Anda di halaman 1dari 88

Nov

15

FERTILITAS PENDUDUK
BAB I
PENDAHULUAN
Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata dari
seseorang wanita atau sekelompok wanita. Dengan kata lain fertilitas ini menyangkut
banyaknya bayi yang lahir hidup. Fekunditas, sebaliknya, merupakan potensi fisik untuk
melahirkan anak. Jadi merupakan lawan arti kata sterilitas. Natalitas mempunyai arti sama
dengan fertilitas hanya berbeda ruang lingkupnya. Fertilitas mencakup peranan kelahiran
pada perubahan penduduk sedangkan natalitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan
penduduk dan reproduksi manusia.
Istilah fertilitias sering disebut dengan kelahiran hidup (live birth), yaitu terlepasnya
bayi dari rahim seorang wanita dengan adanya tanda-tanda kehidupan, seperti bernapas,
berteriak, bergerak, jantung berdenyut dan lain sebagainya. Sedangkan paritas merupakan
jumlah anak yang telah dipunyai oleh wanita. Apabila waktu lahir tidak ada tanda-tanda
kehidupan, maka disebut dengan lahir mati (still live) yang di dalam demografi tidak
dianggap sebagai suatu peristiwa kelahiran.
Kemampuan fisiologis wanita untuk memberikan kelahiran atau berpartisipasi dalam
reproduksi dikenal dengan istilah fekunditas. Tidak adanya kemampuan ini disebut
infekunditas, sterilitas atau infertilitas fisiologis.
Pengetahuan yang cukup dapat dipercaya mengenai proporsi dari wanita yang
tergolong subur dan tidak subur belum tersedia. Ada petunjuk bahwa di beberapa masyarakat
yang dapat dikatakan semua wanita kawin dan ada tekanan sosial yang kuat terhadap wanita/
pasangan untuk mempunyai anak, hanya sekiat satu atau dua persen saja dari mereka yang
telah menjalani perkawinan beberapa tahun tetapi tidak mempunyai anak. Seorang wanita
dikatakan subur jika wanita tersebut pernah melahirkan paling sedikit seorang bayi.
Pengukuran fertilitas lebih kompleks dibandingkan dengan pengukuran mortalitas
(kematian) karena seorang wanita hanya meninggal sekali, tetapi dapat melahirkan lebih dari
seorang bayi. Kompleksnya pengukuran fertilitas ini karena kelahiran melibatkan dua orang
(suami dan istri), sedangkan kematian hanya melibatkan satu orang saja (orang yang
meninggal). Seseorang yang meninggal pada hari dan waktu tertentu, berarti mulai saat itu

orang tersebut tidak mempunyai resiko kematian lagi. Sebaliknya, seorang wanita yang telah
melahirkan seorang anak, tidak berarti resiko melahirkan dari wanita tersebut menurun.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengukuran fertilitas memiliki dua macam pengukuran, yaitu pengukuran fertilitas
tahunan dan pengukuran fertilitas kumulatif. Pengukuran fertilitas tahunan (vital rates)
adalah mengukur jumlah kelahiran pada tahun tertentu yang dihubungkan dengan jumlah
penduduk yang mempunyai resiko untuk melahirkan pada tahun tersebut. Sedangkan
pengukuran fertilitas kumulatif adalah mengukur jumlah rata-rata anak yang dilahirkan oleh
seorang wanita hingga mengakhiri batas usia subur.
A. Ukuran-ukuran Fertilitas Tahunan
1. Tingkat Fertilitas Kasar (Crude Birth Rate)
Tingkat fertilitas kasar adalah banyaknya kelahiran hidup pada suatu tahun tertentu tiap
1.000 penduduk pada pertengahan tahun. Dalam ukuran CBR, jumlah kelahiran tidak
dikaitkan secara langsung dengan penduduk wanita, melainkan dengan penduduk secara
keseluruhan.
CBR = x k
dimana:
CBR
= Tingkat Kelahiran Kasar
Pm = Penduduk pertengahan tahun
k
= Bilangan konstan yang biasanya 1.000
B
= Jumlah kelahiran pada tahun tertentu
Adapun kelemahan dalam perhitungan CBR yakni tidak memisahkan penduduk lakilaki dan penduduk perempuan yang masih kanak-kanak dan yang berumur 50 tahun ke atas.
Jadi angka yang dihasilkan sangat kasar. Sedangkan kelebihan dalam penggunaan ukuran
CBR adalah perhitungan ini sederhana, karena hanya memerlukan keterangan tentang jumlah
anak yang dilahirkan dan jumlah penduduk pada pertengahan tahun.
2. Tingkat Fertilitas Umum (General Fertility Rate)
Tingkat fertilitas umum mengandung pengertian sebagai jumlah kelahiran (lahir hidup)
per 1.000 wanita usia produktif (15-49 tahun) pada tahun tertentu. Pada tingkat fertilitas kasar
masih terlalu kasar karena membandingkan jumlah kelahiran dengan jumlah penduduk
pertengahan tahun. Tetapi pada tingkat fertilitas umum ini pada penyebutnya sudah tidak
menggunakan jumlah penduduk pada pertengahan tahun lagi, tetapi jumlah penduduk wanita
pertengahan tahun umur 15-49 tahun.
GFR = x k

atau
GFR = x k
dimana:
GFR
= Tingkat Fertilitas Umum
B
= Jumlah kelahiran
Pf (15-49)
= Jumlah penduduk wanita umur 15-49 tahun pada pertengahan tahun
k
= Bilangan konstanta yang bernilai 1.000
Kelemahan dari penggunaan ukuran GFR adalah ukuran ini tidak membedakan
kelompok umur, sehingga wanita yang berumur 40 tahun dianggap mempunyai resiko
melahirkan yang sama besar dengan wanita yang berumur 25 tahun. Namun kelebihan dari
penggunaan ukuran ini ialah ukuran ini cermat daripada CBR karena hanya memasukkan
wanita yang berumur 15-49 tahun atau sebagai penduduk yang exposed to risk.
3. Tingkat Fertilitas menurut Umur (Age Specific Fertility Rate)
Diantara kelompok wanita reproduksi (15-49 tahun) terdapat variasi kemampuan
melahirkan, karena itu perlu dihitung tingkat fertilitas wanita pada tiap-tiap kelompok umur.
Dengan mengetahui angka-angka ini dapat pula dilakukan perbandingan fertilitas antar
penduduk dari daerah yang berbeda.
ASFRi = x k
atau
ASFRi = x k
dimana:
ASFRi = Tingkat Fertilitas menurut Umur
Bi

= Jumlah kelahiran bayi pada kelompok umur i

Pfi

= Jumlah wanita kelompok umur i pada pertengahan tahun

= Angka konstanta, yaitu 1.000


Berdasarkan dua kondisi di atas dapatlah disebutkan beberapa masalah (terkait dengan

SDM) sebagai berikut :


1) Jika fertilitas semakin meningkat maka akan menjadi beban pemerintah dalam hal
penyediaan aspek fisik misalnya fasilitas kesehatan ketimbang aspek intelektual.
2) Fertilitas meningkat maka pertumbuhan penduduk akan semakin meningkat tinggi akibatnya
bagi suatu negara berkembang akan menunjukan korelasi negatif dengan tingkat
kesejahteraan penduduknya.
3) Jika ASFR 20-24 terus meningkat maka akan berdampak kepada investasi SDM yang
semakin menurun.
Adapun kelebihan dari penggunaan ukuran ASFR antara lain :
a. Ukuran lebih cermat dari GFR karena sudah membagi penduduk yang exposed to risk ke
dalam berbagai kelompok umur.
b. Dengan ASFR dimungkinkan pembuatan analisa perbedaan fertilitas (current fertility)
menurut berbagai karakteristik wanita.

c. Dengan ASFR dimungkinkan dilakukannya studi fertilitas menurut kohor.


d. ASFR ini merupakan dasar untuk perhitungan ukuran fertilitas dan reproduksi selanjutnya
(TFR, GRR, dan NRR).
Namun dalam pengukuran ASFR masih terdapat beberapa kelemahan diantaranya
yaitu:
a. Ukuran ini membutuhkan data yang terperinci yaitu banyaknya kelahiran untuk tiap
kelompok umur sedangkan data tersebut belum tentu ada di tiap negara/daerah, terutama
negara yang sedang berkembang. Jadi pada kenyataannya sukar sekali mendapatkan ukuran
ASFR.
b. Tidak menunjukkan ukuran fertilitas untuk keseluruhan wanita umur 15-49 tahun.
4. Tingkat Fertilitas menurut Urutan Kelahiran (Birth Order Specific Fertility Rate)
Tingkat fertilitas menurut urutan kelahiran sangat penting untuk mengukur tinggi
rendahnya fertilitas suatu negara. Kemungkinan seorang istri menambah kelahiran tergantung
pada jumlah anak yang telah dilahirkannya. Seorang istri mungkin menggunakan alat
kontrasepsi setelah mempunyai jumlah anak tertentu dan juga umur anak yang masih hidup.
BOSFR =
atau
dimana:
BOSFR

= Tingkat Fertilitas menurut

Urutan Kelahiran
Boi
= Jumlaha kelahiran urutan ke 1
Pf (15-49) = Jumlah wanita umur 15-49 pertengahan tahun
k
= Bilangan konstan bernilai 1.000
B. Ukuran-ukuran Fertilitas dan Reproduksi secara Kumulatif
1. Total Fertility Rate (TFR)
Tabel 1.1 Angka Fertilitas Total menurut Provinsi 1971, 1980, 1985, 1990,
1991, 1994, 1998, dan 1999
Provinsi

1971

1980

1985

1990

1991

1994

1998

1999

Nanggroe Aceh
Darussalam

4,79

3,76

3,3

2,78

2,69

Sumatera Utara

4,17

3,88

3,08

Sumatera Barat

6,18

3,6

3,19

2,94

2,87

Riau

5,94

n.a

3,1

2,85

2,77

Jambi

6,39

4,62

n.a

2,97

2,87

2,8

Sumatera Selatan

4,78

3,43

2,87

2,78

2,71

Bengkulu

n.a

3,45

2,83

2,77

Lampung

5,75

3,2

3,45

2,74

2,66

DKI Jakarta

3,99

3,25

2,14

1,9

Jawa Barat

3,17

2,61

2,55

Jawa Tengah

5,33

4,37

3,82

2,85

2,77

2,41

2,37

DI Yogyakarta

2,93

2,04

1,79

Jawa Timur

4,72

3,2

2,22

2,02

2,02

Bali

3,09

2,14

Nusa Tenggara Barat

6,49

3,82

3,64

3,12

3,05

Nusa Tenggara Timur

5,54

5,12

n.a

3,87

3,15

3,06

Kalimantan Barat

5,52

4,98

3,94

3,34

2,92

2,81

Kalimantan Tengah

5,87

n.a

2,31

2,86

2,81

Kalimantan Selatan

3,74

2,7

2,33

2,58

2,53

Kalimantan Timur

4,16

n.a

3,21

2,6

2,55

Sulawesi Utara

6,79

2,25

2,62

2,38

2,36

Sulawesi Tengah

6,53

5,9

n.a

3,08

2,78

2,72

Sulawesi Selatan

3,01

2,92

2,7

2,65

Sulawesi Tenggara

5,82

5,66

n.a

3,5

2,87

Maluku

5,61

n.a

3,7

2,92

2,82

Papua

n.a

3,15

3,03

2,96

INDONESIA

2,85

2,65

2,59

Sumber : Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990 , Sensus Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1985 , Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1991 dan 1994

Total Fertility Rate/ TFR adalah rata-rata jumlah anak yang dilahirkan seorang wanita
sampai akhir masa reproduksinya. Rumus perhitungan TFR yaitu sebagai berikut.
Keterangan :
TFR

= Angka Fertilitas Total

ASFR

= Angka Fertilitas Menurut kelompok umur

= Kelompok umur

Kebaikannya :
Merupakan ukuran untuk seluruh wanita usia 15-49 tahun, yang dihitung berdasarkan angka
kelahiran menurut kelompok umur.
2. Gross Reproduction Rate/ GRR
Angka yang menunjukkan rata-rata jumlah anak perempuan yang dilahirkan oleh
seorang wanita selama masa hidupnya, dengan mengikuti pola fertilitas dan mortalitas yang
sama seperti ibunya. Dalam reit reproduksi kasar (GRR) tidak memperhitungkan unsur
kematian. Rumus perhitungan GRR yakni sebagai berikut.
atau
Keterangan :

GRR
= Angka Reproduksi Bruto
ASFR = Angka Fertilitas menurut Kelompok Umur
X
= Kelompok umur
F
= Penduduk perempuan
Kelemahannya :
Tidak memperhitungkan kemungkinan mati bayi wanita tersebut sebelum masa
reproduksinya.
3. Net Reproduction Rate/ NRR
Angka yang menunjukkan rata-rata jumlah anak perempuan yang dilahirkan oleh
seorang wanita selama hidupnya dan akan tetap hidup sampai dapat menggantikan
kedudukan ibunya, dengan mengikuti pola fertilitas dan mortalitas yang sama seperti ibunya.
Ukuran reit reproduksi neto memperhitungkan pula unsur kematian. Adapun rumus
perhitungannya sebagai berikut.
Keterangan :
NRR
= Angka Reproduksi Neto
ASFR = Angka Fertilitas menurut kelompok umur
X
= kelompok umur
F
= penduduk perempuan
= rasio masih hidup sejak lahir hingga umur x
4. Child Woman Rate/ CWR
Perbandingan antara jumlah anak dibawah umur 5 tahun dengan wanita usia
reproduksi. Adapun rumus perhitungan CWR sebagai berikut.
Keterangan :
= Jumlah anak dibawah usia 5 tahun
= banyaknya wanita umur 15-49 tahun
Kelebihan pengukuran CWR adalah tidak usah membuat pertanyaan khusus untuk
mendapatkan data yang diperlukan, dan pengukuran ini berguna untuk indikasi fertilitas di
daerah kecil sebab di negara yang registrasinya cukup baik pun, statistik kelahiran tidak
ditabulasikan untuk daerah yang kecil-kecil.
Kelemahannya yakni langsung dipengaruhi oleh kekurangan pelaporan tentang anak,
yang sering terjadi di negara sedang berkembang. Walaupun kekurangan pelaporan juga
terjadi di kelompok ibunya namun secara relatif kekurangan pelaporan pada anak-anak jauh
lebih besar. Selain itu juga dipengaruhi oleh tingkat mortalitas, di mana tingkat mortalitas
anakm khususnya di bawah 1 tahun juga lebih besar dari orang tua, sehingga CWR selalu
lebih kecil daripada tingkat fertilitas yang seharusnya dan CWR tidak memperhitungkan
distribusi umur dari penduduk wanita.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi dan Menentukan Fertilitas

Ada beragam faktor yang mempengaruhi dan menentukan fertilitas baik yang berupa
faktor demografi maupun faktor non-demografi. Yang berupa faktor demografi diantaranya
adalah struktur umur, umur perkawinan, lama perkawinan, paritas, distrupsi perkawinan dan
proporsi yang kawin sedangkan faktor non-demografi dapat berupa faktor sosial, ekonomi
maupun psikologi.
1. Teori Sosiologi tentang Fertilitas (Davis dan Blake: Variabel Antara)
Kajian tentang fertilitas pada dasarnya bermula dari disiplin sosiologi. Sebelum disiplin
lain membahas secara sistematis tentang fertilitas, kajian sosiologis tentang fertilitas sudah
lebih dahulu dimulai. Sudah amat lama kependudukan menjadi salah satu sub-bidang
sosiologi. Sebagian besar analisa kependudukan (selain demografi formal) sesungguhnya
merupakan analisis sosiologis. Davis and Blake (1956), Freedman (1962), Hawthorne (1970)
telah mengembangkan berbagai kerangka teoritis tentang perilaku fertilitas yang pada
hakekatnya bersifat sosiologis.
Dalam tulisannya yang berjudul The Social structure and fertility: an analytic
framework (1956)2 Kingsley Davis dan Judith Blake melakukan analisis sosiologis tentang
fertilitas. Davis and Blake mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas
melalui apa yang disebut sebagai variabel antara (intermediate variables).
Menurut Davis dan Blake faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya yang mempengaruhi
fertilitas akan melalui variabel antara. Ada 11 variabel antara yang mempengaruhi fertilitas,
yang masing-masing dikelompokkan dalam tiga tahap proses reproduksi sebagai berikut:

Intermediate variables of fertility


a. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hubungan kelamin (intercouse variables):
Faktor-faktor yang mengatur tidak terjadinya hubungan kelamin:
1) Umur mulai hubungan kelamin
2) Selibat permanen: proporsi wanita yang tidak pernah mengadakan hubungan kelamin
3) Lamanya masa reproduksi sesudah atau diantara masa hubangan kelamin:
i. Bila kehidupan suami istri cerai atau pisah
ii. Bila kehidupan suami istri nerakhir karena suami meninggal dunia
Faktor-faktor yang mengatur terjadinya hubungan kelamin
4) Abstinensi sukarela
5) Berpantang karena terpaksa (oleh impotensi, sakit, pisah sementara)
6) Frekuensi hubungan seksual
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konsepsi (conception variables):
7) Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak disengaja
8) Menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi:
i. Menggunakan cara-cara mekanik dan bahan-bahan kimia
ii. Menggunakan cara-cara lain

9)

Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang disengaja (sterilisasi,

subinsisi, obat-obatan dan sebagainya)


c. Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan dan kelahiran (gestation variables)
10) Mortalitas janin yang disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak disengaja
11) Mortalitas janin oleh faktor-faktor yang disengaja
Menurut Davis dan Blake, setiap variabel diatas terdapat pada semua masyarakat.Sebab
masing-masing variabel memiliki pengaruh (nilai) positif dan negatifnya sendiri-sendiri
terhadap fertilitas. Misalnya, jika pengguguran tidak dipraktekan maka variabel nomor 11
tersebut bernilai positif terhadap fertilitas. Artinya, fertilitas dapat meningkat karena tidak ada
pengguguran. Dengan demikian ketidak-adaan variabel tersebut juga suatu masyarakat
masing-masing variabel bernilai negatif atau positif maka angka kelahiran yang sebenarnya
tergantung kepada neraca netto dari nilai semua variabel.
2. Ronald Freedman: Variabel Antara dan Norma Sosial
Menurut Freedman variabel antara yang mempengaruhi langsung terhadap fertilitas pada
dasarnya juga dipengaruhi oleh norma-norma yang berlaku di suatu masyarakat. Pada
akhirnya perilaku fertilitas seseorang dipengaruhi norma-norma yang ada yaitu norma tentang
besarnya keluarga dan norma tentang variabel antara itu sendiri. Selanjutnya norma-norma
tentang besarnya keluarga dan variabel antara di pengaruhi oleh tingkat mortalitas dan
struktur sosial ekonomi yang ada di masyarakat.
Menurut Freedman intermediate variables yang dikemukakan Davis-Blake menjadi
variabel antara yang menghubungkan antara norma-norma fertilitas yang sudah mapan
diterima masyarakat dengan jumlah anak yang dimiliki (outcome). Ia mengemukakan bahwa
norma fertilitas yang sudah mapan diterima oleh masyarakat dapat sesuai dengan fertilitas
yang dinginkan seseorang. Selain itu, norma sosial dianggap sebagai faktor yang dominan.
Secara umum Freedman mengatakan bahwa:
Salah satu prinsip dasar sosiologi adalah bahwa bila para anggota suatu masyarakat
menghadapi suatu masalah umum yang timbul berkali-kali dan membawa konsekuensi sosial
yang penting, mereka cenderung menciptakan suatu cara penyelesaian normatif terhadap
masalah tersebut. Cara penyelesaian ini merupakan serangkaian aturan tentang bertingkah
laku dalam suatu situasi tertentu, menjadi sebagian dari kebudayaannya dan masyarakat
mengindoktrinasikan kepada para anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan norma
tersebut baik melalui ganjaran (rewards) maupun hukuman (penalty) yang implisit dan
eksplisit. ... Karena jumlah anak yang akan dimiliki oleh sepasang suami isteri itu
merupakan masalah yang sangat universal dan penting bagi setiap masyarakat, maka akan

terdapat suatu penyimpangan sosiologis apabila tidak diciptakan budaya penyelesaian yang
normatif untuk mengatasi masalah ini
Jadi norma merupakan resep untuk membimbing serangkaian tingkah laku tertentu
pada berbagai situasi yang sama. Norma merupakan unsur kunci dalam teori sosiologi
tentang fertilitas. Dalam artikelnya yang berjudul Theories of fertility decline: a
reappraisal (1979).
Freedman juga mengemukakan bahwa tingkat fertilitas yang cenderung terus menurun di
beberapa negara pada dasarnya bukan semata-mata akibat variabel-variabel pembangunan
makro seperti urbanisasi dan industrialisasi sebagaimana dikemukakan oleh model transisi
demografi klasik tetapi berubahnya motivasi fertilitas akibat bertambahnya penduduk yang
melek huruf serta berkembangnya jaringan-jaringan komunikasi dan transportasi.
Menurut Freedman, tingginya tingkat modernisasi tipe Barat bukan merupakan syarat
yang penting terjadinya penurunan fertilitas. Pernyataan yang paling ekstrim dari suatu teori
sosiologi tentang fertilitas sudah dikemukakan oleh Judith Blake. Ia berpendapat bahwa
masalah ekonomi adalah masalah sekunder bukan masalah normatif; jika kaum miskin
mempunyai anak lebih banyak daripada kaum kaya, hal ini disebabkan karena kaum miskin
lebih kuat dipengaruhi oleh norma-norma pro-natalis daripada kaum kaya.
3. Teori Ekonomi tentang Fertilitas
Pandangan bahwa faktor-faktor ekonomi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
fertilitas bukanlah suatu hal yang baru. Dasar pemikiran utama dari teori transisi demografis
yang sudah terkenal luas adalah bahwa sejalan dengan diadakannya pembangunan sosialekonomi, maka fertilitas lebih merupakan suatu proses ekonomis dari pada proses biologis.
Berbagai metode pengendalian fertilitas seperti penundaan perkawinan, senggama
terputus dan kontrasepsi dapat digunakan oleh pasangan suami istri yang tidak menginginkan
mempunyai keluarga besar, dengan anggapan bahwa mempunyai banyak anak berarti
memikul beban ekonomis dan menghambat peningkatan kesejahteraan sosial dan material.
Bahkan sejak awal pertengahan abad ini, sudah diterima secara umum bahwa hal inilah yang
menyebabkan penurunan fertilitas di Eropa Barat dan Utara dalam abad 19. Leibenstein dapat
dikatakan sebagai peletak dasar dari apa yang dikenal dengan teori ekonomi tentang
fertilitas. Menurut Leibenstein tujuan teori ekonomi fertilitas adalah:
untuk merumuskan suatu teori yang menjelaskan faktor-faktor yang menentukan
jumlah kelahiran anak yang dinginkan per keluarga. Tentunya, besarnya juga tergantung
pada berapa banyak kelahiran yang dapat bertahan hidup (survive). Tekanan yang utama
adalah bahwa cara bertingkah laku itu sesuai dengan yang dikehendaki apabila orang

melaksanakan perhitungan-perhitungan kasar mengenai jumlah kelahiran anak yang


dinginkannya. Dan perhitungan perhitungan yang demikian ini tergantung pada
keseimbangan antara kepuasan atau kegunaan (utility) yang diperoleh dari biaya tambahan
kelahiran anak, baik berupa uang maupun psikis. Ada tiga macam tipe kegunaan yaitu (a)
kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu barang konsumsi misalnya sebagai
sumber hiburan bagi orang tua; (b) kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu
sarana produksi, yakni, dalam beberapa hal tertentu anak diharapkan untuk melakukan
suatu pekerjaan tertentu dan menambah pendapatan keluarga; dan (c) kegunaan yang
diperoleh dari anak sebagai sumber ketentraman, baik pada hari tua maupun sebaliknya.
Menurut Leibenstein anak dilihat dari dua aspek yaitu aspek kegunaannya (utility) dan
aspek biaya (cost). Kegunaannya adalah memberikan kepuasaan, dapat memberikan balas
jasa ekonomi atau membantu dalam kegiatan berproduksi serta merupakan sumber yang
dapat menghidupi orang tua di masa depan. Sedangkan pengeluaran untuk membesarkan
anak adalah biaya dari mempunyai anak tersebut. Biaya memiliki tambahan seoarang anak
dapat dibedakan atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. Yang dimaksud biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan dalam memelihara anak seperti memenuhi
kebutuhan sandang dan pangan anak sampai ia dapat berdiri sendiri. Yang dimaksud biaya
tidak langsung adalah kesempatan yang hilang karena adanya tambahan seoarang anak.
Misalnya, seoarang ibu tidak dapat bekerja lagi karena harus merawat anak, kehilangan
penghasilan selama masa hamil, atau berkurangnya mobilitas orang tua yang mempunyai
tanggungan keluarga besar (Leibenstein, 1958).
Menurut Leibenstein, apabila ada kenaikan pendapatan maka aspirasi orang tua akan
berubah. Orang tua menginginkan anak dengan kualitas yang baik. Ini berarti biayanya naik.
Pengembangan lebih lanjut tentang ekonomi fertiitas dilakukan oleh Gary S. Becker dengan
artikelnya yang cukup terkenal yaitu An Economic Analysis of Fertility.
Menurut Becker anak dari sisi ekonomi pada dasarnya dapat dianggap sebagai barang
konsumsi (a consumption good, consumers durable) yang memberikan suatu kepuasan
(utility) tertentu bagi orang tua. Bagi banyak orang tua, anak merupakan sumber pendapatan
dan kepuasan (satisfaction). Secara ekonomi fertilitas dipengaruhi oleh pendapatan keluarga,
biaya memiliki anak dan selera. Meningkatnya pendapatan (income) dapat meningkatkan
permintaan terhadap anak.
Karya Becker kemudian berkembang terus antara lain dengan terbitanya buku A Treatise
on the Family. Perkembangan selanjutnya analisis ekonomi fertilitas tersebut kemudian
membentuk teori baru yang disebut sebagai ekonomi rumah tangga (household economics).

