Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam demografi pertumbuhan penduduk antara lain dipengaruhi oleh fertilitas.


Perkawinan merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi tinggi rendahnya
tingkat fertilitas, yang secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan penduduk.
Dalam perencanaan pembangunan, data mengenai perkawinan merupakan masukan
bagi perencanaan pembangunan seperti penyediaan fasilitas perumahan bagi keluarga-
keluarga muda, fasilitas pelayanan kesehatan, dan pelayanan dasar lainnya.

Perkawinan jika dilakukan pada umur yang tepat akan membawa kebahagian bagi
keluarga dan pasangan (suami dan istri) yang menjalankan perkawinan tersebut.
Perkawinan yang dilakukan pada usia yang terlalu muda (dini) akan membawa banyak
konsekuensi pada pasangan, antara lain adalah dalam hal kesehatan, pendidikan dan
ekonomi. Dalam hal kesehatan antara lain dalam hal kejiwaan, dimana perkawinan
yang dilakukan pada usia dini akan lebih mudah berakhir dengan kegagalan karena
ketiadaan kesiapan mental menghadapi dinamika kehidupan berumah tangga dengan
semua tanggung jawab, seperti antara lain tanggung jawab mengurus/mengatur rumah
tangga, mencukupi ekonomi rumah tangga, mengasuh dan mendidik anak.

Selain memerlukan kesiapan mental, perkawinan terutama bagi anak perempuan


merupakan persiapan untuk memasuki tahap kehamilan dan kelahiran. Dari segi
kesehatan seorang perempuan yang hamil dan melahirkan pada usia terlalu muda
secara fisik belum sempurna perkembangan semua organ tubuhnya. Perempuan yang
masih berusia muda secara fisik perkembangan tulang panggulnya belum sempurna
untuk menjadi jalan lahir bagi bayi yang dikandungnya.

Perkawinan merupakan suatu perubahan dari status perkawinan lain menjadi


status Kawin, misalnya perubahan dari status belum kawin atau bujangan (single)
menjadi status kawin atau nikah. Sedangkan perceraian adalah perubahan status dari
kawin menjadi janda atau duda baik karena kematian maupun perceraian hidup.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah yang telah diungkapkan diatas, maka kami
sebagai penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan perkawinan dan perceraian ?
2. Apa saja ruang lingkup dari perkawinan dan perceraian ?
3. Apa saja yang menjadi sumber data bagi perkawinan dan perceraian ?
4. Apa saja ukuran dari perkawinan dan ukuran perceraian ?
5. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan dan perceraian ?
6. Bagaimana hukum yang mengatur tentang perkawinan dan perceraian ?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan dari rumusan masalah yang dipaparkan diatas, kami menyimpulkan
bahwa tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui definisi dari perkawinan dan perceraian.
2. Untuk mengetahui apa saja ruang lingkup dari perkawinan dan perceraian.
3. Untuk mengetahui sumber data bagi perkawinan dan perceraian.
4. Untuk mengetahui ukuran-ukuran dari perkawinan dan perceraian.
5. Untuk mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan dan
penceraian.
6. Untuk mengetahui hokum apa saja yang mengatur tentang perkawinan dan
perceraian.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Perkawinan dan Perceraian


