o
l
e
h
M. TAUFIQ HIDAYAT
NIM. 014.04.0027
Alhamdulillah puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, Atas Berkat dan rahmatnya saya bisa menyelesaikan tugas Makalah ini
dengan Tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Hukum Acara
Perdata. Adapun topik yang dibahas didalam makalah ini adalah mengenai Studi
Komparasi Perma Nomor 1 Tahun 2008 Dengan Perma Nomor 1 Tahun
2016. Dimana setelah membahas topik ini, diharapkan pembaca dapat menambah
pengetahuan pada materi kuliah Hukum Acara Perdata.
Semoga makalah yang saya buat ini bisa menjadi sesuatu yang sangat
bermanfaat dan berguna bagi orang orang yang membacanya. Saya selaku
penyusun makalah ini, memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dimasa
yang akan datang.
M. TAUFIQ HIDAYAT
NIM. 014.04.0027
i
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah perbandingan Perma Nomor 1 Tahun 2008 dengan Perma
Nomor 1 Tahun 2016?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Ketentuan dalam Pasal 130 HIR /154 RBg menggambarkan bahwa
penyelesaian sengketa melalui jalur damai merupakan bagian dari proses
penyelesaian sengketa di pengadilan. Upaya damai menjadi kewajiban hakim, dan
ia tidak boleh memutuskan perkara sebelum upaya mediasi dilakukan terlebih
dahulu. Bila kedua belah pihak saling setuju menempuh jalur damai, maka hakim
harus segera melakukan mediasi terhadap kedua belah pihak, sehingga mereka
sendiri menemukan bentuk-bentuk kesepakatan yang dapat menyelesaikan
sengketa mereka.
Kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam sebuah akta perdamaian
sehingga memudahkan para pihak melaksanakan kesepakatan itu. Akta damai
memiliki kekuatan hukum sama dengan vonnies hakim, sehingga ia dapat
dipaksakan kepada para pihak jika salah satu diantara mereka enggan
melaksanakan isi kesepakatan tersebut. Para pihak tidak dibenarkan melakukan
banding terhadap akta perdamaian yang dibuat dari hasil mediasi. dalam sejarah
hukum, penyelesaian sengketa melalui proses damai dikenal dengan dading.
Penerapan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan mengalami kendala
dalam praktek peradilan, karena banyaknya perkara yang masuk, terbatasnya
tenaga hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan terutama
peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten/kota dan
tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Akibat tersendatnya perwujudan asas ini
telah mengakibatkan pencari keadilan mengalami kesulitan mengakses keadilan
(acces ti justice) guna mendapatkan hak-hak secara cepat. Keadaan ini berdampak
buruk pada penegakan hukum.
Ketentuan hukum yang menegaskan mengenai mediasi terdapat dalam UU
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa
Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, dan
sebelumnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur dua hal utama, yaitu
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan dalam Pasal 1
4
menegaskan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa adalah sengketa perdata dan bukan sengketa yang
termasuk dalam kategori hukum publik. Dalam Pasal 2 UU Nomor 30 Tahun
1999 disebutkan mengenai objek sengketa yang dapat diselesaikan melalui jalur
arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa yaitu sengketa perdata.1
Dari ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 30 Tahun 1999 dapat dipahami
beberapa hal antara lain :
(1) Objek sengketa yang dapat diselesaikan dengan arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa adalah sengketa perdata dan sengketa yang tidak
dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut undang-
undang tidak dapat diadakan perdamaian.
(2) Sengketa tersebut baru dapat diselesaikan melalui arbitrase bila dalam
perjanjian pokok tertulis secara tegas menyatakan bahwa bila terjadi
sengketa atau beda pendapat timbul atau mungkin timbul dari suatu
hubungan hukum akan diselesaikan melalui arbitrase.
1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
5
menempatkan mediasi sebagai bagian dari proses penyelesaian perkara yang
diajukan para pihak ke pengadilan. Hakim tidak secara langsung menyelesaikan
sengketa melalui proses peradilan (litigasi), tetapi harus terlebih dahulu
diupayakan mediasi (non-litigasi). Mediasi menjadi suatu kewajiban yang harus
ditempuh hakim dalam memutus perkara di pengadilan.
Kemudian pada tahun 2016, Mahkamah Agung baru saja menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan. PERMA ini hadir sebagai usaha menutup celah timbulnya
sebab-sebab gagalnya proses mediasi yang dilakukan.
B. Pembeda Perma No. 1 Tahun 2008 dengan Perma No. 1 Tahun 2016
Pembeda antara Perma No.1 Tahun 2008 dengan Perma No. 1 Tahun 2016 yakni :
2
PERMA RI Nomor : 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
6
Pada PERMA No. 1 Tahun 2016, jangka waktu penyelesaian mediasi lebih
singkat dari 40 hari menjadi 30 hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan
Mediasi. Sebagaimana bunyi pasalnya:
BAB V
TAHAPAN PROSES MEDIASI
Bagian Kesatu
Penyerahan Resume Perkara dan Jangka Waktu Proses Mediasi
Pasal 24
....
(2) Proses Mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
penetapan perintah melakukan Mediasi.
(3) Atas dasar kesepakatan Para Pihak, jangka waktu Mediasi dapat
diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berakhir
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).3
3
PERMA RI Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
7
(2) Kehadiran Para Pihak melalui komunikasi audio visual jarak jauh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dianggap sebagai kehadiran
langsung.
(3) Ketidakhadiran Para Pihak secara langsung dalam proses Mediasi hanya
dapat dilakukan berdasarkan alasan sah.
(4) Alasan sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi antara lain:
a. kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan
Mediasi berdasarkan surat keterangan dokter;
b. di bawah pengampuan;
c. mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau
d. menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak
dapat ditinggalkan.
4
PERMA RI Nomor 1 Tahun 2016...
8
e. tidak menandatangani konsep Kesepakatan Perdamaian yang telah
disepakati tanpa alasan sah.
4. Pengecualian Perkara
Pengecualian perkara yang bisa dimediasi pada PERMA nomor 1 / 2016
lebih luas daripada PERMA sebelumnya yakni semua jenis perkara perdata,
kecuali perkara Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, keberatan
9
atas keputusan KPPU, BPSK, sengketa parpol, permohonan pembatalan putusan
arbitrase, perkara gugatan sederhana, dan lain-lain, sebagaimana yang dijelaskan
pada Pasal 4. Dalam PERMA nomor 1/ 2008 sebelumnya tidak menyebutkan
sengketa parpol, permohonan pembatalan putusan arbitrase, perkara gugatan
sederhana sebagaimana dalam pasal yang sama (pasal 4).
5. Kesepakatan Sebagian
Hal baru lainnya dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016 ini adalah pengaturan
mengenai kesepakatan sebagian yang sebelumnya tidak diatur dalam PERMA
nomor 1 Tahun 2008. Adapun hal penting pada kesepakatan sebagian itu
diantaranya:
a. Kesepakatan sebagian pihak yang bersengketa
Maksud dari kesepakatan sebagian pihak yang bersengketa adalah
kesepakatan antara sebagian pihak baik penggugat ataupun Tergugat yang
berperkara di tahapan mediasi. Dengan adanya sebagian pihak yang sudah
mencapai kesepakatan di tahapan mediasi, maka pihak yang telah bersepakat itu
dapat menyelesaikan perkara melalui suatu kesepakatan perdamaian.
Dalam hal proses mediasi mencapai kesepakatan antara penggugat dan
sebagian pihak tergugat, berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun
2006, penggugat mengubah gugatan dengan tidak lagi mengajukan pihak tergugat
yang tidak mencapai kesepakatan sebagai pihak lawan. Selanjutnya, terhadap para
pihak (tergugat) yang tidak mencapai kesepakatan damai tersebut, penggugat
dapat mengajukan kembali gugatan terhadap pihak tersebut.
Mengapa penggugat harus mengajukan kembali gugatan secara terpisah
terhadap tergugat yang tidak mencapai kesepakatan damai? Hal ini didasarkan
pada pemikiran bahwa apabila gugatan diteruskan, maka posita dan petitum
gugatan sudah berubah sedemikian rupa terhadap tergugat yang tidak mencapai
kesepakatan damai tersebut. Sedangkan untuk merubah gugatan, penggugat akan
terbentur dengan ketentuan Pasal 127 Rv yang pada pokoknya menyatakan
perubahan gugatan hanya bisa dilakukan terhadap tuntutan tanpa mengubah atau
10
menambah pokok gugatan. Selain itu, perubahan gugatan juga mengharuskan
adanya persetujuan tergugat.
Sebaliknya terhadap pihak tergugat yang telah mencapai kesepakatan
damai dengan penggugat, maka perkaranya diteruskan dengan membuat
kesepakatan perdamaian yang dapat dikuatkan dengan Akta Perdamaian.
11
BAB III
KESIMPULAN
12
misalnya penggugat hanya sepakat sebagian para tergugat atau sebagian
objek sengketanya.
5. Pengecualian perkara yang dimediasikan lebih luas daripada sebelumnya
yakni semua jenis perkara perdata, kecuali perkara Pengadilan Niaga,
Pengadilan Hubungan Industrial, keberatan atas putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Komisi
Informasi, permohonan pembatalan putusan arbitrase, penyelesaian
perselisihan partai politik, dan lain-lain (Pasal 4 ayat (2) Perma Nomor 1
Tahun 2016).
13
DAFTAR PUSTAKA
https://mmokoginta.wordpress.com/2017/03/14/matriks-perkembangan-
pengaturan-mediasi-di-pengadilan/
https://www.abnp.co.id/news/harapan-optimalisasi-proses-mediasi-pasca-
perma-nomor-1-tahun-2016
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/7829/SKRIPSI%20
LENGKAP-ACARA-NURUL%20FADHILLAH.pdf;sequence=1
https://www.academia.edu/people/search?utf8=%E2%9C%93&q=perma+no.1
+tahun+2008