PENDAHULUAN
Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata dari
seseorang wanita atau sekelompok wanita. Dengan kata lain fertilitas ini menyangkut
banyaknya bayi yang lahir hidup. Fekunditas, sebaliknya, merupakan potensi fisik untuk
melahirkan anak. Jadi merupakan lawan arti kata sterilitas. Natalitas mempunyai arti sama
dengan fertilitas hanya berbeda ruang lingkupnya. Fertilitas mencakup peranan kelahiran
pada perubahan penduduk sedangkan natalitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan
penduduk dan reproduksi manusia.
Istilah fertilitias sering disebut dengan kelahiran hidup (live birth), yaitu terlepasnya
bayi dari rahim seorang wanita dengan adanya tanda-tanda kehidupan, seperti bernapas,
berteriak, bergerak, jantung berdenyut dan lain sebagainya. Sedangkan paritas merupakan
jumlah anak yang telah dipunyai oleh wanita. Apabila waktu lahir tidak ada tanda-tanda
kehidupan, maka disebut dengan lahir mati (still live) yang di dalam demografi tidak
dianggap sebagai suatu peristiwa kelahiran.
Kemampuan fisiologis wanita untuk memberikan kelahiran atau berpartisipasi dalam
reproduksi dikenal dengan istilah fekunditas. Tidak adanya kemampuan ini disebut
infekunditas, sterilitas atau infertilitas fisiologis.
Pengetahuan yang cukup dapat dipercaya mengenai proporsi dari wanita yang
tergolong subur dan tidak subur belum tersedia. Ada petunjuk bahwa di beberapa masyarakat
yang dapat dikatakan semua wanita kawin dan ada tekanan sosial yang kuat terhadap wanita/
pasangan untuk mempunyai anak, hanya sekiat satu atau dua persen saja dari mereka yang
telah menjalani perkawinan beberapa tahun tetapi tidak mempunyai anak. Seorang wanita
dikatakan subur jika wanita tersebut pernah melahirkan paling sedikit seorang bayi.
Pengukuran fertilitas lebih kompleks dibandingkan dengan pengukuran mortalitas
(kematian) karena seorang wanita hanya meninggal sekali, tetapi dapat melahirkan lebih dari
seorang bayi. Kompleksnya pengukuran fertilitas ini karena kelahiran melibatkan dua orang
(suami dan istri), sedangkan kematian hanya melibatkan satu orang saja (orang yang
meninggal). Seseorang yang meninggal pada hari dan waktu tertentu, berarti mulai saat itu
orang tersebut tidak mempunyai resiko kematian lagi. Sebaliknya, seorang wanita yang telah
melahirkan seorang anak, tidak berarti resiko melahirkan dari wanita tersebut menurun.
1
BAB 2
PEMBAHASAN
2
Ukuran-ukuran dasar fertilitas dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan
pendekatan. Pendekatan yang berbasis ukuran yang sifatnya kerat lintang (cross
sectional), umumnya satu ataulima tahunan (yearly performance), yang sering pula
disebut dengan istilah current fertility. Ukuran-ukuran ini mencerminkan tingkat
fertilitas dari suatu kelompok penduduk atau kelompok perempuan dalam suatu waktu
tertentu. Pendekatan dengan ukuran yang sifatnya mencerminkan riwayat kelahiran
atau riwayat reproduksi (reproductive history). Ukuran ini mencerminkan sejarah
kelahiran semasa hidup seorang perempuan dari awal sampai akhir masa reproduksi
(15-49 tahun). Pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan yang bersifat
longitudinal.
Ada enam ukuran fertilitas yang bersifat kerat lingtang, yaitu angka
kelahiran kasar, angka fertilitas umum, angka kelahiran menurut umur, angka fertilitas
total, angka lahir hidup, dan rasio anak wanita.
Dimana :
B : jumlah kelahiran selama 1 tahun
P : jumlah penduduk dalam pertengahan tahun
K : bilangan konstan, biasanya 1000
187.974
CBR = x 1.000=20,6 per 1.000 penduduk
9.112 .652
CBR sebesar 20,6 berarti bahwa setiap 1.000 penduduk di DKI Jakarta terdapat
antara 20 sampai 21 kelahiran hidup pada tahun 1995. CBR DKI Jakarta ini lebih
rendah dari CBR Indonesia yang sebesar 23,9 pada tahun 1995.
3
Perhitungan CBR masih merupakan perhitungan yang sangat kasar. Ukuran ini
disebut sebagai angka kasar (crude) karena penduduk terpapar yang digunakan
sebagai penyebut adalah penduduk dari semua jenis kelamin termasuk laki-laki,
dan semua umur termasuk anak-anak dan orang tua, yang tidak mempunyai
potensi untuk melahirkan.
Dimana :
Bf : banyaknya kelahiran selama 1 tahun
P15-49 : banyaknya penduduk perempuan umur 15-49 tahun pada pertengahan
tahun
P15-44 : banyaknya penduduk perempuan umur 15-44 tahun pada pertengahan
tahun
K : bilangan konstan, biasanya 1.000
Hasil supas 1995 menunjukan bahwa ada sekitar 3.127.404 wanita berumur
15-49 tahun di DKI Jakarta. Dengan jumlah kelahiran hidup sebesar 187.974,
maka angka fertilitas umum dapat dihitung sebesar :
187.974
GFR = 3.127 .404 x 1.000
= 60,1 per 1.000 penduduk perempuan usia 15-49 tahun
Angka 60,1 ini berarti bahwa pada tahun 1995 untuk setiap seribu penduduk
perempuan usia subur di DKI Jakarta, terdapat 60 bayi yang dilahirkan. Meskipun
ukuran ini masih bersifat umum (general), dalam keadaan kelangkaan data, ukuran
ini sudah dapat memberikan cerminan tingkat kelahiran di DKI Jakarta.
