Anda di halaman 1dari 10

PERAN PENGADILAN NEGERI DALAM MENGADILI SENGKETA HARTA

WARIS ORANG ISLAM PASCA PUTUSAN MA RI NOMOR 287 K/AG/2012


Oleh:
Fatchur Rochman, S.H.
(199403312017121005)

A. PENDAHULUAN
Pasca ditetapkannya Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya disebut UUD NRI 1945, kekuasaan kehakiman di
Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Perubahan ini memberikan penegasan bahwa hanya terdapat empat lingkungan
peradilan di bawah Mahkamah Agung. Melalui Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kewenangan absolut masing-masing badan peradilan
tersebut diatur, yaitu Peradilan Umum berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara
pidana dan perdata, Peradilan agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan
menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam, Peradilan Militer berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana meliter, dan Peradilan Tata Usaha
Negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha
Negara.
Pengadilan Negeri sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada dalam
lingkup badan peradilan umum mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara pidana dan perdata di tingkat pertama. Kewenangan Pengadilan Negeri
dalam perkara pidana mencakup segala bentuk tindak pidana, kecuali tindak pidana militer
yang merupakan kewenangan Peradilan Militer. Dalam perkara perdata, Pengadilan Negeri
berwenang mengadili perkara perdata secara umum, kecuali perkara perdata tertentu yang
merupakan kewenangan Pengadilan Agama.
Yahya Harahap berpendapat bahwa dalam praktik, sering terjadi kekaburan menentukan
batas yang jelas dan terang tentang yurisdiksi absolut. Dapat pula terjadi suatu perkara
dianggap memenuhi kategori tertentu sehingga berdasarkan pembagian kewenangan termasuk
yurisdiksi peradilan agama, namun ternyata keliru. 1 Puslitbang Hukum dan Peradilan

1
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta, 2017, hlm. 232.

1
Mahkamah Agung Republik Indonesia mengakui bahwa terdapat banyak potensi
persinggungan kewenangan absolut antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri yang
salah satunya adalah berkaitan dengan pewarisan. 2 Salah satu kasus yang mentee temukan di
Pengadilan Negeri Sumedang Kelas I B berkaitan dengan persinggungan yurisdiksi absolut
antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama adalah perkara dengan nomor register
8/Pdt.G/2018/PN Smd.
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sumedang Kelas I B pernah menerima surat gugatan
tertanggal 11 April 2018 yang diterima dan didaftarkan pada tanggal 11 April 2018 dalam
Register Nomor 8/PDT.G/2018/PN.Smd. Perkara yang diajukan oleh Tini Surtini tersebut
diputus oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Bapak Tofan Husma Pattimura dengan
Putusan “Menyatakan Pengadilan Negeri Sumedang tidak berwenang untuk mengadili Perkara
Nomor 8/Pdt.G/2018/PN.Smd”. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim berpendapat
bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam perkara a quo yang diajukan oleh Para
Penggugat, adalah mengenai sengketa tentang hak milik akibat adanya suatu peristiwa
kewarisan yaitu benda peninggalan mantan suami Penggugat I yaitu (Alm) Dadan Hendarsah
yang sifatnya masih terbuka atau belum ditentukan pembagian/proporsinya dan juga
menyangkut pembagian harta gono gini akibat perceraian antara Penggugat I dengan (Alm)
Dadan Hendarsah sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Agama Sumedang No.
1265/Pdt.G/2008/PA.SMD sehingga mengenai perbuatan melawan hukum berupa penguasaan
objek sengketa oleh Para Tergugat yang menimbulkan kerugian kepada Para Penggugat
sebagaimana yang didalilkan oleh Para Penggugat tidak dapat dijadikan sebagai suatu dasar.
Selain itu, diantara para pihak diketahui beragama Islam sehingga penyelesaian mengenai
masalah waris dan sengketa dapat diselesaikan di Pengadilan Agama Sumedang. Berdasarkan
kasus di atas, mentee tertarik untuk meneliti titik singgung antara kewenangan pengadilan
negeri dengan pengadilan agama di bidang waris melalui paper yang berjudul “PERAN
PENGADILAN NEGERI DALAM MENGADILI SENGKETA HARTA WARIS ORANG ISLAM
PASCA PUTUSAN MA RI NOMOR 287 K/AG/2012”
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang ingin dikaji oleh mentee adalah:
1. Bagaimana kewenangan Pengadilan Negeri dalam mengadili sengketa harta waris orang
islam Pasca Putusan MA RI Nomor 287 K/AG/2012?

2
Puslitbang Kumdil MARI, Persinggungan Kompetensi Absolut Antara Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama, Badiklat Litbang Kumdil MARI, Bogor, 2010, hlm. 51

2
2. Bagaimana peran Pengadilan Negeri dalam mengadili perkara waris dengan alas gugatan
perbuatan melanggar hukum Pasca Putusan MA RI Nomor 287 K/AG/2012?
C. PEMBAHASAN
1. Kewenangan Pengadilan Negeri Dalam Mengadili Sengketa Harta Waris Orang
Islam Pasca Putusan MA RI Nomor 287 K/AG/2012
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945, kekuasaan kehakiman (judicial power)
yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) dilakukan dan dilaksankan oleh empat
lingkungan peradilan. Keempat lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
merupakan penyelenggara kekuasaan Negara di bidang yudisial. Oleh karena itu, secara
konstitusional bertindak menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
(to enforce the truth and justice) dalam kedudukannya sebagai pengadilan Negara (state court).
Dengan demikian, Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 merupakan landasan sistem peradilan
Negara di Indonesia yang dibagi dan terpisah berdasarkan yurisdiksi atau separation court
system based on jurisdiction.
Mengenai sistem pemisahan yurisdiksi, Yahya Harahap berpendapat bahwa pemisahan
yurisdiksi didasarkan pada lingkungan kewenangan yang masing-masing lingkungan memiliki
kewenangan mengadili tertentu atau diversity jurisdiction. Kewenangan tertentu tersebut
menciptakan terjadinya kewenangan absolut pada masing-masing lingkungan sesuai dengan
subject matter of jurisdiction. Oleh karena itu, masing-masing lingkungan peradilan hanya
berwenang mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan undang-undang kepadanya.3
Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkara perdata secara umum, kecuali perkara
perdata tertentu yang merupakan kewenangan Pengadilan agama. Pasca diundangkannya
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, kewenangan Peradilan Agama mengalami perluasan, yang
sebelumnya hanya menangani sengketa di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, dan
sadaqah, kemudian ditambahkan dengan menangani sengketa zakat, infaq dan ekonomi syariah
sebagaimana dituangkan dalam perubahan Pasal 49 UU Peradilan Agama yang menyatakan
bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang Bergama Islam di bidang Perkawinan,
Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Sadaqah, dan Ekonomi Syariah. Dengan demikian,
Pengadilan Negeri tidak bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang Bergama Islam di bidang Perkawinan,
Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Sadaqah, dan Ekonomi Syariah.

3
Yahya Harahap, op.cit., hlm. 231.

3
Penjelasan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Peradilan Agama menyatakan bahwa
“Yang dimaksud dengan “Waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut, serta Penetapan Pengadilan atas permohonan seseorang
tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penetuan bagian masing-masing ahli waris”.
Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam “Yang dimaksud dengan Hukum kewarisan adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-
masing”. Sudira menambahkan sengketa pewarisan adalah sengketa yang berkaitan dengan
pembagian harta peninggalan dan/atau hak-hak lainnya kepada ahli waris di luar Orang-orang
yang tidak berhak mendapat warisan dari pewaris. Berdasarkan uraian di atas, kompetensi
absolut dari Pengadilan Agama di bidang waris dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu penentuan
mengenai siapa yang menjadi ahli waris dan berapa bagian yang diperoleh (subjek), penentuan
mengenai harta peninggalan (objek), dan penentuan terhadap pelaksanaan pembagian harta
peninggalan (pemindahan hak pemilikan harta peninggalan).
Apabila merujuk pada Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Peradilan Agama, terdapat
ketentuan bahwa “Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam obyek sengketa tersebut
diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49”. Dengan demikian, sengketa hak milik atas harta waris haruslah diselesaikan bersamaan
dengan sengketa warisnya.
Sepintas, waris merupakan salah satu subject matter of jurisdiction dari Pengadilan
Agama, tetapi Putusan MA RI. Nomor 287 K/AG/2012 Tanggal 12 Juli 2012 menyatakan
bahwa perkara kewarisan adalah perkara harta waris diantara para ahli waris. Harta waris yang
belum dibagi kemudian ada ahli waris yang memindahtangankan, maka ahli waris tersebut
harus dihukum dengan mengurangi bagiannya, atau bila sudah dipindahtangankan semua,
maka bukan lagi sengketa waris tetapi sengketa kepemilikan (yang menjadi wewenang
Pengadilan Negeri). Salah satu hal yang penting dalam putusan tersebut adalah dalam
pertimbangannya, Majelis Hakim berpandangan bahwa sengketa waris di Pengadilan Agama
tidak melibatkan pihak diluar ahli waris. Hal ini diperkuat dengan Putusan MA RI Nomor 177
K/AG/2014 tanggal 26 Mei 2014 bahwa perkara kewarisan di Pengadilan Agama adalah murni
sengketa diantara para ahli waris. Berdasarkan putusan tersebut, terdapat dua hal yang perlu
dicermati, yaitu berkaitan dengan ruang lingkup sengketa kepemilikan dan pihak yang
bersengketa dalam sengketa waris.

4
Aridi berpendapat bahwa sengketa hak milik ini melibatkan minimal dua pihak yang
saling mengklaim sebagai pemilik sah atas barang yang diperkarakan. Sengketa hak milik
mencakup hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain maupun hubungan
hukum antara orang dengan benda melalui penguasaan atau kepemilikan. 4 Dengan demikian,
sengketa kepemilikan adalah sengketa yang menyangkut penentuan siapakah yang memiliki
hak dan kewajiban yang sah menurut hukum terhadap objek yang disengketakan.
Berkaitan dengan pihak yang bersengketa dalam sengketa waris, Putusan MA RI Nomor
177 K/AG/2014 tanggal 26 Mei 2014 bahwa perkara kewarisan di Pengadilan Agama adalah
murni sengketa diantara para ahli waris. Perkara kewarisan tidak memberikan peluang bagi
pihak lain di luar ahli waris untuk dapat masuk menjadi salah satu pihak dalam perkara tersebut.
Bahkan, H. Sarwohadi berpendapat bahwa apabila harta waris telah dipindahtangankan
seluruhnya, pihak yang menerima pemindahtanganan tersebut tidak perlu dijadikan sebagai
Tergugat atau Turut Tergugat. Oleh karena itu, perkara kewarisan menutup kemungkinan
adanya orang lain selain pihak yang menjadi ahli waris.
Berdasarkan uraian tersebut, terdapat kewenangan Pengadilan Negeri dalam mengadili
sengketa terhadap harta waris orang islam. Pengadilan Negeri memiliki kewenangan mengadili
sengketa terhadap harta waris orang islam apabila (1) harta waris yang disengketakan telah
dipindahtangankan semuanya kendati harta waris tersebut belum dibagi dan (2) terdapat subjek
hukum lain yang dijadikan sebagai pihak, baik Penggugat, Tergugat maupun Turut Tergugat,
selain ahli waris. Kedua syarat tersebut merupakan tolak ukur untuk menentukan apakah suatu
perkara masuk dalam sengketa waris atau sengketa kepemilikan. Dengan demikian, terdapat
irisan antara kewenangan Pengadilan Negeri dengan pengadilan agama di bidang waris.
Irisan kewenangan Pengadilan Negeri tersebut memberikan akibat hukum yang sangat
vital terhadap kompetensi absolut Pengadilan Agama. Apabila suatu perkara waris diajukan ke
Pengadilan Agama atas harta waris orang islam yang seluruhnya telah dipindahtangankan dan
terdapat subjek hukum lain selain ahli waris yang ditarik sebagai salah satu pihak, maka
Pengadilan Agama harus menyatakan bahwa dirinya tidak berwenang dalam menangani
perkara tersebut. Hal ini dikarena perkarakan tersebut merupakan kewenangan Pengadilan
Negeri dalam memeriksa dan mengadili sengketa harta waris orang islam sebagaimana yang
diputuskan dalam Putusan MA RI Nomor 287 K/AG/2012 dan Putusan MA RI Nomor 177
K/AG/2014 tanggal 26 Mei 2014.

4
Aridi dan M. Natsir Aswani, 2013, Batasan Kewenangan Pengadilan Dalam Sengketa Hak Milik Atas
Tanah, diakses dari https://docs.google.com/file/d/0B5DxaF_9ujxbbmYxQjdVSXhZZVU/edit, tertanggal 21
Februari 2019, pukul 14.01 wib, hlm. 1-3.

5
2. Kewenangan Pengadilan Negeri Dalam Mengadili Perkara Waris Dengan Alas
Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum
Gugatan yang diajukan harus memiliki dasar hukum (rechtelijke grond) yang memuat
penegasan atau penjelasan mengenai hubungan hukum antara penggugat dengan materi dan
atau objek yang disengketakan dan antara penggugat dengan tergugat berkaitan dengan materi
atau objek sengketa.5 Dalam pengajuan gugatan, terdapat dua lembaga hukum yang dapat
digunakan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan dalam peradilan perdata, yaitu wanprestasi
dan perbuatan melanggar hukum. Ketentuan mengenai perbuatan melanggar hukum bersumber
pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa tiap perbuatan
melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang
melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian. Berbeda dengan wanprestasi,
pengajuan gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum tidak memerlukan adanya hubungan
kontraktual antara pihak yang dirugikan dan pihak yang menimbulkan kerugian.
Pasca Arrest Hooge Raad terhadap kasus Lindenbaum-Cohen tertanggal 31 Januari 1919,
penilaian mengenai ruang lingkup perbuatan termasuk perbuatan melawan hukum tidak cukup
apabila hanya didasarkan pada pelanggaran terhadap kaidah hukum, tetapi perbuatan tersebut
harus juga dinilai dari sudut pandang kepatutan. Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa
terdapat lima unsur untuk menentukan perbuatan seseorang termasuk dalam perbuatan
melanggar hukum sebagaimana dalam Pasal 1365 BW, yaitu adanya suatu perbuatan,
perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan dari pihak pelaku, adanya kerugian bagi
korban dan adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. 6
Berkaitan dengan kewenangan untuk mengadili perkara dengan dasar gugatan perbuatan
melanggar hukum, Yahya Harahap berpendapat bahwa asas umum dalam peradilan adalah
gugatan perdata berkenaan dengan adanya perbuatan melanggar hukum adalah yurisdiksi
absolut peradilan negeri. 7 Kewenangan ini merupakan kewenangan mutlak yang menyangkut
pembagian kekuasaan antarbadan peradilan (attributie van rechtsmacht) sehingga tidak dapat
dicampuri oleh badan peradilan lainnya. Dengan demikian, Pengadilan Negeri menjadi satu-
satunya pengadilan yang dapat mengadili perkara tersebut.
Namun, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memberikan peluang terhadap
penyimpangan atas asas umum tersebut. Berbeda dengan kompetensi Peradilan Umum
sebagamana yang diatur dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang

5
Ibid, hlm. 61.
6
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 4.
7
Yahya Harahap, op.cit., hlm. 237

6
menyatakan bahwa Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memberikan
penegasan terhadap asas personifikasi islam dalam Peradilan Agama melalui Pasal 25 ayat (3)
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang
beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian di atas, pada hakikatnya, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama
masing-masing memiliki kompetensi untuk mengadili perbuatan melanggar hukum. Hal ini
dikarenakan baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama memiliki yurisdiksi untuk
menyelesaikan gugatan kontentiosa. Oleh karena itu, untuk mengetahui ruang lingkup
yurisdiksi lingkungan peradilan umum, maka harus diketahui terlebih dahulu
natuurrechtsmacht lingkungan peradilan Agama.
Apabila merujuk pada Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Peradilan Agama, terdapat
ketentuan bahwa “Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam obyek sengketa tersebut
diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49”. Dengan melakukan elaborasi terhadap Putusan MA RI. Nomor 287 K/AG/2012 Tanggal
12 Juli 2012 dan Putusan MA RI Nomor 177 K/AG/2014 tanggal 26 Mei 2014, mentee
menggunakan dua istilah berkaitan dengan persinggungan antara sengketa waris dan sengketa
hak milik, yaitu “sengketa hak milik bersegi waris” dan “sengketa waris bersegi hak milik”.
Istilah “sengketa waris bersegi hak milik” adalah sengketa hak milik sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Peradilan Agama. Dengan dianutnya asas
personalitas keislaman dalam pasal ini, sengketa jenis ini hanya melibatkan ahli waris (yang
beragama Islam) semata. Dengan demikian, “sengketa waris bersegi hak milik” merupakan
kewenangan Peradilan Agama.
Istilah “sengketa hak milik bersegi waris” adalah sengketa hak milik yang memenuhi
syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Putusan MA RI. Nomor 287 K/AG/2012 Tanggal
12 Juli 2012 dan Putusan MA RI Nomor 177 K/AG/2014 tanggal 26 Mei 2014, yaitu sengketa
terhadap harta waris orang islam yang seluruhnya telah dipindahtangankan dan terdapat subjek
hukum lain selain ahli waris yang ditarik sebagai salah satu pihak. Dengan demikian, sengketa
jenis ini masuk ke dalam yurisdiksi absolut Peradilan Umum. Oleh karena itu, gugatan
mengenai “sengketa hak milik bersegi waris” diajukan ke Pengadilan Negeri.

