Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

STUDI KOMPARASI PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 DENGAN


PERMA NOMOR 1 TAHUN 2016

Disusun untuk memenuhi Tugas Mandiri


Mata Kuliah : Hukum Acara Perdata
Yang dibina oleh Bapak : Khairul Aswadi, SH.,MH

o
l
e
h

M. TAUFIQ HIDAYAT
NIM. 014.04.0027

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM


FAKULTAS HUKUM
2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, Atas Berkat dan rahmatnya saya bisa menyelesaikan tugas Makalah ini
dengan Tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Hukum Acara
Perdata. Adapun topik yang dibahas didalam makalah ini adalah mengenai Studi
Komparasi Perma Nomor 1 Tahun 2008 Dengan Perma Nomor 1 Tahun
2016. Dimana setelah membahas topik ini, diharapkan pembaca dapat menambah
pengetahuan pada materi kuliah Hukum Acara Perdata.

Semoga makalah yang saya buat ini bisa menjadi sesuatu yang sangat
bermanfaat dan berguna bagi orang orang yang membacanya. Saya selaku
penyusun makalah ini, memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dimasa
yang akan datang.

Mataram, Juni 2017

M. TAUFIQ HIDAYAT
NIM. 014.04.0027

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................. ...................... i

DAFTAR ISI ................................................................................. ...................... ii

BAB I. PENDAHULUAN ......................................................... ..................... 1

A. Latar Belakang ............................................................. ...................... 1


B. Rumusan Masalah ........................................................ ...................... 2

BAB PEMBAHASAN ............................................................... ...................... 3

A. Pengaturan Mediasi di Indonesia ................................. ...................... 3


B. Pembeda Perma No.1 Tahun 2008 dengan
Perma No. 1 Tahun 2016 .................................................................... 6

BAB III. KESIMPULAN .......................................................... ...................... 12

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai Negara Hukum dalam tindakan lembaga negara dan


aparatur negaranya harus memiliki landasan hukum. Mediasi sendiri sebagai
institusi penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh hakim (aparatur negara) di
pengadilan atau pihak lain di luar pengadilan, sehingga keberadaannya
memerlukan aturan hukum.
Mahkamah Agung menerbitkan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan sebagai penyempurnaan terhadap PERMA
Nomor 1 Tahun 2008 yang mengatur prosedur yang sama. Mahkamah Agung
menimbang bahwa Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan belum optimal memenuhi
kebutuhan pelaksanaan Mediasi yang lebih berdayaguna dan mampu
meningkatkan keberhasilan Mediasi di Pengadilan. Selain itu juga, mediasi
semakin memperkokoh perannya sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, karena adanya penekanan wajib melakukan proses mediasi sebelum
melakukan gugatan di pengadilan.
Setidaknya ada beberapa hal penting yang menjadi pembeda antara
PERMA No.1 Tahun 2016 dengan PERMA No.1 Tahun 2008 tentang prosedur
Mediasi ini. Pertama, terkait batas waktu mediasi, kedua, kewajiban para pihak
untuk menghadiri proses mediasi, dan ketiga, adalah yang paling baru di mana
mengatur tentang Itikad Baik. Selain itu secara ada beberapa poin yang secara
substansi tidak terjadi perubahan, tetapi ada pengembangan cakupan.
Makalah ini akan mencoba mengangkat poin-poin tersebut agar lebih
memberikan gambaran analisa terbitnya aturan terbaru mengenai proses
menyelesaikan perkara melalui alternatif di luar persidangan yang mediasi
menjadi fokusnya.

1
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah perbandingan Perma Nomor 1 Tahun 2008 dengan Perma
Nomor 1 Tahun 2016?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengaturan Mediasi Di Indonesia

