Anda di halaman 1dari 24

DAMPAK COVID-19 TERHADAP FERTILITAS

DI INDONESIA

(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kebijakan Kependudukan)

Dosen Pengampu: Dr. Agus Joko Pitoyo, S.Si., M.A.

Disusun Oleh:
Abdul Halim Mahmud (20/467907/PMU/10513)
Arnold Alfreddy (20/467908/PMU/10514)
Dian Primasari Azwir (20/467909/PMU/10515)
Dwi Prastiwi (20/467910/PMU/10516)
Eko Hadi Nurcahyo (20/467911/PMU/10517)
Fadila Indrisari (20/467912/PMU/10518)

PROGRAM STUDI KEPENDUDUKAN


SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
Dampak Covid-19 terhadap Fertilitas di Indonesia

Abdul Halim Mahmud1, Arnold Alfreddy, Dian Primasari Azwir3, Dwi Prastiwi4,
Eko Hadi Nurcahyo5, Fadila Indrisari6, dan Agus Joko Pitoyo7
1234567
Program Studi Kependudukan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 8Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Abstrak
Kebijakan lockdown akibat pandemi Covid-19 dikhawatirkan berpotensi
menimbulkan baby boom dikarenakan adanya peningkatan unmet need dan
penurunan penggunaan alat kontrasepsi yang terjadi selama masa awal pandemi
Covid-19. Data yang digunakan berdasarkan hasil publikasi SDKI dan laporan
BKKBN. Analisis yang digunakan dalam tulisan ini, yaitu analisis deskriptif yang
disajikan berupa grafik. Dari hasil analisis data, diketahui bahwa dampak pandemi
Covid-19 terhadap fertilitas hanya terlihat di awal pandemi dan telah diantisipasi
pemerintah melalui BKKBN dengan melakukan kebijakan-kebijakan terkait KB,
seperti peningkatan ketersediaan dan pendistribusian alokon, pengoptimalan peran
KB dalam hal sosialisasi terkait informasi keluarga berencana secara masif, dan
pelayanan kesehatan dan konsultasi KB yang dilakukan secara daring untuk
mengatasi hal tersebut. Hal ini terlihat dengan adanya kenaikan mCPR, penurunan
unmet need dan peningkatan kembali jumlah akseptor KB, sehingga kekhawatiran
akan terjadinya baby boom di Indonesia kecil kemungkinannya akan terjadi.

Kata Kunci: Fertilitas, Unmet Need, Baby Boom, Covid-19

The Impact of Covid-19 Pandemic on Fertility in Indonesia

Abstract
It is feared that the lockdown policy due to the Covid-19 pandemic has the
potential to cause a baby boom due to an increase in unmet need and a decrease
in the use of contraceptives that occurred during the early days of the Covid-19
pandemic. The data used is based on the results of the IDHS publications and the
BKKBN reports. The analysis used in this paper is the descriptive analysis which
is presented in the form of graphics. From the results of data analysis, it is known
that the impact of the Covid-19 pandemic on fertility was only seen at the
beginning of the pandemic and the government had anticipated through the
BKKBN by carrying out policies related to family planning, such as increasing the
availability and distribution of contraceptives, optimizing the role of family
planning in the socialization of family planning information. massively, and health
services and family planning consultations conducted online to overcome this.
This is evident from the increase in mCPR, a decrease in unmet need, and an
increase in the number of family planning acceptors so that there is little
likelihood that there will be a baby boom in Indonesia.

Keywords: Fertility, Unmet Need, Baby Boom, Covid-19

1
PENDAHULUAN

Saat ini dunia sedang menghadapi pandemi akibat virus corona atau
Coronavirus Disease (Covid-19). Virus yang ditemukan pertama kali pada akhir
tahun 2019 di Wuhan, China, dapat menyebar pada manusia dan hewan. Dimana
pada manusia penyebarannya dapat terjadi melalui cairan ketika penderita
batuk/bersin. Umumnya, virus ini menyerang saluran pernapasan manusia dengan
gejala seperti flu hingga menyebabkan sindrom pernapasan akut berat atau Severe
Acute Respiratory Syndrome (SARS). Jumlah penduduk dunia yang semakin besar
dan mobilitas penduduk yang semakin mudah berdampak pada persebaran Covid-
19 yang cepat di berbagai belahan dunia. Oleh karenanya, pada tanggal 30 Januari
2020 World Health Organization (WHO) telah menetapkan Covid-19 sebagai
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia/Public Health
Emergency of International Concern (KKMD/ PHEIC). Menurut data WHO,
kondisi hingga 24 Februari 2021, tercatat ada sebanyak 111.593.583 laporan kasus
dengan 2.475.020 kematian yang tersebar lebih dari 215 negara di Dunia dan di
Indonesia sendiri terdapat 1.298.608 laporan kasus yang serupa dengan 35.014
kematian.

Berbagai macam kebijakan dilakukan oleh pemerintah di berbagai negara


dalam upaya mencegah terjadinya penularan Covid-19. Salah satunya yaitu terkait
dengan kebijakan lockdown yang telah diterapkan oleh banyak negara seperti
China, Italia, Australia, Spanyol, dll. Pemerintah Indonesia sendiri juga telah
melakukan hal yang sama yaitu dengan cara memberlakukan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah Indonesia, penerapan social
distancing, pembatasan perjalanan, dan working/school from home. Berbagai jenis
kebijakan pembatasan yang diterapkan dimaksudkan untuk mengurangi kontak
antar penduduk dikarenakan Covid-19 yang dapat menyebar dengan mudah
khususnya melalui kontak langsung. Penerapan kebijakan pembatasan ini
kemudian mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, salah satunya dari aspek
kesehatan reproduksi.

Pada masa pandemi, pelayanan kesehatan lebih difokuskan untuk


penanganan pasien Covid-19. Hal ini mengakibatkan penanganan terkait

2
kesehatan reproduksi menjadi relatif berkurang. Pembatasan aktivitas masyarakat
juga membuat akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kontrasepsi
menjadi terhambat. Masyarakat memiliki kekhawatiran untuk mendatangi fasilitas
kesehatan secara langsung dalam rangka memperoleh alat kontrasepsi,
memeriksakan kehamilan, dan persalinan. Akibatnya, terjadi peningkatan risiko
kehamilan yang tidak diinginkan dan Angka Kematian Ibu (AKI). Studi United
Nations Population Fund atau UNFPA (2020) memperkirakan banyaknya unmet
need KB dan kehamilan yang tidak diinginkan akibat adanya kebijakan lockdown
pada berbagai skema waktu. Lockdown dalam rentang 3 hingga 12 bulan
berpotensi meningkatkan jumlah perempuan yang tidak dapat mengakses
kontrasepsi modern sebanyak 13 juta hingga 51 juta orang (skenario gangguan
pelayanan kesehatan tingkat rendah/lockdown rendah). Kondisi ini kemudian
dapat berpotensi meningkatkan 325 ribu hingga 6 juta kehamilan yang tidak
diinginkan.

Tidak berbeda dengan negara lain di dunia, Indonesia juga menerapkan


skema kebijakan serupa. Di satu sisi pembatasan aktivitas masyarakat membuat
masyarakat lebih banyak beraktivitas di rumah dan meningkatkan kegiatan seksual
dalam rumah tangga. Namun di sisi lain pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi
justru mengalami hambatan. Hambatan ini terjadi pada berbagai macam aspek
pelayanan kesehatan reproduksi. Beberapa fasilitas kesehatan dialihfungsikan
khusus untuk penanganan Covid-19. Sejumlah fasilitas kesehatan juga tidak
membuka layanan, termasuk penutupan sementara pelayanan KB serta pelayanan
ibu dan anak. Ditambah lagi program family planning yang selama ini dijalankan
bersifat full contact. Kondisi ini kemudian berdampak pada peningkatan unmet
need KB. Kepala BKKBN, dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K), menjelaskan bahwa
pandemi Covid-19 sangat berdampak terhadap Kegiatan Pelayanan KB yang
dijalankan BKKBN. Berdasarkan data BKKBN, selama periode Februari dan
Maret 2020 terjadi penurunan penggunaan kontrasepsi modern sekitar 35 hingga
47 persen (www.kompas.com). Hal ini dapat berpotensi meningkatkan kehamilan
yang tidak direncanakan sebanyak 15 persen. Apabila penurunan penggunaan alat
kontrasepsi semakin besar maka dapat berpotensi meningkatkan angka fertilitas
secara signifikan dan dikhawatirkan menimbulkan baby boom pasca pandemi.

3
Kondisi ini tentu akan semakin menghambat visi BKKBN yaitu
“Terwujudnya Penduduk Tumbuh Seimbang dan Berkualitas”. Kondisi tumbuh
seimbang yang ingin dicapai adalah penurunan TFR menjadi 2,1 pada tahun 2025
yang sejatinya merupakan target pada tahun 2015-2019. Peningkatan unmet need
akibat pandemi Covid-19 tentu saja dapat berpotensi menjadi batu sandungan
terhadap pencapaian target TFR yang diinginkan oleh pemerintah. Oleh karena
itu, untuk dapat melihat dampak Covid-19 terhadap fertilitas maka dalam tulisan
ini akan dilakukan pembahasan terkait gambaran umum perkembangan tren
fertilitas di Indonesia pada masa sebelum dan sesudah pandemi Covid-19. Namun
karena keterbatasan data fertilitas setelah Covid-19 maka dalam melihat tren
fertilitas akan didekati dari gambaran beberapa indikator (mCPR, unmet need,
tingkat putus pakai kontrasepsi) yang mempengaruhi fertilitas pada masa sebelum
dan sesudah Covid-19. Selain itu, akan diulas mengenai upaya penangan dan
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menangani persoalan ini.

METODE PENELITIAN
A. Landasan Teori
Terjadinya pandemi Covid-19 yang merata di seluruh dunia termasuk
Indonesia berpengaruh terhadap banyak hal, termasuk fertilitas. Banyak kalangan
memperkirakan bertambahnya jumlah kelahiran yang diakibatkan terjadinya
pandemi Covid-19. Diperkirakan terdapat sebanyak 15 juta kelahiran yang tidak
diinginkan di seluruh dunia jika mekanisme lockdown diberlakukan selama
setahun penuh dengan tingkat gangguan layanan kesehatan yang tinggi (UNFPA,
2020). Hal serupa juga diperkirakan akan terjadi di Indonesia yang menurut
prediksi BKKBN terdapat sekitar 500 ribu kehamilan yang tidak diinginkan
(www.cnnindonesia.com).

Tingginya tingkat fertilitas karena pandemi Covid-19 dapat dipengaruhi


oleh banyak faktor diantaranya menurunnya penggunaan alat kontrasepsi
(contraceptive prevalence rate). Davis dan Blake (1956) dalam “Social Structure
and Fertility: An Analytic Framework” mengemukakan konsep variabel antara
yang berpengaruh secara langsung terhadap tingkat fertilitas. Terdapat sebelas

4
variabel antara yang berpengaruh secara langsung terhadap fertilitas diantaranya
adalah penggunaan kontrasepsi. Oleh karena itu pandemi Covid-19 berpengaruh
terhadap fertilitas diduga karena adanya penurunan penggunaan alat kontrasepsi.

Senada dengan Davis dan Blake, Bongaarts (1984) membuat suatu model
sederhana yang mampu memprediksi tingkat fertilitas melalui besarnya
penggunaan alat kontrasepsi. Model tersebut memasukkan variabel prevalensi dan
efektifitas penggunaan alat kontrasepsi sebagai salah satu kontrol dalam
pencapaian target fertilitas. Model yang dibuatnya memberikan metode sederhana
dalam menentukan besarnya prevalensi penggunaan alat kontrasepsi untuk
mencapai target tingkat fertilitas yang diinginkan.

Selanjutnya terdapat bukti empiris bahwa ada hubungan antara kecepatan


penyebaran penggunaan kontrasepsi dan penurunan fertilitas terlihat di sejumlah
negara (Freedman, 1979). Becker (1960) juga mengatakan bahwa masyarakat
dengan pengetahuan kontrasepsi yang rendah cenderung mempunyai anak yang
lebih banyak. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Easterlin bahwa
penurunan fertilitas terjadi pada pasangan jika mereka mempraktekkan
penggunaan kontrasepsi yang efektif untuk mengontrol jumlah keluarga (Burch,
1997).

Berdasarkan teori tersebut, tingkat fertilitas sangat dipengaruhi oleh


besarnya prevalensi penggunaan alat kontrasepsi di suatu wilayah. Sementara
pengguna alat kontrasepsi pada masa pandemi tercatat mengalami penurunan
hingga 10 persen menurut prediksi BKKBN (www.detik.com). Penurunan ini
disebabkan kebijakan stay at home, social distancing, dan physical distancing
yang diberlakukan selama pandemi membuat masyarakat enggan untuk
mendatangi fasilitas kesehatan. Selain itu banyaknya pelayanan kesehatan yang
fokus menangani pandemi Covid-19 mengakibatkan sulitnya mendapatkan
pelayanan atau akses terhadap alat kontrasepsi yang biasa mereka gunakan.
Dengan penurunan angka tersebut diperkirakan jumlah kelahiran akan mengalami
peningkatan.

5
Selain prevalensi penggunaan alat kontrasepsi, faktor lain yang
menyebabkan tinginya tingkat kelahiran adalah peningkatan kebutuhan ber-KB
yang tidak terpenuhi (unmet need). Pada masa sebelum pandemi banyak aspek
yang melatarbelakangi kondisi seseorang menggunakan alat kontrasepsi yang
tidak sesuai keinginannya. Beberapa aspek tersebut antara lain seperti
ketidaknyamanan, keterbatasan atau ketersediaan, dan harga (Listyaningsih et all,
2016). Setelah pandemi Covid-19 terjadi berbagai aspek yang tadinya
berpengaruh terhadap unmet need menjadi semakin mempersulit masyarakat yang
ingin menggunakan alat kontrasepsi sesuai dengan keinginannya. Kesulitan
tersebut dapat ditinjau dari dua sisi, baik pemerintah sebagai penyedia layanan
maupun masyarakat sebagai pengguna layanan. Pemerintah yang terlalu fokus
pada penanganan pandemi dapat menyebabkan inkonsistensi penyediaan alat
kontrasepsi yang sesuai keinginan masyarakat. Sebaliknya kesulitan ekonomi
yang menimpa masyarakat akibat adanya pandemi Covid-19 memaksa masyarakat
menunda kebutuhan ber-KB untuk dialihkan kepada kebutuhan yang lebih
mendesak. Kedua hal ini dapat menjelaskan mengapa pandemi Covid-19
diprediksi dapat menaikkan unmet need yang berdampak pada meningkatnya
jumlah kelahiran. Beberapa ahli demografi menduga adanya permintaan yang
tidak terpenuhi (unmet need) untuk mengontrol fertilitas di negara-negara dengan
fertilitas tinggi (Bradley, 2015). Artinya unmet need yang tinggi menyebabkan
tingkat fertilits yang relatif tinggi.

Sementara itu BKKBN dalam perencanaannya menggunakan beberapa


indikator untuk mencapai tujuannya dalam menurunkan angka kelahiran seperti
meningkatkan prevalensi kontrasepsi (mCPR), menurunkan unmet need,
meningkatkan peserta KB aktif yang menggunakan Metode Kontrasepsi Jangka
Panjang (MKJP), dan menurunkan tingkat putus pakai kontrasepsi (BKKBN,
2019). Sehingga selain mCPR dan unmet need indikator jenis/metode kontrasepsi
dan keberlanjutan penggunaan juga merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat
fertilitas. Secara keseluruhan dengan adanya pandemic Covid-19, hampir semua
indikator yang digunakan oleh BKKBN mengalami hambatan dalam
pelaksanaannya.

6
Selanjutnya tingkat fertilitas juga dipengaruhi secara langsung oleh
frekuensi hubungan seksual antara suami dan istri. Hal ini sebagaimana
disampaikan oleh Davis dan Blake (1956) yang memasukkan frekuensi hubungan
seksual termasuk dalam variabel antara. Hal senada juga disampaikan oleh
Bongaarts (1984) bahwa frekuensi hubungan seksual termasuk ke dalam tujuh
variabel yang berpengaruh kuat terhadap fertilitas. Adanya kebijakan PSBB, work
from home, dan serangkaian kebijakan yang lain menjadikan seseorang lebih
banyak beraktivitas di dalam rumah dan menyebabkan kemungkinan terjadinya
hubungan seksual semakin besar. Hal ini akan mengakibatkan tingginya tingkat
fertilitas di suatu wilayah yang menerapkan kebijakan pembatasan kegiatan dalam
waktu yang cukup lama.

B. Sumber Data dan Analisis


Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif untuk
menganalisis dampak pandemi Covid-19 terhadap fertilitas di Indonesia. Sumber
data yang digunakan dalam tulisan ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
berbagai publikasi, website resmi kementerian/lembaga pemerintah, dan berbagai
penelitian yang telah dilakukan baik lembaga nasional maupun lembaga
internasional serta laporan jumlah kelahiran dan pengguna kontrasepsi di
Indonesia.

Sementara itu akan digunakan metode analisis deskriptif dengan


memberikan gambaran jelas dan spesifik tentang kondisi fertilitas di Indonesia
sebelum dan sesudah pandemi Covid-19. Selain itu akan digambarkan pula
kondisi beberapa faktor yang yang berpengaruh terhadap fertilitas baik sebelum
dan sesudah pandemi Covid-19. Melalui gambaran indikator yang berpengaruh
terhadap fertilitas akan diambil kesimpulan untuk memperkirakan kondisi
fertilitas yang diakibatkan oleh adanya pandemi Covid-19.

7
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Tren Fertilitas di Indonesia Sebelum Pandemi Covid-19
Indonesia adalah negara terpadat keempat di dunia, setelah China, India
dan Amerika Serikat. Menurut Publikasi Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-
2045, penduduk Indonesia pada bulan Juni 2015 sebesar 255,6 juta baik pada
skenario A maupun skenario B. Pada skenario A dan skenario B pertumbuhan
penduduk berlanjut sepanjang periode proyeksi. Pada skenario A penduduk
diproyeksikan mencapai 294,1 juta pada tahun 2030 dan 318,9 juta pada tahun
2045. Pada skenario B penduduk mencapai 292,5 juta pada tahun 2030 dan 311,6
juta pada tahun 2045 (BPS, 2018).
Survei Demografi dan Kesehatan telah mengumpulkan data tentang
fertilitas selama hampir 30 tahun. Informasi tentang fertilitas sangat penting dalam
memantau pertumbuhan penduduk dan mengembangkan kebijakan dan program
(DHS, 2020).
Indikator DHS tentang fertilitas saat ini terdiri dari: tingkat fertilitas total
dan spesifik usia, tingkat fertilitas umum, angka kelahiran kasar, fertilitas menurut
durasi perkawinan, anak-anak lahir dan hidup, interval kelahiran menurut
karakteristik latar belakang, usia saat pertama lahir, kehamilan remaja dan
menjadi ibu menurut karaktersitik latar belakang serta urutan lahir.
TFR (Total Fertility Rate) merupakan salah satu indikator fertilitas yang
dihitung dalam Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Hasil SDKI
2002, 2007, dan 2012 menunjukkan bahwa TFR Indonesia stagnan di angka 2,6
anak per wanita. Sedangkan hasil Sensus Penduduk 2000 dan 2010 menunjukkan
sedikit peningkatan TFR dari 2,3 menjadi 2,4. Menghambatnya kesuburan
sebagian telah dikaitkan dengan lambatnya peningkatan prevalensi kontrasepsi
dan peningkatan yang stabil dalam tingkat penghentian kontrasepsi (Samosir dkk,
2019). Sedangkan di tahun 2017, TFR Indonesia menjadi 2,4 anak per wanita
(SDKI, 2017). Tren TFR Indonesia selama SDKI 2002, 2007, 2012 dan 2017
ditunjukkan pada Gambat 1.

8
Sumber: Publikasi SDKI/DHS
Gambar 1. Tren Fertilitas Indonesia 2002-2017

Jika kita melihat tren TFR Indonesia menurut tempat tinggal yang
ditunjukkan pada Gambar 2, diketahui bahwa di tahun 2002 TFR penduduk
perkotaan adalah 2,4, kemudian di tahun 2007, 2012 dan 2017 stagnan pada angka
2,3. Sementara itu TFR penduduk perdesaan terjadi fluktuatif, dimana pada tahun
2002 berada pada angka 2,7. Kemudian di tahun 2007 naik menjadi 2,8 dan di
tahun 2012 stagnan pada angka 2,8. Namun hal yang cukup mengesankan di tahun
2017 turun menjadi 2,6

Sumber: Publikasi SDKI/DHS


Gambar 2. Tren Fertilitas Indonesia Menurut Tempat Tinggal 2002-2017

Berdasarkan Publikasi Fertilitas Penduduk Indonesia: Hasil Sensus


Penduduk Indonesia 2010 ditunjukkan bahwa Age Spesific Fertility Rates (ASFR)

9
merupakan angka kelahiran menurut kelompok umur yang menunjukkan jumlah
kelahiran yang dialami oleh wanita kelompok umur tertentu antara 15-49 tahun.
Angka ini biasanya dinyatakan dengan jumlah kelahiran dari wanita kelompok
umur tertentu per 1.000 wanita pada kelompok umur tersebut (BPS, 2011).
Tren ASFR Indonesia pada SDKI 2002-2017 seperti pada Gambar 3,
menunjukkan bahwa secara umum fertilitas wanita berada dalam puncaknya pada
kelompok umur 25-29 tahun, meskipun hanya pada SDKI 2007 puncaknya pada
kelompok umur 20-24 tahun dengan angka 135 kelahiran sangat tipis dengan
kelompok umur 25-29 tahun dengan angka 134 kelahiran.

Sumber: Publikasi SDKI/DHS


Gambar 3. Tren ASFR Indonesia 2002-2017

Selain itu terdapat perbedaan pola dari ASFR yaitu terjadi penurunan
ASFR pada kelompok umur 25-29 tahun, sebaliknya peningkatan ASFR pada
kelompok umur 30-34 tahun. Sedangkan pada kelompok umur 15-19 tahun terjadi
penurunan ASFR secara signifikan yaitu pada tahun 2002 sebanyak 51 kelahiran
dan di tahun 2017 menurun sampai 36 kelahiran. Hal ini mengindikasikan
kesadaran wanita untuk tidak menikah di usia muda dan banyaknya wanita yang
lebih mengutamakan untuk menyelesaikan pendidikan SMA.
Median jarak antara kelahiran dan banyaknya kelahiran hidup merupakan
indikator-indikator penting fertilitas yang juga dibahas dalam SDKI. Tren median
jarak antar kelahiran terus meningkat selama 1,5 dekade yaitu dari 54,2 bulan

10
pada SDKI 2002 menjadi 54,6 bulan pada SDKI 2007, dan 60,2 bulan pada SDKI
2002 menjadi 64,6 bulan pada SDKI 2017.

Sumber: Publikasi SDKI/DHS


Gambar 4. Tren Median Jarak Antar Kelahiran di Indonesia 2002-2017

Hasil SDKI 2017 menunjukkan median jarak antar kelahiran 64,6 bulan
artinya separuh dari seluruh kelahiran (tidak termasuk kelahiran pertama) terjadi
lebih dari 5 tahun setelah kelahiran sebelumnya (Gambar 4) dan 9 persen
kelahiran terjadi dalam jangka waktu kurang dari 24 bulan sejak kelahiran
sebelumnya (Gambar 5). Peningkatan ini sangat baik karena jarak antar kelahiran
berkaitan dengan risiko kesakitan dan kematian pada anak. Risiko ini akan lebih
tinggi pada jarak kurang dari 24 bulan. Jarak antar kelahiran yang lebih panjang
bukan hanya menguntungkan bagi anak, tetapi juga akan meningkatkan status
kesehatan ibu (BKKBN dkk., 2018).

Sumber: Publikasi SDKI/DHS


Gambar 5. Jarak Antar Kelahiran 2017

11
B. Gambaran Indikator yang Mempengaruhi Fertilitas
Jumlah kelahiran berpotensi mengalami peningkatan akibat adanya pandemi
Covid-19. Tingginya tingkat fertilitas karena pandemi Covid-19 dapat dipengaruhi
oleh banyak faktor. Total Fertility Rate (TFR) adalah indikator yang biasanya
digunakan untuk menggambarkan tingkat fertilitas suatu wilayah. Namun, karena
keterbatasan data yang tersedia, akan digunakan indikator fertilitas lain sebagai
pendekatan tingkat kelahiran. Pada bagian pembahasan ini akan dijelaskan
bagaimana perkembangan empat indikator yang diduga berpengaruh terhadap
fertilitas selama masa pandemi Covid-19, yaitu prevalensi kontrasepsi modern
(mCPR), unmet need, peserta KB aktif yang menggunakan Metode Kontrasepsi
Jangka Panjang (MKJP), dan tingkat putus pakai kontrasepsi. Selain itu, juga akan
dilihat estimasi atau perkiraan fertilitas di waktu mendatang dari pola yang terjadi
saat ini. Dengan adanya kebijakan pembatasan aktivitas di luar rumah pada
beberapa wilayah akan mempengaruhi pelayanan kontrasepsi, termasuk di
Indonesia. Dampak yang terlihat, yaitu terganggunya pasokan obat esensial dan
alat kontrasepsi, serta keterbatasan masyarakat untuk mengakses layanan
kesehatan reproduksi. Masalah tersebut dapat meningkatkan unmet need atau
kondisi kebutuhan Pasangan Usia Subur (PUS) untuk ber-KB tidak terpenuhi,
kehamilan yang tidak diinginkan, sampai pada meningkatnya angka kematian ibu
dan anak.
Berdasarkan riset Badan PBB untuk Dana Kependudukan (UNFPA) bekerja
sama dengan Avenir Health, Johns Hopkins University (USA) dan Victoria
University (Australia), di negara-negara berpendapatan rendah, ditemukan bahwa
apabila gangguan layanan kesehatan dan lockdown terus terjadi hingga enam
bulan akibat pandemi Covid-19, sebanyak 47 juta perempuan diprediksi tidak bisa
mengakses alat kontrasepsi modern. Konsekuensinya, akan muncul 7 juta
kehamilan tak diharapkan jika penguncian berlangsung selama 6 bulan dan
terdapat gangguan besar pada layanan kesehatan. Untuk setiap 3 bulan penguncian
berlanjut, hingga 2 juta wanita tambahan mungkin tidak dapat menggunakan
kontrasepsi modern. Selain itu, dari sisi gender terdapat tambahan 31 juta kasus
kekerasan berbasis gender diperkirakan akan terjadi jika penguncian berlanjut
setidaknya selama 6 bulan. Untuk setiap 3 bulan penguncian berlanjut, tambahan

12
15 juta kasus tambahan kekerasan berbasis gender akan terjadi. Menariknya,
Covid-19 diperkirakan akan mengganggu upaya untuk mengakhiri pernikahan
anak, yang berpotensi menghasilkan 13 juta pernikahan anak tambahan yang
terjadi antara tahun 2020 dan 2030 yang bisa dihindari.
Terkait dengan hasil riset tersebut, maka negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia, harus mulai mengantisipasi terjadinya baby boom. Baby
boom merupakan peristiwa ledakan angka kelahiran bayi. Istilah tersebut biasanya
menjelaskan tentang adanya peningkatan jumlah kelahiran bayi dalam waktu yang
singkat. Potensi baby boom ini memang perlu diperhatikan di Indonesia dan
diprediksi dapat terjadi setelah pandemi Covid-19. Hal ini dapat terjadi karena
selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sebagian besar penduduk
tinggal di rumah yang berpotensi mempengaruhi situasi kependudukan, khususnya
tingkat fertilitas, melalui dua cara. Pertama, kemungkinan meningkatnya frekuensi
hubungan seksual antara suami dan istri. Kedua, kurangnya akses ke alat
kontrasepsi karena orang tidak boleh keluar rumah. Hal tersebut diperkirakan
karena aktivitas dari keikutsertaan KB oleh masyarakat berkurang di setiap
lokasinya. Terlebih beberapa pelayanan juga berkurang karena adanya Covid-19.
Berdasarkan data BKKBN, seperti yang terlihat pada Gambar 6, pada bulan
Februari hingga April 2020, yaitu masa periode awal penyebaran Covid-19 di
Indonesia, terjadi penurunan jumlah peserta KB baru (PB). Jumlah peserta KB
baru (PB) ini merupakan jumlah PUS yang baru pertama kali atau kembali
menggunakan kontrasepsi setelah melahirkan atau aborsi, dengan menggunakan
metode modern yang meliputi IUD, MOW, MOP, implan, kondom, suntik, dan
pil.

Sumber: Laporan Bulanan BKKBN


Gambar 6. Jumlah Peserta Baru Metode Kontrapsesi Jangka Panjang, 2020

13
Selain penurunan jumlah peserta KB baru, pandemi Covid-19 juga
menyebabkan keterbatasan dalam akses pelayanan kontrasepsi. Keterbatasan ini
bisa berkaitan dengan pelayanan KB yang membutuhkan full contact, sementara
pemerintah menerapkan aturan physical distancing. Akibatnya, terjadi penurunan
partisipasi penggunaan alat kontrasepsi di masyarakat, utamanya pada persentase
PUS yang menjadi Peserta KB Aktif (PA) di suatu wilayah pada kurun waktu
tertentu atau disebut juga modern Contraceptive Prevalence Rate/angka
prevalensi kontrasepsi modern (mCPR). Dari laporan yang disampaikan oleh
BKKBN, terlihat penurunan peserta KB pada awal penyebaran virus (bulan
Februari s.d Maret 2020) dibandingkan pada bulan di akhir tahun sebelumnya
(Oktober-Desember 2019) (Gambar 7). Idealnya mCPR mengalami peningkatan
setiap bulannya, namun penurunan mCPR yang cukup drastis ini bisa jadi
disebabkan karena kebutuhan KB yang tidak terpenuhi (unmet need) atau
peningkatan tingkat putus pakai (drop out) pada masa pandemi terutama bagi
pengguna metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) yang habis masa aktifnya.

Sumber: Laporan Bulanan BKKBN


Gambar 7. Persentase Peserta Aktif Per PUS (mCPR) Indonesia, 2019-2020

Jika dilihat total layanan kontrasepsi di Indonesia, selama bulan januari


sampai dengan Juli 2020, secara total terjadi penurunan jumlah pelayanan KB
terutama pada awal penyebaran virus, dengan puncak penurunan pada bulan April
2020 (Gambar 8). Hasil ini sejalan dengan data Susenas Maret 2020 yang
menunjukan adanya penurunan secara umum persentase perempuan umur 15-49

14
tahun yang pernah kawin yang menggunakan alat KB modern dibandingkan
dengan Susenas Maret 2019, yaitu sebesar 0,51 persen poin (BPS, 2020).
4000000

3850000

3700000

3550000

3400000

3250000

3100000

2950000

2800000
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli

Sumber: Laporan BKKBN


Gambar 8. Jumlah Total Layanan Kontrasepsi Indonesia
(Januari-Juli, 2020)

Sementara itu, dari Tabel 1 terlihat bahwa penurunan terbesar penggunaan


metode kontrasepsi adalah metode suntik, yaitu sebesar 44.308 peserta pada bulan
April 2020 (dibandingkan dengan bulan Maret sebesar 88.484). Menurunnya
mCPR ini dapat disebabkan karena adanya hambatan dalam pelaksanaan program
KB. Dari hasil Susenas Maret 2020 diketahui telah terjadi penurunan persentase
perempuan 15-49 tahun pernah kawin yang melakukan kunjungan ke praktik
bidan untuk memasang atau mendapatkan alat kontrasepsi modern, yaitu dari
47,73 persen pada tahun 2019 menjadi 47,46 persen pada tahun 2020 (BPS, 2020).
Terdapat dua kemungkinan penyebab mengapa hal tersebut terjadi, yang pertama
calon akseptor tidak datang karena mematuhi imbauan physical distancing. Selain
itu, juga karena banyak fasilitas kesehatan yang tutup karena tidak siap praktik.
Ada juga yang masih melayani, tapi diturunkan yang tadinya sehari melayani 50
orang, menjadi 20 orang. Penelitian Litbangkes juga menunjukkan bahwa selama
pandemi, 30 persen puskesmas tidak aktif dan hanya 19,2 persen posyandu saja
yang aktif memberikan pelayanan (CNN Indonesia, 2020). Apabila 15 persen saja
diantara PUS yang mengalami kondisi unmet need tersebut kemudian hamil, maka

15
dapat diprediksi bahwa akan ada tambahan sebesar 300.000 sampai dengan
450.000 kelahiran bayi.
Tabel 1. Jumlah Perbandingan Penggunaan Alat Kontrasepsi Modern
Indonesia (Januari-Juli, 2020)

Metode
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Jumlah
Kontrasepsi
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
IUD 37.954 41.547 36.123 23.599 23.229 63.005 35.976 261.433
MOW 8.190 10.182 8.978 8.106 8.690 9.370 8.195 61.711
MOP 117 395 181 24 42 385 71 1.215
Kondom 70.657 77.045 72.492 67.741 75.969 166.956 94.423 625.283
Implan 69.676 93.675 88.484 44.308 41.181 225.498 77.099 639.921
Suntik 1.688.645 1.684.624 1.711.484 1.639.136 1.650.672 1.877.380 1.929.529 12.181.470
Pil 1.147.805 1.202.471 1.176.850 1.148.611 1.201.927 1.542.238 1.375.239 8.795.141
Jumlah 3.023.044 3.109.939 3.094.592 2.931.525 3.001.710 3.884.832 3.520.532 22.566.174
Sumber: Laporan BKKBN

Seperti yang disampaikan sebelumnya, dampak lain dengan adanya


keterbatasan akses terhadap pelayanan kontrasepsi dapat menyebabkan
peningkatan angka kehamilan yang tidak direncanakan (unmet need). Idealnya,
dengan program KB yang berjalan dengan baik, perkiraan unmet need di suatu
wilayah dapat diturunkan. Dalam masa pandemi ini, terlihat bahwa telah terjadi
peningkatan kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi, terutama di awal masa
pandemi (Gambar 9). Hal ini juga sejalan dengan penurunan kesertaan ber-KB
pada PUS (mCPR) atau tingginya tingkat putus pakai pada PUS. Dengan kata lain,
potensi peningkatan fertilitas di masa pandemi cukup besar mengingat adanya
peningkatan unmet need yang disertai dengan penurunan penggunaan alat
kontrasepsi di pada triwulan pertama KB tahun 2020.

16
Sumber: Laporan Bulanan BKKBN
Gambar 9. Persentase Perkiraan Kebutuhan Ber-KB Tidak Terpenuhi
(unmet need), 2019-2020

Berbicara mengenai pelayanan KB, angka putus pakai (discontinuation


rate) menjadi indikator yang penting dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan
keluarga berencana di Indonesia. Angka putus pakai atau Angka
ketidaklangsungan pemakaian kontrasepsi atau Contraceptive Discontinuation
Rate (CDCR) merupakan proporsi pengguna alat/cara KB yang tidak meneruskan
suatu episode penggunaan alat/cara KB tertentu dalam suatu periode terpapar
karena berbagai alasan seperti kegagalan atau mengalami efek samping. Indikator
ini digunakan untuk mengukur kualitas pemakaian metode kontrasepsi. Pada
Gambar 10, terlihat ada penurunan jumlah peserta KB aktif, yaitu peserta KB
yang sedang menggunakan salah satu metode kontrasepsi secara terus menerus
tanpa diselingi kehamilan, pada awal pandemi Covid-19 melanda Indonesia.
Penurunan tersebut diperkirakan juga terjadi karena alasan yang disebutkan
sebelumnya terkait dengan pandemi Covid-19. Meskipun ada beberapa faktor lain
yang juga memiliki kecenderungan mempengaruhi angka ketidaklangsungan
penggunaan kontrasepsi. Faktor-faktor tersebut, yaitu jumlah anak, wilayah
tempat tinggal, tingkat pendidikan dan tingkat kesejahteraan keluarga memiliki
kecenderungan mempengaruhi ketidaklangsungan penggunaan kontrasepsi. Secara

17
keseluruhan diperkirakan terdapat hingga 10 persen penurunan PUS yang
mengalami putus pakai pada tahun 2020. Sebagai ilustrasi, akseptor KB di
Indonesia angka terendahnya itu 28 juta. Misalnya saja, dari 10 juta pasangan usia
subur (PUS) yang putus pakai alat kontrasepsi, minimal 25 persen atau 2,5 juta
adalah PUS usia sangat produktif (20-30 tahun) dengan tingkat fertilitas tinggi
atau mudah hamil. PUS usia produktif ini memiliki kemungkinan hamil mencapai
15-20 persen. Ketika mereka tidak pakai alat kontrasepsi, maka jumlah yang hamil
dan melahirkan bisa sebanyak 375.000 sampai 500.000 wanita usia subur.
Diketahui, rata-rata pertambahan jumlah penduduk Indonesia dari kelahiran setiap
tahunnya sebanyak 3 juta. Namun dengan potensi pertambahan kehamilan selama
pandemi yang diperkirakan BKKBN tersebut, bisa jadi pertumbuhan penduduk
Indonesia akan menjadi lebih tinggi.

Sumber: Laporan Bulanan BKKBN


Gambar 10. Jumlah Peserta Aktif KB Nasional Oktober 2019-Desember 2020

Berdasarkan pembahasan di atas, potensi lonjakan angka kelahiran bayi bisa


saja terjadi dan bisa menimbulkan beberapa permasalahan terkait kependudukan,
kualitas SDM, hingga ekonomi. Tingkat fertilitas tinggi dapat berdampak terhadap
berbagai bidang pembangunan. Tentunya dengan jumlah penduduk semakin
meningkat, dapat berdampak pada berbagai kebutuhan antara lain: lahan, air,
udara bersih, lingkungan bersih, makanan, dan tempat pembuangan sampah.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah berupaya keras di masa pandemi ini
untuk mengurangi laju pertumbuhan penduduk, salah satunya melalui program
KB. Upaya-upaya tersebut tampaknya memperlihatkan hasil yang baik. Hal

18
tersebut terlihat dengan adanya kenaikan kembali persentase mCPR, penurunan
unmet need, dan peningkatan kembali jumlah akseptor KB di bulan Juni hingga
akhir tahun 2020. Dengan demikian, meskipun terjadi penambahan kelahiran
secara agregat di Indonesia, namun kecil kemungkinan akan terjadi baby boom
seperti pada tahun 1960-an.

C. Kebijakan Terkait Fertilitas di Masa Pandemi Covid-19

Berbagai kebijakan yang telah diterapkan oleh Pemerintah dalam hal


menekan penularan kasus Covid-19 di Indonesia mempengaruhi berbagai aspek,
salah satunya menyebabkan kasus kelahiran tidak direncanakan mengalami
peningkatan. Hal tersebut terjadi dikarenakan kebijakan terkait lockdown ataupun
social distancing yang memberikan dampak terhadap kegiatan Pelayanan KB
yang dijalankan oleh BKKBN. Kegiatan pelayanan KB yang semula dilakukan
dengan people to people contact atau person to person yang dilakukan oleh
Penyuluh Keluarga Berencana dan kader-kader kini intensitasnya mengalami
penurunan semenjak adanya physical distancing. Tidak hanya itu, kondisi
pandemi Covid-19 juga menyebabkan terganggunya pengadaan dan
pendistribusian kontrasepsi yang membuat menurunnya penggunaan alat
kontrasepsi.

Dampak lainnya dari penerapan kebijakan akibat Covid-19 yaitu


penurunan pelayanan kesehatan. Tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang ada
lebih difokuskan untuk penanganan Covid-19, beberapa fasilitas bahkan
dialihfungsikan karena keterbatasan yang ada. Selain itu, pembatasan aktivitas
masyarakat membuat jam pelayanan pasien non Covid-19 dibatasi termasuk
pelayanan untuk family planning. Disisi lain peran aktif masyarakat dalam
keberlanjutan penggunaan KB juga mengalami penurunan mengingat masyarakat
juga enggan untuk mengunjungi berbagai fasilitas kesehatan dikarenakan
kekhawatiran akan terkena Covid-19. Berbagai macam hambatan yaitu turunnya
permintaan, terganggunya pasokan, dan pelayanan yang disertai dengan
peningkatan kegiatan seksual rumah tangga pada akhirnya berpotensi

19
meningkatkan kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini dikhawatirkan
menimbulkan kekhawatiran terjadinya lonjakan kelahiran bayi pasca Covid-19.

Penurunan jam ataupun pembatasan operasional fasilitas kesehatan tidak


hanya berimbas pada mereka yang mengalami kehamilan yang tidak direncanakan
namun juga berimbas bagi mereka yang mulai hamil sebelum terjadinya pandemi
Covid-19. Kontinuitas pemeriksaan kehamilan yang merupakan faktor penting
dalam kehamilan dan kelahiran yang aman menjadi terhambat. Tidak hanya itu,
pandemi juga memunculkan kekhawatiran sebagian masyarakat untuk melakukan
persalinan di fasilitas kesehatan yang justru meningkatkan potensi kematian bayi
dan kematian ibu.

Kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat juga turut berimbas pada


aspek ekonomi. Kondisi ekonomi yang memburuk mengakibatkan terjadinya
pemutusan hubungan kerja, dan pengurangan jam kerja yang berakibat pada
penurunan income masyarakat. Situasi ekonomi keluarga yang memburuk juga
akan berdampak pada pemenuhan asupan nutrisi. Jika jika keadaan kesehatan dan
status gizi ibu hamil tidak terpenuhi dengan baik maka dapat memicu munculnya
penyakit saat kehamilan (anemia) dan dapat menyebabkan janin lahir mati atau
bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) atau low birth weight (Syari
dkk, 2015).

Untuk itu, penting untuk dilakukan upaya-upaya dalam mengatasi dampak


dari kebijakan lockdown terkait dengan kehamilan yang tidak terencana maupun
resiko kehamilan yang terjadi selama Covid-19. Menjadikan permasalahan ini
sebagai sesuatu hal yang penting dan prioritas yang tinggi selama masa Covid-19.
Berbagai upaya telah diterapkan oleh BKKBN salah satunya seperti peningkatan
ketersediaan dan penguatan pendistribusian alokon (alat dan obat kontrasepsi)
MKJP di fasilitas kesehatan teregister BKKBN selama masa pandemi Covid-19.
Selain itu dilakukan upaya untuk memastikan keberlangsungan penggunaan alat
KB dengan cara mengunjungi pasangan usia subur, dimana kegiatan ini tetap
dijalankan dengan memprioritaskan protokol kesehatan. BKKBN juga berupaya
untuk mengoptimalkan peran Penyuluh Keluarga Berencana (PKB) dalam hal
sosialisasi terkait informasi keluarga berencana secara masif dan pendorong rantai

20
pasok alat KB hingga ke akseptor secara gratis. Upaya-upaya ini membuahkan
hasil yang baik dimana terlihat dengan adanya kenaikan kembali persentase
mCPR, penurunan unmet need, dan juga peningkatan kembali jumlah akseptor
KB.

Selama masa pandemi Covid-19, pentingnya dilakukan peningkatan akses


pelayanan kesehatan yang dilakukan secara daring salah satunya dengan cara
pemanfaatan teknologi telemedicine (pemakaian telekomunikasi untuk
memberikan informasi dan pelayanan medis jarak-jauh). Ini menjadi perlu
dilakukan untuk memberikan kemudahan informasi secara cepat dan menjangkau
masyarakat terkait dengan konsultasi akan kontrasepsi ataupun persiapan-
persiapan terkait kehamilan yang tidak diharapkan. BKKBN sendiri telah
menerapkan sistem pengadaan alokon melalui E-Katalog Nasional maupun E-
Katalog sektoral. Harapannya, kedepannya ini dapat meminimalisir hambatan
pelayanan yang terjadi akibat dari social distancing ataupun lockdown.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Dampak dari pandemi Covid-19 yang diikuti dengan berbagai kebijakan
lockdown dikhawatirkan berpotensi menimbulkan baby boom. Hal ini disebabkan
adanya peningkatan unmet need yang terjadi selama masa awal pandemi Covid-
19. Berbagai upaya telah dilakukan sebagai bentuk kesiapsiagaan pemerintah dan
BKKBN dalam menanggulangi ledakan jumlah kelahiran yang tidak diinginkan,
seperti upaya peningkatan ketersediaan dan pendistribusian alokon,
pengoptimalan peran PKB dalam hal sosialisasi terkait informasi keluarga
berencana secara masif, dan pelayanan kesehatan dan konsultasi KB yang
dilakukan secara daring. Upaya-upaya tersebut membuahkan hasil yang baik.
Terlihat dengan adanya kenaikan mCPR, penurunan unmeet need, dan
peningkatan kembali jumlah akseptor KB. Sehingga kecil kemungkinan akan
terjadi baby boom di Indonesia.

21
Saran
Karena akhir pandemi masih belum dapat diketahui secara pasti. Maka
penting untuk lebih mengarahkan dan mengalihkan PUS dalam menggunakan alat
kontrasepsi modern yang dapat digunakan pada jangka panjang seperti IUD. Tentu
saja ini harus dibarengi dengan sosialisasi, edukasi, dan pengadaan yang
menyeluruh. Memang biaya alat kontrasepsi modern jangka panjang relatif lebih
tinggi namun ini merupakan salah satu opsi penting yang harus dijalankan guna
mencegah semakin meningkatnya unmet need KB.

Selain itu, pelayanan secara daring merupakan pilihan yang tepat untuk
dilakukan selama masa pandemi Covid-19 ini sehingga harus diintensifkan. Disisi
lain masih terdapat beberapa wilayah ataupun keluarga di Indonesia yang masih
terkendala akan akses layanan dan pemanfaatan teknologi dikarenakan kondisi
pembangunan wilayah yang belum merata. Oleh karena itu, peningkatan
pelayanan secara daring perlu dibarengi dengan peningkatan pelayanan berbasis
komunitas (community based health-care) bagi daerah-daerah yang dirasa sulit
akan akses layanan maupun pemanfaatan teknologi. Sehingga, ini nantinya akan
menjangkau seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali dan diharapkan potensi
munculnya baby boom setelah pandemi Covid-19 dapat dihindarkan..

22
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2011). Fertilitas Penduduk Indonesia: Hasil Sensus


Penduduk Indonesia 2010. Jakarta: BPS
Badan Pusat Statistik. (2018). Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045: Hasil
SUPAS 2015. Jakarta: BPS
______________. (2020). Analisis Isu Terkini 2020. Jakarta: BPS
______________. (2020). Statistik Kesejahteraan Rakyat 2020. Jakarta: BPS
_____________ . (2019). Statistik Kesejahteraan Rakyat 2019. Jakarta: BPS
Badan Kependudukan Dan Keluarga Berencana Nasional. (2019). Laporan
Kinerja 2019. Jakarta:BKKBN
Becker, Gary S. (1960). An Economic Analysis of Fertility. Demographic
and Economic Change in Developed Countries. halaman 209 – 240:
Columbia University Press.
BKKBN, dkk. (2018). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta:
USAID
BKKBN. (2020). Visualisasi Dashboard Kinerja BKKBN.
https://dashboard.bkkbn.go.id/
Bongaarts, John. (1984). A Simple Method for Estimating the Contraceptive
Prevalence Required to Reach a Fertility Target. Studies in Family
Planning. Population Council.
Burch, Thomas K. (2010). Fertility Decline: T oward a Synthetic Model. PSC
Discussion Papers Series: Vol. 11: Iss. 1, Article 1. Tersedia di:
http://ir.lib. uwo.ca/pscpapers/vol11/iss1/1
CNN Indonesia. (2020). Pandemi, BKKBN Prediksi 500 Ribu Kelahiran Tak
Terencana. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200924163615-
255-550556/pandemi-bkkbn-prediksi-500-ribu-kelahiran-tak-terencana
Diakses tanggal 26 Februari 2021.
Davis, Kingsley dan Judith Blake. (1956). Social Structure and Fertility: an
Analytic Framework. Economic Development and Cultural Change. Vol.
4 No. 3.
DHS. (2020). The DHS Program: Demographic and Health Surveys. Diakses pada
tanggal 25 Februari 2020 melalui https://dhsprogram.com/Topics/Fertility-
and-Fertility-Preferences.cfm
Freedman, Ronald. (1979). Theories of Fertility Decline: A Reappraisal. Social
Forces Vol 58 No 1 (Sept 1979) Page 1-17: Oxford University Press.
Diakses pada tanggal 19 September 2020.
https://www.jstor.org/stable/2577781?seq=1
Syari, Mila, dkk. (2015). Peran Asupan Zat Gizi Makronutrien Ibu Hamil terhadap
Berat Badan Lahir Bayi di Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(3).
UNFPA. (2020). Impact of the COVID-19 Pandemic on Family Planning and
Ending Gender-based Violence, Female Genital Mutilation and Child
Marriage. Pandemic threatens achievement of the Transformative Results
committed to by UNFPA. https://www.unfpa.org/pcm/node/24179.
Diakses pada tanggal 26 Februari 2021.

23

Anda mungkin juga menyukai