Perkawinan adalah ikatan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Batasan untuk kawin yang ditetapkan oleh UU
ini adalah minimal berusia 19 tahun bagi laki-laki boleh kawin sedangkan bagi perempuan
adalah minimal usia 16 tahun. Dan jika mereka menikah dibawah usia 21 tahun harus
dengan ijin kedua atau salah satu orangtua atau yang ditunjuk sebagai wali. (UU
Perkawinan No 1 Tahun 1974)
Kawin adalah status dari mereka yang terikat dalam perkawinan pada saat
pencacahan, baik tinggal bersama maupun terpisah. Dalam hal ini tidak saja mereka yang
kawin sah secara hukum (adat, agama, negara, dan sebagianya) tetapi juga mereka yang
hidup bersama dan oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sah sebagai suami istri
(BPS,2000). BPS mengambil kriteria kawin selain terkandung unsur legalitas hukum,
juga termasuk sepasang laki-laki dan perempuan yang oleh masyarakat sekeliling
dianggap sebagai kawin.
Perceraian adalah suatu pembubaran yang sah dari suatu perkawinan dan
perpisahan antara suami istri oleh surat keputusan pengadilan yang memberikan hak kepada
masing- masing untuk melakukan perkawinan ulang menurut hukum sipil dan agama, adapt
dan kebudayaan yang berlaku di tiap-tiap daerah
2.2 Ruang Lingkup Perkawinan dan Perceraian
a. Sifat-sifat perkawinan
Perkawinan Patrilokal, merupakan perkawinan yang menyebabkan kedua
mempelai bertempat tinggal dikediaman pengantin laki-laki, baik itu
sementara atau selamanya.
Perkawinan Matrilokal, merupakan kebalikan dari system patrilokal. Dimana
dalam hal ini kedua mempelai tinggal di rumah sang wanita.
Cara lain, yaitu setelah upacara pernikahan di kediaman mempelai
perempuan, kemudian pasangan suami istri tersebu tinggal sendiri terpisah
dari keluarganya masing-masing.
b. Bentuk-bentuk perkawinan
Endogami, pernikahan ini dilakukan oleh seseorang dimana keduanya
berasal dari satu suku atau golongan.
Exogami, pernikahan yang dilakukan oleh seseorang suatu golonan dengan
seseorang dari golongan lainnya.
Eleutherogami, pernikahan ini memperbolehkan seorang menikah dengan
seseorang dari golongannya sendiri maupun seseorang dari glongan lain.
c. Tipe Perkawinan
Monogami, pernikahan ini hanya memperbolehkan seorang laki-laki
mempunyai hanya satu istri saja.
Polygami, pernikahan ini memungkinkan seorang laki-laki mempunyai istri
lebih dari dua.
2.3 Sumber Data bagi Perkawinan dan Perceraian
1. Registrasi Penduduk
Registrasi penduduk ialah pencatatan tentang identitas atau ciri-ciri, status,
dan kondisi penduduk yang dilaksanakan secara terus menerus oleh pemerintah
mulai tingkat terendah yaitu desa atau kelurahan. Dari data hasil registrasi akan
didapat laporan monografi desa tentang kependudukan secara kontinu yang berisi
data tentang kelahiran penduduk, kematian, perkawinan, perceraian, dan
perpindahan penduduk.
Registrasi ini sering disebut sebagai registrasi vital atau statistic vital, karena
mencatat peristiwa-peristiwa penting yang berhubungan dengan kehidupan. Berbeda
dengan sensus dan survey yang menggambarkan karakteristik penduduk pada suatu
saat saja, registrasi memberikan gambaran mengenai perubahan yang terus menerus
dan mencatat berbagai peristiwa. Di Indonesia, registrasi penduduk dilakukan oleh
lembaga yang berbeda-beda. Untuk perkawinan da perceraian itu dicatat oleh
Departemen Agama dan kantor pencatatn sipil.
2. Survei Penduduk
Survei penduduk ini dilakukan pada beberapa daerah yang dijadikan
sampel/contoh dari perhitungan penduduk tersebut. Biasanya pada survey penduduk
ini dilakukan karena pertimbangan waktu, biaya, dan tenaga pelaksana survey.
Survey penduduk sifatnya lebih terbatas, yaitu dengan cara pengambilan sampel,
sehingga informasi yang dikumpulkan lebih luas dan mendalam. Berbeda dengan
sensus, survey lebih fleksibel dalam waktu pelaksanaan.
3. Sensus Penduduk
Sensus penduduk adalah pencatatan total tentang penduduk yang dilakukan
oleh Badan Pusat Statistik dengan tujuan untuk mengetahui jumlah, komposisi, dan
karakteristik penduduk yang dilaksanakan setiap sepuluh tahun sekali.
Sensus penduduk dibedakan menjadi dua macam berdasarkan pada status
tempat tinggal penduduk yaitu sebagai berikut :
a) Sensus de facto ialah perhitungan penduduk atau pencacahan jiwa yang
dikenakan pada setiap orang yang pada waktu diadakan pencacahan berada
dalam negara atau daerah yang bersangkutan.
b) Sensus de yure ialah perhitungan penduduk atau pencacahan jiwa yang
hanya dikenakan kepada penduduk yang benar-benar berdiam atau
bertempat tinggal di negara bersangkutan atau di daerah itu atau
berdasarkan pada tempat tinggal yang tetap.
2.4 Ukuran-Ukuran Perkawinan dan Perceraian
Ukuran ukuran perkawinan ada 4, yaitu :
2.4.1 Ukuran Perkawinan Kasar
Angka Perkawinan Kasar menunjukkan persentase penduduk yang berstatus
kawin terhadap jumlah penduduk keseluruhan pada pertengahan tahun untuk suatu tahun
tertentu. Kegunaan pengukuran ini adalah untuk menunjukkan bahwa perkawinan
merupakan variable antara yang mempengaruhi fertilitas, antara lain melalui pendek atau
panjangnya usia subur yang dilalui sebagai pasangan usia subur (PUS) yang menentukan
banyaknya kelahiran. Jika tidak memakai suatu alat konstrasepsi untuk mengatur kelahiran,
maka perkawinan usia muda akan membaut PUS melewati masa yang panjang dan
berpotensi melahirkan jumlah anak lebih banyak dibandingkan dengan perempuan yang
menikah diatas usia 25 tahun. Davis dan Blake (1974) mengelompokan perkawinan sebagai
salah satu variable antara dalam mempengaruhi tinggi rendahnya fertilitas. Data yang
dibutuhkan untuk pengukuran ini adalah data penduduk yang berstatus kawin dan data
penduduk di pertengahan tahun.

