Anda di halaman 1dari 22

Pernikahan: Ikhtiar Mewujudkan Keluarga Berkah

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islamic Education
Yang dibina oleh BapakTitis Thoriquttyas, M.Pd.I

OLEH :

KELOMPOK 3 OFFERING F-F1:

1. BELLA AULIA (170342615567)


2. MUSHOFATUL FITRIA (170342615552)
3. SHANIA ALIFAH RAHMAN (170342615591)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS SASTRA
S1 SASTRA INGGRIS
OKTOBER 2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap manusia dalam menjalani kehidupannya sehari-hari saling berhubungan
satu dengan yang lainnya, salah satu ikatan yang diatur oleh Tuhan untuk hidup
berpasangan adalah melalui proses perkawinan. Di dalam melaksanakan
perkawinan, berbagai persiapan baik lahiriah maupun batiniah merupakan unsur
terpenting yang harus terpenuhi, syarat-syarat dan rukun-rukun perkawinan
menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pada umumnya, perkawinan
merupakan suatu ikatan suci yang berkaitan erat dengan ajaran agama, karenanya
setiap agama selalu menghubungkan kaedah perkawinan dengan kaedah-kaedah
agama.
Untuk mencapai suatu keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah
mungkin tidaklah mudah, tetapi suatu keluarga yang baik di mulai dari
perkawinan atau pernikahan yang baik pula. Pada dasarnya pernikahan
merupakan salah satu cara seseorang untuk mengindari perbuatan zina. Hal ini di
karenakan zina menyebabkan simpang siurnya suatu keturunan, terjadinya
kejahatan terhadap keturunan, dan juga yang akan menyebabkan berantakannya
sebuah keluarga, hingga tercerabutnya akar kekeluargaan dengan menyebarnya
penyakit menular, merajalelanya nafsu, dan maraknya kerusakan moral.
Berkenaan dengan itu sebagai dasar pengetahuan dalam membentuk keluarga
yang baik menurut Islam perlu disusun sebuah makalah yang mampu menjadi
wahana bagi sebagian muslim untuk memperoleh wawasan, pengetahuan, dan
konsep keilmuan berkenaan dengan hukum perkawinan dalam Islam demi
mencapai sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah sesuai dengan
sunnah Nabi dan Rasul baik secara teoritis maupun secara praktis.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana hakikat cinta dan fitrah manusia untuk menikah ?
2. Bagaimana upaya menjaga kesucian diri dengan tidak berpacaran dan tidak
berzina?
3. Bagaimana cara meraih keluarga berkah dalam bingkai pernikahan?
4. Bagaimana kontroversi pernikahan yang sering terjadi dalam kehidupan ?
1.3 Tujuan
1. Untuk memahami hakikat cinta dan fitrah manusia untuk menikah
2. Untuk memahami upaya yang perlu dilakukan untuk menjaga kesucian diri
dengan tidak berpacaran dan tidak berzina
3. Untuk mengetahui cara meraih keluarga berkah dalam bingkan pernikahan
4. Untuk mengetahui ragam kontroversi pernikahan yang ada di dalam
kehidupan
BAB II

PEMBAHSAN

2.1 Cinta dan Fitrah Manusia untuk Menikah

2.1.1 Cinta dan Pernikahan

Menurut para ahli, cinta merupakan kesenangan jiwa, pelipur hati,


membersihkan akal, dan menghilangkan rasa gundah gulana. Pengaruhnya
membuat elok rupa, membuat manis kata-kata, menumbuhkan perilaku mulia,
dan memperhalus perasaan. Namun sebaliknya, apabila sedang “mabuk cinta”
emosinya bergejolak. Dirinya diliputi rasa senang,takut, sedih, cemburu, dan
kuatir yang campur aduk tidak karuan. Cinta juga bisa membuat pikiran tidak
bekerja dengan benar.

Cinta seorang laki-laki kepada wanita dan sebaliknya adalah perasaan


yang manusiawi yang bersumber dari fitrah yang diciptakan oleh Allah SWT
di dalam jiwa manusia, yaitu kecenderungan kepada lawan jenis ketika ia
telah mencapai kematangan pikiran dan fisiknya. Menurut ajaran islam,
perasaan cinta akan membawa kebaikan pada manusia bila disalurkan hanya
dalam bingkai pernikahan. Karena di dalam pernikahan, hampir semua bentuk
interaksi antara laki-laki dan perempuan menjadi halal, bahkan bernilai pahala
apabila dilakukan karena Allah.

