Anda di halaman 1dari 16

PERADILAN AGAMA, PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM

DAN MASYARAKAT MADANI


Oleh : Nurmoklis, S.H.I.,S.Pd.1

I. PENDAHULUAN
Sebagaian Masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa Pengadilan
Agama adalah “Pengadilan Second Line”, yaitu lembaga peradilan yang
dianggap tidak mempunyai peranan penting dalam penegakkan hukum di
Indonesia. Namun demikian hal tersebut lambat-laun telah terbantahkan,
Peradilan Agama mengalami perubahan yang sangat pesat seiring perubahan
waktu dan setelah penyatuan atap lembaga-lembaga peradilan di Indonesia
yang terdiri empat lingkungan peradilan, yaitu: Pengadilan Umum, Pengadilan
Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Militer, dibawah
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peradilan Agama mulai berbenah untuk
mereformasi diri untuk memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat
dengan sebaik-baiknya. Nilai pengabdian dan tanggungjawab sebagai bagian
dari warga peradilan untuk mewujudkan cetak biru (blue print) Mahkamah Agung
Republik Indonesia, serta upaya mencapai visi Mahkamah Agung Republik
Indonesia yaitu mewujudkan “Peradilan Yang Agung”.
Menjadi sebuah keniscayaan bagi seluruh aparat peradilan agamauntuk
senantiasa meningkatkan kinerja serta menegakkan supremasi hukum yang
menjadi amanat Undang-Undang.Sekedar perlu diketahui bahwa jumlah aparat
peradilan agama sekitar 11.579 pada periode akhir desemder 2012.Mereka
terdiri 8.363 orang tenaga teknis dan 3.216 tenaga non teknis. Adapun tenaga
teknis terdiri 3.670 hakim, 3.276 panitera, 1.419 tenaga kejurusiataan.Dari jumlah
11.579 orang tersebut, 1.512 orang bertugas di PTA/MSA dan 10.067 bertugas
di PA/MS2. Dengan jumlah aparat yang cukup terbatas, karena jumlah tersebut

1
Calon Hakim Pengadilan Agama Kelas 1B Kudus PPC Terpadu II.
2
Majalah Peradilan Agama Edisi I Mei 2013www.badilag.net. hal. 61-62.
1
harus dibagi pada 359 satuan kerja Pengadilan tingkat pertama dan29 satuan
kerja Pengadilan Tinggi Agama. Apabila dikalkulasi masing-masing satuan kerja
hanya memiliki sekitar 29 atau 30 orang pegawai, hal ini meliputi hakim,
kepaniteraan, kesekretariatan, kejurusitaan serta staf. Rasio aparat peradilan
Agama akan tidak seimbang jika dilihat jumlah perkara yang dihadapi setiap
tahunnya, pada tahun 2011 perkara yang masuk di pengadilan agama sejumlah
363.448 perkara, pada tahun 2012 mengalami peningkatan 404.857 perkara 3,
sangat dimungkinkan pada tahun 2013 juga mengalami peningkatan jumlah
perkarajika dilihat dari grafik peningkatan perkara dalam lima tahun terakhir dan
juga masih tambahan dengan jumlah perkara yang tersisa dari tahun
sebelumnya yang rata-rata 72.000-an perkara.
Meskipun ratio jumlah aparat peradilan agama dengan jumlah perkara yang
diterima masih tidak seimbang namun dengan kemajuan teknologi “sistim
informasi administrasi perkara peradilan agama”(SIADPA) dan komitmen untuk
menggenjot reformasi birokrasi yang merupakan suatu keniscayaan lembaga
peradilan, Badan peradilan Agama mencanangkan program prioritas yang
merupakan tindak lanjut dari Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI 2010-
2035, adapun 7 program prioritas tersebut adalah:penyelesaian perkara,
manajemen SDM, pengelolaan website, pelayanan publik dan meja informasi,
implementasi SIADPA, pengawasan dan “justice for all” yang terdiri dari fasilitas
prodeo, sidang keliling dan posbakum.

