Anda di halaman 1dari 14

1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Pernikahan adalah merupakan dambaan dari setiap insane yang telah dewasa dan

sehat jasmani dan rohaninya. Dengan pernikahan orang membentuk rumah tangganya sendiri

yang dilundungi oleh hokum dan diakui oleh masyarakat. Pernikahan ini menurut Martiman

Prajojo1, “adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-

isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga. Melalui pendapat ini dapat kita simak bahwa

pernikahan itu adlah suatu ikatan antara suami-isteri yang erat yang menunjukkan suatu

kesatuan yang utuh secara menyeluruh yang jasmani maupun dan yang rohani antara seorang

laki-laki dengan seorang perempuan.

Manusia yang berbudaya memandang pernikahan itu sebagai peristiwa akbar. Hal

ini nampak dari usaha manusia yang merayakan pernikahan itu secara meriah dan besar. Bagi

suku batak pernikahan tidak saja mengikat seorang laki-laki dan seorang perempuan, tetapi

mengikat keluarga dan kerabat kedua belah pihak menurut ketentuan adapt dan tatanan

kemasyarakatan. Menurut hasil penelitian Dj. Gultom Rajamarpodang, 2 salah seorang

antropolog Batak, ia sebut tatanan masyarakat Batak itu dengan “Dalihan Natolu” (DNT).

Dengan demikian dalam tatanan masyarakat Batak bahwa pernikahan bukanlah hanya perkara

yang bersangkutan saja atau kedua belah pihak orang tua, tetapi perkara kaum kerabat handai

tolan yang lebih luas. Maka setiap pelaksanaan pernikahan merupakan jalinan kekerabatan

handai tolah yang lebih luas.

1
Martiman Prajojo, Undang-undang Perkawinan dan Pelaksanaannya, Jakarta, 1994. hal. 24
2
Dj. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Natolu Nilai Budaya Suku Batak, CV. Armada Medan, 1992, hal. 52-61
Dalihan Natolu artinya tiga tiang tungku yang merupakan Falsafat budaya Batak, yaitu Somba Marhula-hula,
Elek marboru, dan Manar Mardongan tubu. System kekerabatan ini mengundang tiga unsure yaitu : Dongan
sabutuha, Hula-hula dan Boru/Bere yang harus berkaitan dalam melaksanakan keputusan-keputusan di dalam
sikap perilakunya dan segala kegiatan dalam Masyarakat Batak. Dalam kegiatan Masyarakat Batak ini dikatakan
sempurna apabila dari ketiga unsur itu ikut mendorong dan menghadirinya.
2

Pandangan hukum dan budaya masyarakat Batak di atas mengenai pernikahan ini

nampaknya ditopang oleh pemahaman menurut Alkitab, sebagaimana dikatakan dalam Kej.

2:18, yang mengatakan: “tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan

menjadikan penolong baginya, yang sepadn dengan dia. Sebab itu seorang laki-laki akan

meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi

satu daging”, (Kej. 2 : 14). Namun berbeda dengan undang-undang dari kebanyakan Negara

dan kebudayaan bangsa-bangsa, ikatan itu adalah ikatan seumur hidup sebab apa yang telah

dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia (Mat. 19:6). Sejalan dengan

pandangan Alkitab tersebut maka Jhon Stott, 3 mempertegas ungkapan Alkitab di atas dengan

mengatakan :

“Pernikahan adalah suatu ikatan yang heteroseksual antara

satu orang laki-laki dan satu orang perempuan,


ditahbiskan dan dikukuhkan oleh Allah, didahului
oleh bepergian meninggalkan orang tua dengan
sepengetahuan orang banyak mencapai kegenapan
yang sepenuhnya dalam persetubuhan menjadi
satu pasangan yang permanen saling menopang, dan
memahkotai dengan penganugrahan anak-anak”.

Tim Lahaye,4 lebih lanjut mengemukakan bahwa dalam pernikahan itu suami –

isteri mengalami suatu kehidupan bersama yang di dalamnya diciptakan hubungan yang erat

yang terwujud dalam praktek sehari-hari yaitu menjadi sehati sepikir dan saling memenuhi

dalam menjalani kehidupan bersama. Dan hubungan yang erat ini tercipta dari saling

penyesuaian yang sempurna antara suami-isteri dalam kehidupan sehari-hari dengan prinsip-

prinsip pernikahan sesuai dengan terang firman Allah.

Allah menghendaki supaya pasangan suami-isteri menjadi partner bagi

pasangannya karena setiap pihak harus memikirkan keperluan yang lain sebagaimana

keperluannya sendiri (bnd: Ams 31:12). Hal ini bukan saja berlaku bagi kehidupan kerohanian
3
John Stott, Isu-isu Global Menentang Kepemimpinan Kristiani, Yayasan Bina Kasih OMF, Jakarta, 1996,
hal.374.
4
Tim Lahye, Kebahagiaan Pernikahan Kristen, BPK Jakarta, 2000, hal. 3
3

tetapi juga dalam kehidupan jasmaniah mereka. Seperti yang ditekankan oleh Rasul Paulus

(Ep 5 :22-25).

Melalui penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Tuhan menghedaki

kebahagiaan dan keharmonisan menjadi bagian dalam setiap pernikahan Kristen. Dan di

dalam kehidupan pasangan tersebut disadari bahwa Kristus sendirilah yang menjadi kepala

dalam rumah tangga mereka. Gambaran ini memberikan prinsip yang hakiki dan mendasar

dalam setiap diri pasangan (rumah tangga) Kristen sebab di dalamnya terkandung kepatuhan

dan pengabdian kepada Kristus yang terwukud di dalam penghargaan pada pasangannya.

Namun demikian, tidaklah demikian kenyataannya yang muncul di dalam banyak pernikahan

Kristen pada saat ini. Pernikahan orang Kristen tersebut banya yang jauh dari “standar” yang

telah ditetapkan oleh Tuhan itu. Ini dapat dibuktikan dimana tidak sedikit di jumpai di tengah-

tengah masyarakat persoalan-persoalan dan kegagalan akibat pernikahan yang tidak bahagia

dan harmonis. Melalui pengamatan penulis sendiri, pemicu dari persoalan itu tidak

disebabkan oleh satu hal saja, namun beragam motif yang menyebabkannya.

Secara umum ada beberapa motif yang memberikan pengaruh dalam kegagalan

pernikahan, yaitu : factor ekonomi seperti ketidak mampuan salah satu pasangan dalam

memahami kebutuhan sehari-hari, factor social seperti terpengaruh oleh hal-hal yang

berkembang dalam masyarakat, budaya, factor neurosis (gangguan kejiwaan) dan persoalan

seksualitas. Dari beberapa factor di atas persoalan seksual juga merupakan factor yang

mendominasi pertengkaran dan rapunya ikatan pernikahan. Ini dapat dibuktikan dengan

maraknya budaya selingkuh atau perzinahan oleh masing-masing pasangan di dalam

masyarakat. Dan tidak sedikit persoalan ini juga menyentuh kebutuhan pasangan Kristen.

Factor seksualitas yang dominant mengancam ikatan pernikahan adalah kegagalan pasangan

untuk mendapatkan anak dipandang ketidak berdayaan biologis baik oleh yang bersangkutan
4

maupun oleh masyarakat.5 Karena itu tidak sedikit “pameo” yang bekembang di tengah-

tengah masyarakat yang bersifat negative, yang merendahkan dan cendrung menghakimi

pasangan yang tidak memiliki keturunan dan bahkan kadang-kadang sifatnya memprovokasi

masyarakat6.

Ada banyak anggota jemaat yang tidak memperoleh keturunan dalam pernikahan

mereka. Walaupun mereka pasangan yang normal. Tetapi kadangkala mereka tidak

mempunyai anak sebagai bukti hasil buah cinta kasih pernikahan mereka. Dalam kehidupan

sehari-hari mereka sering bergumul akibat situasi tersebut. Pergumulan itu dapat saja melanda

mereka baik secara pribadi, maupun dalam diri pasangan itu sendiri. Persoalan itu sendiri

akan semakin berkembang sewaktu orang lain yang seyogianya ikut membantu mereka dalam

pergumulannya, juga sering menjadi pemicu dan penambah persoalan itu sendiri. Hal-hal lain

yang tidak kalah hebatnya memicu dan menambah pergumulan itu sendiri seperti pengaruh

budaya, keluarga/orang tua, adat dan sebagainya.

Melihat kondisi ini sudah sewajarnya Gereja bersama pelayannya sebagai rekan

Allah dalam dunia ini untuk hadir secara kreatif dalam

pelayanannya untuk melayani mereka. Gereja harus lebih jeli melihat bahwa persoalan

tersebut tidak hanya merupakan persoalan budaya, social namun harus juga dirangkaikan
5
Arus pemikiran negated tersebut sebagai berikut : dalam suatu pandangan budaya, apabila seorang menikah dan
ia mempunyai keturunan, pasangan tersebut dapat digolongkan kepada keluarga terkutuk dan tidak
mendapat berkat dari ilah yang mereka percayai. Dampaknya bagi kehidupan masyarakat secara umum ialah
masyarakat ini sendiri sering memperbandingkan pemahaman yang berkembang dalam satu sudut pandang
budaya tertentu. Pandangan dan budaya ini dapat menjadi “pameo” yang berkembang di dalam masyarakat.
Dampaknya dalam kehidupan Jemaat Kristen, ialah bahwa sekalipun dia sudah menjadi Kristen, namun tidak
sedikit anggota jemaat yang masih cenderung memegang falsafah-falsafah budaya dalam melihat suatu hal.
6
Hal ini dapat diamati dalam kehidupan masyarakat. Misalnya dalam masyarakat suku Batak Toba, falsafah
Hamoraon, Hagabean, Hasangapon masih dipahami dengan kemakmuran. Dalam bentuk-bentuk fisik yang
sifatnya material dan lahiriah. Sehingga kecendrungan dalam pernikahan, bila khusunya tidak memperoleh
keturunan, atau tidak memiliki materi yang cukup, maka keluarga seperti ini identik dengan keluarga yang tidak
mampu memenuhi falsafah budaya. Memang pada saat ini dengan adanya falsafat di atas dapat memberikan
sumbangan positif bagi masyarakat supaya bergiat dan tekun dalam tugas serta kehidupannya. Namun pengaruh
negative juga sering muncul dalam mewarnai pernikahan masyarakat. Kaitannya dengan pernikahan, dapat
dilihat demikian bila mereka usdah menikah (keluarga). Ini sudah harus dapat menunjukkan bukti-bukti lahiriah
dari falsafah tersebut. Akhirnya ketika hal ini tidak nampak, bagi mereka, maka bermuncullanlah pandangan-
pandangan dalam keluarga tersebut yang berasumsi kepada falsafat tadi. Hal ini sudah disebut di atas adalah
merupakan contoh dari pengaruh budaya yang memicu retaknya rumah tanggal di dalam masyarakat.
5

sebagai persoalan teolois. Dalam hal inilah Gereja harus hadir untuk menerangkan bahwa

pasangan yang tidak mempunyai anak/mandul pada hakekatnya adalah sama harkat maupun

martabat dibandingkan dengan pasangan atau suami-isteri yang mempunyai sedikit atau

banyak keturunan anak laki-laki dan perempuan, ditengah-tengah masayarakat apalagi di

hadapan Tuhan. Yaitu sama-sama yang mendapat pengampunan dan berkat serta harkat dan

martabat adalah sama dengan pasangan-pasangan lainnya. Dan demikian soal laki-laki dan

perempuan tidak ada beda, (Rom 3 :23-24).

Penulis melihat dalam kaiatn Gerejawi, sering kali anggota Jemaat terpengaruh

dan tidak realitas untuk menterjemahkan apa yang dikatakan Allah : “Untuk bertambah

banyak dan memenuhi bumi” (Kej 1:28). Dimana tidak sedikit anggota jemaat yang akhirnya

menempatkan tujuan dari pada pernikahan ialah “ingin memperoleh keturunan”, bukan lagi

keutuhan relasional demi kemuliaan Allah. Anggapan Jemaat ini semakin berakar, ketika

dipengaruhi oleh falsafah-falsafah budaya yang berkembang dalam masyarakat.

Akibatnya dalam Gereja-gereja juga pernikahan itu sebagai “ikatan kudus” menjadi merosot

nilainya. Hal yang lebih parah lagi tidak sedikit Gereja dan pelayannya kurang sekali

membantu anggota mereka yang telah menikah dalam pergumulan hidup mereka. Sehingga

kita dapat melihat sedikit rumah tangga Kristen yang tidak lagi berbahagia dan harmonis,

bahkan berada di ambang kehancuran akibat faktor ketidak hadiran keturunan sebagai buah

kasih cinta mereka. Dalam hal ini seandainya Gereja dan pelayanannya menyadari bahwa

mereka adalah “mitra Allah” dalam mewujud nyatakan kehendakNya dalam dunia, sudah

sepantasnya Gereja hadir untuk mendampingi, menguatkan di dalam pelayanan Pastoral.

Pelayanan Pastoral yang telah diwarikan Allah kepada Gereja (Joh 21) karena tidak ada alasan

bagi Gereja untuk tidak melakukannya. Gereja harus melihat secara jeli dan positif bahwa

persoalan tersebut adalah persoalan yang dapat menggangu keutuhan pribadi dan keutuhan

relasional pasangan tersebut. Untuk inilah Pastoral kepada pasangan ini harus menjadi
6

andalan kepioneran Gereja dan pelayanannya dalam menguatkan dan mendampingi keluarga

yang tidak mendapat ketunanan/mandul.

Untuk ini Gereja harus mau jujur dan mengintropeksi diri dalam pelayanannya,

apakah bentuk Gereja sudah menyentuh persoalan sebagaimana telah disebutkan itu? Oleh

sebab itu sudah seharusnya Gereja mengevaluasi pelayanannya. Persoalan yang disebutkan di

atas sangat membutuhkan penanganan yang serius, sebab apabila dibiarkan, hal ini dapat

menjadi momok yang pemicu persoalan dalam keutuhan pasangan suami-isteri. Untuk inilah

Pastoral menjadi bentuk pelayanan yang menguatkan, mendampingi, sekaligus memberi nilai

pendidikan iman pribadi, pasangan dalam budaya masyarakat. Melalui pelayanan Pastoral ini

juga diharapkan masyarakat yang lebih cenderung memegang nilai-nilai dan falsafah budaya

diharapkan dapat disadarkan dan diingatkan bahwa tujua pernikahan dalam ikatan sebagai

suami-isteri bagi umat Kristen bukanlah semata-mata untuk memperoleh keturunan, namun

kesatuan yang saling mengasihi dan melayani demi kemuliaan nama Tuhan. Bahkan lebih

jauh dari pada itu dapat dikatakan bahwa ikatan pernikahan yang kudus itu menjadi salah satu

bentuk ibadah kepada Allah Gembala Yang Baik itu. Sehingga sangat dimungkinkan

pasangan yang tidak mempunyai keturunan tidak akan mengalami kemuduran, kerapuhan

yang memberikan tekanan kepada kedua pasangan baik secara mental, fisik, kejiwaab dan

pergumulan-pergumulan lainnya. Sebab baik pasangan tersebut maupun masyarakat

diharapkan sudah mampu menerima kehadiran mereka sebagai keluarga yang utuh sebagai

anggota masyarakat dan anggota jemaat, sekalipun mereka tidak mempunyai anak.

Untuk itulah penulis merasa tertarik dan terpanggil dengan melihat pergumulan-

pergumulan yang dialami oleh pasangan Kristen pada masa kini, maka penulis mencoba

membuat suatu karya ilmiah dengan judul : “KRISIS PERCERAIAN” Pendekatan Pastoral

Kepada Sepasang Suami-Isteri Yang Mandul : Dengan Memakai Metode Studi Kasus (MSK).
7

Hal ini penulis tandaskan dengan harapan agar pasangan bagi suami-isteri umat

Kristen yang tidak mempunyai anak tidak merasa kecil hati, malu namun tetap untuh di dalam

kasih mengasihi yang melayani serta tetap ingat dan melayani bagi Tuhan Allah. Dan tetap

menjadi di keluarga Kristen yang harmonis dan yang patut di teladan di dalam partisipasinya

di dalam Gereja, maupun masyarakat dan bangsa.

2. Ruang Lingkup Masalah

Adapun topik dari tulisan ini adalah Krisis Perceraian. Yang sub bagiannya

pendekatan Pastoral kepada sepasang suami-isteri yang mandul dengan memakai metode sudi

kasus (MSK). Ruang lingkup masalah ini diadakan agar dalam pelaksanaan pelayanan

Pastoral jangan ada kesimpang siuran seperti yang dikatakan oleh Winarno Surakhmad, 7

bahwa masalah yang dirumuskan terlalu umum dan luas tidak bisa dipakai sebagai penelitian

karena tidak jelas batas-batas masalah itu. Dalam hal ini penulis akan mencoba meneliti

sejauh mana usaha pelayanan Pastoral yang dilaksanakan sebagai pertolngan kepada orang

yang mengalami krisis perceraian karena disebabkan oleh kemandulan, khusunya bagi mereka

yang berada di rumah dan manfaat dari pelayanan pastoral tersebut didalam mengatasi

masalah mereka. Penulis juga meneliti hambatan-hambatan yang dihadapi di dalam

melaksanakan pelayanan Pastoral tersebut.

3. Pembatasan Masalah

Muhammad Ali8, mengatakan bahwa masalah yang dijadikan pokok penelitian

harus dirumuskan secara jelas dan operasionalnya, sehingga nampak ruang lingkup serta

batasan-batasan masalah. Sesuai dengan penjelasan diatas maka penulis membuat pembatasan

masalah sebagai berikut :

a. Masalah apa sajakah yang dihadapi oleh sepasang suami-isteri yang

mengalami krisis perceraian secar fisik, mental, psikologi dan spitual.

7
Winarno Surakhmad, Penganar Penelitian Ilmiah, Tarsito, Bandung, 1987, hal. 45
8
8

b. Bagaimanakah pandangan teologis tentang sepasang suami-isteri

yang berada dalam krisis perceraian?

c. Model pelayanan pastoral yang bagaimanakah yang tepat

dipergunakan di dalam pelayanan pastoral kepada suami-isteri yang mengalami krisis

perceraian?

4. Tujuan Penulisan

Pada dasarnya tujuan adalah suatu faktor bagi masyarakat untuk berbuat sesuatu,

tentunya setiap pekerjaan harus dilandasi dengan tujuan yang jelas. Seperti yang dikatakan

oleh J. Wahyu dkk,9 bahwa apa yang dimaksud dan apa yang ditujukan harus dirumuskan

secara spesifik dan urutan yang sesuai dengan masalah yang di identifikasikan, untuk itu,

maka tujuan dari penulisan ini adalah :

a. Untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi pasangan Kristen

khususnya keluarga Kristen yang tidak mempunyai keturunan dan pengaruh yang

dominan terhadap diri mereka sendiri, baik secara mental maupun secara spiritual.

b. Supaya setiap Gereja dan para pelayan peduli terhadap penderitaan

dan pergaulan anggota jemaatnya, sehingga dengan demikian mampu mengadakan

Pastoral yang tepat guna.

c. Agar Gereja mengambil tindakan yang konkrit dalam pelayanannya

melalui Pastoral. Pelayanan Gereja dalam bentuk ibadah dan pemberitaan Injil harus

dihubungkan dengan pelayanan Pastoral yang dapat menyentuh dan menguatkan warga

Jemaat dalam pergumulan-pergumulannya.

5. Manfaat Penulisan

Penulisan karya ilmiah ini diadakan agar bermanfaat memahami serta sekaligus

memecahkan suatu masalah. Selain mendapat kebenaran, juga untuk menambah pengalaman

dalam pelayanan terhadap suami-isteri yang mengalami krisis perceraian disebabkan oleh
9
J. Wahyu dkk, Studi Kasus Sebuah Panduan Praktis, Jakarta Gramedia, 1994, hal.30
9

karena kemandulan. Oleh karena itu, manfaat yang diharapkan penulis dari pelayanan ini

adalah :

a. Menjadi bahan masukan bagi penulis dan pembaca

b. Agar para pelayan dan warga jemaat lebih memperhatikan tugas

pelayanan Pastoral, khususnya dalam melayani suami-isteri yang mengalami krisis

perceraian disebabkan oleh karena kemandulan.

c. Mencoba menawarkan metode pendekatan pelayanan pastoral

kepada suami-isteri yang mandul yang mengalami krisis perceraian, yang nantinya dapat

dipergunakan oleh para pelayan gereja yang memerlukannya.

d. Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister

Theologi dari STT – Abdi Sabda Medan.

6. Metode Penulisan

Metode penulisan yang dipergunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah

metode Studi Kasus (MSK). Dalam studi kasus data dikumpulkan dengan berbagai teknik

antara lain : pengamatan, wawancara, pemeriksaan dokumen atau catatan-catatan. Adapun

ciri-ciri studi kasus adalah berdasarkan empat langkah pokok, yaitu : deskripsi (kasus,

analisa,, interpretasi dan aksi pastoral).

Dalam bidang ilmu pengetahuan seperti hukum, kedokteran dan kajian bisnis,

Nisbet dkk10, mengatakan bahwa : “bahwa Studi Kasus adalah prosedur yang baku”.

Demikian juga dalam laporan-laporan pendidikan, studi kasus sudah lama dipergunakan untuk

mengerjakan penjelasan deskriptif tentang sekolah, kelas, percobaab dan bahkan siswa

perorangan. Namun dalam pendidikan, laporan deskriptif semacam ini tidak dianggap sebagai

penelitan. Artinya, pada dasarnya dia dipandang sebagai suatu kegiatan yang menuntut

ketrampilan, seni dan sastra saja.

10
J. Nisbet dkk, Studi Kasus: Sebuah Panduan Praktis Bagi, Gramedia, Jakarta, 1994, hal. 4
10

Selanjutnya dikalangan teologia metode studi kasus juga berkembang. Menurut

Panitia Metode Studi Kasus GMIT / GKS 11, yang menekankan bahwa : “Metode studi kasus

dalam bidang teologi adalah suatu pola dasar yang membimbing proses pemikiran pastoral-

teologis tentang masalah-masalah dan keadaan-keadaan yang dihadapi dalam rangka

pelayanan”. Metode ini sangat bermanfaat bagi para ahli teologi pastoral, pendeta dan orang

lain yang terlibat dalam pelayanan pastoral.

Selanjutnya Tj.G. Hommes dkk12, mengatakan bahwa studi kasus adalah sama

dengan: “Pertama, metode praktis, yaitu metode yang dimulai dengan situasi kongkrit yang

dalam dunia yang realitas manusia, interaksi antar pribadi dan kelompook, mulai dengan cara

bagaimana manusia menerima, memikirkan dan menanggapi kehidupannya dengan segala

aspeknya. Kedua, metode tradisional yaitu : metode yang dimulai dengan prinsip abstrak dan

pada umumnya titik berangkatnya adalah suatu peristiwa yang luar biasa. Ketiga, metode

kontekstual yaitu : metode yang muncul dari dan yang ditujukan untuk suatu peristiiwa dalam

situasi, tempat dan waktu tertentu. Keempat, metode ekssitensial yaitu metode yang

menekankan pentingnya kesadaran diri secara teologis, kritis pihak pengamat. Kesadaran diri

dapat memudahkan komunikasi antar pengamat dengan sesuatu/ seseorang yang berusaha

belajar dari dan berdialog dengan disiplin non teologi yang lain”.

Apabila pendapat Hommes di atas kita hubungkan dengan pendapat para ahli

tentang Metode Studi Kasus (MSK), tentu dapat mempermudah kita mengerti akan studi

kasus. Misalnya pendapat Nisbet dkk,13 yang mengutip dari pandangan Adelman yang

mengataka bahwa : “Studi Kasus adalah istilah umum yang mencakup serumpun penelitian

yang sama-sama memampukan perhatiannya di sekitar sesuatu kejadian”.

11
Panitia Metode Kasus Pastoral II, NTT- Jakarta, BPK,GM, 1990:201
12
Tj. G. Hommes & E.G.Singgih, Theologia dan Praktis Pastoral: Ontologi, Theologi Pastoral, Jakarta –
Yogyakarta, BPK-Kanisius, 1992, hal.65
13
Nisbet. J, dkk, Studi Kasus: Sebuah Panduan Praktis, Jakarta-Gramedia, 1994, hal. 4
11

Kemudian Muhammad Nazir,14 yang ia lansir dari pandangan Mazfield yang

mengatakan bahwa : “Studi kasus adalah penelitian tentang kasus subjek penelitian yang

berkenan dengan suatu fase spesipik atau khas dari seluruh personalitas, dimana subjek

penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga maupun masyarakat”, SEAGST, 15

kelompok penulis buku ini: menghubungkan metode studi kasus dengan ilmu teologi,

sehingga membuat kesimpulan bahwa metode studi kasus adalah salah metode penelitian

ilmu-ilmu sosial, yang akhirnya dipakai teologi pastoral sebagai pola dasar yang membimbing

proses-proses pemikiran teologi tentang masalah-masalah dan keadaan-keadaan yang

dihadapi”.

Metode studi kasus tidak dimulai dengan sesuatu yang abstrak dan universal.

Tetapi melalui suatu peristiwa dalam hidup manusia. Peristiwa ditulis sebagaimana adanya

yang disusun menjadi satu alur cerita. Uraian kasus mengandung hal-hal yang penting bagi

pelayanan pastoral, yang perlu diungkapkan maknanya. Apa yang diuraikan dalam kasus,

harus ditanyakan apa yang terjadi dalam peristiwa itu, dan apakah makna kejadian itu jika

dipandang dari sudut iman Kristen.

Oleh sebab itu dalam menguraikan studi kasus, sebagai mana ditekankan oleh

Tj.G. Hommes dkk,16 mengatakan bahwa: “penulis harus berusaha menjadi bagian dalam

situasi itu secara mental, sehingga mampu merasakan apa yang dialami oleh seorang yang

berada dalam situasi tersebut”.

Kasus juga meninjau suatu kejadian dan bertujuan mengidentifikasi ciri-ciri yang

unik dari interaksi dalam kejadian itu. Kekuatan terletak pada kenyataan bahwa hasilnya lebih

mudah dipahami oleh sidang pembaca yang lebih luas di luar kalangan penelitian profesional.

Dengan kata lain, hasil-hasilnya lebih segera di mengerti (kalau laporan ditulis dengan baik).

Seperti: laporan dokumenter yang baik, studi kasus memberi saran-saran untuk secara arif

14
Muhammad Nazir, Metode Penelitian, Ghalia, Jakarta, 1978, hal. 66
15
SEAGST, Metode Studi Kasus Pastoral II, NTT – Jakarta, 1990, BPK-GM, hal.201
16
Tj. G. Hommes dkk, Op.cit, hal. 59
12

menafsirkan kasus-kasus serupa. Dan manfaat khusus yang penting adalah adanya

kemungkinan bahwa studi kasus dapat mengungkapkan pola pengaruh yang jarang sekali

dapat dikenal lewat analisis statistik yang lebih tradisional. Menurut J. Nisbet dkk, 17

mengatakan bahwa: “Studi kasus menurutnya merupakan suatu metode yang secara khusus

sesuai penelitian perseorangan, berbeda dengan gaya-gaya lain yang memerlukan sekelompok

penelitian”.

Metode ini dapat kita pakai untuk mempelajari tradisi Kristen dalam kaitannya

dengan kehidupan dan pergumulan gereja masa kini; untuk mengamatil menilai dan

merencakan usaha-usaha pelayanan; untuk membuka dan menghidupkan diskusi-diskusi yang

terarah dan berhasil guna; dan akhirnya meningkatkan kemampuan kritis dalam bidang

teologi. Studi ini juga merupakan suatu metode yang luwes yang menemukan efek-efek yang

tidak terduga sebelumnya. Ia dapat berubah untuk menjelaskan pandangan baru yang

mendalam.18

Demikian dengan sifat keilmiahan metode studi kasus, di mana metode studi kasus

berusia belajar dari dialog dengan disiplin non teologi yang ada. Dialog ini tetap membuat

metodenya bersifat ilmiah dan kritis diri. Usaha ni memampukan pemakaian metode studi

kasus konstruktif menyumbangkan sesuatu yang berharga kepada disiplin lainnya.19

Hubungan yang paling dekat di antara pemakaian metode studi kasus adalah

hubungan antara teologi dan psikolog, dan merupakan kerjasama yang paling tua, tetapi

kerjasama antar teolog dengan ilmu sosial lain khususnya sosiologi, ilmu politik dan yang

paling baru adalah ilmu lingkungan hidup (ekologi) pada dekade terakhir ini nampaknya

begitu penting. Di Indonesia partner yang paling dekat adalah antropolog. Karena kedua

disiplin ini sama-sama sangat tertarik pada kebudayaan dan tradisi kultural. Dalam teologi

keterikatan ini dihubungkan dengan kebutuhan kontekstual iman. Keterikatan yang sama

17
J. Nisbet dkk, Op-cit, hal. 7
18
J. Nisbet dkk, Ibid
19
Tj.G. Hommes, Op-cit, hal. 62
13

antara antropolog dan teologi dan teologi dinampakkan dalam kepedulian mereka dalam

cerita-cerita dongeng. Cerita dan bukan teori abstrak merupakan alat utama dalam

penyingkapan kebenaran dalam bagian dunia ini.20

Berdasarkan metode tersebut diatas maka penulis membagi bab dalam tulisan

ilmiah ini sesuai dengan empat langkah pokok diatas, yaitu :

Pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, ruang lingkup masalah,

pembatasan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan serta metode penulisan.

Bab 1 : Kasus, dalam Bab ini akan didengar dengan “emphaty” dan teliti sepasang suami-

isteri Kristen Jemaat di Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) yang berada dalam

krisis perceraian disebabkan oleh ketidakadaan keturunan atau mandul. Kemudian

dideskripsikan dengan tertulis tanpa dibarengi presupposisi dan praduga sendiri.

Hal ini dilakukan karena didorong oleh asumsi bahwa did alam dan melalui

kejadian-kejadian dunia di dalam kehidupan manusia, kehendak Tuhan sendiri

dapat semakin dapat dimengerti.

Bab II : Analisa Kasus. Dalam bab ni dipertanyakan apa yang sebenarnya apa yang terjadi

dalam kasus. Dinamika dan interaksi apa yang ada disana dipahami melalui analisa

yang kritis dan hati-hati. Akan nampak disana bahwa semua aspek yang dianalisa

mempunyai pengaruh walaupun ada kalanya aspek-aspek tertentu yang paling

dominan.

Bab III : Interpretasi. Hasil analisa akan memunculkan apa dan bagaimana penderitaan

sepanjang suami-isteri yang mandul yang berakibat kepada krisis perceraian, hak

inilah yang membimbing kearah mana pelayanan pastoral itu atau aksi pastoral apa

yang paling tepat bagi pandangan suami-isteri yang mandul dan mengalami krisis

perceraian.

20
Tj.G.Hommes,Op-cit,hal. 63
14

Bab IV : Aksi pastoral. Disini akan diuraikan perencanaan tindakan yang kongkrit untuk

menolong Tiur dan Bortha sebagai sepasang suami-isteri yang mandul yang

sedang mengalami krisis perceraian. Langkah-langkah itu akan mencakup

penanggulangan masalah teologis, masalah psikologis dan masalah pastoral, dan

pada akhir tulisan ini, penulis menambahkan kesimpulan dari seluruh isi tesis ini

dan beberapa saran.

Anda mungkin juga menyukai