Di luar pernikahan, semua bentuk cinta laki-laki dan perempuan


adalah terlarang. Termasuk ke dalam kategori cinta yang dilarang islam
adalah cinta kepada sesama jenis atau yang popular homo seksual atau liwath
dalam bahasa arab. Di tempat tinggal Nabi Luth AS, dikenal kaum Sodom
yang memiliki orientasi seksual sesama jenis. Nabi Luth dengan tiada henti
berdakwah dengan ketulusan dan kejujuran namun tidak satupun yang
mengikutinya dan beriman kepada Allah SWT kecuali anggota keluarganya,
bahkan anggota keluarganya tidak semuanya menjadi pengikut Nabi Luth,
istrinya kafir seperti istri Nabi Nuh. Kemudian Nabi Luth berputus asa dan
meminta kepada Allah SWT agar menolongnya dan menghancurkan orang
yang membuat kerusakan. Di dalam Al-Qur’an surah QS. Al Qamar(54) ayat
33-36 Allah SWT berfirman: “Kaum Luth pun telah mendustakan ancaman-
ancaman (Nabinya). Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada
mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka), kecuali
keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing,
sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-
orang yang bersyukur. Dan sesungguhnya dia (Luth) telah memperingatkan
mereka akan azab-azab Kami, maka mereka mendustakan ancaman-ancaman
itu.” (QS. Al Qamar(54); 33-36).

Kota kediaman Nabi Luth, dalam Perjanjian Lama disebut sebagai


kota Sodom. Karena berada di utara Laut Merah, kaum ini diketahui telah
dihancurkan sebagaimana termaktub dalam Al Quran. Kajian arkeologis
mengungkapkan bahwa kota tersebut berada di wilayah Laut Mati yang
terbentang memanjang di antara perbatasan Israel-Yordania.

2.1.2 Fitrah Manusia untuk Menikah

Secara bahasa, nikah berarti berhimpun. Secara sinonim, Al-Qur’an


juga menggunakan kata zawwaja yang bermakna menjadikan berpasangan.
Secara istilah, menurut UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, pernikahan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pri dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan merupakan suatu upaya untuk
menyalurkan naluri seksual suami istri secara halal dalam rumah tangga
sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin
kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan
dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang
diberikan oleh Allah SWT kepada hambaNya (Burhanuddin, 2010).
Menikah adalah naluri seluruh makhluk, termasuk manusia. Al-
Qur’an beberapa kali mengulang tabiat ini antara lain dalam surah al-Dzariat:
49, AsSyura: 11, dan Yasin: 36. Dalam Q.S. Yasin: 36 Allah berfirman:

Artinya : “maha suci Allah yang telah menciptakan semua


berpasangan, baik dari apa yang tumbuh di bumi, dan jenis mereka (manusia)
maupun dari makhluk-makhluk yang tidak mereka ketahui.”

Jika laki-laki dan perempuan diangap sebagai diri yang satu dalam dua
raga yang berbeda (Q.S An-Nisa’: 1), maka keterpasangan keduanya ibarat
burung dan kedua sayapnya. Badan burung hanya akan dapat terbang apabila
memiliki sayap kanan dan kiri. Kedua sayap ini saling membutuhkan agar
badan burung dapat terbang. Setiap manusia, baik laki-laki maupun
perempuan, wajar menginginkan memiliki pasangan. Sebelum dewasa,
dorongan ini umumnya sudah timbul, dan menjadi amat kuat saat manusia
mencapai kedewasaannya. Agar dorongan ini tersalurkan dnegan benar dan
membawa efek positif, maka islam mensyariatkan dijalinnya keberpasangan
tersebut dalam bingkai pernikahan. Dari bentuk hubungan yang sah ini
kemudian akan muncul rasa tentram atau sakinah pada laki-laki dan
perempuan, sebagaiman firman Allah SWT dalam surah Ar-Rum: 21 :
Artinya :”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya lah ia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir”.

