Anda di halaman 1dari 31

PERKAWINAN DAN PERCERAIAN

Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Dasar Kependudukan/Demografi”

Dosen Pengampu : Hairil Akbar, S.KM.,M.Epid

OLEH :
1. KRISDAYANTI GONI (01901040009)
2. SELPIA POBELA (0190104002-)
3. YULISTYA POBELA (01901040031)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


STIKES GRAHA MEDIKA
KOTAMOBAGU
2020
PERKAWINAN DAN PERCERAIAN

A. Definisi
1. Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi
yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata
dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya
intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan
upacara pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk
membentuk keluarga.
Tergantung budaya setempat bentuk perkawinan bisa berbeda-beda dan
tujuannya bisa berbeda-beda juga. Tapi umumnya perkawinan itu ekslusif dan
mengenal konsep perselingkuhan sebagai pelanggaran terhadap perkawinan.
Perkawinan umumnya dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.
Umumnya perkawinan harus diresmikan dengan pernikahan.
Secara etimologi perkawinan adalah kata benda turunan dari kata kerja
dasar kawin kata itu berasal dari kata jawa kuno ka-awin atau ka-ahwin yang
berarti dibawa, dipikul, dan diboyong; kata ini adalah bentuk pasif dari kata jawa
kuno awin atau ahwin selanjutnya kata itu berasal dari kata vini dalam Bahasa
Sanskerta.
a. Tujuan Perkawinan
1) Untuk mendapatkan keturunan
2) Untuk meningkatkan derajat dan status sisoal baik pria maupun wanita
3) Meningkatkan kembali hubungan kerabat yang sudah renggang
4) Agar harta warisan tidak jatuh ke orang lain
b. Bentuk Perkawinan
1) Menurut jumlah suami-istri
a) Monogami (mono berarti satu, gamos berarti kawin) yaitu perkawinan antara
satu orang laki-laki dan satu orang perempuan.
b) Poligami (poli berarti banyak) yaitu perkawinan antara satu orang laki-laki atau
wanita dan lebih dari satu wanita atau laki-laki. Dengan kata lain, beristri atau
bersuami lebih dari satu orang. Poligami dibagi menjadi dua yaitu Poligini dan
poliandri. Poligini adalah seorang laki-laki beristri lebih dari satu orang. Poligini
sendiri dibagi menjadi 2 macam, yaitu poligini sororat, bila para istrinya
beradik-kakak dan poligini non-sororat, bila para istrinya bukan beradik-kakak.
Sedangkan, poliandri, yaitu seorang istri bersuami lebih dari satu orang.
Poliandri dibagi menjadi 2 macam, yaitu Poliandri fraternal, bila para suami
beradik-kakak dan poliandri non-fraternal, bila para suami bukan beradik-kakak.
Poliandri antara lain terdapat pada orang Eksimo, Markesas (Oceania), Toda di
India Selatan dan beberapa bangsa di Afrika Timur dan Tibet.
2. Perceraian
Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin
melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah untuk
dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana
membagi harta mereka yang diperoleh selama pernikahan seperti rumah, mobil,
perabotan atau kontrak), dan bagaimana mereka menerima biaya dan kewajiban
merawat anak-anak mereka. Banyak Negara yang memiliki hukum dan aturan
tentang perceraian dan pasangan itu dapat menyelesaikannya ke pengadilan.

a. Jenis perceraian
1) Cerai hidup - karena tidak cocok satu sama lain.
2) Cerai mati - karena salah satu pasangan meninggal.
b. Penyebab perceraian
1) Ketidakharmonisan dalam rumah tangga
Alasan tersebut di atas adalah alasan yang paling kerap dikemukakan oleh
pasangan suami – istri yang akan bercerai. Ketidakharmonisan bisa
disebabkan oleh berbagai hal antara lain, krisis keuangan, krisis akhlak, dan
adanya orang ketiga. Dengan kata lain, istilah keharmonisan adalah terlalu
umum sehingga memerlukan perincian yang lebih mendetail.
2) Krisis moral dan akhlak
Selain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering
memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat
dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami ataupun istri, poligami yang
tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku lainnya yang
dilakukan baik oleh suami ataupun istri, misal mabuk, berzina, terlibat
tindak kriminal, bahkan utang piutang.
3) Perzinaan
Di samping itu, masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadinya
perceraian adalah perzinaan, yaitu hubungan seksual di luar nikah yang
dilakukan baik oleh suami maupun istri.
4) Pernikahan tanpa cinta
Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, untuk
mengakhiri sebuah perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah
berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta. Untuk mengatasi kesulitan akibat
sebuah pernikahan tanpa cinta, pasangan harus merefleksi diri untuk
memahami masalah sebenarnya, juga harus berupaya untuk mencoba
menciptakan kerjasama dalam menghasilkan keputusan yang terbaik.
5) Adanya masalah-masalah dalam perkawinan
Dalam sebuah perkawinan pasti tidak akan lepas dari yang namanya
masalah. Masalah dalam perkawinan itu merupakan suatu hal yang biasa,
tapi percekcokan yang berlarut-larut dan tidak dapat didamaikan lagi secara
otomatis akan disusul dengan pisah ranjang seperti adanya perselingkuhan
antara suami istri. Langkah pertama dalam menanggulangi sebuah masalah
perkawinan adalah adanya keterbukaan antara suami-istri, berusaha untuk
menghargai pasangan, menyelesaikan masalah secara baik-baik, saling
menyayangi antar pasangan dll.
c. Dampak
Perceraian sering menimbulkan tekanan batin bagi tiap pasangan
tersebut. Anak-anak yang terlahir dari pernikahan mereka juga bisa merasakan
sedih bila orangtua mereka bercerai. Namun, banyak sumber daya yang bisa
membantu orang yang bercerai, seperti keluarga besar, teman-
teman, terapi, konsultan, buku, dan DVD
d. Perceraian menurut agama
1) Islam
Islam membimbing umatnya agar tidak memecah-belah persaudaraan di
antara sesama muslim. Pernikahan adalah salah satu sunnah Rasulullah
S.A.W.
Perceraian sendiri adalah suatu hal yang halal untuk dilakukan. Namun
halnya, jikalau sepasang suami-istri melakukan perceraian, alkisah
mengatakan bahwa 'Arsy terguncang sebegitu dahsyatnya. Oleh karena hal
tersebut, Allah membenci perceraian, meski telah dikatakan bahwa hal ini
adalah halal.
2) Kristen/Katolik
Salah satu agama yang tidak memperbolehkan adanya perceraian oleh
pasangan-pasangan di dalam umatnya adalah Kristen Katolik Roma. Gereja
Kristen Katolik Roma menanggapi masalah perceraian sebagai berikut:
“Perceraian atau perpisahan tetap/selamanya dalam suatu ikatan
pernikahan, memang tidak diperbolehkan dalam ajaran Kristen, karena itu
ada tertulis dalam Alkitab (Matius 19:9; Markus 10:9).
Karena Injil merupakan dasar kehidupan umat Kristen, maka tidak ada
alasan apapun untuk mengadakan perceraian. Selain itu juga terdapat
pengajaran lain di Alkitab mengenai hal ini, misalnya pada 1 Korintus 7.”

