PEDOMAN MENENTUKAN
KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN AGAMA1
Oleh: A. Mukti Arto
ال ِب ِبي
ال ْس ِبم َّر
ِب َّر ِب ْس ِبي
I. Pendahuluan
Di Indonesia berlaku berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur kewenangan pengadilan. Dari sekian banyak peraturan perundang-
undangan tersebut yang menyedihkan adalah peraturan yang mengatur tentang
kewenangan (kompetensi) absolut pengadilan agama yang mengalami pasang
surut dan dinamika seiring dengan perkembangan politik hukum penguasa
pada masanya. Pada mulanya pengadilan agama mempunyai kompetensi
seluas syariah Islam tetapi kemudian dipreteli dan dipersempit pada masa
penjajahan Belanda sehingga tinggal masalah nikah dan gugatan cerai saja
yang tersisa. Ketika itu, pengadilan agama semata-mata hanya berkuasa
memeriksa perselisihan-perselisihan antara suami istri yang beragama Islam
dan perkara-perkara lain tentang nikah, rujuk dan perceraian antara orang-
orang yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan hakim agama, dan
berkuasa memutuskan perceraian dan menyatakan bahwa syarat untuk
jatuhnya talak yang digantungkan sudah ada. Kemudian pada masa Indonesia
merdeka, kompetensi pengadilan agama mulai dipulihkan kembali secara
bertahap meskipun belum sepenuhnya sesuai ketentuan syariah Islam. Pasang
surut ini terjadi akibat politik hukum penguasa yang seringkali tidak memihak
pada hukum Islam dan umat Islam.
Dinamika ini sudah barang tentu menimbulkan berbagai kesulitan dalam
menentukan kompetensi absolut pengadilan agama akibat kerancuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur komptensi pengadilan agama yang
ternyata tidak dapat memberi kepastian hukum. Dalam upaya memberikan
pelayanan hukum dan keadilan, maka diperlukan pedoman dasar bagi para
1
Artikel ini masih berkaitan dengan artikel tentang kapita selekta hukum acara sebelumnya sehingga
terdapat uraian yang diulangi untuk memudahkan pemahaman.
2
II. Permasalahan
Permasalahan yang hendak dibahas dalam catatan kecil ini adalah
bagaimana cara menentukan kompetensi absolut pengadilan agama
berdasarkan teori dan perundang-undangan yang konsisten sehingga dapat
dipedomani oleh semua pihak yang berkepentingan?
III. Pembahasan
Pengadilan agama di Indonesia merupakan Pengadilan Negara yang
bertugas memberi pelayanan hukum dan keadilan di bidang syariah Islam. Oleh
sebab itu, pengadilan agama tunduk pada prinsip-prinsip dasar syariah Islam.
Dalam sejarahnya, pengadilan agama memang dibentuk dan diselenggarakan
guna memeriksa dan mengadili perkara yang terhadapnya berlaku dan tunduk
pada hukum syariah Islam.2
2
A. Mukti Arto, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Kajian Historis, Filosofis,
Ideologis, Politis, Yuridis, Futuris, dan Pragmatis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012, hlm. 63 dan 282.
3
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
hlm. 896.
3
4
A. Mukti Arto, op. Cit, hlm. 293.
4
2. Hal ini dapat saja terjadi disebabkan budaya mengikuti pola aturan lama
yang telah ada dan belum pernah ada rumusan yang tepat seperti
perumusan kekuasaan lingkungan pengadilan lain dalam peraturan
perundang-undangan sehingga belum menjadi budaya hukum dalam
pembentukan perundang-undangan atau karena faktor psikologis politis
semata-mata.
5
Peradilan syariah Islam di Indonesia lahir bersamaan dengan dianutnya syariah Islam, sebelum lahirnya
peraturan perundang-undangan yang mengatur kompetensinya.
6
Salman Alfarisi, Mohammad Hatta Biografi Singkat 1902-1980, Garasi, Yogyakarta, 2009, hlm. 154.
6
syariah dapat dilihat pada ragaan di bawah ini yang menggambarkan unsur-
unsur dalam proses persidangan perkara perdata pada pengadilan agama yang
selalu ada 6 (enam) unsur.
2. Pengadilan agama
Materiil Islam
5. Hukum 3. Perkara 6. Keputusan
Formil/Acara
1. Penggugat 4. Tergugat
Keterangan:
1) Penggugat, yakni pihak yang mengajukan perkara syariah ke pengadilan
agama berdasarkan adanya suatu kepentingan;
2) Pengadilan agama, yakni lembaga kekuasaan kehakiman yang diminta
oleh Penggugat untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukannya
menurut hukum syariah Islam;
3) Perkara, yakni perkara yang tunduk pada hukum syariah Islam sebagai
obyek sengketa yang diajukan oleh Penggugat untuk diperiksa dan diadili
oleh pengadilan agama.
4) Tergugat, yakni pihak yang ditarik oleh Penggugat guna menyelesaikan
perkara syariah yang menjadi sengketa bersama Penggugat;
5) Hukum, yakni peraturan hukum syariah yang digunakan sebagai pedoman
dalam menyelesaikan perkara, baik hukum materiil maupun hukum formil;
6) Keputusan, yakni hasil akhir proses persidangan yang dituangkan dalam
surat putusan.
8
2. Pengadilan agama
Materiil Islam
5. Hukum 3. Perkara jinayat 6. Keputusan
Formil/Acara
IV. Penutup
Sebagai penutup, maka disampaikan beberapa simpulan yang
diharapkan dapat menjadi pedoman dalam praktik peradilan bagi siapapun
yang berkepentingan. Beberapa simpulan dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Asas personalitas keislaman merupakan prinsip dasar pemberlakuan
hukum syariah Islam terhadap setiap muslim dan orang non muslim yang
menundukkan diri pada hukum syariah Islam.
2. Prinsip syariah merupakan prinsip dasar penegakan hukum syariah Islam
terhadap setiap perkara yang dilakukan oleh atau berkaitan dengan orang
yang berdasarkan asas personalitas keislaman berlaku dan tunduk pada
hukum syariah Islam.
3. Pengadilan agama dibentuk dan diselenggarakan untuk menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan syariah Islam sesuai dengan falsafah
Pancasila dan UUD Tahun 1945.
4. Pengadilan agama merupakan pengadilan negara di bidang syariah Islam
yang bertugas dan berwenang memberi pelayanan hukum dan keadilan
berdasarkan hukum syariah Islam mengenai perkara yang terhadapnya
berlaku dan tunduk pada hukum syariah Islam tanpa membeda-bedakan
orang yang berperkara dan tanpa mempersoalkan agama mereka.
5. Untuk berperkara di depan pengadilan agama tidak disyaratkan harus
muslim. Setiap orang yang memiliki kepentingan hukum terhadap perkara
10
Referensi:
A. Mukti Arto, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Kajian Historis, Filosofis, Ideologis, Politis, Yuridis, Futuris, dan
Pragmatis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012
Achmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Penerbit
Tarsito, Bandung, 1991.
Muhammad al-Zuhaili. 1423 H./2002 M., al Tandzim al Qadha’i fiy Fiqhi al-
Islami, Dar al-Fikri, Damaskus.