Penyelesaian sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip kebebasan


yang menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa, yang artinya bahwa
para pihak lebih leluasa untuk mengkreasi kemungkinan opsi yang dapat
ditawarkan dalam proses penyelesaian sengketa.
Mediasi dengan landasan musyawarah menuju kesepakatan damai, telah
mendapatkan pengaturan tersendiri sejak dalam sejumlah produk hukum Hindia-
Belanda sampai dalam sejumlah produk hukum Indonesia merdeka sampai hari
ini. Pengaturan alternatif penyelesaian sengketa dalam aturan hukum amat
penting, mengingat Indonesia adalah negara hukum.
Pada masa Kolonial Belanda penyelesaian sengketa pada proses damai
diatur dalam Pasal 130 HIR (Het Herziene Indonesich Reglement, Staatblad
1941:44) atau Pasal 154 R.Bg (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad,
1927:27) atau Pasal 31 Rv (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad
1874:52). Disebutkan bahwa hakim atau majelis hakim akan mengusahakan
perdamaian sebelum perkara mereka diputuskan. Ketentuan pasal ini adalah:
(1) Jika pada hari yang ditentukan, kedua belah pihak datang, maka
pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan
mereka.
(2) Jika perdamaian yang itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang,
diperbuat sebuah surat akta tentang itu, dalam mana kedua belah pihak
dihukum akan menempati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan
berkekuatan dan akan dijalankan sebagai keputusan biasa.
(3) Keputusan yang sedemikian itu tidak dapat diizinkan banding.
(4) Jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak, perlu
dipakai juru bahasa, maka pasal yang berikut dituruti untuk itu.

3
Ketentuan dalam Pasal 130 HIR /154 RBg menggambarkan bahwa
penyelesaian sengketa melalui jalur damai merupakan bagian dari proses
penyelesaian sengketa di pengadilan. Upaya damai menjadi kewajiban hakim, dan
ia tidak boleh memutuskan perkara sebelum upaya mediasi dilakukan terlebih
dahulu. Bila kedua belah pihak saling setuju menempuh jalur damai, maka hakim
harus segera melakukan mediasi terhadap kedua belah pihak, sehingga mereka
sendiri menemukan bentuk-bentuk kesepakatan yang dapat menyelesaikan
sengketa mereka.
Kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam sebuah akta perdamaian
sehingga memudahkan para pihak melaksanakan kesepakatan itu. Akta damai
memiliki kekuatan hukum sama dengan vonnies hakim, sehingga ia dapat
dipaksakan kepada para pihak jika salah satu diantara mereka enggan
melaksanakan isi kesepakatan tersebut. Para pihak tidak dibenarkan melakukan
banding terhadap akta perdamaian yang dibuat dari hasil mediasi. dalam sejarah
hukum, penyelesaian sengketa melalui proses damai dikenal dengan dading.
Penerapan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan mengalami kendala
dalam praktek peradilan, karena banyaknya perkara yang masuk, terbatasnya
tenaga hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan terutama
peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten/kota dan
tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Akibat tersendatnya perwujudan asas ini
telah mengakibatkan pencari keadilan mengalami kesulitan mengakses keadilan
(acces ti justice) guna mendapatkan hak-hak secara cepat. Keadaan ini berdampak
buruk pada penegakan hukum.
Ketentuan hukum yang menegaskan mengenai mediasi terdapat dalam UU
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa
Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, dan
sebelumnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur dua hal utama, yaitu
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan dalam Pasal 1

4
menegaskan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa adalah sengketa perdata dan bukan sengketa yang
termasuk dalam kategori hukum publik. Dalam Pasal 2 UU Nomor 30 Tahun
1999 disebutkan mengenai objek sengketa yang dapat diselesaikan melalui jalur
arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa yaitu sengketa perdata.1
Dari ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 30 Tahun 1999 dapat dipahami
beberapa hal antara lain :
(1) Objek sengketa yang dapat diselesaikan dengan arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa adalah sengketa perdata dan sengketa yang tidak
dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut undang-
undang tidak dapat diadakan perdamaian.
(2) Sengketa tersebut baru dapat diselesaikan melalui arbitrase bila dalam
perjanjian pokok tertulis secara tegas menyatakan bahwa bila terjadi
sengketa atau beda pendapat timbul atau mungkin timbul dari suatu
hubungan hukum akan diselesaikan melalui arbitrase.

Pengaturan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar


pengadilan juga ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen dalam Pasal 52A. Ditemukan juga dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Peraturan
Pemerintah ini telah meletakkan konsep yang jelas mengenai mediasi, mediator,
persyaratan mediator dan beberapa hal seputar mekanisme mediasi dalam
penyelesaian sengketa lingkungan hidup.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur secara terperinci mengenai
ketentuan menyangkut mediasi di luar pengadilan pada mulanya diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan. Kemudian Mahkamah Agung lebih melengkapkan dengan
mengeluarkan PERMA Nomor 01 Tahun 2008. Peraturan Mahkamah Agung ini

1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.

