Anda di halaman 1dari 13

UPAYA PERDAMAIAN DI PERADILAN AGAMA

DISUSUN OLEH:
JINI PUTRI UTAMI

DOSEN PENGAMPU
Dr.ARNE,SAg,M.Hum

PROGRAM STUDY HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN FATAH
PALEMBANG 2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................I
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
a. Latar Belakang.................................................................................................................1
b. Rumusan Masalah............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
a. Pengertian Upaya Perdamaian.........................................................................................3
b. landasan Hukum Upaya Perdamaian...............................................................................4
c. Latar Belakang dan Keuntungan Upaya Peradilan di Peradilan Agama.........................5
d. Upaya Perdamaian di Peradilan Agama..........................................................................8
BAB III PENUTUP...........................................................................................................10
a. Kesimpulan......................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................12

I
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah zoon politicon, yakni makhluk yang tidak dapat melepaskan
diri dari berinteraksi satu sama lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam
melakukan hubungan dengan manusia lain sudah pasti ada persamaan dan perbedaan
dalam kepentingan. Perbedaan ini dapat melahirkan perselisihan, pertentangan
(conflict), atau dispute. Pertentangan atau konflik dapat dimaknai sebagai suatu
kondisi di mana pihak yang satu menghendaki agar pihak yang lain berbuat atau tidak
berbuat sesuai dengan keinginannya, tetapi pihak lain menolak keinginan itu. Konflik
jika dibiarkan saja dapat mengganggu keharmonisan interaksi sosial, keamanan, atau
bahkan perdamaian. Oleh karena itu, setiap adanya konflik membutuhkan
penyelesaian, baik melalui pengadilan (litigasi) maupun melalui penyelesaian di luar
pengadilan (non litigasi). Salah satu tempat untuk menyelesaikan konflik adalah
Peradilan Agama.
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana
dimaksud undang-undang. Peradilan Agama merupakan salah satu lembaga peradilan
di bawah Mahkamah Agung. Peradilan Agama diatur dalam UU No. 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No.
50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989. Peradilan
Agama merupakan salah satu di antara peradilan khusus di Indonesia. Dua peradilan
khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan
peradilan khusus karena Peradilan Agama mengadli perkara-perkara tertentu atau
mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini, peradilan agama hanya berwenang
di bidang perdata tertentu saja, tidak termasuk bidang pidana dan hanya untuk orang-
orang beragama Islam di Indonesia (yang dimaksud orang beragama Islam di sini
adalah orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan

1
suka rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan
Agama).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud upaya perdamaian?
2. Apa landasan hukum upaya perdamaian?
3. Apa latar belakang dan keuntungan upaya perdamaian di peradilan agama?
4. Bagaimana upaya perdamain di peradilan agama?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Upaya Perdamaian


Kata “upaya” diartikan sebagai usaha; ikhtiar untuk mencapai suatu maksud,
memecahkan persoalan, mencari jalan keluar, dan sebagainya. Kata “perdamaian”
berasal dari akar kata “damai” yang berarti “tidak ada perang, aman, tenteram,
tenang, keadaan tidak bermusuhan, dan rukun.” Sementara kata “perdamaian” sendiri
berarti penghentian permusuhan/perselisihan.Upaya perdamaian dalam peradilan
sering disebut mediasi. Upaya perdamaian (mediasi) adalah cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak
dengan dibantu oleh Mediator. Mediasi merupakan proses perundingan pemecahan
masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja
dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan
perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak
mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Namun dalam
hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka
menyelesaikan masalah di antara mereka. Asumsinya bahwa pihak ketiga akan
mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara
mempengaruhi tingkah laku pribadi para pihak dengan memberikan pengetahuan atau

2
informasi yang lebih efektif. Dengan demikian, mediator dapat membantu para pihak
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dipersengketakan.
Dalam ajaran Islam istilah mediasi dikenal dengan istilah ishlah (damai).
Ishlah adalah memutuskan suatu persengketaan, sedangkan menurut istilah syarak
ishlah adalah suatu akad dengan maksud mengakhiri suatu persengketaan antara dua
orang. Yang dimaksud di sini adalah mengakhiri suatu persengketaan dengan
perdamaian karena Allah mencintai perdamaian.
Sebagai landasan, ishlah disampaikan oleh Allah dalam Al-Quran, surah al-
Nisa (4): 35 yang artinya, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” Selain itu, terdapat juga landasannya dalam
Hadits yang diriwayatkan oleh al-Turmudz. “Perdamaian itu boleh diadakan
dilakukan di antara sesama muslim kecuali perdamian yang diharamkan yang halal
dan menghalalkan yang haram1.”
Dari penjelasan-penjelasan di atas, setidaknya terdapat unsur-unsur mediasi,
yaitu para pihak yang bersengketa, permasalahan yang disengketakan, pihak netral
yang menjadi penengah, teknik penyelesaian, dan tujuan penyelesaian. Dari sini dapat
dinyatakan mediasi sesungguhnya merupakan proses penyelesaian sengketa secara
netral oleh pihak ketiga yang dilakukan dalam suasana komunikasi terbuka, tidak
berpihak, jujur dan tukar pendapat untuk mencapai kata mufakat. Nampak jelas
bahwa esensi mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang difasilitasi oleh
seorang fasilitator yang disebut juga dengan mediator guna sebuah penyelesaian
dengan jalan damai.