Dibandingkan dengan angka kelahiran kasar (CBR), GFR lebih cermat karena
sudah memperhitungkan penduduk yang mempunyai potensi melahirkan, yaitu
perempuan usia subur (15-49 tahun). Meskipun demikian, masih terdapat
kelemahan pada ukuran tersebut karena belum memperhitungkan kenyataan
bahwa potensi perempuan dikaitkan dengan tingkat kesuburan atau frekunditas
untuk melahirkan, berbeda-beda menurut umur perempuan. Sebagai contoh,
4
perempuan usia subur muda dibawah 17 tahun umumnya mempunyai tingkat
kesuburan (fecundity) yang masih rendah. Secara umum, tingkat kesuburan akan
semakin meningkat bersamaan dengan meningkatnya usia perempuan dan
akhirnya menurun kembali pada sekitar usia 35 tahun. Dengan kata lain, kurva
kesuburan menurut umur berbentuk huruf U terbalik. Dengan demikian, untuk
mendapatkan ukuran fertilitas yang akurat perlu memperhitungkan potensi
melahirkan menurut umur.
tertentu.
5
1. Ukuran ASFR lebih cermat dibandingkan GFR karena telah memperhitungkan
kemampuan perempuan untuk melahirkan (tingkat kesuburan) sesuatu dengan
umurnya.
2. Dengan ASFR, memungkinkan untuk dilakukannya studi fertilitas menurut
kohor (tahun kelahiran) atau menurut kelompok umur tertentu.
3. ASFR merupakan dasar perhitungan ukuran fertilitas yang selanjutnya, yakni
ukuran reproduksi(Total Fertility-TFR, Gross Reproduction Rate-GRR, dan
Net Reproduction-NRR)
Gambar 4.1 memperlihatkan pola ASFR untuk beberapa negara maju dan
beberapa negara berkembang. Di negara-negara maju seperti kanada, Prancis, dan
Jepang, ASFR untuk perempuan muda usia 15 tahun masih sangat rendah, yakni
dibawah 20 kelahiran per 1.000 perempuan usia 15 tahun. ASFR mencapai
puncaknya pada usia sekitar 25 tahun kemudian menurun pesat setelah itu.
Sebaliknya dinegara berkembang seperti Uganda, Nigeria, atau Maladew, ASFR
usia 15-19 tahun. ASFR masih tetap tinggi pada usia beresiko melahirkan, yakni
35 tahun ke atas. Perbedaan pola ASFR antara negara maju dan berkembang
dapat menunjukan perbedaan adat istiadat tentang anggapan masyarakatnya
mengenai usia kawin pertama dan tentang besarnya keluarga.
Diantara negara berkembang dan negara maju seperti Thailand, Indonesia dan
Cina dimana konsep keluarga kecil sudah mulai diterima, namun pergeseran dari
kawin muda dan kawin lebih tua sedang berjalan. ASFR pada kelompok umur 15-
19 berkisar antara nol di China dan 50 per 1.000 perempuan di Indonesia,
mencapai puncak pada umur 20-30 tahun, kemudian menurin dengan pesat
sesudah usia tersebut.
6
Menurut Henry (1961), pola ASFR seperti yang ditunjukan oleh perempuan
negara berkembang merupakan pola fertilitas natural (natural fertility) dimana
pemakaian alat kontrasepsi hampir tidak ada atau masih minim sekali. Sedangkan
dinegara maju, pola ASFR dapat dikatakan sebagai pola fertilitas modern
(modern fertility) Ryder (1967) atau fertilitas yang telah diintervensi dengan
pemakaian alat kontrasepsi.
7
TFR=5 ASFR
i=1
Dimana :
i=1 : Kelompok umur 20-24 tahun, ..., dan i = 7 untuk kelompok umur
45-49 tahun.
Dengan menggunakan data ASFR pada table 4.1 TFR untuk DKI Jakarta tahun
1995 dapat diperoleh dengan cara berikut ini :
= 5 X 385
7
Nilai TFR = 1,9 dapat diartikan bahwa rata-rata setiap perempuan DKI Jakarta
yang mampu menyelesaikan masa reproduksinya (15-49 tahun) akan mempunyai
anak antara 1 dan 2 orang. Angka ini cukup rendah dibandingkan dengan angka
fertilitas total nasional, yakni sebesar 2,8 anak per perempuan pada tahun 1995.
Keunggulan angka fertilitas total (TFR) adalah angka ini dapat dijadikan ukuran
kelahiran untuk seorang perempuan selama usia reproduksinya (15-49 tahun) dan
telah memperhitungkan tingkat kesuburan perempuan pada masing-masing
kelompok umur.
Pada tabel 4.2 disajikan perhitungan jumlah ALH rata-rata perempuan di DKI
jakarta berdasarkan hasil Survei Penduduk antar Sensus (Supas) 1995.
