Anda di halaman 1dari 17

DRAFT SKRIPSI

I. IDENTITAS MAHASISWA

a. Nama : Rivai

b. NIM : 170231001

c. Tempat Tanggal Lahir : Tarakan, 28 Oktober 1999

d. Jurusan/Prodi : Syari’ah/Ahwal Syakhshsiyyah

e. Alamat : Mangkoso, Kec. Soppeng Riaja Kab.

Barru

II. JUDUL

Studi Analisis Fenomena Childfree Dalam Hukum Keluarga Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan yang merupakan ikatan suci dan mulia diantara laki-laki dan

wanita sehingga keduanya menjadi suami istri, yang kemudian terbentuklah

sebuah keluarga atau rumah tangga bersama anak-anak mereka, adalah merupakan

sumber kekuatan yang sangat besar sekali yang akan membentuk masyarakat

kaum muslimin menjadi masyarakat Islami yang berjalan sesuai dengan apa yang

Allah Swt syari’atkan melalui lisan Nabi-Nya yang mulia Saw.1

Perkawinan merupakan sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk

Allah Swt, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Semua yang

1
Abdul Hakim bin Amir Abdat, Pernikahan dan Hadiah Pengantin (t.t: Maktabah
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, 2008), h. 336.
diciptakan Allah Swt berpasang-pasangan dan berjodoh-jodohan, sebagaimana

berlaku pada manusia. Dalam Q.S. al-zariyat/79: 49.

       


Terjemahannya:

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu


mengingat kebesaran Allah.2

Perkawinan antar manusia berbeda dengan binatang, yang melakukan

perkawinan dengan bebas sekehendak hawa nafsunya. Bagi binatang, perkawinan

semata-mata kebutuhan birahi dan nafsu syahwatnya, sedangkan bagi manusia

perkawinan diatur oleh berbagai etika dan peraturan lain yang menjunjung tinggi

nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan berakhlak. Oleh karena itu, perkawinan

manusia harus mengikuti tata cara yang normatif dan legal.3

Allah Swt menciptakan makhluk-Nya bukan tanpa tujuan, tetapi di

dalamnya terkandung rahasia yang amat dalam, supaya hidup hamba-hamba-Nya

di dunia ini menjadi tenteram, sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S surah al-

Rum/30: 21.

       


        
    

Terjemahnya:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu


isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda

2
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya (Depok: Adhwaul Bayan, 2015), h.
522.
3
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim
(Bandung: Pustaka Setia, 2013), h.17.
bagi kaum yang berfikir.4

Allah Swt sengaja menumbuhkan rasa kasih dan sayang ke dalam hati

masing-masing pasangan, agar terjadi keharmonisan dan ketentraman dalam

membina suatu rumah tangga.5

Salah satu tujuan terpenting dari pernikahan ialah mempertahankan jenis

manusia melalui kelahiran, sebagaimana tumbuh-tumbuhan mempertahankan

jenisnya melalui penanaman. Seorang istri laksana ladang yang disiapkan untuk

ditanami benih. Sedangkan suaminya laksana petani yang menanamkan benih

dengan cara yang dipilihnya. Al-Qur’an mengibaratkan wanita sebagai ladang

untuk menggambarkan peran pentingnya dalam bangunan keluarga. Allah Swt

berfirman dalam Q.S. al-Baqarah/2: 223.

        


        
 
Terjemahannya:

Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka


datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan
berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.6

Ini merupakan petunjuk kepada orang-orang yang hendak menikah agar

memilih pasangan hidup yang baik. Karena lembaga pernikahan di dalam Islam

bukan semata-mata wadah untuk melampiaskan hasrat birahi dan menyalurkan

nafsu seksual (libido) belaka. Sebenarnya lembaga pernikahan merupakan

4
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, h. 306
5
M.Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam (Jakarta: Prenada Media,
2003), h.2-3
6
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, h. 35.
perencanaan yang matang untuk memakmurkan dan menghidupkan bumi melalui

keturunan yang baik. Dan pernikahan merupakan salah satu sumber utama

kebahagiaan baik pribadi maupun masyarakat.7

Dalam pendekatan Islam, keluarga adalah basis utama yang menjadi

pondasi bangunan komunitas dan masyarakat Islam. Sehingga keluarga pun

berhak mendapat lingkupan perhatian dan perawatan yang begitu signifikan dari

al-Qur’an. Dalam al-Qur’an terdapat penjelasan untuk menata keluarga,

melindungi, dan membersihkan dari anarkisme jahiliah. Dikaitkannya keluarga

dengan Allah Swt dan ketakwaan kepada-Nya dalam setiap ayat keluarga yang

dilansir al-Qur’an, sambil menyoroti dengan pancaran spritual, sistem

perundangan, dan jaminan hukum dalam setiap kondisinya.

