Anda di halaman 1dari 3

MENGAPA MARAK TERJADI PERCERAIAN?

Oleh: Muhamad Isna Wahyudi


(Hakim Pengadilan Agama Kotabumi, Lampung Utara)

Lagi-lagi sistem peradilan satu atap yang menempatkan Peradilan Agama di bawah
Mahkamah Agung dituduh sebagai penyebab tingginya tingkat perceraian di Indonesia.
Hakim-hakim di Pengadilan Agama dianggap terlalu mudah memutuskan perkawinan
karena menghindari penumpukan perkara dan mengejar kredit poin untuk karir mereka.
Asusmsi demikian sudah beberapa kali disampaikan kepada publik oleh seorang guru
besar yang juga Wakil Menteri Agama, Nasarudin Umar.

Tentu saja asumsi demikian muncul karena pengetahuan yang tidak menyeluruh tentang
faktor penyebab tingginya tingkat perceraian di Indonesia. Faktor tersebut dapat dibagi
menjadi dua, faktor internal yang menyangkut proses litigasi di pengadilan, dan faktor
eksternal, yang lebih terkait dengan kondisi sosiologis masyarakat.

Terkait faktor internal, maka adalah sebuah fakta yang sedikit diketahui oleh publik
bahwa sebagian besar perkara perceraian diputus secara verstek, yaitu tanpa dihadiri oleh
pihak Tergugat. Dalam hal pihak Tergugat tidak pernah hadir di persidangan maka upaya
perdamaian oleh majelis hakim, maupun mediasi oleh mediator kepada kedua pihak
berperkara tidak mungkin dilakukan. Majelis hakim paling hanya mampu menasehati
Penggugat agar tidak bercerai dengan berbagai pertimbangan, dan itupun tidak bisa
dipaksakan, alias kembali kepada Penggugat. Di balik fenomena perkara perceraian yang
sebagian besar tidak pernah dihadiri oleh pihak Tergugat ini sebenarnya menyingkap
adanya kesepakatan kedua belah pihak berperkara untuk bercerai. Oleh karena itu, selama
gugatan perceraian berdasarkan hukum dan beralasan, sementara tidak ada bantahan dari
pihak Tergugat karena tidak pernah hadir, maka tidak ada alasan untuk tidak
mengabulkan gugatan perceraian tersebut.

Ada kecenderungan umum dalam pemeriksaan perkara perceraian, bahwa kondisi rumah
tangga yang sudah pecah, dengan sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus-
menerus antara suami istri dan sulit untuk dapat rukun kembali, lebih dipertimbangkan
dalam memutuskan suatu perkawinan, terlepas dari siapa yang menjadi penyebab rumah
tangga tidak harmonis. Pertimbangan yang demikian didasarkan pada prinsip
menghindari kerusakan/bahaya lebih diutamakan dari pada menarik kemaslahatan.
Konflik yang terus-menerus justru akan menimbulkan tekanan psikologis bagi diri
seseorang sehingga seseorang tidak akan mendapat ketenangan dan ketentraman sebagai
tujuan perkawinan.

Perlu dicatat bahwa masalah perceraian adalah sengketa hati, yang tentu saja tidak dapat
dipaksakan. Sebagian besar pihak berperkara yang mengajukan perceraian ke pengadilan
sebelumnya telah menempuh upaya perdamaian secara kekeluargaan, namun tidak
berhasil, sehingga pergi ke pengadilan merupakan pilihan terakhir untuk mengakhiri
sengketa.

1
Sementara terkait dengan faktor eksternal, pergerseran bentuk keluarga dari keluarga
besar/luas menjadi keluarga inti/batih seiring dengan perubahan kondisi sosial ekonomi
masyarakat, dari masyarakat tradisional-agraris yang cenderung hidup menetap di daerah
asalnya menjadi masyarakat industrial-modern dengan tingkat mobilitas tinggi yang
cenderung hidup berpindah dari daerah asalnya mengikuti tempat kerja, telah
menimbulkan pengaruh terhadap ketahanan keluarga.

Menurut Goode, pada keluarga inti, setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih dan
menentukan calon pasangan hidupnya sendiri. Selain itu, sistem keluarga ini
mengandalkan pasangan suami-isteri untuk berbuat lebih banyak terhadap kehidupan
keluarga masing-masing. Kerabat luas tidak lagi menjadi penyangga kehidupan pasangan
suami-isteri. Akibatnya anggota keluarga inti menjadi kurang “tergantung” pada
kerabatnya, sehingga “kewajiban” terhadap yang “tua” menjadi berkurang dan keluarga
inti tidak banyak menerima bantuan dari kerabat. Konsekuensi logisnya adalah kontrol
sosial dari anggota kerabat luas menjadi berkurang dan tidak efektif lagi, sehingga beban
emosional dan finansial keluarga inti menjadi lebih berat. Keluarga inti ini menjadi lebih
mudah pecah apabila terjadi konflik antara suami-isteri karena sedikitnya tekanan kerabat
yang mengharuskan mereka mempertahankan perkawinan.

Berbeda dengan keluarga besar/luas, ketahanan keluarga ini lebih kuat baik dalam
menghadapi beban finansial dan emosional keluarga, maupun dalam mengatasi konflik-
konflik yang muncul antar anggota keluarga. Dalam keluarga besar/luas terdapat nilai
komunalisme (kebersamaan) yang tinggi di kalangan anggota keluarga. Semua anggota
keluarga yang belum mampu menjadi tanggungan semua anggota keluarga yang mampu,
baik itu keponakan, anak, ataupun cucu. Ada keterlibatan kerabat luas dalam
menyelesaikan masalah-masalah rumah tangga karena dianggap sebagai tanggung jawab
bersama untuk menjaga keutuhan keluarga besar/luas. Berbeda dengan keluarga inti
dalam mana nilai individualisme lebih mendominasi sehingga hanya mementingkan
anggota keluarga inti.

Selain itu, menurut Suhendi, ada beberapa indikasi perubahan sosial yang cukup
berpengaruh terhadap perceraian, yaitu: a) perubahan pada makna yang terkandung
dalam perceraian, dalam arti saat ini perceraian tidak lagi dianggap sebagai aib, di kota-
kota besar status janda atau duda merupakan hal yang biasa karena masyarakat kota lebih
menonjolkan peran dari pada status individualnya, b) perubahan pada longgarnya
pengawasan kerabat, teman, dan lingkungan tetangga terhadap keutuhan keluarga, c)
tersedianya berbagai pilihan di luar keluarga, dalam arti kebutuhan-kebutuhan yang
biasanya dipenuhi keluarga, saat ini dapat diperoleh di luar sehingga menyebabkan
ketergantungan antara suami-istri menjadi berkurang, dan d) lahirnya tuntutan persamaan
hak laki-laki dan perempuan, seperti saat ini peluang pekerjaan atau jabatan tidak lagi
didasarkan atas jenis kelamin, tetapi keahlian yang dimiliki seseorang, sehingga peluang
karir bagi perempuan semakin terbuka. Hal ini dapat menimbulkan pergeseran orientasi
membangun keluarga dari untuk memperoleh keturunan menjadi untuk meningkatkan
karir.

2
Demikianlah dua faktor penyebab tingginya tingkat perceraian menurut pemahaman
penulis, untuk memberikan wacana yang berimbang atas tudingan bapak Wamenag,
Nasarudin Umar. Tidaklah tepat jika upaya menekan tingkat perceraian dilakukan ketika
perkara perceraian sudah diajukan di pengadilan, karena pengadilan adalah tempat
terakhir untuk menyelesaikan perkara perceraian. Justru sebelum perkara didaftarkan ke
pengadilan, sebisa mungkin para pihak direkomendasikan untuk menempuh mediasi. Di
sinilah peran BP 4 perlu diberdayakan untuk menekan tingkat perceraian selain melalui
bimbingan masyarakat yang dikoordinir oleh Kemenag maupun ormas.

Anda mungkin juga menyukai