Anda di halaman 1dari 40

TUGAS 1

EKONOMI DEMOGRAFI

FERTILITAS

OLEH :
Eti Rahayu Putri

10700113143

Khaeratunnisa Ambo

10700113155

Andi Evie Desiana Ishak

1070011314

ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai hasil
reproduksi yang nyata dari seseorang wanitia atau sekelompok wanitia.
Dengan kata lain fertilitas ini menyangkut banyaknya bayi yang lahir
hidup. Fekunditas, sebaliknya merupakan potensi fisik untuk
melahirkan anak. Jadi merupakan lawan arti kata sterilitas. Natalitas
mempunyai arti sama dengan fertilitas hanya berbeda ruang
lingkupnya. Fertilitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan
penduduk sedangkan natalitas mencakup peranan kelahiran pada
perubahan penduduk dan reproduksi manusia.
Istilah fertilitas sering disebut dengan kelahiran hidup (live birth),
yaitu terlepasnya bayi dari Rahim seorang wanitia dengan adanya
tanda-tanda kehidupan, seperti bernapas, berteriak, bergerak, jantung
berdenyut dan lain sebagainya. Sedangkan paritas merupakan jumlah
anak yang telah dipunyai oleh wanitia. Apabila waktu lahir tidak ada
tanda-tanda kehidupan, maka disebut dengan lahir mati (still live) yang
di dalam demografi tidak dianggap sebagai suatu peristiwa kelahiran.
Kemampuan fisiologis wanitia untuk memberikan kelahiran atau
berpartisipsi dalam reproduksi dikenal dengan istilah fekunditad. Tidak
adanya kemampuan ini disebut infekunditas, sterilitas atau infertilitas
fisiologis.
Pengetahuan yang cukup dapat dipercaya mengenai proporsi dari
wanitia yang tergolong subur dan tidak subur belum tersedia. Ada
petunjuk bahwa dibeberapa masyarakat yang dapat dikatakan semua
wanitia kawin da nada tekanan social yang kuat terhadap
wanitia/pasangan untuk mempunyai anak, hanya sekiat satu atau dua
persen saja dari mereka yang telah menjalani perkawinan beberapa

tahun tetapi tidak mempunyai anak. Seorang wanitia dikatakan subur


jika wanitia tersebut pernah melahirkan paling sedikit seorang bayi.
Pengukuran fertilitas lebih kompleks dibandingkan dengan
pengukuran mortalitas (kematian) karena seorang wanitia hanya
meninggal sekali, tetapi dapat melahirkan lebih dari seorang bayi.
Kompleksnya pengukuran fertilitas ini karena kelahiran melibatkan
dua orang (suami dan istri) sedangkan kematian hanya melibatkan satu
orang (orang yang meninggal). Seseorang yang meninggal pada hari
dan waktu tertentu, berarti mulai saat itu orang tersebut tidak
mempunyai resiko kematian lagi. Sebaliknya, seorang wanitia yang
telah melahirkan seorang anak, tidak berarti resiko melahirkan dari
wanitia tersebut menurun.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Konsep dan Analisis Fertilitas?
2. Bagaimana Ukuran-Ukuran Dasar Fertilitas?
3. Bagaimana Ukuran Reproduksi?
4.

Bagaimana

Pemikiran

Antardisiplin,

Faktor-faktor

yang

Mempengaruhi Tingkat Fertilitas (Aspek Social dan Aspek


Ekonomi)?
5. Bagaimana Studi Fertilitas di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KONSEP DALAM ANALISIS FERTILITAS
A. Konsep dan Definisi Kelahiran
Dalam analisis fertilitas dikenal beberapa konsep tentang kelahiran,
yaitu lahir hidup, lahir mati, dan abortus. Berikut ini adalah definisi
menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations dan
Organization Kesehatan Dunia (World Health Organization WHO).
1) Lahir hidup (live birth) adalah kelahiran seorang bayi tanpa
memperhitungkan lamanya didalam kandungan, dimana si bayi
menunjukkan tanda-tanda kehidupan pada saat di;ahirkan. Misalnya,
pada si bayi ada napas (bernapas), ada denyut jantung, ada denyut ta;I
pusat, atau gerakan-gerakan otot.
2) Lahir mati (still birth) adalah kelahiran seorang bayi dari kandungan
yang sudah berumur paling sedikit 28 minggu tanpa menunjukkan
tanda-tanda kehidupan pada saat kelahiran.
3) Aborsi adalah peristiwa kematian bayi dalam kandungan dengan umur
kehamilan krang dari 28 minggu. Ada dua macam aborsi, yaitu sebagai
berikut:
a) Aborsi disengaja (induced abortion) adalah peristiwa pengguguran
kandungan karena alas an kesehatan atau karena alas an non
kesehatan lainnya, seperti : malu, dan tidak menginginkan janin
anak yang dikandung
b) Aborsi tidak disengaja atau secara spontan (spontaneous abortion)
adalah peristiwa pengguguran kandungan karena janin tidak dapat
dipertahankan lagi dalam kandungannya.
B. Konsep Masa Reproduksi (Reproductive/Childbearing Age)
Masa/usia memproduksi adalah usia di amna seorang perempuan
mapu untuk melahirkan (subur), yakni kurun waktu sejak mendapat haid
pertama (menarche) dan berakhir pada saat berhenti haid (menopause).

Dalam anallisis fertilitas, pada umumnya umur 15-49 tahun dijadikan


rujukan sebagai masa subur (reproduksi) seorang wanita.

2.2 UKURAN-UKURAN DASAR FERTILITAS


Ukuran-ukuran dasar fertilitas dapat dikelompokkan mmenjadi dua
berdasarkan pendekatan. Pendekatan yang berbasis ukuran yang sifatnya
kerat llintang (cross sectional), umumnya satu atau lima tahunan, (yearly
performance), yang sering pula disebut dengan istilah current fertility.
Ukuran-ukuran ini mencerminkan tingkat fertilitas dari suatu kelompok
penduduk atau kelompok perempuan dalam suatu waktu tertentu. Pendekatan
dengan ukuran yang sifatnya mencerminkan riwayat kelahiran atau riwayat
reproduksi (productive history). Ukuran ini mencerminkan sejarah kelahiran
semasa hidup seorang perempuan dari awal sampai akhir masa reproduksi (1549 tahun) pendekatan ini sering disebut dengan pendekatan longitudinal.
Ada enam ukuran fertilitas yang bersifat kerat lintang, yaitu angka
kelahiran kasar, angka fertilitas umum, angkka kelahiran menurut umur, angka
fertilitas total, anak lahir hidup, dan rasio anak wanita.
A. Angka kelahiran kasar (Crude Birth Rate CBR)
Angka kelahiran kasar (CBR) adalah banyaknya kelahiran dalam satu
tahun tertetntu per seribu penduduk pada pertengahan tahun yang sama.
Secara matematis, rumus untuk menghitung CBR adalah sebagai berikut:

Dimana:
B: jumlah kelahiran selama 1 tahun
P: jumlah penduduk pada pertengahan tahun
k: bilangan konstan, biasanya 1000
Sebagai contoh, hasil Supas 1995 menunjukkan bahwa terdapat
187.974 kelahiran hidup di DKI Jakarta. Sementara itu, jumlah penduduk
DKI Jakarta pada pertengahan tahun 1995 adalah 9.112.652 orang.
Dengan demikian, CBR untuk DKI Jakarta adalah sebagai berikut:

CBR sebesar 20,6 berarti bahwa dari setiap 1.000 penduduk di DKI
Jakarta terdapat antara 20 sampai 21 kelahiran hidup pada tahun 1995.
CBR DKI Jakarta ini lebih rendah dari CBR Indonesia yang sebesar 23,9
pada tahun 1995.
Perhitungan CBR masih merupakan perhitungan yang sangat kasar.
Ukuran ini disebut sebagai angka kasar (crude) karena produk tetrpapar
yang digunakan sebagai penyebut adalah penduduk dari semua jenis
kelamin termasuk laki-laki, dan semua umur, termasuk anak-anak dan
orang tua, yang tidak mempunyai potensi untuk melahirkan.
B. Angka Fertilitas Umum (General Fertility Rate GFR)
Angka fertilitas umum (GFR) adalah banyaknya kelahiran pada suatu
tahun per 1.000 penduduk perempuan berumur 15-49 tahun atau 15-44
tahun pada petengahan tahun yang sama. Rumus yang digunakan untuk
menghitung GFR adalah:

Dimana:
B

: banyaknya kelahiran selama 1 tahun


: banyaknya penduduk perempuan umur 15-49 tahun pada
pertengahan tahun
: banyaknya penduduk perempuan umur 15-44 tahun pada
pertengahan tahun
: bilangan konstan, biasanya 1.000

Hasil Supas 1995 menunjukkan bahwa ada sekitar 3.127.404 wanita


berumur 15-49 tahun di DKI Jakarta. Dengan jumlah kelahiran hidup
sebesar 187.974, maka angka fefrtilitas umum dapat dihitung sebesar:

3
per

penduduk perempuan usia

tahun

Angka 60,1 ini berarti bahwa pada tahun 1995 untuk setiap seribu
penduduk perempuan usia subur di DKI Jakarta, terdapat 60 bayi yang
diahirkan. Meskipun ukuran ini masih bersifat umum (general), dalam
keadaan kelangkaan data, ukuran ini sudah dapat memberikan cerminan
tingkat kelahiran di DKI Jakarta.
Dibandingkan dengan angka kelahiran kasar (CBR), GFR lebih
cermat karena sudah memperhitungkan penduduk yang mempunyai
potensi melahirkan, yaitu perempuan usia subur (15-49 tahun). Meskipun
demikian, masih terdapat kelemahan terhadap ukuran tersebut karena
belum memperhitungkan kenyataan bahwa potensi perempuan dikaitkan
dengan tingkat kesuburan atau fekunditas untuk melahirkan, berbeda-beda
menurut umur perempuan. Sebagai contoh, perempuan usia subur muda di
bawah 17 tahun umumnya mempunyai tingkat kesuburan (fecundity) yang
masih rendah. Secara umum, tingkat kesuburan akan semakin meningkat
bersamaan dengan meningkatnya usia perempuan dan akhirnya menurun
kembali pada usia 35 tahun. Dengan kakta lain, urva kesuburan menurut
umur bentuk huruf U terbalik. Dengan demikian, untuk mendapatkan
ukuran fertilitas yang akurat perlu memperhitungkan potensi melahirkan
menurut umur.
C. Angka Kelahiran Menurut Umur (Age Specific Fertility Rate/ ASFR)
Angka kelahiran menurut kelompok umur (ASFR) menunjukkan
banyaknya kelahiran dari perempuan pada suatu kelompok umur pada
suatu tahun tertentu per 1.000 perempuan pada kelompok umur dan
pertenganhan tahun yang sama. Rumus untuk menghitung ASFR adalah:

Dimana:
: jumlah kelahiran dari perempuan pada kelompok umur i pada tahun
tertentu
: jumlah penduduk perempuan pada kelompok umur i pada tahun
yang sama
: kelompok umur (I = 1 untuk perempuan kelompok umur 15-19
tahun, i =2 untuk 20 sampai 24 tahun, . i =7 untuk 45-49 tahun)
: bilangan konstanta, biasanya 1.000
Pada tabel 2.1 disajikan perhitungan ASFR DKI Jakarta berdasarkan
hasil Supas 1995
Tabel 2.1
Perhitungan Angka Kelahiran Menurut Usia (ASFR) Provinsi DKI
Jakarta, Tahun 1995
Umur
perempuan
(1)
15-19
20-24
25-29
30-34
35-39
40-44
45-49
Jumlah

Jumlah
penduduk
perempuan
(2)
585.414
589.946
505.509
399.754
330.342
257.850
188.589
2,857,404

Jumlah
kelahiran
(3)
15221
57225
61672
33979
13544
2579
754
184,974

ASFR
(4)=[(3):(2)]
1.000
26
97
122
85
10
41
4

Sumber: Badan Pusat Statistik, 1996


Keunggulan angka kelahiran menurut kelompok umur (ASFR) adalah
sebagai berikut:

1. Ukuran ASFR lebih cermat dibandingkan ukuran GFR karena telah


memperhitungkan kemampuan perempuan untuk melahirkan (tingkat
kesuburan) sesuai dengan umurnya.
2. Dengan ASFR, memungkinkan untuk dilakukan studi fertilitas
menurut kahor (tingkat kelahiran) atau menurut kelompok umur
tertentu.
3. ASFR merupakan dasar perhitungan ukuran fertilitas yang selamanya,
yakni

ukuran

reproduksi

(Total

Fertility

Rate-TFR,

Gross

Reproduction Rate-GRR, Dan Net Reproduction Rate-NRR).


Gambar 2.1 memperlihatkan pola ASFR untuk beberapa Negara maju
dan beberapa Negara berkembang. Di Negara-negara maju seperti Kanada,
Prancis dan Jepang, ASFR untuk perempuan muda usia 15 tahun masih
sangat rendah, yakni dibawah 20 kelahiran per 1.000 perempuan usia 15
tahun. ASFR mencapai puncaknya pada usia sekitar 25 tahun kemudian
menurun pesat setelah itu. Sebaliknya, di Negara berkembanng seperti
Uganda, Nigeria atau Maladewa, ASFR usia 15-19 tahun sudah sangat
tinggi, yaitu diatas 150 kelahiran per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun.
ASFR masih sangat tinggi di usia beresiko melahirkan, yakni 35 tahun ke
atas. Perbedaan pola ASFR antara Negara maju dan berkembang
umumnya menganut pendapat bahwa perempuan sebaiknya menikah
segera setelah mendapatkan haid pertama, sehingga tingkat fertilitas sudah
tinggi pada usia 15-19 tahun. Masyarakat ini umumnya menganut paham
besar dengan banyak anak sehingga perempuan masih terus melahirkan
meskipun usianya sudah di atas 35 tahun. Di pihak lain,perempuan Negara
maju umumnya menunda usia kawin pertama karena melanjutkan sekolah
dan masuk pasar kerja. Mereka pada umumnya ingin cepat-cepat
menghabiskan masa reproduksinya dan menerima konsep keluarga kecil,
misalnya memiliki 2 atau 3 anak.

Pola ASFR beberapa Negara

Gambar 2.1 pola fertilitas menurut umur di beberapa nengara,


tahun 1989-1994
Diantara Negara berkembang dan Negara maju seperti Thailand,
Indonesia dan CIna dimana konsep keluarga kecil sudah mulai diterima,
namun pergeseran dari kawin muda dan kawin lebih tua sedang berjalan.
ASFR pada kelompok umur 15-19 berkisar antara 0 di Cina, dan 50 per
1.000 perempuan di Indonesia, mencapai puncak pada umur 20-30 tahun,
kemudian menurun dengan pesat sesudah usia tersebut.
Menurut Henry (1961), pola ASFR seperti yang ditunjukkan oleh
perempuan di Negara berkembang merupakan pola fertilitas natural
(natural fertility)dimana pemakaian alat kontrasepsi hamper tidak ada atau
masih mini sekali. Sedangkan di Negara maju, pola ASFR dapat dikatakan
sebagai pola fertilitas modern (modern fertility) Ryder (1967)atau fertilitas
yang tidak diintervensi dengan pemakaian alat kontrasepsi.

Gambar 2.2
ASFR Indonesia Th. 1971 dan 2005

Sumber: Data SP 1971 dan Supas 2005

D. Angka Fertilitas Total (Total Fertility Rate-TFR)


TRF adalah jumlah anak rata-rata yang akan dilahirkan oleh seorang
perempuan pada akhir masa reproduksinya apabila perempuan tersebut
mengikuti pola fertilitas pada saat TFR dihitung. TFR merupakan
pengukuran sintetisyang menyatakan fertilitas pada akhir masa reproduksi
(completed fertility)dari satu kohor hipotesis perempuan. TFR dihitung
dengan cara menjumlahkan angka kelahiran menurut umur (biasanya lima
tahun). Secara matematis rumus TFR dapat dituliskan sebagai berikut:

Dimana:
: angka kelahiran untuk perempuan pada kelompok umur i
: kelompok umur 20-24 tahun, , dan
45-49 tahun..

untuk kelompok umur

Dengan menggunakan data ASFR pada tabel 2.1, TFR untuk DKI
Jakarta tahun 1995 dapat diperoleh dengan cara berikut ini.
TFR = 5 (26 + 97 + 122 + 85 + 41 + 10 + 4)
=5

385

= 1.925 per 1.000 perempuan usia 15-49 tahun, atau


= 1,9 anak untuk setiap perempuan usia 15-49 tahun.
Nilai TFR = 1,9 dapat diartikan bahwa rata-rata setiap perempuan DKI
Jakarta yang mampu menyelesaikan masa reproduksinya (15-49 tahun)
akan mempunyai anak antara 1 dan 2 orang. Angka ini cukup rendah
dibandingkan dengan angka fertilitas total nasional, yakni sebesar 2,8 anak
per perempuan pada tahun 1995.
Keunggulan angka fertilitas total (TFR) ini dapat dijadikan ukuran
kelahiran untuk seorang perempuan selama usia reproduksinya (15-49
tahun) dan telah memperhitungkan tingkat kesuburan perempuan pada
masing-masing kelompok umur.
E. Anak Lahir Hidup atau ALH (Children Ever Born-CEB)
Anak lahir hidup (ALH) mencerminkan banyaknya kelahiran hidup
sekelompok atau beberapa kelompok perempuan pada saat mulai
memasuki reproduksi hingga pada saat pengumpulan data dilakukan. ALH
disebut juga ukuran paritas. Perhitungan jumlah anak yang dilahirkan
hidup rata-rata dapat dituliskan sebagai berikut.

Dimana:
: Paritas atau jumlah ALH rata-rata untuk perempuan pada
kelompok umur i

: Banyaknya anak yang diahirkan hidup oleh perempuan pada


kelompok umur i
: Banyaknya wanita pada kelompok umur i
Pada tabel 2.2 disajikan perhitungan jumlah ALH rata-rata
perempuan di DKI Jakarta berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar
Sensus (Supas) 1995.
Tabel 2.2
Anak lahir hidup (ALH) Rata-rata per Perempuan Pernah Kawin
Provinsi DKI Jakarta, Tahun 1995
Umur

Jumlah
perempuan
pernah kawin

ALH

ALH rata-rata per


perempuan (Pi)

15-19
20-24
25-29
30-34
35-39
40-44
45-49
Jumlah

29.472
199.819
344.669
344.573
311.912
247.678
182.799
1.660.922

15.817
193.928
519.533
839.536
972.647
866.289
671.519
4.079.269

0,54
0,97
1,51
2,44
3,12
3,50
3,67
2,46

Catatan : jumlah ALH rata-rata perempuan pada akhir masa reproduksi


umur 45-49 tahun) disebut juga ukuran keluarga yang lengkap
(completed family size)
Sumber: Biro pusat statistic 1996
Terlihat bahwa semakin tua umur perempuan maka semakin besar
jumllah ALH rata-rata bervariasi dari 0,54 anak per ibu pada kelompok
15-19 tahun, 3,67 anak per ibu pada kelompok umur 45-49 tahun. Oleh
karena itu, jumlah ALH rata-rata adalah ukuran yang bersifat kumulatif,
yakni banyaknya kelahiran sejak perempuan menikah pertama kali
sampai usia pada saat pencacahan.
Kelebihan utama dari ukuran jumlah anak yang pernah dilahirkan
hidup (ALH) adalah sebagai berikut.

1. Kemudahan dalam memperoleh data, terutama dari sensus dan survei.


2. Tidak ada referensi waktu, karena menyatakan jumlah anak yang lahir
hidup dari semenjak seorang perempuan menikah pertama kali.
Namun demikian, ukuran jumlah anak yang pernah dilahirkan
hidup (ALH) juga memiliki kelemahan.
1. Jumlah ALH menurut kelompok umur sering tidak akurat apabila
terdapat kesalahan dalam pelaporan umur ibu, terutama di Negara
yang sedang berkembang.
2. Oleh karena sifat datanya yang retrospektif, maka ada kecenderungan
factor kelupaan (memory lapse) dalam melaporkan banyaknya
kelahiran, terutama dari perempuan kelompok umur yang lebih tua.
Hal ini terjadi kalau banyak di antara anak mereka yang lahir hidup,
tetapi sudah meninggal pada saat pencacahan atau tinggal diluar
rumah tangga pencacahan.
F. Rasio Anak Wanita (Child Woman Ratio-CWR)
Rasio anak waniita (CWR) antara perbandingan antara jumlah anak
dibawah lima tahun (0-4 tahun) dengan jumlah penduduk perempuan usia
reproduksi. Jumlah anak di bawah usia lima tahun sebagai pembilang
merupakan jumlah kelahiran selama lima tahun sebelum pencacahan.
Jumlah perempuan usia reproduksi sebagai penyebut dapat berasal dari
kelompok umur 15-44 tahun atau 15-49 tahun. Demikian juga usia anak
dapat di ukur dari 0-9 tahun atau 0-14 tahun. Persamaan ukuran CWR
adalah
atau
Dimana:
: banyaknya penduduk perempuan umur 0-4 tahun
: banyaknya perempuan umur 15-44 tahun
: banyaknya perempuan umur 15-49 tahun
: bagian konstan, biasanya 1.000

Sebagai contoh, dilaporkan ada sekitar 787.997 anak kelompok


umur 0-4 tahun di DKI Jakarta pada tahun 1995. Pada saat yang sama,
banyaknya perempuan pada kelompok umur 15-49 tahun adalah 2.857.404
orang. Dengan demikian, ukuran CWR dapat diketahui sebesar 276 anak
per 1.000 perempuan usia 15-49 tahun dengan perhitungan sebagai
berikut.

Perlu dicatat bahwa perhitungan rasio anak wanita (CWR) cenderung


memakai jumlah anak usia 0-4 tahun, atau dapat juga dipakai 0-9 tahun
dan bukan 0-1 tahun. Hal ini dikarenakan beberapa hal, antara lain sebagai
berikut.
1. Data dari hasil sensus penduduk dan survey pada umumnya
dipublikasikan dalam bentuk kelompok umur 5 tahunan.
2. Masalah kesalahan dalam pelaporan jumlah kelahiran dan pelaporan
umur (under enumeration) lebih banyak terjadi pada usia 0-1 tahun
dibandingkan umur anak yang lebih tua
Berikut ini adalah beberapa kelebihan dari ukuran rasio anak wanita
(CWR).
1. Rasio anak wanita merupakan ukuran yang sederhana dan datana
mudah diperoleh dari sensus atau survey, yakni dengan pertanyaan:
Berapa jumlah anak ibu yang dilahirkan hidup, termasuk yang sudah
meninggaal?
2. Rasio ini berguna untuk indikasi fertilitas di daerah dengan luas
wilayah yang kecil dan tidak memungkinkan untuk dibuat angka
fertilitas menurut umur dan angka fertilitas total yang memerlukan
sampel yang cukup besar untuk perhitungannya.

Berikut adalah kelemahan dari ukuran rasio anak wanita.


1. Kualitasnya sangat dipengaruhi secara langsung oleh kualitas pelaporan
jumlah anak dan pelaporan umur anak maupun umur ibu. Di banyak
Negara berkembang, di mana penduduk umumnya tidak mempunyai
catatan tentang kelahiran anak dan umur ibu, kualitas pelaporan akan
semakin rendah.
2. Ukuran ini tidak dapat menangkap kasus kematian anak maupun
kematian ibu, khususnya anak berusia di bawah satu tahun, sehingga
ada kemungkinan CWR diperkirakan terlalu rendah dibandingkan
dengan kenyataan yang sebenarnya.
3. Tidak memperhitungkan tingkat kesuburan perempuan menurut umur,
seperti halnya ASFR.

2.3 UKURAN REPRODUKSI


Dalam analisis fertilitas dikenal pula ukuran reproduksi. Angka
reproduksi, yaitu ukuran yang berkenaan dengan kemampuan seseorang
perempuan untuk menggantikan dirinya. Oleh karena itu, hanya bayi
perempuan yang disertakan dalam perhitungan ukuran reproduksi. Berikut
adalah beberapa ukuran reproduksi yang dimaksud.
A. Ukuran Reproduksi Bruto (Gross Reproduction Rate-GRR)
Angka Reproduksi Bruto (GRR) adalah banyaknya bayi perempuan
yang dilahirkan dari suatu kohor perempuan selama usia reproduksi
mereka. Kohor kelahiran adalah kalompok perempuan yang mulai
melahirkan pada usia yang sama dan sama-sama mengikuti perjalanan
reproduksi sampai usia subur selesai. Ukuran GRR dapat diperoleh dengan
du cara, yaitu dengan menggunakan angka fertilitas total (TFR) atau
menggunakan angka fertilitas menurut umur (ASFR)
1. Perhitungan langsung dari TFR dengan menggunakan rasio jenis
kelamin pada saat lahir.

Jika diketahui TFR dan rasio jenis kelamin pada saat lahir adalah 105
(terdapat 105 bayi laki-laki disbanding 100 bayi perempuan), maka
rumus GRR adalah sebagai berikut.

Contoh :
Pada bagian sebelumnya telah dihitung bahwa TFR per 1.000
perempuan usia 15-49 tahun, DKI Jakarta menurut Supas 1995 adalah
1.925, maka GRR DKI Jakarta menurut Supas 1995 adalah:

33

Dari perhitungan tersebut, diperoleh angka reproduksi bruto (GRR)


sebesar

0,939

anak

perempuan

per

perempuan

artinya

tanpa

memperhatikan kematian yang mungkin dialami anak perempuan sesudah


kelahiran, aka nada sekitar 939 anak perempuan yang menggantikan 1.000
orang ibu untuk melahirkan. Dengan demikian, jika 1.000 ibu digantikan
oleh 939 anak maka dapat di pastikan bahwa jumlah penduduk Jakarta
suatu saat akan berkurang, seperti yang terjadi di Negara maju, seperti
Jepang dan Jerman.
2. Perhitungan menggunakan ASFR bagi perempuan
Jika diketahui ASFR dan rasio jenis kelamin pada saat lahir adalah 105
(terdapat 105 bayi laki-laki dan 100 bayi perempuan) maka rumus
GRR adalah:

Dimana:
: angka kelahiran menurut umur untuk bayi perempuan
unuk perempuan pada kelompok umur i.
Tabel 2.3 menyajikan angka fertilitas bayi perempuan menurut kelompok
umur perempuan (ASFR) untuk DKI Jakarta berdasarkan Supas 1995.
Dengan menggunakan data tersebut, dapat diketahui bahwa GRR adalah
1,88 per perempuan. Artinya setiap perempuan akan digantikan hamper 2
oorang anak perempuan yang akan menggantikan ibunya melahirkan,
tanpa memperhitungkan kenyataan bahwa banyak bayi perempuan yang
lahir yang meninggal dan tidak sempat mengalami usia reproduksi.
Tabel 2.3
perhitungan Angka Reproduksi Bruto (GRR)
Provinsi DKI Jakarta
Umur
Perempuan
(1)
15-19
20-24
25-29
30-34
35-39
40-44
45-49
Jumlah

Penduduk
perempuan
(2)

Jumlah
kelahiran
bayi (L+P)
(3)

585.414
589.946
505.509
399.754
330.342
257.850
188.589

Berdasarkan

15.221
57.225
61.672
33.979
13.544
2.579
754

Jumlah kelahiran
bayi perempuan
saja
(4) =
(3)*(100/205)
7.425
27.915
30.084
16.575
6.607
1.258
368

perhitungan

pada

tabel

dari

reproduksi

2.3

ASFR Bayi
perempuan per
1.000 Perempuan
(5) = [(4) : (2)] x
1.000
13
47
60
42
20
4
2
188

maka

Kelemahan

utama

angka

bruto

(GRR)

adalah

perhitungannya yang belum melihat kemungkinan adanya kematian bayi


perempuan sejak lahir sampai selesai masa reproduksinya.

B. Angka Reproduksi Neto (Net Reproduction Rate-NRR)


Angka reproduksi neto (NRR) adalah angka fertilitas yang telah
memperhitungkan factor mortalitas, yaitu kemungkinan bayi perempuan
meninggal sebelum mencapai akhir masa reproduksinya. Asumsi yang
dipakai adalah bayi perempuan tersebut mengikuti pola fertilitas dan pola
mortalitas ibunya. Tabel 2.4 menyajikan perhitungan ukuran NRR untuk
DKI Jakarta berdasarkan Supas 1995.
Tabel 2.4
Perhitungan Angka Reproduksi Bersih (NRR) Provinsi DKI Jakarta,
Tahun 1995

Umur

Penduduk
peremppuan

Kelahiran
bayi
perempuan

ASFR per
1.000
perempuan
untuk bayi
perempuan

Bayi yang
diharapkan
tetap hidup
per 1.000
perempuan

(5) = (4) x
(5)
15-19
585.414
7.425
0,8849
11,5
20-24
589.946
27.915
0,8766
41,2
25-29
505.509
30.084
0,8662
51,9
30-34
399.754
16.575
0,8543
35,9
35-39
330.342
6.607
0,8404
16,5
40-44
257.850
1.258
0,8238
3,3
45-49
188.589
368
0,8030
1,6
Total
161,9
Catatan: *) diperoleh dari tabel kematian Model East Level 18 (untuk provinsi
(1)

(2)

(3)

(4) = (3) :
(2)
13
47
60
42
20
4
2

Rasio
bayi
masih
hidup
hingga
usia
ibu*)
(5)

yang tingkat kematiannya telah rendah digunakan model east,


sedangkan perhitungan NRR nasional umumnya menggunakan
model west.

NRR = 5 x 161,9 = 809,5 per 1.000 perempuan atau


NRR = 0,81 per perempuan

Angka 0,81 tersebut berarti bahwa 100 orang perempuan di DKI


Jakarta pada tahun 1995 akan digantikan oleh 81 orang anak perempuan
yang
akan tetap hidup sampai seumur ibunya waktu melahirkan mereka.
Apabila keadaan ini terus berlangsung dalam waktu yang lama, maka
penduduk DKI Jakarta akan mencapai tingkat penduduk tumbuh seimbang
(PTS), dimana seorang ibu akan digantikan oleh seorang anak perempuan
yang akan melahirkan seorang anak perempuan. Kemudian, anak
perempuan ini akan melahirkan seorang anak perempuan pula. Demikian
seterusnya dengan catatan, migrasi dianggap bernilai nol.
NRR merupakan ukuran kemampuan suatu populasi untuk
menggantikan dirinya (replacement level). NRR bernilai satu berarti suatu
populasi dapat menggantikan dirinya dengan jumlah yang sama (exact
replacement). NRR bernilai lebih dari satu berarti bahwa suatu populasi
dapat menggantikan dirinya dengan jumlah yang lebih besar. Sementara
itu, NRR bernilai kurang dari satu satu populasi tidak mampu
menggantikan dirinya dengan jumllah yang sama.
C. Perhitungan TFR dengan Pendekatan Kerat Lintang Longitudinal
Tabel 2.5 menggambarkan perbedaan perhitungan TFR menurut
analisis kerat lintang berdasarkan riwayat kelahiran (reproductive history)
dan menurut analisis longitudinal berdasarkan current fertility (yearly
performance). Tabel tersebut diambil dari hasil registrasi Prancis dalam
kurun waktu 1901-1905 sampai dengan 1966-1970.

Tabel 2.5
TFR Periode dan TFR Kohor
Prancis, Tahun 1901-1970*
Periode
Observasi
1901-1905
1906-1910
1911-1915
1916-1920
1921-1925
1926-1930
1931-1935
1936-1940
1941-1945
1946-1950
1951-1955
1956-1960
1961-1965
1966-1970

ASFR per 1.000 Perempuan


15-19
27
27
24
14
26
28
30
25
18
24
22
22
25
27

20-24
135
135
119
72
131
130
126
126
108
158
156
159
174
162

25-29
161
147
129
93
142
132
123
123
126
184
168
174
182
162

30-34
119
111
92
75
102
93
85
81
92
130
113
107
110
100

35-39
78
69
81
52
59
54
48
45
56
75
63
58
55
48

40-44
33
27
23
22
22
20
17
15
20
26
21
19
18
15

45-49
5
3
2
2
2
2
2
1
2
2
2
2
1
1

Sumber: Dasar-dasar demografi, cetakan 1, tahun 1981, dihitung oleh Dr.


S. Tipar
1. Ukuran berdasarkan riwayat kelahiran atau menurut kohor TFR (juga
sering disebut pendekatan longitudinal).
TFR untuk kohor (generasi) kelahiran tahun 1886-1890 (pepriode
observasi

1901-1935)

dihitung

dengan

menjumlahkan

ASFR

kelompok umur 15-19 tahun untuk periode 1901-1905, ASFR


kelompok umur 20-24 tahun untuk periode 1906-1910, ASFR
kelompok umur 25-29 tahun untuk periode 1911-1915, ASFR
kelompok 30-34 tahun untuk periode 1916-1920, ASFR kelompok
umur 35-39 tahun untuk periode 1921-1925, ASFR keompok 40-44
tahun untuk periode 1926-1930, dan ASFR kelompok umur 45-49
tahun untuk periode 1931-1935, kemudian dikalikan dengan lima. Jadi,

TFR Kohor 1886-1990 = 5 (27 + 135 + 129 + 75 + 59 + 20 +2)


= 5 x 447
= 2.235 per 1.000 wanita
Cara membaca, perempuan yang ada pada tahun 1901-1905 berusia
15-19 tahun akan berusia 20-24 tahun pada tahun 1906-1910. Jadi,
kalau mengikuti ASFR perempuan usia 15-19 tahun pada tahun 19011905, kemudian ASFR 20-24 tahun 190-1910 lalu meningkat lagi pada
ASFR usia 25-29 pada 1911-1915 dan seterusnya sampai selesai masa
usia subur, yakni usia 45-49, maka akan diperoleh gambaran tentang
perjalanan fertilitas mulai dari saat melahirkan sampai saat menopause
(usia 45-49 tahun). Perllu diketahui bahwa kohor kelahiran ini hanya
merupakan kod]hor hipotesis. Artinya, perhitungan tidak benar-benar
mengikuti perjalanan kelahiran para perempuan yang sama dari usia
15-19 tahun sampai usia 45-49 tahun. Dalam hal ini, perempuan usia
15-19 tahun berbeda dengan perempuan usia 20-24 tahun, dan
seterusnya. Jadi TFR dengan pendekatan menuruut kohor ini
merupakan gambaran kohor hipotesis. Namun demikian, analisis
dengan pendekatan seperti ini sangat berguna untuk menggambarkan
bagaimana pembentukan keluarga terjadi. Di Indonesia, dapat dibuat
perhitungan TFR kohor seperti ini dengan menggunakan data hasil
sensus penduduk dan Supas.
2. Ukuran kerat lintang TFR (current fertility)
TFR current pada periode observasi 1931-1935 dihitung engan
menjumlahkan ASFR semua kelompok umur pada periode 1931-1935
kemudian dikalikan dengan lima. Jadi,
TFR current 1931-1935 = 5 (30 + 126 + 123 + 85 + 48 + 17 + 2)
= 5 x 431
= 2.155 per 1.000 perempuan

Dari dua pendekatan ini dapat diketahui bahwa TFR yang


diperoleh tidak jauh berbeda, yakni 2,23 anak per perempuan melalui
pendekatan kohor kelahiran dan 2,16 anak per permpuan melalui
pendekatan kerat lintang.
2.4 PEMIKIRAN ANTAR DISIPLIN TENTANG FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI TINGKAT FERTILITAS
Fertilitas merupakan hasil dari suatu proses perilaku yang dipengaruhi
oleh anggapan atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat dimana
perempuan tinggal. Misalnya, di masyarakat yang menganut paham keluarga
besar dan perempuan harus kawin muda, tingkat fertilitas umumnya tinggi.
Factor-faktor gender juga juga berpengaru dimana ketika status perempuan
rendah, maka tingkat fertilitas akan tinggi.
A. Pendekatan Sosial
1) Pemikiran

Davis

dan

Blake

tentang

Variabel

Antara

(Intermediate Variable)
Salah satu pendekatan ilmu social tentang factor-faktor yang
mempengaruhi fertilitas adalah pendekatan yang dikembangkan oleh
pemikiran Davis dan Blake (1956), yang terkenal dengan istilah
variabel antara (intermediate variables). Variable antara adalah
variable yang secara langsung mempengaruhi fertilitas dan dipengaruhi
oleh variable-variabel tidak langsung, seperti factor-faktor social,
ekonomi, dan budaya. Pada tahun 1956 Kingsley Davis dan Judith
Blake dalam papernya berjudul social structure and fertility. An
analytic framework mengajukan bahwa terdapat tiga tahap penting
dalam proses kelahiran, yaitu tahap hubungan kehamilan (intercourse),
tahap konsepsi (conception), dan tahap kehamilan (gestation.
ketiga tahapan tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi social,
ekonomi, dan budaya dimana perempuan dan masyarakat tinggal.
Factor-faktor tersebut hanya dapat mempengaruhi tinggi rendahnya
fertilitas melalui ketiga tahapan tersebut. Ketiga factor ini disebut

sebagai variabel antara yang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu


sebagai berikut.
a) Enam variable yang berkaitan dengan tahap hubungan kelamin,
yaitu semua factor yang mempengaruhi hungan seks.
Umur saat memulai hubungan seks.
Selibat permanen: proporsi perempuan yang tidak pernah
melakukan hubungan seks seumur hidupnya.
Lamanya perempuan berstatus kawin.
Abstinensi sukarela.
Abstinensi terpaksa, seperti sakit atau berpisah sementara
karena tugas atau belajar.
Frekuensi hubungan seks
b) Tiga variable konsepsi, yaitu factor-faktor yang mempengaruhi
kemungkinan terjadinya konsepsi atau pembuahan.
Fekunditas atau infekunditas yang disebabkan hal-hal yang
tidak disengaja (kemandulan sejak lahir atau karena infeksi
kandungan).
Fekunditas atau infekunditas yang disebabkan hal-hal yang
disengaja, seperti minum obat penyubur atau sterilisasi
Pemakaian alat kontrasepsi
c) Dua variable kehamilan, yaitu factor-faktor yang mempengaruhi
kehamilah.
Aborsi atau mortalitas janin karena sebab-sebab yang tidak
disengaja (keguguran atau spontaneous abortion).
Aborsi atau mortalitas janin karena sebab-sebab yang
disengaja

(menggugurkan

kakndungan

atau

induced

abortion).
Konsep variable antara dipakai sebagai alat kerangka pikir untuk
menganalisis tinggi rendahnya fertilitas antara suatu kelompok
perempuan lain. Misalnya, membandingkan tingkat fertilitas antara

Negara maju dengan Negara berkembang atau antara kelompok dengan


tingkat social dan ekonomi tinggi dengan tingkkat social ekonomi
rendah dalam suatu Negara. Semua factor, apakah itu social seperti
pendidikan,

atau

ekonomi

seperti

penghasilan,

hanya

dapat

mempengaruhi fertilitas melalui salah satu atau bebrapa variable di


antara sebelas variable tersebut.
Sebagai contoh, dari sekelompok perempuan dengan tingkat
pendidikan yang tinggi akan kawin pada umur yang lebih tua dan
umumnya ingin mempunyai jumlah anak yang lebih sedikit dengan
memakai alat/metode kontrasepsi (KB). Dalam hal ini, penjelasan
mengenai mengapa tingkat fertilitas perempuan yang pendidikannya
lebih tinggi mempunyai anak lebih sedikit dapat diterangkan melalui
variable antara usia kawin pertama (umur saat memulai hubungan
seks) dan variabel konsepsi, yakni pemakaian alat/cara KB. Tinggi
rendahnya usia kawin dipengaruhi juga oleh factor budaya, bias,
gender, dan lain-lain.
2) Pemikiran Freedman
Pakar sosiologi lain, Freedman (1973) mengembangkan konsep
variable antara Davis dan Blake menjadi suatu kerangka piker yang
lebih lengkap, tetapi tetap memakai jalan pikiran bahwa variable antara
yang dikembangkan oleh Davis dan Blake adalah satu-satunya
perantara yang dapat dengan jelas menerangkan perbedaan fertilitas.
Menurut Ronald Freedman, variable antara (intermediate variable)
sangat erat hubungannya dengan norma social yang berkembanng
dalam masyarakat. Semua perilaku perempuan yang berkaitan dengan
variable antara sangat dipengaruhi adat istiadat serta anggapan
masyarakat sekelilingnya tentangg proses kelahiran mulai saat
menikan, hamil, dan melahirkan. Norma social tersebut sangat
berhubungan dengan tingkat kemajuan perempuan atau pasangan

tersebut, ataupun masyarakat sekelilingnya. Pada akhirnya, perilaku


seseorang akan dipengaruhi oleh norma yang ada. (Gambar 2.3)

Gambar 2.3 Diagram Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas


pemikiran Ronald Freedman
B. Pendekatan Ekonomi
Para ekonom juga melihat kemungkinan untuk menerangkan tinggi
rendahnya tingkat fertilitas melalui displin ilmu ekonomi, yakni dengan
pendekatan The New Home Economic. Teori ini meninggalkan
pemikiran makro yang beranggapan bahwa tinggi rendahnya tingkat
fertilitas suatu kelompok masyarakat ditentukan oleh tingkat pertumbuhan
ekonomi, urbanisasi, dan modernisasi. Para ekonom demographer
mengetengahkan pemikiran bahwa tingkat fertilitas ditentukan pada
tingkat yang paling dasar, yakni keputusan pasangan suami istri dalam hal
jumlah anak. Para penganut ilmu baru ini percaya bahwa teori ekonomi
mikro dapat menerangkan keputusan suami istri untuk mempunyai anak
atau menambah jumlah anak dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi
pasangan tersebut, seperti layaknya pasangan suami istri memikirkan
apakah setelah menikah, mereka akan mencicil ruumah atau mobil dulu
atau apakah akan mempunyai anak segera.

Berikut dijelaskan secara singkat pendapat para ahli New Home


Economics tersebut.
1) Pemikiran Leibenstein
Menurut Leibenstein (1957), mempunyai anak dapat dilihat dari dua
segi ekonomi, yaitu segi kegunaannya (utility) dan biaya (cost) yang
harus dikeluarkan untuk membesarkan dan merawat anak. Kegunaan
(utility) anak adalah dalam memberikan keputusan kepada orang tua,
dapat memberi transfer ekonomi, misalnya (memberikan kiriman uang
kepada orang tua pada saat dibutuhkan), atau dapat membantu dalam
kegiatan produksi misalnya membantu mengolah tanah pertanian.
Anak juga dapat menjadi sumber yang dapat membantu kehidupan
orang tua di masa depan (investasi). Sementara itu, pengeluaran untuk
membesarkan anak merupakan biaya (cost) dari kepemilikan anak
tersebut.
Apabila ada keenaikan pendapatan orang tua, maka aspirasi orang
tua untuk mempunyai anak akan berubah. Orang tua menginginkan
anak

dengan

kualitas

yang

lebih

baik.

Misalnya,

dengan

menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, memberi makanan bergizi


dengan jumlah yang cukup, memberikan kursus-kursus diluar jam
sekolah, membawa ke tempat perawatan yang lebih berkualitas, dan
lain-lain. Hal ini berarti biaya untuk membesarkan dan merawat anak
menjadi besar. Di pihak lain kegunaan anak akan turun, sebab
walaupun annak masih memberikan kepuasan psikologis, akan tetapi
balas jasa ekonominya menurun. Waktu yang diberikan oleh anak
untuk membantu orang tua akan menurun karena anak-anak lebih lama
di sekolah atau di kegiatan lain untuk kepentingan anak sendiri.
Disamping itu, orang tua modern dengan penghasilan cukup juga
tidak lagi tergantung dari sumbangan anak. Singkatnya, biaya
membesarkan anak menjadi lebih besar daripada kegunaannya. Secara
ekonomi, hal ini mengakibatkan permintaan terhadap anak menurun
dan pada gilirannya akan menurunkan tingkat fertilitas.

2) Pemikir Becker
Gary Becker memperkenalkan analisis fertilitas dengan menggunakan
pendekatan ekonomi yang menekankan analisisnya pada pengaruh
tingkat pendapatan orangtua dan biaya merawatserta membesarkan
anak terhadap tingkat kelahiran. Menurut Becker (1976;1981), anak
dapat dianggap sebagai barang konsumsi tahan lama (durable
goods).sebagai barang konsumsi anak diasumsikan akan memberikan
kepuasan (utility). Orang tua mempunyai pilihan antara kuantitas dan
kualitas anak. Kualitas anak diartikan sebagai pengeluaran rata-rata
(biaya attau cost) untuk anak oleh satu keluarga yang didasarkan atas
dua asumsi.
a) Selera orang tua tidak berubah
b) harga anak dan harga barang konsumsi lainnya tidak dipengaruhi
keputusan rumah tangga untuk berkonsumsi.
Analisis

fertilitas

Becker

diawali

upaya

keluarga

untuk

memaksimalisasi utility atas jumlah anak, n; pengeluaran untuk setiap


anak (cost of children,) q; dan jumlah barang-barang lainnya, Z;
sehingga fungsi utility

keluarga tersebut dapat diuraikan dalam

persamaan:

Anak tidak dapat dibeli seperti halnya komoditas, melainkan harus


dihasilkan sendiri oleh keluarga. Oleh karena itu biaya total merawat
dan membesarkan seorang anak akan berbeda untuk setiap keluarga
sehingga fungsi kendala anggaran (budger constrain) satu keluarga
dapat diuraikan dalam persamaan berikut ini.

Dimana I adalah ppendapatan total rumah tangga yang dialokasikan


bagi pengeluaran untuk anak dan konsumsi barang, Z;

adalah biaya

yang harus dikeluarkan untuk anak dan

adalah biaya atas konsumsi

barang Z atau harga barang Z yang harus di bayar oleh rumah tangga.
Hubungan ntara fungsi utility dan kendala anggaran dapat di
gambarkan oleh kurva pada gambar 2.3.
Dengan menggunakan kerangka analisis teori ekonomi mikro,
kurva di atas dapat menggambarkan kondisi alokasi pilihan jumlah
konsumsi barang dan jumlah anak. Apabila pendapatan anak niak,
maka banyaknya anak yang diinginkan juga bertambah. Dengan kata
lain terdapat hubungan positif antara tingkat pendapatan keluarga dan
fertilitas. Hal tersebut seolah menyimpulkan bahwa anak juga
merupakan barang yang bersifat inferior.
Akan tetapi studi empiris yang dilakukan oleh Becker menunjukkan
bahwa keluarga dengman tingkat pendapatan yang relative tinggi,
umumnya mempunyai jumlah anak lebih sedikit dibandingkan dengan
keluarga yang tingkat pendapatannya rendah. Temuan tersebut
merupakan karakteristik umum dari penduduk di Negara-negara maju
yang berpendapatan lebih tinggi. Becker menyanggah kesimpulan
bahwa anak merupakan barang inferior dengan menggunakan teori
alokasi waktu (time allocation theory), dimana utility waktu yang
dipakai si ibu untuk merawat jumlah anak banyak lebih rendah
dibandingkan utility untuk merawat jumlah anak yang sedikit. Dengan
demikian, menurut Becker para orang tua atau keluarga kemudian akan
lebih menekankan kualitas dibandingkan kuantitas anak yang diminta.
Oleh karena itu, dalam masyarakat modern jika pendapatan
meningkat, maka jumlah anak yang diinginkan bahkan lebih sedikit,
Becker menyimpulkan bahwa tingkat pendapatan yang tinggi tidak
hanya mempengaruhi jumlah anak yang diminta (kuantitas) melainkan
juga berapa biaya yang bersedia dikeluarkan oleh orang tua untuk
seorang

anak.

Dengan

kata

lain,

tingkat

pendapatan

akan

mempengaruhi kualitas anak yang diminta. Pendapatan yang semakin


meningkat akan membutuhkan waktu dan biaya yang harus
dikeluarkan untuk merawat dan membesarkan anak akan semakin
mahal, sehingga pada gilirannya akan mengurangi permintaan terhadap
jumlah anak.

Gambar 2.4 kurva hubungan antara jumlah anak dan konsumsi barang:
maksimisasi Utilitas dengan kendala Anggaran Keluarga
2.5 STUDI FERTILITAS DI INDONESIA
Indonesia sering dijadikan contoh keberhasilah dalam upaya
penurunan angka kelahiran yang relative cukup cepat. Keberhasilan tersebut
disebabkanoleh adanya intervensi pemerintah melalui pelaksanaan program
keluarga berencana (KB), yang dilaksanakan sejak awal tahun 1970-an.
Pemerintah pada waktu itu berkeyakinan bahwa jumlah penduduk yang besar
merupaka penghambat bagi pertumbuhan ekonomi yang cepat. Oleh sebab itu,
penurunan angka kelahiran merupakan pra-syarat bagi pertumbuhan ekonomi.
Program KB yang dilaksanakan pemerintah tidak saja mengajak
pasangan suami istri untuk mengatur jumlah keluarga mereka dengan
menggunakan alat-alat kontrasepsi modern, tetapi juga memperkenalkan nilainilai baru tentang keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Program KB di

Indonesia turut berperan dalam menurunkan tingkat fertiitas total dari 5,6 pada
tahun 1967-1970 menjadi 2,8 pada tahun 1991-1994, dan terus menurun
menjadi 2,34 pada tahun 1997-2000 (sensus penduduk 2000). Sementara itu,
angka kelahiran kasar (CBR) telah menurun sekitar 43 kelahiran per 1.000
penduduk pada tahun 1967-1970 menjadi sekitar 23 kelahiran per 1.000
penduduk pada periode 1991-1994.

Tabel 2.6 menunjukkan anngka kelahiran kasar di Indonesia pada


periode 1990-2025 jika menengok angka-angka fertilitas pada masa lalu, maka
terlihat bahwa fertilitas di Indonesia pada awal abad ke 20 sampai dengan
masa perang dunia II terus meningkat kemudian berfluktuasi selama masa
resisi ekonomi, penjajahan Jepang, dan masa perang kemerdekaan. Angka
fertilitas tersebut terus meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 1995.
Ketika pemerintahan Soekarno dianggap pronatalis berakhir pada tahun1967
dan Soeharto menjabat sebagai presiden RI yang kedua, maka kebijakan
kependudukan berubah dari pronatalis menjadi antinatalis, dengan diluncurkan
program penurunan dan pembatasan jumlah anak.
Tabel 2.6
Angka kelahiran kaksar Indonesia, Tahun 1900-2025
Periode
1900-1920
1930-1935
1935-1940
1940-1945
1945-1950
1950-1955
1955-1960

CBR
45,5
45,3
44,9
39,0
40,3
47,3
46,6

Periode
1961-1970
1971-1980
1980-1984
1986-1989
1988-1991
1991-1994
1990-2000

CBR
43,0
38,0
32,0
27,9
25,1
23,3
22,3

Perode
200
2005
2010
2015
2020
2025

CBR
20,6
19,5
18,4
17,3
16,3
15,3

Sumber: Tahun 1900-1960: Nitisastro (1970), Tahun 1961-1980: Mc Nicoll


dan Singarimbun (1983), Tahun 1981-1990: SDKI 1991, Tahun 1991-1994:
SDKI 1997, Thun 1990-2000: Ananta dan Anwar (1994), tahun 2000 dan
seterusnya: Proyeksi BPS, Bappenas, dan UNFPA, 2005

Penurunan angka kelahiran kasar ini diperkirakan masih akan terjadi


apabila pengaturan jumlah anak, persepsi tentang anak ideal, kebutuhan untuk
peningkatan kualitas keturunan, serta kebutuhan untuk meningkatkan
kesejahteraan kekluarga semakin besar. Pada tabel 2.7 disajikan angka
fertilitas total di Indonesia pada periode 1971, 1975, 1980, 1985, 1990, 1991,
1994, 1997-2000, 2002, 2007, 2010, 2012 dari beberapa sensus dan surveysurvei mengenai fertilitas.
Tabel 2.7
Angka fertilitas total (TFR) Indonesia Tahun 1967-1997
Tahun
1971
1975
1980
1985
1990
1991
1994
1997
1998
1999
2000
2002
2007
2010
2012
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2001, SDKI 2012

TFR
5,61
5,20
4,68
4,06
3,33
3,02
2,85
2,34
2,65
2,59
2,27
2,60
2,41
2,60

Terlihat bahwa TFR Indonesia terus menurun dari 5,61 anak per ibu
pada periode 1971-1997, yakni 2,34. Pada tahun 1998, angka TFR Indonesia
mengalami peningkatan yakni 2,65. Dan kembali mengalami penurunan
kembali pada tahun 1999 dan 2000 masing masing yaitu 2,59 dan 2,27. Pada
tahun 2007 TFR Indonesia mengalami peningkatan kembali yakni 2,60 dan
mengalami penurunan pada tahun 2010 menjadi 2,41 namun kembali
meningkat di tahun 2012 menjadi 2,60
Jika diperinci menurut provinsi di Indonesia, maka terlihat bahwa
beberapa provinsi mengalami penurunan yang cukup signifikan dalam tingkat
fertilitasnya.

Tabel 2.8
Angka Fertilitas Total menurut Provinsi 1971, 1975, 1980, 1985, 1990, 1991,
1994, 1997, 1998, 1999, 2000, 2002, 2007, 2010 dan 2012
Provinsi
Aceh
Sumatera
Utara
Sumatera
Barat
Riau
Jambi
Sumatera
2000Selatan
Bengkulu
Lampung
Kepulauan
Bangka
Belitung
Kepulauan
Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI
Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa
Tenggara
Barat
Nusa
Tenggara
Timur
Kalimantan
Barat
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Timur
Sulawesi
Utara
Sulawesi
Tengah
Sulawesi
Selatan
Sulawesi
Tenggara
Gorontalo
Sulawesi
Barat
Maluku
Maluku
Utara
Papua Barat
Papua
INDONESIA

1971
6.27

1975
5,01

1980
5.24

1985
4.79

1990
4.37

1991
3.76

1994
3.30

1997
2.81

1998
2.78

1999
2.69

2000
2.44

2002
-

2007
3.10

2010
2.79

2012
2.80

7.20

5,24

5.94

5.13

4.29

4.17

3.88

3.10

3.08

3.00

2.84

3.00

3.80

3.01

3.00

6.18

5,98

5.76

4.81

3.89

3.60

3.19

3.06

2.94

2.87

2.95

3.20

3.40

2.91

2.80

5.44
5.57

4.71
4.62

4.09
3.76

3.10
2.97

2.77
2.67

2.85
2.87

2.77
2.80

2.45
2.37

3.20
2.70

2.70
2.80

2.82
2.51

2.90
2.30

5.94
6.39
6.33

5,56

5.59

4.78

4.22

3.43

2.87

2.88

2.78

2.71

2.33

2.30

2.70

2.56

2.80

6.72
6.36

6,57
6,46

6.20
5.75

5.14
4.80

3.97
4.05

3.20

3.45
3.45

2.68
2.65

2.83
2.74

2.77
2.66

2.49
2.42

3.00
2.70

2.40
2.50

2.51
2.45

2.20
2.70

3.25

2.60

2.53

2.40

2.50

2.54

2.60

4.31

3.10

2.38

2.60

5.18
6.34
5.33

4,78
5,64
4,92

3.99
5.07
4.37

3.82
2.93
3.20

2.33
3.47
3.05

2.14
3.37
2.85

1.90
3.17
2.77

1.63
2.51
2.06

2.00
2.61
2.41

2.00
2.55
2.37

1.66
2.28
2.14

2.20
2.80
2.10

2.10
2.60
2.30

1.82
2.43
2.20

2.30
2.50
2.50

4.76

4,47

3.42

3.09

2.08

2.04

1.79

1.44

2.00

2.00

1.79

1.90

1.80

1.94

2.10

4.72
5.96

4,32
5,24

3.56
3.97

5.74
5.12
4.98

2.46
2.28

2.13
2.22

2.22
2.14

1.71
2.72
1.89

2.02
2.00

2.02
2.00

1.87
2.37
2.03

2.10
2.60
2.10

2.10
2.60
2.10

2.00
2.35
2.13

2.30
2.50
2.30

6.66

5,75

6.49

4.77

4.98

3.82

3.64

2.92

3.12

3.05

2.69

2.40

2.80

2.59

2.80

5.96

Na

5.54

3.74

4.61

3.87

3.37

3.15

3.06

3.46

4.10

4.20

3.82

3.30

6.27

5,54

5.52

4.16

4.44

3.94

3.34

2.99

2.92

2.81

2.62

2.90

2.80

2.64

3.10

6.83

6,49

5.87

3.59

4.03

2.31

2.74

2.86

2.81

2.21

3.20

3.00

2.56

2.80

5.43

5,27

4.60

4.86

3.24

2.70

2.33

2.33

2.58

2.53

2.30

3.00

2.60

2.35

2.50

5.41

5,69

4.99

4.13

3.28

3.21

2.50

2.60

2.55

2.32

2.80

2.70

2.61

2.80

6.79

6,16

4.91

5.66

2.69

2.25

2.62

2.12

2.38

2.36

2.10

2.60

2.80

2.43

2.60

6.53

6,29

5.90

5.61

3.85

3.08

2.75

2.78

2.72

2.81

3.20

3.30

2.94

3.20

5.71

5,71

4.88

4.84

3.54

3.01

2.92

2.56

2.70

2.65

2.55

2.60

2.80

2.55

2.60

6.45

6,82

5.82

t.t

4.91

3.50

3.31

3.00

2.87

3.14

3.60

3.30

3.20

3.00

2.70

2.63

2.80

2.60

2.76

2.60

3.50

3.33

3.60

6.89

6.16

4.59

3.70

3.39

2.92

2.82

3.29

3.90

3.56

3.20

3.17

3.04

3.20

3.35

3.10

7.20
5.61

5,20

5.35
4.68

4.70
3.33

3.02

3.15
2.85

3.28
2.34

3.03
2.65

2.96
2.59

2.38
2.27

3.40
2.90
2.60

3.18
2.87
2.41

3.70
3.70
2.60

4.06

Sumber : Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990 , Sensus Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1985 , Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) 1991, 1994 dan 2012

Menurut berbagai studi yang telah dilakukan, penurunan angka


fertilitas total yang terjadi di Indonesia selain disebabkan oleh pelaksanaan
program KB, juga dipengaruhi oleh beberapa factor berikut ini.
1. Umur kawin pertama
Dalam masyarakat Indonesia, hubungan antara laki-laki dan perempuan
dipandang harus melalui lembaga perkawinan yang sah menurut norma
agama dan menurut Undang-Undang perkawinan tahun 1974. Selain itu,
karena usia perkawinan juga dipengaruhi oleh adat istiadat dan anggapan
masyarakat tentang umur berapa sebaiknya perempuan menikah, maka
umur kawin pertama dapat menjadi indicator dimulainya seseorang
perempuan berpeluang untuk hamil dan melahirkan. Dalam kondisi seperti
ini, perempuan yang kawin pada usia muda mempunyai rentang waktu
untuk kehamilan dan melahirkan, lebih panjang dibandingkan dengan
mereka yang kawin pada umur yang lebih tua dan mempunyai banyak
anak dibandingkan dengan mereka yang menikah pada umur lebih tua.
2. Peningkatan pendidikan perempuan
Kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan yang semakin
tinggi terbuka pada saat ini, sehingga menyebabkan banyak perempuan
yang menunda perkawinan untuk menyelesaikan pendidikan yang
diinginkan. Selain itu, perempuan yang berpendidikan tinggi cenderung
memilih terjun ke pasar kerja terlebih dahullu sebelum memasuki
perkawinan. Kalaupun mereka menikah pada usia lebih muda,
pengetahuan mereka tentang alat pencegahan kehamilan cukup tinggi
sehingga

sebagian

dari

mereka

menunda

kelahiran

anak

menyelesaikan masa reproduksi, baru kemudian terjun ke pasar kerja.

atau

Tabel 2.9
Angka Fertilitas menurut Pendidikan Perempuan, Tahun 1967
Angka Fertilitas Total (TFR)
SDKI 1994
SDKI 1997
SDKI 2012
Tidak sekolah
2,88
2,66
2,8
Tidak tamat SD
3,28
3,23
3,0
Tamat SD
2,96
2,96
2,9
SLTP +
2,57
2,55
Tidak tamat SMTA
2,9
Tamat SMTA
2,7
1
Perguruan tinggi
2,3
Sumber: SDKI 1994, SDKI 1997, SDKI 2012
Catatan: 1perguruan tinggi adalah Diploma, S1/S2/S3
Pendidikan

Akan tetapi beberapa studi di Indonesia menunjukkan adanya


hubungan yang terbentuk huruf U terbalik antara tingkat pendidikan
dengan jumlah anak yang dimiliki. Hal seperti ini ditemukan pertama kali
di Yogyakarta oleh Hull dan Hull (1976) pada awal tahun 1970-an. Pada
waktu itu, penjelasannya adalah kelompok perempuan yang berpendidikan
rendah lebih sering mengalami perceraian sehingga jumlah anak yang
dimiliki lebih sedikit. Juga ada kemungkinan bahwa jumlah perempuan
yang berpendidikan di atas SD masih sedikit, sehingga karakteristik
perempuan didominasi oleh perempuan dengan pendidikan rendah.
Hasil SDKI tahun 1994, 1997, dan 2012 masih menunjukkan hubungan
dengan bentuk huruf U terbalik. Akan tetapi setelah tamat SD, fertilitas
menunjukkan penurunan dengan meningkatnya pendidikan.
3. Partisipasi perempuan dalam dunia kerja
Peningkatan pendidikan bagi perempuan dan peningkatan peluang bagi
perempuan untuk bekerja menyebabkan peningkatan partisipasi angkatan
kerja perempuan. Semakin terbukanya industry, terutama industry garmen,
elektronik serta industry jasa menyebabkan banyak perempuan terjun ke
pasar kerja. Hatmadji dan Suradji (1979) menjelaskan bahwa hasil Supas
1985 memperlihatkan bahwa perempuan yang hanya mengurus rumah
tangga saja cenderung mempunyai anak yang lebih banyak, sedangkan
perempuan yang bekerja mempunyai anak lebih sedikit. Selanjutnya,

mereka menambahkan bahwa perbedaan jumlah anak yang dilahirkan


antara perempuan yang bekerja dan mengurus rumah tangga lebih besar di
perkotaan daripada di pedesaan.
4. Lingkungan tempat seseorang dibesarkan
Tabel 2.10
Angka Fertilitas berdasarkan Lingkungan Tempat Tinggal Tahun
2012
Daerah Tempat Tinggal
Angka Kelahiran Total
Pedesaan

2,8

Perkotaan

2,4

Sumber: SDKI 2012


Tempat tinggal dari lahir sampai berumur 12 tahun dianggap
mempengaruhi persepsi dan jalan pikiran seseorang untuk bersikap dan
berperilaku, termasuk perilaku melahirkan. Seseorang yang dibesarkan di
perkotaan akan memiliki sikap da perilaku yang dipengaruhi oleh situasi
perkotaan yang umumnya lebih modern dibandingkan dengan mereka
yang dibesarkan di daerah pedesaan. Selain itu temppat tinggal di
perkotaan memudahkan diperolehnya informasi tentang pengetahuan
modern termasuk mengenai metode pengaturan dan pencegahan kehamilan
dibandingkan di pedesaan. Oleh sebab itu, muncul dugaan bahwa angka
kelahiran di daerah perkotaan akann lebih rendah dibandingkan dengan
angka kelahiran di pedesaan. Hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa angka
fertilitas total di perkotaan lebih rendah dibandingkan dengan angka
fertilitas total di pedesaan, yaitu masing-masing 2,4 dan 2,8
5. Social budaya dan bias gender
Dalam budaya Indonesia, peran perempuan adalah sebagai ibu dan istri
yang bertanggung jawab pada penyelenggaraan rumah tanggam sedangkan
suami lebih berperan untuk mencari nafkah. Pembagian peran yang sangat
jelas ini juga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam rumah
tangga. Suami yang dianggap sebahai kepala keluarga adalah seorang yang

dianggap berhak mengambil keputusan, termasuk dalam pemakaian alat


kontrasepsi. Dalam keluarga yang mempunyai pengaturan peran yang
ketat, maka keikutsertaan istri dalam KB akan bergantung pada izin suami.
Lain halnya dengan keluarga modern, dimana pendidikan laki-laki dan
perempuan umumnya sama tinggi. Dalam keasaan seperti ini, perempuan
umumnya mampu menentukan sendiri jumlah anak tersebut. Keputusan
akhir sering dilakukan bersama-sama dengan suami.

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Fertilitas merupakan kemampuan berpoduksi yang sebenarnya dari
penduduk (actual reproduction performance) atau jumlah kelahiran hidup yang
dimiliki oleh seorang atau skelompok perempuan.
Kelahiran yang dimaksud disini hanya mencakup kelahiran hidup, jadi
bayi yang dilahirkan menunjukkan tanda-tanda hidup kendatipun hanya sebentar
dan terlepas dari lamanya bayi itu dikandung.
Pengertian ini agar dibedakan dengan kesuburan (fecundity) yang
menyatakan kemampuan secara fisiologis untuk melahirkan. Jadi, kesuburan
menyatakan potensi, amat sulit ditentukan, sedangkan fertilitas mengenai
kelahiran sesungguhnya seperti yang diukur dalam statistic kelahiran.

Daftar Pustaka
Anwar, Evi Nurvidya. 1995. Variabel Sosial Ekonomi vs. Variabel Antara dalam
Analisis Faktor Penentu Fertilitas dalam Kecenderungan dan Factor Penentu
Fertilitas

dan

Moralitas

di

Indonesia.

Kantor

Menteri

Negara

Kependudukan/BKKBN, Jakarta.
Badan Pusat Statistik, 1995. Survei Demografi dan Kesehatan 1994. Jakarta
Badan Pusat Statistik, 1996. Estimasi Fertilitas dan Mortalitas Supas 1995.
Jakarta
Badan Pusat Statistik, 1998. Survei Demografi dan Kesehatan 1997. Jakarta
Badan Pusat Statistik, 2001. Estimasi Fertilitas, Moralitas dan Migrasi Hasil
Sensus Penduduk Tahun 2000. Jakarta
Barclay, G.W.1970. Technique of Population Analysis. John Wilcy & Sons, Inc.
New York, London, Sidney.
Becker, Gary S. (1976) The Economic Apporoach to Humn Behavior. Chicago:
The University of Chicago Press
Becker, Gary S. (1981) A Treatise on the Family. Cambridge: Harvard University
Press
Bogue, Donald J. 1969. Principle of Demography. John Wiley & Sons, Inc. New
York, London, Sidney, Toronto

Bondan Supraptilah dan Budi Suradji. 1979. Pengauh Perbedaan Sosio Ekonomi
Terhadap Fertiltas dan Mortalitas Masa Kanak-Kanak di Indonesia. Jakarta:
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi
Davis, Kingsley dan Judith Blake. 1956. Social Structure and Fertility: An
Analytic Framework in Economic Development and Cultural Change, Vol 4,
pp221-235
Freedman, Ronald. 1973. Norms for Family Size dalam The Determinant and
Cosequences of Population Trents. United Nationas, New York.
Hatmadji, Harijati dan Budi Suradji. 1979. Fertilitas Differentials in Indonesia.
Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi
Hendry, Haris. 1961. La Fecondife Naturelle. Observation, Theorie, Resultats.
Population 16 (4)

Anda mungkin juga menyukai