Sistem sosial Islam adalah sistem keluarga, karena keluarga merupakan

sistem rabbani bagi manusia yang mencakup segala karakteristik dasar fitrah

manusia, kebutuhan, dan unsur-unsurnya. Sistem keluarga dalam Islam terpancar

dari fitrah dan karakter alamiah yang merupakan basis penciptaan pertama

makhluk hidup. Sebagaimana firman Allah Swt di dalam Q.S Yasin/ 36 :36.

        


    
Terjemahannya:

Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,


baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun
dari apa yang tidak mereka ketahui.8

Konsepsi Islam tentang manusia juga terpapar secara bertahap. Pertama-

7
Sobri Mersi Al- Faqi, Solusi Problematika Rumah Tangga Modern (Surabaya: Pustaka
Yassir, 2011), h. 29-30.
8
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, h. 442.
tama disebutkan, jiwa pertama yang menjadi sumber pasangan manusia, yaitu

Adam dan Hawa, kemudian anak keturunannya, dan selanjutnya umat manusia

secara keseluruhan. Firman Allah Swt di dalam Q.S al- Hujurat/49: 13.

       


        
     
Terjemahnnya:

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki


dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.9

Karena adanya hubungan yang saling melengkapi inilah maka rumah

tangga bisa dibangun, keluarga bisa dibina dan masyarakat yang bahagia bisa

diciptakan. Keluarga adalah kesatuan suci yang memiliki tujuan luhur. Islam

senantiasa berupaya mempertahankan eksistensinya sebagai bangunan yang kuat

dan kokoh, yang dapat mencapai tujuan-tujuannya dan mampu menghadapi segala

macam kesulitan dan tantangan.

Tujuan membangun keluarga ialah melahirkan keturunan yang baik,

mendapatkan ketenangan batin antara suami dan istri, dan menciptakan hubungan

yang bahagia di antara anggota keluarga dalam naungan syari’at Allah Swt yang

abadi. Keluarga yang didirikan di atas pondasi Islam yang sejati akan menjadi

keluarga yang bertahan sepanjang hayat dan tidak akan terpecah belah.10

Hadirnya buah hati setelah menikah merupakan hal yang diidam-idamkan

9
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, h. 518.
10
Sobri Mersi Al-Faqi, Solusi Problematika Rumah Tangga Modern (Surabaya: Pustaka
Yassir, 2011), h. 45-46.
sebagian besar pasangan di dunia. Khususnya budaya negara timur beranggapan

memiliki anak adalah kesempurnaan kehidupan berumah tangga. Munculnya

influencer dan artis tanah air yang mengungkapkan untuk tidak ingin memiliki

anak menjadi topik hangat untuk dibicarakan. Banyaknya pro dan kontra

mengenai isu tersebut, sebenarnya apa sih childfree itu?

Istilah childfree telah ada sejak tahun 1970-an, didefinisikan sebagai

seseorang yang tidak memiliki anak dan tidak ingin memiliki anak. Definisi

childfree berbeda dengan seseorang yang ingin memiliki anak namun tidak bisa

karena faktor biologi, seperti kesuburan. Mengadopsi anak bukan dikategorikan

childfree, karena seseorang tetap akan berperan sebagai orang tua. Berbeda juga

dengan kondisi seseorang yang belum berencana memiliki anak di masa depan.

