Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KEWENANGAN PEGADILAN AGAMA BERDASARKAN UU NO 7


TAHUN 1989 JO UU NO 3 TAHUN 2006 JO UU NO 50 TAHUN 2009
Untuk memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hukum Peradilan Agama
Dosen Pengampu : Azis Muhammad, SH., MH.

Oleh :
Muhammad Imam Dawami (20200210100182)

KELAS E

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2022
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul Kewenangan Pengadilan Agama berdasarkan UU no 7
tahhun 1989 jo UU no 3 tahun 2006 jo UU no 50 tahun 2009 ini tepat
pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dosen pada Hukum Peradilan Agama. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang permasalahan
kewenagan pengadilan agama berdasarkan UU tersebut bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Azis Muhammad, SH.,


MH., selaku dosen Hukum Peradilan Agama yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan
saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Depok, 27 Juni 2022

Muhammad Imam Dawami


DAFTAR ISI

JUDUL …………………………………………………….. i

KATA PENGANTAR ……………………………………. ii


DAFTAR ISI ……………………………………………… iii
BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………….. 4
BAB 2 PEMBAHASAN ………………………………… 6
BAB 3 PENUTUPAN …………………………………… 13

DAFTAR PUSTAKA ……………………...………...…… 14

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
           Peradilan Agama adalah salah satu peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman di
Indonesia yang berfungsi menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan umat Islam
Indonesia. Sedangkan kedudukannya terutama di era reformasi ini mencapai puncak
kekokohannya pada tahun 2001, saat disepakatinya perubahan ketiga UUD 1945 oleh MPR.
Dalam pasal 24 UUD 1945 hasil amandemennya secara ekspelisit dinyatakan bahwa lingkungan
Peradilan Agama disebutkan seabagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia,
bersama lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung. Kemudian ditandai dengan
disahkannya UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan atas UU
No. 35 Tahun 1999. Dalam UU No. 4 Tahun 2004 disebutkan : “ bahwa semua lingkungan
peradilan , termasuk Peradilan Agama, pembinaan, organisasi, administrasi dan finansialnya
dialih dari pemerintah kepada Mahkamah Agung”.

Pengadilan agama sebagai salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orangorang yang beragama Islam, yang
sebelumnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hanya berwenang
menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqah,
sekarang berdasarkan Pasal 49 huruf I Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kewenangan
absolut pengadilan agama diperluas, termasuk kewenangan untuk menyelesaikan sengketa di
bidang Ekonomi Syariah.

Dalam perkembangannya, kompetensi Peradilan Agama telah mengalami perubahan.


Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk
menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara
tertentu antara orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Ekonomi syariah yang dimaksudkan dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syariah meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi
syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, dan surat berharga berjangka
menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun
lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan
Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada Pengadilan Agama
dalam menyelesaikan perkara tertentu seperti halnya perkara syariah. Hal ini sesuai dengan

4
perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat yang beragama
Islam.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana ruang lingkup kewenangan relatif dalam Peradilan Agama di Indonesia?
2. Bagaimana ruang lingkup kewenangan absolut dalam Peradilan Agama di Indonesia?
3. Bagaimana ruang lingkup kewenangan absolut Peradilan Agama di Nanggroe Aceh
Darussalam?
4. Bagaimana penerapan kewenangan Peradilan Agama dalam hal para pihak yang
memiliki perbedaan hukum?

C.    Tujuan Penulisan

Makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut.