B. Landasana Hukum Upaya Perdamaian

1
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 7.

3
Landasan yuridis mengenai upaya perdamaian (mediasi) terdapat dalam perundang-
undangan sebagai berikut:
1. HIR pasal 130 (Pasal 154 RBg.=Pasal 31 Rv). 31
2. UU No. 1/1974 Pasal 39, UU No. 3/2006 Pasal 65, KHI Pasal 115, 131 (2), 143 (1-
2), 144, dan PP No. 9/1975 Pasal 32.
3. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1/2002 tentang pemberdayaan
pengadilan tingkat pertama menerapkan lembaga damai.
4. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2/2003. PERMA ini sebagai pengganti
dari SEMA No. 1/2002. PERMA ini dikeluarkan MA pada tanggal 11 September
2003.
5. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1/2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.
5. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan2.

C. Latar Belakang dan Keuntungan Upaya Perdamaian di Peradilan Agama


1. Latar Belakang Upaya Perdamaian di Peradilan Agama
Pemberlakuan mediasi dalam sitem peradilan agama ditetapkan melalui
Perma No. 1 Tahun 2008. Kemudian diperbaharui lagi dengan Perma No. 1 Tahun
2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Perma tersebut lahir didasarkan atas
beberapa latar belakang:

 Proses mediasi untuk mengatasi penumpukan perkaraJika para pihak dapat


menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah perkara yang
harus diperiksa oleh hakim akan berkurang sehingga akhirnya semua perkara tidak
bermuara ke Mahkamah Agung yang mengakibatkan penumpukkan perkara.

2
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama: Dilengkapi Contoh Surat-Surat
dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan, (Bandung: CV Mandar Maju, 2018), hlm. 8.

4
 Proses mediasi untuk penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murahPenyelesaian
perkara perdata melalui litigasi pada umumnya adalah lambat dan memakan waktu
bertahun-tahun sehingga terjadi pemborosan waktu (waste of time) yang
menyebabkan biaya perkara sangat mahal dan proses pemeriksanaannya bersifat
sangat formal (formalistic) dan teknis (technically).
 Pemberlakuan mediasi memperluas akses untuk memperoleh rasa keadilanRasa
keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi, tetapi juga melalui
proses musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya mediasi ke
dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan para
pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan
penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang
dibantu oleh seseorang mediator.
 Institusionalisasi mediasi memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga
pengadilanJika pada masa-masa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol
adalah fungsi memutus, dengan diberlakukannya Perma tentang mediasi diharapkan
fungsi mendamaikan atau memediasi dapat berjalan seiring dan seimbang dengan
fungsi memutus.
 Trend penyelesaian hukum di berbagai negara di duniaJepang, Amerika, dan
Singapura merupakan sebuah negara yang telah berhasil melembagakan upaya
perdamaian ke dalam sistem peradilan negara. Dari pengalaman ini memberikan
inspirasi bagi Mahkamah Agung untuk mengadopsi beberapa konsep atau pendekatan
upaya perdamaian dalam sistem hukum Jepang untuk dituangkan ke dalam PERMA
No. 1 Tahun 2008 tentang prosesdur mediasi di pengadilah setelah memperhatikan
secara mendalam peluang-peluang yang dimungkinkan oleh sistem hukum
Indonesia3.Ketetapan tentang upaya damai dalam peraturan perundang-
undanganSecara historis yuridis, praktik mediasi di lembaga peradilan sudah
berlangsung sejak lama. Dalam tinjauan sejarah peradilan di Indonesia, penyelesaian

3
Ramdani Wahyu Sururie, “Implementasi Mediasi dalam Sistem Peradilan Agama”, Ijtihad:
Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Vol. 12, No. 2, 2012, hlm. 150.

5
sengketa melalui upaya damai atau dikenal dengan istilah dading telah diatur dalam
pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg dan UU No. 1 tahun 1974 Pasal 39, UU No. 3 tahun
2006 Pasal 65, KHI Pasal 115, 131 (2), 143 (1-2), 144, dan PP No. 9 tahun 1975
Pasal 32. Ketentuan inilah yang menjadi celah untuk menyusun Perma tentang
mediasi.