5
menempatkan mediasi sebagai bagian dari proses penyelesaian perkara yang
diajukan para pihak ke pengadilan. Hakim tidak secara langsung menyelesaikan
sengketa melalui proses peradilan (litigasi), tetapi harus terlebih dahulu
diupayakan mediasi (non-litigasi). Mediasi menjadi suatu kewajiban yang harus
ditempuh hakim dalam memutus perkara di pengadilan.
Kemudian pada tahun 2016, Mahkamah Agung baru saja menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan. PERMA ini hadir sebagai usaha menutup celah timbulnya
sebab-sebab gagalnya proses mediasi yang dilakukan.

B. Pembeda Perma No. 1 Tahun 2008 dengan Perma No. 1 Tahun 2016

Pembeda antara Perma No.1 Tahun 2008 dengan Perma No. 1 Tahun 2016 yakni :

1. Mengenai Batas Waktu Melakukan Mediasi


Pada PERMA No.1 Tahun 2008 proses mediasi berlangsung paling lama 40
(empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua
majelis hakim. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat
diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat
puluh) hari. Seperti dalam bunyi pasalnya:
BAB III
TAHAP-TAHAP PROSES MEDIASI
Pasal 13
Penyerahan Resume Perkara dan Lama Waktu Proses Mediasi
...
(3) Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak
mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim
sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (5) dan (6).
(4) Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh)
hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 32

2
PERMA RI Nomor : 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.

6
Pada PERMA No. 1 Tahun 2016, jangka waktu penyelesaian mediasi lebih
singkat dari 40 hari menjadi 30 hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan
Mediasi. Sebagaimana bunyi pasalnya:
BAB V
TAHAPAN PROSES MEDIASI
Bagian Kesatu
Penyerahan Resume Perkara dan Jangka Waktu Proses Mediasi
Pasal 24
....
(2) Proses Mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
penetapan perintah melakukan Mediasi.
(3) Atas dasar kesepakatan Para Pihak, jangka waktu Mediasi dapat
diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berakhir
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).3

2. Pembebanan Kewajiban para Pihak untuk Menghadiri Proses Mediasi


Adanya kewajiban bagi para pihak (inpersoon) untuk menghadiri secara
langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum,
kecuali ada alasan sah seperti kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir
dalam pertemuan Mediasi berdasarkan surat keterangan dokter; di bawah
pengampuan; mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar
negeri; atau menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak
dapat ditinggalkan.
Sebelumnya, mengenai ketidakhadiran salah satu pihak dalam proses
mediasi tidak dijelaskan dalam PERMA nomor 1/2008. Hal ini sangat berbeda
pada PERMA nomor 1/2016 yang menjelaskan kewajiban para pihak untuk hadir
langsung dalam proses mediasi terdapat dalam bagian tersendiri dalam pasal 6
Pasal 6
(1) Para Pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan Mediasi dengan
atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum.

3
PERMA RI Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.

7
(2) Kehadiran Para Pihak melalui komunikasi audio visual jarak jauh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dianggap sebagai kehadiran
langsung.
(3) Ketidakhadiran Para Pihak secara langsung dalam proses Mediasi hanya
dapat dilakukan berdasarkan alasan sah.
(4) Alasan sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi antara lain:
a. kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan
Mediasi berdasarkan surat keterangan dokter;
b. di bawah pengampuan;
c. mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau
d. menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak
dapat ditinggalkan.

3. Pengaturan tentang Iktikad Baik


Aturan tentang Iktikad Baik dalam proses mediasi dan akibat hukum para
pihak yang tidak beriktikad baik dalam proses mediasi adalah hal yang paling
baru dalam PERMA nomor 1/ 2016 ini karena sebelumnya pada PERMA nomor
1/2008 tidak diatur hal tersebut. Pasal 7 menyatakan: (1) Para Pihak dan/atau
kuasa hukumnya wajib menempuh Mediasi dengan iktikad baik. (2) Salah satu
pihak atau Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya dapat dinyatakan tidak beriktikad
baik oleh Mediator dalam hal yang bersangkutan4:
a. tidak hadir setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut
dalam pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;
b. menghadiri pertemuan Mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir
pada pertemuan berikutnya meskipun telah dipanggil secara patut 2
(dua) kali berturut-turut tanpa alasan sah;
c. ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan
Mediasi tanpa alasan sah;
d. menghadiri pertemuan Mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau
tidak menanggapi Resume Perkara pihak lain; dan/atau

4
PERMA RI Nomor 1 Tahun 2016...

8
e. tidak menandatangani konsep Kesepakatan Perdamaian yang telah
disepakati tanpa alasan sah.

Konsekuensi dari adanya pihak yang dinyatakan tidak beriktikad baik


dalam proses Mediasi, maka akan berimbas kepada tidak diterimanya gugatan
oleh Hakim Pemeriksa Perkara, dan pembebanan biaya mediasi kepada tergugat.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 22 dan 23 PERMA Nomor 1 Tahun 2016. Hakim
Pemeriksa Perkara mengeluarkan putusan yang merupakan putusan akhir yang
menyatakan gugatan tidak dapat diterima disertai penghukuman pembayaran
Biaya Mediasi dan biaya perkara.
Biaya Mediasi sebagai penghukuman kepada penggugat yang tidak
beriktikad baik dapat diambil dari panjar biaya perkara atau pembayaran tersendiri
oleh penggugat dan diserahkan kepada tergugat melalui kepaniteraan Pengadilan.
Sedangkan Tergugat dikenai kewajiban pembayaran Biaya Mediasi jika tidak
beriktikad baik. Mediator menyampaikan laporan tergugat tidak beriktikad baik
kepada Hakim Pemeriksa Perkara disertai rekomendasi pengenaan Biaya Mediasi
dan perhitungan besarannya dalam laporan ketidakberhasilan atau tidak dapat
dilaksanakannya Mediasi.
Biaya Mediasi yang dibebankan kepada penggugat yang tidak beriktikad
baik sebagaimana dimaksud pada pasal 22 ayat (3) merupakan bagian dari biaya
perkara yang wajib disebutkan dalam amar putusan akhir. Sedangkan pembebanan
biaya mediasi kepada tergugat yang tidak beriktikad baik sebagaimana dimaksud
pada pasal 23 ayat (1) dimenangkan dalam putusan, amar putusan menyatakan
Biaya Mediasi dibebankan kepada tergugat, sedangkan biaya perkara tetap
dibebankan kepada penggugat sebagai pihak yang kalah.

4. Pengecualian Perkara
Pengecualian perkara yang bisa dimediasi pada PERMA nomor 1 / 2016
lebih luas daripada PERMA sebelumnya yakni semua jenis perkara perdata,
kecuali perkara Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, keberatan

9
atas keputusan KPPU, BPSK, sengketa parpol, permohonan pembatalan putusan
arbitrase, perkara gugatan sederhana, dan lain-lain, sebagaimana yang dijelaskan
pada Pasal 4. Dalam PERMA nomor 1/ 2008 sebelumnya tidak menyebutkan
sengketa parpol, permohonan pembatalan putusan arbitrase, perkara gugatan
sederhana sebagaimana dalam pasal yang sama (pasal 4).

5. Kesepakatan Sebagian
Hal baru lainnya dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016 ini adalah pengaturan
mengenai kesepakatan sebagian yang sebelumnya tidak diatur dalam PERMA
nomor 1 Tahun 2008. Adapun hal penting pada kesepakatan sebagian itu
diantaranya:
a. Kesepakatan sebagian pihak yang bersengketa
Maksud dari kesepakatan sebagian pihak yang bersengketa adalah
kesepakatan antara sebagian pihak baik penggugat ataupun Tergugat yang
berperkara di tahapan mediasi. Dengan adanya sebagian pihak yang sudah
mencapai kesepakatan di tahapan mediasi, maka pihak yang telah bersepakat itu
dapat menyelesaikan perkara melalui suatu kesepakatan perdamaian.
Dalam hal proses mediasi mencapai kesepakatan antara penggugat dan
sebagian pihak tergugat, berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun
2006, penggugat mengubah gugatan dengan tidak lagi mengajukan pihak tergugat
yang tidak mencapai kesepakatan sebagai pihak lawan. Selanjutnya, terhadap para
pihak (tergugat) yang tidak mencapai kesepakatan damai tersebut, penggugat
dapat mengajukan kembali gugatan terhadap pihak tersebut.
Mengapa penggugat harus mengajukan kembali gugatan secara terpisah
terhadap tergugat yang tidak mencapai kesepakatan damai? Hal ini didasarkan
pada pemikiran bahwa apabila gugatan diteruskan, maka posita dan petitum
gugatan sudah berubah sedemikian rupa terhadap tergugat yang tidak mencapai
kesepakatan damai tersebut. Sedangkan untuk merubah gugatan, penggugat akan
terbentur dengan ketentuan Pasal 127 Rv yang pada pokoknya menyatakan
perubahan gugatan hanya bisa dilakukan terhadap tuntutan tanpa mengubah atau