Analisis ekonomi fertilitas yang dilakukan oleh Becker kemudian diikuti pula oleh beberapa
ahli lain seperti Paul T. Schultz, Mark Nerlove, Robert J. Willis dan sebagainya. Dalam
tulisannya yang berjudul Economic growth and population: Perspective of the new home
economics6 Nerlove mengemukakan:
Ekonomi rumah tangga terdiri dari empat unsur utama, yaitu (a) suatu fungsi
kegunaan. Yang dimaksud kegunaan disini bukanlah dalam arti komoditi fisik melainkan
berbagai kepuasan yang dihasilkan rumah tangga; (b) suatu teknologi produksi rumah
tangga; (c) suatu lingkungan pasar tenaga kerja yang menyediakan sarana untuk merubah
sumber-sumber daya rumah tangga menjadi komoditi pasar; dan (d) sejumlah keterbatasan
sumber-sumber daya rumah tangga yang terdiri dari harta warisan dan waktu yang tersedia
bagi setiap anggota rumah tangga untuk melakukan produksi rumah tangga dan
kegiatankegiatan pasar. Waktu yang tersedia dapat berbeda-beda kualitasnya, dan dalam hal
ini tentunya termasuk juga sumberdaya manusia (human capital) yang diwariskan dan
investasi sumberdaya manusia dilakukan oleh suatu generasi baik untuk kepentingan tingkah
laku generasi-generasi yang akan datang maupun untuk kepentingan tingkah laku sendiri
Dalam analisis ekonomi fertilitas dibahas mengapa permintaan akan anak berkurang bila
pendapatan meningkat; yakni apa yang menyebabkan harga pelayanan anak berkaitan dengan
pelayanan komoditi lainnya meningkat jika pendapatan meningkat?
New household economics berpendapat bahwa (a) orang tua mulai lebih menyukai anakanak yang berkualitas lebih tinggi dalam jumlah yang hanya sedikit sehingga harga beli
meningkat; (b) bila pendapatan dan pendidikan meningkat maka semakin banyak waktu
(khususnya waktu ibu) yang digunakan untuk merawat anak. Jadi anak menjadi lebih mahal.
Di dalam setiap kasus, semua pendekatan ekonomi melihat fertilitas sebagai hasil dari
suatu keputusan rasional yang didasarkan atas usaha untuk memaksimalkan fungsi utility
ekonomis yang cukup rumit yang tergantung pada biaya langsung dan tidak langsung,
keterbatasan sumberdaya, selera. Topik-topik yang dibahas dalam ekonomi fertilitas antara
berkaitan dengan pilihan-pilihan ekonomi seseorang dalam menentukan fertilitas (jumlah dan
kualitas anak). Pertimbangan ekonomi dalam menentukan fertilitas terkait dengan income,
biaya (langsung maupun tidak langsung), selera, modernisasi dan sebagainya.
Sejalan dengan apa yang telah dikemukakan Becker, Bulato menulis tentang konsep
demand for children and supply of children. Konsep demand for children dan supply of
children dikemukakan dalam kaitan menganalisis economic determinan factors dari fertilitas.
Bulatao mengartikan konsep demand for children sebagai jumlah anak yang dinginkan.

Termasuk dalam pengertian jumlah adalah jenis kelamin anak, kualitas, waktu memliki anak
dan sebagainya.
Konsep demand for children diukur melalui pertanyaan survey tentang jumlah keluarga
yang ideal atau diharapkan atau diinginkan. Pertanyaannya, apakah konsep demand for
children berlaku di negara berkembang. Apakah pasangan di negara berkembang dapat
memformulasikan jumlah anak yang dinginkan? Menurut Bulato, jika pasangan tidak dapat
memformulasikan jumlah anak yang dinginkan secara tegas maka digunakan konsep latent
demand dimana jumlah anak yang dinginkan akan disebut oleh pasangan ketika mereka
ditanya.
Menurut Bulatao, modernisasi berpengaruh terhadap demand for children dalam kaitan
membuat latent demand menjadi efektif. Menurut Bulatao, demand for children dipengaruhi
(determined) oleh berbagai faktor seperti biaya anak, pendapatan keluarga dan selera. Dalam
artikel tersebut Bulato membahas masing-masing faktor tersebut (biaya anak, pendapatan,
selera) secara lebih detail. Termasuk didalamnya dibahas apakah anak bagi keluarga di negara
berkembang merupakan net supplier atau tidak. Sedang supply of children diartikan
sebagai banyaknya anak yang bertahan hidup dari suatu pasangan jika mereka tidak
berpisah/cerai pada suatu batas tertentu. Supply tergantung pada banyaknya kelahiran dan
kesempatan untuk bertahan hidup. Supply of children berkaitan dengan konsep kelahiran
alami (natural fertility).
Menurut Bongart dan Menken fertilitas alami dapat diidentifikasi melalui lima hal utama,
yaitu:
a. Ketidak-suburan setelah melahirkan (postpartum infecundibality)
b. Waktu menunggu untuk konsepsi (waiting time to conception)
c. Kematian dalam kandungan (intraurine mortality)
d. Sterilisasi permanen (permanent sterility)
e. Memasuki masa reproduksi (entry into reproductive span)
Analisis ekonomi tentang fertilitas juga dikemukakan oleh Richard A. Easterlin. Menurut
Easterlin permintaan akan anak sebagian ditentukan oleh karakteristik latar belakang individu
seperti agama, pendidikan, tempat tinggal, jenis/tipe keluarga dan sebagainya. Setiap
keluarga mempunyai norma-norma dan sikap fertilitas yang dilatarbelakangi oleh
karakteristik diatas. Easterlin juga mengemukakan perlunya menambah seperangkat
determinan ketiga (disamping dua determinan lainnya: permintaan anak dan biaya regulasi
fertilitas) yaitu mengenai pembentukan kemampuan potensial dari anak. Hal ini pada

gilirannya tergantung pada fertilitas alami (natural fertility) dan kemungkinan seorang bayi
dapat tetap hidup hingga dewasa.
Fertilitas alami sebagian tergantung pada faktor-faktor fisiologis atau biologis, dan
sebagian lainnya tergantung pada praktek-praktek budaya. Apabila pendapatan meningkat
maka terjadilah perubahan suplai anak karena perbaikan gizi, kesehatan dan faktor-faktor
biologis lainnya. Demikian pula perubahan permintaan disebabkan oleh perubahan
pendapatan, harga dan selera. Pada suatu saat tertentu, kemampuan suplai dalam suatu
masyarakat bisa melebihi permintaan atau sebaliknya.
Easterlin berpendapat bahwa bagi negara-negara berpendapatan rendah permintaan
mungkin bisa sangat tinggi tetapi suplainya rendah, karena terdapat pengekangan biologis
terhadap kesuburan. Hal ini menimbulkan suatu permintaan berlebihan (excess demand)
dan juga menimbulkan sejumlah besar orang yang benar-benar tidak menjalankan praktekpraktek pembatasan keluarga. Di pihak lain, pada tingkat pendapatan yang tinggi, permintaan
adalah rendah sedangkan kemampuan suplainya tinggi, maka akan menimbulkan suplai
berlebihan (over supply) dan meluasnya praktek keluarga berencana. John C. Caldwell juga
melakukan analisis fertilitas dengan pendekatan ekonomi sosiologis.
Tesis fundamentalnya adalah bahwa tingkah laku fertilitas dalam masyarakat pratradisional dan pasca-transisional itu dilihat dari segi ekonomi bersifat rasional dalam
kaitannya dengan tujuan ekonomi yang telah ditetapkan dalam masyarakat, dan dalam arti
luas dipengaruhi juga oleh faktor-faktor biologis dan psikologis.
Teori Caldwell menekankan pada pentingnya peranan keluarga dalam arus kekayaan
netto (net wealth flows) antar generasi dan juga perbedaan yang tajam pada regim demografis
pra-transisi dan pasca-transisi. Caldwell mengatakan bahwa sifat hubungan ekonomi dalam
keluarga menentukan kestabilan atau ketidak-stabilan penduduk. Jadi pendekatannya lebih
menekankan pada dikenakannya tingkah laku fertilitas terhadap individu (atau keluarga inti)
oleh suatu kelompok keluarga yang lebih besar (bahkan yang tidak sedaerah) dari pada oleh
norma-norma yang sudah diterima masyarakat. Seperti diamati oleh Caldwell, didalam
keluarga selalu terdapat tingkat eksploitasi yang besar oleh suatu kelompok (atau generasi)
terhadap kelompok atau generasi lainnya, sehingga jarang dilakukan usaha pemaksimalan
manfaat individu. Selain teori yang disajikan dalam tulisan ini masih banyak teori lain yang
membahas fertilitas. Namun karena keterbatasan tempat tidak semua teori fertilitas dapat
disajikan dalam tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA

Becker, Gary S., An Economic Analysis of Fertility dalam Becker, Gary S., The Economic
Approach to Human Behaviour, The University of Chicago, 1976, pp. 171-194
Becker, Gary S., A Treatise on the Family, Harvard University Press, London, England, 1981
Davis, Kingsley & Judith Blake, Struktur Sosial dan Fertilitas (Social structure and fertility: an
analytical framework), Lembaga Kependudukan UGM, Yogyakarta, 1974
Freedman, Ronald, Theories of fertility decline: a reappraisal in Philip M. Hauser (ed.), World
Lee, Ronald D. & Rodolfo A. Bulatao, The Demand for Children: A Critical Essay dalam Bulatao
& Lee (Ed.), Determinants of Fertility in Developing Countries Volume 1 Supply and
Demand for Children, Academic Press, 1983, London
Hatmadji, Sri Harjati. 2004. Dasar-dasar Demografi. Edisi 2004. Lembaga Demografi Fakultas
Ekonomi UI Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta
Ida Bagoes Mantra. 2009. Demografi Umum. Edisi kedua. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Nerlove, Mark, Economic growth and population: Perspective of the new home economics,
Agricultural Development Council, Inc, ADC Reprint Series, 1974 dikutip dari Robinson &
Harbison, Ibid, p.4
Population and development, Syracuse University Press, New York, 1979.
Said Rusli. 1986. Pengantar Ilmu Kependudukan. LP3ES
Sri Rahayu Sanusi,SKM,Mkes. Masalah Kependudukan Di Negara Indonesia. Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Sumatera Utara
Robinson, Warren C. & Sarah F. Harbison, Menuju Teori Fertilitas Terpadu (Toward a unified
theory of fertility), Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan UGM, Yogyakarta, 1983
Diposkan 15th November 2011 oleh Agrittude
0

Tambahkan komentar

Agrittude

Klasik

Kartu Lipat

Majalah

Mozaik

Bilah Sisi

Cuplikan

Kronologis

1.
Nov
23

MAKALAH KEWIRAUSAHAAN
Gaya dan Konsistensi Kepemimpinan

I.

PENDAHULUAN

Kepemimpinan,bagi seorang wirausaha adalah modal yang sama pentingnya


dengan kepercayaan dan kreativitas. Kreativitas yang tinggi membuat individu
inovatif dan adaptif, kaya dengan pembaruan dan tidak mudah dihambat oleh
kejadian-kejadian dari luar. Namun tanpa kepercayaan, kreativitas yang hebat tidak
mempunyai nilai pasar, tidak dapat diterima di mana-mana. Kepemimpinan
menggabungkan kreativitas dan kepercayaan menjadi sebuah usaha yang efektif yang
berpengaruh luas dan hidup.
Sebuah usaha yang dibangun tanpa kepemimpinan yang kuat hanya akan
menjadi usaha kecil yang stagnan (tidak berkembang). Individu hanya mampu
memimpin sedikit orang dari usaha kecil dan tidak ada pertumbuhan usaha. Tanpa
kepemimpinan, tidak ada orang hebat yang bekerja pada individu. Karyawan individu
tidak betah bekerja sama dengan individu dan pengetahuan atau pengalaman yang
sudah individu tanam, hilang bersama kepindahan mereka. Tanpa kepemimpinan,
tidak ada visi besar yang dapat dibangun menjadi sebuah usaha besar. Hanya orangoarang yang tidak bisa ke mana-mana yang bertahan bekerja pada individu.
Sebaliknya, kepemimpinanlah yang akan membentuk usaha individu menjadi
besar dan banyak orang yang mau bekerja dengan individu. Kepemimpinan dibentuk
bertahap, sejalan dengan tumbuhnya usaha. Dari kombinasi pengetahuan,
pengalaman, ketrampilan, cara mengarahkan dan penerimaan.

Dewasa ini, hampir setiap hari di Indonesia, kita menyaksikan nama-nama baru
bermunculan menjadi wirausaha-wirausaha junior. Sebaliknya, hampir setiap hari kita
saksikan wirausaha-wirausaha sering terlibat perkara-perkara hukum, bisnisnya
ditutup dan mereka kehilangan reputasi. Sebagian besar wirausaha Indonesia juga
bergulat dengan ketidakpastian dan semakin banyak yang hidup dalam kesulitan.
Banyak bisnis keluarga yang pecah karena lemahnya kepemimpinan dari para ahli
waris yang dituakan.
Sebaliknya, ada yang memiliki mimpi besar, tumbuh, dan berkembang tetapi
belum dibangun dengan kepemimpinan yang kuat. Sejarah kewirausahaan indonesia
pun ditindividui dengan kentalnya jiwa dagang, tetapi miskin kepemimpinan.
Sebagian besar usaha-usaha yang dibangun dengan jiwa dagang itu umumnya hancur
begitu memasuki generasi kedua atau ketiga.
Tanpa kepemimpinan, sukses dan entrepreunership akan membatasi mimpimimpi individu. Maxwell (1993) menindividuskan, dedikasi suci bisa membuat
individu sukses, tetapi rendahnya kemampuan leadership mengakibatkan efektivitas
usaha individu terbatas.
Persoalan kepemimpinan selalu memberikan kesan yang menarik, oleh sebab itu
permasalahan kepemimpinan merupakan topik yang menarik dan dapat dimulai dari
sudut mana saja bahkan dari waktu ke waktu menjadi perhatian manusia. Ada yang
berpendapat masalah kepemimpinan itu sama halnya dengan sejarah manusia,
kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya suatu keterbatasan dan kelebihankelebihan, tetapi pada manusia di satu pihak manusia terbatas kemampuannya untuk
memimpin. Disinilah timbulnya kebutuhan akan pemimpin dan kepemimpinan.
Kalau ditelusuri lebih lanjut, betapa pentingnya pemimpin dan kepemimpinan
dalam suatu kelompok organisasi jika terjadi suatu konflik atau perselisihan antara
orang-orang dalam kelompok tersebut, maka organisasi mencari alternative
pemecahannya supaya terjamin keteraturan dan dapat ditaati bersama, dengan
demikian terbentuklah aturan-aturan, norma-norma atau kebijakan untuk ditaati agar
konflik tidak terulang lagi. Ketika itulah orang-orang mulai mengidentifikasikan
dirinya pada kelompok, dalam hal ini peranan pimpinan sangat dibutuhkan.
Melihat pentingnya sudut situasi dan waktu yang dipengaruhi oleh lingkungan
kerja organisasi, maka dipandang perlu pemimpin yang melihat kondisi dan
lingkungan berdasarkan gaya kepemimpinan yang diperannya. Para pemimpin yang
melihat situasi dalam mengembangkan karyawannya, dimana keterkaitan ini
menguntungkan bagi karyawan dengan adanya kesempatan mereka meningkatkan
prestasi kerja (kinerja) dapat didukung secara informal oleh pemimpin yang bersifat
melihat situasi kecenderungan karakteristik sifat dan tingkat prestasi karyawannya.
Memiliki sikap konsisten adalah ciri yang harus dimiliki oleh seorang leader.
Karena hanya dengan bersikap konsisten, maka individu bisa menjadi seorang
pemimpin yang dapat dipercaya dan dihormati oleh orang-orang yang dipimpin.
Konsisten adalah salah satu habit penting yang diharapkan karyawan dari seorang
pemimpin. Bagaimana caranya menjadi seorang pemimpin yang konsisten?
Pemimpin yang konsisten itu terletak pada perkataan serta perilakunya. Sehebat
apapun leadership skill seseorang, namun jika perkataan serta perilakunya tidak

menunjukkan konsistensi, maka pastilah akan mengurangi reputasinya di mata


bawahan.
Seorang pemimpin yang memberikan perintah yang membingungkan ataupun
berperilaku tidak konsisten, juga punya potensi menghasilkan penurunan
produktivitas karyawan ataupun menimbulkan demotivasi. Seorang pemimpin, perlu
untuk memperlihatkan konsistensi, karena jika tidak akan menimbulkan kebingungan,
rasa tidak percaya, dan rasa kurang hormat dari bawahan, partner, supplier, hingga
pelanggan Anda. Anda merasa tidak melakukannya, namun mungkin Anda
melakukannya tanpa Anda sadari. Misalnya, Anda berjanji sesuatu namun tidak
ditepati, menganak emaskan karyawan tertentu, membuat pengecualian dari
kebijakan yang Anda buat sendiri, ataupun berusaha berkelit dari masalah yang ada.
Ketika perilaku inkonsistensi tersebut menjadi sebuah rutinitas, maka karyawan
menjadi tidak yakin kepada diri Anda. Mereka kurang percaya terhadap Anda.
Mereka tidak mengetahui secara pasti kapan Anda berbicara sesungguhnya, atau
itu hanya serangkaian kata-kata yang nantinya tidak ingat pernah Anda ucapkan.
Seorang pemimpin haruslah mempunyai ucapan yang bisa dipegang. Bawahan
seharusnya memandang Anda sebagai seseorang yang memegang janji dengan baik.
Jika Anda tidak jujur, ataupun melanggar aturan demi alasan yang mementingkan diri
sendiri, maka itu akan mengancam reputasi dan kepercayaan dari karyawan Anda.
Oleh karena itu, konsistensi merupakan habit yang penting dalam sebuah
kepemimpinan. Lalu bagaimana caranya supaya Anda bisa menjadi pemimpin yang
konsisten? Intinya adalah berjanjilah atau puny a komitmen pada apa yang Anda
yakini dapat ditepati. Tepati janji, atau jangan buat janji sama sekali. Perlakukan
karyawan Anda secara adil, jangan menganak emas kan mereka. Jika Anda punya
aturan, jangan buat pengecualian. Anda harus menjadi seorang role model bagi
organisasi, dan dengan bersikap konsisten, maka Anda berpeluang memperoleh
kepercayaan dari karyawan.

II.

PEMBAHASAN

A. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai pola tingkah laku dirancang
untuk mengintegrasikan tujuan individu untuk mencapai tujuan. Setiap pemimpin
biasa mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda antara satu dengan yang lain,
dan tidak mesti suatu gaya kepemimpinan lebik baik atau lebih jelek dari gaya
kepemimpinan lainnya. Para penulis mencoba mengelompokkan gaya
kepemimpinan yang ada dengan menggunakan suatu dasar tertentu. Dasar yang
sering dipergunakan adalah tugas yang dirasakan harus dilakukan oleh pemimpin
harapkan diterima oleh pimpinan, kewajiban yang pimpinan harapkan diterima
oleh bawahan dan falsafah yang dianut pimpinan untuk pengembangan dan
pemenuhan harapan para bawahan.
Menjadi seorang pemimpin bukanlah hal yang mudah, tetapi, juga bukan
tidak mungkin. Kalau individu menyadari maju-mundurnya usaha yang individu
bangun sangat bergantung pada kekuatan kepemimpinan, maka mau tidak mau
individu harus mengembangkannya. Pemimpin mempunyai ciri-ciri yang berbeda
dengan seorang pengikut (follower). Ciri-ciri itu dapat dilihat pada tabel 1 dibawah
ini.
Follower
Beraksi (reaktif)

Leader
Berinisiatif

Listen, tunggu telepon masuk


Membuang-buang waktu, Reaching to
Problems
Spend Time with people
Kalender diisi dengan jadwal yang
sudah diperintahkan

Lead, Angkat telepon


Gunakan waktu dengan perencanaan
dan antisipasi masalah
Invest time with people
Mengisi kalender dengan prioritasprioritas ke depan, Action

Demikian pemimpin berbeda dengan manajer. Perbedaan itu tampak pada


tabel 2 dibawah ini.
Pemimpin
Memperbaharui/menciptakan
sistem
baru
Bebas, merdeka, kreatif, berani,
melakukan kesalahan, tetapi tetap
disiplin
Berani menghadapi tantangan
Orientasi ke masa depan di suatu
tempat yang berbeda, imaginatif
Tak terlalu memikirkan posisi, lebih
pada manfaat, nilai, dan tanggung
jawab
Dasarnya adalah kreativitas dan
karakter

Manajer
Memelihara sistem yang ada, bekerja
dengan sistem
Patuh, disiplin, tidak memberi ruang
bagi kesalahan
Menghindari resiko
Orientasi di sini, hari ini, learning from
the past
Menciptakan pengikut dan bawahan
Dasarnya adalah
profesionalisme

kompetensi

dan

Namun demikian, kepemimpinan seorang wirausaha memiliki gaya yang


berbeda-beda. Kepemimpinan melibatkan tidak hanya kepala (pikiran-pikiran),
melainkan juga hati (penciptaan suasana dan menjaga perasaan). Kepemimpinan
mencakup kemampuan analisis dan kekuatan interpersonal sekaligus (White,
2007).
Maka, selain berdarah dingin, mampu berpikir rasional, dan berani
mengambil keputusan dengan cepat, dia juga dapat berdarah hangat, menaburkan
kasih sayang dan kepengasuhan kepada anak buahnya, serta memainkan kartukartu personalnya. Dia memang harus berpikir lebih jauh dari yang lain sehingga
mampu membawa usahanya ke tempat yang baru, terkini, dan terbebas dari terpaan
badai tsunami yang menghancurkan, atau berdarah-darah dihajar para pedagang
baru yang lebih fresh dan agresif.
Menjadi great leader berarti individu harus siap melakukan perubahan, yaitu
perubahan yang terjadi secara bertahap dan membuat usahanya adaptif dalam
menghadapi segala situasi yang berubah-ubah. Ada perbedaan mendasar antara
manajemen dengan kepemimpinan. Manajemen pada dasarnya adalah menyangkut
soal keteraturan (penataan) dan pengendalian. Sedangkan kepemimpinan
menyangkut soal pencapaian tujuan dan membuat perubahan.

1. Jenis-jenis gaya kepemimpinan dalam kewirausahaan


a. The autocratic leader
Seorang pemimpin yang autokratik menganggap bahwa semua
kewajiban untuk mengambil keputusan, untuk menjalankan tindakan, dan
untuk mengarahkan, memberi motivasi dan mengawasi bawahannya terpusat
ditangannya. Seorang pemimpin yang autokratik mungkin memutuskan
bahwa ialah yang berkompeten untuk memutuskan dan punya perasaan
bahwa bawahannya tidak mampu untuk mengarahkan diri mereka sendiri,
atau ia mungkin mempunyai alasan-alasan lain untuk beranggapan
mempunyai posisi yang kuat untuk mengarahkan dan mengawasi. Seorang
autokrat mengawasi pelaksanaan pekerjaan dengan maksud untuk
meminimumkan penyimpangan dari arah yang ia kerjakan.
b. The Participative
Apabila seseorang pemimpin menggunakan mendorong kemampuan
mengambil keputusan dari para bawahan sehingga pikiran-pikiran mereka
akan selalu meningkat kemampuan mengendalikan diri dan menerima
tanggungjawab yang lebih besar. Pemimpin akan lebih supportive dalam
kontak dengan para bawahan dan bukan menjadi bersikap diktator. Meskipun
tentu saja wewenang terakhir dalam pengambilan keputusan terletak pada
pimpinan.
c. Kepemimpinan Transformasional-Transaksional
Pemimpin transaksional adalah pemimpin yang membimbing atau
memotivasi pengikutnya menuju sasaran yang diterapkan dengan
memperjelas peran atau persyaratan tugas. Pemimpin transformasional
adalah pemimpin yang memberi inspirasi pengikutnya untuk bertindak
melebihi kepentingan pribadi mereka demi kebaikan organisasi.
Kepemimpinan transformasional dibangun di atas kepemimpinan
transaksional. Ia menghasilkan usaha dan kinerja karyawan jauh melampaui
apa yang dihasilkan oleh pendekatan transaksional. Kepemimpinan
transformasional memimpin lebih dari sekedar karisma. Ia menanamkan
kemampuan bertanya kepada para pengikutnya, termasuk mempertanyakan
hal-hal yang sudah mapan dan rutin untuk diperbaharui.
d. Kepemimpinan Karismatik-Visioner
Pemimpin karismatik adalah pemimpin yang basisnya adalah
antusiasme dan memiliki rasa percaya diri yang kuat, serta tindakannya dapat
mempengaruhi banyak orang untuk berperilaku dengan cara tertentu. Ada
lima karakteristik pemimpin karismatik, yaitu 1) Mempunyai visi, 2)Mampu
menyampaikan visi tersebut dengan jelas dan mudah dipahami, 3)Berani
mengambil resiko untuk mencapai visi itu, 4)sensitif terhadap kendala
lingkungan dan kebutuhan pengikutnya, 5)Menunjukkan perilaku di luar
kebiasaan. Pemimpin karismatik kemungkinan besar muncul dalam bidang
politik dan agama, atau muncul pada waktu yang sulit, seperti peang ketika
sebuah bisnis baru mulai atau saat menghasapi krisis yang mengancam
kehidupannya. Misalnya F.D.Roosevelt adalah pemimpin yang dianggap
menggunakan karismanya saat dia menawarkan visi untuk membawa
Amerika Serikat keluar dari depresi besar. Contoh lainnya adalah Martin

Luther King Jr. Adalah sosok yang tidak mau menyerah saat melawan tradisi
perbedaan warna kulit (segregasi) di Amerika Serikat.
Istilah visi sering dikaitkan dengan kepemimpinan karismatik. Akan
tetapi, kepemimpinan visioner melampaui karisma karena kemampuannya
menciptakan dan menyatakan visi yang realistis, layak dipercaya dan
menarik mengenai masa depan organisasi atau unit organisasi yang tumbuh
dan memperbaiki situasi sekarang. Pemimpin visioner memiliki tiga sifat
yang berkaitan dengan efektivitas peran visioner mereka.
Ketrampilan pertama adalah kemampuannya dalam menjelaskan
visinya kepada oranglain melalui pidato-pidato yang memukau dan
memancing orang untuk bergabung. Visi yang paling baik pun tidak akan
berhasil apabila bukan seorang komunikator yang kuat. Dalam dunia bisnis
dikenal Herb Kelleher, CEO Southwest Airline yang berkomitmen penuh
pada pelayanan pelanggan. Dia tidak segan-segan ikut bekerja, bila perlu
membantu dalam proses administrasi kedatangan penumpang, mengangkut
koper atau melakukan apa aja untuk membuat pengalaman pelanggan lebih
menyenangkan.
Ketrampilan kedua yang dituntut dari pemimpin karisma adalah
kemampuannya mengungkap visi. Bukan hanya secara verbal melainkan
juga melalui perilaku. Ketrampilan ketiga adalah kemampuan unuk
memperluaskan dan menerapkan visi dalam berbagai konteks yang berbedabeda. Visi itu harus sama maknanya bagi orang dibagian akuntansi dengan
bagian produksi dan bagi karyawan yang ditempatkan di kantor-kantor
cabang maupun kantor pusat.
Kepemimpinan yang kharismatik memiliki karekteristik yang khas
yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh
pengikut yang jumlahnya kadang-kadang sangat besar. Seorang pemimpin
yang kharismatik adalah seseorang yang dikagumi oleh banyak pengikut
meskipun para pengikutnya tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara
konkret mengapa orang tertentu dikagumi.
Mungkin pula seorang pemimpin yang kharismatik menggunakan gaya
yang paternalistik, tetap ia tidak kehilangan daya demokratik atau
partisipatif.pemimpin yang tergolong kharismatik ini jumlahnya tidak besar
dan mungkin jumlah yang sedikit ini pulalah yang menyebabkan sehingga
tidak cukup data empiris yang dapat digunakan untuk menganalisis secara
ilmiah karakter pemimpin yang kharismatik.
e. Kepemimpinan Tim
Kepemimpinan tim dapat dibagi ke dalam empat peran. Pertama,
pemimpin tim adalah penghubung dengan pihak luar. Pihak luar dapat
mencakup manajemen yang lebih atas, tim internal lain, pelanggan, atau
pemasok. Pemimpin mewakili tim tersebut menghadapi konstituen lain,
mendapatkan sumber daya yang diperlukan, memperjelas pengharapan orang
lain terhadap tim itu, mengumpulkan informasi dari luar dan menyampaikan
informasi itu kepada anggota-anggota tim.

Kedua, pemimpin tim adalah penyelesai masalah. Apabila tim itu


menghadapi masalah dan membutuhkan bantuan, pemimpin tim selalu
bersedia dan siap membantu memecahkan masalah itu.
Ketiga, pemimpin ini adalah manajer konflik. Apabila muncul
pertikaian, pemimpin membantu memproses konflik itu. Dan keempat,
pemimpin tim adalah seorang pembina. Mereka memperjelas harapan dan
peran, mengajarkan, menawarkan dukungan, memberi semangat, dan
melakukan apa saja yang perlu utnuk membantu para anggota tim
mempertahankan tingkat kinerja mereka yang tinggi.
f. Gaya Kepemimpinan Otoriter / Authoritarian
Adalah gaya pemimpin yang memusatkan segala keputusan dan
kebijakan yang diambil dari dirinya sendiri secara penuh. Segala pembagian
tugas dan tanggung jawab dipegang oleh si pemimpin yang otoriter tersebut,
sedangkan para bawahan hanya melaksanakan tugas yang telah diberikan.
Segi kepemimpinan yang otokratik memiliki serangkaian karakteristik
yang dapat dipandang sebagai karakteristik yang negatif. Dilihat dari segi
persepsinya, seorang pemimpin yang otokratik adalah seseorang yang sangat
egois besar akan mendorongnya memutarbalikkan kenyataan yang
sebenarnya. Sehingga peranannya sebagai sumber segala sesuatu dalam
kehidupan organisasional seperti kekuasaan, serta memiliki nilai
kepemimpinan organisasional yang membenarkan segala cara yang ditempuh
untuk mencapai tujuannya. Seorang pemimpin yang otoriter akan
menunjukkan sikapnya yang menonjol keakuan dalam berbagai bentuk
seperti :
1) Cenderung memperlakukan para bawahan sama dengan alat alat lain
dalam organisasi dan kurang menghargai harkat dan martabat mereka.
2) Pengutamaan oerientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas
tanpa mengkaitkan pelaksanaan tugas ini dengan kebutuhan dan
kepentingan para bawahan
3) Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan
dengan cara hanya menginformasikan kepada bawahannya dan menuntut
mereka untuk melakukan pekerjaan.
Sikap pemimpin demikian akan mewujudkan diri pada perilaku
pemimpin kepada bawahannya. Karena baginya tujuan organiisasi identik
dengan tujuan pribadinya, maka perilakunya akan sedemikian rupa sehingga
orang lain akan memperoleh kesan bahwa pemimpin tersebut memandang
organisasi sebagai milik pribadinya yang dapat diperlakukan sekehendak
hati. Dengan demikian ia tidak mau menerima saran dan kritik dai para
bawahannya. Pemimpin yang otokratik dalam prakteknya akan menggunakan
gaya kepemimpinan yang :
1) Menuntut ketaatan penuh dari para bawahannya
2) Dalam menegakkan disiplin menunjukkan keakuan
3) Bernada keras dalam pemberian perintah atau instruksi
4) Menggunakan pendekatan punitif dalam hal terjadi penyimpangan oleh
bawahan.
g. Gaya Kepemimpinan Demokratis / Democratic
Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang
memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada
permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh.
Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin memberikan banyak

informasi tentang tugas serta tanggung jawab para bawahannya. Bagi


kebanyakan seseorang dalam menjalankan organisasinya cenderung
menerima perlakuan demokratik dari pimpinannya. Tipe kepemimpinan yang
demokratik adalah tipe ideal yang sangat diinginkan oleh para bawahannya.
Ditinjau dari persepsinya, seorang pemimpin yang demokratik
biasanya memandang peranannya selaku koordinator dan integrator dari
berbagai unsur dan komponen organisasi sehingga bergerak sebagai suatu
titik tolak. Pendekatan dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya adalah
pendekatan holistik dan integralistik. Seorang pimpinan yang demokratik
dihormati dan disegani dan bukan ditakuti karena perilakunya dalam
kehidupan organisasional.
h. Gaya Kepemimpinan Bebas / Laissez Faire
Pemimpin jenis ini hanya terlibat delam kuantitas yang kecil di mana
para bawahannya yang secara aktif menentukan tujuan dan penyelesaian
masalah yang dihadapi. Persepsi seorang pemimpin yang laissez faire tentang
peranannya sebagai seorang pemimpin berkisar pandangannya bahwa pada
umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena para
anggota organisasi terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang
mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran apa yang
ingin dicapai, tugas apa yang harus dijalankan oleh masing-masing anggota
dan seorang pimpinan tidak perlu sering melakukan intervensi dalam
kehidupan organisasional. Seorang pemimpin yang Laissez faire melihat
peranannya sebagai polisi lalu lintas. Dengan anggapan bahwa para
anggota organisasi sudah mengetahui dan cukup dewasa untk taat kepada
peraturan permainan yang berlaku, seorang pemimpin yang laissez faire
cenderung memilih peranan yang pasif dan membiarkan organisasi berjalan
sesuai dengan temponya sendiri tanpa harus banyak mencampuri bagaimana
organisasi harus dijalankan.
Nilai-nilai yang dianut oleh seorang pemimpin yang laisses faire dalam
menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya sangat bertolak dari filsafat
hidup manusia pada dasarnya memiliki rasa solidaritas dalam kehidupan
bersama, mempunyai kesetiaan kepada sesama dan kepada organisasi, taat
kepada norma-norma dan peraturan yang telah disepakati bersama,
mempunyai tanggungjawab yang besar terhadap tugas yang harus
diembannya. Karena demikian, pemimpin yang memiliki tipe laissez faire
memiliki nilai yang tepat dalam hubungan atasan bawahan adalah nilai
yang saling mempercayai yang besar. Melihat dari karakteristik dari
pimpinan bertipe laissez faire ini memiliki gaya kepemimpinan yang
digunakan yakni :
1) Pendelegasian wewenang terjadi secara ekstensif
2) Pengambilan keputusan diserahkan kepada para pejabat pimpinan yang
lebih rendah dan kepada para petugas oerasional, kecuali dalam hal-hal
tertentu yang nyatanya menuntut keterlibatan secara langsung
3) Status quo organisasional tidak terganggu
4) Penumbuhan dan pengembangan kemampuan berfikir dan bertindak yang
inovatif dan kreatif didasarkan kepada para anggota organisasi yang
bersangkutan sendiri.
5) Sepanjang dan selama paran anggota organisasi menunjukkan perilaku
dan prestasi kerja yang memadai, intervensi pimpinan dalam perjalanan
organisasi berada pada tingkatan yang minimum.

i. Tipe Paternalistik
Tipe pemimpin yang paternalistik banyak terdapat di lingkungan
masyarakat yang masih bersifat tradisional, umumnya di masyarakat agraris.
Popularitas pemimpin yang paternalistik disebabkan oleh beberapa faktor
seperti:
1) Kuatnya ikatan primordial
2) Extended family system
3) Kehidupan masyarakat yang komunalistik
4) Peranan adat istiadat yang sangat kuat dalam kehidupan bermasyarakat
5) Masih dimungkinkannya hubungann pribadi yang intim antara seseorang
anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lain.
Persepsi seorang pemimpin paternalistik tentang peranannya dalam
kehidupan organisasional dapat dikatakan diwarnai oleh harapan pada
umumnya berwujud keinginan agar pemimpin mereka mampu beperan
sebagai bapak yang bersifat melindungi dan yang layak dijadikan sebagai
tempat bertanya dan memperoleh petunjuk. Legitimasi kepemimpinannya
dipandang sebagai hal yang wajar dan normal, dengan implikasi
organisasionalnya seperti kewenangan memerintah dan mengambil
keputusan tanpa harus berkonsultasi dengan para bawahannya.
Ditinjau dari segi nilai-nilai organisasional yang dianut, biasanya
seorang pemimpin yang paternalistik mengutamakan kebersamaan. Artinya
pemimpin yang bersangkutan berusaha memperlakukan semua orang dan
semua satuan kerja yang terdapat didalam organisasi seadil dan serata
mungkin. Dimata seorang pemimpin yang paternalistik para bawahannya
belum dewasa dalam cara bertindak dan berfikir sehingga memerlukan
bimbingan dan tuntutan terus menerus. Konsekuensi dari perilaku seorang
pimpinan yang paternalistik demikian ialah para bawahannya tidakk
dimanfaatkan sebagai sumber informasi, ide dan saran.
2. Empat Gaya Kepemimpinan yang Efektif
a. Eksekutif (Executif)
Gaya Executif mempunyai perhatian yang banyak terhadap tugas-tugas
pekerjaan dan hubungan kerja. Manajager seperti ini berfungsi sebagai
motivator yang baik dan mau menetapkan produktifitas yang tinggi.
b. Pembangun (developer)
Gaya pembangun ini lebih mempunyai perhatian yang penuh terhadap
hubungan kerja,sedangkan perhatian terhadap tugas-tugas perkerjaan adalah
minim.
c. Otokrat penuh kebajikan (benevolent autocrat)
Gaya kepemimpinan ini melakukan perhatian yang maksimum
terhadap pekerjaan(tugas-tugas) dan perhatian terhadap hubungan kerja yang
minimum sekali tetapi berusaha agar menjaga perasaan bawahannya. Gaya
ini sangat sesuai dengan pernyataan seorang manajer (penyelia) tersebut
yaitu "para bawahan sungguh-sungguh menginginkan saudara memberikan
disiplin. Mereka tidak akan hormat pada saudara kecuali saudara
memberikan disiplin kepada mereka dan cara terbaik untuk melakukan hal

itu adalah close control". Secara langsung sikap perhatian yang maksimun
berupa sikap disiplin terhadap tugas tugas bawahannya akan memberikan
efektifitas dan juga memberikan rasa hormat bawahan terhadap seorang
manajer (penyelia).
d. Birokrat (Bureaucrat)
Gaya
kepemimpinan
ini
melakukan
perhatian
terhadap
pekerjaan(tugas-tugas) dan perhatian terhadap hubungan kerja dengan cara
mengutaman sebuah birokrasi terhadap masing-masing bawahan untuk
mencapai suatu efektifitas tujuan pekerjaan masing-masing.
3. Empat gaya kepemimpinan yang tidak efektif
a. Kompromis (compromiser)
Gaya kompromi ini menitikberatkan perhatian kepada tugas dan
hubungan berdasarkan situasi kompromi.
b. Misionaris (missionary)
Manajer seperti ini menilai keharmonisan sebagai suatu tujuan, dengan
kata lain memberikan perhatian besar pada orang-orang dan hubungan kerja
tetapi sedikit perhatian terhadap tugas dan perilaku yang sesuai.
c. Otokrat (autokrat)
Pemimpin tipe seperti ini akan memberikan perhatian yang banyak
terhadap tugas dan sedikit perhatian terhadap hubungan kerja dengan
perilaku yang tidak sesuai. Dalam kata lain gaya seperti ini lah yang tidak
disukai seorang bawahan dimana pernyataan penyelia yaitu "Hal lain
seharusnya dipikirkan seorang penyelia adalah konsistensi. Perubahan gaya
kepemimpinan,saya pikir ,merupakan hal jelek. Para bawahan akan lebih
menyukai penyelia yang keras sepanjang waktu daripada seorang lunak
(linent) satu menit dan keras atau ketat(hard-noses) dua menit berikutnya".
Sebuah konsistensi perhatian yang sesuai yang harus dilakukan oleh penyelia
atau manager sebagai pemimpin.
d. Pelarian (deserter)
Manajer yang memili gaya kepemimpinan seperti ini sama sekali tidak
memperdulikan tugas dan tanggung jawab.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gaya Kepemimpinan
a. Karakteristik Organisasi
Karakteristik organisasi terdiri dari struktur dan teknologi yang dapat
digunakan didalamnya. Efektivitas sebuah organisasi dipengaruhi oleh
tingkat kompleksitas dan formalitas struktur serta sistem kewenangan dalam
pengambilan keputusan. Teknologi yang digunakan berkaitan erat dengan

stuktur sehingga mempengaruhi efektivitas sebuah organisasi yang


dikembangkan seorang manajer (penyelia).
b. Karakteristik Lingkungan
Keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuan, dipengaruhi oleh
kemampuan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dimensi-dimensi
lingkungan yang mempengaruhi efektivitas gaya kepemimpinan yang
dikembangkan oleh manajer di dalam sebuah organisasi meliputi :
1) Tingkat keterpaduan keadaan lingkungan,
2) Ketepatan persepsi atas keadaan lingkungan,
3) Tingkat rasionalitas organisasi.
Ketiga faktor ini mempengaruhi ketepatan tanggapan organisasi terhadap
perubahan lingkungan.
c. Karakteristik Pekerja
Faktor manusia merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya
terhadap efektivitas gaya kepemimpinan seorang manajer (penyelia) di dalam
sebuah organisasi. Tingkah laku manusia merupakan dukungan yang sangat
berarti, tetapi dapat pula merupakan hambatan yang dapat menggagalkan
efektivitas.
d. Karakteristik Kebijaksanaan dan Praktek Manajemen
Kebijaksanaan dan praktek manajemen dapat mempengaruhi
pencapaian tujuan. Dalam hal ini mencakup kebijaksanaan dan praktek
pimpinan dalam tanggung jawabnya terhadap para pekerja dan organisasinya.
5. Ilustrasi pengaruh gaya kepemimpinan terhadap prestasi kerja
Prestasi kerja merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh setiap
pekerja. Hal ini merupakan satu cermin kualitas seorang pekerja. Semakin
bagus prestasi kerja seorang pekerja, karyawan, maka semakin berkualitas
pekerja atau karyawan tersebut. Pada sisi lainnya, bagaimana seorang pemimpin
mengarahkan dan membimbing para pekerja ternyata mempunyai andil yang
sangat besar keberhasilan pekerja atau karyawan menyelesaikan tugas dan
kewajibannya. Dengan kata lain, ada pengaruh gaya kepemimpinan terhadap
prestasi kerja.
Pemimpin adalah sosok panutan yang secara sepakat dijadikan sebagai
orang terdepan dari kegiatan hidup yang mempunyai tugas dan kewajiban untuk
memberikan perlindungan dan bantuan secara pribadi dan mengelola kegiatan
agar dapat mencapai tujuan yang sudah diprogramkan. Setiap pemimpin
mempunyai gaya tersendiri dalam menyelenggarakan kegiatan dalam
kelompoknya. Gaya memimpin seseorang sangat menentukan tingkat

keberhasilan kerja dari pekerja atau karyawannya. Semakin baik gaya


memimpinnya, maka semakin tinggi tingkat keberhasilan kerja karyawannya.
Berdasarkan konsep dasar kepemimpinan, ada banyak gaya
kepemimpinan seorang pemimpin. Salah satu gaya kepemimpinan adalah gaya
demokratis seorang pemimpin. Diakui bahwa pengaruh gaya kepemimpinan
terhadap prestasi kerja pada model ini sangat tinggi. Hal ini karena sang
pemimpin bukan sebagai orang lain bagi para pekerja. Dalam interaksi antar
personil, pemimpin dan anak buah berada pada satu kondisi yang saling
membutuhkan dan menguntungkan. Gaya kepemimpinan demokratis
memberikan hasil prestasi kerja yang maksimal. Artinya pimpinan yang
demokratis, pada umumnya kinerja pekerja, karyawan meningkat. Pemimpin
yang demokratis memberikan kesempatan seluasnya kepada anak buah untuk
mengembangkan diri dan kemampuan terkait dengan bidang kerjanya.
Peningkatan karier karyawan serta prestasi kerjanya dapat tercapai sebab
seorang pimpinan yang demokratis menerapkan beberapa konsep, di antaranya :
a. Keberhasilan Adalah Tujuan Bersama
Seorang pemimpin yang demokratis memberikan pengaruh kepada
anak buahnya dalam hal kemajuan karier dan kepercayaan diri atas hasil
kerjanya. Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap prestasi kerja karyawannya
karena sikapnya yang penuh toleransi sehingga anak buah merasa nyaman.
Seorang pemimpin yang demokratis melaksanakan tugas dan kewajibannya
berdasarkan satu tujuan untuk semua. Artinya, pemimpin tidak hanya
memikirkan kebutuhannya pribadi, melainkan juga bagaimana membuat
anak buahnya bahagia.
Dalam pola kepemimpinannya, pemimpin yang demokratis
memberikan gaya kepemimpinan terhadap prestasi kerja anak buahnya
karena adanya saling percaya di antara semua pihak yang terlibat dalam
pekerjaan. Tidak ada yang merasa lebih penting dari yang lainnya. Semua
pihak saling melengkapi dan saling menghormati peran masing-masing.
Dengan demikian, maka kinerja menjadi lebih nyaman dan maksimal.
b. Setiap Orang Mempunyai Kemungkinan Maju
Seorang pemimpin yang bergaya demokratis memberikan pengaruh
kepada anak buahnya, terutama pada kesempatan untuk maju. Dengan pola
pikir seperti ini, maka anak buah mempunyai sumber motivasi terbesar.
Bahwa pimpinan yang memberikan kesempatan maju pada anak buahnya,
menjadikan anak buah merasa termotivasi untuk maju.
Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap prestasi kerja yang dipancarkan
oleh pemimpin demokratis sedemikian rupa sehingga kesempatan maju
terbuka luas. Hal ini sangat memungkinkan sebab pemimpin yang
demokratis membuka diri untuk kesempatan belajar anak buahnya. Mereka
tidak segan memberikan bimbingan kepada anak buahnya hingga kompeten
pada bidangnya.

Konsep yang diterapkan oleh pemimpin bergaya demokratis adalah


beranggapan bahwa setiap orang mempunyai kemungkinan maju. Oleh
karena itulah, jika diberi kesempatan yang sama, maka kemungkinan maju
semakin terbuka lebar. Orang-orang yang bekerja di bawah kepemimpinan
gaya demokratis lebih realitis dan menerima kondisi sebagai konsekuensi
kegiatan.
c. Karakteristik Pemimpin Berkualitas
Pemimpin memiliki karakteristik tertentu yang membedakan mereka
dari yang serba umum. Dalam skenario -kompetitif saat ini, aturan
kepemimpinan mungkin telah berubah sedikit, tapi inti dari semua itu tetap
maju terus pantang mundur, siapa cepat dia dapat, dan inilah orang orang
beruntung yang punya kecakapan berada di dalam inti.
1) Keterampilan komunikasi yang baik Komunikasi adalah kunci untuk
menjadi seorang pemimpin besar. Alasan untuk ini adalah sederhana: jika
seseorang memiliki semua kualitas lain, tetapi gagal untuk berkomunikasi
dengan baik, salah satu memiliki sedikit kesempatan untuk menjadi
seorang pemimpin yang baik. Komunikasi membantu dalam
menyampaikan informasi berharga, motivasi, kritik yang sehat, dan di atas
semua ide yang jelas tentang apa yang kerjasama tim.
2) Aset Kejujuran yang paling berharga dari seorang pemimpin adalah
kejujuran. Dia harus jujur dengan kedua pengikutnya. Kualitas ini erat
kaitannya dengan integritas. Itulah mungkin alasan integritas dianggap
sebagai sifat yang paling mengagumkan. Para pemimpin karena itu harus
tetap "di atas segalanya."
3) Visionary outlook Kualitas kepemimpinan yang berbeda untuk posisi yang
berbeda. Sebagai contoh, seorang CEO harus mampu mengantisipasi tren
masa depan dalam industri dan bagaimana hal itu akan mempengaruhi
bisnisnya. Seorang pemimpin harus melihat melampaui mana bisnisnya
saat ini, dan tahu di mana ia akan pergi. Dia harus menggunakan visinya
untuk memindahkan perusahaan ke depan.
4) Kemampuan untuk mengambil keputusan Meskipun, ada banyak
penasihat dan analis yang membantu pemimpin dengan beberapa masukan
yang berharga tentang apa tindakan yang perlu diambil, layar selalu di
tangan nakhoda.
5) Kemampuan untuk memotivasi orang Seorang pemimpin yang baik harus
selalu memotivasi rekan-rekannya untuk bekerja baik dan berusaha
menuju menjaga lingkungan yang sehat. Dalam situasi krisis, moral dan
semangat mengambil resiko keras, dan itu adalah pemimpin yang harus
memotivasi timnya untuk melawan segala rintangan.
6) Konsistensi Efektivitas kepemimpinan adalah mustahil tanpa konsistensi.
Setiap pemimpin memiliki pendekatan yang unik untuk mereka. Jangan
mengubah gaya pribadi Anda secara radikal setelah semua, itu membuat
Anda dalam posisi kepemimpinan. Memodifikasi bintik-bintik kasar tapi
berhati-hati untuk tidak mengacaukan staf Anda dengan menampilkan
inkonsistensi. Harapan Anda, meskipun tunduk pada modifikasi
berdasarkan selalu berubah kebutuhan bisnis, harus tetap sebagai konstan
mungkin.

7) Kemampuan untuk menanggung kritik Sementara tingkat keberhasilan


meningkatkan kritik Anda berkembang biak dan menjadi keras. Datang
untuk berdamai dengan kenyataan bahwa Anda akan selalu memiliki
sebuah kamp orang-orang yang mengkritik setiap keputusan yang Anda
buat.
d. Peranan Setiap Orang Adalah Penting
Setiap orang adalah penting! Itu merupakan sikap dan pola pemikiran
pimpinan demokratis. Mereka tidak membedakan satu orang terhadap orang
lainnya berdasarkan peranannya dalam kegiatan. Hal ini karena, jika mereka
berperan aktif, maka posisi mereka sama-sama penting. Pemimpin yang
demokratis memposisikan setiap orang sebagai sosok yang penting dalam
perjalanan kerja organisasi. Mereka selalu melibatkan anak buah dalam
kegiatan yang dilakukan di organisasi. Akibatnya, setiap anak buah
mempunyai pengalaman yang sama dalam menangani kegiatan dan ini
merupakan bentuk pengakuan atas eksistensi setiap orang dalam organisasi.
Memang, seharusnya seorang pimpinan memandang anak buah dan
seluruh orang yang berada dalam lingkungan kepemimpinannya sebagai
sosok yang penting. Jika kondisi tersebut dapat tercipta, maka setiap orang
akan merasa diorangkan dalam interaksi personal dan organisasi. Pada
akhirnya, mereka bekerja maksimal sehingga hasilnya juga maksimal, yaitu
prestasi terbaik. Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap prestasi kerja
memang sangat menentukan tingkat keberhasilan program kerja. Dan, untuk
menciptakan keberhasilan dalam pekerjaan, setiap orang harus terlibat secara
aktif dalam kegiatan kerja. Jika tidak, maka bagaimanapun gaya
kepemimpinannya, tidak akan berpengaruh pada kinerja. Apalagi jika ada
orang-orang yang merasa tersisih dalam proses pekerjaannya. Maka dari itu,
kita harus terapkan konsep kepemimpinan yang sesuai dengan kebutuhan
kita.
B. Konsistensi Dalam Gaya Kepemimpinan
Banyak kita jumpai pandangan yang keliru terhadap apa yang dimaksud
dengan gaya kepemimpinan yang konsisten. Pandangan yang keliru ini
menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan dianggap konsisten apabila pemimpin
tetap menetapkan gaya kepemimpinan yang sama terhadap apapun yang
dihadapinya. Hal ini sama sekali benar.
Gaya kepemimpinan yang konsisten adalah gaya kepemimpinan yang
berorientasi terhadap efektivitas organisasi sesuai dengan kondisi atau situasi yang
dihadapi oleh pimpinan tersebut. Jadi gaya kepemimpinan yang konsisten adalah
gaya kepemimpinan yang lentur (fleksibel) yang berusaha menyelesaikan dengan
situasi yang dihadapinya sehingga dapat dicapai efektivitas yang tinggi dalam
memenuhi tujuan organisasi. Dengan demikian gaya kepemimpinan ini konsisten
dengan pencapaian tujuan organisasi dan bukan konsisten terhadap salah satu gaya
tertentu saja. Oleh karena itu dalam pendekatan situasi ini manajer atau pimpinan
harus mampu mempelajari situasi atau lingkungan yang dihadapinya.

Konsistensi kepemimpinan bukanlah tentang memiliki pertemuan dewan


pada waktu yang sama setiap minggu seperti jam kerja. Ini bukan tentang
menggunakan strategi pemasaran yang sama. Seorang pemimpin yang konsisten
tidak mengejar mode pelanggan. Orang-orang tidak tahu apa yang diharapkan dari
organisasi mengejar apa pun yang mereka dapat membuat uang di karena berbicara
tentang ketidakamanan dan putus asa. Ambil sendi makanan cepat saji burger
misalnya. Suatu hari mereka menjual saya cheeseburger daging ganda dengan
berukuran super kentang goreng dan susu kocok dan hari berikutnya mereka
mengatakan mereka peduli kesehatan saya dan ingin saya untuk makan salad atau
burger mereka dibungkus daun selada. Hah Sekarang tempat burger yang besar
untuk lebih besar adalah pilihan yang lebih baik. Tidak heran konsumen bingung
dan sedikit curiga. Burger-beli masyarakat mulai berpikir tempat-tempat ini tidak
lagi tertarik untuk membuat burger terbaik tapi mungkin lebih tertarik pada hanya
mendapatkan uang saya di register mereka tidak peduli apa yang mereka
tawarkan. Sebuah Whopper Ayam Puhlease Apa konsistensi kepemimpinan adalah
tentang adalah respon perilaku harapan dan penilaian.
Pengikut dan pelanggan mencari konsistensi baik dalam pelayanan restoran
atau gaya kepemimpinan dan harapan. Konsistensi selama masa kasar waktu bisnis
lambat dan krisis tenggat waktu adalah apa yang mendefinisikan pemimpin yang
konsisten. Kemampuan untuk tetap saja di trek dan memelihara visi yang solid ke
depan menunjukkan kepercayaan kepemimpinan dan kendali. Apakah Anda
bertindak berbeda pada akhir bulan mencoba untuk menjejalkan dalam pesanan
menit terakhir demi nomor pada laporan Apakah itu sesuai dengan visi atau kau
kehilangan normal Anda pendekatan jangka panjang Ini adalah salah satu contoh
Anda harus meninjau dalam kegiatan sehari-hari Anda untuk memastikan Anda
mempertahankan konsistensi Anda kehadiran kepada mereka yang mengikuti
kepemimpinan Anda.
Perubahan-perubahan akan mengakibatkan berubahnya situasi, sedangkan
situasi yang berubah menuntut gaya kepemimpinan yang berbeda agar dia
konsisten terhadap pencapaian tujuan organisasi. Jadi disamping pemimpin harus
peka terhadap perkembangan lingkungan dia harus fleksibel serta mampu
menyesuaikan gaya kepemimpinannya sesuai dengan situasi yang berubah
tersebut, dan bahkan dia jga harus menyesuaikan dengan tingkat kesiapan
bawahannya.
1. Tingkat kesiapan bawahan
Setiap bawahan memiliki tingkat kesiapan atau kemampuan yang
berbeda-beda di dalam menerima dan menyerap hal-hal yang berupa
pengetahuan, sikap dan tingkah laku yang datang dari pimpinan, ada yang
memiliki tingkat kesiapan yang tinggi ada pula yang masih rendah. Adapun
tingkat kesiapan bawahan untuk menerima sikap dan tingkah laku serta gaya
kepemimpinan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu :
a. Kemampuan (pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki)
b. Kemauan (kehendak, keinginan dan motivasi)

Kedua faktor tersebut menimbulkan bermacam-macam tingkat kesiapan dari


yang paling rendah sampai yang paing tingi berturut-turut sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.

Tidak mampu dan tidak mau (kesiapan tingkat 1)


Tidak mampu tetapi mau (Kesiapan tingkat 2)
Mampu tetapi tidak mau (kesiapan tingkat 3)
Mampu dan mau (ksesiapan tingkat 4)

Keempat keadaaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:


Tinggi
(K4)
Mampu
Dan
Mau

Menengah
(K3)
Mampu
Tapi
Tak Mau

(K2)
Tak Mampu
Tapi
Mau

Rendah (K1)
Tak Mampu
Dan
Tak Mau

Gambar : Tingkat kesiapan bawahan

2. Pemilihan gaya kepemimpinan sesuai dengan tingkat kesiapan bawahan


a. Mengatakan/memerintah (telling)
Bagi bawahan atau kelompok yang memiliki tingkat kesiapan rendah
(K1) maka akan lebih baik diterapkan gaya kepemimpinan yang bersifat
menugaskan, memerintahkan atau mengarahkan secara terperinci tugas-tugas
yang harus dilaksanakan oleh bawahan, dengan sedikit memberikan
hubungan kemanusiaan kepadanya. Sebuah kata yang cocok untuk
mengungkapkan
gaya
kepemimpinan
adalah
menugaskan/mengatakan/memerintahkan (telling). Hal ini dapat pula
dirumuskan sebagai berikut: katakan, tugaskanlah saja apa yang harus
dilakukan oleh bawahan serta kapan, dimana, bagaimana dan kepada siapa
tugas itu harus dilaksanakan. Sebagai contoh dari gaya kepemimpinan ini
adalah apabila pemimpin memerintahkan kepada bawahannya sebagai
berikut: Pak Anto, pergilah ke pintu gerbang di depan itu untuk
menghadang orang-orang yang ingin masuk ke halaman kantor kita, sekarang
juga, lekas.
b. Menjual/Menawarkan (Selling)
Tingkat kesiapan yan berikutnya adalah K2 dimana pada tingkat ini
bawahan tidak mampu tetapi berkeinginan kuat dan berusaha keras untuk
dapat melaksanakannya. Oleh karena itu bentuk gaya kepemimpinan yang
cocok untuk K2 ini adalah kombinasi antara penguasaan tinggi (PT) dengan
hubungan persahabatan yang tinggi pula (PH). Hal ini disebabkan karena
pada tingkat ini bawahan pada dasarnya tidak mampu sehingga perlu
diberikan perincian/pengarahan tugas yang harus dilakukan (PT), akan tetapi
karena mereka bersedia untuk bekerja keras maka haruslah pula diberikan
dorongan atau motivasi dalam bentuk hubungan kemanusiaan/persahabatan
yang komunikatif dan persuasif.

Keterangan dapat mengakibatkan kerugian karena kesalahan yang


diakibatkan oleh ketidakmampuan kelompok atau bawahannya itu. Oleh
karena itulah maka gaya kepemimpinan ini disebut dengan sebuah kata
menjual(selling). Hal ini berarti bahwa pemimpin haruslah berusaha
mempengaruhi dan mengarahkan sedemikian rupa sehingga tingkah laku
yang diinginkannya itu dapat laku terjual dan dibeli serta dipakai oleh
bawahannya. Kemudian diharapkan bawahan akan merasa puas dengan
tingkah laku baru yang dimilikinya itu. Motivasi akan timbul dan terpacu
kuat apabila bawahan (orang notabene pada tingkat ini sangat berkeinginan
untuk menguasai kemampuan yang diinginkannya itu) diberikan penjelasan
mengapa hal ini harus dilakukannya seperti yang diperintahkan oleh
pemimpin tersebut.
c. Partisipasi (Participating)
Kesiapan tingkat tiga adalah kelompok atau orang yang sebenarnya
mampu akan tetapi belum siap untuk terjun ke lapangan sehingga tidak
memilih motivasi yang kuat untuk melakukannya, biasanya karena rasa takut
dan was-was. Disamping itu K3 ini juga terdiri dari kelompok atau orang
yang sebenarnya mampu dan sebelumnya telah memiliki motivasi tinggi
akan tetapi saat ini karena sesuatu hal mereka menjadi tidak mau atau enggan
untuk menjalankan tugas-tugasnya. Hal ini bisa disebabkan karena mereka
sedang mengalami kesusahan dalam keluarganya, merasa marah terhadap
atasan, tidak setuju/senang dengan atasan atau sebab-sebab lain yang
berhubungan dengan kondisi mental kepribadian orang tersebut.
Dalam keadaan ini gaya atau tingkah laku yang sesuai adalah prioritas
tinggi terhadap hubungan kemanusiaan dengan teknik komunikasi dua arah
yang persuasif dan dengan tingkat penugasan serta pengarahan yang rendah.
Hal ini disebabkan oleh karena mereka sebenarnya sudah mampu
melaksanakan tugas sehingga tidak perlu dan jangan sekali-kali diberikan
pengarahan yang terlalu terperinci tentang apa, bagaimana, di mana dan
kepada siapa harus dilakukannya. Oleh karena itu hal yang perlu
diperhatikan dan dirangsang oleh pemimpin adalah mengadakan diskusi yang
bersifat mendukung, fasilitatif dan bersahabat untuk menimbulkan komitmen
atau rasa tanggung jawab yang tinggi.
d. Pendelegasian Tugas (Delegating)
Kesiapan tingkat empat merupakan kesiapan yang tertinggi di mana
bawahan mampu dan serta bersemangat tinggi. Mereka bekerja dengan
profesionalisme tinggi tanpa menunggu adanya pengarahan ataupun
perintah-perintah dari atasannya. Oleh karena itu gaya kepemimpinan yang
cocok adalah pendelegasian tugas, tanggung jawab dan wewenang yang
cukup besar kepada bawahan. Hal ini dapat dibayangkan sebagai sebuah tim
sepak bola yang kompak yang telah tahu bagaimana taktik serta strategi
mereka dalam menghadapi lawan tandingnya. Pelatih atau manajernya tidak
perlu banyak terjun untuk memberikan perintah-perintah ataupun
pengarahan. Berikan saja bola itu kepada mereka dan mereka akan
mengolahnya dilapangan dengan baik dan akan menghasilkan gol-gol yang
diharapkan. Tentu saja dalam hal ini pimpinan tidak lepas dari pengawasan,
dia tetap harus mengawasinya dalam bentuk Tut Wuri Handayani yaitu
seraya memberikan semangat atau dukungan.
Pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat sesuai dengan tingkat
kesiapan yang dimiliki oleh bawahan dapat digambarkan sebagai berikut.

HUBUNGAN

TINGKAHLAKU PIMPINAN

K2=
Menjual

K3 = Partisipasi
K4= Pendelegasian Tugas

K1
=
Memerinta
h

Tinggi
Rendah

PENUGASAN

K4
Mampu
Dan
Mau

K3
Mampu
Tetapi
Tidak mau

K2
Tidak mampu
Tetapi mau

K1
Tidak mampu
Dan tidak mau

Pengarahan oleh bawahan

Pengarahan oleh atasan

Gambar 1 Gaya Kepemimpinan Sesuai dengan Tingkat Kesiapan Bawahan

Sukses seorang pemimpin ditentukan oleh pilihan-pilihan dan tindakantindakan yang ia ambil dalam menyikapi dan menyelesaikan masalah-masalah
yang dihadapi organisasi. Pilihan dan tindakan itu diambil berdasarkan nilai-nilai
moral dan etis yang ia yakini. Sukses seorang pemimpin sangat diwarnai oleh
karakter dari si pemimpin. Bahkan saya berani mengatakan esensi dasar sukses
kepemimpinan adalah karakter-karakter utama yang dimiliki si pemimpin.
Character is the foundation for leader's all true success.
Karakter kepemimpinan menurut Andri Wongso adalah sebagai "kualitas
personal dari seorang pemimpin yang terbentuk melalui akumulasi tindakantindakan yang mengacu kepada nilai-nilai moralitas dan etik" yang diyakini oleh
seorang pemimpin. Karakter tak cukup dibentuk melalui ucapan-ucapan. Karakter
terbentuk melalui ucapan, pikiran, dan tindakan riil yang akhirnya menentukan
siapa si pemimpin itu sesungguhnya ("who he is").
Pemimpin hebat selalu memiliki kualitas karater yang baik dan kuat.
Pemimpin yang memiliki kualitas karakter baik dan kuat yaitu pemimpin yang
berpikir, bersikap, dan bertindak mengikuti nilai-nilai inti universal yang baik
seperti seperti kejujuran, keterpercayaan, tanggung-jawab, kepedulian kepada
negara, dan lain-lain. Berikut beberapa tokoh dunia yang dijadikan contoh sebagai
sosok yang memiliki karakter kepemimpinan.
1. Mother Teresa misalnya memiliki karakter yang kuat sebagai pemimpin yang
peduli, empati, dan kasih pada orang lain . Martin Luther King dikenal memiliki
karakter kuat sebagai pemimpin yang memiliki keteguhan dalam memegang
prinsip. Tokoh kulit hitam ini juga memiliki keberanian luar biasa dalam
menghadapi tantangan berat yang harus dihadapi. Jack Welch adalah pemimpin
berkarakter karena memiliki kemampuan dalam mengambil keputusankeputusan berat dan pelik. Sementara Steve Jobs memiliki kepemimpinan yang
unik karena ide-idenya yang inovatif dan kemampuannya melihat tren masa
depan.
2. Richard Nixon gagal menjadi pemimpin yang baik karena tidak memiliki
kejujuran pada rakyatnya yang berakibat dia dilengserkan dari kursi
kepresidenan. Para pemimpin lembaga-lembaga keuangan bergengsi seperti
AIG, Lehman Brothers, juga Enron, Worldcom gagal mengemban tanggungjawab kepemimpinan karena tamak dan hanya mementingkan diri sendiri tanpa
peduli kepentingan lingkungan di sekitarnya.
Seorang pakar yang menyebutkan "character is values in action". Artinya,
karakter adalah nilai-nilai yang mewujud dalam bentuk tindakan-tindakan riil
sehari-hari. Intinya, ungkapan ini ingin menegaskan bahwa karakter terbentuk
hanya jika nilai-nilai yang diyakini si pemimpin "bermuara" pada tindakan-

tindakan, tak cukup hanya sampai di pola pikir atau ucapan-ucapan. Dalam
kurun waktu yang panjang tindakan-tindakan itu membentuk kebiasaan yang
kemudian menjadi ciri khas dan keunikan seorang pemimpin.
Pemimpin berkarakter selalu punya identitas kuat dan mulia. Bahkan kata
"character" berasal dari bahasa Yunani yang makna lugas "enduring, lasting,
atau indelible mark." Kata kuncinya adalah "mark" atau ciri. Karena itu karakter
bisa juga diartikan sebagai ciri-ciri khusus yang membedakan seseorang dengan
orang lain. Nilai-nilai, pikiran, ucapan, dan tindakan seorang pemimpin
akhirnya akan membentuk ciri dan identitasnya di mata para followers.
3. Dimensi penting lain dari karakter kepemimpinan adalah konsistensi. Lawrence
Pervin, seorang psikolog mendefinisikan karakter sebagai: "a disposition to
express behavior in consistent patterns of functions across a range of situations."
Karakter dicerminkan oleh perilaku dan tindakan konsisten yang dilakukan
seseorang tak peduli situasi seperti apa yang ia hadapi. Dalam situasi apapun,
baik maupun buruk, pemimpin berkarakter akan selalu mempraktekkan nilainilai yang ia yakini.
Pemimpin berkarakter tak mengenal yang namanya aji mumpung. Ketika ia
menempati posisi jabatan yang basah bukan berarti kemudian ia bisa melakukan
korupsi seenaknya. Ketika nilai-nilai kejujuran dan etika ia pegang, maka tak
peduli bagaimana posisinya, basah maupun kering, ia tak akan melakukan korupsi.
William Penn, filsuf dan pendiri Negara Bagian Pennsylvania, menggambarkan
dengan sangat pas konsistensi ini dengan ungkapan: "What is wrong is wrong,
even if everyone is doing it. Right is still right, even if no one else is doing it."
Namanya konsistensi, maka kita tak akan bisa mengidentifikasi karakter
seorang pemimpin dengan hanya sekali saja mendengar ucapannya, sekali saja
memahami pikiran, atau sekali saja melihat tindakannya. Karakter pemimpin baru
bisa dikenali setelah kita merasakan kepemimpinannya ratusan bahkan ribuan kali
dalam kurun waktu yang panjang. Mungkin seseorang pemimpin bisa
menyembunyikan karakternya dalam waktu seminggu atau sebulan di awal
kepemimpinannya, namun pada akhirnya karakter itu akan gamblang di mata anak
buahnya setelah ia memimpin setahun, tiga tahun, atau lima tahun.
Karakter pemimpin tercermin dari akumulasi ucapan, pikiran, dan tindakan
yang akan konsisten polanya dalam kurun waktu panjang. Di awal kepemimpinan
Anda bisa mengatakan bahwa Anda adalah pemimpin yang egaliter, demokratis,
dan selalu mendengar aspirasi dari anak buah. Namun dari interaksi dengan anak
buah (di rapat-rapat, dalam pidato-pidato, dari praktek kepemimpinan yang
dijalankan) ujung-ujungnya akan ketahuan "potret" Anda yang sesungguhnya,
apakah betul demokratis atau justru sebaliknya. Potret itu adalah karakter Anda
sebagai pemimpin. Potret itu jujur, tidak bisa bohong, tidak bisa mengelabuhi, tak
bisa dipalsukan.

III.

PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA
Algifari. 2000. Analisis Teori Regresi : Teori Kasus dan Solusi. Yogyakarta : BPFE
Ali, Muhammad. 1987. Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Bandung :
Angkasa
Anonim. 2012. Tiga Karakteristik Kepemimpinan Kompetensi, Konsistensi dan
Karakter. http://penerapansistemmanajemen.wordpress.com/2012/10/08/tigakarakteristik-kepemimpinan-kompetensi-konsistensi-dan-karakter/. Di akses
pada tanggal 13 Oktober 2012
Anonim.

2012.
Jenis
dan
Macam
Gaya
Kepemimpinan.
http://organisasi.org/jenis_dan_macam_gaya_kepemimpinan_pemimpin_klas

ik_otoriter_demokratis_dan_bebas_manajemen_sumber_daya_manusia.
akses pada tanggal 13 Oktober 2012

Di

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta :


Rineka Cipta
Asmara, Husnal. 1985. Pengantar Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta : Ghalia
Caratri,

Endah.
2011.
Salah
Satu
Ciri
Seorang
Pemimpin.
http://managementdaily.co.id/journal/index/category/leadership_corp_culture
/320/10 Di akses pada tangga 12 Oktober 2012

Laksmi, Asri Riani. Dkk. 2005. Dasar-dasar Kewirausahaan. Surakarta : UNS Press
White, B.Joseph. 2007. The Nature of Leadership. New York: AMACOM
Widyatmini. 1991. Pengantar Organisasi & Metode. Depok: Gunadarma
Yuswohady. 2012. AW, Andrie Wongso - Action & Wisdom Motivation Training
-Pemimpin
Berkarakter.
http://www.andriewongso.com/artikel/viewarticleprint.php?idartikel=5355.
Di akses pada tanggal 12 Oktober 2012
Diposkan 23rd November 2013 oleh Agrittude
0

Tambahkan komentar
2.
Nov
15

Keluarga Berencana Terkait Dengan


Tingkat Fertilitas
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu masalah kependudukan utama yang dihadapi Indonesia adalah
pertumbuhan penduduk yang tinggi, hingga saat ini telah dilakukan berbagai usaha

untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk, terutama melalui pengendalian angka


kelahiran atau fertilitas. Upaya penurunan angka kelahiran ini dilakukan dengan cara
pemakaian kontrasepsi secara sukarela kepada pasangan usia subur. Dengan
pemakaian kontrasepsi oleh pasangan usia subur yang semakin memasyarakat
diharapkan semakin banyak kehamilan dan kelahiran yang dapat dicegah, yang
kemudian akan menurunkan angka kelahiran atau fertilitas.
Salah satu contoh kebijakan kependudukan yang sangat populer dalam bidang
kelahiran (fertilitas) adalah program keluarga berencana. Program ini telah dimulai
sejak awal tahun 1970-an. Tujuan utama program KB ada dua macam yaitu
demografis dan non-demografis. Tujuan demografis KB adalah terjadinya penurunan
fertilitas dan terbentuknya pola budaya small family size, sedangkan tujuan nondemografis adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk yang merata dan
berkeadilan. Keluarga berencana merupakan contoh kebijakan langsung dibidang
fertilitas dan migrasi.
Pemakaian kontrasepsi merupakan salah satu dari sekian banyak variabel yang
secara langsung berpengaruh terhadap tingkat fertilitas. Sementara itu kontribusi
pemakaian kontrasepsi terhadap penurunan angka kelahiran tidak saja ditentukan oleh
banyaknya pasangan usia subur yang menggunakan kontrasepsi tetapi juga sangat
dipengaruhi oleh kualitas pemakaiannya. Terkait dengan itu, selama ini program KB
nasional memberikan prioritas pada pemakaian jenis kontrasepsi yang mempunyai
efektivitas atau daya lindung tinggi terhadap kemungkinan terjadinya kehamilan.
Selain itu sasaran pemakaian kontrasepsi juga lebih difokuskan pada pasangan usia
subur muda (usia di bawah 30 tahun) dengan paritas rendah (jumlah anak paling
banyak dua orang). Dengan meningkatnya pemakaian kontrasepsi yang efektif dan
mempunyai daya lindung yang tinggi bagi pasangan usia subur muda paritas rendah
diharapkan kontribusi pemakaian kontrasepsi terhadap penurunan angka kelahiran di
Indonesia juga akan menjadi semakin besar.
Berdasarkan uraian di atas, maka dengan tulisan ini dimaksudkan untuk
mengetahui seberapa jauh pengaruh program KB terhadap fertilitas dan aspek
kependudukan yang sekaligus pengaruhnya pada tahapan keluarga.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Keluarga Berencana
Usia antara 15-49 tahun merupakan usia subur bagi seseorang wanita karena
pada rentang usia tersebut kemungkinan wanita melahirkan anak cukup besar.
Salah satu cara untuk menekan laju penduduk adalah melalui program Keluarga
Berencana (KB). Fertilitas memiliki pengukuran, dimana angka fertilitas menurut
golongan umur dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan angka kelahiran kasar
karena tingkat kesuburan pada setiap golongan umur tidak sama hingga gambaran
kelahiran menjadi lebih teliti. Perhitungan angka fertilitas menurut golongan umur
biasanya dilakukan dengan interval 5 tahun hingga bila wanita dianggap berusia
subur terletak antara umur 15-49 tahun, akan diperoleh sebanyak 7 golongan umur.
Dengan demikian dapat disusun menjadi distribusi frekuensi pada setiap golongan
umur. Dari distribusi frekuensi tersebut, dapat diketahui pada golongan umur
berapa yang mempunyai tingkat kesuburan tertinggi. Hal ini penting untuk
menentukan prioritas program keluarga berencana.
KB dirumuskan sebagai upaya peningkatan kepedulian dan peran serta
masyarakat melalui batas usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan
ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan
keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Menurut para ulama (di kutip dari media
online BKKBN) KB di sini mempunyai arti sama dengan tanzim al nasl
(pengaturan keturunan). Sejauh pengertiannya tanzim al nasl bukan tahdid al nasl
(pembatasan keturunan) dalam arti pemandulan (taqim) dan aborsi (isqath al-haml
wa al ijhadl) maka KB tidak dilarang. Meski secara teoritis telah banyak fatwa
ulama yang membolehkan KB dalam arti tanzim al nasl tetapi tetap harus
memperhatikan jenis dan cara kerja alat atau metode kontrasepsi yang akan
digunakan untuk ber-KB.
Peserta keluarga berencana adalah pasangan usia subur dimana salah satu
atau dua orang dari pasangan tersebut menggunakan salah satu atau alat
kontrasepsi untuk tujuan pencegahan kehamilan, baik melalui program maupun
non-program. Pasangan usia subur memiliki batasan umur yang digunakan adalah
1544tahun dan bukan 15-49tahun. Hal ini tidak berarti berbeda dengan

perhitungan fertilitas yang menggunakan batasan 15-49 tahun, tetapi dalam


kegiatan keluarga berencana mereka yang berada pada kelompok umur 44-49
tahun bukan merupakan sasaran keluarga berencana lagi. Hal ini dilatar belakangi
oleh pemikiran bahwa mereka yang berada pada kelompok umur 4449 tahun,
kemungkinan untuk melahirkan lagi sudah sangat kecil.
B. Tujuan Program Keluarga Berencana
Program KB bagaimana pun harus tetap berhasil, sehingga ledakan penduduk
pada 2050 seperti yang diramalkan PBB tidak terjadi, yakni berjumlah sekitar 290
juta jiwa. Namun dengan keberhasilan menjaga program KB, jumlahnya
diharapkan tidak sebesar itu. Penduduk Indonesia pada 2000 sekitar 205 juta, jauh
di bawah proyeksi semula pada 1990 sebanyak 226 juta jiwa. Hal itu tidak terlepas
dari keberhasilan program KB.
KB bukan prioritas pembangunan. Namun tanpa KB, pembangunan di
bidang lain akan kurang bermakna, mengingat penduduk yang terlalu besar dengan
pertumbuhan yang tidak terkendali, dibarengi kualitas yang rendah akan menjadi
beban berat bagi pembangunan.
Jadi, salah satu tujuan dari keluarga berencana yakni mampu mengendalikan
laju pertumbuhan jumlah penduduk agar tidak terjadi ledakan penduduk yang
secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap pembangunan suatu
negara. Hal ini diartikan KB mampu menurunkan tingkat kelahiran kasar (CBR)
pada suatu negara. Tidak hanya itu, program KB juga bertujuan untuk mengelola
penduduk yang ada agar memperhatikan kualitas yang baik yang dimiliki suatu
keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Para orang tua akan tergerak untuk mementingkan kualitas daripada kuantitas
anak, atau memberi kesempatan kepada istri dan ibu untuk bekerja demi
menunjang pemeliharaan anak. Dengan demikian, salah satu cara untuk
mendorong para keluarga agar menginginkan sedikit anak adalah dengan
memperbesar kesempatan di bidang pendidikan dan membuka lapangan-lapangan
pekerjaan berpenghasilan tinggi kepada kaum wanita. Semakin tinggi pendidikan
semakin rendah kesuburan yang mengakibatkan penurunan pada fertilitas.

Masyarakat tentu lebih merasa bahagia dan sejahtera bukan karena tingkat
fertilitas secara nasional telah turun dari keadaan masa lalu, tetapi dirinya sendiri,
yaitu setiap keluarga bisa merasakan bahwa dengan adanya program KB yang
melayani dirinya dengan baik, sebagai suatu keluarga yang tadinya tidak
mengetahui apapun juga tentang program ini, sekarang bisa mengambil manfaat
sebaik-baiknya. Kebahagiaan pribadi inilah yang kiranya jarang muncul ke
permukaan karena setiap rakyat jelata yang beruntung biasanya bukan masuk
dalam tatanan berita nasional, tetapi diam dan tenang saja sebagai bagian dari
mayoritas diam yang jumlahnya jutaan keluarga.
Walaupun pertumbuhan yang pesat dan penggunaan paksaan untuk
mengikuti program keluarga berencana (KB) dapat dianggap sebagai bagian dari
penyebab turunnya tingkat fertilitas, ada penyebab lainnya termasuk meningkatnya
jumlah perempuan yang melek huruf, perbaikan kesehatan anak, dan kesempatan
kerja yang lebih besar bagi kaum perempuan.
C. Teori Pendukung Penggunaan Alat Kontrasepsi dalam Keluarga Berencana
Teori Bongaarts mengatakan bahwa penentu fertilitas adalah proporsi wanita
kawin 15-19 tahun, pemakaian kontrasepsi, aborsi, kemandulan, frekuensi
hubungan seksual, selibat permanen dan mortalitas janin. Kemudian menurut
Kingsley Davis dan Judith Blake yakni penurunan fertilitas diakibatkan oleh
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konsepsi salah satunya adalah
dengan pemakaian alat kontrasepsi. Palmore dan Bulatao, dengan teori
Contraceptive Choice berpendapat bahwa dengan menggunakan alat kontrasepsi
dapat menjarangkan atau membatasi kelahiran.
Pada teori Malthus dan Neo-Malthus juga dijelaskan penggunaan alat
kontrasepsi untuk mengurangi jumlah kelahiran. Menurut Malthus, pembatasan
pertumbuhan penduduk dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, salah satunya
dengan melakukan vice restraint (pengurangan kelahiran) yakni melalui
penggunaan
sebagainya.

alat-alat

kontrasepsi,

pengguguran

kandungan

dan

lain-lain

Cara mengendalikan kelahiran tiap negara berbeda-beda. Beberapa negara


memusatkan programnya disekitar IUD dan Pil, sedangkan beberapa lainnya
menggunakan karet keluarga berencana dan ada pula yang hampir sepenuhnya
bergantung pada menggugurkan kandungan (Brown, ...).
D. Penilaian pelaksanaan Program KB
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, atau terkenal dengan
singkatan BKKBN, adalah suatu lembaga pemerintah non departemen, yang
selama tiga puluh tahun terakhir ini mengkoordinasikan upaya besar membangun
norma keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera dengan hasil yang sangat positif.
Salah satu peranan BKKBN adalah menurunkan angka kelahiran kasar (CBR)
sebanyak 50% .
Tingkat kelahiran telah menurun lebih lima puluh persen, yaitu dari sekitar 6
(enam) anak setiap keluarga, menjadi hanya kurang dari 2,5 (dua setengah) anak
setiap keluarga. Tingkat kematian, terutama tingkat kematian bayi, anak dan
remaja telah turun dengan drastis. Akibatnya tingkat pertumbuhan penduduk yang
meroket di tahun 1970-an diatas angka 2,5 persen, telah diturunkan menjadi sekitar
1,2 persen, bahkan di beberapa propinsi telah dapat diturunkan dibawah angka 1
(satu) persen.
Dengan bekal mengecilnya jumlah anggota dari setiap keluarga itu, peranan
keluarga yang semula seakan-akan hanya terbatas sebagai pabrik anak, dengan
target produksi anak sebanyak-banyaknya, mulai dituntut menghasilkan,
memberdayakan dan memelihara anak dengan kualitas yang handal, tahan banting
dan nantinya bisa berumur panjang. Anak-anak itu bukan saja harus sehat jasmani,
tetapi harus mempunyai iman dan taqwa yang tinggi, dipersiapkan dengan baik
agar mempunyai kemampuan intelektual yang handal, cinta tanah air dan
bangsanya, mampu menjadi penggerak pembangunan ekonomi, sosial dan budaya,
serta sanggup menjaga kelestarian dan dinamika lingkungan sekitarnya.
Uraian kalimat diatas merupakan suatu harapan dalam berkeluarga. Setiap
keluarga mengharapkan keluarga yang benar-benar berkualitas. Dan inilah yang
menjadi

salah

satu

pendukung

terbentuknya

program-program

dalam

kependudukan. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh lembaga kependudukan baik


departemen maupun non-departemen pasti akan mempunyai tujuan yang ingin
dicapai. Untuk dapat mengetahui apakah yang telah digariskan dapat dicapai atau
tidak, serta penyimpangan-penyimpangannya mengapa tujuan tersebut tidak
tercapai, perlu diadakan penilaian pelaksanaan kegiatan tersebut. Dalam program
keluarga berencana telah ditentukan beberapa pentahapan penilaian sehubungan
dengan kegiatan yang dilakukan:
1. Tahap pertama : penilaian pencapaian target peserta keluarga berencana yang
meliputi peserta keluarga berencana yang merupakan pasangan suami istri yang
baru menggunakan alat kontrasepsi dan peserta keluarga berencana yang
kembali menggunakan alat kontrasepsi.
2. Tahap kedua
: penilaian pencapaian target peserta keluarga berencana usia
subur yang aktif menggunakan alat kontrasepsi.
3. Tahap ketiga
: penilaian terhadap perkembangan ciri-ciri peserta keluarga
berencana, terutama dari umur dan paritas peserta keluarga berencana.
4. Tahap keempat : penilaian terhadap penurunan fertilitas yang dicapai.
Sejalan dengan tujuan kuantitatif keluarga berencana yaitu menurunkan
angka kelahiran kasar (CBR) diperlukan adanya tujuan-tujuan antara yang
tercermin pada banyaknya peserta keluarga berencana yang perlu dicapai pada
suatu waktu tertentu di suatu daerah. Sistem target merupakan pedoman
perencanaan administrasi bagi para pelaksana program dan pedoman perencanaan
masa mendatang bagi para pembuat kebijaksanaan. Hasil dari penilaian target
tersebut belum dapat diinterpretasikan lebih jauh yaitu dikaitkan dengan penurunan
fertilitas yang mungkin dapat dicapai. Dengan perkataan lain, jumlah peserta
keluarga berencana yang menggunakan alat kontrasepsi yang banyak, belum tentu
menghasilkan pencegahan kelahiran yang cukup banyak, apabila tidak disertai
waktu pemakaian yang cukup lama.
E. Ukuran-ukuran keluarga berencana
Beberapa ukuran KB yang dikenal dalam pelaksanaan kegiatan KB antara
lain:
1. Angka kelangsungan
Merupakan angka yang menunjukkan proporsi peserta keluarga berencana yang
masih menggunakan alat kontrasepsi setelah suatu periode pemakaian tersebut.

Ada 4 macam angka kelangsungan yang dikenal dan terbagi menjadi 2


kelompok pendekatan yaitu:
a. Kelompok pertama, ditinjau dari pendekatan klinik (pemakaiannya) terdiri
dari angka kelangsungan cara pertama dan angka kelangsungan semua.
b. Kelompok kedua, ditinjau dari pendekatan demografi (kegagalan setelah
pemakaian, tanpa memperdulikan apakah masih memakai atau tidak) terdiri
dari kehamilan yang dapat dihindarkan dan kelahiran yang dapat
dihindarkan.
2. Peserta KB Aktif
Tahap yang dilakukan untuk memperkirakan jumlah peserta KB aktif yaitu
dengan menggunakan angka kelangsungan dan mendasarkan pada distribusi alat
kontrasepsi pada suatu waktu tertentu. Perhitungan ini menggunakan kombinasi
dari kedua cara tersebut (sesuai dengan yang dilakukan oleh BKKBN pada saat
ini). Dalam memperkirakannya peserta KB aktif perlu rincian terhadap
perkiraan jumlah pil oral yang disampaikan, perkiraan jumlah pemberian
kondom yang disampaikan kepada peserta KB, perkiraan jumlah suntikan yang
dilakukan kepada peserta KB, jumlah peserta medis operatif pria, perkiraan
jumlah pengguna medis operatif wanita, dan perkiraan tingkat kelangsungan
pemakaian dari peserta KB baru IUD.
3. Bulan Pasangan Perlindungan atau Tahun Pasangan Perlindungan
Bulan pasangan perlindungan adalah banyaknya bulan pasangan suami istri
yang terlindung dari kemungkinan mengalami kehamilan karena menggunakan
salah satu alat kontrasepsi. Dan tahun pasangan perlindungan adalah banyaknya
tahun pasangan yang terlindungi dari kemungkinan mengalami kehamilan
karena menggunakan salah satu alat kontrasepsi. Cara perhitungannya dapat
dilakukan dengan cara menggunakan angka kelangsungan penggunaan alat
kontrasepsi dan menggunakan banyaknya alat konstrasepsi yang didistribusikan.
4. Perkiraan Penurunan Fertilitas akibat Pelaksanaan KB
Perhitungan perkiraan penurunan fertilitas dalam hal ini dilakukan dengan
menggunakan metode John Laing dengan alasan metode cukup halus dan
mudah. Cukup halus karena di dalam perhitungannya telah dilakukan
penyesuaian dari ukuran efektivitas kontrasepsi dengan cara menghilangkan
kemungkinan adanya PPA yaitu overlap antara masa post-parfum
amernorhea dengan masa menggunkan kontrasepsi. Dengan kata lain tanpa
menggunakan kontrasepsi pun, orang tercegah dari kehamilan karena masa
steril. Jadi, penggunaan kontrasepsi yang dilakukan tidak efektif. Untuk

menghitung proporsi penurunan fertilitas perlu diketahui keterangan mengenai


jumlah pasangan usia subur. Proporsi penurunan fertilitas yakni :

Keterangan :
YEP = Indeks Yearly effective protection
PUS = Pasangan Usia Subur
Apabila diketahui data mengenai tingkat fertilitas suatu daerah sebelum
program KB (baik total fertility rate = TFR atau crude birth rate = CBR), maka
untuk memperkirakan angaka fertilitas untuk suatu daerah pada saat sekarang
dapat dipergunakan perumusan sebagai berikut.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. BKKBN Tetap Menggratiskan Alkon Bagi Keluarga Miskin.
http://www.bkkbn.go.id/Webs/index.php/rubrik/detail/402 diposting pada
2004-03-31 pukul 16:33:00
Anonim. 2011. Fertilitas.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23173/4/chapter%20II.pdf di
akses pada tgl 18 oktober 2011 pukul 20.22 WIB
Anonim. 2011. KB Itu Mengatur Keturunan.
http://www.bkkbn.go.id/Webs/index.php/rubrik/detail/443 diposting pada 200802-24 pukul 12:07
BKKBN. 2007. Analisis dan Evaluasi Dampak Program KB Terhadap Fertilitas dan
Aspek Kependudukan di Indonesia Tahun 2006. Direktorat Analisis dan
Evaluasi Program. Jakarta
Brown, Lester R. Kembali di Simpang Jalan (Masalah Kependudukan dengan Sumber
Daya Alam. Yayasan Obor Indonesia.
Kartoyo, Azwini. 2004. Dasar-dasar Demografi (Keluarga Berencana). Edisi 2004.
Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta

Suyono, Haryono. 2011. BKKBN dan Masalah Kependudukan


http://www.bkkbn.go.id/Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial
Kemasyarakatan-bkkbn-keluarga-29122001.
Diposkan 15th November 2011 oleh Agrittude
0

Tambahkan komentar
3.
Nov
15

FERTILITAS PENDUDUK
BAB I
PENDAHULUAN
Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata
dari seseorang wanita atau sekelompok wanita. Dengan kata lain fertilitas ini
menyangkut banyaknya bayi yang lahir hidup. Fekunditas, sebaliknya, merupakan
potensi fisik untuk melahirkan anak. Jadi merupakan lawan arti kata sterilitas.
Natalitas mempunyai arti sama dengan fertilitas hanya berbeda ruang lingkupnya.
Fertilitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan penduduk sedangkan natalitas
mencakup peranan kelahiran pada perubahan penduduk dan reproduksi manusia.
Istilah fertilitias sering disebut dengan kelahiran hidup (live birth), yaitu
terlepasnya bayi dari rahim seorang wanita dengan adanya tanda-tanda kehidupan,
seperti bernapas, berteriak, bergerak, jantung berdenyut dan lain sebagainya.
Sedangkan paritas merupakan jumlah anak yang telah dipunyai oleh wanita. Apabila
waktu lahir tidak ada tanda-tanda kehidupan, maka disebut dengan lahir mati (still
live) yang di dalam demografi tidak dianggap sebagai suatu peristiwa kelahiran.
Kemampuan fisiologis wanita untuk memberikan kelahiran atau berpartisipasi
dalam reproduksi dikenal dengan istilah fekunditas. Tidak adanya kemampuan ini
disebut infekunditas, sterilitas atau infertilitas fisiologis.

Pengetahuan yang cukup dapat dipercaya mengenai proporsi dari wanita yang
tergolong subur dan tidak subur belum tersedia. Ada petunjuk bahwa di beberapa
masyarakat yang dapat dikatakan semua wanita kawin dan ada tekanan sosial yang
kuat terhadap wanita/ pasangan untuk mempunyai anak, hanya sekiat satu atau dua
persen saja dari mereka yang telah menjalani perkawinan beberapa tahun tetapi tidak
mempunyai anak. Seorang wanita dikatakan subur jika wanita tersebut pernah
melahirkan paling sedikit seorang bayi.
Pengukuran fertilitas lebih kompleks dibandingkan dengan pengukuran
mortalitas (kematian) karena seorang wanita hanya meninggal sekali, tetapi dapat
melahirkan lebih dari seorang bayi. Kompleksnya pengukuran fertilitas ini karena
kelahiran melibatkan dua orang (suami dan istri), sedangkan kematian hanya
melibatkan satu orang saja (orang yang meninggal). Seseorang yang meninggal pada
hari dan waktu tertentu, berarti mulai saat itu orang tersebut tidak mempunyai resiko
kematian lagi. Sebaliknya, seorang wanita yang telah melahirkan seorang anak, tidak
berarti resiko melahirkan dari wanita tersebut menurun.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengukuran fertilitas memiliki dua macam pengukuran, yaitu pengukuran
fertilitas tahunan dan pengukuran fertilitas kumulatif. Pengukuran fertilitas tahunan
(vital rates) adalah mengukur jumlah kelahiran pada tahun tertentu yang dihubungkan
dengan jumlah penduduk yang mempunyai resiko untuk melahirkan pada tahun
tersebut. Sedangkan pengukuran fertilitas kumulatif adalah mengukur jumlah rata-rata
anak yang dilahirkan oleh seorang wanita hingga mengakhiri batas usia subur.
A. Ukuran-ukuran Fertilitas Tahunan
1. Tingkat Fertilitas Kasar (Crude Birth Rate)
Tingkat fertilitas kasar adalah banyaknya kelahiran hidup pada suatu
tahun tertentu tiap 1.000 penduduk pada pertengahan tahun. Dalam ukuran
CBR, jumlah kelahiran tidak dikaitkan secara langsung dengan penduduk
wanita, melainkan dengan penduduk secara keseluruhan.
CBR = x k
dimana:
CBR
= Tingkat Kelahiran Kasar
Pm = Penduduk pertengahan tahun

k
B

= Bilangan konstan yang biasanya 1.000


= Jumlah kelahiran pada tahun tertentu
Adapun kelemahan dalam perhitungan CBR yakni tidak memisahkan

penduduk laki-laki dan penduduk perempuan yang masih kanak-kanak dan yang
berumur 50 tahun ke atas. Jadi angka yang dihasilkan sangat kasar. Sedangkan
kelebihan dalam penggunaan ukuran CBR adalah perhitungan ini sederhana,
karena hanya memerlukan keterangan tentang jumlah anak yang dilahirkan dan
jumlah penduduk pada pertengahan tahun.
2. Tingkat Fertilitas Umum (General Fertility Rate)
Tingkat fertilitas umum mengandung pengertian sebagai jumlah kelahiran
(lahir hidup) per 1.000 wanita usia produktif (15-49 tahun) pada tahun tertentu.
Pada tingkat fertilitas kasar masih terlalu kasar karena membandingkan jumlah
kelahiran dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Tetapi pada tingkat
fertilitas umum ini pada penyebutnya sudah tidak menggunakan jumlah
penduduk pada pertengahan tahun lagi, tetapi jumlah penduduk wanita
pertengahan tahun umur 15-49 tahun.
GFR = x k
atau
GFR = x k
dimana:
GFR
B
Pf (15-49)
tahun
k

= Tingkat Fertilitas Umum


= Jumlah kelahiran
= Jumlah penduduk wanita umur 15-49 tahun pada pertengahan

= Bilangan konstanta yang bernilai 1.000


Kelemahan dari penggunaan ukuran GFR adalah ukuran ini tidak

membedakan kelompok umur, sehingga wanita yang berumur 40 tahun


dianggap mempunyai resiko melahirkan yang sama besar dengan wanita yang
berumur 25 tahun. Namun kelebihan dari penggunaan ukuran ini ialah ukuran
ini cermat daripada CBR karena hanya memasukkan wanita yang berumur 1549 tahun atau sebagai penduduk yang exposed to risk.
3. Tingkat Fertilitas menurut Umur (Age Specific Fertility Rate)
Diantara kelompok wanita reproduksi (15-49 tahun) terdapat variasi
kemampuan melahirkan, karena itu perlu dihitung tingkat fertilitas wanita pada
tiap-tiap kelompok umur. Dengan mengetahui angka-angka ini dapat pula
dilakukan perbandingan fertilitas antar penduduk dari daerah yang berbeda.
ASFRi = x k

atau
ASFRi = x k
dimana:
ASFRi = Tingkat Fertilitas menurut Umur
Bi

= Jumlah kelahiran bayi pada kelompok umur i

Pfi

= Jumlah wanita kelompok umur i pada pertengahan tahun

= Angka konstanta, yaitu 1.000


Berdasarkan dua kondisi di atas dapatlah disebutkan beberapa masalah

(terkait dengan SDM) sebagai berikut :


1) Jika fertilitas semakin meningkat maka akan menjadi beban pemerintah
dalam hal penyediaan aspek fisik misalnya fasilitas kesehatan ketimbang
aspek intelektual.
2) Fertilitas meningkat maka pertumbuhan penduduk akan semakin meningkat
tinggi akibatnya bagi suatu negara berkembang akan menunjukan korelasi
negatif dengan tingkat kesejahteraan penduduknya.
3) Jika ASFR 20-24 terus meningkat maka akan berdampak kepada investasi
SDM yang semakin menurun.
Adapun kelebihan dari penggunaan ukuran ASFR antara lain :
a. Ukuran lebih cermat dari GFR karena sudah membagi penduduk yang
exposed to risk ke dalam berbagai kelompok umur.
b. Dengan ASFR dimungkinkan pembuatan analisa perbedaan fertilitas (current
fertility) menurut berbagai karakteristik wanita.
c. Dengan ASFR dimungkinkan dilakukannya studi fertilitas menurut kohor.
d. ASFR ini merupakan dasar untuk perhitungan ukuran fertilitas dan
reproduksi selanjutnya (TFR, GRR, dan NRR).
Namun dalam pengukuran ASFR masih terdapat beberapa kelemahan
diantaranya yaitu:
a. Ukuran ini membutuhkan data yang terperinci yaitu banyaknya kelahiran
untuk tiap kelompok umur sedangkan data tersebut belum tentu ada di tiap
negara/daerah, terutama negara yang sedang berkembang. Jadi pada
kenyataannya sukar sekali mendapatkan ukuran ASFR.
b. Tidak menunjukkan ukuran fertilitas untuk keseluruhan wanita umur 15-49
tahun.

4. Tingkat Fertilitas menurut Urutan Kelahiran (Birth Order Specific Fertility


Rate)
Tingkat fertilitas menurut urutan kelahiran sangat penting untuk
mengukur tinggi rendahnya fertilitas suatu negara. Kemungkinan seorang istri
menambah kelahiran tergantung pada jumlah anak yang telah dilahirkannya.
Seorang istri mungkin menggunakan alat kontrasepsi setelah mempunyai
jumlah anak tertentu dan juga umur anak yang masih hidup.
BOSFR =
atau
dimana:
BOSFR

= Tingkat Fertilitas

menurut Urutan Kelahiran


Boi
= Jumlaha kelahiran urutan ke 1
Pf (15-49) = Jumlah wanita umur 15-49 pertengahan tahun
k
= Bilangan konstan bernilai 1.000
B. Ukuran-ukuran Fertilitas dan Reproduksi secara Kumulatif
1. Total Fertility Rate (TFR)
Tabel 1.1 Angka Fertilitas Total menurut Provinsi 1971, 1980, 1985, 1990,
1991, 1994, 1998, dan 1999
Provinsi

1971

1980

1985

1990

1991

1994

1998

1999

Nanggroe Aceh
Darussalam

4,79

3,76

3,3

2,78

2,69

Sumatera Utara

4,17

3,88

3,08

Sumatera Barat

6,18

3,6

3,19

2,94

2,87

Riau

5,94

n.a

3,1

2,85

2,77

Jambi

6,39

4,62

n.a

2,97

2,87

2,8

Sumatera Selatan

4,78

3,43

2,87

2,78

2,71

Bengkulu

n.a

3,45

2,83

2,77

Lampung

5,75

3,2

3,45

2,74

2,66

DKI Jakarta

3,99

3,25

2,14

1,9

Jawa Barat

3,17

2,61

2,55

Jawa Tengah

5,33

4,37

3,82

2,85

2,77

2,41

2,37

DI Yogyakarta

2,93

2,04

1,79

Jawa Timur

4,72

3,2

2,22

2,02

2,02

Bali

3,09

2,14

Nusa Tenggara Barat

6,49

3,82

3,64

3,12

3,05

Nusa Tenggara Timur

5,54

5,12

n.a

3,87

3,15

3,06

Kalimantan Barat

5,52

4,98

3,94

3,34

2,92

2,81

Kalimantan Tengah

5,87

n.a

2,31

2,86

2,81

Kalimantan Selatan

3,74

2,7

2,33

2,58

2,53

Kalimantan Timur

4,16

n.a

3,21

2,6

2,55

Sulawesi Utara

6,79

2,25

2,62

2,38

2,36

Sulawesi Tengah

6,53

5,9

n.a

3,08

2,78

2,72

Sulawesi Selatan

3,01

2,92

2,7

2,65

Sulawesi Tenggara

5,82

5,66

n.a

3,5

2,87

Maluku

5,61

n.a

3,7

2,92

2,82

Papua

n.a

3,15

3,03

2,96

INDONESIA

2,85

2,65

2,59

Sumber : Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990 , Sensus Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1985 , Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1991 dan 1994

Total Fertility Rate/ TFR adalah rata-rata jumlah anak yang dilahirkan
seorang wanita sampai akhir masa reproduksinya. Rumus perhitungan TFR
yaitu sebagai berikut.
Keterangan :
TFR

= Angka Fertilitas Total

ASFR

= Angka Fertilitas Menurut kelompok umur

= Kelompok umur

Kebaikannya :
Merupakan ukuran untuk seluruh wanita usia 15-49 tahun, yang dihitung
berdasarkan angka kelahiran menurut kelompok umur.
2. Gross Reproduction Rate/ GRR
Angka yang menunjukkan rata-rata jumlah anak perempuan yang
dilahirkan oleh seorang wanita selama masa hidupnya, dengan mengikuti pola
fertilitas dan mortalitas yang sama seperti ibunya. Dalam reit reproduksi kasar

(GRR) tidak memperhitungkan unsur kematian. Rumus perhitungan GRR yakni


sebagai berikut.
atau
Keterangan :
GRR
= Angka Reproduksi Bruto
ASFR = Angka Fertilitas menurut Kelompok Umur
X
= Kelompok umur
F
= Penduduk perempuan
Kelemahannya :
Tidak memperhitungkan kemungkinan mati bayi wanita tersebut sebelum masa
reproduksinya.
3. Net Reproduction Rate/ NRR
Angka yang menunjukkan rata-rata jumlah anak perempuan yang
dilahirkan oleh seorang wanita selama hidupnya dan akan tetap hidup sampai
dapat menggantikan kedudukan ibunya, dengan mengikuti pola fertilitas dan
mortalitas

yang

sama

seperti

ibunya.

Ukuran

reit

reproduksi

neto

memperhitungkan pula unsur kematian. Adapun rumus perhitungannya sebagai


berikut.
Keterangan :
NRR
= Angka Reproduksi Neto
ASFR = Angka Fertilitas menurut kelompok umur
X
= kelompok umur
F
= penduduk perempuan
= rasio masih hidup sejak lahir hingga umur x
4. Child Woman Rate/ CWR
Perbandingan antara jumlah anak dibawah umur 5 tahun dengan wanita
usia reproduksi. Adapun rumus perhitungan CWR sebagai berikut.
Keterangan :
= Jumlah anak dibawah usia 5 tahun
= banyaknya wanita umur 15-49 tahun
Kelebihan pengukuran CWR adalah tidak usah membuat pertanyaan
khusus untuk mendapatkan data yang diperlukan, dan pengukuran ini berguna
untuk indikasi fertilitas di daerah kecil sebab di negara yang registrasinya cukup
baik pun, statistik kelahiran tidak ditabulasikan untuk daerah yang kecil-kecil.
Kelemahannya yakni langsung dipengaruhi oleh kekurangan pelaporan
tentang anak, yang sering terjadi di negara sedang berkembang. Walaupun
kekurangan pelaporan juga terjadi di kelompok ibunya namun secara relatif

kekurangan pelaporan pada anak-anak jauh lebih besar. Selain itu juga
dipengaruhi oleh tingkat mortalitas, di mana tingkat mortalitas anakm
khususnya di bawah 1 tahun juga lebih besar dari orang tua, sehingga CWR
selalu lebih kecil daripada tingkat fertilitas yang seharusnya dan CWR tidak
memperhitungkan distribusi umur dari penduduk wanita.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi dan Menentukan Fertilitas
Ada beragam faktor yang mempengaruhi dan menentukan fertilitas baik yang
berupa faktor demografi maupun faktor non-demografi. Yang berupa faktor
demografi diantaranya adalah struktur umur, umur perkawinan, lama perkawinan,
paritas, distrupsi perkawinan dan proporsi yang kawin sedangkan faktor nondemografi dapat berupa faktor sosial, ekonomi maupun psikologi.
1. Teori Sosiologi tentang Fertilitas (Davis dan Blake: Variabel Antara)
Kajian tentang fertilitas pada dasarnya bermula dari disiplin sosiologi.
Sebelum disiplin lain membahas secara sistematis tentang fertilitas, kajian
sosiologis tentang fertilitas sudah lebih dahulu dimulai. Sudah amat lama
kependudukan menjadi salah satu sub-bidang sosiologi. Sebagian besar analisa
kependudukan (selain demografi formal) sesungguhnya merupakan analisis
sosiologis. Davis and Blake (1956), Freedman (1962), Hawthorne (1970) telah
mengembangkan berbagai kerangka teoritis tentang perilaku fertilitas yang pada
hakekatnya bersifat sosiologis.
Dalam tulisannya yang berjudul The Social structure and fertility: an
analytic framework (1956)2 Kingsley Davis dan Judith Blake melakukan
analisis sosiologis tentang fertilitas. Davis and Blake mengemukakan faktorfaktor yang mempengaruhi fertilitas melalui apa yang disebut sebagai variabel
antara (intermediate variables).
Menurut Davis dan Blake faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya yang
mempengaruhi fertilitas akan melalui variabel antara. Ada 11 variabel antara
yang mempengaruhi fertilitas, yang masing-masing dikelompokkan dalam tiga
tahap proses reproduksi sebagai berikut:

Intermediate variables of fertility


a. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hubungan kelamin (intercouse
variables):
Faktor-faktor yang mengatur tidak terjadinya hubungan kelamin:
1) Umur mulai hubungan kelamin
2) Selibat permanen: proporsi wanita yang tidak pernah mengadakan
hubungan kelamin
3) Lamanya masa reproduksi sesudah atau diantara masa hubangan
kelamin:
i. Bila kehidupan suami istri cerai atau pisah
ii. Bila kehidupan suami istri nerakhir karena suami
meninggal dunia
Faktor-faktor yang mengatur terjadinya hubungan kelamin
4) Abstinensi sukarela
5) Berpantang karena terpaksa (oleh impotensi, sakit, pisah sementara)
6) Frekuensi hubungan seksual
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konsepsi (conception
variables):
7) Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
tidak disengaja
8) Menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi:
i. Menggunakan cara-cara mekanik dan bahanbahan kimia
9)

ii. Menggunakan cara-cara lain


Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor

yang disengaja (sterilisasi, subinsisi, obat-obatan dan sebagainya)


c. Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan dan kelahiran (gestation
variables)
10) Mortalitas janin yang disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak
disengaja
11) Mortalitas janin oleh faktor-faktor yang disengaja
Menurut Davis dan Blake, setiap variabel diatas terdapat pada semua
masyarakat.Sebab masing-masing variabel memiliki pengaruh (nilai) positif dan
negatifnya sendiri-sendiri terhadap fertilitas. Misalnya, jika pengguguran tidak
dipraktekan maka variabel nomor 11 tersebut bernilai positif terhadap fertilitas.
Artinya, fertilitas dapat meningkat karena tidak ada pengguguran. Dengan
demikian ketidak-adaan variabel tersebut juga suatu masyarakat masing-masing

variabel bernilai negatif atau positif maka angka kelahiran yang sebenarnya
tergantung kepada neraca netto dari nilai semua variabel.
2. Ronald Freedman: Variabel Antara dan Norma Sosial
Menurut Freedman variabel antara yang mempengaruhi langsung terhadap
fertilitas pada dasarnya juga dipengaruhi oleh norma-norma yang berlaku di
suatu masyarakat. Pada akhirnya perilaku fertilitas seseorang dipengaruhi
norma-norma yang ada yaitu norma tentang besarnya keluarga dan norma
tentang variabel antara itu sendiri. Selanjutnya norma-norma tentang besarnya
keluarga dan variabel antara di pengaruhi oleh tingkat mortalitas dan struktur
sosial ekonomi yang ada di masyarakat.
Menurut Freedman intermediate variables yang dikemukakan Davis-Blake
menjadi variabel antara yang menghubungkan antara norma-norma fertilitas
yang sudah mapan diterima masyarakat dengan jumlah anak yang dimiliki
(outcome). Ia mengemukakan bahwa norma fertilitas yang sudah mapan
diterima oleh masyarakat dapat sesuai dengan fertilitas yang dinginkan
seseorang. Selain itu, norma sosial dianggap sebagai faktor yang dominan.
Secara umum Freedman mengatakan bahwa:
Salah satu prinsip dasar sosiologi adalah bahwa bila para anggota suatu
masyarakat menghadapi suatu masalah umum yang timbul berkali-kali dan
membawa konsekuensi sosial yang penting, mereka cenderung menciptakan
suatu cara penyelesaian normatif terhadap masalah tersebut. Cara
penyelesaian ini merupakan serangkaian aturan tentang bertingkah laku dalam
suatu situasi tertentu, menjadi sebagian dari kebudayaannya dan masyarakat
mengindoktrinasikan kepada para anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan
norma tersebut baik melalui ganjaran (rewards) maupun hukuman (penalty)
yang implisit dan eksplisit. ... Karena jumlah anak yang akan dimiliki oleh
sepasang suami isteri itu merupakan masalah yang sangat universal dan
penting bagi setiap masyarakat, maka akan terdapat suatu penyimpangan
sosiologis apabila tidak diciptakan budaya penyelesaian yang normatif untuk
mengatasi masalah ini

Jadi norma merupakan resep untuk membimbing serangkaian tingkah


laku tertentu pada berbagai situasi yang sama. Norma merupakan unsur kunci
dalam teori sosiologi tentang fertilitas. Dalam artikelnya yang berjudul
Theories of fertility decline: a reappraisal (1979).
Freedman juga mengemukakan bahwa tingkat fertilitas yang cenderung
terus menurun di beberapa negara pada dasarnya bukan semata-mata akibat
variabel-variabel pembangunan makro seperti urbanisasi dan industrialisasi
sebagaimana dikemukakan oleh model transisi demografi klasik tetapi
berubahnya motivasi fertilitas akibat bertambahnya penduduk yang melek huruf
serta berkembangnya jaringan-jaringan komunikasi dan transportasi.
Menurut Freedman, tingginya tingkat modernisasi tipe Barat bukan
merupakan syarat yang penting terjadinya penurunan fertilitas. Pernyataan yang
paling ekstrim dari suatu teori sosiologi tentang fertilitas sudah dikemukakan
oleh Judith Blake. Ia berpendapat bahwa masalah ekonomi adalah masalah
sekunder bukan masalah normatif; jika kaum miskin mempunyai anak lebih
banyak daripada kaum kaya, hal ini disebabkan karena kaum miskin lebih kuat
dipengaruhi oleh norma-norma pro-natalis daripada kaum kaya.
3. Teori Ekonomi tentang Fertilitas
Pandangan bahwa faktor-faktor ekonomi mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap fertilitas bukanlah suatu hal yang baru. Dasar pemikiran utama dari
teori transisi demografis yang sudah terkenal luas adalah bahwa sejalan
dengan diadakannya pembangunan sosial-ekonomi, maka fertilitas lebih
merupakan suatu proses ekonomis dari pada proses biologis.
Berbagai metode pengendalian fertilitas seperti penundaan perkawinan,
senggama terputus dan kontrasepsi dapat digunakan oleh pasangan suami istri
yang tidak menginginkan mempunyai keluarga besar, dengan anggapan bahwa
mempunyai banyak anak berarti memikul beban ekonomis dan menghambat
peningkatan kesejahteraan sosial dan material. Bahkan sejak awal pertengahan
abad ini, sudah diterima secara umum bahwa hal inilah yang menyebabkan
penurunan fertilitas di Eropa Barat dan Utara dalam abad 19. Leibenstein dapat

dikatakan sebagai peletak dasar dari apa yang dikenal dengan teori ekonomi
tentang fertilitas. Menurut Leibenstein tujuan teori ekonomi fertilitas adalah:
untuk merumuskan suatu teori yang menjelaskan faktor-faktor yang
menentukan jumlah kelahiran anak yang dinginkan per keluarga. Tentunya,
besarnya juga tergantung pada berapa banyak kelahiran yang dapat bertahan
hidup (survive). Tekanan yang utama adalah bahwa cara bertingkah laku itu
sesuai dengan yang dikehendaki apabila orang melaksanakan perhitunganperhitungan kasar mengenai jumlah kelahiran anak yang dinginkannya. Dan
perhitungan perhitungan yang demikian ini tergantung pada keseimbangan
antara kepuasan atau kegunaan (utility) yang diperoleh dari biaya tambahan
kelahiran anak, baik berupa uang maupun psikis. Ada tiga macam tipe
kegunaan yaitu (a) kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu barang
konsumsi misalnya sebagai sumber hiburan bagi orang tua; (b) kegunaan yang
diperoleh dari anak sebagai suatu sarana produksi, yakni, dalam beberapa hal
tertentu anak diharapkan untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan
menambah pendapatan keluarga; dan (c) kegunaan yang diperoleh dari anak
sebagai sumber ketentraman, baik pada hari tua maupun sebaliknya.
Menurut Leibenstein anak dilihat dari dua aspek yaitu aspek kegunaannya
(utility) dan aspek biaya (cost). Kegunaannya adalah memberikan kepuasaan,
dapat memberikan balas jasa ekonomi atau membantu dalam kegiatan
berproduksi serta merupakan sumber yang dapat menghidupi orang tua di masa
depan. Sedangkan pengeluaran untuk membesarkan anak adalah biaya dari
mempunyai anak tersebut. Biaya memiliki tambahan seoarang anak dapat
dibedakan atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. Yang dimaksud biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan dalam memelihara anak seperti
memenuhi kebutuhan sandang dan pangan anak sampai ia dapat berdiri sendiri.
Yang dimaksud biaya tidak langsung adalah kesempatan yang hilang karena
adanya tambahan seoarang anak. Misalnya, seoarang ibu tidak dapat bekerja
lagi karena harus merawat anak, kehilangan penghasilan selama masa hamil,
atau berkurangnya mobilitas orang tua yang mempunyai tanggungan keluarga
besar (Leibenstein, 1958).

Menurut Leibenstein, apabila ada kenaikan pendapatan maka aspirasi orang


tua akan berubah. Orang tua menginginkan anak dengan kualitas yang baik. Ini
berarti biayanya naik. Pengembangan lebih lanjut tentang ekonomi fertiitas
dilakukan oleh Gary S. Becker dengan artikelnya yang cukup terkenal yaitu An
Economic Analysis of Fertility.
Menurut Becker anak dari sisi ekonomi pada dasarnya dapat dianggap
sebagai barang konsumsi (a consumption good, consumers durable) yang
memberikan suatu kepuasan (utility) tertentu bagi orang tua. Bagi banyak orang
tua, anak merupakan sumber pendapatan dan kepuasan (satisfaction). Secara
ekonomi fertilitas dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, biaya memiliki anak
dan selera. Meningkatnya pendapatan (income) dapat meningkatkan permintaan
terhadap anak.
Karya Becker kemudian berkembang terus antara lain dengan terbitanya
buku A Treatise on the Family. Perkembangan selanjutnya analisis ekonomi
fertilitas tersebut kemudian membentuk teori baru yang disebut sebagai
ekonomi rumah tangga (household economics). Analisis ekonomi fertilitas yang
dilakukan oleh Becker kemudian diikuti pula oleh beberapa ahli lain seperti
Paul T. Schultz, Mark Nerlove, Robert J. Willis dan sebagainya. Dalam
tulisannya yang berjudul Economic growth and population: Perspective of the
new home economics6 Nerlove mengemukakan:
Ekonomi rumah tangga terdiri dari empat unsur utama, yaitu (a) suatu
fungsi kegunaan. Yang dimaksud kegunaan disini bukanlah dalam arti komoditi
fisik melainkan berbagai kepuasan yang dihasilkan rumah tangga; (b) suatu
teknologi produksi rumah tangga; (c) suatu lingkungan pasar tenaga kerja
yang menyediakan sarana untuk merubah sumber-sumber daya rumah tangga
menjadi komoditi pasar; dan (d) sejumlah keterbatasan sumber-sumber daya
rumah tangga yang terdiri dari harta warisan dan waktu yang tersedia bagi
setiap anggota rumah tangga untuk melakukan produksi rumah tangga dan
kegiatankegiatan pasar. Waktu yang tersedia dapat berbeda-beda kualitasnya,
dan dalam hal ini tentunya termasuk juga sumberdaya manusia (human capital)
yang diwariskan dan investasi sumberdaya manusia dilakukan oleh suatu

generasi baik untuk kepentingan tingkah laku generasi-generasi yang akan


datang maupun untuk kepentingan tingkah laku sendiri
Dalam analisis ekonomi fertilitas dibahas mengapa permintaan akan anak
berkurang bila pendapatan meningkat; yakni apa yang menyebabkan harga
pelayanan anak berkaitan dengan pelayanan komoditi lainnya meningkat jika
pendapatan meningkat?
New household economics berpendapat bahwa (a) orang tua mulai lebih
menyukai anak-anak yang berkualitas lebih tinggi dalam jumlah yang hanya
sedikit sehingga harga beli meningkat; (b) bila pendapatan dan pendidikan
meningkat maka semakin banyak waktu (khususnya waktu ibu) yang digunakan
untuk merawat anak. Jadi anak menjadi lebih mahal.
Di dalam setiap kasus, semua pendekatan ekonomi melihat fertilitas sebagai
hasil dari suatu keputusan rasional yang didasarkan atas usaha untuk
memaksimalkan fungsi utility ekonomis yang cukup rumit yang tergantung pada
biaya langsung dan tidak langsung, keterbatasan sumberdaya, selera. Topiktopik yang dibahas dalam ekonomi fertilitas antara berkaitan dengan pilihanpilihan ekonomi seseorang dalam menentukan fertilitas (jumlah dan kualitas
anak). Pertimbangan ekonomi dalam menentukan fertilitas terkait dengan
income, biaya (langsung maupun tidak langsung), selera, modernisasi dan
sebagainya.
Sejalan dengan apa yang telah dikemukakan Becker, Bulato menulis
tentang konsep demand for children and supply of children. Konsep demand for
children dan supply of children dikemukakan dalam kaitan menganalisis
economic determinan factors dari fertilitas. Bulatao mengartikan konsep
demand for children sebagai jumlah anak yang dinginkan. Termasuk dalam
pengertian jumlah adalah jenis kelamin anak, kualitas, waktu memliki anak dan
sebagainya.
Konsep demand for children diukur melalui pertanyaan survey tentang
jumlah keluarga yang ideal atau diharapkan atau diinginkan. Pertanyaannya,
apakah konsep demand for children berlaku di negara berkembang. Apakah

pasangan di negara berkembang dapat memformulasikan jumlah anak yang


dinginkan? Menurut Bulato, jika pasangan tidak dapat memformulasikan jumlah
anak yang dinginkan secara tegas maka digunakan konsep latent demand
dimana jumlah anak yang dinginkan akan disebut oleh pasangan ketika mereka
ditanya.
Menurut Bulatao, modernisasi berpengaruh terhadap demand for children
dalam kaitan membuat latent demand menjadi efektif. Menurut Bulatao,
demand for children dipengaruhi (determined) oleh berbagai faktor seperti biaya
anak, pendapatan keluarga dan selera. Dalam artikel tersebut Bulato membahas
masing-masing faktor tersebut (biaya anak, pendapatan, selera) secara lebih
detail. Termasuk didalamnya dibahas apakah anak bagi keluarga di negara
berkembang merupakan net supplier atau tidak. Sedang supply of children
diartikan sebagai banyaknya anak yang bertahan hidup dari suatu pasangan jika
mereka tidak berpisah/cerai pada suatu batas tertentu. Supply tergantung pada
banyaknya kelahiran dan kesempatan untuk bertahan hidup. Supply of children
berkaitan dengan konsep kelahiran alami (natural fertility).
Menurut Bongart dan Menken fertilitas alami dapat diidentifikasi melalui
lima hal utama, yaitu:
a. Ketidak-suburan setelah melahirkan (postpartum infecundibality)
b. Waktu menunggu untuk konsepsi (waiting time to conception)
c. Kematian dalam kandungan (intraurine mortality)
d. Sterilisasi permanen (permanent sterility)
e. Memasuki masa reproduksi (entry into reproductive span)
Analisis ekonomi tentang fertilitas juga dikemukakan oleh Richard A.
Easterlin. Menurut Easterlin permintaan akan anak sebagian ditentukan oleh
karakteristik latar belakang individu seperti agama, pendidikan, tempat tinggal,
jenis/tipe keluarga dan sebagainya. Setiap keluarga mempunyai norma-norma
dan sikap fertilitas yang dilatarbelakangi oleh karakteristik diatas. Easterlin juga

mengemukakan perlunya menambah seperangkat determinan ketiga (disamping


dua determinan lainnya: permintaan anak dan biaya regulasi fertilitas) yaitu
mengenai pembentukan kemampuan potensial dari anak. Hal ini pada gilirannya
tergantung pada fertilitas alami (natural fertility) dan kemungkinan seorang bayi
dapat tetap hidup hingga dewasa.
Fertilitas alami sebagian tergantung pada faktor-faktor fisiologis atau
biologis, dan sebagian lainnya tergantung pada praktek-praktek budaya. Apabila
pendapatan meningkat maka terjadilah perubahan suplai anak karena
perbaikan gizi, kesehatan dan faktor-faktor biologis lainnya. Demikian pula
perubahan permintaan disebabkan oleh perubahan pendapatan, harga dan
selera. Pada suatu saat tertentu, kemampuan suplai dalam suatu masyarakat
bisa melebihi permintaan atau sebaliknya.
Easterlin berpendapat bahwa bagi negara-negara berpendapatan rendah
permintaan mungkin bisa sangat tinggi tetapi suplainya rendah, karena terdapat
pengekangan biologis terhadap kesuburan. Hal ini menimbulkan suatu
permintaan berlebihan (excess demand) dan juga menimbulkan sejumlah
besar orang yang benar-benar tidak menjalankan praktek-praktek pembatasan
keluarga. Di pihak lain, pada tingkat pendapatan yang tinggi, permintaan adalah
rendah sedangkan kemampuan suplainya tinggi, maka akan menimbulkan suplai
berlebihan (over supply) dan meluasnya praktek keluarga berencana. John C.
Caldwell juga melakukan analisis fertilitas dengan pendekatan ekonomi
sosiologis.
Tesis fundamentalnya adalah bahwa tingkah laku fertilitas dalam
masyarakat pra-tradisional dan pasca-transisional itu dilihat dari segi ekonomi
bersifat rasional dalam kaitannya dengan tujuan ekonomi yang telah ditetapkan
dalam masyarakat, dan dalam arti luas dipengaruhi juga oleh faktor-faktor
biologis dan psikologis.
Teori Caldwell menekankan pada pentingnya peranan keluarga dalam arus
kekayaan netto (net wealth flows) antar generasi dan juga perbedaan yang tajam
pada regim demografis pra-transisi dan pasca-transisi. Caldwell mengatakan
bahwa sifat hubungan ekonomi dalam keluarga menentukan kestabilan atau

ketidak-stabilan penduduk. Jadi pendekatannya lebih menekankan pada


dikenakannya tingkah laku fertilitas terhadap individu (atau keluarga inti) oleh
suatu kelompok keluarga yang lebih besar (bahkan yang tidak sedaerah) dari
pada oleh norma-norma yang sudah diterima masyarakat. Seperti diamati oleh
Caldwell, didalam keluarga selalu terdapat tingkat eksploitasi yang besar oleh
suatu kelompok (atau generasi) terhadap kelompok atau generasi lainnya,
sehingga jarang dilakukan usaha pemaksimalan manfaat individu. Selain teori
yang disajikan dalam tulisan ini masih banyak teori lain yang membahas
fertilitas. Namun karena keterbatasan tempat tidak semua teori fertilitas dapat
disajikan dalam tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Becker, Gary S., An Economic Analysis of Fertility dalam Becker, Gary S., The
Economic Approach to Human Behaviour, The University of Chicago, 1976, pp.
171-194
Becker, Gary S., A Treatise on the Family, Harvard University Press, London,
England, 1981
Davis, Kingsley & Judith Blake, Struktur Sosial dan Fertilitas (Social structure and
fertility: an analytical framework), Lembaga Kependudukan UGM, Yogyakarta,
1974
Freedman, Ronald, Theories of fertility decline: a reappraisal in Philip M. Hauser
(ed.), World
Lee, Ronald D. & Rodolfo A. Bulatao, The Demand for Children: A Critical Essay
dalam Bulatao & Lee (Ed.), Determinants of Fertility in Developing Countries
Volume 1 Supply and Demand for Children, Academic Press, 1983, London
Hatmadji, Sri Harjati. 2004. Dasar-dasar Demografi. Edisi 2004. Lembaga
Demografi Fakultas Ekonomi UI Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Jakarta
Ida Bagoes Mantra. 2009. Demografi Umum. Edisi kedua. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta
Nerlove, Mark, Economic growth and population: Perspective of the new home
economics, Agricultural Development Council, Inc, ADC Reprint Series, 1974
dikutip dari Robinson & Harbison, Ibid, p.4
Population and development, Syracuse University Press, New York, 1979.

Said Rusli. 1986. Pengantar Ilmu Kependudukan. LP3ES


Sri Rahayu Sanusi,SKM,Mkes. Masalah Kependudukan Di Negara Indonesia.
Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara
Robinson, Warren C. & Sarah F. Harbison, Menuju Teori Fertilitas Terpadu (Toward a
unified theory of fertility), Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan UGM,
Yogyakarta, 1983
Diposkan 15th November 2011 oleh Agrittude
0

Tambahkan komentar
4.
Oct
18

Langkah-Langkah dalam
Pengembangan Masyarakat
PENDAHULUAN
Pada hakekatnya, kegiatan pengembangan masyarakat adalah sebuah
pembangunan yang menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi kemajuan
kehidupan diberbagai bidang, yaitu kondisi yang memungkinkan terciptanya
partisipasi aktif masyarakat dan adanya kepercayaan penuh pada masyarakat untuk
memegang inisiatif tersebut. Pengembangan masyarakat memiliki tujuan yaitu
memajukan pada setiap aspek kehidupan masyarakat, baik ekonomi, sosial budaya
maupun aspek kehidupan lain sehingga tercapai kesejahteraan, selain itu juga untuk
membangun kehidupan manusia sebagai individu dan sebagai anggota komunitasnya
dengan cara mengembangkan pandangan, kemandirian, dedikasi terhadap tujuan
komunitas dan kerjasama.
Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu
ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya. Dalam praktek pengembangan

masyarakat yang dilakukan oleh banyak pihak, seringkali terbatas pada pemberdayaan
ekonomi

dalam

rangka

pengentasan

kemiskinan

(poverty

allevation)

atau

penanggulangan kemiskinan (poverty reduction), karena itu kegiatan pemberdayaan


masyarakat selalu dilakukan dalam bentuk pengembangan kegiatan produktif untuk
meningkatkan pendapatan (income generating).
Pembangunan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan yang tidak pernah
berhenti, untuk terus mewujudkan perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat
dalam mencapai perbaikan mutu hidup, dalam situasi lingkungan kehidupan yang
juga terus menerus mengalami perubahan-perubahan. Meskipun demikian, di dalam
perencanaan pembangunan senantiasa memiliki batas waktu yang tegas tetapi
batasan-batasan itu pada hakekatnya hanyalah merupakan tahapan-tahapan atau
langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menghadapi kondisi yang terjadi pada
waktu yang sama, selanjutnya juga dimaksudkan untuk terus memperbaiki mutu
hidup masyarakat beserta individu-individu dalam suasana perubahan lingkungan
yang akan terjadi pada waktu tertentu. Di dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut
tentang langkah-langkah dalam pengembangan masyarakat.

PEMBAHASAN
Dalam pengembangan masyarakat kita telah mengetahui prinsip-prinsip
pengembangan masyarakat, namun dari sekian puluh prinsip yang ada, pokok intinya
adalah partisipasi, kemandirian dan keswadayaan. Partisipasi diartikan bahwa setiap
program melibatkan masyarakat, baik fisik, ide, dan materi. Keterlibatan disini
memiliki makna keikutsertaan masyarakat secara fisikal dan mentalitas. Program
selalu berasal dan untuk pemenuhan masyarakat, sehingga yang merencanakan adalah
agen bersama masyarakat. Kemandirian artinya tujuan utama dari program untuk
mengentaskan masyarakat dengan dirinya sendiri, dan agen hanya sekedar memberi
stimulasi gagasan. Keswadayaan artinya bahwa setiap program harus dilakukan
dengan kemampuan diri sendiri, sehingga segala bentuk intervensi hanyalah sebagai
insentif saja.

Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan berdasarkan beberapa langkah


yang perlu diperhatikan, baik dalam lingkup umum maupun khusus. Pertama,
melakukan analisis kebutuhan. Seseorang agen harus dapat mengenali apa
sesungguhnya yang menjadi kebutuhan masyarakat. Ia harus melakukan need
assesment. Analisis kebutuhan dimaksudkan agar tidak terjadi kekeliruan di dalam
memetakan apa yang mestinya diperbuat untuk pemberdayaan masyarakat.
Kedua, melakukan analisis situasi sosial atau social analysis, yaitu melakukan
kajian terhadap berbagai hambatan dan potensi, baik fisik maupun non-fisik yang
mempengaruhi atas hidupnya masyarakat, dan kemudian menempatkan hasil analisis
kebutuhan tersebut di dalam peta hambatan dan potensi yang dimaksud. Ketiga,
menemukan berbagai program yang layak dijadikan sebagai basis pengembangan
masyarkat, mungkin akan ditemui sekian banyak program yang relevan dengan
analisis kebutuhan dan analisis situasi sosialnya.
Keempat, menentukan alternatif program yang diprioritaskan. Kelima, melakukan
aksi pemberdayaan masyarakat sesuai dengan program prioritaskan. Keenam,
melakukan evaluasi untuk mengetahui keberhasilan atau kegagalan program dan
faktor-faktor penyebabnya. Melalui evaluasi ini akan ditindaklanjuti program
berikutnya.
Masyarakat merupakan obyek tetapi juga sekaligus subyek pembangunan, oleh
karena itu kegiatan yang dilakukan tenaga pengembang masyarakat (pekerja sosial)
sejauh mungkin diarahkan kepada terwujudnya masyarakat yang lebih mandiri, yakni
masyarakat yang mampu merencanakan, mengambil keputusan, melaksanakan dan
menilai usaha dalam memenuhi kebutuhannya. Seseungguhnya pengembangan
swasembada masyarakat merupakan siklus kegiatan yang bertahap, untuk materi
pelatihan yang disusun mencakup:
1. Persiapan sosial identifikasi potensi, masalah dan kebutuhan (Need Assessment)
Dalam persiapan sosial diperlukan adanya komunikasi antara pekerjaan sosial dan
masyarakat. Hal ini berkaitan dengan prosedur administratif di lokasi kegiatan.
Informasi mengenai lokasi kegiatan perlu dimiliki, oleh karena itu base line survey
perlu diadakan. Setelah prosedur administrasi dan gambaran umum lokasi didapat
maka proses selanjutnya yaitu need assement itu merupakan dialog antara PSK

dan anggota masyarakat untuk memperoleh fakta (Fact Finding) antara lain
kondisi fisik lokasi, sosial ekonomi, sumber pendapatan dan lingkungan. Pada saat
itu juga diungkapkan masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat dan
lingkungannya. Selanjutnya dirumuskan alternatif pemecahan masalah secara serta
penentuan prioritas-prioritas pemecahan masalah. Explanation PRA mungkin dapat
membantu untuk memperlancar proses ini.
2. Perencanaan program
Perencanaan program merupakan bagian dari pengembangan swadaya masyarakat
yang membahas dan memutuskan tentang tujuan, target, waktu, pembagian peran
dan tanggungjawab, sumber dana, sistem monitoring dan evaluasi yang semua
dipahami oleh anggota masyarakat. Planning PRA bisa membantu analisis
3.

partisipatif terhadap penyusunan program.


Pembentukan dan dinamisasi kelompok. Kelompok sebagai sarana untuk
menangani masalah masyarakat, dapat dibentuk berdasarkan beberapa alternatif
pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan berdasarkan kesamaan masalah
Dalam hal ini masyarakat didekati menurut kesamaan masalah yang dihadapi,
misalnya masalah yang dihadapi pedagang makanan kecil, pedagang buahbuahan, pengrajin bambu. Pendekatan ini memiliki kekuatan antara lain
memudahkan pendampingan karena masalahnya sama. Kelemahan dari
pendekatan ini adalah sulit melakukan pendampingan secara berkelompok
karena mungkin tempatnya berjauhan.
b. Pendekatan berdasarkan tempat berkumpulnya
Masyarakat didekati berdasarkan tempat mereka berkumpul sehari-harinya,
misalnya para pedagang sektor informal di pasar, petani di pedesaan.
Pendekatan ini menguntungkan dari segi pengelompokan karena sudah
berkumpul disuatu tempat tertentu.
c. Pendekatan berdasarkan tempat tinggal
Pembinaan dilakukan dilokasi pemukiman, pendekatan ini mempunyai

kelebihan terutama mudah diketahuinya latar belakang keluarga.


4. Pelaksanaan program masyarakat
Koordinasi antara masyarakat dengan pihak-pihak yang terkait dalam rangka
merealisasikan program yang sudah ditentukan dengan sumber dana dan sumber
daya yang ada.
5. Monitoring dan evaluasi

Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk memantau sejauh mana program


dilaksanakan, apakah sesuai dengan perencanaan atau tidak. Dengan demikian
dapat

mengetahui

penyimpangan

dan

penyebabnya.

Monitoring

adalah

pemantauan kegiatan untuk melihat sejauh mana kemajuan pencapaian tujuan,


apakah ada penyimpangan-penyimpangan. Evaluasi adalah pemantauan untuk
melihat sejauh mana dampak yang diperoleh dalam kegiatan pengembangan
masyarakat.

6. Perencanaan tidak lanjut


Apabila dalam monitoring dan evaluasi ditemukan penyimpangan maka dilakukan
perbaikan-perbaikan yang dituangkan dalam perencanaan tidak lanjut.
Wilson (Sumaryadi, 2004) mengemukakan bahwa kegitan pemberdayaan pada
setiap individu dalam suatu organisasi merupakan suatu siklus kegiatan yang terdiri
atas:
1) Menumbuhkan keinginan pada diri seseorang untuk berubah dan memperbaiki,
yang merupakan titik awal perlunya pemberdayaan. Tanpa adanya keinginan untuk
berubah dan memperbaiki maka semua upaya pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan tidak akan memperoleh perhatian, simpati, atau patisipasi masyarakat.
2) Menumbuhkan kemauan dan keberanian untuk melepaskan diri dari kesenangan
dan atau hambatan-hambatan yang dirasakan, untuk kemudian mengambil
keputusan mengikuti pemberdayaan demi terwujudnya perubahan dan perbaikan
yang diharapkan.
3) Mengembangkan kemauan untuk mengikuti atau mengambil bagian dalam
kegiatan pemberdayaan yang memberikan manfaat atau perbaikan keadaan.
4) Peningkatan peran atau partisipasi dalam kegiatan pemberdayaan yang telah
dirasakan manfaat / perbaikannya.
5) Peningkatan peran dan kesetiaan pada kegiatan pemberdayaan, yang ditunjukkan
berkembangnya motivasi-motivasi untuk melakukan perubahan.
6) Peningkatan efektivitas dan efisiensi kegiatan pemberdayaan.
7) Peningkatan kompetensi untuk melakukan perubahan melalui kegiatan
pemberdayaan baru.

Dilain pihak, Lippit (1961) dalam tulisannya tentang perubahan yang terencana
(planned change) merinci tahapan kegiatan pemberdayaan masyarakat ke dalam 7
(tujuh) kegiatan pokok sebagaimana dikemukakan Kevin (....) yaitu:
1) Penyadaran, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk menyadarkan masyarakat
tentang keberadaannya, baik keberadaannya sebagai individu dan anggota
masyarakat, maupun kondisi lingkungannya yang menyangkut lingkungan fisik
atau teknis, sosial-budaya, ekonomi, dan politik. Proses penyadaran seperti itulah
yang dimaksudkan oleh Freire (1976) sebagai tugas utama dari setiap kegiatan
pendidikan termasuk di dalamnya penyuluhan.
2) Menunjukkan adanya masalah, yaitu kondisi yang tidak diinginkan kaitannya
dengan: keadaan sumberdaya (alam, manusia, sarana prasarana, kelembagaan,
budaya, dan aksesibilitas), lingkungan fisik/teknis, sosial budaya, dan politis.
Termasuk dalam upaya menunjukkan masalah tersebut adalah faktor-faktor
penyebab terjadinya masalah, terutama yang menyangkut kelemahan internal dan
ancaman eksternalnya.
3) Membantu pemecahan masalah, sejak analisis akar masalah, analisis alternatif
pemecahan masalah, serta pilihan alternatif pemecahan terbaik yang dapat
dilakukan sesuai dengan kondisi internal (kekuatan, kelemahan) maupun kondisi
4)

eksternal (peluang dan ancaman) yang dihadapi.


Menunjukkan pentingnya perubahan yang sedang dan akan terjadi di
lingkungannya, baik lingkungan organisasi dan masyarakat (lokal, nasional,
regional, dan global). Karena kondisi lingkungan ( internal dan eksternal) terus
mengalami perubahan yang semakin cepat, maka masyarakat juga harus disiapkan
untuk mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut melalui kegiatan perubahan

yang terencana.
5) Melakukan pengujian dan demonstrasi, sebagai bagian dan implementasi
perubahan terencana yang berhasil dirumuskan. Kegiatan uji-coba dan demonstrasi
ini sangat diperlukan, karena tidak semua inovasi selalu cocok (secara: teknis,
ekonomis,

sosial

budaya,

dan

politik

atau

kebijakan)

dengan

kondisi

masyarakatnya. Disamping itu, uji coba juga diperlukan untuk memperoleh


gambaran tentang beragam alternatif yang paling bermanfaat dengan resiko atau
korbanan yang terkecil.
6) Memproduksi dan publikasi informasi, baik yang berasal dari luar (penelitian,
kebijakan, produsen atau pelaku bisnis, dll) maupun yang berasal dari dalam
(pengalaman, indege-nous technology, maupun kearifan tradisional dan nilai-nilai

adat yang lain). Sesuai dengan perkembangan teknologi, produk dan media
publikasi yang digunakan perlu disesuaikan dengan karakteristik (calon) penerima
7)

manfaat penyuluhannya.
Melaksanakan pemberdayaan atau penguatan kapasitas, yaitu pemberian
kesempatan kepada kelompok lapisan bawah untuk bersuara dan menentukan
sendiri pilihan-pilihannya kaitannya dengan: aksesibilitas informasi, keterlibatan
dalam pemenuhan kebutuhan serta partisipasi dalam keseluruhan proses
pembangunan, bertanggung-gugat (akuntabilitas publik) dan penguatan kapasitas
lokal.
Tentang hal ini, Tim Delivery (2004) menawarkan tahapan-tahapan kegiatan

pemberdayaan masyarakat yang dimulai dari proses seleksi lokasi sampai dengan
pemandirian masyarakat. Secara rinci masing-masing tahapan tersebut adalah sebagai
berikut.
1) Tahap 1. Seleksi lokasi
2) Tahap 2. Sosialisasi pemberdayaan masyarakat
3) Tahap 3. Proses pemberdayaan masyarakat
a. Kajian keadaan pedesaan partisipatif
b. Pengembangan kelompok
c. Penyusunan rencana dan pelaksanaan kegiatan
d. Monitoring dan evaluasi partisipatif
4) Tahap 4. Pemandirian masyarakat
Adapun penjelasan tahap-tahap diatas sebagai berikut.
1. Seleksi Lokasi/ Wilayah
Seleksi wilayah dilakukan sesuai dengan kriteria yang disepakati oleh
lembaga, pihak-pihak terkait dan masyarakat. Penetapan kriteria penting agar
pemilihan lokasi dilakukan sebaik mungkin, sehingga tujuan pemberdayaan
masyarakat akan tercapai seperti yang diharapkan.
2. Sosialisasi Pemberdayaan Masyarakat
Sosialisasi merupakan upaya

mengkomunikasikan

kegiatan

untuk

menciptakan dialog dengan masyarakat. Melalui sosialisasi akan membantu untuk


meningkatkan pemahaman masyarakat dan pihak terkait tentang program dan atau
kegiatan pemberdayaan masyarakat yang telah direncanakan.
Proses sosialisasi menjadi sangat penting karena akan menentukan minat atau
ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi (berperan dan terlibat) dalam program
pemberdayaan masyarakat yang dikomunikasikan.

3. Proses Pemberdayaan Masyarakat


Hakekat pemberdayaan masyarakat adalah untuk meningkatkan kemampuan
dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya. Dalam proses
tersebut, masyarakat bersama-sama melakukan hal-hal berikut:
a. Mengidentifikasi dan mengkaji potensi wilayah, permasalahan serta peluangpeluangnya.
Kegiatan ini dimaksudkan agar masyarakat mampu dan percaya diri dalam
mengidentifikasi

serta

menganalisa

keduanya,

baik

potensi

maupun

permasalahannya. Pada tahap ini diharapkan dapat diperoleh gambaran


mengenai aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan.
Proses ini meliputi:
1)
Persiapan masyarakat dan pemerintah setempat untuk melakukan
pertemuan awal dan teknis pelaksanaannya,
2)

b.

c.

Persiapan penyelenggaraan pertemuan,

3) Pelaksanaan kajian dan penilaian keadaan, dan


4) Pembahasan hasil dan penyusunan rencana tindak lanjut.
Menyusun rencana kegiatan kelompok, berdasarkan hasil kajian meliputi:
1) Memprioritaskan dan menganalisa masalah-masalah
2) Identifikasi alternatif pemecahan masalah yang terbaik
3) Identifikasi sumberdaya yang tersedia untuk pemecahan masalah
4) Pengembangan rencana kegiatan serta pengorganisasian pelaksanaannya
Menerapkan rencana kegiatan kelompok
Rencana yang telah disusun bersama dengan dukungan fasilitasi dari
pendamping selanjutnya diimplementasikan dalam kegiatan yang konkrit
dengan tetap memperhatikan realisasi dan rencana awal.
Termasuk dalam kegiatan ini adalah pemantauan pelaksanaan dan
kemajuan kegiatan menjadi perhatian semua pihak, selain itu juga dilakukan

d.

perbaikan jika diperlukan.


Memantau proses dan hasil kegiatan secara terus-menerus secara partisipatif
(participatory monitoring and ecaluation/ PME).
PME ini dilakukan secara mendalam pada semua tahapan pemberdayaan
masyarakat agar prosesnya berjalan dengan tujuannya. PME adalah suatu
proses penilaian, pengkajian dan pemantauan kegiatan, baik prosesnya
(pelaksanaan) maupun hasil dan dampaknya agar dapat disusun proses

perbaikan kalau diperlukan.


4. Pemandirian Masyarakat
Berpegang pada prinsip pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk
memandirikan masyarakat dan meningkatkan taraf hidupnya, maka arah

pemandirian masyarakat adalah berupa pendampingan untuk menyiapkan


masyarakat agar benar-benar mampu mngelola sendiri kegiatannya.
Tahapan kegiatan pemberdayaan masyarakat dapat dibagi menjadi beberapa
tahapan, yaitu:
a. Penetapan dan pengenalan wilayah kerja
b.
Sosialisasi kegiatan, yaitu upaya mengkomunikasikan rencana kegiatan
c.

pemberdayaan masyarakat yang akan dilakukan di wilayah tersebut


Penyadaran masyarakat, yaitu kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk
menyadarkan masyarakat tentang keberadaannya, baik secara individu dan
anggota masyarakat, maupun kondisi lingkungannya yang menyangkut

d.
e.
f.
g.

lingkungan fisik/ teknis, sosial-budaya, ekonomi dan politik


Pengorganisasian masyarakat
Pelaksanaan kegiatan
Advokasi kebijakan
Politisasi, yang dalam arti terus-menerus memelihara dan meningkatkan posisi
tawar melalui kegiatan politik praktis
PENUTUP
Pengembangan masyarakat adalah pembangunan suatu sikap masyarakat

dengan tujuan meninggkatkan taraf kehidupan dengan kondisi dimana setiap


masyarakat memiliki jiwa partisipatif dan percaya terhadap pemegang inisiatif yang
dimiliki oleh sebagian masyarakat. Pengembangan masyarakat memiliki prinsipprinsip yang banyak tetapi, inti dari banyaknya prinsip pengmbangan masyarakat
yaitu partisipatif, kemandirian, dan keswadayaan dari masyarakat. Setelah mengetahui
prinsip-prinsip pengembangan masyarakat sekarang kami akan menerangangkan
kesimpulan dari makalah ini yaitu langkah-langkah pengembangan masyarakat yang
pertama melakukan analisis kebutuhan, Ia harus melakukan need assesment, kedua
melakukan analisis situasi sosial atau social analysis, ketiga menemukan berbagai
program yang layak dijadikan sebagai basis pengembangan masyarkat, keempat
menentukan alternatif program yang diprioritaskan. Kelima, melakukan aksi
pemberdayaan masyarakat sesuai dengan program prioritaskan. Keenam, melakukan
evaluasi untuk mengetahui keberhasilan atau kegagalan program dan faktor-faktor
penyebabnya. Adapun dari para pendapat berbagai sumber seperti Wilson (Sumaryadi,
2004) Menumbuhkan keinginan pada diri seseorang untuk berubah dan memperbaiki,
yang merupakan titik awal perlunya pemberdayaan ,Menumbuhkan kemauan dan
keberanian untuk melepaskan diri dari kesenangan dan atau hambatan-hambatan yang

dirasakan, Mengembangkan kemauan untuk mengikuti atau mengambil bagian dalam


kegiatan pemberdayaan, Peningkatan peran atau partisipasi dalam kegiatan
pemberdayaan yang telah dirasakan manfaat / perbaikannya. Dan memiliki tahaptahap yang disampaikan oleh Tim Delivery (2004) menawarkan tahapan-tahapan
kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dimulai dari proses seleksi lokasi sampai
dengan pemandirian masyarakat. Sedangkan dari pendapat Lippit (1961) dalam
tulisannya tentang perubahan yang terencana (planned change) merinci tahapan
kegiatan pemberdayaan masyarakat ke dalam 7 (tujuh) kegiatan pokok yaitu,
penyadaran, menunjukan adanya masalah, membantu pemecahan masalah, dsb.

DAFTAR PUSTAKA
A. Halim. 2005. Manajemen Pesantren. PT LKIS Pelangi Aksara.
Delivery.
2004.
Pemberdayaan
Masyarakat.
http://www.deliveri.org/guidelines/policy/pg_3/pg_3_sumary.htm. Dhakidae,
D. 1979. Teknologi. Prisma No.6 (Juni 1979):1
Freire, P. 1976. Extension or Communicating in Education for Critical
Consciousness. New York: Seaberg Press.
Mardikanto, T. 2010. Konsep-konsep Pemberdayaan Masyarakat. Cetakan 1. UNS
Press. Surakarta
Sri Kuntari. 2003. Metode Pengembangan Masyarakat Dua Arah. Departemen
Sosial RI Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial. Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Yogyakarta. Yogyakarta.
Sumaryadi, I, N. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom dan
Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Citra Utama

Diposkan 18th October 2011 oleh Agrittude


0

Tambahkan komentar

5.
Oct
18

Prinsip-prinsip , Metode dan Teknik


Pengembangan Masyarakat
PENDAHULUAN
Berdasarkan kajian konsep dasar pengembangan masyarakat yang dilanjutkan
dengan mengkontruksi konsep sebagai bagian dari upaya membangun paradigma baru
model maka pengembangan masyarakat harus mengikuti beberapa prinsip dasar, yaitu
pertama, orientasi pada kesejahteraan lahir dan batin masyarakat luas. Pengembangan
masyarakat tidak dilaksanakan sekedar merumuskan keinginan sebagian masyarakat
saja, tetapi direncanakan sebagai usaha membenahi kehidupan sosial bersama
masyarakat agar penindasan, ketidakadilan, dan kesewenanganwenangan tidak lagi
hidup ditengah-tengah mereka .
Skala mikro kepentingan individu anggota masyarakat. Demikian pula bisa jadi
tercapainya kesejahteraan masyarakat luas dapat dilakukan melalui sekelompok orang
yang tergolong elit dalam masyarakat. Apalagi jika elit-elit tersebut merupakan
sekelompok pembuat kebijakan yang sangat mempengaruhi terhadap tatanan sosial.
Dengan demikian mutlak sebenarnya pengembangan masyarakat yang ditujukan
kepada mereka dalam upaya menyadarkan dan mengingatkan terhadap persoalan
persoalan kehidupan sosial yang ada di masyarakat.
Kedua, pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah upaya melakukan
sosial engineering (rekaya sosial) untuk mendapatkan suatu perubahan tatanan sosial
kehidupan sosial yang lebih baik. Pengembangan masyarakat merupakan proses
perencanaan perubahan sosial yang berlandaskan pada nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat. Sasaran utama pengembangan masyarakat lebih pada setting sosial
kehidupan masyarakat daripada individu-individu. Landasan berpikir para ahli dalam

melihat problem yang dihadapi masyarakat adalah sebuah permasalahan sosial yang
oleh karena itu pemecahannya mesti dilaksanakan dalam skala kehidupan sosial.
Disamping kedua prinsip dasar tersebut ada beberapa prinsip lain yang harus
terpenuhi dalam pengembangan masyarakat antara lain prinsip kebutuhan artinya
program pengembangan masyarakat harus didasarkan atas dan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Kebutuhan disini tidak hanya dipahami sebagai kebutuhan
fisik material namun juga non material. Oleh karena itu program pengembangan
masyarakat harus disusun bersama, baru kemudian dirumuskan pula metode materi
dan medianya. Dengan demikian seseorang tidak lagi terasing dengan masyarakat
sasaran. Konsep pengembangan masyarakat yang inilah yang ditawarkan sebagai
jawaban dan tuntunan kontekstualisasi pengembangan masyarakat.
Prinsip keterpaduan mencerminkan adanya upaya untuk memadukan seluruh
potensi dan sumber daya yang dimiliki masyarakat. Dalam konteks inilah
pengembangan masyarakat itu bukan monopoli sekelompok orang yang ahli atau
organisasi melainkan lebih luas dari itu, yaitu siapapun yang mempunyai komitmen
community development yang berpijak pada universalitas nilai-nilai sosial adalah
bagian dari seorang yang terjun dalam pengembangan masyarakat. Oleh karena itu,
pengembangan masyarakat itu bersifat lintas budaya dan lintas sektoral. Untuk itulah
intergrated or holistic strategy merupakan pilihan yang tepat dalam proses
pengembangan masyarakat model ini.
Selain prinsip-prinsip yang disebutkan pada kalimat sebelumnya, masih terdapat
prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan atau proses dalam pengembangan
masyarakat. Adapun prinsip-prinsip tersebut akan dibahas dalam bab pembahasan.

PEMBAHASAN
A. Prinsip-Prinsip Pembangunan Masyarakat
Prinsip-prinsip pembangunan masyarakat akan menjadi ranah bagi
implementasi pembangunan masyarakat. Korelasi dari prinsip-prinsip tersebut
sangat diperlukan dalam upaya mewujudkan keberhasilan pembangunan

masyarakat. Jim Ife (1995:178) mengungkapkan 22 prinsip pembangunan


masyarakat, yang dapat diuraikan dibawah ini:
1.

Pembangunan terpadu dan seimbang


Pembangunan masyarakat pada dasarnya harus mencakup pembangunan di
bidang politik, ekonomi, sosial, kultural, lingkungan dan personal atau

2.

spiritual.
Konfrontasi terhadap ketimpangan struktural
Pembangunan masyarakat harus mampu merubah adanya ketimpangan kelas
maupun ketimpangan gender dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi

3.

masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan masyarakat perlu diupayakan.


Menjunjung tinggi hak asasi manusia
Dalam rangka menjamin hak asasi manusia, maka perlu adanya aturan atau
regulasi yang memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi
manusia. Hak-hak yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah
pemenuhan tiap standard kehidupan, hak mendapatkan pendidikan, hak
untuk berpartisipasi dalam kehidupan kultural komunitasnya, hak untuk
berkembang secara mandiri dan hak untuk mendapatkan perlindungan

4.

keluarga.
Keberlanjutan
Dua aspek penting dalam rangka mewujudkan keberlanjutan pembangunan
adalah

pentingnya

pembangunan

tersebut

memperhatikan

dimensi

keseimbangan ekologis dan keadilan sosial. Dalam konteks keseimbangan


ekologis, pembangunan masyarakat ditujukan pada upaya meminimalkan
ketergantungan terhadap sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui
dan menggantikannya dengan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Di
sisi lain, peminimalan terhadap polusi lingkungan dan konservasi terhadap
sumber-sumber daya alam menjadi issue utama dari pendekatan ekologis ini.
Sementara pada asas keadilan sosial, distribusi pendapatan yang proporsional
dari negara terhadap warga negaranya menjadi issue yang perlu
5.

dikedepankan.
Pemberdayaan
Konsep pemberdayaan

menjadi

basis

utama

dalam

pembangunan

masyarakat. Pemberdayaan memiliki makna membangkitkan sumber daya,


kesempatan, pengetahuan dan keterampilan mereka untuk meningkatkan
kapasitas dalam menentukan masa depan mereka. Konsep utama yang
terkandung dalam pemberdayaan adalah bagaimana memberikan kesempatan

yang luas bagi masyarakat untuk menentukan sendiri arah kehidupan dalam
6.

komunitasnya.
Pembangunan personal dan politik
Pembangunan masyarakat pada hakekatnya perlu untuk menyeimbangkan
hubungan antara personal dan politik, individu dan struktur maupun personal
privat

dan

publik.

Persoalan-persoalan

dalam

masyarakat

seperti

pengangguran, perdagangan bebas, asuransi kesehatan, pembangunan


7.

industri perlu diakomodasi sebagai obyek dari pembangunan masyarakat.