Cara menghitung :

Jumlah penduduk yang berstatus kawin dibagikan dengan jumlah penduduk di pertengahan
tahun dan dikalikan dengan 1000.
M = M/P x 1000

Dimana:
M = angka perkawinan kasar
M = jumlah perkawinan dalam satu tahun
P = jumlah perkawinan pertengahan tahun

Contoh :

Jumlah penduduk negara X pada tahun 2012 menurut hasil sensus penduduk adalah
210.241.999 orang. Jika penduduk berstatus kawin 91.274.893 orang maka Angka
Perkawinan Kasar adalah:

M = 91.274.893/210.241.999 x 1000 = 434,14

Dari 1000 penduduk negara X sebanyak 434 orang berstatus kawin. Angka ini
menunjukkan rasio penduduk berstatus kawin tanpa mempedulikan urutan perkawinannya
dan juga tidak menunjukkan rasio banyaknya perkawinan yang terjadinya pada tahun
2012, serta tidak mempedulikan apakah umur faktor penyebut telah berusia pantas
menikah (marriageable age). Interpretasi ini dapat diartikan sebagai Angka
Perkawinan Kasar negara X pada tahun 2012 adalah sebesar 434 per 1000 penduduk
negara X.

2.4.2 Ukuran Perkawinan Umum

Angka perkawinan umum menunjukkan proporsi penduduk yang berstatus kawin terhadap
jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas pada pertengahan tahun untuk satu tahun tertentu.
Seperti halnya dengan angka perkawinan kasar, angka perkawinan umum digunakan untuk
memperhitungkan proporsi penduduk kawin. Namun disini, pembagiannya adalah
penduduk usia 15 tahun ke atas dimana penduduk bersangkutan lebih beresiko kawin.
Penduduk berumur kurang dari 15 tahun tidak diikutsertakan sebagai pembagi karena
umumnya mereka tidak beresiko kawin. Sehingga angka perkawinan umum menunjukkan
informasi yang lebih realitas. Data yang diperlukan adalah jumlah penduduk berstatus
kawin yang tercatat dalam satu tahun dan jumlah penduduk pertengahan tahun umur 15
tahun ke atas.

Cara menghitung :

Jumlah penduduk yang berstatus kawin dalam satu tahun tertentu dibagi dengan jumlah
penduduk berumur 15+ tahun pada pertengahan tahun tertentu serta dikalikan dengan 1000
Mu = M/P15 x 1000

Mu = Angka perkawinan umum

M = Jumlah perkawinan dalam satu tahun

P15 = Jumlah penduduk pertengahan tahun pada usia 15+ tahun

Contoh :

Jumlah penduduk negara X usia 15+ pada tahun 2012 menurut hasil sensus penduduk
adalah 139.991.880, jika penduduk berstatus kawin 91.274.893 maka angka perkawinan
umum adalah:

Mu = 91.274.893/139.991.880 x 1000 = 652

Dari 1000 penduduk negara X usia 15+ terdapat 652 orang berstatus kawin.
Angka ini menunjukan rasio penduduk usia 15+ yang berstatus kawin tanpa
mempedulikan urutan perkawinannya dan juga bukan rasio banyaknya perkawinan
penduduk diatas usia 15 tahun yang terjadi selama tahun 2012. Interpretasi ini dapat
diartikan sebagai angka perkawinan umum Indonesia tahun 2012 adalah sebesar 652 per
1000 penduduk negara X.

2.4 Angka Perkawinan Spesifik

Dalam penghitungan Angka Perkawinan Kasar maupun Angka Perkawinan Umum


tidak diperhatikan umur dan jenis kelamin. Perkawinan merupakan hubungan antara 2
jenis kelamin yang berbeda, dan pada umumnya mempunyai karakteristik yang berbeda.
Angka Perkawinan Spesifik (age specific marriage rate) atau Angka Perkawinan
Menurut Kelompok Umur melihat penduduk berstatus kawin menurut kelompok umur
dan jenis kelamin. Angka perkawinan umur spesifik berguna untuk melihat perbedaan
konsekuensi perkawinan yang berbeda antar kelompok umur maupun jenis kelamin.
Perbedaan tersebut menyangkut kesiapan mental, kesiapan redproduksi dan lain
sebagainya. Angka Perkawinan Spesifik ini memberikan gambaran persentase
penduduk kawin menurut kelompok umur dan jenis kelamin, sehingga dapat
diperbandingkan perbedaannya.

Diketahuinya Angka Perkawinan Menurut Umur dan jenis kelamin ini dapat
memberikan inspirasi pengembangan program-program yang ditujukan kepada remaja
seperti penundaan perkawinan, jika sudah kawin maka setidaknya bagi anak perempuan
disarankan untuk menunda kehamilan sampai mencapai usia yang cukup, pelayanan
kesehatan reproduksi terutama bagi anak perempuan sehingga mereka siap untuk
mengarungi masa reproduksi sehat. Data yang diperlukan adalah jumlah perkawinan
menurut kelompok umur dan jenis kelamin yang terjadi dalam satu tahun dan jumlah
penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur pada pertengahan tahun.