II. PERMASALAHAN BANGSA DAN MELEMAHNYA SUPREMASI HUKUM


Permasalahan berbangsa dan bernegara semakin lama semakin
komplek, baik dalam ranah politik, hukum, ekonomi dan dimensi kemasyarakatan
yang lain. Masyarakat dipertontonkan dengan berbagai “perseturuan” politik oleh
elit-elit partai dinegeri ini, baik yang duduk di pemerintahan maupun di
DPR.sebagian masyarakat menganggap tontonan tersebut sebagai hiburan,

3
Ibid.,hal.59
2
karena para elit tersebut mengatasnamankan pembela kepentingan masyarakat,
tapi tidak sedikit yang merasa bosan dengan pertunjukan dagelanpolitik oleh
para elit partai tersebut yang dianggap sekedar retorika atau “pemanis bibir”
menjelang pileg atau pilpres tahun depan. Sebagian Masyarakat mengatakan
kualitas penegakan hukum yang ada sekarang terus menurun karena pemerintah
kurang peduli dalam penegakan hukum. Imbasnya, kasus-kasus besar tidak
terselesaikan.
Disisi lain para penegak hukum selalu dicerca, dihujat, dicaci-maki
olehsebagian masyarakat, baik itu polisi, jaksa, hakimsecara individu penegak
hukum itu sendiri bahkan mengarah pada lembaga kepolisian,lembaga
kejaksaan danlembaga peradilan itu sendiri. Salah satu contoh seperti yang
dilontarkan oleh advokat seneor OC Kaligis dalam acara Indonesia lawer club
yang disiarkan secara nasional oleh TVone, ketika membahas perkara Macica
Mukhtar bertema "Perjuangan Machicha Mukhtar Berujung Duka" Senin malam
(29/4). Tentu banyak hal yang menyebabkan sebagian masyarakat melakukan
tindakan tersebut, antara lain karena dari aspek prilaku para penegak hukum
yang tidak mencerminkan prilaku ideal, karena masyarakat sudah tidak percaya
pada aparat penegak hukum karena sistim yang dianggap korup atau beribu
alasan yang dari masing-masing individu tersebut yang belum terungkap dengan
uraian kata, bahkan ada yang menggunakan bahasa “pokoke”, pokoke ora
percoyo (pokoknya tidak percaya) meskipun tanpa ada alasan yang
mendasarinya.
Memang banyak hal yang harus diperbaiki diberbagai dimensi kehidupan
berbangsa dan bernegara baik dari sisi politik, hukum, ekonomi dan lainnya.Hal
tersebut tentu membutuhkan peranan maksimal dari pemerintah sebagai
lembaga eksekutif baik dari tingkat pusat sampai daerah,DPR sebagai lembaga
legislatife yang berperan merumuskan undang-undang bersama pemerintah,
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif yang
merupakan tempat terakhir masyarakat menemukan keadilan, serta lembaga-
lembaga Negara lainya.
3
Kemudian pertanyaan mendasar yang diajukan adalah: 1. Bagaimana
peranan Peradilan Agama dan/ Mahkamah syar’iyah untuk memecahkan
permasalahan bangsa dan/ memenuhi kebutuhan masyarat Indonesia?. 2.
Mengapa sebagaian masyarakat masih menganggap peradilan agama
sebagai peradilan “Second Line”?.Dua pertanyaan ini akan makin actual jika
dihadapkan dengan berbagai perkembangan politik hukum di Indonesia yang
makin progresif setelah bergulirnya era reformasi saat ini, apalagi setelah setelah
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012tentang yudisial riview
Pasal 55 ayat (2) Undang-undang No.21 tahun 2008, yang mana kekuasaan
mengadili sengketa dibidang ekonomi syariah adalah kewenangan Peradilan
Agama Secara pasti.
Realitanya Peradilan Agama sekarang telah didukung dengan
sumberdaya manusia yang handal, hal ini diketahui dengan indikator pendidikan
formal aparat peradilannya yaitu: 26 orang berpendidikan Doktor (S3), 1.814
orang berpendidikan Magister (S2), 5.393 orang berpendidikan Sarjana (S1), 248
berpendidikan DIII dan SLTA 880 orang4, diharapkan menjadi asset bangsa yang
sangat berharga untuk menjadi salah satu alat pengurai benang kusut yang
dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia.
Disisi lain kompetensi absolute Peradilan Agama sesuai dengan
Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah di
ubah dengan Undang-Undang-Undang Nomor.3 tahun 2006 dan diubah dengan
Undang-Undang Nomor.50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Pengadilan
agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang:.Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah; dan
Ekonomi Syari'ah5.