B. Sumber Data Perkawinan dan Perceraian


1. SUSENAS 2004
Sejak tahun 1992, BPS melalui Susenas mengumpulkan data kor (data
pokok) dan data modul (data khusus) setiap tahun. Modul Susenas dibagi atas 3
kelompok besar, yaitu modul sosial budaya dan pendidikan, perumahan dan
kesehatan serta modul konsumsi dan pengeluaran rumah tangga, pelaksanaan
setiap modul dilakukan 3 tahun sekali.
Susenas merupakan survei yang dirancang untuk mengumpulkan data
sosial kependudukan yang relatif sangat luas. Data yang dikumpulkan antara lain
menyangkut bidang-bidang pendidikan, kesehatan/gizi, perumahan/lingkungan
hidup, kegiatan sosial budaya, konsumsi dan pendapatan rumah tangga,
perjalanan, dan pendapat masyarakat mengenai kesejahteraan rumah tangganya.
Pada tahun 1992, sistim pengumpulan data Susenas diperbaharui, yaitu informasi
yang digunakan untuk menyusun indikator kesejahteraan rakyat (Kesra) yang
terdapat dalam modul (keterangan yang dikumpulkan tiga tahun sekali) ditarik ke
dalam kor (kelompok keterangan yang dikumpulkan tiap tahun).
Pertanyaan-pertanyaan yang dimasukkan dalam kor dimaksudkan untuk
mendapatkan informasi yang diperlukan untuk memonitor hal-hal yang mungkin
berubah tiap tahun, berguna untuk perencanaan jangka pendek, serta pertanyaan
yang dapat dikaitkan dengan pertanyaan modul, misalnya pengeluaran.
Pertanyaan yang dimasukkan dalam modul diperlukan untuk menganalisis
masalah yang tidak perlu dimonitor tiap tahun atau menganalisis masalah yang
ingin diintervensi pemerintah, misalnya kemiskinan dan kekurangan gizi.
Data gabungan kor-modul dapat menghasilkan analisis untuk menjawab
pertanyaan seperti, apakah kelompok miskin mendapat manfaat yang sesuai dari
program pendidikan yang dilaksanakan pemerintah (misal, program wajib belajar
9 tahun), siapa sajakah yang dapat memanfaatkan subsidi pemerintah di bidang
pendidikan, apakah ada jenis-jenis alat KB tertentu yang lebih banyak dipakai
penduduk miskin ketimbang yang lain, apakah ada kaitan antara jam kerja dengan
fertilitas, dan apakah ada kaitan antara sanitasi dengan status kesehatan.
Semenjak tahun 1993 ukuran sampel kor Susenas diperbesar dengan
maksud agar statistik sederhana untuk tingkat kabupaten/kota dapat dihasilkan.
Perkembangan baru ini memberikan dimensi baru para analisis data Susenas, dan
memang sejak itu beberapa kabupaten sudah mulai menyusun indikator/statistik
kesejahteraan rakyatnya masing-masing.
Data yang Dikumpulkan dengan Kuesioner Kor (VSEN2004.K)
mencakup:
a. Keterangan umum anggota rumah tangga (art) yaitu nama, hubungan dengan
kepala rumah tangga, jenis kelamin, umur, dan status perkawinan.
b. Keterangan tentang kematian ibu pada masa kehamilan, saat melahirkan, dan
masa nifas.
c. Keterangan suku bangsa kepala rumah tangga (krt).
d. Keterangan tentang kesehatan antara lain mencakup keadaan kesehatan
penduduk dan jaminan kesehatan.
e. Keterangan pendidikan art 5 tahun ke atas.
f. Keterangan kegiatan ekonomi dan ketenagakerjaan art 10 tahun ke atas.
g. Keterangan fertilitas untuk wanita pernah kawin dan cara pencegahan
kehamilan untuk wanita berstatus kawin.
h. Keterangan perumahan antara lain mencakup penguasaan tempat tinggal,
kondisi fisik bangunan tempat tinggal, dan fasilitas bangunan tempat tinggal.
i. Keterangan tentang rata-rata konsumsi rumah tangga dan sumber penghasilan
utama rumah tangga.
j. Keterangan sosial ekonomi rumah tangga.
k. Keterangan usaha tanaman padi.
Data yang Dikumpulkan dengan Kuesioner Modul Konsumsi
(VSEN2004.M) meliputi: Keterangan tentang konsumsi dan pengeluaran rumah
tangga, antara lain mencakup data rinci mengenai konsumsi pengeluaran rumah
tangga dibedakan atas konsumsi makanan dan bukan makanan tanpa
memperhatikan asal barang.
Status perkawinan, Korban kejahatan, Perjalanan, Pra sekolah, Balita,
Imunisasi, Berobat, Kelahiran, Pendidikan, Pekerjaan, Fertilitas, Kesehatan,
Pelayanan kesehatan, Perumahan, Indonesia, Buta huruf, Susenas, Sekolah, KB,
Air minum, Kemiskinan, Raskin, Kartu sehat, Kredit usaha, Komoditi,
Pengeluaran, Konsumsi, Tanaman padi.
Susenas 2004 dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia dengan ukuran
sampel sebanyak 249.376 rumah tangga tersebar baik di daerah perkotaan maupun
perdesaan, dengan rincian untuk sampel Kor-Modul sebanyak 67.072 rumah
tangga dan untuk sampel Kor (tanpa modul) sebanyak 182.304 rumah tangga.
Sedangkan sampel Modul Konsumsi (Panel) sebanyak 10.200 rumah tangga yang
merupakan pengulangan sampel pada Susenas 2003.
2. Sensus Penduduk 2010
Sensus penduduk sudah dilaksanakan sejak 4000 tahun sebelum kristus,
yaitu di Babylonia. Pada abad ke 16 dan 17, sensus dilaksanakan di Italia. Sisilia
dan Spanyol untuk kepentingan militer, pajak, dan kerajaan. Sedangkan sensus
modern dimulai di Quebec dan Swedia di pertengahan abad ke 16. Di Indonesia
sensus dimulai dimasa Raffles pada tahun 1815.

Pendataan jumlah penduduk dalam kurun waktu 10 tahunan dengan cara


mengumpulkan, menghimpun, menyusun, dan menertibkan data-data demografi,
ekonomi, dan sosial yang menyangkut semua orang pada waktu tertentu di suatu
negara atau wilayah disebut Sensus Penduduk.

Biasanya sensus penduduk atau sering disebut cacah jiwa dilakukan oleh
pemerintah dengan cara mendatangi langsung rumah-rumah penduduk. Sensus
pertama kali dilakukan oleh pemerintah Indonesia dilaksanakan pada tahun 1961.
Sebelum indonesia merdeka, sensus penduduk dilakukan oleh pemerintah Hindia-
Belanda pada tahun 1920 dan 1930. Sensus penduduk adalah keseluruhan proses
pengumpulan, penyusunan, pengolahan, dan penerbitan data yang bersifat
demografis, ekonomis, dan sosial dari suatu wilayah atau negara tertentu dan
dalam waktu tertentu.