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang gemar menyelesaikan


masalahnya dengan cara damai. Indikatornya adalah masyarakat selalu menempatkan
tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk membantu menyelesaikan masalah yang
dihadapi oleh masyarakat. Tempat penyelesaian dengan cara damai ini dilakukan di
balai pertemuan desa atau di rumah tokoh tersebut yang dihadiri oleh orang-orang
penting setempat. Sedangkan bagi masyarakat Muslim, penyelesaian masalah dengan
cara damai (iṣlāḥ) dilakukan di serambi-serambi masjid, yang kemudian dikenal
dengan Pengadilan Agama. Dalam masyarakat adat dikenal beberapa upaya damai
dalam penyelesaian sengketa di masyarakat. Bagi masyarakat Aceh, penyelesaian
sengketa dengan cara damai dikenal dengan istilah Dong Teungoh yang artinya
penengah. Masyarakat Bali menggunakan sangkepan (artinya rapat) untuk
penyelesaian sengketa dengan cara damai. Pengertian rapat ini menunjukkan bahwa
masalah yang dihadapi atau disengketakan harus dimusyawarahkan. Sengketa ini
tidak hanya perkara perdata saja, namun juga perkara pidana (kriminal). Pada
masyarakat Batak Karo dikenal penyelesaian sengketa melalui runggun, yang artinya
bersidang atau berunding. Masyarakat Karo menganggap bahwa masalah yang
muncul di masyarakat merupakan masalah bersama, masalah keluarga, dan masalah
kerabat. Jika ada orang yang bermasalah, maka hakikatnya itu menjadi masalah
bersama. Pada masyarakat Dayak Taman (Kalimantan Barat), penyelesaian cara
damai dikenal dengan istilah ”Lembaga Musyawarah Kombong”. Setiap masalah
yang muncul hampir selalu diselesaikan melalui lembaga ini, dan tidak perlu sampai
ke pengadilan formal. Jika penyelesaian adat itu telah selesai, maka hasil
kesepakatnnya harus diurus berdasarkan adat lingkungan yang bersangkutan.

6
2. Keuntungan Upaya Perdamaian (Mediasi) di Peradilan Agama
Secara teoritis, penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui mediasi
dipandang memiliki berbagai keuntungan yaitu: 1) Untuk mengurangi kemacetan dan
penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan. Banyaknya kasus yang
diajukan ke pengadilan menyebabkan proses berperkara seringkali berkepanjangan
dan memakan biaya yang tinggi serta sering memberikan hasil yang kurang
memuaskan; 2) Untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat (desentralisasi hukum)
atau memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian
sengketa; 3) Untuk memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat; 4)
Untuk memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang
menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak sehingga para pihak
tidak menempuh upaya banding dan kasasi; 5) Penyelesaian perkara lebih cepat dan
biaya murah; 6) Bersifat tertutup/rahasia (confidential); 7) Lebih tinggi tingkat
kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, sehingga hubungan pihak-pihak
bersengketa di masa depan masih dimungkinkan terjalin dengan baik.

D. Upaya Perdamaian di Peradilan Agama


Ketentuan mengenai Prosedur Mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung
No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan berlaku dalam proses
berperkara di Pengadilan baik dalam lingkungan peradilan umum maupun peradilan
agama. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 2 ayat 1 Perma No. 1/2016. Perma ini
juga menyatakan bahwa setiap Hakim, Mediator, Para Pihak dan/atau kuasa hukum
wajib mengikuti prosedur penyelesaian perkara melalui mediasi. Bahkan, bagi Hakim
Pemeriksa Perkara yang tidak memerintahkan Para Pihak untuk menempuh mediasi
dinyatakan telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Upaya perdamaian di Peradilan Agama yang biasa disebut mediasi dilakukan
pada tahap pemeriksaan permohonan/gugatan. Dalam pemeriksaan perkara di
pengadilan akan disampaikan ilustrasi upaya perdamaian (mediasi) sebagai berikut:

7
1. Apabila penggugat dan tergugat hadir maka mula-mula majelis hakim memasuki
ruang persidangan diikuti panitera sidang. Ketua majelis memanggil para pihak
untuk masuk ke persidangan dan ketua majelis membuka persidangan dengan
menyatakan Sidang dibuka dan terbuka untuk umum”, jika sidang terbuka untuk
umum dan menyatakan “Sidang dibuka dan tertutup untuk umum”, jika sidang
tertutup4.
2. Hakim menanyakan identitas para pihak baik penggugat maupun tergugat.
3. Hakim mengupayakan perdamaian kepada para pihak kemudian menunda sidang
untuk memberi kesempatan kepada para pihak mengupayakan perdamaian dengan
menetapkan hari sidang dan memerintahkan yang hadir untuk hadir dalam sidang
berikutnya tanpa dipanggil.
4. Para pihak diperintahkan untuk menunjuk mediator yang disepakati. Hakim
menetapkan mediator yang telah disepakati para pihak dengan surat penetapan dan
memerintahkan agar para pihak melakukan proses mediasi melalui mediator yang
telah ditunjuk.
5. Apabila tercapai perdamaian, maka dibuat akta perdamaian yang kekuatan
hukumnya sama dengan keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
sehingga dapat dilaksanakan eksekusi. Terhadap putusan perdamaian tidak dapat
dilakukan upaya hukum.
6. Apabila mediasi gagal, mediator menyatakan secara tertulis bahwa mediasi gagal
dan memberitahukan kegagalan mediasi serta menyerahkan perkara kepada hakim
pemeriksa.
7. Hakim pemeriksa perkara menetapkan sidang berikutnya dengan acara pembacaan
gugatan dan memerintahkan pihak yang hadir untuk datang di persidangan tanpa
dipanggil dan pihak yang tidak hadir dipanggil dengan surat (relaas) panggilan.

4
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hlm. 139-140.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasakan pembahasan sebagaimana tersebut di atas maka penulis memberikan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Upaya perdamaian atau mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
Mediator yang yang dilakukan dalam suasana komunikasi terbuka, tidak berpihak,
jujur dan tukar pendapat untuk mencapai kata mufakat.

2. Landasan yuridis mengenai upaya perdamaian atau mediasi terdapat dalam


perundang-undangan, di antaranya sebagai berikut: HIR pasal 130 (Pasal 154
RBg.=Pasal 31 Rv). 31; UU No. 1/1974 Pasal 39, UU No. 3/2006 Pasal 65, KHI
Pasal 115, 131 (2), 143 (1-2), 144, dan PP No. 9/1975 Pasal 32; Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) No. 1/2002 tentang pemberdayaan pengadilan tingkat
pertama menerapkan lembaga damai; Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.
2/2003 sebagai pengganti dari SEMA No. 1/2002; Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) No. 1/2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan; dan Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.

3. Latar belakang upaya perdamaian di peradilan agama antara lain adalah proses
mediasi untuk mengatasi penumpukan perkara, proses mediasi untuk penyelesaian
sengketa yang lebih cepat dan murah, pemberlakuan mediasi memperluas akses
untuk memperoleh rasa keadilan, institusionalisasi mediasi memperkuat dan

9
memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan, trend penyelesaian hukum di berbagai
negara di dunia, dan ketetapan tentang upaya damai dalam peraturan perundang-
undangan. Sementara keuntungan dari upaya perdamaian/mediasai yaitu: untuk
mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan,
untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat (desentralisasi hukum) atau
memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian
sengketa, untuk memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat;
untuk memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang
menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak sehingga para pihak
tidak menempuh upaya banding dan kasasi, penyelesaian perkara lebih cepat dan
biaya murah, bersifat tertutup/rahasia (confidential), dan lebih tinggi tingkat
kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, sehingga hubungan pihak-pihak
bersengketa di masa depan masih dimungkinkan terjalin dengan baik.

4. Upaya perdamaian di Peradilan Agama dilakukan pada tahap pemeriksaan


permohonan/gugatan. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut: setelah ketua
majelis hakim membuka persidangan dan hakim menanyakan identitas para pihak,
selanjutnya hakim mengupayakan perdamaian dengan memerintahkan para pihak
untuk menunjuk mediator yang disepakati. Setelah itu para pihak melakukan proses
mediasi melalui mediator yang telah ditunjuk. Jika tercapai perdamaian, maka
dibuat akta perdamaian yang kekuatan hukumnya sama dengan keputusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga dapat dilaksanakan eksekusi dan
tidak bisa dilakukan upaya hukum. Apabila mediasi gagal, mediator menyatakan
secara tertulis bahwa mediasi gagal dan memberitahukan kegagalan mediasi serta
menyerahkan perkara kepada hakim pemeriksa.

10
DAFTAR PUSTAKA

Djalil, A. Basiq. 2006. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana.


Muhammad, Abdulkadir. 2008. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Sururie, Ramdani Wahyu. 2012. “Implementasi Mediasi dalam Sistem Peradilan
Agama”. Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan. Vol. 12,
No. 2.
Wahyudi, Abdullah Tri. 2004. Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ulum, Bahrul, Hermanto Harun dan Nural Faizah. 2016. “Implementasi PERMA No.
1 Tahun 2008 tentang Mediasi di Pengadilan Agama Jambi dan Implikasinya
pada Perkara Cerai Gugat”. Al-‘Adalah, Vol. XIII No. 1.
Wahyudi, Abdullah Tri. 2018. Hukum Acara Peradilan Agama: Dilengkapi Contoh
Surat-Surat dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan. Bandung: CV
Mandar Maju.

11

Anda mungkin juga menyukai