4
Ibid., hal.62.
5
Lihat UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan pertama UU No.7 tahun 1989 tentang
peradilan agama pasal 49 dan penjelasannya.
4
Pada penjelasanpasal 49 Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 diatas
yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau
berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan
menurut syari'ah, antara lain:
1. Izin beristri lebih dari seorang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua
puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus
ada perbedaan pendapat;
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah;
6. Pembatalan perkawinan;
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
8. Perceraian karena talak;
9. Gugatan perceraian;
10. Penyelesaian harta bersama;
11. Penguasaan anak-anak;
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. Pencabutan kekuasaan wali;
17. Penunjukan orang lain sebagai wall oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wall dicabut;
18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur
18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di
bawah kekuasaannya;
5
20. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum islam;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran;
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum undang-
undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut
peraturan yang lain.
Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-
masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalap tersebut,
serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan
siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan
suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang
berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pembegan suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain
atau badan hukum untuk dimiliki.
Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau
sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harts benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syari'ah.
Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh
seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai
dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan
sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan,
minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan

6
sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah
Subhanahu Wata'ala.
Yang dimaksud dengan "shadaqah" adalah perbuatan; seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara
spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan
mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata.
Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
a. Bank syari'ah;
b. Lembaga keuangan mikro syari'ah.
c. Asuransi syari'ah;
d. Reasuransi syari'ah;
e. Reksa dana syari'ah;
f. Obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
g. Sekuritas syari'ah;
h. Pembiayaan syari'ah;
i. Pegadaian syari'ah;
j. Dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
k. Bisnis syari'ah.
Menurut Dr Mukti Arto,SH.,MH.6 Ruang Lingkup Perkara Ekonomi
Syariah, dalam hal ini, kompetensi absolut pengadilan agama meliputi beberapa
aspek perbankan syariah dan kegiatannya dalam menjalankan ekonomi syariah
yang, antara lain, meliputi:
1. Kelembagaan (perorangan dan/atau badan hukum) dalam perbankan syariah;
2. Akad (perjanjian) yang dibuat dalam perbankan syariah;
3. Kegiatan (operasionalisasi) perbankan syariah;

6
Dr.H.A. Mukti Arto, Kerangka Hukum Muamalah Bidang Ekonomi Syariah Studi
Mengenai Prinsip-Prinsip Dasar Untuk Menyelesaikan Kasus-Kasus di Pengadilan Agama, Bahan
Diklat II Program PPC Terpadu Angkatan VII Peradilan Agama seluruh Indonesia Tanggal 24
September sd 28 November 2012 Pudiklat Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI di Mega Mendung,
Bogor. Hal.17-18.
7
4. Sengketa tentang status hukum kelembagaan perbankan syariah;
5. Sengketa tentang akad (perjanjian) dalam perbankan syariah;
6. Sengketa tentang prestasi dan wanprestasi;
7. Sengketa tentang arbitrase syariah;
8. Sengketa tentang kepailitan syariah;
9. Sengketa tentang perlindungan nasabah dalam perbankan syariah;
10. Sengketa tentang pengingkaran terhadap arbiter pada arbitrase syariah;
11. Penunjukan arbiter ketiga pada arbitrase syariah;
12. Penilaian secara formal terhadap putusan arbitrase syariah;
13. Penetapan penolakan/perintah eksekusi putusan arbitrase syariah;
14. Tindak lanjut penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada badan arbitrase
syariah (UU No.30 Th 1999);
15. Menyelesaikan sengketa kepailitan (UU No.37 Tahun 2004);
16. Menyelesaikan sengketa ekonomi syariah pada umumnya;
17. Melaksanakan putusan sengketa ekonomi syariah (putusan PA, basyarnas,
dan gross akte);
18. Menunjuk arbiter pada basyar yang disengketakan;
19. Menyelesaikan sengketa tentang putusan basyarnas;
20. Mendaftar (mendeponir) putusan basyarnas;
21. Mengeksekusi putusan basyarnas;
22. Menetapkan kepailitan debitur;
23. Menetapkan pengampu (curator);
24. Menetapkan hakim pengawas;
25. Menyelesaikan sengketa kepailitan dalam kegiatan ekonomi syariah
Sementara untuk Mahkamah Syar’iyah aceh mendapatkan perluasan
kompetensi absolute berdasarkan Undang-undang nomor 11 tahun 2006 pasal
128 ayat 3-4 yang berbunyi: (3) Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-
syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukumperdata), dan jinayah (hukum
pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
8
bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan
jinayah (hukum pidana) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Qanun Aceh7.
Jika dalam hukum keluarga Mahkamah syar’iyah memiliki kompetensi
absolute yang sama dengan peradilan Agama, maka dalam bidang muamalah
berdasarkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan syari’at islam
mahkamah syar’iayah Aceh berwenang mengadili perkara-perkara yang meliputi
setidaknya 21 jenis perkara8:
1. Jual beli
2. Hutang piutang
3. Qiradh (Permodalan)
4. Musaqah, muzara`ah, mukharabah (bagi hasil pertanian)
5. Wakilah (Perwakilan)
6. Syirkah (Perkongsian)
7. `Ariyah (Pinjam-meminjam)
8. Hajru (Penyitaan harta)
9. Syuf`ah (Hak lang-geh)
10. Rahnun (Gadai)
11. Ihya`ul mawat (Pembukaan la-han)
12. Ma`din (Tambang)
13. Luqathah (Barang temuan)
14. Perbankan
15. Ijarah (Sewa me-nyewa)
16. Takaful
17. Perburuhan
18. Wakaf

7
Undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 128 ayat 3-4. Dan lihat
pula Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi 2010,
Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, 2010 hal.53-54.
8
Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam Mahkamah Syar’iayah
AcehPasal 49 huruf (b)Dan Penjelasannya.
9
19. Hibah
20. Shadaqah
21. Hadiah
Kemudian timbul satu pertanyaan apakah mahkamah syar`iyah
dengan kekhususannya hanya berwenang mengadili bidang muamalat versi
qanun nomor.10 tahun 2002Peradilan Syari’at Islam di Aceh dan tidak
berwenang mengadili ekonomi syariah versi Undang-Undang nomor. 3 tahun
2006 tentang peradilan agama? menurut Dr. H. Syamsuhadi Irsyad, SH, MH,
dalam disertasinya yang berjudul Mahkamah Syar`iyah Dalam Sistem
Peradilan Nasional (2009 :369) berpendapat bahwa perkara-perkara ekonomi
syariah juga merupakan kewenangan Mahkamah Syar`iyah dalam bidang
muamalah, karena dalam konteks ini Pengadilan Agama perlu dibaca sebagai
Mahkamah Syar`iyah. Dengan demikian Mahkamah syar’iyah juga berwenang
mengadili “ekonomi syari’ah” yang meliputi :
1. Bank syari’ah;
2. Lembaga keuangan mikro syari’ah;
3. Asuransi syari’ah;
4. Reasuransi syari’ah;
5. Reksa dana syari’ah;
6. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
7. Sekuritas syari’ah;
8. Pembiayaan syari’ah;
9. Pegadaian syari’ah;
10. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
11. Bisnis syari’ah.

10
Dalam bidang Jinayah mahkamah syar’iyah berwenang mengadili
perkara-perkarayang meliputi: hudud, Qishas/diyat dan ta’zir, secara rinci
sebagaiberikut9:
Perkara Hudud, yang meliputi:
1) Zina
2) Qadzaf (Menu-duh berzina)
3) Mencuri
4) Merampok
5) Minuman ke-ras dan Nafza
6) Murtad
7) Pemberontakan
Perkara Qishash/Diyat, meliputi:
1) Pembunuhan
2) Penganiayaan
Perkara Ta’zir, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang
melakukan pelanggaransyariat selain hudud dan qishash, meliputi :
1) Judi
2) Penipuan
3) Pemalsuan
4) Khalwat
5) Meninggalkan shalat fardhu
6) Meninggalkan puasa Ramadhan.
Dalam perkembangan berikutnya lahirlah Qanun-Qanun yang mengatur
secara teknis tentang hukum jinayat/ Pidana syariah meskipun belum
mencakup keseluruhan seperti ketentuan Undang-Undang No.11 tahun 2006
tentang pemerintahan aceh dan Qanun nomor 02 tahun 2002 tentang
peradilan syariat islam di aceh. Qanun yang dilahirkan antara lain Qanun no.
11 tahun 2002 tentang aqidah, ibadah dan syiar islam, Qanun no. 12 tahun

9
Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam di Mahkamah Syar’iayah
Aceh Pasal 49 huruf (c)Dan Penjelasannya
11
2002 tentang minuman Khamer dan sejenisnya, Qanun no.13 tahun 2002
tentang maisir (perjudian), Qanun no.14 tahun 2002 tentang khalwal
(mesum)10.
Dari beberapa indicator diatas, setidaknya ada beberapa kesimpulan
sementara yang dapat ditarik,pertama terkait mempuninya sumberdaya
manusia aparat Peradilan Agama saat ini.Kedua kewenangan absolute
peradilan agama dan atau Mahkamh Syar’iyah yang sangat luas pada saat
ini.Ketiga Progaram prioritas Badan Peradilan Agama yang telah dan sedang
dijalankan.penulis berpendapat lembaga Peradilan Agama dan atau
Mahkamah Syar’iyah saat ini pantas mendapatkan dukungan dari masyarakat
dan bangsa Indonesia untuk semakin meningkatkan reformasi diri serta
memaksimalkan pelayanan hukum yang berkeadilan bagi masyarakat
Indonesia.
Disisi lain apatisme sebagian masyarakat tentang kemampuan yudisial
Peradilan Agama dan atau Mahkamah Syar’iyah seperti ditunjukkan OC
kaligis dalam acara Indonesia lawer club yang disiarkan secara nasional oleh
TVone, ketika membahas perkara Macica Mukhtar bertema "Perjuangan
Machicha Mukhtar Berujung Duka" Senin malam (29/4), akan terbantahkan
dengan sendirinya seiring dengan tingkat pemahaman dan kesadaran hukum
oleh masyarakat Indonesia. Betapa terkejutnya kita ketika melihat fenomena
yang sangat kontras.Peradilan Agama ternyata tidak seperti yang diopinikan
sebagian masyarakat, sebagai peradilan perceraian semata, namun juga
merupakan lembaga peradilan modern dengan semakin kompleknya perkara
yang harus diselesaikan, apalagi dengan perkembangan politik hukum di
Indonesia yang sangat progresif akhir-akhir ini.
Kompleksitas perkara-perkara yang diterima, diperiksa dan diadili
Peradilan Agama dan atau Mahkamah Syar’iyah dalam jumlah yang begitu
10
Lihat Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang
Aqidah, Ibadah Dan Syiar Islam,Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamer Dan
Sejenisnya, Dan Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian) Dan Qanun Nomor 14
Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum).
12
besar, tentunya memberikan sumbangan yang tidak kecil dalam menegakkan
hukum dalam bingkai sistem peradilan nasional.

III. PERANAN PERADILAN AGAMA DALAM MENEGAKKAN SUPREMASI


HUKUM GUNA MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA
Seperti telah penulis jelaskan diatas, Peradilan Agama dan atau
Mahkamah Syar’iyah dengan jumlah satuan kerja yang menjangkau seluruh
pelosok Indonesia, didukung dengan sumber daya manusia yang sedemian
handal, kompetensi absolute yang sedemikian luas serta dengan komitmen
transparansi dan pengabdian terhadap masyarakat dan bansa Indonesia guna
menegakkan supremasi hukum, adalah merupakan salah satu indicator bahwa
Peradilan Agama bukan hanya salah satu lembaga penegak hukum namun juga
lembaga yang mampu memecahkan problematika para pencari keadilan dan
serta salah satu alat untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat Indonesia pada
umumnya.
Ketika sebagian masyarakat menyatakan ketidak percayaanya kepada
lembaga-lemabaga penegak hukum ditanah air, Peradilan Agama tidak
menjawabnya dengan membela diri secara membabi buta atau dengan cara
mengambing hitamkan pihak lain, namun selalu menginstropeksi diri dengan
sikap dewasanya dan berusaha menjawab dengan tindakan-tindakan positif,
seperti transparansi birokrasi sehingga semua elemen masyarakat dapat
memantau seluruh tahapan atau prosedur beracara dipersidangan, biaya
perkara, jadwal sidang, pengambilan sisa panjar biaya perkara dan hak-hak
lainnya dengan lelusa melelui Website Peradilan Agama yang telah disediakan
oleh masing-masing satuan kerja, serta bisa mendatangi langsung meminta
informasi dari meja informasi yang telah tersedia di setiap satuan kerja, baik
tingkat pertama ataupun tingkat banding.
Dengan pemanfaatan teknologi informasi serta sumberdaya manusia
yang ada Peradilan Agama muncul dan tampil sebagai lembaga peradilan
modern yang ideal, telah mengilangkan kesan atau legitimasi sebagian
13
masyarakat Indonesia bahwa Peradilan Agama itu “endeso”. Hal tersebut
bukanlah pencapaian instan melainkan melalui tahapan yang panjang dengan
menkombinasikan antara pengabdian terhadap masyarakat dan bangsa
indonesia serta mencontoh budi pekerti suri tauladan yang tak terbantahkan
sepanjang masa yaitu Nabi Muhammad SAW.
Disisi lain terbentuknya masyarakat yang ideal, taat hukum, menjunjung
tinggi keberadaban adalah dambaan setiap individu, tatanan sedemikian itu
sebagian pakar menyebutnya sebagai sivil society atau masyarakat madani. Nur
Cholish Majid mendefinisikan Masyarakat madani adalah suatu tatanan
kemasyarakatan yang mengedepankan toleransi, demokrasi, dan berkeadaban
serta menghargai akan adanya pluralisme (kemajemukan). Sementara A.S.
Hikam mendefinisikan pengertian masyarakat madani berdasarkan istilah civil
society. Menurutnya, civil society didefinisikan sebagai wilayah-wilayah
kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan: a. Kesukarelaan (voluntary),
artinya tidak ada paksaan, namun mempunyai komitmen bersama untuk
mewujudkan cita-cita bersama. b. Keswasembadaan (self generating), artinya
setiap anggota mempunyai harga diri yang tinggi. c. Keswadayaan (self
supporting), artinya kemandirian yang kuat tanpa menggantungkan pada negara,
atau lembaga atau organisasi lain. d. Kemandirian yang tinggi terhadap negara,
artinya masyarakat madani tidak tergantung pada perintah orang lain termasuk
negara. e. Keterkaitan dengan norma-norma hukum, yang artinya terkait pada
nilai-nilai hukum yang disepakati bersama. Dalam bahasa sederhana masyarakat