2.1.3 Hikmah Pernikahan

Dalam islam, tujuan pernikahan bukan hanya sekedar pemenuhan


nafsu seksual, tetapi memilik tujuan-tujuan penting yang berkaitan dengan
aspek sosial, psikologi, dan agama. Diantara tujuan pernikahan yang
terpenting adalah sebagai berikut,

a. Memelihara Keberlangsungan Manusia


Pernikahan berfungsi sebagai saran untuk memelihara
keberlangsungan gen manusia, alat reproduksi, dan regenerasi dari
masa ke masa. Dengan pernikahan, manusia dapat memakmurkan
hidup dan melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah SWT.
Mungkin, sebagian orang berkata bahwa untuk mencapai hal
tersbut dapat dilakukan melalui penyaluran nafsu seksual tanpa
mematuhi syariat, tetapi cara tersebut dibenci oleh agama, dan
rentan menyebabkan terjadinya penaniayaan, pertumpahan darah,
dan menyian-nyiakan keturunan sebagaimana yang terjadi pada
binatang. Menikah ialah sebaik-baik cara untuk bisa mendapatkan
anak, memperbanyak keturunan dengan nasab yang terjaga. Allah
SWT berfirman dalam surah Ar-Ra’du ayat38 :
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul
sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri
dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul
mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin
Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)” (Q.S. ar
Ra’d:38).

b. Pernikahan adalah Tiang Keluarga yang Teguh dan Kokoh


Menurut al-Ghazali, menikah memiliki beberapa faedah,
diantaranya dapat menyegarkan jiwa, membuat hati menjadi
tenang, dan memperkuat ibadah. Jiwa manusia bersifat mudah
bosan dan jauh dari kebanaran jika bertentangan dengan
karakternya. Bahkan jiwa menjadi durhaka dan melawan jika
selalu dibebani secara paksa. Akan tetapi, jika jiwa disenangkan
dengan kenikmatan dan kelezatan di sebagian waktu, ia menjadi
kuat dan semangat. Kasih sayang dan bersenag-senang dengan istri
akan menghilangkan rasa sedih dan menghibur hati.

c. Mengontrol Hawa Nafsu


Menikah dapat menjaga diri manusia dan menjuhkannya dari
pelanggaran yang diharamkan agama, sebab nikah
memperbolehkan masing-masing pasangan melakukan hajat
biologisnya secara halal dan mubah. Pernikahan juga menjaga para
pemuda dari penyalura hasrat seksual yang salah. Karena rahasia
pernikahan yang tinggi inilah islam mengajurkan menikah dan
mendorong para pemuda agar menikah, sebagaimana hadits shahih
yang diriwayatkan oleh ibnu mas’ud bahwa Rasulullah bersabda:
"Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu
berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan
pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu
hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu."
Muttafaqun Alaihi.

2.2 Kriteria Pendamping Hidup dan Ikhtiar Mencarinya

2.2.1 Kriteria Ideal Pendamping Hidup

Setiap orang memiliki pertimbangan dalam mencari pendamping


hidup. Banyak orang yang cenderung memilih kekayaan, kedudukan, dan atau
fisik rupawan sebagai prioritas utama dalam menentukan pendamping hidup
mereka. Namun, jika dilihat dari sudut pandang Islam, hal ini sangatlah keliru.
Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW menyampaikan:

“Barang siapa yang kawin dengan perempuan karena hartanya, maka


Allah akan menjadikannya fakir. Barang siapa kawin dengan perempuan
karena keturunannya, maka Allah akan menghinakannya. Tetapi barang
siapa kawin dengan tujuan agar lebih dapat menundukkan pandangannya,
membentengi nafsunya atau untuk menyambung tali persaudaraan, maka
Allah akan memberikan barokah kepadanya dengan perempuan itu dan
kepada si perempuan juga diberikan barokah karenanya” (HR. Ibnu Hibban).

Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda: “Jauhilah olehmu


khadraa’uddiman!” beliau ditanya: “wahai Rasulullah, apakah
khadraa’uddiman itu?” Beliau bersabda: “Wanita cantik (yang tumbuh) di
lingkungan yang buruk” (HR. Daraquthni). Dalam agama Islam, hal utama
yang harus dijadikan patokan dalam mencari pendamping hidup adalah agama
yang satu paket dengan akhlak yang baik, sebab agama dan akhlak yang baik
akan membawa ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi
pasangan dan anak-anaknya. Nabi SAW mengingatkan kita akan pentingnya
hal ini.
“Seorang perempuan dinikahi karena empat alasan: karena harta
kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya dan karena agamanya.
Hendaknya engkau menikahi perempuan yang taat beragama, niscaya engkau
akan bahagia dan beruntung” (Muttafaq ‘alaih).

Selain menjadikan agama sebagai prioritas utama dalam mencari


pendamping hidup, hendaklah seorang muslim juga mempertimbangkan latar
belakang keluarga masing-masing. Sebab pernikahan tidak hanya menyatukan
dua diri yang berbeda, melainkan juga dua keluarga yang berbeda.

2.2.2 Ragam Ikhtiar Mencari Pendamping Hidup

Ada beragam cara yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan


pendamping hidup. Umumnya cara yang ditempuh adalah melalui perjodohan,
pacaran, persahabatan, ta’aruf, cinta pada pandangan pertama, dan melalui
ilham atau intuisi. Namun, cara mencari jodoh yang disyariatkan dalam Islam
adalah ta’aruf. Secara bahasa, ta’aruf adalah perkenalan. Dalam istilah agama,
ta’aruf adalah proses pertemuan/perkenalan seorang pria dan wanita dalam
suasana terhormat ditemani pihak ketiga dengan tujuan mencari pendamping
hidup.

Dalam proses ta’aruf, pihak pria dan wanita dipersilahkan untuk saling
menanyakan berbagai hal yang ingin diketahui, terutama terkait dengan
keinginan masing-masing saat menjalani pernikahan nanti. Masing-masing
pihak juga diperbolehkan, bahkan disarankan untuk melihat wajah calon
pendamping dengan seksama. Hal ini dimaksudkan untuk menimbulkan
kemantapan dan agar tidak terjadi kekecewaan di lain hari. Dalam hal apapun,
masing-masing pihak diwajibkan untuk berkata jujur.

Disamping itu, agar masing-masing pihak memperoleh informasi yang


lengkap dan benar tentang calon pendamping, mereka dapat bertanya kepada
pihak ketiga atau orang yang mengenal dia. Bila kedua pihak merasa ada
kecocokan, maka perlu segera ditentukan waktu pernikahan untuk
menghindari fitnah dan dosa. Namun bila tidak ada kecocokan, mereka dapat
menghentikan proses ta’aruf dengan cara yang baik. Seorang remaja muslim
hendaknya benar-benar paham bahwa metode mencari pendamping hidup
yang halal adalah ta’aruf.

2.3 Menjaga ‘Iffah (Kesucian Diri) dengan Tidak Pacaran dan Tidak Berzina

2.3.1 Katakan “Tidak” pada Pacaran

Menurut KBBI (Edisi Ketiga, 2002), pacar adalah kekasih atau teman
(lawan jenis) yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih.
Adapun berpacaran adalah becintaan; (atau) berkasih-kasihan (dengan sang
pacar). Pacaran adalah suatu aktivitas yang dilakukan untuk menemukan dan
mendapatkan pasangan dari lawan jenis yang disukai, yang dirasakan nyaman,
dan dapat mereka nikahi pendapat yang berbeda. Pacaran dalam pandangan
penulis adalah aktivitas cinta kasih yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan tanpa ikatan pernikahan.

Definisi inilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Dalam rangka


memberikan penilaian yang obyektif tentang pacaran, perlu dibahas terlebih
dahulu keuntungan dan kerugian pacaran. Berikut ini adalah sejumlah
keuntungan dan kerugian pacaran menurut hasil diskusi di situs internet

