik formil,
sehingga Locus Delicti nya ada di Kota A karena lebih menitberatkan pada tindakan yang
dilakukan di Kota A (proses perekrutan dan lain) bukan akibatnya (kematian) di Kota B,
dan Mentee sependapat dengan tanggapan tersebut.
Mentor IKRARNIEKHA ELMAYAWATI FAU, S.H., M.H.
Pertanyaan:
Apakah kesimpulannya, apakah itu terjadi dalam 1 (satu) rangkaian?
Jawaban:
Bahwa berdasarkan pemahaman Mentee perbuatan pidana itu terbagi atas 2 (dua) yaitu
tindakan/kelakuan dan akibat. Jika dilihat dari delik yang dilakukan adalah delik formil
berarti difokuskan pada pada tindakan atau kelakuan, jika delik materiil maka difokuskan
pada akibat. Berdasarkan pertanyaan tersebut berkaitan dengan Tempus Delicti. Tempus
Delicti adalah pada saat tindakan atau kelakuan terjadi dan pada saat akibat terjadi.
Artinya kedua tanggal tersebut harus dimasukkan dalam Dakwaan Penuntut Umum.
Penulis menjelaskan bahwa yang pertama perbuatan terdiri dari 2 (dua) segi yaitu
tindakan/kelakukan dan akibat, kedua tindakan atau kelakuan dan akibat adalah suatu
rangkaian peristiwa sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ketiga, untuk
menjerat pelaku, tanggal terjadinya tindakan atau kelakuan dan tanggal terjadinya akibat
harus disebut dengan jelas untuk menghindari celah hukum yang dapat digunakan pelaku
untuk menangkis dakwaan. Berdasarkan pemaparan Mentee pada saat diskusi bahwa itu
termasuk dalam tindakan atau kelakuan dan akibat adalah suatu rangkaian peristiwa
sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
9. Mentee DIMAS INDRA SWADANA, S.H.
Resume Buku berjudul: “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA
BERMOTIF RINGAN DENGAN RESTORATIVE JUSTICE”. Penulis: DR. JONLAR
PURBA, S.H., M.H.
Restorative Justice atau sering diterjemahkan kedalam keadilan restoratif merupakan
suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an, dalam upaya
penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan konvensional, pendekatan ini
menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban, dan masyarakat dalam
proses penyelesaian perkara pidana. Restorative Justice merupakan salah satu model
alternatif dispute resolution yang lebih ditujukan kepada kejahatan terhadap sesame
individu/ sesame masyarakat dari pada kejahatan terhadap Negara. Restorative Justice
menekankan pendekatan yang seimbang antara kepentingan pelaku, korban, dan
masyarakat yang memiliki tanggung jawab bersama antara para pihak dalam mambangun
kembali sistem social di masyarakat. Penggunaan tersebut lebih menjaga rasa keadilan
dari pada harus menggunakan hukum nasional yang bersifat legalistik karenahukum
masional tidak selalu compatible dengan hukum lokal. Karena ditetapkan dan disahkan
oleh lembaga Negara yang bertugas untuk itu, maka betapapun hukum nasional itu tidak
sesuai dengan nilai-nilai sosial masyarakat lokal, harus tetap diterima. Dengan demikian,
hukum nasional lebih menjadi beban bagi banyak komunitas lokal dari pada menciptakan
ketertiban dan kesejahteraan.

ARGA FEBRIAN, S.H.