madani adalah tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri di hadapan
penguasa dan negara, memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat,
dan memiliki lembaga-lembaga yang mandiri dapat menyalurkan aspirasi dan
kepentingan public serta mentaati aturan hukum dalam bermasyarakat
berbangsa dan bernegara dengan saling menghormati satu dengan lainnya.
Peradilan Agama dan atau Mahkamah syar’iyah sampai saat ini
mayoritas perkara yang diterima, diperiksa dan diadili adalah hukum keluarga
dalam berbagai bentuk derivasinya, selebihnya adalah perkara sengketa
14
ekonomi syari’ah dan pidana/ jinayah khusus untuk Mahkamah Syar’iyah
Aceh.Jika dilihat dari fenomene tersebut peranan Peradilan Agama sangat
menentukan dalam mengawal tegaknya supremasi hukum, perlindungan hak-hak
kaum wanita dan anak-anak. Disisi lain kuatnya sistem kemasyarakatan,
berbangsa dan bernegara adalah jika individu, satu satuan keluarga dalam
masyarakat dalam kondisi ideal sehingga tercipta komunitas ideal dan dalam
sekala besar menjadi sebuah tatanan masyarakat, berbangsa dan bernegara
yang ideal pula.
Dari berbagai korelasi fakta tersebut tidak berlebihan jika keberadaan
Peradilan Agama dan atau Mahkamah Syar’iyah bukan lagi dianggap sebagai
penghalang modernitas ummat, namun menjadi salah satu suplemen dalam
mewujudkan tatanan masyarakaat ideal yang sangat diharapkan masyarakat dan
bangsa Indonesia, yang sebagian kalangan menyebutnya sebagai civil society
atau masyarakat madani.
IV. PENUTUP
Telah dan sedang terjadi perubahan paradigma berpikir dikalangan
aparat disetiap lembaga Negara, termasuk didalamnya aparat Peradilan Agama
dari paradigma feodal keparadigma pengabdian dan pelayanan terhadap
masyarakat dengan mengedepankan rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum.Dengan kerja keras, keunggulan sumberdaya manusia, pemanfaatan
teknologi informasi dan dukungan berbagai elemen masyarakat Indonesia,
Peradilan agama telah berhasil mereformasi diri menjadi lembaga peradilan
modern yang pantas dibanggakan.Tentu hal tersebut tidak boleh berhenti,
namun harus dipertahankan dan selalu ditingkatkan, baik pada aspek kinerja
masing-masing aparat peradilan agama dan selalu memperbaiki sistem
pelayanan terhadap masyarakat.

15
Daftar Pustaka

Arto,Mukti, Kerangka Hukum Muamalah Bidang Ekonomi Syariah Studi Mengenai


Prinsip-Prinsip Dasar Untuk Menyelesaikan Kasus-Kasus di Pengadilan
Agama, Bahan Diklat II Program PPC Terpadu Angkatan VII Peradilan
Agama seluruh Indonesia Tanggal 24 September sd 28 November 2012
Pudiklat Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI di Mega Mendung, Bogor.
Majalah Peradilan Agama www.badilag.net.Edisi I Mei 2013
Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II Edisi
Revisi 2010, Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral Badan Peradilan
Agama, 2010
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam Di Mahkamah
Syar’iayah Aceh
Qanun Aceh Nomor 11Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang
Aqidah, Ibadah Dan Syiar Islam
Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamer Dan Sejenisnya.
Qanun Aceh Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian)
Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
Undang-undang Nomor. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama UU No.7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama.

16

Anda mungkin juga menyukai