a. Keuntungan pacaran
1. Belajar mengenal karakter lawan jenis
2. Mendapatkan perhatian lebih dari orang lain, yakni pacar.
3. Mudah menemukan tempat menyampaikan keluhan, unek-unek atau
curhat berbagai permasalahan yang dihadapi kepada pacar.
4. Memiliki tempat berbagi di saat suka dan duka
5. Tidak kesepian karena ada yang setia menemani kapanpun dan
dimanapun
6. Ada yang mentraktir makan, minum, pulsa, dan sebagainya
7. Antar-jemput atau ojek gratis
8. Sarana mencari pendamping hidup agar mengenal dia dan tidak
salah pilih
9. Senang dan bahagia karena bias menyalurkan rasa cinta dan diintai
10. Menimbulkan motivasi atau semangat hidup
11. Sarana untuk menyalurkan “hasrat” atau nafsu seksual
Bila dikaji lebih lanjut, keuntungan pacaran di atas
sesungguhnya tidak sepenuhnya berlaku pada sepasang pacar. Malah
keuntungan bagi si pacar sangat mungkin menjadi kerugian bagi
pacarnya. Sebagi contoh, keuntungan nomor enam dan tujuh
(umumnya) merupakan keuntungan pihak perempuan, tapi kerugian di
pihak laki-laki. Sebagai kompensasinya, pihak laki-laki mungkin
mencari nomor sebelas sebagai keuntungannya. Terlepas dari itu,
dalam perspektif Islam, keuntungan nomor sebelas sebenarnya
merupakan kerugian karena mengakibatkan dosa besar.
Adapun keuntungan pertama sampai kelima ternyata dapat
juga diperoleh dari selain pacar, yaitu sahabat dekat atau keluarga.
Selain itu, keuntungan nomor delapan juga layak dipertanyakan.
Meski sering diutarakan pelaku pacaran, keuntungan ini ternyata
sering kali tidak terjadi. Penyebabnya adalah para pelaku pacaran
cenderung menutupi sifat atau prilaku buruknya agar tidak ditinggal
pacarnya.
b. Kerugian Pacaran
Meskipun pacaran dilakukan suka sama suka, tapi aktivitas ini
juga menimbulkan sejumlah dampak negative pada diri pelaku dan
orang terdekatnya. Kerugian-kerugian tersebut antara lain:
1. Mengurangi waktu untuk diri sendiri
2. Menghambat kinerja otak karena hanya memikirkan satu obyek
saja (pacar)
3. Mendorong orang untuk berbohong agar tidak merugikan dirinya
4. Menghabiskan uang, seperti untuk beli pulsa, bensin, makanan,
dan jalanjalan
5. Menghambat cita-cita, karena waktu dan pikiran banyak yang
tercurah kepada pacar
6. Berternak dosa. Hampir semua aktivitas dalam pacaran
menimbulkan dosa
7. Hati menjadi resah dan tidak tenang karena telah memperbanyak
dosa
8. Perasaan resah dan gelisah karena cemburu dan takut ditinggal
pacar.
9. Memunculkan fitnah, bila berduaan di dalam rumah bias digrebek
warga
10. Hilangnya keperawanan dan keperjakaan bila tidak mampu
mengendalikan nafsu
11. Menimbulkan aib bagi keluarga bila sampai terjadi hamil di luar
nikah
12. Menunda pernikahan karena keasyikan berpacaran
13. Menimbulkan efek sakit hati, bahkan bunuh diri apabila “putus”
cinta
14. Membatasi pergaulan dan wawasan karena dilarang pacar
15. Terjadi kekerasan dalam pacaran (KDP), baik fisik maupun psikis
16. Menyebabkan konflik dengan orang tua bila hubungan tersebut
tidak disetujui
17. Menganggu kuliah atau studi, tidak selesai tepat waktu bahwa drop
out.
Beragam kerugian pacaran di atas tidak selalu terjadi pada
setiap pelaku pacaran, tergantung pada gaya pacaran mereka.
Meskipun begitum, sejumlah kerugian hampir pasti dialami oleh
pelaku pacaran, yakni: pengeluaran bertambah, berternak dosa, sakit
hati karena cemburu, dan mengurangi waktu berkarya.

Ditinjau dari sudut pandang ajaran Islam, aktivitas pacaran


pranikah dengan beragam gayanya adalah haram alias tidak bias
dibenarkan. Apapun bentuk gaya pacarannya, ini dilakukan sebelum
menikah hukumnya tetap terlarang. Kecuali, bila pacarnya pranikah
tersebut tidak melanggar aturan agama terkait hubungan laki-laki
dengan perempuan non mahram.Aturan tersebut antara lain:

1. Larangan mendekati zina (Qs. Al-Isra’: 32)


2. Larangan berduaan di berduaan di tempat sunyi
3. Larangan melihat lawan jenis tanpa maksud yang dibolehkan
agama (Qs. Annur: 30-31)
4. Larangan menyentuh, apalagi memegang lawan jenis
5. Larangan membayangkan lawan jenis

Permasalahannya adalah adakah hubungan pacaran tanpa


berpandangan, berpegangan, berduaan, atau membayangkan si do’i?
Bila ada gaya hubungan cinta kasih laki-laki dan permepuan yang
memenuhi criteria ini, maka layak disebut pacaran Islami. Selain itu
perempuan yang bukan hanya diperbolehkan oleh ajaran Islam, tapi
malah dianjurkan dan mendatangkan pahala bagi pelakunya, yakni
hubungan laki-laki dan perempuan setelah terjadinya akad nikah. Jenis
hubungan ini menghasilkan pahala karena tidak ada aturan agama
yang dilanggar. Bahkan dapat mendatangkan kesenangan bagi kedua
belah pihak.
Lingkungan pergaulan remaja zaman sekarang yang cenderung
bebas merupakan daya tarik tersendiri bagi remaja muslim. Hal ini
merupakan tantangan yang tidak mudah bagi remaja muslim. Namun
mempertimbangkan betapa pacaran terlarang dalam Islam dan ternyata
sarat dengan kerugian dan amat minim keuntungan, maka sangat layak
setiap remaja muslim berani berkata tidak pada pacaran.

2.3.2 Pacaran dan Perilaku Seksual Remaja

Dari sejumlah dampak negatif diatas, dampak pacaran yang paling


mengkhawatirkan adalah seks dan pergaulan bebas. Perkebangan zaman yang
menyebabkan informasi tentang seks mudah diakses remaja, kontrol yang
lemah dari orang tua, sikap permisif masyarakat, dan promosi seks bebas oleh
para artis menyebabkan remaja zaman sekadang rentan terpengaruhi dan
mencoba hal-hal yang “berbau” seks. Salah satunya adalah gaya pacaran
remaja zaman sekarang yang mengarah pada hura-hura dan pemuasan
kebutuhan seks. Parahnya, muda-mudi tersebtu menyalurkan hasrat seksual
mereka pada orang yang seharusnya mereka lindungi, yakni pacar.

Dampak perilaku pacaran semacam ini amat merugikan individu dan


masyarakat. Dalam konteks individu, pacaran bernuansa seks ini
menyebabkan hilangnya keperawanan dan keperjakaan , penyait kelamin,
kanker lehr rahim, hamil di luar nikah, aborsi, pernikahan usia dni,
tersebarnya video porno pelaku pacaran, dan lain sebagainya. Sedangkan
dalam konteks masyarakat, pacaran jenis ini berdampak pada munculya kasus
pembuangan atau pembunuhan bayi, nikah hamil, membuat malu keluarga,
anak lahir tanpa pernikahan, rusaknya tatanan masyarakat, menipisnya budaya
malu, dan sebagainya.

Islam sebagai agama yang diturunkan Allah untuk menyelamatkan


manusia, sangat menentang gaya pacaran bernuansa seks, dalam islam,
hubungan badan di luar bingkai pernikahan disebut zina, dan termasuk
kategori dosa besar. Perbuatan ini oleh Allah disebut tindakan yang keji dan
cara yang paling buruk (QS. 17:32).

2.4 Cara Meraih Keluarga Berkah dalam Pernikahan

2.4.1 Ciri Kelurga Berkah

Berdasarkan makna berkah di atas, dalam konteks perkawinan,


keluarga berkah adalah keluarga yang baik, yang membawa kebaikan pada
diri mereka dan orang lain. Kebaikan yang ada pada keluarga tersebut akan
bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Merujuk pada al-Qur’an surah
al-Rum: 31, keluarga berkah adalah keluarga yang sakinah (tenang, tentram),
mawaddah (penuh cinta), dan rahmah (diliputi kasih). Intinya adalah bahwa
keluarga berkah membuat semua anggotanya merasa nyaman, tenang, dan
bahagia.

Selain itu, keluarga berkah juga ditandai dengan makin meningkatnya


kualitas keimanan para anggota keluarga tersebut. Hal ini berarti keluarga
berkah menjadikan syariat Islam sebagai pedoman hidup dan ridho Allah
SWT sebagai tujuan utama. Ciri lain keluarga berkah adalah kualitas pribadi-
pribadi dalam keluarga tersebut berkembang menuju kebaikan; sikap semakin
matang, bertambah bijak, wawasan bertambah, dan akhlak semakin membaik.
Rizki dan kesehatan yang membawa kebaikan, dan anak-anak yang sholeh
atau sholikhah merupakan ciri lain dari keluarga berkah.

2.4.2 Upaya Meraih Keluarga Berkah


a. Sebelum Menikah
1. Menata niat menikah, yaitu untuk meraih ridho Allah SWT
2. Tidak berpacaran dan mencari calon pendamping hidup dengan
cara yang diperbolehkan dalam Islam, misalnya ta’aruf.
3. Memilih calon pendamping hidup yang sesuai dengan pedoma
Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
b. Sesudah menikah
1. Menjaga agar niat tetap lurus, yaitu menikah untuk mencapai ridho
Allah SWT.
2. Meminta doa kepada orang tua dan orang-orang sholeh.
3. Memenuhi syariat dan rukun pernikahan agar sah menurut agama.
4. Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar, dan
terlaksananya ijab qabul merupakan rukun nikah yang harus
dipenuhi.
c. Saat menjalani kehidupan rumah tangga
1. Mempertahankan motivasi menjalani pernikahan untuk beribadah.
2. Menjadikan ridho Allah sebagai pedoman dalam berumah tangga.
3. Nafkah yang halal, dan diupayakan diperoleh di negaranya sendiri.

2.5 Ragam Pernikahan Kontroversional


2.5.1 Poligami
Pengertian poligami secara sederhana adalah poligami dari bahasa
Yunani. kata ini merupakan penggalan dari poli atau polus yang artinya
banyak, dan kata gamein atau gamos, yang berarti kawin atau perkawinan. 17
Jika digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak, dan bisa jadi
dalam arti yang tidak terbatas, atau poligami adalah perkawinan antara
seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama.
Bahkan dalam UU No.1 Tahun 1974 telah dijelaskan bahwa
pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri
lebih dari seorang, dari Undang-Undang tersebut dapat diartikan selain
poligami itu ada batasan-batasan tertentu yaitu paling banyak empat orang,
seperti pada surat An-Nisa’ Ayat 3:
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya”

2.5.2 Nikah Mut’ah


Secara definitif, nikah mut’ah berarti : pernikahan dengan menetapkan
batas waktu tertentu berdasarkan kesepakatan antara calon suami dan isteri.
Bila habis masa (waktu) yang ditentukan, maka keduanya dapat
memperpanjang atau mengakhiri pernikahan tersebut sesuai kesepakatan
semula. Penentuan jangka waktu inilah yang menjadi ciri khas nikah mut’ah,
sekaligus pembeda dari nikah biasa. Nikah kontrak merupakan warisan dari
tradisi masyarakat pra-Islam. Tradisi ini dimaksudkan untuk melindungi kaum
perempuan di lingkungan sukunya. Pada masa Islam, nikah kontrak
mengalami beberapa perubahan hukum. Dua kali dibolehkan (yakni pada
waktu sebelum perang Khaibar dan pada waktu penaklukan kota Mekkah) dan
dua kali dilarang (waktu perang Khaibar dan 3 hari setelah penaklukan kota
Mekah) dan akhirnya diharamkan untuk selama-lamanya.
Kebolehan melakukan nikah mut’ah merupakan keringanan
(rukhshah) bagi para sahabat ketika itu, tidak dengan maksud menjadikannya
sebagai komoditas seks yang dibingkai atas nama agama, atau
mensejajarkannya dengan perzinaan. Perkawinan tidak sama dan bukanlah
perzinaan. Perkawinan yang dijangkakan waktunya itu cacat hokum baik
secara syar’i ataupun hukum negara. Di samping itu, perlu ada upaya dan
tindakan untuk mengubah pemahaman tentang hak perempuan, perubahan
mindset tentang hidup dalam kemewahan, serta kultur yang menempatkan
perempuan pada posisi subordinan seperti menuruti kata orang lain dan
kebergantungan terhadap pasangan, serta sikap keberagamaan yang benar.
Karena prinsip pernikahan adalah hubungan yang langgeng antara suamiistri,
keturunan, cinta kasih, dan tanggung jawab bersama dalam mendidik anak.
Pernikahan bukanlah sematamata menikmati hubungan seksual, sehingga
seolah-olah menjadikan perempuan sebagai ”barang”. Penggunaan istilah
kawin kontrak agar tidak dianggap asusila, tidak dapat dibenarkan, karena
pernikahan seperti itu menimbulkan banyak persoalan baik dari segi agama,
sosial, dan moral (Fahruddin,1992).

2.5.3 Pernikahan Beda Agama


Wanita muslim tidak halal kawin dengan laki-laki bukan muslim, baik
ia seorang musyrik, hindu, ahli kitab (Nasrani, Yahudi), atau beragam lainnya.
Karena orang lelaki mempunyai hak kepemimpinan bagi istrinya dan istri
wajib taat kepadanya, maka tidak boleh orang kafir atau musyrik menjadi
pemimpin dan menguasai wanita muslimah.
Fatwa mui tentang perkawinan beda agama :
1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul
mu’tamad, adalah haram dan tidak sah. Ditetapkan : Jakarta, Jumadil Akhir
1426 H 28 Juli 2005 M. Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang 25
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran”
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Simpulan
1. Cinta seorang laki-laki kepada wanita dan sebaliknya adalah perasaan
yang manusiawi yang bersumber dari fitrah yang diciptakan oleh Allah
SWT di dalam jiwa manusia. Perasaan cinta akan membawa kebaikan
pada manusia bila disalurkan hanya dalam bingkai pernikahan. Karena di
dalam pernikahan, hampir semua bentuk interaksi antara laki-laki dan
perempuan menjadi halal, bahkan bernilai pahala apabila dilakukan karena
Allah SWT.
2. Hal utama yang harus dijadikan patokan dalam mencari pendamping
hidup adalah agama yang satu paket dengan akhlak yang baik. Cara
mencari jodoh yang disyariatkan dalam Islam adalah ta’aruf atau
perkenalan dimana terjadi proses pertemuan/perkenalan seorang pria dan
wanita dalam suasana terhormat ditemani pihak ketiga dengan tujuan
mencari pendamping hidup.
3. Keluarga berkah adalah keluarga yang baik, yang membawa kebaikan
pada diri mereka dan orang lain. Untuk memperoleh keluarga yang berkah
banyak hal yang perlu untuk dilakukan baik sebelum menikah, sesudah
menikah, dan ketika membina sebuah rumah tangga.
4. Poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari
seorang wanita dalam waktu yang sama. Nikah yang batas waktunya
ditentukan berdasarkan kesepakatan para pelaku di Indonesia dikenal
dengan nama nikah kontrak. Dalam istilah fikih dikenal dengan sebutan
nikah mut’ah dan hukumnya haram. Wanita muslim tidak halal kawin
dengan laki-laki bukan muslim, baik ia seorang musyrik, hindu, ahli kitab
(Nasrani, Yahudi), atau beragam lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Burhanuddin S. 2010. Menjawab Semua Pertanyaan tentang Nikah Siri. Yogyakarta:


Pustaka Yustisia

Fahruddin, F. M. 1992. Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam. Jakarta: Pedoman


Ilmu Jaya.

Hanafi, Y., Sultoni, A., Huda, A. Y. M., Nasih, A.M., Syafaat, Kholidah, L.N.,
Sjafrudin, A.R., Zain, M., Murtadho,N., Kholisin, Khasairi, M., Ma’sum,
A., Jazimah, Thoha, A.R.M., Nurhidayati, Mahlifatussikah, H., Maziyah,
L., Ahsanudin, M., Huda, I.S., dan Irhamni. 2014. Pendidikan Islam
Transformatif: Membentuk Pribadi Berkarakter. Malang : Dream Litera

Marzuq, M . 2009. Poligami Selebritis. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka

Anda mungkin juga menyukai