Cara Menghitung

Jumlah penduduk berstatus kawin pada kelompok umur i dengan jenis kelamin s
dibagikan dengan jumlah penduduk pada kelompok umur i dengan jenis kelamin s
dikalikan dengan 1000.
M is
mis 1000
Pi s
Dimana :

mi = Angka Perkawinan Menurut Kelompok Umur (i) dan jenis kelamin (s)
s
Mi = Jumlah penduduk kawin menurut kelompok umur (i) dan jenis kelamin (s)

Pi s = Jumlah penduduk menurut kelompok umur (i) dan jenis kelamin (s)

Contoh :

Jumlah penduduk Laki-laki Indonesia usia 15-19 pada tahun 2012 menurut hasil sensus
penduduk adalah 10.649.348 jika penduduk berstatus kawin untuk kelompok yang
sama adalah sebesar 247.152 maka angka perkawinan penduduk laki-laki usia 15-19
tahun adalah :

M15-19laki-laki = 247.152/ 10.649.348 x 1000 = 23,21

Contoh kedua, jika hendak dilihat berapa Angka Perkawinan penduduk


perempuan untuk kelompok umur yang sama dari data sensus penduduk. Jika diketahui
jumlah penduduk perempuan usia 15-19 tahun 10.500.169 dan yang berstatus kawin
ada sebanyak 1.335.881, maka Angka Perkawinan perempuan usia 15-19 tahun
adalah:

M = 1.335.881/10.500.169 x 1000 = 127,22


Dari 1000 penduduk laki-laki negara X usia 15-19 tahun terdapat 23 orang
berstatus kawin. Angka ini menunjukkan rasio penduduk laki-laki usia 15-19 berstatus
kawin tanpa mempedulikan urutan perkawinannya, bukan rasio perkawinan penduduk
laki-laki usia 15-19 tahun yang terjadi selama tahun 2012. Hal yang sama untuk contoh
Angka Perkawinan perempuan usia 15-19 tahun.

Interpretasi ini dapat diartikan sebagai Angka Perkawinan laki-laki usia 15-19
tahun pada tahun 2012 adalah sebesar 23 per 1000 penduduk negara X yang berjenis
kelamin laki-laki dengan usia 15-19 tahun. Jika dibandingkan dengan Angka Perkawinan
perempuan usia 15-19 tahun sudah mencapai 127, artinya dari setiap 1000 perempuan
usia 15-19 tahun ada sebanyak 127 orang yang berstatus kawin. Pada kelompok umur
yang sama lebih banyak perempuan yang sudah kawin dibandingkan laki-laki, hal ini
menunjukkan bahwa perempuan pada kelompok umur ini yang keluar dari sekolah lebih
banyak dari laki-laki. Sebaliknya bagi laki-laki, angka ini menunjukkan bahwa laki-laki
menikah pada usia yang lebih tua dibandingkan perempuan.

Dari angka perkawinan diatas, lebih banyak perempuan yang melakukan


perkawinan pada usia dini atau muda. Oleh karena itu perempuan perlu diberikan
pembekalan tentang kesehatan reproduksi pada usia yang lebih muda dibandingkan laki-
laki. Pembekalan ini perlu dilakukan sebelum mereka kawin sehingga mereka lebih siap
secara mental. Pembekalan dalam bentuk penyuluhan dapat dilakukan sejak dibangku
sekolah dalam bentuk seminar-seminar atau acara- acara ceramah serta tanya jawab
bersama narasumber yang ahli. Selain itu perlu penyuluhan dan pelayanan kepada
pasangan pengantin, terutama yang perempuannya masih usia muda agar menunda
kehamilan anak pertama sehingga perempuan yang menjadi calon ibu siap baik secara
mental maupun fisik.

2.4.4 SMAM (Singulated Mean Age Married )

Dalam praktek penelitian dengan penggunaan data individual (seperti Survai


Demografi dan Kesehatan Indonesia) penghitungan rata-rata umur pertama kali kawin
atau rata-rata pertama kali melahirkan dengan menghitung langsung nilai rata-rata
umurnya sering terbentur pada masalah truncation data. Dikatakan itu karena pada
umumnya responden yang diwawancara untuk topik fertilitas atau KB berusia 15 tahun
keatas dan telah menikah. Sehingga hasilnya tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya
atau menemukan hasil perhitungan terlalu rendah. Selain itu, penghitungan statistik
tentang rata-rata umur kawin yang paling baik adalah dari pencatatan kependudukan
(registrasi penduduk), namun tidak semua negara mempunyai pencatatan kependudukan
yang baik. Karena kedua kendala diatas maka penghitungan rata-rata umur pertama
kali kawin, dapat diestimasi dengan pendekatan SMAM (Singulate Mean Age at
Marriage). Singulate Mean Age at Marriage (SMAM) adalah perkiraan (estimasi) untuk
rata-rata umur kawin pertama berdasarkan jumlah penduduk yang tetap lajang (belum
kawin).