1.        Menguraikan ruang lingkup kewenangan relatif dalam Peradilan Agama di
Indonesia.
2.        Menguraikan ruang lingkup kewenangan absolut dalam Peradilan Agama di
Indonesia.
3.        Menguraikan ruang lingkup kewenangan absolut Peradilan Agama di Nanggroe
Aceh Darussalam.
4. Menguraikan penerapan kewenangan Peradilan Agama dalam hal para pihak
yang memiliki perbedaan hukum.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kewenangan Aktif
Yang dimaksud dengan kewenangan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan
dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang
sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan
Agama dalam lingkungan Peradilan Agama.1
a. Kewenangan relatif perkara gugatan
Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya
meliputi:2
1) Gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi
wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya
maka pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal
2) Apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada
pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu kediaman
tergugat.
3) Apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya
tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka gugatan
diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal
penggugat.
4) Apabila obbjek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat diajukan
ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak.
5) Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan
diajukan kepada pengadilan yang domisilinya dipilih.
b. Kewenangan relatif perkara permohonan
Dalam pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenangan relatif
dalam perkara-perkara tertentu dalam UU No. 7 Tahun 1989, sebagai berikut:3
1) Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah
hukumnya meliputi kediaman pemohon. (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974)

1
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-Surat dalam Praktik
Hukum Acara di Peradilan Agama, Mandar Maju, Bandung, 2018, hlm.33.
2
Ibid.
3
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2004, hlm.88.

6
2) Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum
mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi
perempuan) diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan kepada
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
(Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).
3) Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang
wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan (Pasal 17 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974)
4) Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama
yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau
tempat tinggal suami atau istri. (Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974).
c. Pengecualian kewenangan relatif terhadap perkara gugatan
Kewenangan relatif perkara gugatan pada Pengadilan Agama terdapat
beberapa pengecualian, sebagai berikut:4
1) Permohonan cerai talak
Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara permohonan cerai talak diatur dalam pasal 66 ayat (22)
UU No. 7 Tahun 1989, sebagai berikut:
a) Apabila suami/pemohon yang mengajukan permohonan cerai talak maka
yang berhak memeriksa perkara adalah Pengadilan Agama yang wilayah
hukumnya meliputi kediaman istri/termohon;
b) Suami/pemohon dapat mengajukan permohonancerai talak ke Pengadilan
Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami/pemohon
apabila istri/termohon secara sengaja meninggalkan tempat kediaman
tanpa izin suami.
c) Apabila istri/termohon bertempat kediaman di luar negeri maka yang
berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman
suami/pemohon.
d) Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri, yang
berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi
tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat

4
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-Surat dalam Praktik
Hukum Acara di Peradilan Agama, Mandar Maju, Bandung, 2018, hlm.34.

7
1) Perkara cerai gugat
Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili dan
memutuskan perkara gugat cerai diatur dalam pasal 73 UU No. 7 Tahun
1989, sebagai berikut:
a) Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara cerai gugat
adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman
istri/penggugat.
b) Apabila istri/penggugat secara sengaja meninggalkan tempat
kediaman tanpa izin suami maka perkara gugat cerai diajukan ke
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman
suami/tergugat.
c) Apabila istri/penggugat bertempat kediaman di luar negeri maka yang
berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman
suami/tergugat.
d) Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri,
yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya
meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.
B. Kewenangan Absolut
Peradilan Agama adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari
keadilan atau menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang
beragama Islam melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan
kekuasaan kehakiman menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.5
Perkara-perkara tertentu yang diselesaikan oleh Peradilan Agama itulah yang
disebut dengan kometensi absolut atau kewenangan absolut atau kekuasaan absolut. 6
Kewenangan absolut (absolute cometentie) adalah kekuasaan yang berhubungan
dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di
lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang

5
Abdullah Tri Wahyudi, “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia Pada Masa Kolonial
Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia, Vol. 7, No. 2, Desember 2016, hlm. 286.
6
Ibid, hlm. 287.

8
beragama Islam. Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 49
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.7
Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang beragama Islam di bidang:

a. Perkawinan 17) Pernyataan tentang sahnya


1) Izin beristri lebih dari seorang Perkawinan yang terjadi sebelum
2) Izin melangsungkan perkawinan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
bagi yang belum berusia 21 (dua Perkawinan dan dijalankan
uluh satu) tahun dalam hal orang menurut peraturan lain.
tua atau wali atau keluarga dalam 18) Penetapan wali hakim dalam hal
garis lurus ada perbedaan terjadi Wali Adlal
pendapat. 19) Penggantian mahar yang hilang
3) Dispensasi kawin sebelum diserahkan
4) Pencegahan perkawinan b. Warisan
5) Penolakan perkawinan oleh c. Wasiat
Pegawai Pencatat Nikah d. Hibah
6) Pembatalan perkawinan e. Wakaf
7) Gugatan kelalaian atas kewajiban f. Zakat
suami atau istri g. Infaq
8) Perceraian karena talak dan h. Shodaqoh
gugatan perceraian i. Ekonomi syariah, meliputi:
9) Penyelesaian harta bersama 1) Bank syariah
10) Penguasaan anak/hadlanah 2) Lembaga keuangan syariah
11) Ibu dapat memikul biaya 3) Asuransi syariah
pemeliharaan dan pendidikan bila 4) Reasuransi syariah
mana bapak yang seharusnya 5) Reksa dana syariah
bertanggung jawab tidak dapat 6) Obligasi syariah dan surat
memenuhi berharga jangka menengah syariah
12) Putusan tentang sah tidaknya 7) Sekuritas syariah
seorang anak 8) Pembiayaan syariah
13) Putusan tentang pencabutan 9) Pegadaian syariah
kekuasaan orang tua 10) Dana pensiun lembaga keuangan
14) Perwalian syariah
15) Penetapan asal-usul anak 11) Bisnis syariah
16) Putusan tentang hal penolakan
pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran

7
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2004, hlm.91.

9
Mengenai perkara Ekonomi Syariah ini merupakan Revisi Undang-Undang
Peradilan Agama. Pasal 49 huruf (i) Revisi UUPA menyatakan bahwa PA bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam bidang
ekonomi syariah.8
C. Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Pemerintah Aceh diatur tentang adanya pengadilan khususs di lingkungan Peradilan
Agama yang berlaku di Propinsi Naggroe Aceh Darussalam yang mempunyai
kewenangan yang lebih luas meliputi:9
a. Ahwal syahsiyah meliputi hal-hal yang diatur dalam pasal 49 UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama beserta penjelasan dari pasal tersebut, kecuali
wakaf, hibah, dan shodaqoh
b. Muamalah, meliputi:
1) Jual beli, hutang piutang.
2) Qiradh
3) Musaqah, muzara’ah, mukhabarah
4) Wakilah, syirkah
5) Ariyah, hajru, syuf’ah, rahnu
6) Ihya’u al-mawat, ma’adin, luqathah
7) Perbankan, Ijarah, takaful
8) Perburuhan
9) Harta rampasan
10) Wakaf, hibah, shodaqoh dan hadiah
c. Jinayah, meliputi Hudud, Qisas, dan Ta’zir
d. Kesusilaan dan hak berekspresi perempuan
Salah satu delik yang mungkin controversial dari kompetensi absolute
Mahkamah Syariah adalah adanya Qanun yang mengatur delik susila yang
melarang berpakaian ketat bagi perempuan ataupun kewajiban mengenakan jilbab
di NAD yang dianggap telah melanggar hak-hak pribadi wanita untuk berpakaian
dan berekspresi.10 Apabila dicermati lebih dalam lagi, peraturan ini hanya

8
Rifyal Ka’bah, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru
Peradilan Agama”, Al-Mawarid, Edisi XVII Tahun 2007, hlm. 37.
9
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-Surat dalam Praktik
Hukum Acara di Peradilan Agama, Mandar Maju, Bandung, 2018, hlm. 80.
10
Gemala Dewi, “Kewenangan Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) di NAD dalam Melakukan
Eksekusi Sanksi Pidana Islam (Hukum Jinayat) Menurut Ketentuan Hukum dan Sistem Peradilan di Indonesia”,
Jurnal Hukum dan Pembangunan, Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI, hlm. 250.

10
menegaskan kembali syariah Islam yang sudah dijelaskan di dalam Al-Qur’an
dengan kewajiban bagi seorang muslimah untuk menutup aurat dan juga hal ini
dapat menghindarkan diri dari kemudharatan dan membawa diri dalam kebajikan.
D. Kewenangan Peradilan Agama terhadap Para Pihak yang Memiliki Perbedaan
Hukum
a. Pilihan Hukum dalam Perkara Warisan
Kekuasaan Pengadilan Agama dalam perkara warisan sebagaimana tersebut
dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dimentahkan kembali
dalam Penjelasan Umum No. 2 alinea ke-6. Dalam penjelasan tersebut terbuka
bagi para pihak yang berperkara untuk memilih hukum mana yang digunakan
dalam penyelesaian perkara warisan.11 Dengan demikian, para pihak diberi
kebebasan dalam memilih hukum adat atau hukum perdata yang menjadi
wewenang Pengadilan Negeri atau memilih Hukum Islam yang menjadi
wewenang Pengadilan Agama dalam penyelesaian perkaranya.
Namun, UU No. 7 Tahun 1989 sudah tidak relevan untuk tetap diterapkan
sekarang sebab telah dirumah menjadi UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kalimat yang terdapat
dalam penjelasan umum UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
menyatakan: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk
memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan
dihapus.12 Dengan adanya perubahan undang-undang tersebut, maka para pihak
tidak memiliki kebebasan memilih hukum apa yang akan dijadikan landasan
dalam menyelesaikan perkara.
b. Kewenangan Peradilan Agama tidak meliputi sengketa hak milik antar orang
Islam dengan Non Islam
Apabila terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama, khusus mengenai objek sengketa tersebut
harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkupan Peradilan Umum.
Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa
tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara.13
11
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2004, hlm. 125.
12
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-Surat dalam
Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, Mandar Maju, Bandung, 2018, hlm. 81.
13
Ibid, hlm. 82.

11
BAB III

PENUTUP

12
A.    SIMPULAN
Berdasakan pembahasan sebagaimana tersebut di atas maka penulis memberikan
kesimpulan sebagai berikut.
1. Kewenangan relatif adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara
pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan
dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama.
Di mana pada dasarnya dalam perkara gugatan yang memiliki wewenang adalah
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman tergugat dan dalam
perkara permohonan meliputi kediaman pemohon, kecuali ada peraturan lain yang
mengaturnya.
2. Kewenangan absolut adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan
sengketa kekuasaan pengadilan. Dalam hal ini kewenangan yang dimaksud diatur
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam.
3. Kewenangan absolut Peradilan Agama di NAD meliputi bidang Ahwal Syahsiyah
(hukum keluarga), muamalah, dan Jinayat serta bidang kesusilaan dan hak
berekspresi perempuan.
4. Pilihan Hukum dalam Perkara Waris dihapus dengan adanya perubahan Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Dalam
sengketa hak milik harus terlebih dahulu diputus oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali dengan subjek hukumnya antara orang-orang Islam maka
objek perkaranya diputus oleh Pengadilan Agama.

13
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Gemala, “Kewenangan Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) di NAD dalam


Melakukan Eksekusi Sanksi Pidana Islam (Hukum Jinayat) Menurut Ketentuan
Hukum dan Sistem Peradilan di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Edisi
Khusu Dies Natalis 85 Tahun FHUI.

Ka’bah, Rifyal, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru
Peradilan Agama”, Al-Mawarid, Edisi XVII Tahun 2007.

Wahyudi , Abdullah Tri, 2004, Peradilan Agama di Indonesia, Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

Wahyudi , Abdullah Tri, 2014, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-
surat Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, Bandung: Mandarmaju.

Wahyudi, Abdullah Tri, “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia Pada Masa
Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia, Vol. 7, No. 2, Desember
2016.

14

Anda mungkin juga menyukai