Pemilikan komunitas
Pemilikan komunitas mencakup dua level, yaitu kepemilikan pada sebuah
benda material dan kepemilikan pada struktur serta proses. Benda material
mencakup tanah, bangunan dan beberapa hal lain yang dimiliki individu.
Perluasan pemilikan komunitas menjadi aspek penting dalam membangun
komunitas, dapat mendorong tumbuhnya rasa memiliki terhadap identitas
komunitas, dapat memberi akan alasan bagi seseorang untuk menjadi aktif
terlibat dalam setiap level komunitas dan dapat mendorong penggunaan
sumber daya secara lebih efisien. Pemilikan terhadap struktur dan proses
merupakan aspek lain dari pemilikan komunitas. Hal tersebut dibutuhkan
untuk melakukan kontrol terhadap sesuatu seperti penyampaian pelayanan
kesehatan, pendidikan, pembuatan keputusan tentang aktivitas lokal,
perumahan, pembangunan lokal dan sebagainya. Dalam konteks ini,
desentralisasi menjadi hal yang essensial. Oleh karena itu, pembangunan
masyarakat haruslah difokuskan pada upaya untuk memberikan stimulasi dan
mendukung kontrol dan pemilikan komunitas melalui pengembangan sumber

8.

daya, keterampilan dan kepercayaan diri serta tanggung jawab.


Kemandirian
Kemandirian
memiliki
makna
bahwa
komunitas

seharusnya

mendayagunakan sumber-sumber daya yang ada dengan kekuatan sendiri


dan tidak bergantung pada pihak eksternal. Kemandirian komunitas akan
sangat bermanfaat dalam menghadapi ketidakpastian dan krisis. Oleh karena
itu, pembangunan masyarakat seharusnya diupayakan untuk penguatan
9.

kemandirian komunitas.
Independen dari negara
Hal ini tidak berarti bahwa dukungan pemerintah tidak perlu diterima.
Dukungan

pemerintah

sangat

diperlukan

untuk

memulai

proses

pembangunan masyarakat. Setelah tahap itu, maka inisiatif dan kreativitas


dalam melaksanakan pembangunan harus diserahkan kepada pemerintah.
10. Tujuan dekat (antara) dan visi akhir jangka panjang
Dalam pembangunan masyarakat adalah sangat penting dan essensial untuk
menjaga keseimbangan antara tujuan dekat dan tujuan akhir jangka panjang.
Hal ini selaras dengan prinsip ekologis dan prinsip keadilan sosial seperti
yang telah diuraikan di muka. Dalam konteks ini, memiliki makna bahwa
meskipun dalam jangka pendek pembangunan harus diupayakan pada
terwujudnya keadilan sosial, namun dalam jangka panjang pembangunan
mesti

memperhatikan

aspek

keseimbangan

lingkungan

agar

hasil

pembangunan dapat terus berkelanjutan


11. Pembangunan organis
Pembangunan organis pada dasarnya menjadi suatu konsep yang berlawanan
dengan

pembangunan

yang

bersifat

mekanistik.

Oleh

karena

itu,

pembangunan komunitas tidak diperintahkan dengan teknik yang sifatnya


sedehana, akan tetapi melalui proses yang kompleks dan dinamis.
Pembangunan organis memiliki arti upaya untuk membangun melalui
pemahaman hubungan yang sifatnya kompleks antara komunitas dengan
lingkungannya. Hal ini seperti pendekatan kabutuhan secara holistik daripada
perspektif linear.
12. Tahapan pembangunan
Konsekuensi logis dari konsep pembangunan organis adalah adanya suatu
keharusan bahwa suatu proses pembangunan harus melalui beberapa
tahapan. Dengan demikian, pembangunan masyarakat memerlukan proses
waktu yang lama, sebab ia lebih mengutamakan keaktifan dari partisipasi
komunitas. Hal inilah yang seringkali membuat frustasi para pelaksana/
pekerja, para birokrasi pembangunan terutama bagi mereka yang ingin segera
melihat hasilnya. Situasi demikian seringkali menjadi alasan mengapa para
birokrat untuk menentukan cara pendekatan dalam pembangunan masyarakat
harus membutuhkan waktu yang relatif lama.
13. Bebas dari tekanan luar
Pembangunan masyarakat tidak akan berjalan dengan baik, ketika ada
tekanan-tekanan dari pihak eksternal. Oleh karena itu, pembangunan
masyarakat haruslah dibangun secara murni oleh komunitas itu sendiri
dengan memperhatikan sensivitas terhadap budaya komunitas lokal, tradisi
dan lingkungan. Perspektif pembangunan masyarakat membutuhkan

komunikasi yang bersifat horizontal (belajar dari sesama komunitas, tidak


dari tekanan luar), pertanggungjawaban terhadap komunitas dan pengakuan
adanya keberagaman.
14. Pembangunan komunitas
Semua pembangunan masyarakat seharusnya bertujuan untuk membangun
komunitas. Pembangunan komunitas meliputi semua interaksi sosial dengan
komunitas dan membantu mereka untuk mengkomunikasikan apa yang
menjadi jalan untuk menuju dialog yang murni, pemahaman dan aksi sosial.
Pendek kata, pembangunan komunitas memiliki makna membangun
masyarakat secara bersama-sama. Oleh karena itu, proses berkelompok,
inklusivitas, membangun rasa saling percaya diri, dan membangun semangat
bersama untuk mencapai tujuan sangat penting dalam membangun
komunitas.
15. Proses dan hasil
Penekanan pada proses dan hasil menjadi issue utama dalam kerja
komunitas. Pendekatan pragmatis cenderung hanya akan melihat hasil,
sehingga bagaimana upaya untuk memperoleh hasil tersebut tidaklah begitu
penting. Namun demikian, pandangan ini kemudian ditentang oleh berbagai
pihak, karena proses dan hasil pada hakekatnya merupakan dua hal yang
saling berkaitan. Proses pada dasarnya harus merefleksikan hasil, demikian
juga hasil juga merupakan refleksi dari proses. Dalam konteks ini, moral dan
etika dalam memperoleh hasil akan menjadi pusat perhatian.
16. Integritas proses
Integritas dalam proses akan menjadi unsur penting dalam menentukan hasil
dan tujuan. Proses bimbingan sosial masyarakat mengandung dua unsur
pokok yaitu perencanaan dan pengintegrasian masyarakat yang dapat
memperlancar penumbuhan kesadaran akan loyalitas kepada masyarakat
dimana perorangan, peningkatan perasaan tanggungjawab terhadap kondisi
serta kedudukan masyarakat, permunculan sikap-sikap yang memungkinkan
kerja sama dengan orang-orang yang mempunyai perbedaan dalam berbagai
seginya, dan pertumbuhan nilai-nilai yang sama didalam masyarakat secara
keseluruhan (Soetarso, 1994: 39).
17. Anti kekerasan
Pada konteks ini, pembangunan masyarakat menghendaki sebuah proses
pendekatan yang anti kekerasan. Oleh karena itu, pendekatan yang bersifat

koersif ataupun pendekatan atau penekanan terhadap sesama merupakan


aspek-aspek yang mesti dihindari dalam konteks pembangunan masyarakat.
18. Inklusif
Aplikasi prinsip inklusif dalam pembangunan masyarakat membutuhkan
proses adanya keterlibatan masyarakat untuk mengambil bagian dalam
proses pelaksanaan pembangunan. Proses pembangunan haruslah bersifat
terbuka dan memanjang aspirasi dari warga masyarakat.
19. Konsesus
Prinsip anti kekerasan dan pendekatan inklusif memerlukan proses
pembangunan masyarakat yang seharusnya dibangun atas dasar konsesus dan
keputusan konsesus tersebut seharusnya dibuat untuk dapat diaplikasikan.
Pendekatan konsesus pada hakekatnya didasarkan pada persetujuan dari
masyarakat dan hal ini merupakan konsekuensi dari prinsip anti kekerasan
dan inklutif. Dengan prinsip ini, diharapkan tidak ada menganalisa dan
alienasi dalam kehidupan masyarakat.
20. Kooperasi
Perspektif ekologis dan pendekatan

anti

kekerasan

kedua-duanya

menekankan pada kebutuhan struktur yang kooperatif daripada struktur yang


kompetitif. Banyak dari struktur, proses dan institusi masyarakat modern
dibangun

atas dasar asumsi kompetisi yang baik, termasuk sistem

pendidikan, ekonomi, kesibukan, pekerjaan, seni, rekreasi dan pelayanan


kesehatan. Kooperasi mengasumsikan bahwa problem maupun masalah
sosial yang dihadapi tidak sekedar menjadi tanggungjawab dari komunitas
itu sendiri, melainkan juga harus diatasi bersama-sama dengan komunitas
lain.
21. Partisipasi
Pembangunan masyarakat harus selalu melihat partisipasi masksimal, dengan
tujuan setiap orang dalam komunitas dapat secara aktif berperan dalam
kegiatan masyarakat. Prinsip partisipasi yakni bertujuan mendorong
tumbuhnya perubahan sikap dan perilaku masyarakat yang kondusif untuk
kemajuan, meningkatkan kualitas partisipatif masyarakat dari sekedar
mendukung, menghadiri, menjadi konstributor kegiatan dakwah dan
menyegarkan dan meningkatkan efektifitas fungsi dan peran pemimpin lokal.
Dalam hubungan sosial masyarakat, faktor yang esensi dari pengembangan
masyarakat adalah penumbuhan demokrasi partisipatif dari segenap

masyarakat

padahal

mempersyaratkan

untuk

adanya

menumbuhkan

desentralisasi

dan

demokrasi
pemerataan

tersebut
kekuasaan,

persatuan yang dapat mendukung keanekaragaman intern di dalam


masyarakat, partisipasi dalam pertemuan dan diskusi untuk menghasilkan
konsesus yang sebenarnya, serta hak untuk menjadi salah satu bagian
mempengaruhi arah kehidupan sosial di dalam masyarakat.
Adapun strategi bimbingan sosial masyarakat berdasarkan atas prinsip
pemberdayaan agar proses pengembangan masyarakat lebih efektif, langkah
yang perlu dilakukan sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)

Mengindentifikasi, menamai masalah dan isu-isu.


Menganalisis masalah dan mengidentifikasi pelaku (analisis masalah)
Mengidentifikasi tujuan umum dan khusus.
Menyiapkan rencana tindakan yang secara rinci berisi taktik, program, tugas

dan proses mencapai tindakan.


5) Melaksanakan rencana tindakan.
6) Mengevaluasi seluruh proses dan rencana tindakan dalam rangka
membandingkan hasil yang ditetapkan dan hasil yang nyata.
7) Melaksanakan evaluasi dan pengendalian (Kenny, 1994 : 13-115).

B. Metode dan Teknik Pengembangan Masyarakat


1. Metodologi Pengembangan Masyarakat
Untuk menjangkau masyarakat secara luas pendekatan yang digunakan
oleh yaitu pembinaan melalui pembinaan sumberdaya manusianya seperti
pembinaan kelompok dan kader lokal.
a) Pembinaan melalui kelompok mempunyai beberapa kelebihan antara lain:
Mempermudah pengorganisasian
Memperlancar pencapaian tujuan bersama
Meningkatkan kerjasama dan gotong-royong
b) Pembinaan kader lokal diharapkan membentuk seseorang menjadi
motivator, fasilitator dan katalisator bagi masyarakat sendiri sehingga
keberlanjutan kegiatan diharapkan dapat lebih terjamin.
2. Teknik dan Metode Lapangan

Masyarakat mempunyai karakteristiknya masing-masing. Untuk itu ada


beberapa teknik dan metode pendekatan lapangan lain:
a) Participatori Rural Appraisal (PRA), teknik ini merupakan kelanjutan dari
RRA yang mengemas metode-metode pengembangan masyarakat menjadi
bagian dari metodenya.
b) Achievement Motivation Training (AMT), yaitu latihan motivasi yang
berdasarkan

pada

memperhatikan

prinsip-prinsip

3 aspek

pendidikan

domain,

yaitu

orang

dewasa

achievement,

yang

power

dan

psikomotorik.
c) Action-Research adalah sebuah metode untuk menyadarkan masyarakat
terhadap potensi dan masalah yang ada pada masyarakat.
d) Participatory Action Research adalah metode penyadaran masyarakat
terhadap potensi dan masalah yang dimiliki yang menekankan pada
keikutsertaan masyarakat pada kegiatan yang dilaksanakan.
e) Why tree dan problem tree merupakan metode perencanaan dan evaluasi
yang mempergunakan struktur analisis jaringan seperti pohon. Teknik ini
antara lain problem tree, solution tree dan sebagainya.
Terdapat beberapa metoda pemberdayaan masyarakat yang digunakan sejak
lama. Antara lain adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1. Ragam Metoda Pemberdayaan Masyarakat
No.

Kelompok

Ragam Metoda

Keterangan

1.

Metoda
Tatap-muka

Percakapan/dialog, Anjang-sana, Anjang-

Individual

karya.
Pertemuan, Ceramah, diskusi, FGD, RRA,

Kelompok

PRA, PLA, Sekolah Lapang, Pelatihan.


Pameran
2.

Percakapan tak-

3.

langsung
Demonstrasi

Telepon, TV, Radio.


Teleconference

Masal
Individual
Kelompok

Demonstrasi cara, Demonstrasi hasil,

Kelompok

4.

Barang cetakan

Demonstrasi cara dan hasil.


Foto, pamflet, leaflet, folder, brosur, poster,

5.

Media-masa

baliho, dll
Surat kabar, tabloid, majalah.

Media cetak

Radio, tape-recorder.
TV, VCD, DVD.

Media lisan
Media
terproyeksi

6.

Kampanye

Gabungan dari semua metoda di atas

Sumber: Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat (Mardikanto, 2011)


Selain metoda di atas, terdapat beberapa metoda pemberdayaan masyarakat
partisipatif. Antara lain adalah sebagai berikut.
1)

RRA (Rapid Rural Appraisal)


RRA merupakan metoda penilaian keadaan desa secara cepat, yang dalam

praktek, kegiatan RRA lebih banyak dilakukan oleh orang luar dengan tanpa
atau sedikit melibatkan masyarakat setempat. Meskipun sering dikatakan sebagai
teknik penelitian yang cepat dan kasar/kotor tetapi RRA dinilai masih lebih
baik dibanding teknik-teknik kuantitatif klasik.
Sebagai suatu teknik penilaian, RRA menggabungkan beberapa teknik yang
terdiri dari:
a) Review/telaahan data sekunder, termasuk peta wilayah dan pengamatan
lapang secara ringkas
Oservasi/pengamatan lapang secara langsung
Wawancara dengan informan kunci dan lokakarya
Pemetaan dan pembuatan diagram/grafik
Studi kasus, sejarah lokal, dan biografi
Kecenderungan-kecenderungan
Pembuatan kuesioner sederhana yang singkat
Pembuatan laporan lapang secara cepat
Untuk itu, terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yaitu:
a) Efektivitas dan efisiensi, kaitannya dengan biaya, waktu, dengan perolehan

b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)

informasi yang dapat dipercaya yang dapat digunakan dibanding sekadar


jumah dan ketepatan serta relevansi informasi yang dibutuhkan.
b) Hindari bias, melalui: introspeksi, dengarkan, tanyakan secara berulangc)

ulang, tanyakan kepada kelompok termiskin.


Triangulasi sumber informasi dan libatkan Tim Multi-disiplin untuk

bertanya dalam beragam perspektif


d) Belajar dari dan bersama masyarakat
e) Belajar cepat melalui eksplorasi, cross-check dan jangan terpaku pada
bekuan yang telah disiapkan
2) PRA (Participatory Rural Appraisal)
PRA merupakan penyempurnaan dari RRA. PRA dilakukan dengan lebih
banyak melibatkan orang dalam yang terdiri dari semua stakeholders dengan

difasilitasi oleh orang-luar yang lebih berfungsi sebagai narasumber atau


fasilitator dibanding sebagai instruktur atau guru yang menggurui.
Melalui PRA dilakukan kegiatan-kegiatan:
a) Pemetaan-wilayah dan kegiatan yang terkait dengan topik penilaian keadaan.
b) Analisis keadaan yang berupa:
i. Kedaan masa lalu, sekarang, dan kecenderungannya di masa
depan
ii.

Identifikasi tentang perubahan-perubahan yang terjadi dan

alasan-alasan atau penyebabnya


iii. Identifikasi (akar) masalah dan alternatif-alternatif pemecahan
masalah
iv.

Kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman atau analisis

strength, weakness, opportunity, and treat (SWOT) terhadap semua


alternatif pemecahan masalah.
c) Pemilihan alternatif pemecahan masalah yang paling layak atau dapat
diandalkan (dapat dilaksanakan, efisien, dan diterima oleh sistem sosialnya).
d) Rincian tentang stakeholders dan peran yang diharapkan dari para pihak, serta
jumlah dan sumber-sumber pembiayaan yang dapat diharapkan untuk
3)

melaksanakan program/kegiatan yang akan diusulkan/direkomendasikan.


FGD (Focus Group Discussion) atau Diskusi Kelompok yang Terarah
Sebagai suatu metoda pengumpulan data, FGD merupakan interaksi

individu-individu (sekitar 10-30 orang) yang tidak saling mengenal dan oleh
seorang pemandu (moderator) diarahkan untuk mendiskusikan pemahaman dan
atau pengalamannya tentang sesuatu program atau kegiatan yang diikuti dan atau
dicermatinya.
Sebagai suatu metoda pengumpulan data, FGD dirancang dalam beberapa
tahapan, yaitu:
a) Perumusan kejelasan tujuan FGD, utamanya tentang isu-isu pokok yang akan
dipercakapkan, sesuai dengan tujuan kegiatannya.
b) Persiapan pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan
c) Identifikasi dan pemilihan partisipan, yang terdiri dari para pemangku
kepentingan kegiatan terkait, dan atau narasumber yang berkompeten.
d) Persiapan ruangan diskusi, termasuk tata-suara, tata-letak, dan perlengkapan
diskusi (komputer dan LCD, papan-tulis, peta-singkap, kertas-plano, kertas
meta-plan, spidol berwarna, dll)
e) Pelaksanaan diskusi
f) Analisis data (hasil diskusi)
g) Penulisan laporan, termasuk lampiran tentang transkrip diskusi, rekaman
suara, foto, dll.

Tentang hal ini, Krueger (1994)) menyampaikan adanya beberapa jenis


pertanyaan yang harus disiapkan, yaitu:
a) Pertanyaan pembuka, yang sebenarnya hanya berfungsi sebagai penciran
suasana (ice breaking), agar proses interaksi/diskusi antar peserta dapat
berlangsung lancar
b) Pertanyaan pengantar,
c) Pertanyaan transisi, yaitu pertanyaan tentang isu pokok yang berfungsi untuk
membuka wawasan partisipan tentang topik diskusi
d) Pertanyaan kunci, yang terdiri sekitar 5 isu yang akan dikaji melalui FGD
e) Pertanyaan penutup, tentang catatan tambahan yang ingin disampaikan oleh
para peserta.
4) PLA (Participatory Learning and Action), atau proses belajar dan praktek
secara partisipatif
PLA merupakan bentuk baru dari metoda pemberdayaan masyarakat yang
dahulu dikenal sebagai learning by doing atau belajar sambil bekerja. Secara
singkat, PLA merupakan metoda pemberdayaan masyarakat yang terdiri dari
proses belajar tentang suatu topik, seperti pesemaian, pengolahan lahan,
perlindungan hama tanaman, dll. Yang segera setelah itu diikuti aksi atau kegiatan
riil yang relevan dengan materi pemberdayaan masyarakat tersebut.
Melalui kegiatan PLA, akan diperoleh beragam manfaat, berupa:
a) Segala sesuatu yang tidak mungkin dapat dijaab oleh orang luar
b) Masyarakat setempat akan memperoleh banyak pengetahuan yang berbasis
pada pengalaman yang dibentuk dari lingkungan kehidupan mereka yang
sangat kompleks
c) Masyarakat akan melihat bahwa masyarakat setempat lebih mampu untuk
mengemukakan masalah dan solusi yang tepat dibanding orang luar
d) Melalui PLA, orang luar dapat memainkan peran penghubung antara
masyarakat setempat dengan lembaga lain yang diperlukan. Disamping itu,
mereka dapat menawarkan keahlian tanpa harus memaksakan kehendaknya.
Terkait dengan hal itu, sebagai metoda belajar partisipatif, PLA memiliki
beberapa prinsip sebagai berikut:
a) PLA merupakan proses belajar secara berkelompok yang dilakukan oleh
semua stakeholders secara interaktif dalam suatu proses analisis bersama
b) Multi perspective, yang mencerminkan beragam interpretasi pemecahan
masalah yang riil yang dilakukan oleh para pihak yang beragam dan berbeda
cara pandangnya
c) Spesifik lokasi, sesuai dengan kondisi para pihak yang terlibat

d) Difasilitasi oleh ahli dan stakeholders (bukan anggota kelompok belajar) yang
bertindak sebagai katalisator dan fasilitator dalam pengambil keputusan; dan
(jika diperlukan) mereka akan meneruskannya kepada pengambil keputusan
e) Pemimpin perubahan, dalam arti bahwa keputusan yang diambil melalui PLA
akan dijadikan acuan bagi perubahan-perubahan yang akan dilaksanakan oleh
masyarakat setempat
5) SL atau Sekolah Lapang (Farmers Field School)
Sebagai metoda pemberdayaan masyarakat, SL/FFs merupakan kegiatan
pertemuan berkala yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat pada hamparan
tertentu, yang diawali dengan membahas masalah yang sedang dihadapi,
kemudian diikuti dengan curah pendapat, berbagi pengalaman (sharing), tentang
alternatif dan pemilihan cara-cara pemecahan masalah yang paling efektif dan
efisien sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki.
6) Pelatihan Partisipatif
Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat

harus

diawali

dengan

scopping atau penelusuran tentang program pendidikan yang diperlukan dan


analisis kebutuhan atau need assesment. Untuk kemudian berdasarkan analisis
kebutuhannya, disusunlah programa atau acara pemberdayaan masyarakat yang
dalam pendidikan formal (sekolah) disebut dengan silabus dan kurikulum, dan
perumusan

modul/lembar

persiapan

fasilitator

pada

setiap

pelaksanaan

pemberdayaan masyarakat.
Berbeda dengan kegiatan pelatihan konvensional, pelatihan partisipatif
dirancang sebagai implementasi metoda pendidikan orang dewasa (POD), dengan
ciri utama:
a) Hubungan instruktur/fasilitator dengan peserta didik tidak lagi bersifat
vertikal tetapi bersifat lateral/horizontal
b) Lebih mengutamakan proses daripada hasil, dalam arti, keberhasilan pelatihan
tidak diukur dari seberapa banyak terjadi alih-pengetahuan, tetapi seberapa
jauh terjadi interaksi atau diskusi dan berbagi pengalaman (sharing) antara
sesama peserta maupun antara fasilitator dan pesertanya.

KESIMPULAN
Prinsip-prinsip

pembangunan

masyarakat

akan

menjadi

ranah

bagi

implementasi pembangunan masyarakat. Korelasi dari prinsip-prinsip tersebut sangat

diperlukan dalam upaya mewujudkan keberhasilan pembangunan masyarakat.


Macam-macam prinsip pengembangan masyarakat antara lain : pembangunan terpadu
dan seimbang, konfrontasi terhadap ketimpangan struktural, menjunjung tinggi hak
asasi manusia, keberlanjutan, pemberdayaan, pembangunan personal dan politik,
pemilikan komunitas, kemandirian, independen dari negara, tujuan dekat (antara) dan
visi akhir jangka panjang, pembangunan organis, tahapan pembangunan, bebas dari
tekanan luar, pembangunan komunitas, proses dan hasil, integritas proses, anti
kekerasan, inklusif, konsesus, kooperasi, dan partisipasi.
Selain itu terdapat metode dan teknik dalam pengembangan masyarakat.
Metode dan teknik sangat erat hubungannya. Kedua hal itu tiak dapat dipisahkan
karena karakteristik masyarakat sangat beragam, metode akan menganalisis
masyarakat masuk dalam karakterristik masyarakat apa sehingga dapat diketahui
teknik apa juga yang akan digunakan agar mudah dalam proses pengembangan
masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Ife, Jim. 1996. Community Development: Creating Community Alternatives Vision.
Analisysis and Practice. Melbourne. Longman.
Kenny, S. 1994. Developing Communities For The Future Development The
Australia. Australia : Nelson Australia Prelimited, Canbera.
Mardikanto, Totok. 2011. Pemberdayaan Masyarakat. Surakarta. UNS Press
Moh. Ali Aziz. 2005. Dakwah Pengembangan Masyarakat. Gramedia. Jakarta.

Soetarso. 1994. Praktek Pekerjaan Sosial Dalam Pembangunan Masyarakat. Koperasi


Sekolah Tinggi
Kesejahteraan Sosial. Bandung

Diposkan 18th October 2011 oleh Agrittude


0

Tambahkan komentar
6.
Jul
23

Presipitasi
Presipitasi pada pembentukan hujan, salju dan hujan es (hail) yang berasal dari
kumpulan awan. Awan-awan tersebut bergerak mengelilingi dunia, yang diatur oleh
arus udara. Sebagai contoh, ketika awan-awan tersebut bergerak menuju pegunungan,
awan-awan tersebut menjadi dingin dan kemudian segera menjadi jenuh air yang
kemudian air tersebut jatuh sebagai hujan, salju dan hujan es (hail), tergantung pada
suhu udara sekitarnya.
Presipitasi merupakan peristiwa jatuhnya cairan (dapat berbentuk cair atau
beku) dari atmosfer ke permukaan bumi.
a. Presipitasi cair dapat berupa hujan dan embun
b. Presipitasi beku dapat berupa salju dan hujan es.
Semua bentuk hasil kondensasi uap air yang terkandung di atmosfer.
Kondensasi
Sifat hujan adalah perbandingan antara jumlah curah hujan yang terjadi selama
satu bulan dengan nilai rata-rata atau normal dari bulan tersebut di suatu tempat. Sifat
hujan dibagi menjadi 3 kriteria, yaitu :
1. Atas Normal (A)
Jika nilai perbandingan terhadap rata-ratanya lebih besar dari 115 %
2. Normal (N)
Jika nilai perbandingan terhadap rata-ratanya antara 85 % 115 %
3. Bawah Normal (BN)
Jika nilai perbandingan terhadap rata-ratanya kurang dari 85 %

Diposkan 23rd July 2011 oleh Agrittude


0

Tambahkan komentar

Memuat
Template Dynamic Views. Gambar template oleh chuwy. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai