Anda di halaman 1dari 6

EFEKTIVITAS MEDIASI PASCA PERMA NO.

1 TAHUN 2016
TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN

(Studi Kasus di Pengadilan Agama Kelas I-A Semarang)

Dosen Pengampu :

Disusun oleh : Ummu Zahratun Nabila

NPM : 181105020029

AHWAL AL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR

2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan Rahmatnya
sehingga kami dapat merasakan menuntut ilmu di Universitas Ibnu Khaldun Bogor dan kami
dapat membuat makalah mata kuliah Peradilan Islam. Sholawat serta salam kami ucapkan
kepada baginda Rasulullah SAW yang selalu membawa kabar gembira untuk kita semua dan
semoga kita mendapatkan syafa'atnya di hari akhir nanti. Dan kami juga berterima kasih kepada
seluruh pihak yang membantu pembuatan makalah ini, sehingga makalah ini dapat selesai
dengan baik.

Dengan seluruh kerendahan hati kami meminta kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca makalah kami yang masih banyak memiliki kekurangan, semoga dengan adanya
makalah dari kami dapat bermanfaat bagi kami penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Aamiin. cukup sekian pengantar dari kami, mohon maaf jika ada salah salah penulisan karena
kesempurnaan hanya milik Allah semata. Terima Kasih.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi, tetapi juga melalui proses
musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya mediasi ke dalam sistem
peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan para pihak yang
bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas sengketa
mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah yang
disebut mediator. Meskipun jika kenyataanya mereka telah menempuh proses musyawarah
mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke Pengadilan, Mahkamah Agung tetap
menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak menempuh upaya perdamaian yang dibantu
oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu HIR dan RBg.,
mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses memutus
dimulai, tetapi juga karena pandangan bahan penyelesaian yang lebih baik dan memuaskan
adalah proses penyelesaian yang diberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama
mencari dan menemukan hasil akhir.1

Tahap pertama yang dilakukan hakim dalam menyidangkan suatu perkara yang diajukan kepadanya
adalah mengadakan perdamaian kepada pihak-pihak yang bersengketa. Peran mendamaikan pihak-
pihak yang bersengketa itu lebih utama dari fungsi hakim yang menjatuhkan putusan terhadap suatu
perkara yang diadilinya. Apabila perdamaian dapat dilaksanakan, maka hal itu jauh lebih baik dalam
mengakhiri suatu sengketa. Usaha untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara merupakan
prioritas utama dan dipandang adil dalam mengakhiri suatu sengketa, sebab mendamaikan itu dapat
berakhir dengan tidak terdapat siapa yang kalah dan siapa yang menang, tetap terwujudnya
kekeluargaan dan kerukunan. Jika tidak berhasil didamaikan oleh hakim, maka barulah proses
pemeriksaan perkara dilanjutkan.2
Secara umum mediasi dapat diartikan upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan
bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi
para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana
keterbukaaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat pihak dengan kesepakatan
bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi
para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana
keterbukaaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.3
Mediasi dalam literature hukum Islam dapat dipersamakan dengan Tahkim yang secara etimologis
berarti menjadikan seseorang atau pihak ketiga yang disebut hakam sebagai penengah suatu sengketa.
Al-Qur’an menganjurkan kepada manusia agar dapat menyelesaikan sengketa dengan musyawarah.4

Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah pada surat an-Nisa’ ayat 35 :

‘’Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang
hakam dari keluarga laki-laki, dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri
itu.Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Mahamengenal.” (QS. an-Nisaa’:35).5

atau sengketa yang terjadi antara manusia cukup luas dimensi dan ruang lingkupnya. Konflik
dan sengketa dapat saja terjadi dalam wilayah publik maupun wilayah privat. Ketentuan
mengenai mediasi di Pengadilan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2003
tentang prosedur mediasi di Pengadilan. Perma ini menetapkan mediasi sebagai bagian dari
proses penyelesaian perkara yang diajukan para pihak ke Pengadilan. Hakim tidak secara
langsung menyelesaikan perkara melalui proses peradilan ( non litigasi ). Mediasi menjadi suatu
kewajiban yang harus ditempuh hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan.6

Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2003 menjadikan mediasi sebagai bagian dari
proses beracara pada pengadilan. Ia menjadi bagian integral dalam penyelesaian sengketa di
pengadilan. Mediasi pada pengadilan memperkuat upaya damai sebagaimana yang tertuang
dalam hukum acara Pasal 130 HIR atau Pasal 154 R.Bg. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 Perma
No. 2 Tahun 2003, yaitu semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama
wajib untuk terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator.7
Perma No. 2 Tahun 2003 karena ditemukan permasalahan yang bersumber dalam Perma
tersebut. Diantaranya terkait Hakim yang memeriksa perkara baik sebagai ketua majelis atau
anggota majelis, dilarang bertindak sebagai mediator bagi perkara yang bersangkutan (Pasal 4
ayat 4).8

hukum acara perdata (Pasal 130 HIR) secara jelas menyebut sebelum mulai memeriksa
perkara, hakim pemeriksa perkara diperintahkan terlebih dahulu melakukan mediasi
(perdamaian). Mediasi hanya terbatas pada pengadilan tingkat pertama (Pasal 2 ayat 1). Tidak
diatur mengenai kewenangan mediator untuk menyatakan mediasi. Berdasarkan hasil
pemantauan pelaksanaan sejak periode berlakunya Perma No. 2 Tahun 2003, September 2003
hingga Desember 2004 pada tempat pengadilan tingkat pertama. Laporan IICT (Indonesian
Institute For Conflict Transformation) memperlihatkan bahwa tingkat keberhasilan mediasi
sangat rendah, yaitu kurang dari 10% dari jumlah perkara yang masuk.9

diadakan evaluasi atas pelaksanaan Perma No. 2 tahun 2003, Mahkamah Agung mengadakan
penyempurnaan Perma No. 2 Tahun 2003 tersebut dengan lahirnya Perma No. 1 Tahun 2008.10

Ada banyak perubahan dan perbedaan Perma No. 2 tahun 2003 dengan Perma No. 1 tahun
2008. Diantaranya terkait proses mediasi di Pengadilan berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2008
dapat dilakukan pada semua tingkat pengadilan dalam lingkupan Peradilan Umum dan
Peradilan Agama. Hakim majelis pemeriksa perkara dapat menjadi mediator (Pasal 8 ayat 1
huruf d). Diatur mengenai keterlibatan ahli dalam proses mediasi untuk memberikan
penjelasan dan pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat
diantara para pihak dengan persetujuan para pihak atas ketentuan kekuatan mengikat atau
tidak mengikatnya penjelasan dan penilaian ahli tersebut dan dengan biaya yang ditanggung
oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. (Pasal 16 ayat (1), (2) dan (3). Adanya kewajiban
iktikad baik dalam proses mediasi dan dimungkinkan bagi para pihak untuk melakukan mediasi
secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi (Pasal 13 ayat 6). Mediator mempunyai
kewenangan untuk membatasi mediasi yang melibatkan aset atau harta kekakayaan atau
kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat
gugatan sehingga para pihak yang dihadirkan dalam proses mediasi tidak lengkap. (Pasal 14
ayat (2).11

Anda mungkin juga menyukai