Pernikahan menurut masyarakat Batak Toba adalah diikat oleh sistem kekerabatan
”Dalihan Na Tolu” (DNT – Tungku Nan-Tiga), sesuai dengan ungkapan perumpamaan yang
mengatakan : ”Marrokkap songon bagot Marsibar songon ambalang (artinya : agar kedua
empelai menjadi pasangan yang serasi, yang dapat memberikan kebahagiaan bagi
keluarganya, yaitu mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan) sebagai penerus garis
keturunan dan pewaris harta pusaka orang tuanya. Maka bagi masyarakat Batak Toba,
kebahagian dan kekekalan suatu pernikahan atau keluarga tergantung dengan adanya anak
laki-laki dan anak perempuan dalam keluarga itu, apabila keluarga itu tidak mempunyai anak
laki-laki dan perempuan belum dapat dikatakan pernikahan itu bahagia dan sempurna.
Karena itu kebahagian dan kesempurnaan suatu pernikahan diukur dari adanya keturunan
sebagai berkat bagi pernikahan itu. Dengan demikian, pernikahan yang tidak mendapat
keturunan anak laki-laki dan perempuan menurut budaya Batak Toba, si isteri harus
dengan perkawinan dewa-dewa, pada waktu itu ayam kelambu jati menelurkan tiga butir
telur. Kemudian telur tersebut menetas dan melahirkan tiga orang anak yaitu Batara Guru,
Bala Sori, dan Bala Bulan. Setelah mereka besar, mereka tidak mendapat pasangan, sehingga
Mula Jadi Nabolon menurunkan tiga ruas bambu untuk diperankan oleh ayam kelambu jati
dan dari ketiga bambu tersebut lahirlah tiga perempuan yaitu Boru Parmeme, Boru
Pangolu, dan Boru Panuturi. Kemudian tiga anak laki-laki dan ketiga anak perempuan
ketiga keluarga tersebut yang kawin satu sama lain. Perkawinan mereka diberkati oleh
Mula Jadi Nabolon : ”Asa marrongkap songot bagot, marsibar songon ambalang”, artinya
agar ketiga mempelai menjadi pasangan yang serasi yang dpat memberkan kebahagiaan bagi
102
keluaganya, yaitu : mempunyai keturunan atau hagabeon melalui adanya keturunan anak laki-
laki dan perempuan. Pernikahan yang tidak membuahkan keturunan dianggap tidak sempurna
sehingga terjadi ketidak harmonisan dan tidak tercapainya kebahagiaan, karena hanya melalui
ahu” (Anak ku itulah kekayaan bagi saya). Karena itu kamandulan merupakan ancaman yang
menjurus kepada perceraian. Karena sangat berbahayanya kemandulan ini bagi keluaga
orang Batak. Hal itu menurut hasil penelitian banyak para pengamat, misalnya A. A.
Sitompul48 mengatakan : Yang tidak mempunyai anak tergoda untuk mencari isteri kedua,
A. Lumbantobing49, menekankan hal yang sama, mengatakan : seorang suami yang tidak
mempunyai keturunan dari isterinya akan mengambil perempuan yang lain untuk dijadikan
menjadi isteri yang kedua yang diharap dapat memberi keturunan terutama anak laki-laki.
Masalah anak terutama anak laki-laki dalam alam pikiran suku Batak sangat
penting. Jumlah anak dianggap sangat mempengaruhi ”sahala” (wibawa) orangtua. Kalau
anak banyak, bertambah besar sahalanya. Dengan demikian kemandulan isteri dipandang
sebagai sesuatu yang merendahkan martabat sang suami, karena orang yang tidak mendapat
keturunan di sebut ”mate purpur”50, dan yang tidak mempunyai anak laki-laki disebut yan
48
A. A. Sitompul, manusia dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991, hal 40
49
A. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1992, hal
25
50
Mate Purpur, adalah sepasang suami isteri yang tidak mempunyai keturunan yang putusnya harapan
untuk masa depan
51
Mate Panu ialah sepasang suami isteri yang tidak mendapat ana laki-laki dari pernikaannya melainkan
hanya anak perempuan sehingga kesinambungan generasinya tidak ada
52
M. A. Siahaan, 1969, hal 113
103
kemandulan merupakan virus musibah yang amat berat dihadapi dikalangan suku Batak
Jadi prinsip adat Batak yang diuraikan diatas, itulah yang dominan mempengaruhi
pemikiran ibu Bortha sehingga Bortha mau dan terpengaruh hendak menceraikan isterinya
Tiur disebabkan oleh karena kemandulan. Yang membuahkan terjadinya krisis perceraian
diantara Tiur dengan Bortha, dan kemudian Tiur jadi soch dan jatuh sakit.
Kesimpulan.
Melalui analisa sosioreligius ini dapat kita simpulkan bahwa ungkapan Tiur yang
kadang sebagai hukuma akibat kesalahan dan dosanya, orangtua dan nenek moyangnya yang
diperbuat oleh Allah. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kepercayaan agama Batak kuno dan
oleh pengertiannya yang terbatas akan ajaran Alkitab tentang hubungan dosa dengan
kemandulan.
E. Kesimpulan
Melalui yang dilakukan terhadap kasus diatas, akan dicoba melihat ”benang
merah” dari setiap aspek yang telah dianalisa. Yang dimaksud dengan ”benang merah”
ialah ”masalah-masalah” yang selalu ditemui dalam setiap analisa dan hubungan masalah-
maslah pokok tersebut dari aspek yang satu dengan aspek yang lain.
Usaha untuk meneliti benang merah dari setiap aspek yang dianalisa ini mutlak
1. Hanya melalui usaha ini dapat ditentukan masalah apa yang paling menonjol dalam
kasus (diri Tiur). Apakah setiap aspek yang dianalisa mempunyai pengaruh yang
53
Supernatural ialah suatu pemahaman yang berada diluar pemahaman dan jangkauan pemikiran manusia
104
sama, atau apakah hanya beberapa aspek saja yang paling dominan sedangkan aspek-
aspek lainnya hanya merupakan pelengkap kepada atau akibat dari aspek yang paling
menonjol dalam kasus ? Untuk meghindarkan keraguan seperti inilah maka usaha
2. Hanya melalui usaha ini interpretasi dan aksi pastoral yang akan dilakukan dapat
hubungan Bortha-Tiur sebagai suami-isteri yang akhirnya krisis perceraian melanda diri Tiur
dengan Bortha, membuat Tiur jatuh soch dan harus diopname di rumah sakit untuk mendapat
- Para Pendeta yang mendampinginya, melayani Tiur dengan Bortha berusaha secara baik
berfungsi sebagai ”sahabat” yang mau berbagi penderitaan Tiur dan Bortha.
- Para Pendeta mungkin mengenal ”status” mereka sebagai representasi Tuhan Allah, dan
b. Analisa Psikologi
menegangkan Tiur. Ketegangan pergumulan itu ia ungkapkan melalui sikap dan kata-
katanya maupun melalui interaksinya dengan Tuhan Allah dan dengan manusia yang
mengelilinginya. Melalui sikap dan kata-kata, Tiur menunjukkan bahwa dia mungkin berada
dalam situasi yang unik dan krisis. Keadaannya yang krisis mengakibatkan dirinya menjadi
pribadi yang unik. Sebagai pribadi yang unik, pengalamannya sesudah menderita
kemandulan, dan katuh soch dan sakit banyak ditentukan oleh pandangan hidup, kepercayaan
Kristen yang berhubungan dengan sesama Kristen, dengan para Pendeta yang berbicara
tentang iman kepercayaan kepada Tuhan Allah, dan sebagai orang yang berusaha mengatasi
kemandulan dan masalah yang mendesak perceraian, Tiur mengalami fase-fase perasaan atau
sikap yang mungkin sangat menegangkan. Dalam keadaannya yang krisis perceraian,
Dalam analisa psikologi agama nampak bahwa Tiur ditekan mertuanya supaya
bercerai dengan suaminya Bortha demi keturunan, karena mertua Tiur mempedomani
106
pernikahan dari sudut adat Batak, yang mana adat Batak dia ketahui adalah percikan dewa
tertinggi ”Mula Jadi Nabolon” yang disembah masyarakat Batak di waktu zaman purba kala
yang memiliki konsep ”totaliter”.54 Konsep beragama seperti ini adalah konsep yang lebih
menekankan kenikmatan dan sangat kurang menekankan segi realita dan disiplin. Keadaan
Dari pengalaman hidup Tiur ini yang mungkin sekali lebih kuat dipengaruhi
prinsip beragama orang Batak tradisional, yang melahirkan pandangannya akan Allah
sebagai Allah pemberi kenaikmatan saja. Oleh karena itu dia memandang Allah dengan
citra ibu yang melambangkan kenikmatan saja. Allah itu dia pandang telah menghukum
d. Analisa Sosioreligius
Dari analisa sosioreligius, didapati konsep yang berbeda tentang penyakit atau
i) Konsep agama Batak tradisional memandang semua penyakit terletak pada ”sibaran” yang
diterima seseorang sejak dari kandungan ibunya, serta adanya Allah sebagai sumber
berkat dan sumber hukum mungkin mempengaruhi Tiur, sehingga dia mengartikan
ii) Dalam Alkitab dijumpai pembicaraan tentang hubungan dosa dengan penyakit. Alkitab
idak menolak adanya hubungan dosa dengan penyakit ansich. Tetapi Alkitab menolak
penerapan langsung antara dosa dan penyakit secara mekanis yang mungkin dilakukan
oleh Tiur dalam kasus. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa keluhan Tiur yang
54
Totaliter adalah konsep yang meniadakan jarak antara ciptaan dengan sang pencipta. Sikapnya menyatu
dengan khalik pencipta
107
orangtua dan nenek moyangnya. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh pengertiannya yang