SMAM menunjukkan pada umur berapa rata-rata sekelompok penduduk pertama


kali kawin. Pada negara seperti Indonesia jika seseorang kawin pada usia muda, maka
peluang untuk melanjutkan pendidikan akan terhenti. Kondisi ini terutama terjadi pada
remaja perempuan yang akan dikeluarkan dari sekolah jika dia diketahui hamil dan
terpaksa kawin. Kegunaan penghitungan umur kawin pertama adalah untuk penyuluhan
pendewasaan usia kawin, peningkatan program kesehatan reproduksi (KESPRO) bagi
remaja dan kalau tahu didaerah mana sasaran kegiatan akan menjadi lebih jelas.
Pengembangan program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) dapat dalam bentuk
penyediaan fasilitas dan tenaga ahli yang khusus menangani kasus-kasus kesehatan
reproduksi bagi remaja seperti pusat informasi dan konseling KRR, menyediakan media
informasi yang ditujukan kepada orang tua atau guru atau konselor tentang bagaimana
dan apa itu kesehatan reproduksi sehingga mereka dapat dengan nyaman menyampaikan
informasi yang benar dan tanpa kendala rasa malu berbicara kepada anak remaja.

Contoh :

Untuk menghitung SMAM digunakan data mengenai jumlah tahun kelangsungan hidup
(survival ratio) dari penduduk dibawah umur 50 tahun yang belum menikah
dibagikan dengan jumlah penduduk menikah sebelum usia 50 tahun. Untuk sampai
pada SMAM diperlukan beberapa langkah-langkah penghitungan, yaitu:

1. Hitung jumlah kelangsungan hidup melajang penduduk sebelum tepat usia 15


tahun. Jika diasumsikan ada 100 orang dengan usia kurang dari 15 tahun belum
kawin (lajang) , maka jumlah tahun yang dijalani dengan melajang adalah

100 x 15 = 1500 kelangsungan hidup

2. Hitung jumlah tahun kelangsungan hidup umur 15-49 tahun. Pertama jumlahkan
persentase penduduk lajang pada kelompok 15-49 tahun. Hasil penjumlahan
dikalikan dengan 5. Misalkan persentase lajang kelompok umur 15-49
penduduk Indonesia pada tahun 2000 (diperoleh dengan membandingkan jumlah
penduduk belum kawin dengan jumlah total penduduk pada kelompok umur
masing-masing) adalah sebagai berikut:

Kelompok Umur Persentase lajang


15-19 91,86
20-24 58,01
25-29 25,33
30-34 9,39
35-39 4,02
40-44 2,33
45-49 1,71
TOTAL 192,65

Kalikan 192,65 dengan 5 (interval umur) diperoleh hasil 963,25 yang menunjukkan
jumlah tahun kelangsungan hidup melajang.

3. Jumlah kelangsungan hidup lajang penduduk sebelum umur 50 tahun adalah


jumlah kelangsungan hidup lajang sebelum 15 tahun (untuk 100 orang yang
diasumsikan pada butir (1)) ditambah dengan jumlah tahun kelangsungan hidup
lajang penduduk antara umur 15-49 tahun, yaitu:
1.500 + 963,25 = 2.463,25 tahun kelangsungan hidup lajang

4. Proporsi penduduk yang masih lajang tepat pada ulang tahun ke 50. Angka ini
diperoleh dari rata-rata persentase penduduk yang lajang pada umur 45-49
dengan 50-54 tahun, yaitu dengan 1,77% dan 1,56%. Proporsi (presentase) untuk
penduduk negara X pada 2012 yang masih melajang tepat pada usia 50 tahun
adalah :
(1,77 + 1,56)/2 = 1,64%
5. Jumlah tahun hidup lajang penduduk sampai tepat umur 50 tahun adalah

1,64 x 50 = 82 kelangsungan tahun hidup lajang

6. Hitung jumlah kelangsungan hidup lajang penduduk kawin sampai tepat umur 50
tahun. Angka ini diperoleh dengan mengurangi hasil butir (3) (5) atau 2.463,25
82 = 2.381,25 tahun kelangsungan hidup lajang dari kelompok yang menikah
sebelum tepat umur 50 tahun.
7. Hitung jumlah penduduk sintesis kita yang menikah sampai tepat umur 50 tahun,
yaitu dengan mengurangi dari 100 orang penduduk yang diasumsikan pada (1)
kurangkan hasil dari langkah (3). Hasilnya adalah 100-1,64 = 98,36
8. Dari 98,36 penduduk sintesis yang menikah sampai tepat umur 50 tahun,
mempunyai 2.381,25 tahun kehidupan lajang (hasil dari butir 6). Untuk
menghitung SMAM adalah dengan membagikan jumlah penduduk sintesis yang
menikah tepat umur 50 tahun dari jumlah tahun kehidupan lajang mereka, atau
2.381,25/98,36 = 24,21 tahun.
9. Interprestasi hasil, angka SMAM 24,21 dapat diinterprestasikan sebagai rata-rata
umur pertama kali kawin penduduk negara X.

Ukuran-ukuran dari perceraian ada 2, yaitu :

2.4.5 Ukuran Perceraian Kasar

Angka Perkawinan Kasar menunjukkan persentase penduduk yang berstatus cerai


terhadap jumlah penduduk keseluruhan pada pertengahan tahun untuk suatu tahun
tertentu. Kegunaan dari pengukuran adalah untuk mengetahui bahwa perceraian
mempunyai implikasi demografis sekaligus implikasi sosiologis. Implikasi demografi
adalah mengurangi fertilitas, sedangkan implikasi sosiologis lebih kepada status cerai
terhadap perempuan dan anak-anak mereka.

Cara menghitung:

Angka perceraian kasar dihitung dengan membagi kasus perceraian yang terjadi
dalam suatu kurun waktu tertentu dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun di
suatu wilayah tertentu.

C = C/P x 1000

Dimana :

C= Angka perceraian kasar

C= angka perceraian dalam satu tahun

P= jumlah penduduk dalam satu tahun


Angka perceraian menunjukkan jumlah perceraian yang terjadi per seribu
penduduk pada suatu tahun tertentu. Sebagai contoh adalah menghitung angka perceraian
kasar di Swedia tahun 1960. Jumlah perceraian selama tahun 1960 di Swedia sebesar
8.958 orang dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun sebesar 7.485.615 orang,
maka angka perceraian kasar di Swedia tahun 1960 adalah: 8.958/7.458.615 x 1000 =
1,2.

2.4.6 Angka Perceraian Umum

Angka Perceraian Umum menunjukkan proporsi penduduk yang berstatus cerai


terhadap jumlah penduduk usia 15 tahun keatas pada pertengahan tahun untuk suatu tahun
tertentu. Seperti halnya dengan Angka Perceraian Kasar, Angka Perceraian Umum
dipergunakan untuk memperhitungkan proporsi penduduk cerai. Namun disini,
pembaginya adalah penduduk 15 tahun keatas dimana penduduk bersangkutan lebih
berisiko cerai. Penduduk berumur kurang dari 15 tahun tidak diikutsertakan sebagai
pembagi karena umumnya mereka tidak berisiko cerai. Sehingga Angka Perkawinan
Umum menunjukan informasi yang lebih baik karena memperhitungkan umur dan faktor
resiko.

Cara menghitung :

Untuk memperoleh angka perceraian yang lebih spesifik bisa dihitung dengan
angka perceraian umum, yang sudah memperhitungkan penduduk yang terkena resiko
perceraian yaitu penduduk berumur 15 tahun ke atas atau disebut penduduk yang
berumur divorceable. Rumus umum yang digunakan adalah:

C15 = C/P15 x 1000

Dimana :