Tabel 4.2
Anak lahir Hidup (ALH) Rata-rata per Perempuan Pernah Kawin
Provinsi DKI Jakarta, Tahun 1995
8
Jumlah 1.660.922 4.079.269 2,46
Catatan: jumlah ALH rata-rata perempuan pada akhir masa reproduksi (umur 45-49 tahun) disebut
juga ukuran keluarga yang lengkap (completed family size)
Sumber : Biro Pusat Statistik, 1996
Terlihat bahwa semakin tua umur perempuan maka semakin besar jumlah ALH
rata-rata, bervariasi dari 0,5 anak per ibu pada kelompok umur 15-49 tahun, ke
3,67 anak per iu pada kelompok umu 45-49 tahun. Oleh karena itu, jumlah ALH
rata-rata adalah ukuran yang bersifat kumulatif, yakni banyaknya kelahiran sejak
perempuan menikah pertama kali sampai usia pada saat pencacahan.
Kelebihan utama dari ukuran jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup
(ALH) adalah sebagai berikut :
1. Kemudahan dalam memperoleh data, terutama dari sensus dan survei.
2. Tidak ada referensi waktu, karena menyatakan jumlah anak yang lahir hidup
dari semenjak seorang perempuan menikah pertama kali.
Namun demikian, ukuran jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup (ALH)
juga memiliki kelemahan :
1. Jumlah ALH menurut kelompok umur sering tidak akurat apabila terdapat
kesalahan dalam pelaporan umur ibu, terutama di negara yang sedang
berkembang.
2. Oleh karena sifat datanya yang retrospektif, maka ada kecenderungan faktor
kelupaan (memory lapse) dalam melaporkan banyaknya kelahiran, terutama
dari perempuan kelompok umur yang lebih tua. Hal ini terjadi kalau banyak
diantara anak mereka yang lahir hidup, tetapi sudah meninggal pada saat
pencacahan atau tinggal diluar rumah tangga pencacahan.
Pf 15-44
9
Dimana :
P0-4 : banyaknya penduduk perempuan umur 0-4 tahun
P f15-44 : banyaknya perempuan umur 15-44 tahun
P f15-49 : banyaknya perempuan umur 15-49 tahun
k : bilangan konstan, biasanya 1.000
Sebagai contoh dilaporkan ada sekitar 787,979 anak kelompok umur 0-4 tahun di
DKI Jakarta pada tahun 1995. Pada saat yang sama, banyaknya aperempuan pada
kelompok umur 15-49 tahun adalah 2.857.404 orang. Dengan demikian, ukuran
CWR dapat diketahui sebesar 276 anak per 1.000 perempuan usia 15-49 tahun
dengan perhitungan sebagai berikut :
787.977
CWR = x 1.000
2.857 .404
= 275,8 dibulatkan menjadi 276
Perlu dicatat bahwa perhitungan rasio anak wanita (CWR) cenderung memakai
jumlah anak usia 0-4 tahun, atau dapat juga dipakai 0-9 tahun dan bukan 0-1
tahun. Hal ini dikarenakan beberapa hal, antara lain sebagai berikut :
1. Data dari hasil sensus penduduk dan survei pada umumnya di publikasikan
dalam bentuk kelompok umur 5 tahunan.
2. Masalah kesalahan dalam pelaporan jumlah kelahiran dan pelaporan umur
(Under enumeration) lebih banyak terjadi pada usia 0-1 tahun dibandingkan
umur anak yang lebih tua.
Berikut ini adalah beberapa kelebihan dari ukuran rasio anak wanita (CWR)
1. Rasio anak wanita merupakan ukuran yang sederhana dan datanya mudah
diperoleh dari sensus dan survei, yakni dengan pertanyaan: berapa jumlah
anak ibu yang dilahirkan hidup, termasuk yang sekarang sudah meninggal?
2. Rasio ini berguna untuk indikasi fertilitas di daerah luas wilayah yang kecil
dan tidak memungkinkan dibuat angka fertilitas menurut umur dan angka
fertilitas total yang memerlukan sampel yang cukup besar untuk
perhitungannya.
Berikut ini adalah kelemahan dari ukuran rasio anak wanita.
1. Kualitasnya sangat dipengaruhi secara langsung oleh kualitas pelaporan
jumlah anak dan pelaporan umur anak maupun umur ibu. Dibanyak negara
berkembang, dimana penduduk umumnya tidak mempunyai catatatn tentang
kelahiran anak dan umur ibu, kualitas pelaporan akan semakin rendah.
2. Ukuran ini tidak dapat menangkap kasus kematian anak maupun kematian, ibu
khususnya anak berusia dibawah satu tahun. Sehingga ada kemungkinan CWR
diperkirakan terlalu rendah dibandingkan dengan kenyataan sebenarnya.
10
3. Tidak memperhitungkan tingkat kesuburan perempuan menurut umur, seperti
halnya ASFR.