Hasil studi oleh Neal et al di tahun 2021 menunjukkan 1 dari 4 pasangan di

Michigan, Amerika Serikat, memilih untuk tidak ingin memiliki anak. Di

Indonesia belum memiliki data mengenai childfree.11

Budaya kita lekat dengan anggapan bahwa memiliki anak setelah menikah

merupakan anugerah yang tak ternilai. Terdapat bentuk pola di masyarakat

Indonesia bahwa konsep keluarga harmonis dan bahagia tercipta ketika terdapat

keberadaan anak dalam keluarga. Hal ini didasari oleh teori fungsi reproduksi

adalah untuk menciptakan ketrununan. Bertentangan bagi pasangan yang memilih

childfree, memiliki anak bukanlah satu-satunya alasan kebahagiaan dan

keharmonisan keluarga.12

11
Jennifer Watling Neal dan Zachary P. Neal, Prevalence and characteristics of childfree
adults in Michigan (AS) (Bangladesh: University of Science and Technology, 2021)
12
Wirawan, Teori-teori Sosial Dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial,dan
Perilaku Sosial) (Jakarta: Kencana, 2012)
Diantara kita mungkin pernah mendengar “banyak anak banyak rejeki?”,

bukan?  Namun kini sepertinya hal tersebut tidak lagi menjadi semboyan yang

ideal bagi beberapa pasangan. Era modern saat ini lebih mengedepankan kualitas

kehidupan yang optimal. Pasangan yang memilih untuk memiliki anak berupaya

maksimal memenuhi kewajiban sebagai orang tua, memenuhi hak dan

memberikan kehidupan yang ideal bagi anak. Melahirkan anak menjadi penerus

generasi yang berkualitas, penuh tanggung jawab merupakan prioritas saat ini,

bukan persoalan kuantitasnya.13

Hasil riset di Amerika menunjukkan dibanding dengan tahun 1970an,

pasangan suami istri yang memilih childfree meningkat sebesar 10% pada tahun

2000an. Keputusan pasangan childfree pada penelitian tersebut didasari oleh

berbagai hal termasuk permasalahan keluarga dan pertimbangan pengasuhan anak

di masa depan. Memilih childfree atau pun tidak merupakan keputusan pribadi

setiap pasangan. Berikut beberapa pertimbangan seseorang memilih menjadi

pasangan childfree:

1. Nilai kehidupan yang dianut

Pasangan childfree cenderung memiliki nilai kehidupan bahwa keluarga

yang bahagia dan harmonis tidak harus memiliki anak. Menjadi pasangan yang

saling melengkapi satu sama lain dianggap cukup membentuk keluarga yang

ideal. Melahirkan anak erat kaitannya dengan peran seorang ibu. Beberapa wanita

menganut bahwa melahirkan bukan salah satu keharusan sebagai wanita di dunia

menjadi sebuah pertimbangan memilih childfree. Keputusan tersebut didukung

13
dr. Liofelita Christi Adhi Mulia, Sedang Ramai Istilah Childfree, apa sebenarnya?
(Sebuah Artikel)
dengan pasangan pria yang menganggap bahwa melahirkan anak atau tidak adalah

keputusan pasangan wanitanya.

2. Trauma masa lalu

Adanya kejadian traumatis saat seseorang menjadi anak dalam keluarga

dapat menjadi pertimbangan seseorang enggan memiliki anak. Seseorang

cenderung berpikir tidak ingin memiliki anak yang mengalami hal serupa di masa

yang akan datang.

3. Masalah Keuangan

Adanya kejadian traumatis saat seseorang menjadi anak dalam keluarga

dapat menjadi pertimbangan seseorang enggan memiliki anak. Seseorang

cenderung berpikir tidak ingin memiliki anak yang mengalami hal serupa di masa

yang akan datang.

4. Pengaruh lingkungan hidup dan budaya

Memutuskan childfree akan sulit bila tidak didukung dengan lingkungan

sekitar. Faktor keluarga dan kelompok sosial yang menanamkan nilai kebebasan

untuk pasangan memilih childfree atau tidak menjadi peran yang penting.14

Meskipun memilih childfree atau tidak merupakan hak pribadi pasangan,

hendaknya tetap mempertimbangkan keputusan dengan matang. Kesulitan yang

dihadapi terutama bagi masyarakat Indonesia adalah sulit menerima kondisi

keluarga yang tidak memiliki keturunan. Munculnya pandangan negatif terhadap

pasangan suami istri yang tidak memiliki anak dibuktikan dengan adanya stigma

negatif di masyarakat. Budaya kelompok sosial masih rendah


14
Handayani dan N. Najib, Keinginan Memiliki Anak Berdasarkan Teori Pilihan Rasional

(EMPATI-Jurnal Bimbingan dan Konseling, 2019), h. 6.


menoleransi childfree  sebagai pilihan. Tidak adanya anak bagi pasangan suami

istri dikatakan juga mengakibatkan beban emosional yang besar akibat nilai yang

dianut budaya sekitar. Sebaiknya memilih keputusan childfree tidak hanya semata

karena sedang menjadi tren.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi pokok permasalahan dalam

skripsi ini yaitu:

1. Bagaimana kedudukan anak dalam Islam ?

2. Bagaimana Pandangan Islam Terkait Upaya Pembatasan Jumlah Anak

Dengan Menggunakan Berbagai Metode ?