C15 = Angka perceraian umum

C = Angka perceraian yang terjadi selama satu tahun

P15 = Jumlah penduduk 15 tahun keatas pada pertengahan tahun


2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan dan perceraian

2.5.1 Faktor yang mempengaruhi perkawinan

1. Faktor internal (Keinginan dari diri sendiri)


Faktor yang mempengaruhi perkawinan usia muda dapat berasal dari internal
yakni faktor yang berasal dari dalam individu. Keinginan dari anak yaitu remaja
yang memilih menikah atas keinginan sendiri karena telah siap mental dalam
menghadapi kehidupan berumahtangga. Pasangan ini menikah dikarenakan adanya
perasaan saling cinta dan sudah merasa cocok. Kondisi ini yang akhirnya membuat
keputusan untuk melangsungkan perkawinan di usia muda tanpa memikirkan
masalah apa yang akan dihadapi kedepannya.
Timbulnya kemauan dari diri sendiri untuk melangsungkan perkawinan di
usia muda dikarenakan beberapa faktor seperti pengetahuan anak yang diperoleh
dari film atau media-media lain, sehingga mereka yang telah mempunyai pasangan
atau kekasih terpengaruh untuk melakukan perkawinan usia muda.
Selain itu, remaja melakukan perkawinan di usia muda dikarenakan konsep
diri remaja tersebut. Mereka menganggap bahwa setelah melakukan perkawinan di
usia muda sama sekali tidak membuat mereka minder atau tidak percaya diri baik di
lingkungan masyarakat maupun pergaulan mereka. Hanya sedikit dari remaja yang
membatasi pergaulannya setelah kawin dikarena sudah memiliki tanggung jawab
untuk mengurus rumah tangga.
Selain keinginan dari diri sendiri, faktor lain yang mendorong remaja nikah
usia muda berasal dari keinginan dari orang tua. Orang tua memiliki posisi yang
paling tinggi dibandingkan dengan yang lainnya harus dihormati, ditaati, dan
dipatuhi. Orang tua menginginkan anaknya untuk segera menikah karena adanya
rasa takut dari dalam diri orang tua jika anaknya suatu saat melakukan perbuatan
yang membuat malu nama baik orang tua. Selain itu, ada juga yang menikahkan
anaknya agar dapat terbantu dalam segi pekerjaan. Dukungan dari orang tua yang
mempengaruhi perkawinan usia muda dimana Orang tua merasa khawatir terkena
aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket
sehingga mengawinkan anaknya.
2. Faktor eksternal
Beberapa penelitian mengungkap faktor eksternal yang menyebabkan remaja
melakukan pernikahan usia muda diantaranya yaitu faktor ekonomi, hamil diluar
nikah, putus sekolah, sosial, dan lingkungan.
Minimnya ekonomi menyebabkan orang tua menikahkan anaknya di usia
muda, daripada menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Orang tua
yang memiliki anak banyak akan cenderung lebih banyak mengalami kesulitan
dalam hal keuangan jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki sedikit anak.
Faktor kedua yakni faktor hamil diluar nikah yang biasa disebut sebagai
kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan yang tidak diinginkan merupakan
suatu kondisi dimana pasangan tidak menghendaki adanya proses kelahiran dari
suatu kehamilan. Pada remaja, kehamilan yang tidak diinginkan bermula dari
hubungan seks pranikah atau seks bebas. Banyak penelitian yang menunjukan
remaja saat ini mengalami pernikahan di usia muda karena hamil diluar nikah atau
hamil sebelum menikah, dalam arti, penyebab dari remaja menikah di usia muda
karena telah hamil duluan, jadi mau tidak mau mereka harus menikah agar anak
yang dikandungnya.
Faktor eksternal lainnya yaitu putus sekolah yang disebabkan rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat. Sebagian besar putus sekolah disebabkan karena
ekonomi keluarga yang kurang baik dan juga pengaruh dari lingkungan, serta
keinginan dari anak tersebut untuk tidak sekolah. Bahkan mereka mengatakan lebih
baik bekerja yang dapat menghasilkan uang daripada sekolah yang belum tentu
berhasil dan malah menghabiskan uang orang tua.
Faktor sosial yang terdiri dari gaya berpacaran remaja dan pergaulan remaja
juga mendorong remaja menikah usia muda. Gaya pacaran remaja pada saat ini
layaknya sepasang suami istri yang mana mereka tidak malu bergandengan dengan
pacarnya didepan umum dan bermesra-mesraan. Demikian pula pergaulan remaja
saat ini sudah jauh berbeda dengan zaman dahulu. Hal ini merupakan pengaruh dari
teknologi dan budaya asing. Teknologi digunakan sebagai media informasi dan
komunikasi. Pengaruh internet yang seringkali memuat situs porno atau
menampilkan pornografi. Mereka hanya mengunggulkan keinginan untuk meniru
apa yang dilihat tanpa melakukan penyaringan. Dampaknya yaitu adanya pengaruh
media dalam pembentukan sikap serta perilaku remaja. Paparan informasi
seksualitas dari media massa (baik cetak maupun elektronik) yang cenderung
bersifat pornografi dan pornoaksi dapat menjadi referensi yang tidak mendidik bagi
remaja. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan
meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa tersebut.Selain
teknologi, budaya asing juga banyak mempengaruhi perkembangan remaja. Remaja
cenderung meniru gaya-gaya barat yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada
di indonesia. Perlahan-lahan remaja meninggalkan budaya mereka sendiri dan
berganti menirukan budaya barat dapat dianggap gaul, modern, dan juga tidak
kampungan. Faktor lain yang tidak kalah besar pengaruhnya yakni faktor
lingkungan. Lingkungan seperti orang tua, saudara-saudara dan kerabat, dan
pergaulan dengan teman turut memberikan pengaruh dalam diri remaja juga
turut mempengaruhi perkawinan usia muda.

2.5.2 Faktor yang mempengaruhi perceraian

Faktor penyebab perceraian antara lain adalah sebagai berikut :


1. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga
Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain, krisis
keuangan, krisis akhlak, dan adanya orang ketiga. Dengan kata lain, istilah
keharmonisan adalah terlalu umum sehingga memerlukan perincian yang
lebih mendetail.
2. Krisis moral dan akhlak
Selain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering
memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat
dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami ataupun istri, poligami yang
tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku lainnya yang
dilakukan baik oleh suami ataupun istri, misal mabuk, berzinah, terlibat
tindak kriminal, bahkan utang piutang.
3. Perzinahan
Di samping itu, masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadinya
perceraian adalah perzinahan, yaitu hubungan seksual di luar nikah yang
dilakukan baik oleh suami maupun istri.
4. Pernikahan tanpa cinta
Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, untuk
mengakhiri sebuah perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah
berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta. Untuk mengatasi kesulitan
akibat sebuah pernikahan tanpa cinta, pasangan harus merefleksi diri untuk
memahami masalah sebenarnya, juga harus berupaya untuk mencoba
menciptakan kerjasama dalam menghasilkan keputusan yang terbaik.
5. Adanya masalah-masalah dalam perkawinan
Dalam sebuah perkawinan pasti tidak akan lepas dari yang namanya
masalah. Masalah dalam perkawinan itu merupakan suatu hal yang biasa,
tapi percekcokan yang berlarut-larut dan tidak dapat didamaikan lagi
secara otomatis akan disusul dengan pisah ranjang.
2.6 Hukum Perkawinan dan Perceraian.
1. Hukum Perkawinan
a) Arti dan Tujuan Perkawinan Pasal 26 KUHPerdata :
Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-
hubungan perdata. Artinya, bahwa suatu perkawinan yang ditegaskan
dalam pasal diatas hanya memandang hubungan perdata saja, yaitu
hubungan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita yang
mengikatkan diri dalam suatu ikatan perkawinan. Sedangkan tujuan
dari suatu perkawinan tidak disebutkan disini.
b) Syarat sahnya Perkawinan
Syarat sahnya suatu perkawinan dalam KUHPerdata, ialah :
a. Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam
undang-undang, yaitu bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 15
tahun.
b. Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak
c. Untuk seorang perempuan yang telah kawin harus lewat 300 hari
dahulu setelah putusnya perkawinan pertama
d. Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua belah pihak
e.Untuk pihak yang masih dibawah umur harus ada izin dari orangtua
atau walinya.
c) Pencatatan Perkawinan.
Pencatatan perkawinan diperlukan sebagai bukti adanya perkawinan.
Bukti adanya perkawinan ini diperlukan kelak untuk melengkapi
syarat-syarat administrasi yang diperlukan untuk membuat akta
kelahiran, kartu keluarga dan lain-lain. Dalam KUHPerdata, pencatatan
perkawinan ini diatur dalam bagian ke tujuh Pasal 100 dan Pasal 101.
Dalam Pasal 100, bukti adanya perkawinan adalah melalui akta
perkawinan yang telah dibukukan dalam catatan sipil. Pengecualian
terhadap pasal ini yaitu Pasal 101, apabila tidak terdaftar dalam buku di
catatan sipil, atau hilang maka bukti tentang adanya suatu perkawinan
dapat diperoleh dengan meminta pada pengadilan. Di pengadilan akan
diperoleh suatu keterangan apakah ada atau tidaknya suatu perkawinan
berdasarkan pertimbangan hakim
2. Hukum Perceraian
Perceraian menurut bahasa berasal dari kata dasar cerai yang berarti pisah,
kemudian mendapat awalan per yang berfungsi penbentuk kata benda abstrak
kemudian menjadi perceraian yang berarti hasil dari perbuatan cerai.
Menurut prof. Subekti berpendapat :
Undang-undang tidak membenarkan perceraian dengan jalan kemufakatan saja
antara suami istri, tetapi harus ada alas an yang sah.
Adapun menurut KUH Perdata pasal 208 disebutkan bahwa perceraian tidak
dapat terjadi hanya dengan persetujuan bersama. dasar-dasar yang berakibat
perceraian perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Zina
2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk
3. dikenakan penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi setelah
dilangsungkan perkawinan.
4. pencederaan berat atau penganiayaan yang dilakukan oleh salah seorang
suami atau istri terhadap orang lainnya sedemimian rupa, sehingga
membahayakan keselamatan jiwa atau mendatangkan luka-luka yang
membahayakan.
Undang-undang no 1/1974 pasal 38 menyebutkan bahwa perkawinan dapat
putus karena kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan. perceraian
hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alas an bahwa antar suami istri
itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Adapun alasan-alasan bagi suami untuk sampai pada ucapan talak adalah
dikarenakan istri berbuat zina, nusyuz (suka kelaur rumah yang
mencurigakan), suka mabuk, berjudi dan atau berbuat sesuatu yang
ketentraman dalam rumah tangga atau sebab-sebab lain yang tidak
memungkinkan pembinaan rumah tangga yang rukun dan damai.
Sementara itu alasan perceraian dapat ditemukan pula secara rinci dalam
Undang-undang Perkawinan Indonesia no 1/1974. Kitab tersebut merupakan
kompilasi pendapat para ulama yang sudah diakui oleh badan yang
berwenang, begitu juga dengan PP Nomor 9 tahun 1975, dalam pasal 19
dikatakan bahwa perceaian dapat terjadi karena alas an-alasan sebagai berikut :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya dan sukar di sembuhkan
2. Salah satu pihak meningalkan pihak lainnya selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an yang sah atau hal lain Karen adi luar
kemampuannya
3. Salah satu puhak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan penganiayaan berat atau kekejaman yang
membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihka mendapatkan ccad badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban suami istri.
6. Anatara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta
tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi berumah tangga.
BAB III

PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai