Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata dari
seseorang wanita atau sekelompok wanita. Dengan kata lain fertilitas ini menyangkut
banyaknya bayi yang lahir hidup. Fekunditas, sebaliknya, merupakan potensi fisik untuk
melahirkan anak. Jadi merupakan lawan arti kata sterilitas. Natalitas mempunyai arti sama
dengan fertilitas hanya berbeda ruang lingkupnya. Fertilitas mencakup peranan kelahiran
pada perubahan penduduk sedangkan natalitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan
penduduk dan reproduksi manusia.
Istilah fertilitias sering disebut dengan kelahiran hidup (live birth), yaitu terlepasnya
bayi dari rahim seorang wanita dengan adanya tanda-tanda kehidupan, seperti bernapas,
berteriak, bergerak, jantung berdenyut dan lain sebagainya. Sedangkan paritas merupakan
jumlah anak yang telah dipunyai oleh wanita. Apabila waktu lahir tidak ada tanda-tanda
kehidupan, maka disebut dengan lahir mati (still live) yang di dalam demografi tidak
dianggap sebagai suatu peristiwa kelahiran.
Kemampuan fisiologis wanita untuk memberikan kelahiran atau berpartisipasi dalam
reproduksi dikenal dengan istilah fekunditas. Tidak adanya kemampuan ini disebut
infekunditas, sterilitas atau infertilitas fisiologis.
Pengetahuan yang cukup dapat dipercaya mengenai proporsi dari wanita yang
tergolong subur dan tidak subur belum tersedia. Ada petunjuk bahwa di beberapa masyarakat
yang dapat dikatakan semua wanita kawin dan ada tekanan sosial yang kuat terhadap wanita/
pasangan untuk mempunyai anak, hanya sekiat satu atau dua persen saja dari mereka yang
telah menjalani perkawinan beberapa tahun tetapi tidak mempunyai anak. Seorang wanita
dikatakan subur jika wanita tersebut pernah melahirkan paling sedikit seorang bayi.
Pengukuran fertilitas lebih kompleks dibandingkan dengan pengukuran mortalitas
(kematian) karena seorang wanita hanya meninggal sekali, tetapi dapat melahirkan lebih dari
seorang bayi. Kompleksnya pengukuran fertilitas ini karena kelahiran melibatkan dua orang
(suami dan istri), sedangkan kematian hanya melibatkan satu orang saja (orang yang
meninggal). Seseorang yang meninggal pada hari dan waktu tertentu, berarti mulai saat itu
orang tersebut tidak mempunyai resiko kematian lagi. Sebaliknya, seorang wanita yang telah
melahirkan seorang anak, tidak berarti resiko melahirkan dari wanita tersebut menurun.

1
BAB 2

PEMBAHASAN

1. KONSEP ANALISIS FERTILITAS


Sebelum membahas lebih lanjut cakupan dalam analisis fertilitas, perlu kiranya
diketahui beberapa definisi dan istilah-istilah yang akan digunakan.
1.1 Konsep dan Definisi Kelahiran
Dalam analisis fertilitas, dikenal dengan beberapa konsep kelahiran, yaitu lahir
hidup, lahir mati, dan abortus. Berikut ini adalah definisi menurut Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations dan Organisasi Kesehatan Dunia
(World Health Organization-WHO).
1. Lahir hidup (live birth) adalah kelahiran seorang bayi tanpa memperhitungkan
lamanya di dalam kandungan, dimana sibayi menunjukan tanda-tanda
kehidupan pada saat dilahirkan. Misalnya, pada sibayi ada napas (bernapas),
ada denyut jantung, ada tali pusar, atau gerakan-gerakan otot.
2. Lahir mati (still birth) adalah kelahiran seorang bayi dari kandungan yang
sudah berumur paling sedikit 28 minggu tanpa menunjukan tanda-tanda
kehidupan pada saat dilahirkan.
3. Aborsi adalah peristiwa kematian bayi dalam kandungan dengan umur
kehamilan kurang dari 28 minggu. Ada dua macam aborsi, yaitu :
a. Aborsi disengaja (induced abortion) adalah peristiwa pengguguran
kandungan karena alasan kesehatan atau karena alasan kesehatan non
lainnya, seperti malu dan tidak menginginkan janin anak yang dikandung.
b. Aborsi tidak disengaja atau secara spontan (spontaneous abortion) adalah
peristiwa pengguguran kandungan karena janin tidak dapat dipertahankan
lagi dalam kandungan.
1.2 Konsep masa Reproduksi (Reproductive/Childbearing Age)
Masa / usia reproduksi adalah usia dimana seorang perempuan mampu untuk
melahirkan (subur), yaitu kurun waktu sejak mendapatkan haid pertama
(menanrche) dan berakhir pada saat berhenti haid (menopause). Dalam analisis
fertilitas, pada umumnya umur 15-49 tahun dijadikan rujukan sebagai masa subur
(reproduksi) seorang wanita.

2. UKURAN-UKURAN DASAR FERTILITAS

2
Ukuran-ukuran dasar fertilitas dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan
pendekatan. Pendekatan yang berbasis ukuran yang sifatnya kerat lintang (cross
sectional), umumnya satu ataulima tahunan (yearly performance), yang sering pula
disebut dengan istilah current fertility. Ukuran-ukuran ini mencerminkan tingkat
fertilitas dari suatu kelompok penduduk atau kelompok perempuan dalam suatu waktu
tertentu. Pendekatan dengan ukuran yang sifatnya mencerminkan riwayat kelahiran
atau riwayat reproduksi (reproductive history). Ukuran ini mencerminkan sejarah
kelahiran semasa hidup seorang perempuan dari awal sampai akhir masa reproduksi
(15-49 tahun). Pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan yang bersifat
longitudinal.
Ada enam ukuran fertilitas yang bersifat kerat lingtang, yaitu angka
kelahiran kasar, angka fertilitas umum, angka kelahiran menurut umur, angka fertilitas
total, angka lahir hidup, dan rasio anak wanita.

2.1 Angka Kelahiran Kasar (Crude Birth Rate CBR)


Angka kelahiran kasar (CBR) adalah banyaknya kelahiran dalam satu tahun
tertentu per seribu penduduk pada pertengahan tahun yang sama. Secara
matematis, rumus untuk menghitung CBR adalah sebagai berikut :
B
CBR = P x k

Dimana :
B : jumlah kelahiran selama 1 tahun
P : jumlah penduduk dalam pertengahan tahun
K : bilangan konstan, biasanya 1000

Sebagai contoh, hasil supas 1995 menunjukan bahwa terdapat 187.974


kelahiran hidup di DKI Jakarta. Sementara ini, jumlah penduduk DKI Jakarta
pada pertengahan tahun 11995 adalah 9.112.652 orang. Dengan demikian, CBR
untuk DKI Jakarta adalah sebagai berikut :

187.974
CBR = x 1.000=20,6 per 1.000 penduduk
9.112 .652

CBR sebesar 20,6 berarti bahwa setiap 1.000 penduduk di DKI Jakarta terdapat
antara 20 sampai 21 kelahiran hidup pada tahun 1995. CBR DKI Jakarta ini lebih
rendah dari CBR Indonesia yang sebesar 23,9 pada tahun 1995.

3
Perhitungan CBR masih merupakan perhitungan yang sangat kasar. Ukuran ini
disebut sebagai angka kasar (crude) karena penduduk terpapar yang digunakan
sebagai penyebut adalah penduduk dari semua jenis kelamin termasuk laki-laki,
dan semua umur termasuk anak-anak dan orang tua, yang tidak mempunyai
potensi untuk melahirkan.

2.2 Angka Fertilitas Umum (General Fertility Rate-GFR)


Angka fertilitas umum (GFR) adalah banyaknya kelahiran pada suatu tahun per
1.000 penduduk perempuan berumur 15-49 tahun atau 15-44 tahun pada
pertengahan tahun yang sama. Rumus yang digunakan untuk menghitung GFR
adalah :
B B
GFR = xk atau GFR = xk
P P 1544

Dimana :
Bf : banyaknya kelahiran selama 1 tahun
P15-49 : banyaknya penduduk perempuan umur 15-49 tahun pada pertengahan
tahun
P15-44 : banyaknya penduduk perempuan umur 15-44 tahun pada pertengahan
tahun
K : bilangan konstan, biasanya 1.000

Hasil supas 1995 menunjukan bahwa ada sekitar 3.127.404 wanita berumur
15-49 tahun di DKI Jakarta. Dengan jumlah kelahiran hidup sebesar 187.974,
maka angka fertilitas umum dapat dihitung sebesar :

187.974
GFR = 3.127 .404 x 1.000
= 60,1 per 1.000 penduduk perempuan usia 15-49 tahun

Angka 60,1 ini berarti bahwa pada tahun 1995 untuk setiap seribu penduduk
perempuan usia subur di DKI Jakarta, terdapat 60 bayi yang dilahirkan. Meskipun
ukuran ini masih bersifat umum (general), dalam keadaan kelangkaan data, ukuran
ini sudah dapat memberikan cerminan tingkat kelahiran di DKI Jakarta.
Dibandingkan dengan angka kelahiran kasar (CBR), GFR lebih cermat karena
sudah memperhitungkan penduduk yang mempunyai potensi melahirkan, yaitu
perempuan usia subur (15-49 tahun). Meskipun demikian, masih terdapat
kelemahan pada ukuran tersebut karena belum memperhitungkan kenyataan
bahwa potensi perempuan dikaitkan dengan tingkat kesuburan atau frekunditas
untuk melahirkan, berbeda-beda menurut umur perempuan. Sebagai contoh,

4
perempuan usia subur muda dibawah 17 tahun umumnya mempunyai tingkat
kesuburan (fecundity) yang masih rendah. Secara umum, tingkat kesuburan akan
semakin meningkat bersamaan dengan meningkatnya usia perempuan dan
akhirnya menurun kembali pada sekitar usia 35 tahun. Dengan kata lain, kurva
kesuburan menurut umur berbentuk huruf U terbalik. Dengan demikian, untuk
mendapatkan ukuran fertilitas yang akurat perlu memperhitungkan potensi
melahirkan menurut umur.

2.3 Angka Kelahiran menurut Umur (Age-Specific Fertility Rate-ASFR)


Angka kelahiran menurut kelompok umur (ASFR) menunjukan banyaknya
kelahiran dari perempuan pada suatu kelompok umur pada suatu tahun tertentu
per 1.000 perempuan pada kelompok umur dan pertengahan tahun yang sama.
Rumus untuk menghitung ASFR adalah
ASFRi = bi X k
Pif
Dimana :
bi : Jumlah kelahiran dari perempuan pada kelompok umur i pada tahun

tertentu.

Pi f : Jumlah penduduk perempuan pada kelompok umur i pada


pertengahan tahun yang sama
I : Kelompok umur (i = untuk perempuan kelompok umur 15-19 tahun,
i = untuk 20-24 tahun ,..., i = 7 untuk 45-49 tahun).
k : Bilangan konstanta biasanya 1.000
Pada Tabel 4.1 disajikan perhitungan ASFR DKI Jakarta berdasarkan supas 1995.
Tabel 4.1
Perhitungan Angka Kelahiran menurut Umur (ASFR)Provinsi DKI Jakarta

Umur Perempuan Jumlah Penduduk Jumlah ASFR


(1) (4) = {(3) : (2)}x 1.000
Perempuan Kelahiran
(2) (3)
15-19 585.414 15221 26
20-24 589.946 57225 97
25-29 505.509 61672 122
30-34 399.754 33979 85
35-39 330.342 13544 41
40-44 257.850 2579 10
45-49 188.589 754 4
Jumlah 2,857,404 184,974

keunggulan angka kelahiran menurut kelompok umur (ASFR) adalah sebagai


berikut :

5
1. Ukuran ASFR lebih cermat dibandingkan GFR karena telah memperhitungkan
kemampuan perempuan untuk melahirkan (tingkat kesuburan) sesuatu dengan
umurnya.
2. Dengan ASFR, memungkinkan untuk dilakukannya studi fertilitas menurut
kohor (tahun kelahiran) atau menurut kelompok umur tertentu.
3. ASFR merupakan dasar perhitungan ukuran fertilitas yang selanjutnya, yakni
ukuran reproduksi(Total Fertility-TFR, Gross Reproduction Rate-GRR, dan
Net Reproduction-NRR)

Gambar 4.1 memperlihatkan pola ASFR untuk beberapa negara maju dan
beberapa negara berkembang. Di negara-negara maju seperti kanada, Prancis, dan
Jepang, ASFR untuk perempuan muda usia 15 tahun masih sangat rendah, yakni
dibawah 20 kelahiran per 1.000 perempuan usia 15 tahun. ASFR mencapai
puncaknya pada usia sekitar 25 tahun kemudian menurun pesat setelah itu.
Sebaliknya dinegara berkembang seperti Uganda, Nigeria, atau Maladew, ASFR
usia 15-19 tahun. ASFR masih tetap tinggi pada usia beresiko melahirkan, yakni
35 tahun ke atas. Perbedaan pola ASFR antara negara maju dan berkembang
dapat menunjukan perbedaan adat istiadat tentang anggapan masyarakatnya
mengenai usia kawin pertama dan tentang besarnya keluarga.

Masyarakat negara berkembang umumnya menganut pendapat bahwa perempuan


sebaiknya menikah segera setelah mendapatkan haid pertama, sehingga tingkat
fertilitas sudah tinggi pada usia 15-19 tahun. Masyarakat seperti ini umumnya
menganut paham keluarga besar dengan banyak anak sehingga perempuan masih
terus melahirkan meskipun usianya sudah diatas 35 tahun. Dipihak lain,
perempuan negara maju umumnya menunda usia kawin pertama karena
melanjutkan sekolah dan kemudian masuk pasar kerja. Mereka pada umumnya
ingin cepat-cepat menyelesaikan masa reproduksinya dan menerima konsep
keluarga kecil, misalnya memiliki 2 atau 3 anak.

Diantara negara berkembang dan negara maju seperti Thailand, Indonesia dan
Cina dimana konsep keluarga kecil sudah mulai diterima, namun pergeseran dari
kawin muda dan kawin lebih tua sedang berjalan. ASFR pada kelompok umur 15-
19 berkisar antara nol di China dan 50 per 1.000 perempuan di Indonesia,
mencapai puncak pada umur 20-30 tahun, kemudian menurin dengan pesat
sesudah usia tersebut.

6
Menurut Henry (1961), pola ASFR seperti yang ditunjukan oleh perempuan
negara berkembang merupakan pola fertilitas natural (natural fertility) dimana
pemakaian alat kontrasepsi hampir tidak ada atau masih minim sekali. Sedangkan
dinegara maju, pola ASFR dapat dikatakan sebagai pola fertilitas modern
(modern fertility) Ryder (1967) atau fertilitas yang telah diintervensi dengan
pemakaian alat kontrasepsi.

2.4 Angka Fertilitas Total (Total Fertility Rate- TFR)


TFR adalah jumlah anak rata-rata yag akan dilahirkan oleh seorang perempuan
pada akhir masa reproduksinya apabila perempuan tersebut mengikuti pola
fertilitas pada saat TFR dihitung. TFR merupakan pengukuran sintetis yang
menyatakan fertilitas pada akhir masa reproduksi (completed fertility) dari suatu
kohor hipotesis perempuan. TFR dihitung dengan cara menjumlahkan angka
kelahiran menurut umur (ASFR) kemudian dikalikan dengan interval kelompok
umur (biasanya lima tahun). Secara sistematis, rumus TFR dapat dituliskan
sebagai berikut :

7
TFR=5 ASFR
i=1

Dimana :

ASFRi : Angka kelahiran untuk perempuan pada kelompok umur i

i=1 : Kelompok umur 20-24 tahun, ..., dan i = 7 untuk kelompok umur

45-49 tahun.

Dengan menggunakan data ASFR pada table 4.1 TFR untuk DKI Jakarta tahun
1995 dapat diperoleh dengan cara berikut ini :

TFR = 5 (26 + 97 + 122 + 85 + 41 + 10 + 4)

= 5 X 385

= 1.925 per 1.000 perempuan usia 15-49 tahun, atau

= 1,9 anak untuk setiap perempuan usia 15-49 tahun.

7
Nilai TFR = 1,9 dapat diartikan bahwa rata-rata setiap perempuan DKI Jakarta
yang mampu menyelesaikan masa reproduksinya (15-49 tahun) akan mempunyai
anak antara 1 dan 2 orang. Angka ini cukup rendah dibandingkan dengan angka
fertilitas total nasional, yakni sebesar 2,8 anak per perempuan pada tahun 1995.

Keunggulan angka fertilitas total (TFR) adalah angka ini dapat dijadikan ukuran
kelahiran untuk seorang perempuan selama usia reproduksinya (15-49 tahun) dan
telah memperhitungkan tingkat kesuburan perempuan pada masing-masing
kelompok umur.

2.5 Anak Lahir Hidup atau ALH (Children Ever Born-CEB)


Anak lahir hidup (ALH) mencerminkan banyaknya kelahiran hidup sekelompok
atau beberapa kelompok perempuan pada saat mulai memasuki reproduksi hingga
pada saat pengumpulan data dilakukan. ALH disebut juga ukuran paratis.
Perhitungan jumlah anak yang dilahirkan hidup rata-rata dapat dituliskan sebagai
berikut :
Pi = ALHi
Pif
Dimana :
Pi : Paritas atau jumlah ALH rata-rata untuk perempuan pada kelompok
umur i
ALHi : Banyaknya anak yang dilahirkan hidup oleh perempuan pada
kelompok i
f
Pi : Banyaknya wanita pada kelompok umur i

Pada tabel 4.2 disajikan perhitungan jumlah ALH rata-rata perempuan di DKI
jakarta berdasarkan hasil Survei Penduduk antar Sensus (Supas) 1995.
Tabel 4.2
Anak lahir Hidup (ALH) Rata-rata per Perempuan Pernah Kawin
Provinsi DKI Jakarta, Tahun 1995

Umur Jumlah Perempuan ALH ALH rata-rata per


pernah Kawin Perempuan (Pi)
15-19 29.472 15.817 0,54
20-24 199.819 193.928 0,97
25-29 344.669 519.533 1,511
30-34 344.573 819.536 2,44
35-39 311.912 972.647 3,12
40-44 247.678 866.289 3,50
45-49 182.799 671.519 3,67

8
Jumlah 1.660.922 4.079.269 2,46
Catatan: jumlah ALH rata-rata perempuan pada akhir masa reproduksi (umur 45-49 tahun) disebut
juga ukuran keluarga yang lengkap (completed family size)
Sumber : Biro Pusat Statistik, 1996

Terlihat bahwa semakin tua umur perempuan maka semakin besar jumlah ALH
rata-rata, bervariasi dari 0,5 anak per ibu pada kelompok umur 15-49 tahun, ke
3,67 anak per iu pada kelompok umu 45-49 tahun. Oleh karena itu, jumlah ALH
rata-rata adalah ukuran yang bersifat kumulatif, yakni banyaknya kelahiran sejak
perempuan menikah pertama kali sampai usia pada saat pencacahan.
Kelebihan utama dari ukuran jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup
(ALH) adalah sebagai berikut :
1. Kemudahan dalam memperoleh data, terutama dari sensus dan survei.
2. Tidak ada referensi waktu, karena menyatakan jumlah anak yang lahir hidup
dari semenjak seorang perempuan menikah pertama kali.

Namun demikian, ukuran jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup (ALH)
juga memiliki kelemahan :

1. Jumlah ALH menurut kelompok umur sering tidak akurat apabila terdapat
kesalahan dalam pelaporan umur ibu, terutama di negara yang sedang
berkembang.
2. Oleh karena sifat datanya yang retrospektif, maka ada kecenderungan faktor
kelupaan (memory lapse) dalam melaporkan banyaknya kelahiran, terutama
dari perempuan kelompok umur yang lebih tua. Hal ini terjadi kalau banyak
diantara anak mereka yang lahir hidup, tetapi sudah meninggal pada saat
pencacahan atau tinggal diluar rumah tangga pencacahan.

2.6 Rasio Anak Wanita (Child Woman Ratio-CWR)


Rasio Anak Wanita (CWR) adalah perbandingan antara jumlah anak dibawah
lima tahun (0-4 tahun) dengan jumlah penduduk perempuan usia reproduksi.
Jumlah anak usia di bawah lima tahun sebagai pembilang merupakan jumlah
kelahiran selama lima tahun sebelum pencacahan. Jumlah perempuan usia
reproduksi sebagai penyebut dapat berasal dari kelompok umur 15-44 tahun atau
15-49 tahun. Demikian juga usia anak dapat diukur dari 0-9 tahun atau 0-14
tahun. Persamaan ukuran CWR adalah :
CWR = P0-4 X k

Pf 15-44

9
Dimana :
P0-4 : banyaknya penduduk perempuan umur 0-4 tahun
P f15-44 : banyaknya perempuan umur 15-44 tahun
P f15-49 : banyaknya perempuan umur 15-49 tahun
k : bilangan konstan, biasanya 1.000

Sebagai contoh dilaporkan ada sekitar 787,979 anak kelompok umur 0-4 tahun di
DKI Jakarta pada tahun 1995. Pada saat yang sama, banyaknya aperempuan pada
kelompok umur 15-49 tahun adalah 2.857.404 orang. Dengan demikian, ukuran
CWR dapat diketahui sebesar 276 anak per 1.000 perempuan usia 15-49 tahun
dengan perhitungan sebagai berikut :

787.977
CWR = x 1.000
2.857 .404
= 275,8 dibulatkan menjadi 276

Perlu dicatat bahwa perhitungan rasio anak wanita (CWR) cenderung memakai
jumlah anak usia 0-4 tahun, atau dapat juga dipakai 0-9 tahun dan bukan 0-1
tahun. Hal ini dikarenakan beberapa hal, antara lain sebagai berikut :
1. Data dari hasil sensus penduduk dan survei pada umumnya di publikasikan
dalam bentuk kelompok umur 5 tahunan.
2. Masalah kesalahan dalam pelaporan jumlah kelahiran dan pelaporan umur
(Under enumeration) lebih banyak terjadi pada usia 0-1 tahun dibandingkan
umur anak yang lebih tua.
Berikut ini adalah beberapa kelebihan dari ukuran rasio anak wanita (CWR)
1. Rasio anak wanita merupakan ukuran yang sederhana dan datanya mudah
diperoleh dari sensus dan survei, yakni dengan pertanyaan: berapa jumlah
anak ibu yang dilahirkan hidup, termasuk yang sekarang sudah meninggal?
2. Rasio ini berguna untuk indikasi fertilitas di daerah luas wilayah yang kecil
dan tidak memungkinkan dibuat angka fertilitas menurut umur dan angka
fertilitas total yang memerlukan sampel yang cukup besar untuk
perhitungannya.
Berikut ini adalah kelemahan dari ukuran rasio anak wanita.
1. Kualitasnya sangat dipengaruhi secara langsung oleh kualitas pelaporan
jumlah anak dan pelaporan umur anak maupun umur ibu. Dibanyak negara
berkembang, dimana penduduk umumnya tidak mempunyai catatatn tentang
kelahiran anak dan umur ibu, kualitas pelaporan akan semakin rendah.
2. Ukuran ini tidak dapat menangkap kasus kematian anak maupun kematian, ibu
khususnya anak berusia dibawah satu tahun. Sehingga ada kemungkinan CWR
diperkirakan terlalu rendah dibandingkan dengan kenyataan sebenarnya.

10
3. Tidak memperhitungkan tingkat kesuburan perempuan menurut umur, seperti
halnya ASFR.

3. UKURAN REPRODUKSI
Dalam analisisi fertilitas dikenal pula ukuran reproduksi. Angka reproduksi, yaitu
ukurang yang berkenaan dengan kemampuan seseorang perempuan untuk
menggantikan dirinya. Oleh karena itu, hanya bayi perempuan yang disertakan dalam
perhitungan ukuran reproduksi. Berikut adalah beberapa ukurang reproduksi yang
dimaksud :
3.1 Angka Reproduksi Bruto (Gross Reproduction Rate GRR)
Adalah banyaknya perempuan yang akan dilahirkan oleh suatu kohor perempuan
selama usia reproduksi mereka. Kohor kelahiran adalah kelompok perempuan
yang mulai melahirkan pada usia yang sama dan bersama-sama mengikuti
perjalanan reproduksi sampai masa usia subur selesai. Ukuran GRR dapat
diperoleh dengan dua cara, yaitu menggunakan angka fertilitas total (TFR) atau
menggunakan angka fertilitas menurut umur (ASFR).
1. Perhitungan langsung dari TFR dengan menggunakan rasio jenis kelamin pada
saat lahir.
Jika diketahui TFR dan rasio jenis kelamin pada saat lahir adalah 105 (terdapat
105 bayi laki-laki di banding 100 bayi perempuan, maka rumus GRR adalah
sebagai berikut :

100
GRR = x TFR
205

Contoh :
Pada bagian sebelumnya telah dihitung bahwa TFR per 1.000 perempuan usia
15-49 tahun. DKI Jakarta menurut supas 1995 adalah 1.925. maka GRR DKI
Jakarta menurut supas 1995 adalah :

100 100
x TFR= x 1.925
205 205
= 933 anak perempuan per 1.000 perempuan usia 15-49 tahun.
= 0,939 anak perempuan per perempuan usia 15- 49 tahun.

Dari perhitungan tersebut, diperoleh angka reproduksi bruto (GRR) sebesar


0,939 anak perempuan per perempuan. Artinya, tanpa memperhatikan
kematian yang mungkin dialami anak perempuan tersebuut sesudah kelahiran,
akan ada sekitar 939 anak perempuan yang akan menggantikan 1.000 orang

11
ibu untuk melahirkan. Dengan demikian diperoleh kesimpulan bahwa jika
1.000 ibu digantikan oleh 939 anak perempuan yang kelak akan menggantikan
ibunya meneruskan keturunan maka dapat dipastikan bahwa jumlah penduduk
jakarta suatu saat akan berkurang. Seperti yang terjadi di negara-negara maju,
seperti jepang dan jerman.

3.2 Perhitungan menggunakan ASFR bagi perempuan


Jika diketahui ASFR dan rasio jenis kelamin pada saat lahir adalah 105
(terdapat 105 bagi laki-laki dibanding 100 bagi perempuan) maka rumus GRR
adalah :

7
GRR=5 ASFR
i=1

Dimana :
ASFRi : angka kelahiran menurut umur untuk bayi perempuan untuk
perempuan pada kelopok umur i

Tabel 4.3 menyajikan angka fertilitas bayi perempuan menurut kelompok


umur perempuan (ASFR) untuk DKI Jakarta berdasarkan supas 1995. Dengan
menggunakan data tersebut, dapat diketahui bahwa GRR adalah 1,88 per
perempuan. Artinya setiap perempuan akan digantikan oleh hampir 2 orang
anak perempuan yang akan menggantikan ibunya melahirkan, tanpa
memperhitungkan kenyataan bahwa anak perempuan yang lahir yang
meninggal dan tidak sampai mengalami usia reproduksi.

Table 4.3
Perhitungan Angka Reproduksi Brutto (GRR)
Provinsi DKI Jakarta, tahun 1995

Umur Penduduk Jumlah Jumlah ASFR Bayi


Perempuan perempuan Kelahiran Kelahiran Bayi Perempuan
bayi (L+P) Perempuan Saja per 1.000
Perempuan
(1) (2) (3) (4)=(3)*(100/205 (5)={(4) : 2)}x
) 1.000
15-19 585.414 15.221 7.425 13
20-24 589.946 57.225 27.915 47
25-29 505.509 61.672 30.084 60
30-34 399.754 33.979 16.575 42
35-39 330.342 13.544 6.607 20
40-44 257.850 2.579
12 1.258 4
45-49 188.589 754 368 2
Jumlah 188
Berdasarkan pePerhitungan pada table 4.3 maka GRR = 5 x ASFR i = 5 x 188
= 940. Kelemahan utama dari angka reproduksi bruto (GRR) adalah
perhitungan yang belum melihat kemungkinan adanya kematian bayi
perempuan sejak lahir sampai selesai masa reproduksinya.

3.3 Angka Reproduksi Neto (Net Reproduction Rate NRR)


Adalah angka fertilitas yang memperhitungkan faktor mortalitas, yaitu
kemungkinan bayi perempuan meninggal sebelum mencapai akhir masa
reproduksinya. Asumsi yang dipakai adalah bayi perempuan tersebut
mengikuti pola fertilitas dan pola mortalitas ibunya. Table 4.4. menyajikan
perhitungan ukuran NRR untuk DKI Jakarta berdasarkan supas 1995.

Tabel 4.4.
Perhitungan angka reproduksi Bersih (NRR) Provinsi DKI Jakarta,
tahun 1995

Umur Penduduk Kelahiran ASFR per Rasio Bayi yang


Perempuan Bayi 1.000 Bayi Diharapka
Perempuan Perempuan masih n Tetap
untuk bayi Hidup Hidup Per
Perempuan hingga 1.000
Usia ibu Perempuan
*)
(1) (2) (3)
15-19 585.414 7.425 13 0,8849 11,5
20-24 589.946 27.915 47 0,8766 41,2
25-29 505.509 30.084 60 0,8662 51,9
30-34 399.754 16.575 42 0,8543 35,9
35-39 330.342 6.607 20 0,8404 16,5
40-44 257.850 1.258 4 0,8238 3,3
45-49 188.589 368 2 0,8030 1,6
Jumlah 161,9

NRR = 5 X 161,9 = 809,5 per 1.000 perempuan, atau


NRR = 0,81 per perempuan
Angka 0,81 tersebut berarti bahwa 100 orang perempuan di DKI Jakarta pada
tahun 1995 akan digantikan oleh 81 orang anak perempuan yang akan tetap

13
hidup sampai seumur ibunya waktu melahirkan mereka. Apabila keadaan ini
berlangsung terus dalam waktu yang lama, maka penduduk DKI Jakarta akan
mencapai tingkat penduduk tumbuh seimbang (PTS), dimana seorang ibu akan
digantikan oleh anak perempuan yang akan melahirkan seorang anak
perempuan. Kemudian, anak perempuan ini akan melahirkan seorang anak
perempuan pula. Demikian seterusnya dengan catatan migrasi dianggap
bernilai nol.
NRR merupakan ukuran kemampuan suatu populasi untuk menggantikan
dirinya (replacement level). NRR bernilai satu berarti suatu populasi dapat
menggantikan dirinya dengan jumlah yang sama (exact replacement). NRR
bernilai lebih dari satu berarti bahwa suatu populasi dapat menggantikan
dirinya dengan jumlah yang lebih besar. Sementara itu, NRR bernilai kurang
dari satu berarti suatu populasi tidak mampu menggantikan dirinya sendiri
dengan jumlah yang sama.

3.4 Perhitungan TFR dengan Pendekatan Kerat Lintang Longitudinal


Tabel 4.5 menggambarkan perbedaan perhitungan TFR menurut analisis kerat
lintang berdasarkan riwayat kelahiran (reproductive history) dan menurut
analisis longitudinal berdasarkan current fertility (yearly performance). Tabel
tersebut diambil dari hasil registrasi Prancis dalam kurun waktu 1901-1905
sampai dengan 1966-1970.

Tabel 4.5
TFR Periode dan TFR Kohor
Prancs, Tahun 1901-1970
Periode
ASFR per 1.000 Perempuan
Observasi
15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49
1901-1905 27 135 161 119 78 33 5
1906-1910 27 135 147 111 69 27 3
1911-1915 24 119 129 92 61 23 2
1916-1920 14 72 93 75 52 22 2
1921-1925 26 131 142 102 59 22 2
1926-1930 28 130 132 93 54 20 2
1931-1935 30 126 123 85 48 17 2
1936-1940 25 126 123 81 45 15 1
1941-1945 18 108 126 92 56 20 2
1946-1950 24 158 184 130 75 26 2
1951-1955 22 156 168 113 63 21 2
1960-1960 22 159 174 107 58 19 2
1961-1965 25 174 182 110 55 18 1

14
1966-1970 27 162 165 100 48 15 1
Sumber : Dasar-dasar Demografi Cetakan 1, Tahun 1981, dihitung oleh DR.S. Thapar

1. Ukuran berdasarkan riwayat kelahiran atau menurut kohor TFR (juga


sering disebut pendekatan longitudinal).
TFR untuk kohor (generasi) kelahiran tahun 1886-1890 (periode observasi
1901-1935) dihitung dengan menjumlahkan ASFR kelompok umur 15-19
tahun untuk periode 1901-1905, ASFR kelompok umur 20-24 tahun untuk
periode 1906-1910, ASFR kelompok umur 25-29 tahun untuk periode
1911-1915, ASFR kelompok umur 30-34 tahun untuk periode 1916-1920,
ASFR kelompok umur 35-39 tahun untuk periode 1921-1925, ASFR
kelompok umur 40-44 tahun untuk periiode 1926-1930, dan ASFR
kelompok umur 45-49 tahun untuk periode 1931-1935, kemudian
dikalikan dengan lima. Jadi,
TFR Kohor 1886-1990 = 5 (27+135+129+75+59+20+2)
= 5 x 447
= 2.235 per 1.000 Wanita

2. Ukuran Kerat Lintang TFR (current fertility)


TFR current pada periode observasi 1931-1935 dihitung dengan
menjumlahkan ASFR semua kelompok umur pada periode 1931-1935
kemudian dikalikan dengan lima. Jadi
TFR current 1931-1935 = 5 (30+126+123+85+48+17+2)
= 5 x 431
= 2.155 per 1.000 perempuan
Dari dua pendekatan ini dapat diketahui bahwa TFR yang diperoleh tidak
jauh berbeda, yakni 2,23 anak per perempuan melalui pendekatan kohor
kelahiran dan 2,16 anak per perempuan melalui pendekatan kerat lintang.

4. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FERTILITAS


Ada beragam faktor yang mempengaruhi dan menentukan fertilitas baik yang berupa
faktor demografi maupun faktor non-demografi. Yang berupa faktor demografi
diantaranya adalah struktur umur, umur perkawinan, lama perkawinan, paritas,
distrupsi perkawinan dan proporsi yang kawin sedangkan faktor non-demografi
dapat berupa faktor sosial, ekonomi maupun psikologi.

4.1 Teori Sosiologi tentang Fertilitas (Davis dan Blake: Variabel Antara)

15
Kajian tentang fertilitas pada dasarnya bermula dari disiplin sosiologi. Sebelum
disiplin lain membahas secara sistematis tentang fertilitas, kajian sosiologis
tentang fertilitas sudah lebih dahulu dimulai. Sudah amat lama kependudukan
menjadi salah satu sub-bidang sosiologi. Sebagian besar analisa kependudukan
(selain demografi formal) sesungguhnya merupakan analisis sosiologis. Davis
and Blake (1956), Freedman (1962), Hawthorne (1970) telah mengembangkan
berbagai kerangka teoritis tentang perilaku fertilitas yang pada hakekatnya
bersifat sosiologis.Dalam tulisannya yang berjudul The Social structure and
fertility: an analytic framework (1956)2 Kingsley Davis dan Judith Blake
melakukan analisis sosiologis tentang fertilitas. Davis and Blake
mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas melalui apa yang
disebut sebagai variabel antara (intermediate variables).
Menurut Davis dan Blake faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya yang
mempengaruhi fertilitas akan melalui variabel antara. Ada 11 variabel antara
yang mempengaruhi fertilitas, yang masing-masing dikelompokkan dalam tiga
tahap proses reproduksi sebagai berikut:
Intermediate variables of fertility
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hubungan kelamin
(intercouse variables):
Faktor-faktor yang mengatur tidak terjadinya hubungan kelamin:
1) Umur mulai hubungan kelamin
2) Selibat permanen: proporsi wanita yang tidak pernah mengadakan
hubungan kelamin
3) Lamanya masa reproduksi sesudah atau diantara masa hubangan
kelamin:
a. Bila kehidupan suami istri cerai atau pisah
b. Bila kehidupan suami istri nerakhir karena suami meninggal dunia
b. Faktor-faktor yang mengatur terjadinya hubungan kelamin
1. Abstinensi sukarela
2. Berpantang karena terpaksa (oleh impotensi, sakit, pisah sementara)
3. Frekuensi hubungan seksual
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konsepsi (conception
variables):
1. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
tidak disengaja.
2. Menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi:
a. Menggunakan cara-cara mekanik dan bahan-bahan kimia
b. Menggunakan cara-cara lain.
3. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
disengaja (sterilisasi, subinsisi, obat-obatan dan sebagainya)

16
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan dan kelahiran (gestation
variables)
a. Mortalitas janin yang disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak
disengaja
b. Mortalitas janin oleh faktor-faktor yang disengaja.

Menurut Davis dan Blake, setiap variabel diatas terdapat pada semua
masyarakat.Sebab masing-masing variabel memiliki pengaruh (nilai)
positif dan negatifnya sendiri-sendiri terhadap fertilitas. Misalnya, jika
pengguguran tidak dipraktekan maka variabel nomor 11 tersebut bernilai
positif terhadap fertilitas. Artinya, fertilitas dapat meningkat karena tidak
ada pengguguran. Dengan demikian ketidak-adaan variabel tersebut juga
suatu masyarakat masing-masing variabel bernilai negatif atau positif
maka angka kelahiran yang sebenarnya tergantung kepada neraca netto
dari nilai semua variabel.

4.1.1 Ronald Freedman: Variabel Antara dan Norma Sosial


Menurut Freedman variabel antara yang mempengaruhi langsung
terhadap fertilitas pada dasarnya juga dipengaruhi oleh norma-norma yang
berlaku di suatu masyarakat. Pada akhirnya perilaku fertilitas seseorang
dipengaruhi norma-norma yang ada yaitu norma tentang besarnya keluarga
dan norma tentang variabel antara itu sendiri. Selanjutnya norma-norma
tentang besarnya keluarga dan variabel antara di pengaruhi oleh tingkat
mortalitas dan struktur sosial ekonomi yang ada di masyarakat.
Menurut Freedman intermediate variables yang dikemukakan Davis-
Blake menjadi variabel antara yang menghubungkan antara norma-norma
fertilitas yang sudah mapan diterima masyarakat dengan jumlah anak yang
dimiliki (outcome). Ia mengemukakan bahwa norma fertilitas yang sudah
mapan diterima oleh masyarakat dapat sesuai dengan fertilitas yang dinginkan
seseorang. Selain itu, norma sosial dianggap sebagai faktor yang dominan.
Secara umum Freedman mengatakan bahwa:Salah satu prinsip dasar
sosiologi adalah bahwa bila para anggota suatu masyarakat menghadapi
suatu masalah umum yang timbul berkali-kali dan membawa konsekuensi
sosial yang penting, mereka cenderung menciptakan suatu cara penyelesaian
normatif terhadap masalah tersebut. Cara penyelesaian ini merupakan

17
serangkaian aturan tentang bertingkah laku dalam suatu situasi tertentu,
menjadi sebagian dari kebudayaannya dan masyarakat mengindoktrinasikan
kepada para anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan norma tersebut
baik melalui ganjaran (rewards) maupun hukuman (penalty) yang implisit dan
eksplisit. ... Karena jumlah anak yang akan dimiliki oleh sepasang suami
isteri itu merupakan masalah yang sangat universal dan penting bagi setiap
masyarakat, maka akan terdapat suatu penyimpangan sosiologis apabila tidak
diciptakan budaya penyelesaian yang normatif untuk mengatasi masalah ini.
Jadi norma merupakan resep untuk membimbing serangkaian tingkah laku
tertentu pada berbagai situasi yang sama. Norma merupakan unsur kunci
dalam teori sosiologi tentang fertilitas. Dalam artikelnya yang berjudul
Theories of fertility decline: a reappraisal (1979).
Freedman juga mengemukakan bahwa tingkat fertilitas yang
cenderung terus menurun di beberapa negara pada dasarnya bukan semata-
mata akibat variabel-variabel pembangunan makro seperti urbanisasi dan
industrialisasi sebagaimana dikemukakan oleh model transisi demografi klasik
tetapi berubahnya motivasi fertilitas akibat bertambahnya penduduk yang
melek huruf serta berkembangnya jaringan-jaringan komunikasi dan
transportasi.
Menurut Freedman, tingginya tingkat modernisasi tipe Barat bukan
merupakan syarat yang penting terjadinya penurunan fertilitas. Pernyataan
yang paling ekstrim dari suatu teori sosiologi tentang fertilitas sudah
dikemukakan oleh Judith Blake. Ia berpendapat bahwa masalah ekonomi
adalah masalah sekunder bukan masalah normatif; jika kaum miskin
mempunyai anak lebih banyak daripada kaum kaya, hal ini disebabkan karena
kaum miskin lebih kuat dipengaruhi oleh norma-norma pro-natalis daripada
kaum kaya.

4.2 Teori Ekonomi tentang Fertilitas


Pandangan bahwa faktor-faktor ekonomi mempunyai pengaruh yang
kuat terhadap fertilitas bukanlah suatu hal yang baru. Dasar pemikiran utama
dari teori transisi demografis yang sudah terkenal luas adalah bahwa sejalan
dengan diadakannya pembangunan sosial-ekonomi, maka fertilitas lebih
merupakan suatu proses ekonomis dari pada proses biologis.
Berbagai metode pengendalian fertilitas seperti penundaan
perkawinan, senggama terputus dan kontrasepsi dapat digunakan oleh

18
pasangan suami istri yang tidak menginginkan mempunyai keluarga besar,
dengan anggapan bahwa mempunyai banyak anak berarti memikul beban
ekonomis dan menghambat peningkatan kesejahteraan sosial dan material.
Bahkan sejak awal pertengahan abad ini, sudah diterima secara umum bahwa
hal inilah yang menyebabkan penurunan fertilitas di Eropa Barat dan Utara
dalam abad 19. Leibenstein dapat dikatakan sebagai peletak dasar dari apa
yang dikenal dengan teori ekonomi tentang fertilitas. Menurut Leibenstein
tujuan teori ekonomi fertilitas adalah:
untuk merumuskan suatu teori yang menjelaskan faktor-faktor yang
menentukan jumlah kelahiran anak yang dinginkan per keluarga. Tentunya,
besarnya juga tergantung pada berapa banyak kelahiran yang dapat bertahan
hidup (survive). Tekanan yang utama adalah bahwa cara bertingkah laku itu
sesuai dengan yang dikehendaki apabila orang melaksanakan perhitungan-
perhitungan kasar mengenai jumlah kelahiran anak yang dinginkannya. Dan
perhitungan perhitungan yang demikian ini tergantung pada keseimbangan
antara kepuasan atau kegunaan (utility) yang diperoleh dari biaya tambahan
kelahiran anak, baik berupa uang maupun psikis. Ada tiga macam tipe
kegunaan yaitu (a) kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu barang
konsumsi misalnya sebagai sumber hiburan bagi orang tua; (b) kegunaan
yang diperoleh dari anak sebagai suatu sarana produksi, yakni, dalam
beberapa hal tertentu anak diharapkan untuk melakukan suatu pekerjaan
tertentu dan menambah pendapatan keluarga; dan (c) kegunaan yang
diperoleh dari anak sebagai sumber ketentraman, baik pada hari tua maupun
sebaliknya.
Menurut Leibenstein anak dilihat dari dua aspek yaitu aspek
kegunaannya (utility) dan aspek biaya (cost). Kegunaannya adalah
memberikan kepuasaan, dapat memberikan balas jasa ekonomi atau membantu
dalam kegiatan berproduksi serta merupakan sumber yang dapat menghidupi
orang tua di masa depan. Sedangkan pengeluaran untuk membesarkan anak
adalah biaya dari mempunyai anak tersebut. Biaya memiliki tambahan
seoarang anak dapat dibedakan atas biaya langsung dan biaya tidak langsung.
Yang dimaksud biaya langsung adalah biaya yang dikeluarkan dalam
memelihara anak seperti memenuhi kebutuhan sandang dan pangan anak
sampai ia dapat berdiri sendiri. Yang dimaksud biaya tidak langsung adalah

19
kesempatan yang hilang karena adanya tambahan seoarang anak. Misalnya,
seoarang ibu tidak dapat bekerja lagi karena harus merawat anak, kehilangan
penghasilan selama masa hamil, atau berkurangnya mobilitas orang tua yang
mempunyai tanggungan keluarga besar (Leibenstein, 1958).
Menurut Leibenstein, apabila ada kenaikan pendapatan maka aspirasi
orang tua akan berubah. Orang tua menginginkan anak dengan kualitas yang
baik. Ini berarti biayanya naik. Pengembangan lebih lanjut tentang ekonomi
fertiitas dilakukan oleh Gary S. Becker dengan artikelnya yang cukup terkenal
yaitu An Economic Analysis of Fertility.
Menurut Becker anak dari sisi ekonomi pada dasarnya dapat dianggap sebagai
barang konsumsi (a consumption good, consumers durable) yang memberikan
suatu kepuasan (utility) tertentu bagi orang tua. Bagi banyak orang tua, anak
merupakan sumber pendapatan dan kepuasan (satisfaction). Secara ekonomi
fertilitas dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, biaya memiliki anak dan selera.
Meningkatnya pendapatan (income) dapat meningkatkan permintaan terhadap
anak.
Karya Becker kemudian berkembang terus antara lain dengan terbitanya
buku A Treatise on the Family. Perkembangan selanjutnya analisis ekonomi
fertilitas tersebut kemudian membentuk teori baru yang disebut sebagai ekonomi
rumah tangga (household economics). Analisis ekonomi fertilitas yang dilakukan
oleh Becker kemudian diikuti pula oleh beberapa ahli lain seperti Paul T. Schultz,
Mark Nerlove, Robert J. Willis dan sebagainya. Dalam tulisannya yang
berjudul Economic growth and population: Perspective of the new home
economics6 Nerlove mengemukakan:
Ekonomi rumah tangga terdiri dari empat unsur utama, yaitu (a) suatu fungsi
kegunaan. Yang dimaksud kegunaan disini bukanlah dalam arti komoditi fisik
melainkan berbagai kepuasan yang dihasilkan rumah tangga; (b) suatu teknologi
produksi rumah tangga; (c) suatu lingkungan pasar tenaga kerja yang
menyediakan sarana untuk merubah sumber-sumber daya rumah tangga menjadi
komoditi pasar; dan (d) sejumlah keterbatasan sumber-sumber daya rumah
tangga yang terdiri dari harta warisan dan waktu yang tersedia bagi setiap
anggota rumah tangga untuk melakukan produksi rumah tangga dan
kegiatankegiatan pasar. Waktu yang tersedia dapat berbeda-beda kualitasnya,
dan dalam hal ini tentunya termasuk juga sumberdaya manusia (human capital)
yang diwariskan dan investasi sumberdaya manusia dilakukan oleh suatu

20
generasi baik untuk kepentingan tingkah laku generasi-generasi yang akan
datang maupun untuk kepentingan tingkah laku sendiri.
Dalam analisis ekonomi fertilitas dibahas mengapa permintaan akan anak
berkurang bila pendapatan meningkat; yakni apa yang menyebabkan harga
pelayanan anak berkaitan dengan pelayanan komoditi lainnya meningkat jika
pendapatan meningkat?
New household economics berpendapat bahwa :
a. orang tua mulai lebih menyukai anak-anak yang berkualitas lebih tinggi dalam
jumlah yang hanya sedikit sehingga harga beli meningkat;
b. bila pendapatan dan pendidikan meningkat maka semakin banyak waktu
(khususnya waktu ibu) yang digunakan untuk merawat anak. Jadi anak
menjadi lebih mahal.
Di dalam setiap kasus, semua pendekatan ekonomi melihat fertilitas sebagai
hasil dari suatu keputusan rasional yang didasarkan atas usaha untuk
memaksimalkan fungsi utility ekonomis yang cukup rumit yang tergantung pada
biaya langsung dan tidak langsung, keterbatasan sumberdaya, selera. Topik-topik
yang dibahas dalam ekonomi fertilitas antara berkaitan dengan pilihan-pilihan
ekonomi seseorang dalam menentukan fertilitas (jumlah dan kualitas anak).
Pertimbangan ekonomi dalam menentukan fertilitas terkait dengan income, biaya
(langsung maupun tidak langsung), selera, modernisasi dan sebagainya.
Sejalan dengan apa yang telah dikemukakan Becker, Bulato menulis
tentang konsep demand for children and supply of children. Konsep demand for
children dan supply of children dikemukakan dalam kaitan menganalisis economic
determinan factors dari fertilitas. Bulatao mengartikan konsep demand for
childrensebagai jumlah anak yang dinginkan. Termasuk dalam pengertian jumlah
adalah jenis kelamin anak, kualitas, waktu memliki anak dan sebagainya.
Konsep demand for children diukur melalui pertanyaan survey tentang
jumlah keluarga yang ideal atau diharapkan atau diinginkan. Pertanyaannya,
apakah konsep demand for children berlaku di negara berkembang. Apakah
pasangan di negara berkembang dapat memformulasikan jumlah anak yang
dinginkan? Menurut Bulato, jika pasangan tidak dapat memformulasikan jumlah
anak yang dinginkan secara tegas maka digunakan konsep latent demand dimana
jumlah anak yang dinginkan akan disebut oleh pasangan ketika mereka ditanya.
Menurut Bulatao, modernisasi berpengaruh terhadap demand for
children dalam kaitan membuat latent demand menjadi efektif. Menurut

21
Bulatao, demand for children dipengaruhi (determined) oleh berbagai faktor
seperti biaya anak, pendapatan keluarga dan selera. Dalam artikel tersebut Bulato
membahas masing-masing faktor tersebut (biaya anak, pendapatan, selera) secara
lebih detail. Termasuk didalamnya dibahas apakah anak bagi keluarga di negara
berkembang merupakan net supplier atau tidak. Sedang supply of
children diartikan sebagai banyaknya anak yang bertahan hidup dari suatu
pasangan jika mereka tidak berpisah/cerai pada suatu batas tertentu. Supply
tergantung pada banyaknya kelahiran dan kesempatan untuk bertahan
hidup. Supply of children berkaitan dengan konsep kelahiran alami (natural
fertility).
Menurut Bongart dan Menken fertilitas alami dapat diidentifikasi melalui lima
hal utama, yaitu:
a. Ketidak-suburan setelah melahirkan (postpartum infecundibality)
b. Waktu menunggu untuk konsepsi (waiting time to conception)
c. Kematian dalam kandungan (intraurine mortality)
d. Sterilisasi permanen (permanent sterility)
e. Memasuki masa reproduksi (entry into reproductive span)

Analisis ekonomi tentang fertilitas juga dikemukakan oleh Richard A.


Easterlin. Menurut Easterlin permintaan akan anak sebagian ditentukan oleh
karakteristik latar belakang individu seperti agama, pendidikan, tempat tinggal,
jenis/tipe keluarga dan sebagainya. Setiap keluarga mempunyai norma-norma dan
sikap fertilitas yang dilatarbelakangi oleh karakteristik diatas. Easterlin juga
mengemukakan perlunya menambah seperangkat determinan ketiga (disamping
dua determinan lainnya: permintaan anak dan biaya regulasi fertilitas) yaitu
mengenai pembentukan kemampuan potensial dari anak. Hal ini pada gilirannya
tergantung pada fertilitas alami (natural fertility) dan kemungkinan seorang bayi
dapat tetap hidup hingga dewasa.
Fertilitas alami sebagian tergantung pada faktor-faktor fisiologis atau biologis,
dan sebagian lainnya tergantung pada praktek-praktek budaya. Apabila pendapatan
meningkat maka terjadilah perubahan suplai anak karena perbaikan gizi,
kesehatan dan faktor-faktor biologis lainnya. Demikian pula perubahan permintaan
disebabkan oleh perubahan pendapatan, harga dan selera. Pada suatu saat
tertentu, kemampuan suplai dalam suatu masyarakat bisa melebihi permintaan atau
sebaliknya.

22
Easterlin berpendapat bahwa bagi negara-negara berpendapatan rendah
permintaan mungkin bisa sangat tinggi tetapi suplainya rendah, karena terdapat
pengekangan biologis terhadap kesuburan. Hal ini menimbulkan suatu permintaan
berlebihan (excess demand) dan juga menimbulkan sejumlah besar orang yang
benar-benar tidak menjalankan praktek-praktek pembatasan keluarga. Di pihak
lain, pada tingkat pendapatan yang tinggi, permintaan adalah rendah sedangkan
kemampuan suplainya tinggi, maka akan menimbulkan suplai berlebihan (over
supply) dan meluasnya praktek keluarga berencana. John C. Caldwell juga
melakukan analisis fertilitas dengan pendekatan ekonomi sosiologis.
Tesis fundamentalnya adalah bahwa tingkah laku fertilitas dalam masyarakat
pra-tradisional dan pasca-transisional itu dilihat dari segi ekonomi bersifat rasional
dalam kaitannya dengan tujuan ekonomi yang telah ditetapkan dalam masyarakat,
dan dalam arti luas dipengaruhi juga oleh faktor-faktor biologis dan psikologis.
Teori Caldwell menekankan pada pentingnya peranan keluarga dalam arus
kekayaan netto (net wealth flows) antar generasi dan juga perbedaan yang tajam
pada regim demografis pra-transisi dan pasca-transisi. Caldwell mengatakan bahwa
sifat hubungan ekonomi dalam keluarga menentukan kestabilan atau ketidak-
stabilan penduduk. Jadi pendekatannya lebih menekankan pada dikenakannya
tingkah laku fertilitas terhadap individu (atau keluarga inti) oleh suatu kelompok
keluarga yang lebih besar (bahkan yang tidak sedaerah) dari pada oleh norma-
norma yang sudah diterima masyarakat. Seperti diamati oleh Caldwell, didalam
keluarga selalu terdapat tingkat eksploitasi yang besar oleh suatu kelompok (atau
generasi) terhadap kelompok atau generasi lainnya, sehingga jarang dilakukan
usaha pemaksimalan manfaat individu. Selain teori yang disajikan dalam tulisan ini
masih banyak teori lain yang membahas fertilitas. Namun karena keterbatasan
tempat tidak semua teori fertilitas dapat disajikan dalam tulisan ini.

5. STUDI FERTILITAS DI INDONESIA


Indonesia sering di jadikan contoh keberhasilan dalam upaya penurunan angka
kelahiran yang relatif cukup cepat. Keberhasilan tersebut disebabkan oleh adanya
intervensi pemerintah melalui pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB), yang
dilaksanakan sejak awal tahun 1970-an. Pemerintah pada waktu itu berkeyakinan
bahwa jumlah penduduk yang besar merupakan penghambat bagi pertumbuhan

23
ekonomi yang cepat. Oleh sebab itu, penurunan angka kelahiran merupakan
persyarat bagi pertumbuhan ekonomi.
Program KB yang dilaksanakan pemerintah tidak saja mengajak pasangan
suami istri untuk mengatur jumlah keluarga mereka dengan menggunakan alat-alat
kontrasepsi modern, tetapi juga memperkenalkan nilai-nilai baru tentang keluarga
kecil bahagia dan sejahtera. Program KB di Indonesia turut berkontribusi
menurunkan angka fertilitas total dari 5,6 pada tahun 1967-1970 menjadi 2,8 pada
tahin 1991-1994 dan terus menurun menjadi 2,34 pada tahun 1997-2000 (Sensus
Penduduk 2000). Sementara itu, angka kelahiran kasar (CBR) telah menurun dari
sekitar 43 kelahiran per 1.000 penduduk pada tahun 1967-1970 menjadi sekitar 23
kelahiran per 1.000 penduduk pada periode 1991-1994.
Tabel 4.6 menunjukkan kelahiran kasar di Indonesia pada periode 1900-2025.
Jika menengok angka-angka fertilitas pada masa lalu, maka terlihat bahwa fertilitas
di Indonesia pada awal abab ke-20 sampai dengan masa Perang Dunia II terus
meningkat, kemudian berfluktuasi selama masa resesi ekonomi, penjajahan Jepang,
dan masa perang kemerdekaan. Angka fertilitas tersebut terus meningkat dan
mencapai puncaknya pada tahun 1955. Ketika pemerintah Soekarno yang dianggap
pronatalis berakhir pada tahun 1967 dan Soeharto menjabat sebagai presiden RI
yang kedua, maka kebijakan kependudukan berubah dari pronatalis menjadi
antinatalis dengan di lucurkannya program pengaturan dan pembatasan jumlah anak.

Tabel 4.6

Angka Kelahiran Kasar Indonesia , Tahun 1900-2025

Periode CBR Periode CBR Periode CBR


1990-1920 45,5 1961-1970 43,0 2000 20,6
1930-1935 45,3 1971-1980 38,0 2005 19,5
1935-1940 44,9 1980-1984 32,0 2010 18,4
1940-1945 39,0 1986-1989 27,9 2015 17,3
1945-1950 40,3 1988-1991 25,1 2020 16,3
1950-1955 47,3 1991-1994 23,3 2025 15,3
1955-1960 46,6 1990-2000 22,3

Sumber. Tahun 1900-1960: Nitisastro(1970), Tahun 1961-1980: Mc Nicoll dan Singarimbun


(1983), Tahun 1981-1980: SDKI 1991, Tahun 1991-1994:SDKI 1997, Tahun 1990-2000:
Ananta dan Anwar (1994), Tahun 2000 dan seterusnya: Proyeksi BPS, Bappenas, dan
UNFPA, 2005.

24
Peraturan angka kelahiran kasar ini diperkirakan masih akan terjadi apabila
pengaturan jumlah anak, persepsi tentang anak ideal, kebutuhan untuk peningkatan kualitas
keturunan, serta kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga semakin besar. Pada
tabel 4.7disajikan angka fertilitas total di Indonesia pada periode 1971-1999 dari beberapa
sensus dan survei-survei mengenai fertilitas.

Tabel 4.7

Angka Fertilitas Total (TFR) Indonesia, Tahun 1967-1997

Tahun TFR
1967-1970 5,61
1971-1975 ` 5,20
1976-1979 4,68
1980-1985 4,06
1986-1989 3,31
1991-1994 2,85
1995-1997 2,78
1997-1999 2,6

Terlihat bahwa TFR Indonesia terus menurun dari 5,6 anak per ibu pada periode 1967-1970
menjadi 2,6 anak per ibu menurun SP 2000.

Jika diperinci menurut provinsi di Indonesia, maka terlihat bahwa provinsi-provinsi


yang termasuk dalam wilayah Jawa-Bali telah mengalamai penurunan yang cukup signifikan
dalam tingkat fertilisasinya, terutama untuk provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Bali
(Tabel 4.8). Untuk wilayah Luar Jawa-Bali I, angka fertilitas total terendah dicapai oleh
Provinsi Sulawesi Utara, yaitu 2,66 pada tahun 1991-1994. Sementara itu, di wilayah luar
Jawa-Bali II angka fertilitas total terendah dicapai oleh provinsi Kalimantan Timur, yaitu 2,96
pada tahun 1991-1994 menjadi 2,50 pada tahun 1996-1999. Wirakartakusumah dan Arifin
(1995) memperkirakan bahwa sebelum abad ke-20 berakhir, diperkirakan beberapa provinsidi
Indonesia seperti Bali, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Sulawesi Utara sudah akan

25
mengakhiri masa transisi demografinya, dan pada abad ke-21 akan memasuki era
pascatransisi demografi.

Menurut berbagai studi yang telah dilakukan, penurunan angka fertilitas total yang
terjadi di Indonesia selain disebabkan oleh pelaksanaan program KB, juga di pengaruhi oleh
beberapa faktor berikut ini.

1. Umur Kawin Pertama


Dalam masyarakat Indonesia, hubungan antara laki-laki dan perempuan dipandang harus
melalui lembaga perkawinan yang sah menurut norma agama dan menurut Undang-
Undang Perkawinantahun 1974. Selain itu, karena usia perkawinan juga dipengaruhi oleh
adat istiadat dan anggapan masyarakat tentang umur berapa sebaiknya perempuan
menikah, maka umur kawin pertama dapat menjadi indikator dimulainya seseorang
perempuan berpeluang untuk hamil dan melahirkan. Dalam kondisi seperti ini,
perempuan yang kawin pada usia muda mempunyai rentang waktu untuk kehamilan dan
melahirkan lebih panjang dibandingkan dengan mereka yang kawin pada umur yang
lebih tua dan mempunyai lebih banyak anak dibandingkan dengan mereka yang
menikahpada umur lebih tua.

2. Peningkatan Pendidikan Perempuan


Kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi semakin
terbuka pada saat ini, sehingga menyebabkan banyak perempuan yang menunda
perkawinan untuk menyelesaikan pendidikan yang diinginkan. Selain itu, perempuan
yang berpendidikan tinggi cenderung memilih terjun ke pasar kerja terlebih dahulu
sebelum memasuki perkawinan. Kalaupun mereka menikah pada usia lebih muda,
pengetahuan mereka tentang alat pencegahan kehamilan cukup tinggi sehingga sebagian
dari mereka menunda kelahiran anak atau menyelesaikan masa reproduksi, baru
kemudian terjun ke pasar kerja.

26
Tabel 4.9
Angka Fertilitas Total menurut Pendidikan Perempuan, Tahun 1997

Pendidikan Angka Fertilitas Total


(TFR)
SDKI1994 SDKI 1997
Tidak sekolah 2,88 2,66
Tidak Tamat 3,28 3,23
SD
Tamat SD 2,96 2,96
SLTP + 2,57 2,55

Sumber. SDKI 1994. SDKI 1997.

Akan tetapi, beberapa hasil studi di Indonesia menunjukkan adanya hubungan yang
berbentuk huruf U terbalik antara tingkat pendidikan dan jumlah anak yang dipunyai.
Hal seperti ini diketemukan pertama kali di Yogyakarta oleh Hull dan Hull (1967) pada
awal tahun 1970-an. Pada waktu itu, penjelasannya adalah kelompok perempuan yang
berpendidikan rendah lebih sering mengalami perceraian sehingga jumlah anak yang
dipunyai lebih sedikit. Juga ada kemungkinan bahwa jumlah perempuan yang
berpendidikan di atas SD masih sedikit, sehingga karakteristik perempuan didominasi
oleh perempuan dengan pendidikan rendah. Hasil SDKI tahun 1994 dan 1997 masih
menunjukkan hubungan dengan bentuk huruf U terbalik. Akan tetapi setelah tamat SD,
fertilitas menunjukkan penurunan dengan meningkatkan pendidikan.

3. Partisipasi Perempuan dalam Pasar Kerja


Peningkatan pendidikan bagi perempuan dan peningkatan peluang bagi perempuan untuk
bekerja menyebabkan peningkatan partisipasi angkatan kerja peempuan. Semakin
terbukanya industri, terutama industri garmen, elektronik, serta industri jasa
menyebabkan banyak perempuan terjun ke pasar kerja. Hal ini menyebabkan pula
terjadinya penundaan usia kawin pertama. Hatmadji dan Suradji (1979) menjelaskan
bahwa hasil Supas 1985 memperlihatkan bahwa perempuan yang hanya mengurus
rumah tangga saja cenderung mempunyai anak yang lebih banyak, sedangkan perempuan
yang bekerja mempunyai anak lenih sedikit. Selanjutnya mereka menambahkan bahwa
perbedaan jumlah anak yang dilahirkan antara perempuan yang bekerja dan mengurus
rumah tangga lebih besar di perkotaan daripada di pedesaan.

4. Lingkuan Tempat Seseorang dibesarkan

27
Tempat tinggal dari lahir sampai berumur 12 tahun dianggap mempengaruhi persepsi dan
jalan pikiran seseorang untuk bersikap dan berperilaku, termasuk perilaku melahirkan.
Seseorang yang dibesarkan di perkotaan akan mempunyai sikap dan perilaku yang
dipengaruhi oleh situasi perkotaan yang umumnya lebih modern dibandingkan dengan
mereka yang dibesarkan di daerah pedesaan. Selain itu, tempat tinggal diperkotaan
memudahkan diperolehnya informasi tentang berbagai pengetahuan modern termasuk
mengenai metode pengaturan dan pencegahan kehamilan dibandingkan di pedesaan.
Oleh sebab itu, muncul dugaan bahwa angka kelahiran didaerah perkotaan akan lebih
rendah dibandingkan dengan angka kelahiran dipedesaan. Hasil SDKI 1997
menunjukkan bahwa angka fertilitas total di perkotaan lebih rendah dibandingkan dengan
angka fertilitas total di pedesaan, yaitu masing-masing 2,40 dan 2,98.

5. Sosial budaya dan Bias Gender


Dalam budaya Indonesia, peran perempuan adalah sebagai ibu dan istri yang
bertanggung jawab pada penyelenggaraan rumah tangga, sedangkan suami lebih
berperan untuk mencari nafkah. Pembagian peran yang sangat jelas ini juga berpengaruh
terhadap pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Suami yang dianggap sebagai
kepala keluarga adalah seseorang yang dianggap berhak mengambil keputusan,
termasuk dalam pemakaian alat kontrasepsi. Dalam keluarga yang mempunyai
pengaturan peran yang ketat, maka keikutsertaan istri dalam KB akan bergantung pada
izin suami. Lain halnya dengan keluarga modern, dimana pendidikan laki-laki dan
perempuan umumnya sama tinggi. Dalam keadaan seperti ini, perempuan umumnya
mampu menentukan sendiri jumlah anak yang diinginkan serta memakai kontrasepsi
jenis apa untuk mencapai jumlah anak tersebut. Keputusan akhir sering dilakukan
bersama-sama dengan suami.

DAFTAR PUSTAKA

http://widyaastuti-agrittude.blogspot.co.id/2011/11/fertilitas-penduduk.html

28

Anda mungkin juga menyukai