Definisi Sensus menurut PBB Tahun 1958: “Keseluruhan proses


pengumpulan (collecting), menghimpun dan menyusun (compiling) dan
menerbitkan (publishing) data demografi, ekonomi dan sosial yang menyangkut
semua orang pada waktu tertentu di suatu negara atau suatu wilayah tertentu ”.

Sensus adalah cara pengumpulan data yang dilakukan melalui pencacahan


semua unit populasi di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk memperoleh
karakteristik suatu populasi pada saat tertentu. Sensus dilaksanakan sekurang-
kurangnya 10 (sepuluh) tahun sekali yang meliputi:

a. Sensus Penduduk, yang dilaksanakan pada tahun berakhiran angka 0 (nol);


b. Sensus Pertanian, yang dilaksanakan pada tahun berakhiran angka 3 (tiga);
c. Sensus Ekonomi, yang dilaksanakan pada tahun berakhiran angka 6
(enam).

Menurut buku Demografi Umum (2003), sensus penduduk merupakan


suatu proses keseluruhan dari pengumpulan, pengolahan, penyajian, dan penilaian
data penduduk yang menyangkut antara lain; ciri-ciri demografi, sosial ekonomi,
dan lingkungan hidup. Sensus penduduk memiliki beberapa ciri khas, antara lain :

1) Bersifat individu, artinya informasi demografi dan sosial ekonomi yang


dikumpulkan berasal dari individu, baik sebagai anggota rumah tangga
maupun sebagai anggota masyarakat.
2) Bersifat universal, artinya pencacahan bersifat menyeluruh.
3) Pencacahan diselenggarakan serentak di seluruh negara
4) Sensus penduduk dilaksanakan secara periodik yaitu pada tiap-tiap tahun
yang berakhiran angka kosong.

Tujuan dilakukannya sensus penduduk yaitu untuk mengetahui :

a) Jumlah penduduk
b) Pertumbuhan penduduk
c) Persebaran penduduk
d) Kepadatan penduduk
e) Komposisi penduduk
f) Masalah Urbanisasi

Tujuan utama sensus penduduk adalah menghasilkan data dasar


kependudukan untuk keperluan perencanaan pembangunan dan sistem
perstatistikan nasional.
Secara rinci tujuan utama sensus penduduk meliputi:

1. Menyediakan data dasar kependudukan dan perumahan sampai dengan


wilayah administrasi terkecil (desa/kelurahan).
2. Melakukan peremajaan (up-dating) peta wilayah (blok sensus dan desa
/kelurahan) hasil pemetaan sensus penduduk atau membuat peta baru
untuk wilayah-wilayah baru hasil pemekaran. Peta blok sensus dan peta
desa/kelurahan merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk
keperluan pencacahan sensus pendudukdan pencacahan sensus
kependudukan lain sebelum pelaksanaan sensus berikutnya.
3. Menyusun Kerangka Contoh Induk (KCI) yang akan digunakan sebagai
dasar perencanaan sensus atau survei kependudukan lain sebelum sensus
penduduk yang berikutnya serta menyusun sistem informasi geografis
(Geographic Informations System/GIS).

Tujuan Khusus Sensus Penduduk adalah menghasilkan informasi


kependudukan secara lebih rinci dan informasi lainnya untuk keperluan
penghitungan berbagai parameter demografis, antara Angka Kelahiran, Angka
Kematian, Angka Harapan Hidup dan lain–lain. Secara rinci tujuan khusus Sensus
Penduduk mencakup:

a. Menghasilkan paramater-parameter demografis yang meliputi Angka


Kelahiran, Angka Kematian, Angka Harapan Hidup, dan Angka Migrasi
Penduduk.
b. Menghasilkan statistik dan indikator penyandang cacat (disability).
c. Menghasilkan statistik dan indikator Millenium Development Goals (MDG)
di bidang kependudukan.
d. Menghasilkan statistik dan indikator Millenium Development Goals (MDG)
di bidang perumahan.
e. Menghasilkan data statistik potensi wilayah di seluruh Indonesia.
Manfaat Sensus Penduduk adalah memperoleh informasi dasar
kependudukan dan perumahan yang diperlukan untuk menilai kinerja
pembangunan bangsa di masa lalu serta menyusun perencanaan pembangunan
kependudukan, sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia di masa
mendatang.

Manfaat diadakannya sensus penduduk menurut Wardiyatmoko dan


Bintarto sebagai berikut :

1. Mengetahui jumlah penduduk seluruhnya.


2. Mengetahui golongan penduduk menurut jenis kelamin, umur, dan
banyaknya kesempatan kerja.
3. Mengetahui keadaan pertumbuhan penduduk.
4. Mengetahui susunan penduduk menurut mata pencaharian agar diketahui
struktur perekonomiannya.
5. Mengetahui persebaran penduduk, daerah yang terlalu padat, dan daerah
yang masih jarang penduduknya.
6. Mengetahui keadaan penduduk suatu kota dan mengetahui akibat
perpindahan.
7. Merencanakan pembangunan bidang kependudukan.

Badan yang mengurusi sensus adalah badan pusat statistik atau yang lebih
dikenal dengan (BPS). BPS merupakan satu-satunya badan resmi yang dibentuk
pemerintah negara republik Indonesia untuk bertugas sebagai surveier data-data
mengenai penduduk.
3. Masalah Jumlah Penduduk

Dinamika Penduduk adalah perubahan / pertumbuhan jumlah penduduk dari


waktu ke waktu, hal ini disebabkan karena adanya peristiwa kelahiran, kematian,
dan perpindahan penduduk. ( ketiga hal tersebut dikenal dengan istilah unsur-
unsur dinamika penduduk.)

Pertumbuhan penduduk secara umum dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
pertumbuhan alami, pertumbuhan migrasi, dan pertumbuhan penduduk total.

a. Pertumbuhan Penduduk Alami adalah pertumbuhan penduduk yang


diperoleh dari selisih kelahiran dan kematian. Pertumbuhan alami dapat
dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini : Pa = L – M ( Pa =
Pertumbuhan penduduk alami L =Jumlah kelahiran M =Jumlah kematian)
b. Pertumbuhan Penduduk Migrasi adalah pertumbuhan penduduk yang
diperoleh dari selisih migrasi masuk dan migrasi keluar. Pertumbuhan
penduduk migrasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini :
Pm = I – E ( Pm= Pertumbuhan penduduk migrasi I = Jumlah imigrasi E =
Jumlah emigrasi )
c. Pertumbuhan Penduduk Total adalah pertumbuhan penduduk yang
disebabkan oleh faktor kelahiran, kematian, dan migrasi. Pertumbuhan
penduduk migrasi dapat dihitung dengan rumus berikut ini : P = (L – M) +
(I – E) ( P = Pertumbuhan penduduk total L = Jumlah kelahiran M =
Jumlah kematian I = Jumlah imigrasi E = Jumlah emigras

Tingkat kelahiran (fertilitas) adalah tingkat pertambahan jumlah anak atau tingkat
kelahiran bayi pada suatu periode tertentu. Tingkat kelahiran bayi dapat dihitung
dengan dua cara, yaitu:

a. Angka Kelahiran Kasar (Crude Birth Rate/CBR), adalah angka kelahiran


yang menunjukkan jumlah kelahiran perseribu penduduk dalam suatu
periode.
b. Angka Kelahiran Umum (General Fertility Rate/GFR), adalah angka yang
menunjukkan jumlah bayi yang lahir dari setiap 1000 wanita pada usia
reproduksi atau melahirkan yaitu pada kelompok usia 15-49 tahun.

Tingkat kematian (mortalitas) merupakan pengurangan jumlah penduduk pada


periode tertentu yang disebabkan oleh faktor kematian. Tingkat kematian dapat
diketahui melalui tiga cara, yaitu:

a. Tingkat Kematian Kasar (Crude Death Rate/CDR), adalah angka yang


menunjukkan rata-rata kematian perseribu penduduk dalam satu tahun.
b. Tingkat Kematian Menurut Umur (Age Specific Death Rate/ASDR),
adalah angka yang menunjukkan banyaknya kematian pada kelompok
umur tertentu perseribu penduduk dalam kelompok yang sama
c. Tingkat Kematian Bayi (Infan Mortality Rate/IMR), adalah angka yang
menunjukkan banyaknya bayi yang meninggal dari setiap 1000 bayi yang
lahir hidup.

4. Faktor Jumlah Penduduk

Besar kecilnya angka kelahiran (natalitas) dipengaruhi oleh faktor


pendorong dan faktor penghambat kelahiran. Sedangkan tinggi rendahnya
angka kematian penduduk dipengaruhi oleh faktor pendorong dan faktor
penghambat kematian faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

5. Faktor pendorong kelahiran (pronatalitas)

a. Anggapan bahwa banyak anak banyak rezeki.


b.Sifat alami manusia yang ingin melanjutkan keturunan.
c. Pernikahan usia dini (usia muda).
d.Adanya anggapan bahwa anak laki-laki lebih tinggi nilainya, jika
dibandingkan dengan anak perempuan, sehingga bagi keluarga yang
belum memiliki anak laki-laki akan berusaha untuk mempunyai anak
laki-laki.
e. Adanya penilaian yang tinggi terhadap anak, sehingga bagi keluarga yang
belum memiliki anak akan berupaya bagaimana supaya memiliki anak.

6. Faktor penghambat kelahiran (antinatalitas)

a. Adanya program Keluarga Berencana (KB).


b.Kemajuan di bidang iptek dan obat-obatan.
c. Adanya peraturan pemerintah tentang pembatasan tunjungan anak bagi
PNS.
d.Adanya UU perkawinan yang membatasi dan mengatur usia pernikahan.
e. Penundaan usia pernikahan karena alasan ekonomi, pendidikan dan karir.
f. Adanya perasaan malu bila memiliki banyak anak.

7. Faktor pendorong kematian (promortalitas)

a. Adanya wabah penyakit seperti demam berdarah, flu burung dan


sebagainya.
b.Adanya bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir dan
sebagainya.
c. Kesehatan serta pemenuhan gizi penduduk yang rendah.
d.Adanya peperangan, kecelakaan, dan sebagainya.
e. Tingkat pencemaran yang tinggi sehingga lingkungan tidak sehat.

8. Faktor penghambat kematian (antimortalitas)

a. Tingkat kesehatan dan pemenuhan gizi masyarakat yang sudah baik.


b.Negara dalam keadaan aman dan tidak terjadi peperangan.
c. Adanya kemajuan iptek di bidang kedokteran sehingga berbagai macam
penyakit dapat diobati.
d.Adanya pemahaman agama yang kuat oleh masyarakat sehingga tidak
melakukan tindakan bunuh diri atau membunuh orang lain, karena ajaran
agama melarang hal tersebut.
Migrasi atau mobilitas penduduk adalah perpindahan penduduk dari
suatu tempat ke tempat lain. Terdiri dari :

a. Migrasi internasional (migrasi antarnegara) yang terdiri dari


imigrasi, emigrasi, dan remigrasi.
b. Imigrasi adalah masuknya penduduk asing yang menetap ke dalam
sebuah negara.
c. Emigrasi adalah pindahnya penduduk keluar negeri untuk menetap
di sana.
d. Remigrasi adalah pemulangan kembali penduduk asing ke negara
asalnya.

Migrasi nasional (migrasi lokal), terdiri dari:

a) Urbanisasi yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota.


b) Transmigrasi yaitu perpindahan penduduk dari pulau yang padat
penduduknya ke pulau yang masih jarang penduduknya.
c) Ruralisasi yaitu perpindahan penduduk dari kota ke desa untuk
menetap di desa.
d) Evakuasi yaitu perpindahan penduduk untuk menghindari bahaya.

Jumlah penduduk Indonesia yang semakin banyak dari tahun ke tahun


tentunya menimbulkan dampak terhadap kehidupan social ekonomi
Indonesia. Beberapa dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan dari
banyaknya jumlah penduduk, antara lain:

a. meningkatnya kebutuhan akan berbagai fasilitas sosial;


b. meningkatnya persaingan dalam dunia kerja sehingga mempersempit
lapangan dan peluang kerja;
c. meningkatnya angka pengangguran (bagi mereka yang tidak mampu
bersaing)
Adapun usaha-usaha yang dilakukan pemerintah dalam menekan laju
pertumbuhan penduduk antara lain meliputi hal-hal berikut ini.

a. Meningkatkan pelayanan kesehatan dan kemudahan dalam menjadi


akseptor Keluarga Berencana.
b. Mempermudah dan meningkatkan pelayanan dalam bidang pendidikan,
sehingga keinginan untuk segera menikah dapat dihambat.
c. Meningkatkan wajib belajar pendidikan dasar bagi masyarakat, dari 6
tahun menjadi 9 tahun.

9. Karakteristik dan Ketentuan Sensus Penduduk

Karakteristik sensus yang harus dipenuhi:

a. Meliputi semua orang: Semua orang atau penduduk yang tinggal dalam
wilayah yang dicacah haruslah tercakup
b. Dalam waktu tertentu: Harus dilaksanakan pada saat yang telah
ditentukan secara serentak
c. Meliputi suatu wilayah tertentu: Ruang lingkup sensus harus meliputi
batas wilayah tertentu

Ketentuan sensus yang lain:

a. Unit cacah: perorangan, bukan keluarga atau rumah tangga


b. Dilaksanakan secara periodik
c. Dinyatakan selesai bila hasilnya telah dipublikasikan

Keterangan yang dikumpulkan: kondisi demografi, ekonomi dan sosial,


sedangkan perinciannya bergantung:

a. Kebutuhan dan kepentingan negara


b. Keadaan keuangan negara
c. Kemampuan teknis pelaksanaan
d. Kesepakatan internasional, untuk perbandingan antar Negara
10. Pelaksanaan Sensus Penduduk

Kegiatan sensus penduduk dilaksanakan 30 Juni pada tahun yang


berakhiran angka nol. Kegiatan ini memiliki tugas yang berat karena harus
menyajikan data yang valid, maka dari itu agar mendapatkan hasil yang
maksimal pihak yang bersangkutan (Badan Pusan Statistik) melakukan
kegiatan pra pelaksanaan, hari pelaksanaan dan pasca pelaksanaan.

a. Pra pelaksanaan
1) Sebelum melaksanakan sensus, pihak BPS melakukan pelatihan terhadap
petugas sensus untuk mewawancarai kepala rumah tangga dan anggota
dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan, halini
dilakukan untuk meminimalkan kesalahan
2) Membagi wilayah dalam wilayah pencacahan). Luas pencacahan
berbeda-beda tergantung pada kemampuan petugas sensus untuk
melaksanakan tugasnya dalam satu hari, yaitu pada hari pelaksanaan.
Suatu wilayah bias terdiri dari satu blok sensus, bias saja terdiri dari
beberapa blok sensus, hal ini dilakukan untuk mempermudah,
memperingan dan meminimalkan kesalahan cakupan ( error of
converage0, kesalahan laporan (error of content) dan kesalahan ketepatan
laporan (estimating error)

b. Hari Pelaksanaa
Dalam pelaksanaan sensus 1 (satu) hari selesai yaitu tanggal 30
Juni, pencacahan dilaksanakan system aktif, artinya petugas sensus
aktif mendatangi rumah tangga untuk mendapatkan data demografi,
social ekonomi dari masing-masing rumah tangga dan anggotanya,
tetapi sebelum hari H semua quesuiner sudah dibagikan dan yang telah
diidikan diadakan penyesuaian ditakutkan ada kelahiran, kematian, ada
pendatang baru dan ada anggota rumah tangga yang pindah ke provinsi
lain selama periode pencacahan.
c. Pasca Pelaksanaan
Data hasil pencacahan dari petugas sensus di olah oleh Badan Pusat
Statistik. Konsep yang digunakan:
1) Penduduk yang dicacah
Cara pencacahan yang dipakai dalam sensus penduduk adalah
kombinasi de jure dan de facto. Bagi mereka yang bertempat
tinggal tetap dipakai cara de jure, dicacah dimana mereka tinggal
secara resmi, sedangkan untuk yang bertempat tinggal tetap
dicacah secara de facto, di tempat dimana mereka ditemukan oleh
petugas lapangan. Bagi mereka yang mempunyai tempat tinggal
tetap, tetapi sedang bertugas di luar wilayah lebih dari 6 bulan,
tidak dicacah di tempat tnggalnya dan begitu sebaliknya.
2) Blok Sensus Adalah wilyah kerja bagi pencacah agar beban kerja
setiap pencacah homogeny. Selanjutnya Blok Sensus ini dapat
dijadikan kerangka sampel untuk survey-survei dengan pendekatan
rumah tangga.
3) Klasifikasi Daerah Perkotaan/perdesaan
Klasifikasi daerah perkotaan/pedesaan didasarkan pada skor yang
dihitung dari kepadatan penduduk, prosentase rumah tangga, yang
bekerja di bidang pertanian, dan akses terhadap fasilitas kota
seperti sekkolah, rumah sakit, jalan aspal, telephon, dan
sebagainya. Untuk lebih dapat menggambarkan tingkat perkotaan
yang lebih konkret, dicoba pula membagi perkotaan menjadoi tiga
kelas, yaitu perkotaan besar, perkotaan sedang dan perkotaan kecil
4) Bangunan
Bangunan fisik adalah tempat perlindungan tetap sementara yang
mempunyai dinding, lantai dan atap baik digunakan untuk tempat
tinggal atau bukan tempat tinggal. Bangunan sensus adalah
sebagian atau seluruh bangunan fisik yang mempunyai pintu
keluar/masuk sendiri dan merupakan satu kesatuan penggunaan.
5) Rumah Tangga
Rumah tangga biasa adalah seseorang atau sekelompok orang yang
mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan
biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur.
6) Anggota rumah tangga
Anggota rumah tangga Adalah semua orang yang biasanya
bertempat di suatu rumah tangga baik yang berada di rumah pada
waktu pencacahan maupun yang sementara tidak ada.

C. Perkembangan Hukum Perkawinan Di Indonesia


1. Definisi
Hukum mengatur hubungan antara manusia dalam masyarakat, serta
dapat memaksa seseorang untuk mematuhi peraturan peraturan tersebut.
Dengan demikian hukum dapat berada pada pola pola tingkah laku yang
dapat diterima bersama. Dalam peranannya ini, hukum hanya
mempertahankan apa yang telah menjadi kecenderungan yang tetap dan
diterima dalam tatanan kehidupan masyarakat. Di samping itu, hukum
masih dapat berjalan dengan fungsinya yang lain, yakni dengan tujuan
untuk mengadakan perubahan perubahan dalam masyarakat. Undang
Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan (untuk selanjutnya
disingkat UUP) dilihat dari segi materinya dapat dipandang sebagai sarana
rekayasa masyarakat / a tool of social engineering. Suatu peraturan akan
efektif apabila materinya sejalan dengan nilai nilai yang dianut. Dalam
konsideran UUP dinyatakan bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta
cita cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya undang undang
tentang perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara. Berdasarkan
Pasal 66 UUP yang menyatakan dengan tegas bahwa untuk perkawinan
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
undang undang ini, maka ketentuan ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia
S.1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de
Gemengde Huwelijken S.1898 No. 158), dan peraturan peraturan lain yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang undang ini,
dinyatakan tidak berlaku. Diberlakukannya UUP dimaksudkan sebagai
sarana perubahan. Perubahan itu tentu tidak hanya terhadap ketentuan
ketentuan di atas saja, melainkan juga terhadap aturan adat dari aneka
ragam suku bangsa yang mendiamai wilayah Indonesia, sehingga
terciptalah keseragaman hukum perkawinan, setidak tidaknya secara
formal yuridis bagi seluruh warganegara Indonesia.
Persoalan yang berkaitan dengan fungsi rekayasa sosial ini, pada
pokoknya merupakan upaya pengefektifan hukum atau peraturan hukum
tersebut. Pelaksanaaan UUP mengandung pengertian efektif atau
mempunyai pengaruh dalam tatanan kehidupan masyarakat apabila diikuti
dan dipatuhi oleh masyarakat, sehingga tujuannya akan tercapai.

2. Permasalahan

Atas dasar apa yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang dapat
dikemukakan dalam tulisan ini adalah :

a. Mengapa dalam implementasinya Undang Undang No. 1 tahun 1974


tentang Perkawinan sering menimbulkan pro kontra di masyarakat?
b. Apakah pembaharuan Hukum Perkawinan Indonesia saat ini
merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dilakukan ?
3. Implementasi UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Kekuatan berlakunya undang undang ini perlu dibedakan dari
kekuatan mengikatnya undang undang. Undang undang mempunyai
kekuatan mengikat sejak diundangkannya di dalam lembaran negara.
Ini berarti bahwa sejak dimuatnya dalam lembaran negara setiap orang
terikat untuk mengakui eksistensinya. Kekuatan berlakunya undang
undang menyangkut berlakunya undang undang secara operasional.
Demikianlah, maka jika berbicara tentang kekuatan berlakunya
undang undang, kajian dari aspek sosiologis sangat penting dilakukan.
Kajian sosiologis UUP tentu berkaitan dengan kemampuan melakukan
perubahan dan melaksanakan rekayasa sosial. Persoalan yang
berkaitan dengan fungsi rekayasa sosial ini, pada pokoknya
merupakan upaya pengefektifan hukum atau peraturan hukum
tersebut. Pelaksanaan UUP mengandung pengertian efektif atau
mempunyai pengaruh dalam tatanan kehidupan masyarakat apabila
diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat, sehingga tujuannya akan
tercapai. Dalam proses perubahan sosial, dikenal pula saluran saluran
yang merupakan jalan yang dilalui oleh suatu perubahan, dimana pada
umumnya merupakan lembaga lembaga kemasyarakatan yang pokok.
Lembaga lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapat
penilaian tertinggi, cenderung akan menjadi sumber atau saluran
utama perubahan perubahan sosial. Perubahan perubahan pada
lembaga lembaga tersebut merupakan suatu sistem yang terintegrasi
dengan pola pola serta keseimbangan yang tertentu pula.
Dengan demikian, lahirnya UUP diharapkan akan tercipta tertib
masyarakat dimana setiap perkawinan yang dilakukan harus
dilaksanakan menurut perundangundangan yang berlaku. Hal ini
merupakan norma baru yang berbeda dengan norma tradisional.
Menyangkut implementasi UUP di masyarakat, diberikan beberapa
contoh kasus tentang bagaimana realisasi nyata dalam masyarakat.
4. Perkawinan di Bawah Tangan
Yang dimaksud perkawinan di bawah tangan (perkawinan siri)
adalah perkawinan yang dilakukan dengan tidak mengindahkan tata
cara yang diharuskan menurut ketentuan perundang-undangan. Jadi
hanya dilakukan menurut ketentuan hukum agama tanpa dicatatkan.
Praktik demikian masih terjadi, yang menunjukkan kurang ditaatinya
hakikat keabsahan perkawinan yang dikehendaki oleh UUP, yakni sah
menurut hukum agama dan menurut hukum negara. Pada hal
konsekuensi dilakukannya perkawinan di bawah tangan, ketika lahir
anak, maka akta kelahiran si anak hanya disebutkan nama siibu,
sehingga secara hukum anak tersebut merupakan anak luar kawin.
Praktik perkawinan di bawah tangan juga sering digunakan untuk
melakukan poligami gelap, yakni perkawinan kedua atau ketiga yang
dilakukan namun tidak ada persetujuan istri pertama.
5. Inkonsistensi keabsahan perkawinan
Hakikat keabsahan perkawinan yang dikehendaki UUP adalah sah
menurut hukum agama dan hukum negara. Dengan demikian UUP
memandang bahwa ayat (1) dan ayat (2) dari Pasal 2 UUP merupakan
satu kesatuan. Dalam Penjelasan pasal 2 juga dinyatakan tidak ada
perkawinan di luar hukum agama. Namun dalam realitasnya, terhadap
perkawinan campuran interreligius yang dilakukan di luar negeri,
setelah kembali ke Indonesia perkawinannya tetap sah. Padahal
perkawinan campuran interreligius tidak dilakukan menurut hukum
agama. Dengan demikian ada inkonsistensi dalam memandang
keabsahan perkawinan.
6. Kritik terhadap batasan usia kawin
Pada akhir-akhir ini sering dipersoalkan batasan usia untuk
melansungkan perkawinan, yakni laki-laki 19 tahun dan wanita 16
tahun, untuk sekarang dianggap terlalu rendah. Selain itu, ada ketentuan
terkait umur dalam UUP yang tampak “aneh”, yakni ditentukan bahwa
usia kedewasaan adalah 18 tahun, dan ada ketentuan calon mempelai
yang belum berusia 21 tahun jika hendak melangsungkan perkawinan
harus mendapat persetujuan orangtuanya/walinya. Dari ketentuan
tersebut orang yang sudah dewasa karena sudah 18 tahun sehingga
cakap berbuat hukum, jika belum 21 tahun dan hendak melangsungkan
perkawinan harus mendapat persetujuan orang tuanya. Tanpa
persetujuan tidak akan bisa dilangsungkan perkawinan.
Ketentuan lain yang perlu dicermati adalah praktik perkawinan
usia dibawah umur, yakni dibawah 19 tahun untuk lakilaki dan dibawah
16 tahun untuk wanita masih banyak terjadi dalam masyarakat.
Persoalannya adalah ada ketentuan dispensasi untuk menikah dibawah
umur melalui pengadilan, dan lazimnya jika ada permohonan dispensasi
tersebut biasanya pengadilan akan mengabulkan.
7. Pro kotra perkawinan campuran interreligious
Dengan berlakunya UUP tentu ketentuan hukum lama yang
mengatur perkawinan tidak berlaku lagi. Namun demikian, tidak semua
ketentuan sudah diatur dalam UUP. Dalam hal ini ada dua ketentuan :
a) Sama sekali tidak diatur dalam UUP,
b) sudah diatur dalam UUP tetapi tidak diatur lebih lanjut dalam
peraturan pelaksanaannya.
Ketentuan yang tidak diatur sama sekali dalam UUP, misalnya
perkawinan campuran interreligius. Sedangkan ketentuan yang sudah
diatur dalam UUP tetapi tidak/ belum mendapat pengaturan dalam PP
nya ada empat ketentuan, yakni : Harta benda perkawinan, kedudukan
anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, serta perwalian.
Keempat ketentuan ini telah ditegaskan oleh Mahkamah Agung dengan
SE tertanggal 20 Agustus 1975, dinyatakan belum berlaku efektip,
sehingga dapat diberlakukan hukum lama berdasarkan Pasal 66 UUP.
Dalam Peraturan Perkawinan Campuran lama produk kolonial,
yakni GHR S. 1898 No. 158, pengertian perkawinan campuran
dijelaskan dalam Pasal 1 yaitu : perkawinan antara orang orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Istilah hukum yang
berlainan ini di dalamnya termasuk perkawinan campuran interreligius.
Pro kontra tentang pelaksanaan perkawinan campuran interreligius
selama ini tidak lepas dari perbedaan penafsiran atas ketentuan dalam
UUP itu sendiri. Kelompok yang setuju (pro) terhadap pelaksanaan
perkawinan campuran interreligius, mendasarkan pada ketentuan Pasal
66 UUP, yang memberi peluang dengan menggunakan hukum lama
jikalau suatu ketentuan belum diatur dalam UUP sebagaimana
perkawinan campuran interreligius. Prinsipnya, jika perkawinan
campuran interreligius tidak diatur dalam UUP, konsekuensi logisnya
dengan pasal tersebut dapat digunakan hukum lama, yakni GHR yang
di dalamnya mengatur perkawinan campuran interreligius tersebut. Jadi
pasal tersbut menjadi jembatan untuk menggunakan hukum lama,
karena merupakan pasal peralihan.
Sementara yang menolak pelaksanaan perkawinan campuran
interreligius didasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 f
UUP. Pasal 2 ayat (1) UUP menyatakan bahwa sahnya perkawinan
apabila dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan
kepercayaannya. Kemudian dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan,
tidak ada perkawinan di luar masing masing hukum agamnya dan
kepercayaaannya itu, sesuai dengan UUD 1945. Berarti suatu
perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan agama dan
kepercayaannya dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum
sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan hukum
Kemudian Pasal 8 f UUP menyatakan bahwa : perkawinan dilarang
antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Dari ketentuan ini dapat
disimpulkan, bahwa di samping ada larangan yang secara tegas
disebutkan dalam UUP, juga ada larangan larangan yang bersumber
dari hukum agamanya masing masing.
Dalam implementasinya, pernah terjadi praktik “buka tutup pintu”
perkawinan campuran interreligius. Keadaan demikian, pada akhirnya
dengan berdasarkan Keputusan Presiden No 12 tahun 1983 jo Surat
Edaran Mendagri No. 8933/1558/PUOD tanggal 17 April 1989, yang
pada intinya menegaskan fungsi KCS sebagai lembaga pencatat
perkawinan, bukan lembaga yang melangsungkan perkawinan,
menjadikan perkawinan campuran interreligius sudah betul betul
tertutup. Karena dengan fungsi sebagai lembaga pencatat perkawinan,
KCS hanya akan mencatat setiap perkawinan setelah perkawinan
tersebut dilakukan menurut hukum agamanya sebagaimana pasal 2 ayat
1 UUP. Sementara dalam perkawinan campuran tidak mungkin
dilakukan dengan satu hukum agama dari calon mempelai yang berbeda
agama.
8. Praktik pengakuan dan pengesahan anak luar kawin
Dalam peraturan manapun di Indonesia terdapat perbedaan
kedudukan dan hak-hak yang melekat antara anak sah dan anak luar
kawin. Akibatnya tentu sangat berpengaruh terhadap hubungan antara
anak tersebut dengan orangtua yang melahirkan. Anak luar kawin hanya
sebatas memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Agar anak luar
kawin memiliki hubungan tertentu dengan ayah biologisnya diperlukan
tindakan hukum yang berupa pengakuan dari ayah biologisnya. Namun
terdapat kerancuan hukum dalam berbagai peraturan yang mengatur
lembaga pengakuan anak sebagaimana terdapat dalam KUH.Perdata,
UU No. 23 tahun 2006 jo UU No. 24 tahun 2013, dan Keputusan MK
No. 46/PUU- VIII /2010 sebagai koreksi ketentuan UUP, dan KHI.
Akibat hukumnya : muncul diskriminasi yang bermuara pada
ketidakadilan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pengakuan
anak.
Dengan melihat praktik penyelenggaraan pengakuan dan
pengesahan terhadap anak luar kawin, terlihat ada perbedaan yang
tajam antara anak luar kawin yang orang tuanya beragam Islam dan non
Islam khususnya Kristen. Bagi yang beragama Islam harus melalui
proses peradilan dengan mengajukan permohoan itsbat nikah lebih
dahulu, sedangkan bagi yang beragama Kristen tanpa perlu proses
peradilan dan bisa mengajukan pengakuan anak dan ada kepastian akan
dikabulkan. Pada hal
permohonan itsbat nikah tidak selalu dikabulkan oleh pengadilan karena
harus memenuhi persyaratan yang ketat yang ditentukan dalam KHI.
Apabila ditolak berarti anak tersebut selamanya sebagai anak luar
kawin. Sehingga tidak ada jaminan anak luar kawin hasil perkawinan
siri yang dilakukan menurut agama Islam bisa mendapatkan
perlindungan hukum. Bisa dikatakan terjadi diskriminasi dan
ketidakadilan dalam penyelenggaraan pengakuan anak luar kawin di
Indonesia.
Dari beragam ketentuan yang mengatur perlindungan hukum
terhadap anak luar kawin tersebut tentunya selalu dipertanyakan dengan
keberadaan Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010. Di satu sisi bisa
dipandang sebagai putusan yang berparadigma hukum progresif.
Hukum progresif adalah sebuah paradigma hukum yang tumbuh dan
berkembang dalam setting Indonesia. Paradigma hukum progresif lebih
berorientasi pada keadilan substansial, karena tujuan hukum progresif
adalah membentuk sebuah sistem hukum yang berpihak pada keadilan
serta kesejahteraan rakyat yang sebesarbesarnya, dan membuat manusia
bahagia.
Bagi mereka yang tunduk pada KUH.Perdata, dapat dikatakan
putusan MK tersebut tidak berpengaruh apa-apa. Hal ini karena
KUH.Perdata telah mengatur kedudukan anak secara rinci termasuk
anak luar kawin. Bentuk perlindungan hukum terhadap anak luar kawin
menurut KUH.Perdata adalah dilakukan dengan pengakuan
terhadapnya, sehingga anak tersebut mempunyai kedudukan sebagai
anak luar kawin diakui dan konsekuensi hukumnya, anak tersebut
mempunyai hakhak keperdataan dengan ayah biologis yang
mengakuinya. Ini yang analog dengan keputusan MK tersebut. Selain
itu, anak luar kawin juga bisa berkedudukan sebagai anak sah apabila
anak tersebut diakui dan kedua orang tuanya kemudian melangsungkan
perkawinan. Dalam hal ini berarti anak yang semula lahir di luar
perkawinan berubah kedudukannya menjadi anak sah. Barangkali
apabila putusan MK tersebut diterapkan pada mereka yang tunduk pada
KUH.Perdata, justru menimbulkan persoalan terhadap kedudukan anak
zina, yang menurut KUH.Perdata tidak bisa diakui tetapi dengan
putusan MK bisa mempunyai hubungan perdata dengan ayah
biologisnya.
Demikian pula, putusan MK tersebut tidak berdampak pada
ketentuan UU No 23 tahun 2006 jo UU No. 24 tahun 2013 tentang
Adminisrasi Kependudukan yang sedikit banyak mengadopsi lembaga
pengakuan dan pengesahan anak luar kawin dari KUH.Perdata. Tanpa
merujuk pada putusan MK tersebut, Kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil telah menyelenggarakan pengakuan dan pengesahan bagi
anak luar kawin. Berdasarkan UU No. 23 tahun 2006 dan UU No. 24
tahun 2013, anak luar kawin bisa menjadi anak sah sepanjang telah
dilakukan pengakuan dan pengesahan lebih dahulu. Hanya saja
ketentuan ini realitasnya hanya untuk golongan Indonesia Kristen.

9. Perlunya Pembaharuan Hukum Perkawinan Indonesia

Salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam


perubahan UUD 1945 adalah prinsip negara hukum, sebagaimana tertuang
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara
Indonesia adalah negara hukum”. Maka, setiap tindakan dan akibatnya,
yang dilakukan oleh semua pihak di Negara ini, harus didasarkan atas
hukum dan diselesaikan menurut hukum.

Untuk menghadapi permasalahan yang sangat kompleks, yaitu


untuk menyelenggarakan peran yang sedemikian sentral di dalam
pembangunan, hukum terlebih dahulu harus memliki kemampuan yang
memadai. Kemampuan hukum untuk menyelenggarakan fungsinya sangat
ditentukan oleh kemampuan komponen komponen sistemnya, baik secara
otonom, maupun dalam kerangka sistem sebagai suatu keseluruhan.
Lemahnya salah satu komponen sistem, akan membawa pengaruh besar
terhadap gerak sistem itu, dan jika gerak sistem itu berlangsung dalam
keadaan tidak stabil dalam kurun waktu yang melampaui batas batas
waktu yang wajar, maka gerak sistem itu akan mempengaruhi pula
kemampuan otonom dari komponen komponen sistem lainnya. Jika hal
demikian terjadi, maka hukum sebagai suatu sistem akan terancam
kemampuannya dan dalam keadaan demikian, hukum akan sangat sulit
mengemban fungsi dan mewujudkan tujuan tujuannya.

Salah satu agenda reformasi nasional sekarang ini, adalah


reformasi sitem hukum. Keinginan untuk mereformasi hukum didasarkan
pada kondisi nyata sistem hukum nasional mengalami kegagalan baik sisi
substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Dari sisi substansi
hukum, hukum nasional Indonesia masih banyak bersumber dari hukum
peninggalan Belanda seperti KUH.Perdata, KUH.Pidana, KUH.Dagang
dan sebagainya. Hukum hukum produk kolonial tersebut secara sosiologis
dan filosofis tidak lagi sesuai dengan nilai nilai yang dianut oleh
masyarakat Indonesia. Di samping itu hukum peninggalan Belanda itu
tidak lagi mencerminkan keadilan yang dianut masyarakat Indonesia.

Dengan demikian kita dapat melihat kajian hukum sebagai suatu


sistem. Hukum sebagai suatu sistem (legal system) dipelajari sebagai
produk budaya yang pada pokoknya mempunyai tiga elemen, yaitu :

a. Struktur hukum (structure of law) meliputi lembaga legislatif dan


institusi penegak hukum (polisi, kejaksaan, pengadilan, dan
lembaga pemasyarakatan);
b. Substansi hukum (substance of law) meliputi semua produk
hukum berupa peraturan perundangundangan
c. Budaya hukum (legal culture) meliputi nilai-nilai, ide, persepsi,
pendapat, sikap, keyakinan, dan perilaku termasuk harapan harapan
masyarakat terhadap hukum.

Lahirnya UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan


wujud pembangunan hukum nasional di Indonesia. Walaupun Undang
Undang Perkawinan tersebut lebih merupakan produk politik, suka tidak
suka undang undang tersebut telah mengakhiri pluralisme aturan
perkawinan yang ada sebelumnya. Secara substansi hukum hendak
mengakhiri peraturan perkawinan produk kolonial yang masih berlaku
pada waktu itu, secara struktur hukum lembaga lembaga penegakan
hukum perkawinan telah siap dan tersedia karena pada dasarnya UUP ini
mengambil oper dari hukum agama yang selama ini juga berlaku di
Indonesia, dan secara kultur hukum, sikap sebagian masyarakat telah bisa
menerima berlakunya UUP ini.

Namun demikian sebagaimana telah diuraikan di atas dalam sub


implementasi UUP di masyarakat, menunjukkan bahwa dalam
implementasinya UUP banyak menimbulkan pro kontra, dan banyak
ketentuan ketentuan yang belum diatur secara tuntas, sehingga
menimbulkan ketidakpastian hukum dan kekosongan hukum, yang jalan
keluarnya kadang kadang juga tetap menggunakan hukum lama termasuk
produk kolonial.

Pembaharuan hukum perkawinan yang utama adalah substansi


hukumnya khususnya materi yang ada dalam UUP perlu segera dilakukan
perubahan. Beberapa hal yang perlu dipikirkan di antaranya adalah
ketentuan tentang perkawinan campuran interreligius, penegakan
konsistensi keabsahan perkawinan, batas usia perkawinan, pengaturan
harta kekayaan perkawinan yang komprehensip, penegakan asas keadilan
dalam pengakuan dan pengesahan anak luar kawin, dan perlu diwujudkan
aturan yang jelas dan pasti.

Menyangkut kultur hukum, ini juga perlu dibenahi terutama untuk


menghindari bentuk bentuk perkawinan yang menyimpang dengan
menggunakan kedok agama, seperti kawin kontrak, perkawinan semu,
poligami gelap, perkawinan anak anak dan sebagainya. Dalam hal ini juga
perlu dikaji kembali tentang pencantuman sanksi pidana dalam UUP yang
sangat tidak efektip, oleh karena itu perlu ditingkatkan kembali
pencantuman sanksi pidana dalam UUP yang lebih efektip.
DAFTAR PUSTAKA

Anshary MK, H.M., (2010). Hukum Perkawinan Indonesia : Masalah-


masalah krusial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Friedman dalam I Nyoman Nurjaya (2008), Negara Masyarakat Adat dan


Kearifan Lokal, Malang : InTRANS Publishing.

Kusnu, Goesniadhi. (2006). Harmonisasi Hukum : Dalam perspektif


undang undang. Surabaya : JP BOOKS.

Lebacqz, Karen. (2011). Teori Teori Keadilan, terjemahan oleh Yudi


Santoso. Bandung : Nusa Media.

Mertokusumo, Sudikno, (1988). Mengenal Hukum (suatu pengantar),


Yogyakarta: Liberty.

Mudzakkir, Amin. (2010). Ketika Hukum Menciderai Keadilan.Kompas


Opini 28 Desember 2010.

Prawirohamidjojo, Soetojo. (1986). Pluralisme Dalam Perundangundangan


Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press.

Purba, Rehngena. (2012). Hukum Acara Pengukuhan Anak Luar Kawin


Sebelum dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Makalah, disampaikan
dalam Seminar dan diskusi ilmiah anak luar kawin, diselenggarakan oleh
SS.co ADVOCATES, Jakarta, 29 Maret 2012.

Anda mungkin juga menyukai