PENDAHULUAN
Pernikahan adalah merupakan dambaan dari setiap insane yang telah dewasa dan
sehat jasmani dan rohaninya. Dengan pernikahan orang membentuk rumah tangganya sendiri
yang dilundungi oleh hokum dan diakui oleh masyarakat. Pernikahan ini menurut Martiman
Prajojo1, “adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-
isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga. Melalui pendapat ini dapat kita simak bahwa
pernikahan itu adlah suatu ikatan antara suami-isteri yang erat yang menunjukkan suatu
kesatuan yang utuh secara menyeluruh yang jasmani maupun dan yang rohani antara seorang
Manusia yang berbudaya memandang pernikahan itu sebagai peristiwa akbar. Hal
ini nampak dari usaha manusia yang merayakan pernikahan itu secara meriah dan besar. Bagi
suku batak pernikahan tidak saja mengikat seorang laki-laki dan seorang perempuan, tetapi
mengikat keluarga dan kerabat kedua belah pihak menurut ketentuan adapt dan tatanan
antropolog Batak, ia sebut tatanan masyarakat Batak itu dengan “Dalihan Natolu” (DNT).
Dengan demikian dalam tatanan masyarakat Batak bahwa pernikahan bukanlah hanya perkara
yang bersangkutan saja atau kedua belah pihak orang tua, tetapi perkara kaum kerabat handai
tolan yang lebih luas. Maka setiap pelaksanaan pernikahan merupakan jalinan kekerabatan
1
Martiman Prajojo, Undang-undang Perkawinan dan Pelaksanaannya, Jakarta, 1994. hal. 24
2
Dj. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Natolu Nilai Budaya Suku Batak, CV. Armada Medan, 1992, hal. 52-61
Dalihan Natolu artinya tiga tiang tungku yang merupakan Falsafat budaya Batak, yaitu Somba Marhula-hula,
Elek marboru, dan Manar Mardongan tubu. System kekerabatan ini mengundang tiga unsure yaitu : Dongan
sabutuha, Hula-hula dan Boru/Bere yang harus berkaitan dalam melaksanakan keputusan-keputusan di dalam
sikap perilakunya dan segala kegiatan dalam Masyarakat Batak. Dalam kegiatan Masyarakat Batak ini dikatakan
sempurna apabila dari ketiga unsur itu ikut mendorong dan menghadirinya.
2
Pandangan hukum dan budaya masyarakat Batak di atas mengenai pernikahan ini
nampaknya ditopang oleh pemahaman menurut Alkitab, sebagaimana dikatakan dalam Kej.
2:18, yang mengatakan: “tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan
menjadikan penolong baginya, yang sepadn dengan dia. Sebab itu seorang laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi
satu daging”, (Kej. 2 : 14). Namun berbeda dengan undang-undang dari kebanyakan Negara
dan kebudayaan bangsa-bangsa, ikatan itu adalah ikatan seumur hidup sebab apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia (Mat. 19:6). Sejalan dengan
pandangan Alkitab tersebut maka Jhon Stott, 3 mempertegas ungkapan Alkitab di atas dengan
mengatakan :
Tim Lahaye,4 lebih lanjut mengemukakan bahwa dalam pernikahan itu suami –
isteri mengalami suatu kehidupan bersama yang di dalamnya diciptakan hubungan yang erat
yang terwujud dalam praktek sehari-hari yaitu menjadi sehati sepikir dan saling memenuhi
dalam menjalani kehidupan bersama. Dan hubungan yang erat ini tercipta dari saling
penyesuaian yang sempurna antara suami-isteri dalam kehidupan sehari-hari dengan prinsip-
pasangannya karena setiap pihak harus memikirkan keperluan yang lain sebagaimana
keperluannya sendiri (bnd: Ams 31:12). Hal ini bukan saja berlaku bagi kehidupan kerohanian
3
John Stott, Isu-isu Global Menentang Kepemimpinan Kristiani, Yayasan Bina Kasih OMF, Jakarta, 1996,
hal.374.
4
Tim Lahye, Kebahagiaan Pernikahan Kristen, BPK Jakarta, 2000, hal. 3
3
tetapi juga dalam kehidupan jasmaniah mereka. Seperti yang ditekankan oleh Rasul Paulus
(Ep 5 :22-25).
kebahagiaan dan keharmonisan menjadi bagian dalam setiap pernikahan Kristen. Dan di
dalam kehidupan pasangan tersebut disadari bahwa Kristus sendirilah yang menjadi kepala
dalam rumah tangga mereka. Gambaran ini memberikan prinsip yang hakiki dan mendasar
dalam setiap diri pasangan (rumah tangga) Kristen sebab di dalamnya terkandung kepatuhan
dan pengabdian kepada Kristus yang terwukud di dalam penghargaan pada pasangannya.
Namun demikian, tidaklah demikian kenyataannya yang muncul di dalam banyak pernikahan
Kristen pada saat ini. Pernikahan orang Kristen tersebut banya yang jauh dari “standar” yang
telah ditetapkan oleh Tuhan itu. Ini dapat dibuktikan dimana tidak sedikit di jumpai di tengah-
tengah masyarakat persoalan-persoalan dan kegagalan akibat pernikahan yang tidak bahagia
dan harmonis. Melalui pengamatan penulis sendiri, pemicu dari persoalan itu tidak
disebabkan oleh satu hal saja, namun beragam motif yang menyebabkannya.
Secara umum ada beberapa motif yang memberikan pengaruh dalam kegagalan
pernikahan, yaitu : factor ekonomi seperti ketidak mampuan salah satu pasangan dalam
memahami kebutuhan sehari-hari, factor social seperti terpengaruh oleh hal-hal yang
berkembang dalam masyarakat, budaya, factor neurosis (gangguan kejiwaan) dan persoalan
seksualitas. Dari beberapa factor di atas persoalan seksual juga merupakan factor yang
mendominasi pertengkaran dan rapunya ikatan pernikahan. Ini dapat dibuktikan dengan
masyarakat. Dan tidak sedikit persoalan ini juga menyentuh kebutuhan pasangan Kristen.
Factor seksualitas yang dominant mengancam ikatan pernikahan adalah kegagalan pasangan
untuk mendapatkan anak dipandang ketidak berdayaan biologis baik oleh yang bersangkutan
4
maupun oleh masyarakat.5 Karena itu tidak sedikit “pameo” yang bekembang di tengah-
tengah masyarakat yang bersifat negative, yang merendahkan dan cendrung menghakimi
pasangan yang tidak memiliki keturunan dan bahkan kadang-kadang sifatnya memprovokasi
masyarakat6.
Ada banyak anggota jemaat yang tidak memperoleh keturunan dalam pernikahan
mereka. Walaupun mereka pasangan yang normal. Tetapi kadangkala mereka tidak
mempunyai anak sebagai bukti hasil buah cinta kasih pernikahan mereka. Dalam kehidupan
sehari-hari mereka sering bergumul akibat situasi tersebut. Pergumulan itu dapat saja melanda
mereka baik secara pribadi, maupun dalam diri pasangan itu sendiri. Persoalan itu sendiri
akan semakin berkembang sewaktu orang lain yang seyogianya ikut membantu mereka dalam
pergumulannya, juga sering menjadi pemicu dan penambah persoalan itu sendiri. Hal-hal lain
yang tidak kalah hebatnya memicu dan menambah pergumulan itu sendiri seperti pengaruh
Melihat kondisi ini sudah sewajarnya Gereja bersama pelayannya sebagai rekan
pelayanannya untuk melayani mereka. Gereja harus lebih jeli melihat bahwa persoalan
tersebut tidak hanya merupakan persoalan budaya, social namun harus juga dirangkaikan
5
Arus pemikiran negated tersebut sebagai berikut : dalam suatu pandangan budaya, apabila seorang menikah dan
ia mempunyai keturunan, pasangan tersebut dapat digolongkan kepada keluarga terkutuk dan tidak
mendapat berkat dari ilah yang mereka percayai. Dampaknya bagi kehidupan masyarakat secara umum ialah
masyarakat ini sendiri sering memperbandingkan pemahaman yang berkembang dalam satu sudut pandang
budaya tertentu. Pandangan dan budaya ini dapat menjadi “pameo” yang berkembang di dalam masyarakat.
Dampaknya dalam kehidupan Jemaat Kristen, ialah bahwa sekalipun dia sudah menjadi Kristen, namun tidak
sedikit anggota jemaat yang masih cenderung memegang falsafah-falsafah budaya dalam melihat suatu hal.
6
Hal ini dapat diamati dalam kehidupan masyarakat. Misalnya dalam masyarakat suku Batak Toba, falsafah
Hamoraon, Hagabean, Hasangapon masih dipahami dengan kemakmuran. Dalam bentuk-bentuk fisik yang
sifatnya material dan lahiriah. Sehingga kecendrungan dalam pernikahan, bila khusunya tidak memperoleh
keturunan, atau tidak memiliki materi yang cukup, maka keluarga seperti ini identik dengan keluarga yang tidak
mampu memenuhi falsafah budaya. Memang pada saat ini dengan adanya falsafat di atas dapat memberikan
sumbangan positif bagi masyarakat supaya bergiat dan tekun dalam tugas serta kehidupannya. Namun pengaruh
negative juga sering muncul dalam mewarnai pernikahan masyarakat. Kaitannya dengan pernikahan, dapat
dilihat demikian bila mereka usdah menikah (keluarga). Ini sudah harus dapat menunjukkan bukti-bukti lahiriah
dari falsafah tersebut. Akhirnya ketika hal ini tidak nampak, bagi mereka, maka bermuncullanlah pandangan-
pandangan dalam keluarga tersebut yang berasumsi kepada falsafat tadi. Hal ini sudah disebut di atas adalah
merupakan contoh dari pengaruh budaya yang memicu retaknya rumah tanggal di dalam masyarakat.
5
sebagai persoalan teolois. Dalam hal inilah Gereja harus hadir untuk menerangkan bahwa
pasangan yang tidak mempunyai anak/mandul pada hakekatnya adalah sama harkat maupun
martabat dibandingkan dengan pasangan atau suami-isteri yang mempunyai sedikit atau
hadapan Tuhan. Yaitu sama-sama yang mendapat pengampunan dan berkat serta harkat dan
martabat adalah sama dengan pasangan-pasangan lainnya. Dan demikian soal laki-laki dan
Penulis melihat dalam kaiatn Gerejawi, sering kali anggota Jemaat terpengaruh
dan tidak realitas untuk menterjemahkan apa yang dikatakan Allah : “Untuk bertambah
banyak dan memenuhi bumi” (Kej 1:28). Dimana tidak sedikit anggota jemaat yang akhirnya
menempatkan tujuan dari pada pernikahan ialah “ingin memperoleh keturunan”, bukan lagi
keutuhan relasional demi kemuliaan Allah. Anggapan Jemaat ini semakin berakar, ketika
Akibatnya dalam Gereja-gereja juga pernikahan itu sebagai “ikatan kudus” menjadi merosot
nilainya. Hal yang lebih parah lagi tidak sedikit Gereja dan pelayannya kurang sekali
membantu anggota mereka yang telah menikah dalam pergumulan hidup mereka. Sehingga
kita dapat melihat sedikit rumah tangga Kristen yang tidak lagi berbahagia dan harmonis,
bahkan berada di ambang kehancuran akibat faktor ketidak hadiran keturunan sebagai buah
kasih cinta mereka. Dalam hal ini seandainya Gereja dan pelayanannya menyadari bahwa
mereka adalah “mitra Allah” dalam mewujud nyatakan kehendakNya dalam dunia, sudah
Pelayanan Pastoral yang telah diwarikan Allah kepada Gereja (Joh 21) karena tidak ada alasan
bagi Gereja untuk tidak melakukannya. Gereja harus melihat secara jeli dan positif bahwa
persoalan tersebut adalah persoalan yang dapat menggangu keutuhan pribadi dan keutuhan
relasional pasangan tersebut. Untuk inilah Pastoral kepada pasangan ini harus menjadi
6
andalan kepioneran Gereja dan pelayanannya dalam menguatkan dan mendampingi keluarga
Untuk ini Gereja harus mau jujur dan mengintropeksi diri dalam pelayanannya,
apakah bentuk Gereja sudah menyentuh persoalan sebagaimana telah disebutkan itu? Oleh
sebab itu sudah seharusnya Gereja mengevaluasi pelayanannya. Persoalan yang disebutkan di
atas sangat membutuhkan penanganan yang serius, sebab apabila dibiarkan, hal ini dapat
menjadi momok yang pemicu persoalan dalam keutuhan pasangan suami-isteri. Untuk inilah
Pastoral menjadi bentuk pelayanan yang menguatkan, mendampingi, sekaligus memberi nilai
pendidikan iman pribadi, pasangan dalam budaya masyarakat. Melalui pelayanan Pastoral ini
juga diharapkan masyarakat yang lebih cenderung memegang nilai-nilai dan falsafah budaya
diharapkan dapat disadarkan dan diingatkan bahwa tujua pernikahan dalam ikatan sebagai
suami-isteri bagi umat Kristen bukanlah semata-mata untuk memperoleh keturunan, namun
kesatuan yang saling mengasihi dan melayani demi kemuliaan nama Tuhan. Bahkan lebih
jauh dari pada itu dapat dikatakan bahwa ikatan pernikahan yang kudus itu menjadi salah satu
bentuk ibadah kepada Allah Gembala Yang Baik itu. Sehingga sangat dimungkinkan
pasangan yang tidak mempunyai keturunan tidak akan mengalami kemuduran, kerapuhan
yang memberikan tekanan kepada kedua pasangan baik secara mental, fisik, kejiwaab dan
diharapkan sudah mampu menerima kehadiran mereka sebagai keluarga yang utuh sebagai
anggota masyarakat dan anggota jemaat, sekalipun mereka tidak mempunyai anak.
Untuk itulah penulis merasa tertarik dan terpanggil dengan melihat pergumulan-
pergumulan yang dialami oleh pasangan Kristen pada masa kini, maka penulis mencoba
membuat suatu karya ilmiah dengan judul : “KRISIS PERCERAIAN” Pendekatan Pastoral
Kepada Sepasang Suami-Isteri Yang Mandul : Dengan Memakai Metode Studi Kasus (MSK).
7
Hal ini penulis tandaskan dengan harapan agar pasangan bagi suami-isteri umat
Kristen yang tidak mempunyai anak tidak merasa kecil hati, malu namun tetap untuh di dalam
kasih mengasihi yang melayani serta tetap ingat dan melayani bagi Tuhan Allah. Dan tetap
menjadi di keluarga Kristen yang harmonis dan yang patut di teladan di dalam partisipasinya
Adapun topik dari tulisan ini adalah Krisis Perceraian. Yang sub bagiannya
pendekatan Pastoral kepada sepasang suami-isteri yang mandul dengan memakai metode sudi
kasus (MSK). Ruang lingkup masalah ini diadakan agar dalam pelaksanaan pelayanan
Pastoral jangan ada kesimpang siuran seperti yang dikatakan oleh Winarno Surakhmad, 7
bahwa masalah yang dirumuskan terlalu umum dan luas tidak bisa dipakai sebagai penelitian
karena tidak jelas batas-batas masalah itu. Dalam hal ini penulis akan mencoba meneliti
sejauh mana usaha pelayanan Pastoral yang dilaksanakan sebagai pertolngan kepada orang
yang mengalami krisis perceraian karena disebabkan oleh kemandulan, khusunya bagi mereka
yang berada di rumah dan manfaat dari pelayanan pastoral tersebut didalam mengatasi
3. Pembatasan Masalah
harus dirumuskan secara jelas dan operasionalnya, sehingga nampak ruang lingkup serta
batasan-batasan masalah. Sesuai dengan penjelasan diatas maka penulis membuat pembatasan
7
Winarno Surakhmad, Penganar Penelitian Ilmiah, Tarsito, Bandung, 1987, hal. 45
8
8
perceraian?
4. Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tujuan adalah suatu faktor bagi masyarakat untuk berbuat sesuatu,
tentunya setiap pekerjaan harus dilandasi dengan tujuan yang jelas. Seperti yang dikatakan
oleh J. Wahyu dkk,9 bahwa apa yang dimaksud dan apa yang ditujukan harus dirumuskan
secara spesifik dan urutan yang sesuai dengan masalah yang di identifikasikan, untuk itu,
khususnya keluarga Kristen yang tidak mempunyai keturunan dan pengaruh yang
dominan terhadap diri mereka sendiri, baik secara mental maupun secara spiritual.
melalui Pastoral. Pelayanan Gereja dalam bentuk ibadah dan pemberitaan Injil harus
dihubungkan dengan pelayanan Pastoral yang dapat menyentuh dan menguatkan warga
5. Manfaat Penulisan
Penulisan karya ilmiah ini diadakan agar bermanfaat memahami serta sekaligus
memecahkan suatu masalah. Selain mendapat kebenaran, juga untuk menambah pengalaman
dalam pelayanan terhadap suami-isteri yang mengalami krisis perceraian disebabkan oleh
9
J. Wahyu dkk, Studi Kasus Sebuah Panduan Praktis, Jakarta Gramedia, 1994, hal.30
9
karena kemandulan. Oleh karena itu, manfaat yang diharapkan penulis dari pelayanan ini
adalah :
kepada suami-isteri yang mandul yang mengalami krisis perceraian, yang nantinya dapat
6. Metode Penulisan
Metode penulisan yang dipergunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah
metode Studi Kasus (MSK). Dalam studi kasus data dikumpulkan dengan berbagai teknik
ciri-ciri studi kasus adalah berdasarkan empat langkah pokok, yaitu : deskripsi (kasus,
Dalam bidang ilmu pengetahuan seperti hukum, kedokteran dan kajian bisnis,
Nisbet dkk10, mengatakan bahwa : “bahwa Studi Kasus adalah prosedur yang baku”.
Demikian juga dalam laporan-laporan pendidikan, studi kasus sudah lama dipergunakan untuk
mengerjakan penjelasan deskriptif tentang sekolah, kelas, percobaab dan bahkan siswa
perorangan. Namun dalam pendidikan, laporan deskriptif semacam ini tidak dianggap sebagai
penelitan. Artinya, pada dasarnya dia dipandang sebagai suatu kegiatan yang menuntut
10
J. Nisbet dkk, Studi Kasus: Sebuah Panduan Praktis Bagi, Gramedia, Jakarta, 1994, hal. 4
10
Panitia Metode Studi Kasus GMIT / GKS 11, yang menekankan bahwa : “Metode studi kasus
dalam bidang teologi adalah suatu pola dasar yang membimbing proses pemikiran pastoral-
pelayanan”. Metode ini sangat bermanfaat bagi para ahli teologi pastoral, pendeta dan orang
Selanjutnya Tj.G. Hommes dkk12, mengatakan bahwa studi kasus adalah sama
dengan: “Pertama, metode praktis, yaitu metode yang dimulai dengan situasi kongkrit yang
dalam dunia yang realitas manusia, interaksi antar pribadi dan kelompook, mulai dengan cara
aspeknya. Kedua, metode tradisional yaitu : metode yang dimulai dengan prinsip abstrak dan
pada umumnya titik berangkatnya adalah suatu peristiwa yang luar biasa. Ketiga, metode
kontekstual yaitu : metode yang muncul dari dan yang ditujukan untuk suatu peristiiwa dalam
situasi, tempat dan waktu tertentu. Keempat, metode ekssitensial yaitu metode yang
menekankan pentingnya kesadaran diri secara teologis, kritis pihak pengamat. Kesadaran diri
dapat memudahkan komunikasi antar pengamat dengan sesuatu/ seseorang yang berusaha
belajar dari dan berdialog dengan disiplin non teologi yang lain”.
Apabila pendapat Hommes di atas kita hubungkan dengan pendapat para ahli
tentang Metode Studi Kasus (MSK), tentu dapat mempermudah kita mengerti akan studi
kasus. Misalnya pendapat Nisbet dkk,13 yang mengutip dari pandangan Adelman yang
mengataka bahwa : “Studi Kasus adalah istilah umum yang mencakup serumpun penelitian
11
Panitia Metode Kasus Pastoral II, NTT- Jakarta, BPK,GM, 1990:201
12
Tj. G. Hommes & E.G.Singgih, Theologia dan Praktis Pastoral: Ontologi, Theologi Pastoral, Jakarta –
Yogyakarta, BPK-Kanisius, 1992, hal.65
13
Nisbet. J, dkk, Studi Kasus: Sebuah Panduan Praktis, Jakarta-Gramedia, 1994, hal. 4
11
mengatakan bahwa : “Studi kasus adalah penelitian tentang kasus subjek penelitian yang
berkenan dengan suatu fase spesipik atau khas dari seluruh personalitas, dimana subjek
kelompok penulis buku ini: menghubungkan metode studi kasus dengan ilmu teologi,
sehingga membuat kesimpulan bahwa metode studi kasus adalah salah metode penelitian
ilmu-ilmu sosial, yang akhirnya dipakai teologi pastoral sebagai pola dasar yang membimbing
dihadapi”.
Metode studi kasus tidak dimulai dengan sesuatu yang abstrak dan universal.
Tetapi melalui suatu peristiwa dalam hidup manusia. Peristiwa ditulis sebagaimana adanya
yang disusun menjadi satu alur cerita. Uraian kasus mengandung hal-hal yang penting bagi
pelayanan pastoral, yang perlu diungkapkan maknanya. Apa yang diuraikan dalam kasus,
harus ditanyakan apa yang terjadi dalam peristiwa itu, dan apakah makna kejadian itu jika
Oleh sebab itu dalam menguraikan studi kasus, sebagai mana ditekankan oleh
Tj.G. Hommes dkk,16 mengatakan bahwa: “penulis harus berusaha menjadi bagian dalam
situasi itu secara mental, sehingga mampu merasakan apa yang dialami oleh seorang yang
Kasus juga meninjau suatu kejadian dan bertujuan mengidentifikasi ciri-ciri yang
unik dari interaksi dalam kejadian itu. Kekuatan terletak pada kenyataan bahwa hasilnya lebih
mudah dipahami oleh sidang pembaca yang lebih luas di luar kalangan penelitian profesional.
Dengan kata lain, hasil-hasilnya lebih segera di mengerti (kalau laporan ditulis dengan baik).
Seperti: laporan dokumenter yang baik, studi kasus memberi saran-saran untuk secara arif
14
Muhammad Nazir, Metode Penelitian, Ghalia, Jakarta, 1978, hal. 66
15
SEAGST, Metode Studi Kasus Pastoral II, NTT – Jakarta, 1990, BPK-GM, hal.201
16
Tj. G. Hommes dkk, Op.cit, hal. 59
12
menafsirkan kasus-kasus serupa. Dan manfaat khusus yang penting adalah adanya
kemungkinan bahwa studi kasus dapat mengungkapkan pola pengaruh yang jarang sekali
dapat dikenal lewat analisis statistik yang lebih tradisional. Menurut J. Nisbet dkk, 17
mengatakan bahwa: “Studi kasus menurutnya merupakan suatu metode yang secara khusus
sesuai penelitian perseorangan, berbeda dengan gaya-gaya lain yang memerlukan sekelompok
penelitian”.
Metode ini dapat kita pakai untuk mempelajari tradisi Kristen dalam kaitannya
dengan kehidupan dan pergumulan gereja masa kini; untuk mengamatil menilai dan
terarah dan berhasil guna; dan akhirnya meningkatkan kemampuan kritis dalam bidang
teologi. Studi ini juga merupakan suatu metode yang luwes yang menemukan efek-efek yang
tidak terduga sebelumnya. Ia dapat berubah untuk menjelaskan pandangan baru yang
mendalam.18
Demikian dengan sifat keilmiahan metode studi kasus, di mana metode studi kasus
berusia belajar dari dialog dengan disiplin non teologi yang ada. Dialog ini tetap membuat
metodenya bersifat ilmiah dan kritis diri. Usaha ni memampukan pemakaian metode studi
Hubungan yang paling dekat di antara pemakaian metode studi kasus adalah
hubungan antara teologi dan psikolog, dan merupakan kerjasama yang paling tua, tetapi
kerjasama antar teolog dengan ilmu sosial lain khususnya sosiologi, ilmu politik dan yang
paling baru adalah ilmu lingkungan hidup (ekologi) pada dekade terakhir ini nampaknya
begitu penting. Di Indonesia partner yang paling dekat adalah antropolog. Karena kedua
disiplin ini sama-sama sangat tertarik pada kebudayaan dan tradisi kultural. Dalam teologi
keterikatan ini dihubungkan dengan kebutuhan kontekstual iman. Keterikatan yang sama
17
J. Nisbet dkk, Op-cit, hal. 7
18
J. Nisbet dkk, Ibid
19
Tj.G. Hommes, Op-cit, hal. 62
13
antara antropolog dan teologi dan teologi dinampakkan dalam kepedulian mereka dalam
cerita-cerita dongeng. Cerita dan bukan teori abstrak merupakan alat utama dalam
Berdasarkan metode tersebut diatas maka penulis membagi bab dalam tulisan
Bab 1 : Kasus, dalam Bab ini akan didengar dengan “emphaty” dan teliti sepasang suami-
isteri Kristen Jemaat di Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) yang berada dalam
Hal ini dilakukan karena didorong oleh asumsi bahwa did alam dan melalui
Bab II : Analisa Kasus. Dalam bab ni dipertanyakan apa yang sebenarnya apa yang terjadi
dalam kasus. Dinamika dan interaksi apa yang ada disana dipahami melalui analisa
yang kritis dan hati-hati. Akan nampak disana bahwa semua aspek yang dianalisa
dominan.
Bab III : Interpretasi. Hasil analisa akan memunculkan apa dan bagaimana penderitaan
sepanjang suami-isteri yang mandul yang berakibat kepada krisis perceraian, hak
inilah yang membimbing kearah mana pelayanan pastoral itu atau aksi pastoral apa
yang paling tepat bagi pandangan suami-isteri yang mandul dan mengalami krisis
perceraian.
20
Tj.G.Hommes,Op-cit,hal. 63
14
Bab IV : Aksi pastoral. Disini akan diuraikan perencanaan tindakan yang kongkrit untuk
menolong Tiur dan Bortha sebagai sepasang suami-isteri yang mandul yang
pada akhir tulisan ini, penulis menambahkan kesimpulan dari seluruh isi tesis ini