Anda di halaman 1dari 7

101

d. Pernikahan Menurut Adat Batak

Pernikahan menurut masyarakat Batak Toba adalah diikat oleh sistem kekerabatan

”Dalihan Na Tolu” (DNT – Tungku Nan-Tiga), sesuai dengan ungkapan perumpamaan yang

mengatakan : ”Marrokkap songon bagot Marsibar songon ambalang (artinya : agar kedua

empelai menjadi pasangan yang serasi, yang dapat memberikan kebahagiaan bagi

keluarganya, yaitu mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan) sebagai penerus garis

keturunan dan pewaris harta pusaka orang tuanya. Maka bagi masyarakat Batak Toba,

kebahagian dan kekekalan suatu pernikahan atau keluarga tergantung dengan adanya anak

laki-laki dan anak perempuan dalam keluarga itu, apabila keluarga itu tidak mempunyai anak

laki-laki dan perempuan belum dapat dikatakan pernikahan itu bahagia dan sempurna.

Karena itu kebahagian dan kesempurnaan suatu pernikahan diukur dari adanya keturunan

sebagai berkat bagi pernikahan itu. Dengan demikian, pernikahan yang tidak mendapat

keturunan anak laki-laki dan perempuan menurut budaya Batak Toba, si isteri harus

dikembalikan secara adat kepada orangtua si perempuan.

Menurut mitos orang Batak, pernikagan dikalangan masyarakat Batak, dihubungan

dengan perkawinan dewa-dewa, pada waktu itu ayam kelambu jati menelurkan tiga butir

telur. Kemudian telur tersebut menetas dan melahirkan tiga orang anak yaitu Batara Guru,

Bala Sori, dan Bala Bulan. Setelah mereka besar, mereka tidak mendapat pasangan, sehingga

Mula Jadi Nabolon menurunkan tiga ruas bambu untuk diperankan oleh ayam kelambu jati

dan dari ketiga bambu tersebut lahirlah tiga perempuan yaitu Boru Parmeme, Boru

Pangolu, dan Boru Panuturi. Kemudian tiga anak laki-laki dan ketiga anak perempuan

tersebut dengan masing-masing pasangannya membentuk keluarga. Kemudian keturunan dari

ketiga keluarga tersebut yang kawin satu sama lain. Perkawinan mereka diberkati oleh

Mula Jadi Nabolon : ”Asa marrongkap songot bagot, marsibar songon ambalang”, artinya

agar ketiga mempelai menjadi pasangan yang serasi yang dpat memberkan kebahagiaan bagi
102

keluaganya, yaitu : mempunyai keturunan atau hagabeon melalui adanya keturunan anak laki-

laki dan perempuan. Pernikahan yang tidak membuahkan keturunan dianggap tidak sempurna

sehingga terjadi ketidak harmonisan dan tidak tercapainya kebahagiaan, karena hanya melalui

keturunan dapat ditemukan falsafah Batak yang menekankan : Hagabeon (banyaknya

keturunan), Hasangapon (rasa hormat), dan Hamoraon (kekayaan). Seperti dikumandangkan

oleh komponis Nahum Situmorang yang mengtatakan : ”Annangkon hi do hamoraon di

ahu” (Anak ku itulah kekayaan bagi saya). Karena itu kamandulan merupakan ancaman yang

menjurus kepada perceraian. Karena sangat berbahayanya kemandulan ini bagi keluaga

orang Batak. Hal itu menurut hasil penelitian banyak para pengamat, misalnya A. A.

Sitompul48 mengatakan : Yang tidak mempunyai anak tergoda untuk mencari isteri kedua,

demi memperoleh keturunan itu. Demikian pula.

A. Lumbantobing49, menekankan hal yang sama, mengatakan : seorang suami yang tidak

mempunyai keturunan dari isterinya akan mengambil perempuan yang lain untuk dijadikan

menjadi isteri yang kedua yang diharap dapat memberi keturunan terutama anak laki-laki.

Masalah anak terutama anak laki-laki dalam alam pikiran suku Batak sangat

penting. Jumlah anak dianggap sangat mempengaruhi ”sahala” (wibawa) orangtua. Kalau

anak banyak, bertambah besar sahalanya. Dengan demikian kemandulan isteri dipandang

sebagai sesuatu yang merendahkan martabat sang suami, karena orang yang tidak mendapat

keturunan di sebut ”mate purpur”50, dan yang tidak mempunyai anak laki-laki disebut yan

”mate panu”51, oleh karena itulah sehingga M. A. Siahaan52, mengatakan bahwa

48
A. A. Sitompul, manusia dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991, hal 40
49
A. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1992, hal
25
50
Mate Purpur, adalah sepasang suami isteri yang tidak mempunyai keturunan yang putusnya harapan
untuk masa depan
51
Mate Panu ialah sepasang suami isteri yang tidak mendapat ana laki-laki dari pernikaannya melainkan
hanya anak perempuan sehingga kesinambungan generasinya tidak ada
52
M. A. Siahaan, 1969, hal 113
103

kemandulan merupakan virus musibah yang amat berat dihadapi dikalangan suku Batak

karena akibatnya selalu menuju kepada perceraian.

Jadi prinsip adat Batak yang diuraikan diatas, itulah yang dominan mempengaruhi

pemikiran ibu Bortha sehingga Bortha mau dan terpengaruh hendak menceraikan isterinya

Tiur disebabkan oleh karena kemandulan. Yang membuahkan terjadinya krisis perceraian

diantara Tiur dengan Bortha, dan kemudian Tiur jadi soch dan jatuh sakit.

Kesimpulan.

Melalui analisa sosioreligius ini dapat kita simpulkan bahwa ungkapan Tiur yang

nampaknya menghubungkan kemandulan dengan tindakan ”supernatural”53, kadang-

kadang sebagai hukuma akibat kesalahan dan dosanya, orangtua dan nenek moyangnya yang

diperbuat oleh Allah. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kepercayaan agama Batak kuno dan

oleh pengertiannya yang terbatas akan ajaran Alkitab tentang hubungan dosa dengan

kemandulan.

E. Kesimpulan

Melalui yang dilakukan terhadap kasus diatas, akan dicoba melihat ”benang

merah” dari setiap aspek yang telah dianalisa. Yang dimaksud dengan ”benang merah”

ialah ”masalah-masalah” yang selalu ditemui dalam setiap analisa dan hubungan masalah-

maslah pokok tersebut dari aspek yang satu dengan aspek yang lain.

Usaha untuk meneliti benang merah dari setiap aspek yang dianalisa ini mutlak

diperlukan karena mempunyai sedikitnya dua tujuan utama :

1. Hanya melalui usaha ini dapat ditentukan masalah apa yang paling menonjol dalam

kasus (diri Tiur). Apakah setiap aspek yang dianalisa mempunyai pengaruh yang

53
Supernatural ialah suatu pemahaman yang berada diluar pemahaman dan jangkauan pemikiran manusia
104

sama, atau apakah hanya beberapa aspek saja yang paling dominan sedangkan aspek-

aspek lainnya hanya merupakan pelengkap kepada atau akibat dari aspek yang paling

menonjol dalam kasus ? Untuk meghindarkan keraguan seperti inilah maka usaha

untuk mencari benang merah dari setiap hasil analisa dilakukan.

2. Hanya melalui usaha ini interpretasi dan aksi pastoral yang akan dilakukan dapat

mencapai sasaran yang tepat.

Hasil analisa yang telah dilakukan dapat diringkas sebagai berikut :

a. Analisa Pembicaraan Pastoral

Dari analisa pembicaraan pastoral, nampak bahwa Bortha terprovokasi terhadap

rencana perceraian yang direncanakan ibunya sehingga terjadilah konflik dalam

hubungan Bortha-Tiur sebagai suami-isteri yang akhirnya krisis perceraian melanda diri Tiur

dengan Bortha, membuat Tiur jatuh soch dan harus diopname di rumah sakit untuk mendapat

perawatan dari rumah sakit terdekat.

Dalam percakapan pastoral, nampak bahwa :

- Para Pendeta yang mendampinginya, melayani Tiur dengan Bortha berusaha secara baik

mempergunakan metode percakapan Pastroral karena dalam percakapan tersebut mereka

berfungsi sebagai ”sahabat” yang mau berbagi penderitaan Tiur dan Bortha.

- Para Pendeta mungkin mengenal ”status” mereka sebagai representasi Tuhan Allah, dan

mungkin memiliki teologi yang seimbang sehingga kehadiran dan jawaban-jawaban

mereka dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Tiur dengan Bortha yang

melatarbelakangi permasalahan yang terjadi di rumah tangga mereka. Yaitu kesimpang

siuran pemahaman mereka mengenai arti dan tujuan pernikahan itu.


105

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kehadiran para Pendeta dapat

mengupayakan pertolongan kepada Bortha/Tiur keluar dari krisis perceraian itu.

b. Analisa Psikologi

Dalam analisa psikologi ini ditemukan pergumulan yang cukup

menegangkan Tiur. Ketegangan pergumulan itu ia ungkapkan melalui sikap dan kata-

katanya maupun melalui interaksinya dengan Tuhan Allah dan dengan manusia yang

mengelilinginya. Melalui sikap dan kata-kata, Tiur menunjukkan bahwa dia mungkin berada

dalam situasi yang unik dan krisis. Keadaannya yang krisis mengakibatkan dirinya menjadi

pribadi yang unik. Sebagai pribadi yang unik, pengalamannya sesudah menderita

kemandulan, dan katuh soch dan sakit banyak ditentukan oleh pandangan hidup, kepercayaan

dan norma-norma yang berpengaruh dalam hidupnya sebagai pribadi.

Sebagai orang Batak yang mempunyai keluarga, sebagai anggota

masyarakat yang berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya dan sebagai anggota

Kristen yang berhubungan dengan sesama Kristen, dengan para Pendeta yang berbicara

tentang iman kepercayaan kepada Tuhan Allah, dan sebagai orang yang berusaha mengatasi

kemandulan dan masalah yang mendesak perceraian, Tiur mengalami fase-fase perasaan atau

sikap yang mungkin sangat menegangkan. Dalam keadaannya yang krisis perceraian,

mungkin dia mengalami ketegangan, kebingungan, marah, menolak, ketakutan, soch,

mungkin dia mengalami pergumulan psikologis yang cukup menegangkan yang

menggoncangkan jiwanya (emosi yang tidak stabil)

c. Analisa Psikologi Agama

Dalam analisa psikologi agama nampak bahwa Tiur ditekan mertuanya supaya

bercerai dengan suaminya Bortha demi keturunan, karena mertua Tiur mempedomani
106

pernikahan dari sudut adat Batak, yang mana adat Batak dia ketahui adalah percikan dewa

tertinggi ”Mula Jadi Nabolon” yang disembah masyarakat Batak di waktu zaman purba kala

yang memiliki konsep ”totaliter”.54 Konsep beragama seperti ini adalah konsep yang lebih

menekankan kenikmatan dan sangat kurang menekankan segi realita dan disiplin. Keadaan

keberagamaan seperti ini tentu sekali mempengaruhi dalam pemikiran Tiur.

Dari pengalaman hidup Tiur ini yang mungkin sekali lebih kuat dipengaruhi

prinsip beragama orang Batak tradisional, yang melahirkan pandangannya akan Allah

sebagai Allah pemberi kenaikmatan saja. Oleh karena itu dia memandang Allah dengan

citra ibu yang melambangkan kenikmatan saja. Allah itu dia pandang telah menghukum

dirinya melalui kemandulan yang membawa dirinya kepada krisis perceraian.

d. Analisa Sosioreligius

Dari analisa sosioreligius, didapati konsep yang berbeda tentang penyakit atau

kemandulan yang datang dari agam Batak tradisional.

i) Konsep agama Batak tradisional memandang semua penyakit terletak pada ”sibaran” yang

diterima seseorang sejak dari kandungan ibunya, serta adanya Allah sebagai sumber

berkat dan sumber hukum mungkin mempengaruhi Tiur, sehingga dia mengartikan

penyakit atau kemandulannya itu sebagai hukuman Allah.

ii) Dalam Alkitab dijumpai pembicaraan tentang hubungan dosa dengan penyakit. Alkitab

idak menolak adanya hubungan dosa dengan penyakit ansich. Tetapi Alkitab menolak

penerapan langsung antara dosa dan penyakit secara mekanis yang mungkin dilakukan

oleh Tiur dalam kasus. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa keluhan Tiur yang

mungkin menghubungkan penyakit kemandulannya dengan dosa yang dia lakukan,

54
Totaliter adalah konsep yang meniadakan jarak antara ciptaan dengan sang pencipta. Sikapnya menyatu
dengan khalik pencipta
107

orangtua dan nenek moyangnya. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh pengertiannya yang

terbatas dari Alkitab tentang hubungan dosa dan penyakit kemandulan.

Anda mungkin juga menyukai