3. Bagaimana ketentuan Islam Dalam Menyikapi Fenomena Childfree ?

C. Pengertian Judul

1. Pengertian Judul

Untuk memudahkan dan lebih memahami makna yang terkandung dalam

skripsi ini, maka penulis perlu mengangkat suatu batasan sederhana tentang

pengertian judul dan beberapa kata yang dianggap penting, yaitu “Studi Analisis

Fenomena Childfree Dalam Hukum Keluarga Islam”, sebagai berikut:

a. Studi

Studi adalah penelitian ilmiah, kajian, telaahan.15

b. Analisis

Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan,

perbuatan dsb) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab,

15
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008), h. 1.530.
duduk perkara, dsb). Menguraikan suatu pokok atas bagian-bagiannya dan

penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh

pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.16

c. Fenomena

Fenomena merupakan kata benda yang berartikan hal-hal yang dapat

disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah,

gejala, sesuatu yang luar biasa, keajaiban, fakta, dan kenyataan.17

d. Childfree

Istilah childfree telah ada sejah tahun 1970-an, didefinisikan sebagai

seseorang yang tidak memiliki anak dan tidak ingin memiliki anak. Definisi

childfree berbeda dengan seseorang yang ingin memiliki anak namun tidak bisa

karena faktor biologi, seperti kesuburan. Mengadopsi anak bukan dikategorikan

childfree, karena seseorang tetap akan berperan sebagai orang tua.18

f. Hukum Keluarga Islam

Hukum Keluarga Islam atau biasa disebut al-Ahwal al-Syakhshiyyah se

cara bahasa berarti hal-hal yang berkaitan dengan pribadi. Sedangkan secara

teknis, istilah al-Ahwal al-Syakhshiyyah lebih dekat pengertiannya kepada istilah

bahas Inggris Personal Law dan bahasa Belanda Personenrecht. Kedua istilah

dalam hukum Barat tersebut mencakup masalah kewenangan hukum

16
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, h. 59.
17
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, h. 410.
18
Jennifer Watling Neal dan Zachary P. Neal, Prevalence and characteristics of childfree
adults in Michigan (AS) (Bangladesh: University of Science and Technology, 2021)
(rechtsbevoegdheid) dan kewenangan bertindak (handelingsbevoegdheid).19 al-

Ahwal al-Syakhshiyyah mencakup pembahasan tentang hak dan kewajiban pribadi

sebagai ‘subyek hukum’ (ahliyyatu l-wujub dan ahliyyatu l-ada’), pernikahan

termasuk di dalamnya khitbah sebagai kegiatan pra-nikah, tanggung jawab suami

sebagai kepala keluarga, perceraian, pemeliharaan anak akibat perceraian, masa

penantian pasca cerai (‘iddah) dan ketentuan rujuk atau kembali mengikat tali

pernikahan setelah bercerai. Selain itu, al-Ahwal al-Syakhshiyyah juga membahas

tentang ketentuan-ketentuan waris termasuk wasiat, hibah, dan wakaf. Masalah

waris masuk ke dalam cakupan al-Ahwal al-Syakhshiyyah karena waris

merupakan implikasi yang ditimbulkan oleh pernikahan sebagai pembentuk

hubungan kekerabatan.

D. Kajian Terdahulu

Kajian Pustaka pada penelitian ini pada dasarnya adalah untuk men

dapatkan hubungan gambaran topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis

yang pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya sehingga diharapkan tidak

ada pengulangan materi penelitian secara mutlak. Adapun penelitian yang

dijadikan penelitian terdahulu adalah sebagi berikut:

1. Penelitian oleh Agus Imam Kharomen yang berjudul “Kedudukan Anak

Dan Relasinya Dengan Orang Tua Perspektif Al-Qur’an (Perspektif Tafsir

Tematik)”. Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam Alquran kedudukan

anak beragam, yakni sebagai cobaan, kebanggaan, kecondongan rasa cinta,

bahkan sebagai musuh bagi orang tuanya. Penelitian ini juga menjelaskan

19
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (cet. 26: Jakarta: Pradnya Paramita, 1996),
h. 221.
relasi orang tua dan anak di dunia dalam bentuk hak dan kewajiban.

Adapun ketika di akhirat relasi keduanya dapat terjalin jika didasari

dengan keimanan dan kesalihan.20

2. Penelitian yang dilakukan oleh La Ode Ismail Ahmad yang berjudul “‘Azl

(Coitus Interruptus) Dalam Pandangan Fukaha”. Penelitian ini lebih

menekankan pada boleh tidaknya melakukan ‘azl (coitus interruptus)

dengan mengelaborasi pandangan fukaha, dan penyusunnya mengatakan

bahwasanya Islam telah memberikan perhatian yang sangat besar pada

penjarangan anak dan perencanaan keluarga begitu dini melalui konsep

‘azl. Islam mempertimbangkan masalah peren-canaan keluarga secara

obyektif dan penuh kasih sayang dan telah mensponsori perencanaan

keluarga dalam segala hal baik itu yang bersifat individual maupun yang

bersifat sosial, tak terkecuali perencanaan keluarga. Dengan pene-litian

yang cukup intens terhadap kandungan dan kualitas hadis tentang ‘azl dan

elaborasi pandangan para ulama menurut hadis-hadis tersebut, maka

praktek ‘azl adalah sesuatu yang sah dalam pandangan agama Islam.

Demikian pula dengan alat-alat kontrasepsi yang lain selama tidak

melanggar etika agama dan moral kemanusiaan.21

3. Penelitian yang dilakukan oleh Astriana Dwi Lestari, “Penggunaan Alat

Kontrasepsi Spiral Perspektif Maqashidus Syari’ah”. Penyusunnya

20
Agus Imam Kharomen, Kedudukan Anak Dan Relasinya Dengan Orang Tua Perspektif
Al-Qur’an (Perspektif Tafsir Tematik). Skripsi Jurusan Al-Ahwal Asykhsiyyah Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Walisongo Semarang (2019).
21
La Ode Ismail Ahmad, ‘Azl (Coitus Interruptus) Dalam Pandangan Fukaha, Jurnal
Hukum Diktum, Volume 8, Nomor 1, januari 2010, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Parepare.
berkesimpulan bahwa penggunaan alat kontrasepsi spiral dalam

maqashidus syariah pada dasarnya boleh dilakukan jika dalam keadaan

dharuriyat maupun hajiat namun sebaiknya ditinggalkan jika dalam

kondisi tahsiniat. Alat kontrasepsi spiral yang dibenarkan dalam Islam

adalah yang cara kerjanya mencegah kehamilan (man’u al-haml), bersifat

sementara (tidak permanen) dan dapat dipasang sendiri oleh yang

bersangkutan atau orang lain yang pada dasarnya tidak boleh memandang

auratnya tetapi dalam keadaan darurat ia dibolehkan. Selain itu bahan

pembuatan yang digunakan harus berasal dari bahan yang halal, serta tidak

menimbulkan implikasi yang membahayakan (mudlarat) bagi kesehatan.

Tujuan dari penggunaan alat kontrasepsi adalah tercapainya maslahah

‘ammah yang menjadi bagian integral dari paradigma fikih sosial.22

Dalam penelitian yang penyusun lakukan, tidak mencari boleh tidaknya

sebuah keluarga memilih childfree (hidup bersama tanpa anak), namun

mendudukan childfree dalam Tinjauan Hukum Keluarga Islam.

E. Metodologi Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah sebagai bertikut:

1. Jenis Penelitan

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research),

yaitu suatu bentuk penelitian yang sumber datanya diperoleh dari data

22
Astriana Dwi Lestari, Penggunaan Alat Kontrasepsi Spiral Perspektif Maqashidus
Syari’ah. Skripsi Jurusan Ahwalus Syakhshiyyah (AS) Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Metro, 1439 H / 2018 H.
kepustakaan. Dalam hal ini peneliti mengumpulkan data-data penelitian yang ada

kaitannya dengan permasalahan yang diteliti dengan merujuk pada sumber data

buku-buku, al-Qur’an, kitab-kitab fiqhi, kitab-kitab hadits, kitab acara hukum

pernikahan dan jurnal-jurnal ilmiah.23

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Yakni penelitian ini

diharapkan memberi gambaran secara rinci, serta menguraikan dan

mengklasifikasikan secara obyektif data yang dikaji sekaligus

menginterpretasikan data tersebut. 24

3. Sumber Data

a. Sumber data primer

Diperoleh dari sumber yang asli yang memuat segala keterangan

yang berkaitan dengan penelitian ini, dengan data-data sebagai berikut: al-

Qur’an, kitab-kitab hadis, kitab-kitab fikih, serta kitab acara hukum

pernikahan.25

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang berfungsi untuk memperkaya dan

memperkuat sumber utama. Untuk data penunjang, penulis menggunakan

23
Abudin Nata, Metode Studi Islam (Cet. VI; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h.
125.
24
Deskriptif berarti bersifat menggambarkan atau menguraikan sesuatu hal menurut apa
adanya.
25
Muhammad Faris Kasyidi, Pendidikan Keluarga berbasis Tauhid (Jakarta: Daarul
Hijrah Technology, 2015), h. 11.
dokumen-dokumen baik berupa buku-buku dari perpustakaan, kamus-kamus,

jurnal dan bacaan lain yang masih relevan dengan tema skripsi ini.26

c. Sumber Tersier

Sumber Tersier yaitu data diperoleh dari sumber-sumber yang terdapat

dalam data-data elektronik seperti berasal dari situs-situs internet.

4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

a. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Library Research

(penelitian kepustakaan) untuk mendapatkan data-data dalam menyusun teori

sebagai landasan ilmiah dengan mengkaji dan menelaah pokok-pokok

permasalahan dari literature yang mendukung dan berkaitan dengan

pembahasan skripsi ini.27 Metode ini terdiri atas dua bahagian yaitu:

1) Induksi, yakni menganalisa permasalahan dari hal yang bersifat khusus,

kemudian mengambil kesimpulan yang bersifat umum.

2) Deduksi, yakni menganalisa permasalahan dari hal yang bersifat umum,

kemudian mengambil suatu keputusan yang bersifat khusus.28

Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis berpedoman kepada

buku Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah yang diterbitkan oleh Universitas

Islam Negeri Alauddin Makassar tahun 2013.

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitan ini dapat diuraikan sebagai berikut:

26
Muhammad Faris Kasyidi, Pendidikan Keluarga berbasis Tauhid, h. 11.
27
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 43.
28
Nasution, Metode Research, Jilid 1 (Jakarta: Jemrah, 1992), h. 165.
a. Untuk mengetahui Bagaimana kedudukan anak dalam Islam.

b. Untuk mengetahui Bagaimana Pandangan Islam Terkait Upaya Pembatasan

Jumlah Anak Dengan Menggunakan Berbagai Metode.

c. Untuk mengetahui Bagaimana ketentuan Islam Dalam Menyikapi Fenomena

Childfree.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran untuk

memperkaya khasanah keilmuan tentang childfree menurut Hukum Keluarga

Islam.

b. Kegunaan Praktis

Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat banyak memberikan sumbangan

keilmuan dan khasanah kepustakaan Islam, dan memberikan informasi tentang

Studi Analisis Fenomena Childfree dalam Hukum Keluarga Islam.

G. Garis-garis Besar Isi Skripsi

Untuk memudahkan dalam membahas skripsi ini, maka penyusun

membagi dalam sistematika pembahasan berikut ini:

Bab Pertama, memuat pendahuluan, bab ini mencakup latar belakang

masalah, rumusan masalah, pengertian judul, ruang lingkup penelitian, kajian

pustaka, metodologi penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, dan garis-garis

besar isi skripsi yang digunakan untuk mensistematiskan suatu masalah.

Bab Kedua, membahas tentang kedudukan anak dalam Islam, pengertian

anak, kedudukan anak, hak dan kewajibannya serta relasinya dengan orangtua.
Bab Ketiga, membahas tentang analisis hukum islam terhadap upaya

pembatasan anak dengan berbagai metode, yang meliputi upaya pembatasan anak

dengan berbagai metode dan analisis hukum Islam terhadap upaya pembatasan

anak.

Bab Empat, membahas tentang hasil penelitian, kedudukan anak sebagai

tujuan pernikahan, pandangan islam terkait upaya pembatasan jumlah anak,

ketentuan dan etika islam bagi keluarga yang memilih childfree dan implikasi

sosialnya.

Bab Kelima, membahas tentang kesimpulan dan implikasi penelitian.

Anda mungkin juga menyukai