3. UKURAN REPRODUKSI
Dalam analisisi fertilitas dikenal pula ukuran reproduksi. Angka reproduksi, yaitu
ukurang yang berkenaan dengan kemampuan seseorang perempuan untuk
menggantikan dirinya. Oleh karena itu, hanya bayi perempuan yang disertakan dalam
perhitungan ukuran reproduksi. Berikut adalah beberapa ukurang reproduksi yang
dimaksud :
3.1 Angka Reproduksi Bruto (Gross Reproduction Rate GRR)
Adalah banyaknya perempuan yang akan dilahirkan oleh suatu kohor perempuan
selama usia reproduksi mereka. Kohor kelahiran adalah kelompok perempuan
yang mulai melahirkan pada usia yang sama dan bersama-sama mengikuti
perjalanan reproduksi sampai masa usia subur selesai. Ukuran GRR dapat
diperoleh dengan dua cara, yaitu menggunakan angka fertilitas total (TFR) atau
menggunakan angka fertilitas menurut umur (ASFR).
1. Perhitungan langsung dari TFR dengan menggunakan rasio jenis kelamin pada
saat lahir.
Jika diketahui TFR dan rasio jenis kelamin pada saat lahir adalah 105 (terdapat
105 bayi laki-laki di banding 100 bayi perempuan, maka rumus GRR adalah
sebagai berikut :
100
GRR = x TFR
205
Contoh :
Pada bagian sebelumnya telah dihitung bahwa TFR per 1.000 perempuan usia
15-49 tahun. DKI Jakarta menurut supas 1995 adalah 1.925. maka GRR DKI
Jakarta menurut supas 1995 adalah :
100 100
x TFR= x 1.925
205 205
= 933 anak perempuan per 1.000 perempuan usia 15-49 tahun.
= 0,939 anak perempuan per perempuan usia 15- 49 tahun.
11
ibu untuk melahirkan. Dengan demikian diperoleh kesimpulan bahwa jika
1.000 ibu digantikan oleh 939 anak perempuan yang kelak akan menggantikan
ibunya meneruskan keturunan maka dapat dipastikan bahwa jumlah penduduk
jakarta suatu saat akan berkurang. Seperti yang terjadi di negara-negara maju,
seperti jepang dan jerman.
7
GRR=5 ASFR
i=1
Dimana :
ASFRi : angka kelahiran menurut umur untuk bayi perempuan untuk
perempuan pada kelopok umur i
Table 4.3
Perhitungan Angka Reproduksi Brutto (GRR)
Provinsi DKI Jakarta, tahun 1995
Tabel 4.4.
Perhitungan angka reproduksi Bersih (NRR) Provinsi DKI Jakarta,
tahun 1995
13
hidup sampai seumur ibunya waktu melahirkan mereka. Apabila keadaan ini
berlangsung terus dalam waktu yang lama, maka penduduk DKI Jakarta akan
mencapai tingkat penduduk tumbuh seimbang (PTS), dimana seorang ibu akan
digantikan oleh anak perempuan yang akan melahirkan seorang anak
perempuan. Kemudian, anak perempuan ini akan melahirkan seorang anak
perempuan pula. Demikian seterusnya dengan catatan migrasi dianggap
bernilai nol.
NRR merupakan ukuran kemampuan suatu populasi untuk menggantikan
dirinya (replacement level). NRR bernilai satu berarti suatu populasi dapat
menggantikan dirinya dengan jumlah yang sama (exact replacement). NRR
bernilai lebih dari satu berarti bahwa suatu populasi dapat menggantikan
dirinya dengan jumlah yang lebih besar. Sementara itu, NRR bernilai kurang
dari satu berarti suatu populasi tidak mampu menggantikan dirinya sendiri
dengan jumlah yang sama.
Tabel 4.5
TFR Periode dan TFR Kohor
Prancs, Tahun 1901-1970
Periode
ASFR per 1.000 Perempuan
Observasi
15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49
1901-1905 27 135 161 119 78 33 5
1906-1910 27 135 147 111 69 27 3
1911-1915 24 119 129 92 61 23 2
1916-1920 14 72 93 75 52 22 2
1921-1925 26 131 142 102 59 22 2
1926-1930 28 130 132 93 54 20 2
1931-1935 30 126 123 85 48 17 2
1936-1940 25 126 123 81 45 15 1
1941-1945 18 108 126 92 56 20 2
1946-1950 24 158 184 130 75 26 2
1951-1955 22 156 168 113 63 21 2
1960-1960 22 159 174 107 58 19 2
1961-1965 25 174 182 110 55 18 1
14
1966-1970 27 162 165 100 48 15 1
Sumber : Dasar-dasar Demografi Cetakan 1, Tahun 1981, dihitung oleh DR.S. Thapar
4.1 Teori Sosiologi tentang Fertilitas (Davis dan Blake: Variabel Antara)
15
Kajian tentang fertilitas pada dasarnya bermula dari disiplin sosiologi. Sebelum
disiplin lain membahas secara sistematis tentang fertilitas, kajian sosiologis
tentang fertilitas sudah lebih dahulu dimulai. Sudah amat lama kependudukan
menjadi salah satu sub-bidang sosiologi. Sebagian besar analisa kependudukan
(selain demografi formal) sesungguhnya merupakan analisis sosiologis. Davis
and Blake (1956), Freedman (1962), Hawthorne (1970) telah mengembangkan
berbagai kerangka teoritis tentang perilaku fertilitas yang pada hakekatnya
bersifat sosiologis.Dalam tulisannya yang berjudul The Social structure and
fertility: an analytic framework (1956)2 Kingsley Davis dan Judith Blake
melakukan analisis sosiologis tentang fertilitas. Davis and Blake
mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas melalui apa yang
disebut sebagai variabel antara (intermediate variables).
Menurut Davis dan Blake faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya yang
mempengaruhi fertilitas akan melalui variabel antara. Ada 11 variabel antara
yang mempengaruhi fertilitas, yang masing-masing dikelompokkan dalam tiga
tahap proses reproduksi sebagai berikut:
Intermediate variables of fertility
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hubungan kelamin
(intercouse variables):
Faktor-faktor yang mengatur tidak terjadinya hubungan kelamin:
1) Umur mulai hubungan kelamin
2) Selibat permanen: proporsi wanita yang tidak pernah mengadakan
hubungan kelamin
3) Lamanya masa reproduksi sesudah atau diantara masa hubangan
kelamin:
a. Bila kehidupan suami istri cerai atau pisah
b. Bila kehidupan suami istri nerakhir karena suami meninggal dunia
b. Faktor-faktor yang mengatur terjadinya hubungan kelamin
1. Abstinensi sukarela
2. Berpantang karena terpaksa (oleh impotensi, sakit, pisah sementara)
3. Frekuensi hubungan seksual
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konsepsi (conception
variables):
1. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
tidak disengaja.
2. Menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi:
a. Menggunakan cara-cara mekanik dan bahan-bahan kimia
b. Menggunakan cara-cara lain.
3. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
disengaja (sterilisasi, subinsisi, obat-obatan dan sebagainya)
16
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan dan kelahiran (gestation
variables)
a. Mortalitas janin yang disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak
disengaja
b. Mortalitas janin oleh faktor-faktor yang disengaja.
Menurut Davis dan Blake, setiap variabel diatas terdapat pada semua
masyarakat.Sebab masing-masing variabel memiliki pengaruh (nilai)
positif dan negatifnya sendiri-sendiri terhadap fertilitas. Misalnya, jika
pengguguran tidak dipraktekan maka variabel nomor 11 tersebut bernilai
positif terhadap fertilitas. Artinya, fertilitas dapat meningkat karena tidak
ada pengguguran. Dengan demikian ketidak-adaan variabel tersebut juga
suatu masyarakat masing-masing variabel bernilai negatif atau positif
maka angka kelahiran yang sebenarnya tergantung kepada neraca netto
dari nilai semua variabel.
17
serangkaian aturan tentang bertingkah laku dalam suatu situasi tertentu,
menjadi sebagian dari kebudayaannya dan masyarakat mengindoktrinasikan
kepada para anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan norma tersebut
baik melalui ganjaran (rewards) maupun hukuman (penalty) yang implisit dan
eksplisit. ... Karena jumlah anak yang akan dimiliki oleh sepasang suami
isteri itu merupakan masalah yang sangat universal dan penting bagi setiap
masyarakat, maka akan terdapat suatu penyimpangan sosiologis apabila tidak
diciptakan budaya penyelesaian yang normatif untuk mengatasi masalah ini.
Jadi norma merupakan resep untuk membimbing serangkaian tingkah laku
tertentu pada berbagai situasi yang sama. Norma merupakan unsur kunci
dalam teori sosiologi tentang fertilitas. Dalam artikelnya yang berjudul
Theories of fertility decline: a reappraisal (1979).
Freedman juga mengemukakan bahwa tingkat fertilitas yang
cenderung terus menurun di beberapa negara pada dasarnya bukan semata-
mata akibat variabel-variabel pembangunan makro seperti urbanisasi dan
industrialisasi sebagaimana dikemukakan oleh model transisi demografi klasik
tetapi berubahnya motivasi fertilitas akibat bertambahnya penduduk yang
melek huruf serta berkembangnya jaringan-jaringan komunikasi dan
transportasi.
Menurut Freedman, tingginya tingkat modernisasi tipe Barat bukan
merupakan syarat yang penting terjadinya penurunan fertilitas. Pernyataan
yang paling ekstrim dari suatu teori sosiologi tentang fertilitas sudah
dikemukakan oleh Judith Blake. Ia berpendapat bahwa masalah ekonomi
adalah masalah sekunder bukan masalah normatif; jika kaum miskin
mempunyai anak lebih banyak daripada kaum kaya, hal ini disebabkan karena
kaum miskin lebih kuat dipengaruhi oleh norma-norma pro-natalis daripada
kaum kaya.
18
pasangan suami istri yang tidak menginginkan mempunyai keluarga besar,
dengan anggapan bahwa mempunyai banyak anak berarti memikul beban
ekonomis dan menghambat peningkatan kesejahteraan sosial dan material.
Bahkan sejak awal pertengahan abad ini, sudah diterima secara umum bahwa
hal inilah yang menyebabkan penurunan fertilitas di Eropa Barat dan Utara
dalam abad 19. Leibenstein dapat dikatakan sebagai peletak dasar dari apa
yang dikenal dengan teori ekonomi tentang fertilitas. Menurut Leibenstein
tujuan teori ekonomi fertilitas adalah:
untuk merumuskan suatu teori yang menjelaskan faktor-faktor yang
menentukan jumlah kelahiran anak yang dinginkan per keluarga. Tentunya,
besarnya juga tergantung pada berapa banyak kelahiran yang dapat bertahan
hidup (survive). Tekanan yang utama adalah bahwa cara bertingkah laku itu
sesuai dengan yang dikehendaki apabila orang melaksanakan perhitungan-
perhitungan kasar mengenai jumlah kelahiran anak yang dinginkannya. Dan
perhitungan perhitungan yang demikian ini tergantung pada keseimbangan
antara kepuasan atau kegunaan (utility) yang diperoleh dari biaya tambahan
kelahiran anak, baik berupa uang maupun psikis. Ada tiga macam tipe
kegunaan yaitu (a) kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu barang
konsumsi misalnya sebagai sumber hiburan bagi orang tua; (b) kegunaan
yang diperoleh dari anak sebagai suatu sarana produksi, yakni, dalam
beberapa hal tertentu anak diharapkan untuk melakukan suatu pekerjaan
tertentu dan menambah pendapatan keluarga; dan (c) kegunaan yang
diperoleh dari anak sebagai sumber ketentraman, baik pada hari tua maupun
sebaliknya.
Menurut Leibenstein anak dilihat dari dua aspek yaitu aspek
kegunaannya (utility) dan aspek biaya (cost). Kegunaannya adalah
memberikan kepuasaan, dapat memberikan balas jasa ekonomi atau membantu
dalam kegiatan berproduksi serta merupakan sumber yang dapat menghidupi
orang tua di masa depan. Sedangkan pengeluaran untuk membesarkan anak
adalah biaya dari mempunyai anak tersebut. Biaya memiliki tambahan
seoarang anak dapat dibedakan atas biaya langsung dan biaya tidak langsung.
Yang dimaksud biaya langsung adalah biaya yang dikeluarkan dalam
memelihara anak seperti memenuhi kebutuhan sandang dan pangan anak
sampai ia dapat berdiri sendiri. Yang dimaksud biaya tidak langsung adalah
19
kesempatan yang hilang karena adanya tambahan seoarang anak. Misalnya,
seoarang ibu tidak dapat bekerja lagi karena harus merawat anak, kehilangan
penghasilan selama masa hamil, atau berkurangnya mobilitas orang tua yang
mempunyai tanggungan keluarga besar (Leibenstein, 1958).
Menurut Leibenstein, apabila ada kenaikan pendapatan maka aspirasi
orang tua akan berubah. Orang tua menginginkan anak dengan kualitas yang
baik. Ini berarti biayanya naik. Pengembangan lebih lanjut tentang ekonomi
fertiitas dilakukan oleh Gary S. Becker dengan artikelnya yang cukup terkenal
yaitu An Economic Analysis of Fertility.
Menurut Becker anak dari sisi ekonomi pada dasarnya dapat dianggap sebagai
barang konsumsi (a consumption good, consumers durable) yang memberikan
suatu kepuasan (utility) tertentu bagi orang tua. Bagi banyak orang tua, anak
merupakan sumber pendapatan dan kepuasan (satisfaction). Secara ekonomi
fertilitas dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, biaya memiliki anak dan selera.
Meningkatnya pendapatan (income) dapat meningkatkan permintaan terhadap
anak.
Karya Becker kemudian berkembang terus antara lain dengan terbitanya
buku A Treatise on the Family. Perkembangan selanjutnya analisis ekonomi
fertilitas tersebut kemudian membentuk teori baru yang disebut sebagai ekonomi
rumah tangga (household economics). Analisis ekonomi fertilitas yang dilakukan
oleh Becker kemudian diikuti pula oleh beberapa ahli lain seperti Paul T. Schultz,
Mark Nerlove, Robert J. Willis dan sebagainya. Dalam tulisannya yang
berjudul Economic growth and population: Perspective of the new home
economics6 Nerlove mengemukakan:
Ekonomi rumah tangga terdiri dari empat unsur utama, yaitu (a) suatu fungsi
kegunaan. Yang dimaksud kegunaan disini bukanlah dalam arti komoditi fisik
melainkan berbagai kepuasan yang dihasilkan rumah tangga; (b) suatu teknologi
produksi rumah tangga; (c) suatu lingkungan pasar tenaga kerja yang
menyediakan sarana untuk merubah sumber-sumber daya rumah tangga menjadi
komoditi pasar; dan (d) sejumlah keterbatasan sumber-sumber daya rumah
tangga yang terdiri dari harta warisan dan waktu yang tersedia bagi setiap
anggota rumah tangga untuk melakukan produksi rumah tangga dan
kegiatankegiatan pasar. Waktu yang tersedia dapat berbeda-beda kualitasnya,
dan dalam hal ini tentunya termasuk juga sumberdaya manusia (human capital)
yang diwariskan dan investasi sumberdaya manusia dilakukan oleh suatu
20
generasi baik untuk kepentingan tingkah laku generasi-generasi yang akan
datang maupun untuk kepentingan tingkah laku sendiri.
Dalam analisis ekonomi fertilitas dibahas mengapa permintaan akan anak
berkurang bila pendapatan meningkat; yakni apa yang menyebabkan harga
pelayanan anak berkaitan dengan pelayanan komoditi lainnya meningkat jika
pendapatan meningkat?
New household economics berpendapat bahwa :
a. orang tua mulai lebih menyukai anak-anak yang berkualitas lebih tinggi dalam
jumlah yang hanya sedikit sehingga harga beli meningkat;
b. bila pendapatan dan pendidikan meningkat maka semakin banyak waktu
(khususnya waktu ibu) yang digunakan untuk merawat anak. Jadi anak
menjadi lebih mahal.
Di dalam setiap kasus, semua pendekatan ekonomi melihat fertilitas sebagai
hasil dari suatu keputusan rasional yang didasarkan atas usaha untuk
memaksimalkan fungsi utility ekonomis yang cukup rumit yang tergantung pada
biaya langsung dan tidak langsung, keterbatasan sumberdaya, selera. Topik-topik
yang dibahas dalam ekonomi fertilitas antara berkaitan dengan pilihan-pilihan
ekonomi seseorang dalam menentukan fertilitas (jumlah dan kualitas anak).
Pertimbangan ekonomi dalam menentukan fertilitas terkait dengan income, biaya
(langsung maupun tidak langsung), selera, modernisasi dan sebagainya.
Sejalan dengan apa yang telah dikemukakan Becker, Bulato menulis
tentang konsep demand for children and supply of children. Konsep demand for
children dan supply of children dikemukakan dalam kaitan menganalisis economic
determinan factors dari fertilitas. Bulatao mengartikan konsep demand for
childrensebagai jumlah anak yang dinginkan. Termasuk dalam pengertian jumlah
adalah jenis kelamin anak, kualitas, waktu memliki anak dan sebagainya.
Konsep demand for children diukur melalui pertanyaan survey tentang
jumlah keluarga yang ideal atau diharapkan atau diinginkan. Pertanyaannya,
apakah konsep demand for children berlaku di negara berkembang. Apakah
pasangan di negara berkembang dapat memformulasikan jumlah anak yang
dinginkan? Menurut Bulato, jika pasangan tidak dapat memformulasikan jumlah
anak yang dinginkan secara tegas maka digunakan konsep latent demand dimana
jumlah anak yang dinginkan akan disebut oleh pasangan ketika mereka ditanya.
Menurut Bulatao, modernisasi berpengaruh terhadap demand for
children dalam kaitan membuat latent demand menjadi efektif. Menurut
21
Bulatao, demand for children dipengaruhi (determined) oleh berbagai faktor
seperti biaya anak, pendapatan keluarga dan selera. Dalam artikel tersebut Bulato
membahas masing-masing faktor tersebut (biaya anak, pendapatan, selera) secara
lebih detail. Termasuk didalamnya dibahas apakah anak bagi keluarga di negara
berkembang merupakan net supplier atau tidak. Sedang supply of
children diartikan sebagai banyaknya anak yang bertahan hidup dari suatu
pasangan jika mereka tidak berpisah/cerai pada suatu batas tertentu. Supply
tergantung pada banyaknya kelahiran dan kesempatan untuk bertahan
hidup. Supply of children berkaitan dengan konsep kelahiran alami (natural
fertility).
Menurut Bongart dan Menken fertilitas alami dapat diidentifikasi melalui lima
hal utama, yaitu:
a. Ketidak-suburan setelah melahirkan (postpartum infecundibality)
b. Waktu menunggu untuk konsepsi (waiting time to conception)
c. Kematian dalam kandungan (intraurine mortality)
d. Sterilisasi permanen (permanent sterility)
e. Memasuki masa reproduksi (entry into reproductive span)
22
Easterlin berpendapat bahwa bagi negara-negara berpendapatan rendah
permintaan mungkin bisa sangat tinggi tetapi suplainya rendah, karena terdapat
pengekangan biologis terhadap kesuburan. Hal ini menimbulkan suatu permintaan
berlebihan (excess demand) dan juga menimbulkan sejumlah besar orang yang
benar-benar tidak menjalankan praktek-praktek pembatasan keluarga. Di pihak
lain, pada tingkat pendapatan yang tinggi, permintaan adalah rendah sedangkan
kemampuan suplainya tinggi, maka akan menimbulkan suplai berlebihan (over
supply) dan meluasnya praktek keluarga berencana. John C. Caldwell juga
melakukan analisis fertilitas dengan pendekatan ekonomi sosiologis.
Tesis fundamentalnya adalah bahwa tingkah laku fertilitas dalam masyarakat
pra-tradisional dan pasca-transisional itu dilihat dari segi ekonomi bersifat rasional
dalam kaitannya dengan tujuan ekonomi yang telah ditetapkan dalam masyarakat,
dan dalam arti luas dipengaruhi juga oleh faktor-faktor biologis dan psikologis.
Teori Caldwell menekankan pada pentingnya peranan keluarga dalam arus
kekayaan netto (net wealth flows) antar generasi dan juga perbedaan yang tajam
pada regim demografis pra-transisi dan pasca-transisi. Caldwell mengatakan bahwa
sifat hubungan ekonomi dalam keluarga menentukan kestabilan atau ketidak-
stabilan penduduk. Jadi pendekatannya lebih menekankan pada dikenakannya
tingkah laku fertilitas terhadap individu (atau keluarga inti) oleh suatu kelompok
keluarga yang lebih besar (bahkan yang tidak sedaerah) dari pada oleh norma-
norma yang sudah diterima masyarakat. Seperti diamati oleh Caldwell, didalam
keluarga selalu terdapat tingkat eksploitasi yang besar oleh suatu kelompok (atau
generasi) terhadap kelompok atau generasi lainnya, sehingga jarang dilakukan
usaha pemaksimalan manfaat individu. Selain teori yang disajikan dalam tulisan ini
masih banyak teori lain yang membahas fertilitas. Namun karena keterbatasan
tempat tidak semua teori fertilitas dapat disajikan dalam tulisan ini.
23
ekonomi yang cepat. Oleh sebab itu, penurunan angka kelahiran merupakan
persyarat bagi pertumbuhan ekonomi.
Program KB yang dilaksanakan pemerintah tidak saja mengajak pasangan
suami istri untuk mengatur jumlah keluarga mereka dengan menggunakan alat-alat
kontrasepsi modern, tetapi juga memperkenalkan nilai-nilai baru tentang keluarga
kecil bahagia dan sejahtera. Program KB di Indonesia turut berkontribusi
menurunkan angka fertilitas total dari 5,6 pada tahun 1967-1970 menjadi 2,8 pada
tahin 1991-1994 dan terus menurun menjadi 2,34 pada tahun 1997-2000 (Sensus
Penduduk 2000). Sementara itu, angka kelahiran kasar (CBR) telah menurun dari
sekitar 43 kelahiran per 1.000 penduduk pada tahun 1967-1970 menjadi sekitar 23
kelahiran per 1.000 penduduk pada periode 1991-1994.
Tabel 4.6 menunjukkan kelahiran kasar di Indonesia pada periode 1900-2025.
Jika menengok angka-angka fertilitas pada masa lalu, maka terlihat bahwa fertilitas
di Indonesia pada awal abab ke-20 sampai dengan masa Perang Dunia II terus
meningkat, kemudian berfluktuasi selama masa resesi ekonomi, penjajahan Jepang,
dan masa perang kemerdekaan. Angka fertilitas tersebut terus meningkat dan
mencapai puncaknya pada tahun 1955. Ketika pemerintah Soekarno yang dianggap
pronatalis berakhir pada tahun 1967 dan Soeharto menjabat sebagai presiden RI
yang kedua, maka kebijakan kependudukan berubah dari pronatalis menjadi
antinatalis dengan di lucurkannya program pengaturan dan pembatasan jumlah anak.
Tabel 4.6
24
Peraturan angka kelahiran kasar ini diperkirakan masih akan terjadi apabila
pengaturan jumlah anak, persepsi tentang anak ideal, kebutuhan untuk peningkatan kualitas
keturunan, serta kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga semakin besar. Pada
tabel 4.7disajikan angka fertilitas total di Indonesia pada periode 1971-1999 dari beberapa
sensus dan survei-survei mengenai fertilitas.
Tabel 4.7
Tahun TFR
1967-1970 5,61
1971-1975 ` 5,20
1976-1979 4,68
1980-1985 4,06
1986-1989 3,31
1991-1994 2,85
1995-1997 2,78
1997-1999 2,6
Terlihat bahwa TFR Indonesia terus menurun dari 5,6 anak per ibu pada periode 1967-1970
menjadi 2,6 anak per ibu menurun SP 2000.
25
mengakhiri masa transisi demografinya, dan pada abad ke-21 akan memasuki era
pascatransisi demografi.
Menurut berbagai studi yang telah dilakukan, penurunan angka fertilitas total yang
terjadi di Indonesia selain disebabkan oleh pelaksanaan program KB, juga di pengaruhi oleh
beberapa faktor berikut ini.
26
Tabel 4.9
Angka Fertilitas Total menurut Pendidikan Perempuan, Tahun 1997
Akan tetapi, beberapa hasil studi di Indonesia menunjukkan adanya hubungan yang
berbentuk huruf U terbalik antara tingkat pendidikan dan jumlah anak yang dipunyai.
Hal seperti ini diketemukan pertama kali di Yogyakarta oleh Hull dan Hull (1967) pada
awal tahun 1970-an. Pada waktu itu, penjelasannya adalah kelompok perempuan yang
berpendidikan rendah lebih sering mengalami perceraian sehingga jumlah anak yang
dipunyai lebih sedikit. Juga ada kemungkinan bahwa jumlah perempuan yang
berpendidikan di atas SD masih sedikit, sehingga karakteristik perempuan didominasi
oleh perempuan dengan pendidikan rendah. Hasil SDKI tahun 1994 dan 1997 masih
menunjukkan hubungan dengan bentuk huruf U terbalik. Akan tetapi setelah tamat SD,
fertilitas menunjukkan penurunan dengan meningkatkan pendidikan.
27
Tempat tinggal dari lahir sampai berumur 12 tahun dianggap mempengaruhi persepsi dan
jalan pikiran seseorang untuk bersikap dan berperilaku, termasuk perilaku melahirkan.
Seseorang yang dibesarkan di perkotaan akan mempunyai sikap dan perilaku yang
dipengaruhi oleh situasi perkotaan yang umumnya lebih modern dibandingkan dengan
mereka yang dibesarkan di daerah pedesaan. Selain itu, tempat tinggal diperkotaan
memudahkan diperolehnya informasi tentang berbagai pengetahuan modern termasuk
mengenai metode pengaturan dan pencegahan kehamilan dibandingkan di pedesaan.
Oleh sebab itu, muncul dugaan bahwa angka kelahiran didaerah perkotaan akan lebih
rendah dibandingkan dengan angka kelahiran dipedesaan. Hasil SDKI 1997
menunjukkan bahwa angka fertilitas total di perkotaan lebih rendah dibandingkan dengan
angka fertilitas total di pedesaan, yaitu masing-masing 2,40 dan 2,98.
DAFTAR PUSTAKA
http://widyaastuti-agrittude.blogspot.co.id/2011/11/fertilitas-penduduk.html
28