Pertanyaan:
Apakah diperlukan undang-undang khusus yang mengatur Restorative Justice?
Jawaban:
Jika dikaitkan dengan pasal 1 KUHP tentang asas legalitas tentu sangat diperlukan
Undang-undang khusus yang mengatur Restortive Justice karena menurut teori
pembentukan sistem hukum Lawrence M. Friedman hal ini merupakan satu kesatuan.
RIZKY AULIA CAHYADRI, S.H.
Pertanyaan:
Apakah Tindak Pidana Bermotif Ringan yang dimaksud dalam buku tersebut sama
dengan maksud dari PERMA Nomor 2 Tahun 2012?
Jawaban:
hampir sama namun berbeda. PERMA Nomor 2 Tahun 2012 mengatur tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP yaitu untuk
tindak pidana dengan nilai kerugian dibawah Rp.2,5 Juta maka menggunakan Hakim
Tunggal. Sedangkan yang dimaksud dalam buku ini adalah bobot perkara yang dianggap
sangat rendah dan didukung dengan barang bukti yang sangat sepele. Jadi tidak dititik
beratkan pada nominal.
BAHARA IVANOVSKI STEVANUS NAPITUPULU, S.H
Pertanyaan:
Adakah dasar hukum tentang Tindak Pidana Bermotif Ringan dalam buku tersebut?
Jawaban:
Dalam buku tersebut tidak menjelaskan spesifik tentang dasar hukum tindak pidana
bermotif ringan karena hanya disebutkan “bobot perkara yang dianggap sangat rendah
dan didukung dengan barang bukti yang sangat sepele sehingga seharusnya dapat
diselesaikan atas dasar kemanusiaan.”
ROSIANI NITI PAITRI, S.H.
Pertanyaan:
Bagaimana pembentukan Hukum di Indonesia, apakah telah sesuai dengan yang
diharapkan masyarakat?
Jawaban:
Sepertinya belum dikarenakan seharusnya pembentukan hukum bersifat bottom-up yang
berarti aspirasi, namun di Indonesia cenderung menggunakan alur top-down yang berarti
berbentuk instruktif. Hukum di Indonesia yang menggunakan alur bottom-up adalah
hukum adat sehingga seharusnya nilai-nilai yang ada didalamnyalah yang digunakan
dalam pembentukan hukum di Indonesia.

10. Mentee ROSIANI NITI PAITRI, S.H.


Resume Buku berjudul: “KEWENANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKRA DI
LUAR DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM”
Kebebasan Hakim dalam memutus perkara merupakan salah satu unsur utama dari negara
hukum. Kebebasan ini memiliki payung hukum baik berdasarkan konstitusi maupun
Peraturan perundang-undangan. Secara fungsional, kebebasan yang dimiliki Hakim
meliputi kebebasan substantif dalam menginterpretasikan dan menerapkan hukum secara
adil melalui putusan-putusannya. Namun, muncul persoalan terkait pelaksanaan
kebebasan Hakim dalam menafsirkan ataupun menemukan hukum yakni kewenangan
hakim dalam memutus perkara diluar dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Sebagaimana
diketahui bahwa putusan pidana dari pengadilan didasarkan atas dakwaan Jaksa Penuntut
Umum (pasal 182 ayat (4) KUHAP)
Pada praktik, hakim memutus perkara di luar dakwaan Jaksa Penuntut Umum
dikategorikan sebagai berikut:
a. Putusan Hakim yang tidak dapat menerima kewenangan Hakim dalam memutus
perkara di luar dakwaan
b. Putusan Hakim yang memutus perkara di luar dakwaan atas dasar kesamaan jenis
perbuatan (serumpun)
c. Putusan Hakim yang memutus perkara di luar dakwaan atas dasar perbedaan
peran.
Dimana kewenangan tersebut juga dianalisis berdasarkan teori positivisme hukum,
hukum progresif, dan penemuan hukum.

SELLYA UTAMI CANDRASARI, S.H.


Pertanyaan;
Apabila pada dakwaan JPU Terdakwa di dakwa dengan dakwaan tunggal yg berupa TP
Penggelapan, sedangkan berdasarkan fakta dipersidangan terdakwa melakukan penipuan,
apakah hakim dapat menjatuhkan putusan yang menyatakan terdakwa melakukan
penipuan?
Jawaban:
Sebagaimana dijelaskna diatas, bahwa kewenangan hakim dalam memutus perkara diluar
dakwaan JPU hanya atas dasar kesamaan jenis perbuatan dan perbedaan peran dari
terdakwa. Apabila terdapat keadaan yg spt ditanyakan tersebut. Karena penipuan dan
penggelapan bukan merupakan tindak pidana yang serumpun maka hakim tidak dapat
menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Dimana terdakwa harus dinyatakan bebas.
NADIA SEKAR WIGATI, S.H.
Pertanyaan:
Bagaimanakah contoh penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim?
Jawaban:
Dalam persidangan hakim dapat melakukan penemuan hukum ketika aturannya tidak ada
ataupun karena aturannya tidak jelas. Contoh penemuan hukum yang pernah ada di
Indonesia dilakukan oleh Hakim Bismar Siregar. Dimana beliau menyamakan alat
kelamin perempuan dengan sebuah barang.

11. Mentee NADIA SEKAR WIGATI, S.H.


Resume Buku berjudul: “PENGKAJIAN TENTANG PUTUSAN PEMIDAAN LEBIH
TINGGI DARI TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM”, Pengarang: DR.
Sudharmawatiningsih, S.H., M. Hum
Permasalahan yang diangkat dalam buku ini adalah bagaimanakan eksistensi tuntutan
JPU dalam sistem peradilan pidana Indonesia dan bagaimanakah penafsiran Hakim
terkait putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan JPU dalam perspektif teori, norma
dan praktek peradilan di Indonesia. Penuntutan merupakan tindakan penuntut umum
untuk emlimpahkan perkara pidana ke PN yang berwenang supaya diperiksa dan di putus
oleh Hakim di sidang pengadilan. Berdasarkan tugas yang diemban oleh Jaksa sebagai
penuntut umum dalam proses peradilan pidana, maka eksistensi surat tuntutan merupakan
bagian yang penting dalam proses hukum acara pidana. Surat tuntutan yang
mencantumnkan tuntutan JPU terhadap terdakwa baik berupa penghukuman atau
pembebasan dan disusun berdasarkan pemeriksaan saksi, ahli, alat bukti, dan keterangan
terdakwa akan menjadi bahan bagi Hakim dalam membuat putusan. Berdasarkan praktek,
putusan pemidanaan yang lebih tinggi dari tuntutan JPU dapat berupa pidana penjara,
denda atau pidana pengganti. Hal ini disesuaikan dengan pertimbangan Hakim
berdasarkan keadilan subtantif yang ingin ditegakkan dalam konstruksi alasan pemberat
dan ditambah dengan keyakinan serta filosofi pemidanaan yang dianut oleh Hakim yang
bersangkutan. Berdasarkan normatif, KUHAP tidak mengatur secara tegas bahwa putusan
pemidanaan harus sesuai ataupun dibawah dari tuntutan JPU dan tidak diperbolehkan
melebihi tuntutan tersebut (ultra petita). Selain itu berdasarkan teori, kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan independen merupakan salah satu pilar negara hukum.
Termasuk kebebasan Hakim dalam memutus perkara yang melebihi tuntutan JPU tetap
harus memperhatikan batasan-batasannya.

SOLEMAN DAIRO TAMAELA, S.H.


Pertanyaan:
Hakim memiliki kebebasan dalam memutus perkara, adakah batasan-batasan dalam
melakukan pertimbangan hukumnya?
Jawaban:
Bekaitan dengan indepedensi peradilan saat ini tidak berarti harus dimaksnai bahwa
Hakim dapat memiliki kebebasan yang tanpa batas. Indepedensi harus dimaknai dalam
batas-batas yang ditentukan oleh hukum. Batasan dalam kebebasan hakim dalam
memutus perkara menurut Bagir Manan antara lain bahwa dalam memutus perkara harus
berdasarkan hukum, dalam memutus perkara dilakukan untuk memberikan dan
memenuhi rasa keadilan, dalam melakukan penafsiran maupun penemuan hukum harus
tetap berpegang teguh kepada asas-asas hukum umum, dan harus adanya mekanisme
menindak hakim yang memutus secara sewenang-wenang.
BUHA AMBROSIUS SITUMORANG, S.H.
Pertanyaan:
Hakim dalam memutus perkara tidak boleh keluar dari lingkup batas minimum dan
maksmimum pasal yang dikenakan, hal apa yang harus diperhatikan oleh Hakim untuk
memutus perkara dalam hal demikian?
Jawaban:
Majelis hakim dalam melakukan musyawarah harus mempertimbangkan fakta-fakta yang
terbukti di persidangan sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yaitu adanya 2 alat bukti yang
sah dan meyakinkan kemudian memutuskan pemidanaan yang sesuai dengan
pertimbangan hukum Majelis baik yang meringankan maupun yang memberatkan. Jika
diyakini terdapat hal yang cukup memberatkan dan dirasa cukup perlu dijatuhkan
pemidanaan yang lebih tinggi dari tuntutan JPU, hal tersebut diperbolehkan asalkan tidak
melebihi batas maksimum ancaman pidana terhadap pasal yang dikenakan.
Mentor Ibu FRANSISKA DARI PAULA NINO, S.H., M.H.
Pertanyaan:
Apakah dalam memutus perkara Hakim hanya berdasarkan surat tuntutan saja?
Jawaban:
Berdasarkan Pasal 182 ayat 4 KUHAP, menyatakan bahwa dalam musyawarah Hakim
harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan
di persidangan. Sehingga berdasarkan pasal tersebut maka dalam memutus perkara,
Hakim tidak hanya melihat pada surat tuntutan tapi jga surat dakwaan beserta fakta-fakta
di persidangan baik hal-hal yang meringankan maupun yang memberatkan terdakwa.

12. Mentee SELLYA UTAMI CANDRASARI, S.H.


Resume Buku berjudul: “PELAKSANAAN DIVERSI DI PENGADILAN NEGERI DALAM
SISTEM PERDADILAN PIDANA ANAK”
Lembaga Diversi dalam sistem peradilan pidana anak diatur dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang mewajibkan
kepada para penegak hukum, keluarga dan masyarakat untuk mengupayakan proses
penyelesaian di luar jalur pengadilan melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan
Restoratif. Sehubungan dengan pengaturan pelaksanaan Diversi di Pengadilan dalam UU
SPPA kurang jelas maka Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahakmah Agung
Nomor 4 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak. Setelahnya, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 65
Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 (Dua Belas) Tahun. Peraturan Pemerintah tersebut merupakan pelaksana atas
ketentuan Pasal 15 dan Pasal 21 ayat (6) UU SPPA. Meskipun telah ada beberapa perkara
anak yang menemukan keberhasilannya dalam pelaksanaan Diversi di beberapa
Pengadilan Negeri, kegagalan kesepakatan Diversi juga tidak sedikit dialami oleh
Pengadilan Negeri. Bahkan persentase kegagalannya cukup tinggi dibandingkan dengan
yang berhasil didiversikan.
KUNTI KALMA SYITA, S.H.
Pertanyaan:
Menurut Anda apakah factor budaya masyarakat tradisional / pedesaan pada
kenyataannya dapat menentukan factor keberhasilan diversi?
Jawaban:
Bagi masyarakat tradisional pedesaan yang masih menjunjung tinggi budaya
musyawarah dan kekeluargaan akan sangat mudah menerima proses diversi untuk
mencari titik temu kesepakatan pemaafan. Tentunya cara pendekatan kekeluargaan dan
implementasi norma agama akan sangat membantu proses penemuan bentuk
kesepakatan.
Mentor IKRARNIEKHA ELMAYAWATI FAU, S.H., M.H.
Pertanyaan:
Apakah yang dimaksud dengan diversi serta apa sajakah syarat yang menentukan dapat
dilakukannya diversi?
Jawaban:
Berdasarkan Pasal 1 Angka 7 UU SPPA maka diversi adalah upaya penyelesaian secara
musyawarah untuk mengalihkan proses penyelesaian dalam jalur pengadilan menjadi di
luar jalur pengadilan yang dilaksanakan dengan pendekatan Restoratif Justice antara
Anak, orang tua/walinya, korban, pembimbing kemasyarakatan, tenaga social
professional dan penegak hukum (penyidik, penuntut umum ataupun hakim). Adapun
diversi dapat dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak
pidana. Sedangkan berdasarkan Perma No. 4 Tahun 2014 maka Diversi dapat
dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun atau lebih dari 7 (tujuh) tahun dalam hal bentuk dakwaannya
subsidiaritas atau kumulatif atau alternative atau lainnya dan bukan merupakan
pengulangan tindak pidana
Mentor Ibu FRANSISKA DARI PAULA NINO, S.H., M.H.
Pertanyaan:
Apakah Keadilan Restoratif hanya dapat diterapkan dalam sistem peradilan pidana anak
saja?
Jawaban:
Menurut saya, keadilan restorative dapat diterapkan pada jenis tindak pidana lainnya
yang mungkin bermotif ringan dalam rangka menegakkan prinsip hukum pidana yaitu
pemidanaan sebagai upaya terakhir yang dapat ditempuh (ultimum remedium).

Demikian resume diskusi atas resume buku para mentee ini dibuat sesuai dengan keadaan
dan hasil pembahasan dari para mentee dan para mentor yang hadir dalam diskusi
tersebut. Kami ucapkan terimakasih.

Kupang, 10 Desember 2018

TTD
ANDY NARTO SILTOR, S.H.

Anda mungkin juga menyukai