7
Mengingat Pasal 25 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menganut asas
personifikasi islam terhadap Peradilan Agama, maka segala kompetensi absolut yang menjadi
kewenangan Pengadilan Negeri harus dikesampingkan apabila disebutkan sebagai kompetensi
absolut Pengadilan Agama. Hal ini dikarenakan adanya asas lex specialis derogate legi
generali. Oleh karena itu, haruslah ditentukan terlebih dahulu kompetensi absolut dari
Pengadilan Agama untuk selanjutnya sisa dari pereduksiaan tersebut menjadi kompetensi
absolut Pengadilan Negeri.
Kompetensi absolut dari Pengadilan Agama di bidang waris dapat dibagi menjadi 3
(tiga), yaitu penentuan mengenai siapa yang menjadi ahli waris dan berapa bagian yang
diperoleh (subjek), penentuan mengenai harta peninggalan (objek), dan penentuan terhadap
pelaksanaan pembagian harta peninggalan (pemindahan hak pemilikan harta peninggalan).
Berkaitan dengan subjek waris, Pengadilan Agama menentukan siapa yang menjadi ahli waris
beserta dengan bagian waris yang diperolehnya. Berkaitan dengan objek waris, Pengadilan
Agama menentukan harta peninggalan pewaris. Harta penginggalan dalam hal ini termasuk
juga didalamnya perhitungan harta setelah dikurangi hutang dan kewajiban agama yang harus
dilakukan. Berkaitan dengan pelaksanaan pembagian harta peninggalan, Putusan Pengadilan
Agama dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pemindahan atas kepemilikan harta
peninggalan.
Ketiga hal tersebut merupakan “sengketa waris bersegi hak milik”. Pengadilan Negeri
tidak memiliki kewenangan dalam mengadili “sengketa waris bersegi hak milik”. Oleh karena
itu, Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadilinya kendati gugatan perdata berkenaan
dengan adanya perbuatan melanggar hukum merupakan yurisdiksi absolut peradilan negeri.
Hal ini dikarenakan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Peradilan Agama menutup
kemungkinan bagi Pengadilan Negeri untuk mengadili perkara tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, Pengadilan Negeri memiliki kewenangan untuk mengadili
gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum dalam “sengketa hak milik bersegi waris”.
Kewenangan Pengadilan Negeri dalam mengadili perkara waris dengan alas gugatan perbuatan
melanggar hukum terbentuk ketika harta waris yang disengketakan telah dipindahtangankan
semuanya kendati harta waris tersebut belum dibagi dan terdapat subjek hukum lain yang
dijadikan sebagai pihak, baik Penggugat, Tergugat maupun Turut Tergugat, selain ahli waris.

8
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah:
1. Pengadilan Negeri memiliki kewenangan terhadap sengketa terhadap harta waris orang
islam yang seluruhnya telah dipindahtangankan kendati harta waris tersebut belum
dibagi dan terdapat subjek hukum lain yang dijadikan sebagai pihak, baik Penggugat,
Tergugat maupun Turut Tergugat, selain ahli waris. Hal ini berdasarkan pada Putusan
MA RI. Nomor 287 K/AG/2012 Tanggal 12 Juli 2012 dan Putusan MA RI Nomor 177
K/AG/2014 tanggal 26 Mei 2014.
2. Kewenangan Pengadilan Negeri dalam mengadili perkara waris dengan alas gugatan
perbuatan melanggar hukum adalah kewenangan terhadap “sengketa hak milik bersegi
waris”, yaitu sengketa hak milik yang memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan
dalam Putusan MA RI. Nomor 287 K/AG/2012 Tanggal 12 Juli 2012 dan Putusan MA
RI Nomor 177 K/AG/2014 tanggal 26 Mei 2014, yaitu sengketa terhadap harta waris
orang islam yang seluruhnya telah dipindahtangankan dan terdapat subjek hukum lain
selain ahli waris yang ditarik sebagai salah satu pihak.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, berikut rekomendasi yang diajukan oleh mentee.
1. Membuat buku Kumpulan Yurisprudensi Mahkamah Agung terkait kompetensi absolut
lingkungan peradilan di bawahnya dan menyebarkannya ke seluruh pengadilan di
Indonesia;
2. Memasukkan Putusan Mahkamah Agung yang menjadi Yurisprudensi dalam menu
tersendiri pada situs Mahkamah Agung agar dapat diakses oleh khalayak umum.

9
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Buku :
Harahap,Yahya. 2017. Hukum Acara Perdata (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika,
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Puslitbang Kumdil MARI, 2010. Persinggungan Kompetensi Absolut Antara Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Agama Bogor: Badiklat Litbang Kumdil MARI.
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. 2009. Hukum Acara Perdata: Dalam
Teori Dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.

Sumber Internet :
Aridi dan M. Natsir Aswani, 2013, Batasan Kewenangan Pengadilan Dalam Sengketa Hak
Milik Atas Tanah, diakses dari
https://docs.google.com/file/d/0B5DxaF_9ujxbbmYxQjdVSXhZZVU/edit, tertanggal 21
Februari 2019, pukul 14.01 wib, hlm. 1-3.

10

Anda mungkin juga menyukai