10
menambah pokok gugatan. Selain itu, perubahan gugatan juga mengharuskan
adanya persetujuan tergugat.
Sebaliknya terhadap pihak tergugat yang telah mencapai kesepakatan
damai dengan penggugat, maka perkaranya diteruskan dengan membuat
kesepakatan perdamaian yang dapat dikuatkan dengan Akta Perdamaian.

b. Kesepakatan sebagian objek perkara atau tuntutan hukum


Maksud dari kesepakatan sebagian objek sengketa atau tuntutan hukum,
adalah kesepakatan antara para pihak terhadap sebagian objek perkara atau
tuntutan hukum. Dengan adanya sebagian objek sengketa atau tuntutan hukum
yang telah disepakati oleh para pihak di tahapan mediasi, maka pada saat
pemeriksaan di Pengadilan Negeri, hanya dilanjutkan pemeriksaan terhadap objek
perkara atau tuntutan hukum yang tidak mencapai kesepakatan di tahapan
mediasi.
Kesepakatan sebagian ini merupakan salah satu hal baru pada prosedur
mediasi yang diharapkan mampu mengeliminir pihak, objek perkara, dan tuntutan
hukum dalam suatu perkara sebelum masuk pada pemeriksaan di Pengadilan
Negeri.

11
BAB III
KESIMPULAN

Sebelum berlakunya Perma Nomor 1 Tahun 2016 tersebut, ketentuan atau


dasar hukum mengenai mediasi diatur didalam Perma Nomor 1 Tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Didalam Perma Nomor 1 Tahun 2016
terdapat beberapa poin penting yang berbeda dengan Perma Nomor 1 Tahun 2008,
diantaranya:
1. Terkait batas waktu mediasi yang lebih singkat dari 40 hari menjadi 30
hari terhitung sejak diterimanya pemberitahuan putusan sela Pengadilan
Tinggi atau MahkamahAgung. (Pasal 3 angka 6 Perma Nomor 1 Tahun
2016) Di dalam Pasal 13 angka 3 Perma Nomor 1 Tahun 2008, proses
mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh hari) hari kerja sejak
mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim
sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (5) dan (6).
2. Kewajiban para pihak menghadiri secara langsung pertemuan Mediasi
dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum, kecuali ada alasan sah
(Pasal 6 ayat (1) dan ayat (4) Perma Nomor 1 Tahun 2016).
3. Adanya itikad baik dan akibat hukum (sanksi) para pihak yang tidak
beritikad baik dalam proses mediasi. (Pasal 7 ayat (1) dan (2) Perma Nomor
1 Tahun 2016). Pengaturan itikad baik ini memang sudah ada di dalam
Perma Nomor 1 Tahun 2008, tetapi penjabarannya tidak detail. Perma
Nomor 1 Tahun 2016 mewajibkan para pihak beritikad baik ketika
bermediasi. Jika tidak, ada akibat hukum bagi yang tidakberitikad baik atas
laporan mediator. (Pasal 23 Perma Nomor 1 Tahun 2016).
4. Adanya kesepakatan sebagian pihak (partial settlement) yang terlibat
dalam sengketa atau kesepakatan sebagian objek sengketanya. Berbeda
dengan Perma sebelumnya apabila hanya sebagian pihak yang bersepakat
atau tidak hadir mediasi dianggap dead lock (gagal). Tetapi Bidang
PermaNomor 1 Tahun 2016, kesepakatan sebagian pihak tetap diakui,

12
misalnya penggugat hanya sepakat sebagian para tergugat atau sebagian
objek sengketanya.
5. Pengecualian perkara yang dimediasikan lebih luas daripada sebelumnya
yakni semua jenis perkara perdata, kecuali perkara Pengadilan Niaga,
Pengadilan Hubungan Industrial, keberatan atas putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Komisi
Informasi, permohonan pembatalan putusan arbitrase, penyelesaian
perselisihan partai politik, dan lain-lain (Pasal 4 ayat (2) Perma Nomor 1
Tahun 2016).

13
DAFTAR PUSTAKA

https://mmokoginta.wordpress.com/2017/03/14/matriks-perkembangan-
pengaturan-mediasi-di-pengadilan/

https://www.abnp.co.id/news/harapan-optimalisasi-proses-mediasi-pasca-
perma-nomor-1-tahun-2016

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/7829/SKRIPSI%20
LENGKAP-ACARA-NURUL%20FADHILLAH.pdf;sequence=1

https://www.academia.edu/people/search?utf8=%E2%9C%93&q=perma+no.1
+tahun+2008

Anda mungkin juga menyukai