DI INDONESIA
Disusun Oleh:
Abdul Halim Mahmud (20/467907/PMU/10513)
Arnold Alfreddy (20/467908/PMU/10514)
Dian Primasari Azwir (20/467909/PMU/10515)
Dwi Prastiwi (20/467910/PMU/10516)
Eko Hadi Nurcahyo (20/467911/PMU/10517)
Fadila Indrisari (20/467912/PMU/10518)
Abdul Halim Mahmud1, Arnold Alfreddy, Dian Primasari Azwir3, Dwi Prastiwi4,
Eko Hadi Nurcahyo5, Fadila Indrisari6, dan Agus Joko Pitoyo7
1234567
Program Studi Kependudukan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 8Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Abstrak
Kebijakan lockdown akibat pandemi Covid-19 dikhawatirkan berpotensi
menimbulkan baby boom dikarenakan adanya peningkatan unmet need dan
penurunan penggunaan alat kontrasepsi yang terjadi selama masa awal pandemi
Covid-19. Data yang digunakan berdasarkan hasil publikasi SDKI dan laporan
BKKBN. Analisis yang digunakan dalam tulisan ini, yaitu analisis deskriptif yang
disajikan berupa grafik. Dari hasil analisis data, diketahui bahwa dampak pandemi
Covid-19 terhadap fertilitas hanya terlihat di awal pandemi dan telah diantisipasi
pemerintah melalui BKKBN dengan melakukan kebijakan-kebijakan terkait KB,
seperti peningkatan ketersediaan dan pendistribusian alokon, pengoptimalan peran
KB dalam hal sosialisasi terkait informasi keluarga berencana secara masif, dan
pelayanan kesehatan dan konsultasi KB yang dilakukan secara daring untuk
mengatasi hal tersebut. Hal ini terlihat dengan adanya kenaikan mCPR, penurunan
unmet need dan peningkatan kembali jumlah akseptor KB, sehingga kekhawatiran
akan terjadinya baby boom di Indonesia kecil kemungkinannya akan terjadi.
Abstract
It is feared that the lockdown policy due to the Covid-19 pandemic has the
potential to cause a baby boom due to an increase in unmet need and a decrease
in the use of contraceptives that occurred during the early days of the Covid-19
pandemic. The data used is based on the results of the IDHS publications and the
BKKBN reports. The analysis used in this paper is the descriptive analysis which
is presented in the form of graphics. From the results of data analysis, it is known
that the impact of the Covid-19 pandemic on fertility was only seen at the
beginning of the pandemic and the government had anticipated through the
BKKBN by carrying out policies related to family planning, such as increasing the
availability and distribution of contraceptives, optimizing the role of family
planning in the socialization of family planning information. massively, and health
services and family planning consultations conducted online to overcome this.
This is evident from the increase in mCPR, a decrease in unmet need, and an
increase in the number of family planning acceptors so that there is little
likelihood that there will be a baby boom in Indonesia.
1
PENDAHULUAN
Saat ini dunia sedang menghadapi pandemi akibat virus corona atau
Coronavirus Disease (Covid-19). Virus yang ditemukan pertama kali pada akhir
tahun 2019 di Wuhan, China, dapat menyebar pada manusia dan hewan. Dimana
pada manusia penyebarannya dapat terjadi melalui cairan ketika penderita
batuk/bersin. Umumnya, virus ini menyerang saluran pernapasan manusia dengan
gejala seperti flu hingga menyebabkan sindrom pernapasan akut berat atau Severe
Acute Respiratory Syndrome (SARS). Jumlah penduduk dunia yang semakin besar
dan mobilitas penduduk yang semakin mudah berdampak pada persebaran Covid-
19 yang cepat di berbagai belahan dunia. Oleh karenanya, pada tanggal 30 Januari
2020 World Health Organization (WHO) telah menetapkan Covid-19 sebagai
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia/Public Health
Emergency of International Concern (KKMD/ PHEIC). Menurut data WHO,
kondisi hingga 24 Februari 2021, tercatat ada sebanyak 111.593.583 laporan kasus
dengan 2.475.020 kematian yang tersebar lebih dari 215 negara di Dunia dan di
Indonesia sendiri terdapat 1.298.608 laporan kasus yang serupa dengan 35.014
kematian.
2
kesehatan reproduksi menjadi relatif berkurang. Pembatasan aktivitas masyarakat
juga membuat akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kontrasepsi
menjadi terhambat. Masyarakat memiliki kekhawatiran untuk mendatangi fasilitas
kesehatan secara langsung dalam rangka memperoleh alat kontrasepsi,
memeriksakan kehamilan, dan persalinan. Akibatnya, terjadi peningkatan risiko
kehamilan yang tidak diinginkan dan Angka Kematian Ibu (AKI). Studi United
Nations Population Fund atau UNFPA (2020) memperkirakan banyaknya unmet
need KB dan kehamilan yang tidak diinginkan akibat adanya kebijakan lockdown
pada berbagai skema waktu. Lockdown dalam rentang 3 hingga 12 bulan
berpotensi meningkatkan jumlah perempuan yang tidak dapat mengakses
kontrasepsi modern sebanyak 13 juta hingga 51 juta orang (skenario gangguan
pelayanan kesehatan tingkat rendah/lockdown rendah). Kondisi ini kemudian
dapat berpotensi meningkatkan 325 ribu hingga 6 juta kehamilan yang tidak
diinginkan.
3
Kondisi ini tentu akan semakin menghambat visi BKKBN yaitu
“Terwujudnya Penduduk Tumbuh Seimbang dan Berkualitas”. Kondisi tumbuh
seimbang yang ingin dicapai adalah penurunan TFR menjadi 2,1 pada tahun 2025
yang sejatinya merupakan target pada tahun 2015-2019. Peningkatan unmet need
akibat pandemi Covid-19 tentu saja dapat berpotensi menjadi batu sandungan
terhadap pencapaian target TFR yang diinginkan oleh pemerintah. Oleh karena
itu, untuk dapat melihat dampak Covid-19 terhadap fertilitas maka dalam tulisan
ini akan dilakukan pembahasan terkait gambaran umum perkembangan tren
fertilitas di Indonesia pada masa sebelum dan sesudah pandemi Covid-19. Namun
karena keterbatasan data fertilitas setelah Covid-19 maka dalam melihat tren
fertilitas akan didekati dari gambaran beberapa indikator (mCPR, unmet need,
tingkat putus pakai kontrasepsi) yang mempengaruhi fertilitas pada masa sebelum
dan sesudah Covid-19. Selain itu, akan diulas mengenai upaya penangan dan
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menangani persoalan ini.
METODE PENELITIAN
A. Landasan Teori
Terjadinya pandemi Covid-19 yang merata di seluruh dunia termasuk
Indonesia berpengaruh terhadap banyak hal, termasuk fertilitas. Banyak kalangan
memperkirakan bertambahnya jumlah kelahiran yang diakibatkan terjadinya
pandemi Covid-19. Diperkirakan terdapat sebanyak 15 juta kelahiran yang tidak
diinginkan di seluruh dunia jika mekanisme lockdown diberlakukan selama
setahun penuh dengan tingkat gangguan layanan kesehatan yang tinggi (UNFPA,
2020). Hal serupa juga diperkirakan akan terjadi di Indonesia yang menurut
prediksi BKKBN terdapat sekitar 500 ribu kehamilan yang tidak diinginkan
(www.cnnindonesia.com).
4
variabel antara yang berpengaruh secara langsung terhadap fertilitas diantaranya
adalah penggunaan kontrasepsi. Oleh karena itu pandemi Covid-19 berpengaruh
terhadap fertilitas diduga karena adanya penurunan penggunaan alat kontrasepsi.
Senada dengan Davis dan Blake, Bongaarts (1984) membuat suatu model
sederhana yang mampu memprediksi tingkat fertilitas melalui besarnya
penggunaan alat kontrasepsi. Model tersebut memasukkan variabel prevalensi dan
efektifitas penggunaan alat kontrasepsi sebagai salah satu kontrol dalam
pencapaian target fertilitas. Model yang dibuatnya memberikan metode sederhana
dalam menentukan besarnya prevalensi penggunaan alat kontrasepsi untuk
mencapai target tingkat fertilitas yang diinginkan.
5
Selain prevalensi penggunaan alat kontrasepsi, faktor lain yang
menyebabkan tinginya tingkat kelahiran adalah peningkatan kebutuhan ber-KB
yang tidak terpenuhi (unmet need). Pada masa sebelum pandemi banyak aspek
yang melatarbelakangi kondisi seseorang menggunakan alat kontrasepsi yang
tidak sesuai keinginannya. Beberapa aspek tersebut antara lain seperti
ketidaknyamanan, keterbatasan atau ketersediaan, dan harga (Listyaningsih et all,
2016). Setelah pandemi Covid-19 terjadi berbagai aspek yang tadinya
berpengaruh terhadap unmet need menjadi semakin mempersulit masyarakat yang
ingin menggunakan alat kontrasepsi sesuai dengan keinginannya. Kesulitan
tersebut dapat ditinjau dari dua sisi, baik pemerintah sebagai penyedia layanan
maupun masyarakat sebagai pengguna layanan. Pemerintah yang terlalu fokus
pada penanganan pandemi dapat menyebabkan inkonsistensi penyediaan alat
kontrasepsi yang sesuai keinginan masyarakat. Sebaliknya kesulitan ekonomi
yang menimpa masyarakat akibat adanya pandemi Covid-19 memaksa masyarakat
menunda kebutuhan ber-KB untuk dialihkan kepada kebutuhan yang lebih
mendesak. Kedua hal ini dapat menjelaskan mengapa pandemi Covid-19
diprediksi dapat menaikkan unmet need yang berdampak pada meningkatnya
jumlah kelahiran. Beberapa ahli demografi menduga adanya permintaan yang
tidak terpenuhi (unmet need) untuk mengontrol fertilitas di negara-negara dengan
fertilitas tinggi (Bradley, 2015). Artinya unmet need yang tinggi menyebabkan
tingkat fertilits yang relatif tinggi.
6
Selanjutnya tingkat fertilitas juga dipengaruhi secara langsung oleh
frekuensi hubungan seksual antara suami dan istri. Hal ini sebagaimana
disampaikan oleh Davis dan Blake (1956) yang memasukkan frekuensi hubungan
seksual termasuk dalam variabel antara. Hal senada juga disampaikan oleh
Bongaarts (1984) bahwa frekuensi hubungan seksual termasuk ke dalam tujuh
variabel yang berpengaruh kuat terhadap fertilitas. Adanya kebijakan PSBB, work
from home, dan serangkaian kebijakan yang lain menjadikan seseorang lebih
banyak beraktivitas di dalam rumah dan menyebabkan kemungkinan terjadinya
hubungan seksual semakin besar. Hal ini akan mengakibatkan tingginya tingkat
fertilitas di suatu wilayah yang menerapkan kebijakan pembatasan kegiatan dalam
waktu yang cukup lama.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Tren Fertilitas di Indonesia Sebelum Pandemi Covid-19
Indonesia adalah negara terpadat keempat di dunia, setelah China, India
dan Amerika Serikat. Menurut Publikasi Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-
2045, penduduk Indonesia pada bulan Juni 2015 sebesar 255,6 juta baik pada
skenario A maupun skenario B. Pada skenario A dan skenario B pertumbuhan
penduduk berlanjut sepanjang periode proyeksi. Pada skenario A penduduk
diproyeksikan mencapai 294,1 juta pada tahun 2030 dan 318,9 juta pada tahun
2045. Pada skenario B penduduk mencapai 292,5 juta pada tahun 2030 dan 311,6
juta pada tahun 2045 (BPS, 2018).
Survei Demografi dan Kesehatan telah mengumpulkan data tentang
fertilitas selama hampir 30 tahun. Informasi tentang fertilitas sangat penting dalam
memantau pertumbuhan penduduk dan mengembangkan kebijakan dan program
(DHS, 2020).
Indikator DHS tentang fertilitas saat ini terdiri dari: tingkat fertilitas total
dan spesifik usia, tingkat fertilitas umum, angka kelahiran kasar, fertilitas menurut
durasi perkawinan, anak-anak lahir dan hidup, interval kelahiran menurut
karakteristik latar belakang, usia saat pertama lahir, kehamilan remaja dan
menjadi ibu menurut karaktersitik latar belakang serta urutan lahir.
TFR (Total Fertility Rate) merupakan salah satu indikator fertilitas yang
dihitung dalam Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Hasil SDKI
2002, 2007, dan 2012 menunjukkan bahwa TFR Indonesia stagnan di angka 2,6
anak per wanita. Sedangkan hasil Sensus Penduduk 2000 dan 2010 menunjukkan
sedikit peningkatan TFR dari 2,3 menjadi 2,4. Menghambatnya kesuburan
sebagian telah dikaitkan dengan lambatnya peningkatan prevalensi kontrasepsi
dan peningkatan yang stabil dalam tingkat penghentian kontrasepsi (Samosir dkk,
2019). Sedangkan di tahun 2017, TFR Indonesia menjadi 2,4 anak per wanita
(SDKI, 2017). Tren TFR Indonesia selama SDKI 2002, 2007, 2012 dan 2017
ditunjukkan pada Gambat 1.
8
Sumber: Publikasi SDKI/DHS
Gambar 1. Tren Fertilitas Indonesia 2002-2017
Jika kita melihat tren TFR Indonesia menurut tempat tinggal yang
ditunjukkan pada Gambar 2, diketahui bahwa di tahun 2002 TFR penduduk
perkotaan adalah 2,4, kemudian di tahun 2007, 2012 dan 2017 stagnan pada angka
2,3. Sementara itu TFR penduduk perdesaan terjadi fluktuatif, dimana pada tahun
2002 berada pada angka 2,7. Kemudian di tahun 2007 naik menjadi 2,8 dan di
tahun 2012 stagnan pada angka 2,8. Namun hal yang cukup mengesankan di tahun
2017 turun menjadi 2,6
9
merupakan angka kelahiran menurut kelompok umur yang menunjukkan jumlah
kelahiran yang dialami oleh wanita kelompok umur tertentu antara 15-49 tahun.
Angka ini biasanya dinyatakan dengan jumlah kelahiran dari wanita kelompok
umur tertentu per 1.000 wanita pada kelompok umur tersebut (BPS, 2011).
Tren ASFR Indonesia pada SDKI 2002-2017 seperti pada Gambar 3,
menunjukkan bahwa secara umum fertilitas wanita berada dalam puncaknya pada
kelompok umur 25-29 tahun, meskipun hanya pada SDKI 2007 puncaknya pada
kelompok umur 20-24 tahun dengan angka 135 kelahiran sangat tipis dengan
kelompok umur 25-29 tahun dengan angka 134 kelahiran.
Selain itu terdapat perbedaan pola dari ASFR yaitu terjadi penurunan
ASFR pada kelompok umur 25-29 tahun, sebaliknya peningkatan ASFR pada
kelompok umur 30-34 tahun. Sedangkan pada kelompok umur 15-19 tahun terjadi
penurunan ASFR secara signifikan yaitu pada tahun 2002 sebanyak 51 kelahiran
dan di tahun 2017 menurun sampai 36 kelahiran. Hal ini mengindikasikan
kesadaran wanita untuk tidak menikah di usia muda dan banyaknya wanita yang
lebih mengutamakan untuk menyelesaikan pendidikan SMA.
Median jarak antara kelahiran dan banyaknya kelahiran hidup merupakan
indikator-indikator penting fertilitas yang juga dibahas dalam SDKI. Tren median
jarak antar kelahiran terus meningkat selama 1,5 dekade yaitu dari 54,2 bulan
10
pada SDKI 2002 menjadi 54,6 bulan pada SDKI 2007, dan 60,2 bulan pada SDKI
2002 menjadi 64,6 bulan pada SDKI 2017.
Hasil SDKI 2017 menunjukkan median jarak antar kelahiran 64,6 bulan
artinya separuh dari seluruh kelahiran (tidak termasuk kelahiran pertama) terjadi
lebih dari 5 tahun setelah kelahiran sebelumnya (Gambar 4) dan 9 persen
kelahiran terjadi dalam jangka waktu kurang dari 24 bulan sejak kelahiran
sebelumnya (Gambar 5). Peningkatan ini sangat baik karena jarak antar kelahiran
berkaitan dengan risiko kesakitan dan kematian pada anak. Risiko ini akan lebih
tinggi pada jarak kurang dari 24 bulan. Jarak antar kelahiran yang lebih panjang
bukan hanya menguntungkan bagi anak, tetapi juga akan meningkatkan status
kesehatan ibu (BKKBN dkk., 2018).
11
B. Gambaran Indikator yang Mempengaruhi Fertilitas
Jumlah kelahiran berpotensi mengalami peningkatan akibat adanya pandemi
Covid-19. Tingginya tingkat fertilitas karena pandemi Covid-19 dapat dipengaruhi
oleh banyak faktor. Total Fertility Rate (TFR) adalah indikator yang biasanya
digunakan untuk menggambarkan tingkat fertilitas suatu wilayah. Namun, karena
keterbatasan data yang tersedia, akan digunakan indikator fertilitas lain sebagai
pendekatan tingkat kelahiran. Pada bagian pembahasan ini akan dijelaskan
bagaimana perkembangan empat indikator yang diduga berpengaruh terhadap
fertilitas selama masa pandemi Covid-19, yaitu prevalensi kontrasepsi modern
(mCPR), unmet need, peserta KB aktif yang menggunakan Metode Kontrasepsi
Jangka Panjang (MKJP), dan tingkat putus pakai kontrasepsi. Selain itu, juga akan
dilihat estimasi atau perkiraan fertilitas di waktu mendatang dari pola yang terjadi
saat ini. Dengan adanya kebijakan pembatasan aktivitas di luar rumah pada
beberapa wilayah akan mempengaruhi pelayanan kontrasepsi, termasuk di
Indonesia. Dampak yang terlihat, yaitu terganggunya pasokan obat esensial dan
alat kontrasepsi, serta keterbatasan masyarakat untuk mengakses layanan
kesehatan reproduksi. Masalah tersebut dapat meningkatkan unmet need atau
kondisi kebutuhan Pasangan Usia Subur (PUS) untuk ber-KB tidak terpenuhi,
kehamilan yang tidak diinginkan, sampai pada meningkatnya angka kematian ibu
dan anak.
Berdasarkan riset Badan PBB untuk Dana Kependudukan (UNFPA) bekerja
sama dengan Avenir Health, Johns Hopkins University (USA) dan Victoria
University (Australia), di negara-negara berpendapatan rendah, ditemukan bahwa
apabila gangguan layanan kesehatan dan lockdown terus terjadi hingga enam
bulan akibat pandemi Covid-19, sebanyak 47 juta perempuan diprediksi tidak bisa
mengakses alat kontrasepsi modern. Konsekuensinya, akan muncul 7 juta
kehamilan tak diharapkan jika penguncian berlangsung selama 6 bulan dan
terdapat gangguan besar pada layanan kesehatan. Untuk setiap 3 bulan penguncian
berlanjut, hingga 2 juta wanita tambahan mungkin tidak dapat menggunakan
kontrasepsi modern. Selain itu, dari sisi gender terdapat tambahan 31 juta kasus
kekerasan berbasis gender diperkirakan akan terjadi jika penguncian berlanjut
setidaknya selama 6 bulan. Untuk setiap 3 bulan penguncian berlanjut, tambahan
12
15 juta kasus tambahan kekerasan berbasis gender akan terjadi. Menariknya,
Covid-19 diperkirakan akan mengganggu upaya untuk mengakhiri pernikahan
anak, yang berpotensi menghasilkan 13 juta pernikahan anak tambahan yang
terjadi antara tahun 2020 dan 2030 yang bisa dihindari.
Terkait dengan hasil riset tersebut, maka negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia, harus mulai mengantisipasi terjadinya baby boom. Baby
boom merupakan peristiwa ledakan angka kelahiran bayi. Istilah tersebut biasanya
menjelaskan tentang adanya peningkatan jumlah kelahiran bayi dalam waktu yang
singkat. Potensi baby boom ini memang perlu diperhatikan di Indonesia dan
diprediksi dapat terjadi setelah pandemi Covid-19. Hal ini dapat terjadi karena
selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sebagian besar penduduk
tinggal di rumah yang berpotensi mempengaruhi situasi kependudukan, khususnya
tingkat fertilitas, melalui dua cara. Pertama, kemungkinan meningkatnya frekuensi
hubungan seksual antara suami dan istri. Kedua, kurangnya akses ke alat
kontrasepsi karena orang tidak boleh keluar rumah. Hal tersebut diperkirakan
karena aktivitas dari keikutsertaan KB oleh masyarakat berkurang di setiap
lokasinya. Terlebih beberapa pelayanan juga berkurang karena adanya Covid-19.
Berdasarkan data BKKBN, seperti yang terlihat pada Gambar 6, pada bulan
Februari hingga April 2020, yaitu masa periode awal penyebaran Covid-19 di
Indonesia, terjadi penurunan jumlah peserta KB baru (PB). Jumlah peserta KB
baru (PB) ini merupakan jumlah PUS yang baru pertama kali atau kembali
menggunakan kontrasepsi setelah melahirkan atau aborsi, dengan menggunakan
metode modern yang meliputi IUD, MOW, MOP, implan, kondom, suntik, dan
pil.
13
Selain penurunan jumlah peserta KB baru, pandemi Covid-19 juga
menyebabkan keterbatasan dalam akses pelayanan kontrasepsi. Keterbatasan ini
bisa berkaitan dengan pelayanan KB yang membutuhkan full contact, sementara
pemerintah menerapkan aturan physical distancing. Akibatnya, terjadi penurunan
partisipasi penggunaan alat kontrasepsi di masyarakat, utamanya pada persentase
PUS yang menjadi Peserta KB Aktif (PA) di suatu wilayah pada kurun waktu
tertentu atau disebut juga modern Contraceptive Prevalence Rate/angka
prevalensi kontrasepsi modern (mCPR). Dari laporan yang disampaikan oleh
BKKBN, terlihat penurunan peserta KB pada awal penyebaran virus (bulan
Februari s.d Maret 2020) dibandingkan pada bulan di akhir tahun sebelumnya
(Oktober-Desember 2019) (Gambar 7). Idealnya mCPR mengalami peningkatan
setiap bulannya, namun penurunan mCPR yang cukup drastis ini bisa jadi
disebabkan karena kebutuhan KB yang tidak terpenuhi (unmet need) atau
peningkatan tingkat putus pakai (drop out) pada masa pandemi terutama bagi
pengguna metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) yang habis masa aktifnya.
14
tahun yang pernah kawin yang menggunakan alat KB modern dibandingkan
dengan Susenas Maret 2019, yaitu sebesar 0,51 persen poin (BPS, 2020).
4000000
3850000
3700000
3550000
3400000
3250000
3100000
2950000
2800000
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli
15
dapat diprediksi bahwa akan ada tambahan sebesar 300.000 sampai dengan
450.000 kelahiran bayi.
Tabel 1. Jumlah Perbandingan Penggunaan Alat Kontrasepsi Modern
Indonesia (Januari-Juli, 2020)
Metode
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Jumlah
Kontrasepsi
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
IUD 37.954 41.547 36.123 23.599 23.229 63.005 35.976 261.433
MOW 8.190 10.182 8.978 8.106 8.690 9.370 8.195 61.711
MOP 117 395 181 24 42 385 71 1.215
Kondom 70.657 77.045 72.492 67.741 75.969 166.956 94.423 625.283
Implan 69.676 93.675 88.484 44.308 41.181 225.498 77.099 639.921
Suntik 1.688.645 1.684.624 1.711.484 1.639.136 1.650.672 1.877.380 1.929.529 12.181.470
Pil 1.147.805 1.202.471 1.176.850 1.148.611 1.201.927 1.542.238 1.375.239 8.795.141
Jumlah 3.023.044 3.109.939 3.094.592 2.931.525 3.001.710 3.884.832 3.520.532 22.566.174
Sumber: Laporan BKKBN
16
Sumber: Laporan Bulanan BKKBN
Gambar 9. Persentase Perkiraan Kebutuhan Ber-KB Tidak Terpenuhi
(unmet need), 2019-2020
17
keseluruhan diperkirakan terdapat hingga 10 persen penurunan PUS yang
mengalami putus pakai pada tahun 2020. Sebagai ilustrasi, akseptor KB di
Indonesia angka terendahnya itu 28 juta. Misalnya saja, dari 10 juta pasangan usia
subur (PUS) yang putus pakai alat kontrasepsi, minimal 25 persen atau 2,5 juta
adalah PUS usia sangat produktif (20-30 tahun) dengan tingkat fertilitas tinggi
atau mudah hamil. PUS usia produktif ini memiliki kemungkinan hamil mencapai
15-20 persen. Ketika mereka tidak pakai alat kontrasepsi, maka jumlah yang hamil
dan melahirkan bisa sebanyak 375.000 sampai 500.000 wanita usia subur.
Diketahui, rata-rata pertambahan jumlah penduduk Indonesia dari kelahiran setiap
tahunnya sebanyak 3 juta. Namun dengan potensi pertambahan kehamilan selama
pandemi yang diperkirakan BKKBN tersebut, bisa jadi pertumbuhan penduduk
Indonesia akan menjadi lebih tinggi.
18
tersebut terlihat dengan adanya kenaikan kembali persentase mCPR, penurunan
unmet need, dan peningkatan kembali jumlah akseptor KB di bulan Juni hingga
akhir tahun 2020. Dengan demikian, meskipun terjadi penambahan kelahiran
secara agregat di Indonesia, namun kecil kemungkinan akan terjadi baby boom
seperti pada tahun 1960-an.
19
meningkatkan kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini dikhawatirkan
menimbulkan kekhawatiran terjadinya lonjakan kelahiran bayi pasca Covid-19.
20
pasok alat KB hingga ke akseptor secara gratis. Upaya-upaya ini membuahkan
hasil yang baik dimana terlihat dengan adanya kenaikan kembali persentase
mCPR, penurunan unmet need, dan juga peningkatan kembali jumlah akseptor
KB.
21
Saran
Karena akhir pandemi masih belum dapat diketahui secara pasti. Maka
penting untuk lebih mengarahkan dan mengalihkan PUS dalam menggunakan alat
kontrasepsi modern yang dapat digunakan pada jangka panjang seperti IUD. Tentu
saja ini harus dibarengi dengan sosialisasi, edukasi, dan pengadaan yang
menyeluruh. Memang biaya alat kontrasepsi modern jangka panjang relatif lebih
tinggi namun ini merupakan salah satu opsi penting yang harus dijalankan guna
mencegah semakin meningkatnya unmet need KB.
Selain itu, pelayanan secara daring merupakan pilihan yang tepat untuk
dilakukan selama masa pandemi Covid-19 ini sehingga harus diintensifkan. Disisi
lain masih terdapat beberapa wilayah ataupun keluarga di Indonesia yang masih
terkendala akan akses layanan dan pemanfaatan teknologi dikarenakan kondisi
pembangunan wilayah yang belum merata. Oleh karena itu, peningkatan
pelayanan secara daring perlu dibarengi dengan peningkatan pelayanan berbasis
komunitas (community based health-care) bagi daerah-daerah yang dirasa sulit
akan akses layanan maupun pemanfaatan teknologi. Sehingga, ini nantinya akan
menjangkau seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali dan diharapkan potensi
munculnya baby boom setelah pandemi Covid-19 dapat dihindarkan..
22
DAFTAR PUSTAKA
23