Anda di halaman 1dari 13

Urgensi Mediasi dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama

Disusun dalam rangka memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Hukum Acara
Peradilan Agama kelas C

Dosen Pengampu: Itok Dwi Kurniawan, S.H., M.H.

Disusun Oleh:

1. Arum Puspita Seno Putri (E0018069)

2. R Muhammad Rastra Karwita Prastadana (E0018320)

3. Theodore P Z M G Sibarani (E0018386)

4. Yusuf Lomi (E0018422)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2021
DAFTAR ISI

Halaman Judul

Daftar Isi.........................................................................................................................................1

Bab I : Pendahuluan......................................................................................................................2

A. Latar Belakang.....................................................................................................................2
B. Rumusan Masalah................................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................................4

Bab II : Pembahasan......................................................................................................................5

Urgensi Mediasi dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama..................................................5

Bab III : Penutup...........................................................................................................................9

A. Kesimpulan..........................................................................................................................9
B. Saran....................................................................................................................................9

Daftar Pustaka.............................................................................................................................11

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hukum Acara merupakan serangkaian aturan yang mengatur tentang tata cara suatu
persidangan. Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara merupakan rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka
pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk
menjalankan suatu peraturan-peraturan hukum. Berdasar pengertian-pengertian di atas,
dapat simpulkan bahwa Hukum Acara merupakan hukum prosedur dan atau hukum formil,
dan bukan hukum materiil. Di Indonesia terdapat beberapa praktek persidangan, antara lain
Praktek Persidangan Perdata, Praktek Persidangan Pidana, Praktek Persidangan Tata Usaha
Negara, serta Praktek Persidangan Agama. Meskipun dalam masing-masing peradilan
maupun persidangan sudah mempunyai aturan khusus, namun pada umumnya hukum acara
memiliki satu unsur dan tujuan yang sama. Unsur dan tujuan yang sama ialah untuk
memastikan hukum ditegakkan secara adil dan semestinya, serta pada umumnya praktek
peradilan di bidang manapun memuat dan mengatur tata cara pendakwaan, pemberitahuan,
pembuktian, serta pengujian hukum materiil.

Peradilan Agama termasuk kedalam peradilan khusus di Indonesia karena dalam


Peradilan ini mengadili perkara-perkara tertentu dan perkara perkara khusus golongan
tertentu saja. Selain Peradilan Agama, peradilan khusus di Indonesia lainnya yaitu
Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara. Meskipun Peradilan Agama termasuk kedalam
peradilan khusus, lebih lanjut dalam proses di peradilan ini mengadili masalah maupun
sengketa perdata khususnya perdata Islam. Sehingga, sebenarnya Peradilan Agama juga
masuk kedalam praktik peradilan Perdata namun dikhususkan untuk masyarakat Islam.
Penarikan Peradilan Agama menjadi sub Hukum Acara Perdata bukan tanpa sebab. Dalam
UU No 7 Tahun 1989 pasal 54 jo UU No 3 Tahun 2006, dituliskan bahwa hukum acara
yang berlaku pada pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara

2
Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali telah
diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.

Salah satu permasalahan ataupun sengketa yang ditangani oleh Pengadilan Agama
yaitu Masalah Perceraian. Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya ikatan
perkawinan diluar sebab atas kematian dan atau atas sebab keluarnya putusan pengadilan
seperti yang tertulis dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Di Indonesia sendiri, sekarang kasus perceraian mengalami peningkatan dan
beragam. Terdapat perceraian atas pasangan suami dan istri yang sudah menikah lama, dan
ada juga ditemukan perceraian atas pasangan suami dan istri yang baru melakukan
pernikahan. Perceraian bisa diajukan oleh pihak suami atau isteri. Namun, dalam
Perceraian Islam, perceraian hanya dapat diajukan oleh pihak suami. Dasar hukum
pasangan suami dan isteri yang beragama Islam untuk melakukan perceraian yaitu tertulis
dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam KHI, perceraian dalam Islam
dikenal dengan dua istilah, yaitu cerai talak dan cerai gugat, yang berbunyi, “Putusnya
Perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan
gugatan perceraian”. Seorang suami Muslim yang telah menikah secara Islam dan berniat
menceriakan isterinya, terlebih dahulu mengajukan surat pemberitahauan dengan maksud
untuk menceriakan isterinya dan harus disertai dengan alasan-alasan. Dalam Hukum Islam,
upaya ini (perceraian) ditempuh sebagai upaya terakhir jka dalam mediasi tidak menemui
titik terang. Sebab, dalam Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam, lebih lanjut dituliskan bahwa
perceraian dapat dilakukan setelah Pengadilan Agama berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. Sehingga sebelum diajukannya permasalahan ini
kepengadilan, pasangan Suami dan Isteri yang beragama Muslim melalui mediasi dengan
mediator yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama.

Oleh karena itu, atas dasar tersebut kami menuliskan makalah yang dengan judul
“Urgensi Mediasi dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama”. Makalah ini
bertujuan untuk menguraikan serta menjelaskan seberapa penting upaya mediasi yang
dilakukan dalam Perceraian Pasangan Muslim yang diharapkan kedepannnya tidak dibawa
kedalam Persidangan di Pengadilan Agama. Serta, dengan dilakukannya upaya mediasi

3
dapat mengurangi angka serta kasus perceraian, terutama dalam Perceraian untuk Pasangan
Muslim.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana urgensi mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui urgensi mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama.

4
BAB II

PEMBAHASAN

URGENSI MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN


AGAMA

Perkawinan merupakan perwujudan dari naluri sifat manusia, Allah secara tegas
mengintrodusir ciptaan-Nya dalam Al Qur’an dengan berpasang-pasangan, dan berjodoh-jodoh.
Untuk terwujudnya hidup berpasang-pasangan tersebut, maka perlu aturan yang disebut hukum
perkawinan (Baharuddin Ahmad, 2008: 4). Tujuan perkawinan adalah menurut perintah Allah
untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga
yang damai dan teratur. Seorang pria dan seorang wanita yang terikat dalam suatu perkawinan
sebagai suami istri mempunyai hak untuk memutuskan perkawinan melalui cara perceraian
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Pengaturan hukum perceraian di Indonesia tertuang
dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan telah
dijabarkan dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 serta Pasal 20 sampai dengan Pasal 36
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat PP No. 9
Tahun 1975) dan Bab XVI Pasal 113 sampai dengan Pasal 148 Kompilasi Hukum Islam.
Perceraian dapat diajukan ke pengadilan apabila terdapat cukup alasan bahwa suami istri tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami istri sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 39 ayat (2)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974.

Mediasi merupakan salah satu instrumen efektif penyelesaian sengketa nonlitigasi yang
memiliki banyak manfaat dan keuntungan. Manfaat dan keuntungan menggunakan jalur mediasi
antara lain adalah bahwa sengketa dapat diselesaikan dengan win-win solution, waktu yang
digunakan tidak berkepanjangan, biaya lebih ringan, tetap terpeliharanya hubungan antara dua
orang yang bersengketa dan terhindarkannya persoalan mereka dari publikasi yang berlebihan. 1

Sedangkan mediasi khususnya dalam bidang perkawinan dalam Islam dilakukan dengan bantuan
ḥakamayn yang ditunjuk dari kerabat kedua belah pihak sebagaimana surah al-Nisā’ [4] ayat 35.
1
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 2001,
Hlm 271.

5
Ayat ini menjelaskan bahwa peran dan fungsi ḥakam dalam peradilan Islam artinya juru damai,
yakni juru damai yang dikirim oleh dua belah pihak suami dan istri apabila terjadi perselisihan
antara keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah di antara kedua
suami istri tersebut.2 Penyelesaian sengketa melalui mediasi (damai) telah dikenal dalam agama
Islam. Islam mengajarkan agar pihak-pihak yang bersengketa melakukan perdamaian. Jika
perdamaian tidak ditemukan oleh kedua belah pihak, maka para pihak keluarga mengambil peran
untuk melakukan perdamaian. Di sinilah justru urgensitas mediasi dalam Islam, yakni harus
mengutamakan pihak keluarga. Hal ini disebabkan pihak keluarga yang lebih mengetahui dan
mengenal secara dekat tentang masalah yang diperselisihkan dalam kehidupan mereka. Namun,
ketika perdamaian yang dilakukan oleh keluarga tidak juga berhasil, maka keputusan ini yang
akan dilanjutkan ke Pengadilan Agama. Dalam kasus perceraian, fungsi dari upaya untuk
mendamaikan menjadi kewajiban hakim sebagai mediator yang harus dilakukan berdasarkan
PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi di Pengadilan. Oleh sebab itu diupayakan
perdamaian melalui mediasi di Pengadilan Agama agar pasangan yang hendak bercerai
mengurungkan niatnya dan rujuk kembali.

Adanya PERMA Nomor 1 Tahun 2016 ini secara fundamental telah merubah praktek
peradilan yang berkenaan dengan perkara-perkara perdata. Yang mana selama ini upaya
mendamaikan para pihak-pihak dilakukan secara formalitas oleh hakim yang memeriksa perkara,
tetapi sekarang Majelis Hakim wajib menundanya untuk memberi kesempatan kepada mediator
mendamaikan pihak-pihak yang berperkara. Diberikan waktu dan ruang khusus untuk melakukan
mediasi bagi para pihak. Upaya damai ini bukan hanya sebagai formalitas, tetapi harus dilakukan
dengan sungguh-sunguh. Bagi lingkungan peradilan agama sendiri, kehadiran seorang mediator
dalam suatu perkara tampaknya tidak dianggap sebagai sebuah hal yang baru. Secara yuridis
formal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006, Pasal 76 telah menetapkan keberadaan ḥakam dalam perkara perceraian yang
eksistensinya sama dengan mediator. Demikian halnya secara normatif, mediator atau ḥakam
sudah dikenal sejak awal pembentukan hukum Islam, baik dalam perkara perceraian secara
khusus maupun perkara perdata atau bentuk perkara lainnya.

2
Slamet Abidin, dkk., Fiqh Munakaha, Pustaka Setia, Bandung, 1999, Hlm 189.

6
Dalam perkara perceraian, tentu mediator juga harus membantu para pihak yang tetap
ingin bercerai untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul akibat perceraian, seperti
masalah pembagian harta bersama, masalah hak asuh anak, masalah pembayaran hutang yang
terjadi ketika masih dalam perkawinan, masalah nafkah anak, masalah mut’ah maupun nafkah
iddah. Dan apabila tercapai kesepakatan perdamaian dalam masalah-masalah yang timbul akibat
perceraian tersebut, maka hal itu termasuk keberhasilan mediasi. Jika kesepakatan perdamaian
tercapai, mediator wajib merumuskan isi kesepakatan dan ditandatangani oleh para pihak dan
mediator. Adapun tugas hakim yang menjalankan fungsi sebagai mediator berdasarkan PERMA
adalah bahwa mediator wajib mempersiapkan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak
untuk dibahas dan disepakati. Kemudian mediator wajib mendorong para pihak untuk secara
langsung berperan dalam proses mediasi. Selanjutnya, apabila dianggap perlu, mediator dapat
melakukan kaukus dan mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri, menggali
kepentingan mereka dan mencari pelbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
Tujuan tersebut di atas, menjelaskan tugas-tugas mediator sehingga proses mediasi yang
dipimpinnya dapat berjalan dengan baik. Selain itu, dapat mendorong para pihak yang
bersengketa untuk mencoba menyelesaikan sengketa dengan damai sehingga tercapai suatu
kesepakatan bersama.3

Mendamaikan dalam perkara perceraian diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 82 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Atas Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama. Upaya mendamaikan dalam proses perceraian juga adalah bersifat
imperatif, tetapi usaha mendamaikan merupakan beban yang diwajibkan hukum kepada hakim
dalam perkara perceraian. Sifat kewajiban mendamaikan tidak berlaku secara umum. Dalam
kasus perceraian inilah fungsi upaya mendamaikan menjadikan kewajiban hukum bagi hakim
dan merupakan upaya nyata secara maksimal. Para pihak yang berperkara hendaklah melakukan
islah dalam menghadapi sengketa sebab persengketaan itu terjadi antara orang-orang beriman
yang merupakan saudara seagama.4 Oleh karena itu, hakim Pengadilan Agama sebagai yang
mendapat amanah agama dan negara untuk mewujudkan Islam sebagai raḥmah li al-‘ālamīn
dalam batas-batas yurisdiksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, sudah
3
Gary Goodpaster, Negosiasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui
Negosiasi, ELIPS Project, Jakarta, 1993, Hlm 19.
4
M. Yahya Harahap, Tinjauan Sistem Peradilan dalam Mediasi dan Perdamaian, Mahkamah Agung RI, Jakarta,
2004.

7
seharusnya memperhatikan dengan sungguh-sungguh tuntunan bahwa perceraian meskipun
diperbolehkan tetapi sebagai sesuatu yang harus dihindari. Berdasarkan pandangan tersebut,
maka tugas utama hakim agama dan hakim pada umumnya, dalam perkara perceraian adalah
mencegah perceraian dan berusaha mengutuhkan kembali keluarga yang sedang retak, bukan
sekadar mempertemukan antara permohonan perceraian dengan syarat-syarat hukum perceraian
untuk mengabulkan atau menolak permohonan cerai. Untuk memperteguh kewajiban hakim
mencegah perceraian dan mengembalikan keutuhan keluarga yang sedang retak, diupayakan
perdamaian. Dalam ketentuan ini diatur antara lain mengenai perdamaian. Upaya perdamaian
dalam lingkungan peradilan agama dengan sengaja dibuat berbeda dengan upaya perdamaian di
lingkungan peradilan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 130 HIR (Herziene Inlands
Reglemen) dan Pasal 154 RBG (Reglemen voor Buitengewesten).

Jika melihat PERMA sebelumnya yaitu PERMA Nomor 1 Tahun 2008, berdasarkan
Pasal 7 Ayat (1) telah mewajibkan hakim untuk memerintahkan kepada para pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui mekanisme mediasi. Selain itu, Pasal
2 Ayat (4) mengharuskan hakim memasukkan hasil mediasi ke dalam pertimbangan hukumnya
dan jika tidak menempuh prosedur mediasi dianggap sebagai pelanggaran terhadap Pasal 130
HIR/154 RBg yang berakibat putusan batal demi hukum sebagaimana Pasal 2 Ayat (3) PERMA
ini. Dengan demikian, mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar persidangan juga
menjadi suatu keharusan dalam penyelesaian sengketa perdata. Diwajibkannya mediasi
khususnya dalam sengketa perkawinan seperti perceraian membawa manfaat yang besar bagi
para pihak, karena melalui mediasi akan dicapai kesepakatan dan solusi yang memuaskan serta
terselesaikannya masalah yang menjadi penyebab keretakan rumah tangga sehingga keutuhan
rumah tangga tetap terjaga.

8
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian dalam peradilan agama


masih sangat sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah gugatan yang masuk. Dalam
perjalanannya, penerapan PERMA No. 1 Tahun 2008 dirasa masih kurang dalam
meningkatkan keefektifan mediasi dalam kasus perceraian. Hal itu dikarenakan tidak
adanya itikad baik dari para pihak yang berperkara, pihak yang bermediasi bersifat pasif
dan tidak ada niatan untuk rujuk. Oleh karena itu, PERMA Nomor 1 Tahun 2016 dirasa
sangat dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan mediasi serta mengurangi jumlah
tumpukan perkara yaitu dengan penegasan dalam point adanya itikad baik para pihak
dengan adanya akibat hukum atas tidak ditunjukkannya itikad baik tersebut.

Dalam berbagai konflik seperti keluarga, perdata, sosial, politik, dan keagamaan,
Islam menganjurkan dan mengutamakan untuk dilakukannya mediasi akan tetapi jika
mediator tidak dapat mendamaikan maka dapat dilanjutkan dengan penyelesaian dengan
pengadilan. Pelaksanaan mediasi pada dasarnya merupakan bentuk alternatif penyelesaian
sengketa yang paling baik karena biayanya murah, prosesnya cepat, sederhana, efisien, dan
keputusan dari mediasi dapat diterima oleh semua pihak yang berperkara. Dalam kasus
perceraian, upaya untuk mendamaikan sudah menjadi kewajiban hakim sebagai mediator
yang harus dilakukan berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi di
Pengadilan. Oleh karena itu, maka pentingnya usaha mencapai perdamaian melalui mediasi
di pengadilan agama agar pasangan yang berperkara mengurungkan niatnya untuk bercerai
dan rujuk kembali.

B. SARAN

Diharapkan dengan terbitnya PERMA Nomor 1 Tahun 2016 dapat berdampak pada
efektifnya dilakukan mediasi dalam persidangan sehingga proses mediasi tidak dilihat
sebagai suatu proses yang hanya perlu dilalui agar perkara dapat dilanjutkan ke pengadilan
melainkan mediasi dipandang sebagai suatu proses untuk mencapai perdamaian tanpa

9
membawa perkara ke pengadilan sehingga tidak terjadi penumpukan perkara di pengadilan
yang sangat banyak. Selain itu, perlunya ditanamkan sifat menyelesaikan masalah melalui
musyawarah sebagai upaya penyelesaian sengketa sehingga proses mediasi dapat dianggap
sebagai sebuah cara yang mampu menyelesaikan suatu perkara dengan pendekatan non-
litigasi. Dalam hal ini diperlukan campur tangan dari pemerintah untuk memfasilitasi
upaya dilakukannya mediasi dari berbagai aspek seperti pembentukkan lembaga pelatihan
dan pendidikan mediator mengingat keterbatasan hakim yang memiliki kompetensi di
bidang mediasi. Selain itu pihak pengadilan juga perlu untuk memfasilitasi jalannya
mediasi para pihak yang berperkara.

10
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet, dkk. 1999. “Fiqh Munakahat”. Bandung: Pustaka Setia.

Adlhiyati, Zakki, dkk. 2017. “Urgensi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016
Tentang pelaksanaan Mediasi Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Negeri Surakarta”.
Jurnal UNS Verstek Vol. 5 No. 1.

Dananjaya, Nyoman Satyayudha dan Kadek Agus Sudiawan. 2017. “Diktat Mata Kuliah Hukum
Acara Peradilan Agama”. Universitas Udayana Bali: Bali.

Fasya. 2017. “Bab I Pengertian, Sejarah, Asas dan Sumber Hukum Acara Peradilan Agama”.
Modul Praktikum Peradilan Agama. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado: Manado.

Goodpaster, Gary. 1993. “Negosiasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negosiasi dan
Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi”. ELIPS Project: Jakarta.

Harahap, M. Yahya . 2004. “Tinjauan Sistem Peradilan dalam Mediasi dan Perdamaian”.
Mahkamah Agung RI: Jakarta.

Ibrahim, Malik. 2015. “Efektivitas Peran Mediasi Dalam Menanggulangi Perceraian Di


Lingkungan Peradilan Agama”. Jurnal Madania. Vol. 19. No. 1.

Manan, Abdul. 2001. “Penerapan Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama”. Yayasan Al-
Hikmah: Jakarta. Hlm 271.

Mufardisshadri, T. 2020. “Urgensi Dan Signifikasi Penerapan Mediasi Perkara Perceraian Di


Pengadilan Agama”. Pengadilan Agama Dumai: Dumai.

S, Rika. 2018. “Implementasi Mediasi Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Krui
Lampung Barat”. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Syari’ah. Universitas Islam Negeri Raden
Intan Lampung: Lampung.

Salamah, Yayah Yarotul. 2013. “Urgensi Mediasi Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan
Agama”. Jurnal Ahkam. Vol. XIII. No. 1.

11
Setyowati, Ni’ma Diana. 2015. “Faktor-Faktor yang Menentukan Keberhasilan Mediasi
Yudisial Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Semarang”. Skripsi. Tidak
Diterbitkan. Fakultas Syari’ah. Universitas Islam Negeri Walisongo: Semarang.

W, Ria. 2015. “Penerapan Mediasi Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Palopo”.
Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Syari’ah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palopo:
Palopo.

12

Anda mungkin juga menyukai