Anda di halaman 1dari 13

Nama : Evlida Br Ginting

Nim : 21.07.217
Mata Kuliah : Psikologi Pastoral
Program Studi : Pasca Sarjana (M. Th)
Dosen : Dr. Jaharianson Saragih

TINGKATAN MORAL (STAGES MORAL DEVELOPMENT) LAWRENCE


KOHLBERG

I. Pendahuluan

Tahap perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral


seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya. Menurut Kohlberg,
penalaran moral yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan
perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan
moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang meyatakan bahwa
logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Namun
Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses
perkembangan moral dan prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan
perkembangannya berlanjut selama kehidupan. Untuk itu, dalam peper ini kita akan
memahas lebih lanjut tentang Tingkatan Moral (Stages Moral Development) Menurut
Lawrence Kohlberg.

II. Pembahasan
II.1. Latar Belakang Tokoh
Lawrence Kohlberg dilahirkan dalam sebuah keluarga kaya dan belajar di
Akademi Phillips, sebuah sekolah swasta yang terkenal. Pada Perang Dunia II,
setelah menyelesaikan pendidikannya di Akademi Phillips, ia mendaftar sebagai
ahli mesin di sebuah kapal perang. Setelah dinasnya dalam perang selesai, ia
mendaftar ke Universitas Chicago pada tahun 1948. Hasil ujian masuknya sangat
tinggi, dan ia memperoleh gelar sarjana dalam psikologi dalam waktu hanya satu

1
tahun. Kemudian ia melanjutkan ke program pasca sarjana dan tertarik pada
penalaran moral anak-anak dan karya-karya awal Jean Piaget. Ia menulis disertasi
doktoralnya di sana pada 1958, yang memberikan kerangka dari apa yang kini
dikenal sebagai tahap/tingkat perkembangang moral Kohlberg.1
Lawrence Kohlberg seorang serjana yang meluangkan banyak waktu dan
tenaga untuk mempelajari fenomena moralitas dari sudut pandang psikologis. Ia
menjabat sebagai professor di Universitas Chicago serta Universitas Harvard. Ia
terkenal karena karyanya dalam pendidikan, penalaran, dan perkembangan moral.
Di Universitas Harvard ia memimpin Harvard’s Center for Moral Education.2

II.2. Maksud dan Metode Penelitian Kohlberg


Moral pada umumnya didefinisikan oleh para ahli psikologi sebagai sikap dan
keyakinan yang dimiliki oleh seseorang yang membantu orang tersebut untuk
memutuskan apa yang benar dan salah. Moralitas itu sendiri dipengaruhi oleh
aturan dan norma-norma budaya di mana seseorang dibesarkan, sehingga
terinternalisasi dalam diri orang tersebut. Moralitas bukanlah merupakan bagian
dari “perlengkapan standar” pada saat seseorang dilahirkan, karena seseorang
dilahirkan tanpa moral.3
Dalam seluruh karyanya, Kohlberg terinspirasi dari hasil karya Jean Piaget.
Piaget merupakan peletak dasar teori perkembangan moral dengan pendekatan
kognitif. Piaget menolak pandangan nativisme bahwa moralitas adalah sesuatu yang
diturunkan serta pandangan teori belajar sosial yang menyatakan bahwa moralitas
didapatkan dari orang lain. Piaget dan kemudian dikembangkan oleh Kohlberg,
membuktikan bahwa pertumbuhan dalam penalaran moral adalah proses
perkembangan moral yang merupakan suatu proses pembentukan struktur kognitif.
Piaget dan Kohlberg menggunakan istilah moral judgment yang sering diartikan
dengan penalaran moral, untuk menunjukkan bahwa perkembangan moral terkait
dengan struktur kognitif. Piaget menyatakan bahwa moralitas berkembang melalui
tiga tahap: amoral, heteronomi, dan otonomi. Tahap amoral tampak pada anak yang
baru lahir sampai usia dua tahun yang belum memiliki kesadaran akan adanya

1
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tahap_Perkembangan_Moral_Kohlberg diakses pada 7 April 2022
Pukul 19.23 Wib.
2
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia, 2011), 83.
3
Siti Rohmah Nurhayati, Telaah Kritis Terhadap Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg,
Dalam: Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006, 94.

2
aturan yang mengendalikan aktivitas mereka. Pada tahap heteronomi, anak
memandang bahwa peraturan merupakan hukum dari luar yang bersifat suci, karena
ditetapkan oleh orang dewasa. Pada usia 8 tahun, anak memasuki tahap otonomi, di
mana peraturan dilihat sebagai suatu keputusan bebas, peraturan harus dihormati
karena dimufakati bersama.4
Untuk melanjutkan jalur penelitian Piaget, Kohlberg memperluas
pandangannya dengan dua cara, yaitu: pertama, dalam penelitiannya ia tidak
membatasi diri pada anak saja. Ia melakukan penelitiannya tentang anak berumur 6
sampai 28 tahun, yang sebagian besar telah diikutinya dari masa anak sampai umur
dewasa. Artinya, sesudah jangka waktu tertentu ia meyelidiki orang yang sama,
supaya dapat menentukan perkembangan moralnya. Kedua, ia memperluas horison
kultural dengan mengikutsertakan dalam penelitiannya subjek-subjek dari negara
dan kebudayaan lain dari Amerika Serikat, tempat ia sendiri hidup.5
Metode Kohlberg adalah ia mengemukakan sejumlah dilema moral khayalan 6
kepada subjek-subjek penelitian. Untuk dilema-dilema itu tidak tersedia pemecahan
dalam lingkungan anak-anak itu, sehingga mereka harus mencari pemecahannya
sendiri. Jadi, tidak mungkin mereka melaporkan apa yang mereka saksikan di
sekitarnya; mereka harus meyampaikan keputusan moral mereka sendiri. Dengan
cara itu Kohlberg ingin mendapat jawaban atas dua pertanyaan: bagaimana anak-
anak memecahkan dilema moral itu dan alasan-alasan apa dikemukakan untuk
membenarkan pemecahan itu. Pertanyaan pertama menyangkut isi keputusan moral,
sedang pertanyaan kedua menyangkut struktur atau bentuknya. Bisa saja dua anak
yang dihadapkan dengan suatu dilema moral, memberi jawaban yang sama tentang
pertanyaan pertama, tapi jawabannya berbeda tentang pertanyaan kedua. Misalnya,
dalam kasus seorang anak mencuri uang milik ibunya. Dua anak sama-sama bisa
menilai bahwa hal itu tidak boleh. Tapi dalam memberi alasan mengapa perbuatan
itu tidak boleh, mereka bisa berbeda. Yang satu bisa menjawab: “hal itu tidak boleh,
karena saya akan dihukum bila ketahuan”. Yang lain bisa menjawab: “hal itu tidak
boleh, karena kita harus menghormati milik orang lain”. Yang menarik bagi
Kohlberg sebagai psikolog bukan terutama penilaian-penilaian moral yang berbeda-

4
Ibid, 94.
5
K. Bertens, 94.
6
Khayalan dalam arti kasus-kasus itu tidak terjadi secara konkret, tapi pada prinsipnya bisa terjadi.

3
beda, melainkan struktur atau bentuk perbedaan-perbedaan itu bersama dengan
perkembangannya.7

II.3. Teori Perkembangan Moral L. Kohlberg


II.3.1. Dilema Heinz
Dalam melengkapi dan memperluas karya Piaget, Kohlberg melakukan
serangkaian penelitian terhadap 72 anak laki-laki di Chicago yang berusia 10,
13 dan 16 tahun. Beberapa subjek diikuti secara longitudinal dan dites ulang
selama 20 tahun. Dalam penelitiannya tersebut setiap anak diinterview selama
2 jam, dengan menanyakan 10 isu moral yang berbentuk dilema moral. 8
Selama kurang lebih 45 menit dalam wawancara mengggunakan dilema-
dilema moral untuk menentukan penalaran moral tahapan mana yang
digunakan partisipan. Dilemanya berupa cerita fiksi pendek yang
menggambarkan situasi yang mengharuskan seseorang membuat keputusan
moral. Partisipan tersebut diberi serangkaian pertanyaan terbuka yang
sistematis, seperti apa yang mereka pikir tentang tindakan yang seharusnya
dilakukan, juga justifikasi seperti mengapa tindakan tertentu dianggap benar
atau salah. Pemberian skor dilakukan terhadap bentuk dan struktur dari
jawaban-jawaban tersebut dan bukan pada isinya; melalui serangkaian dilema
moral di peroleh sekor secara keseluruhan.9
Salah satu contoh dilema moral yang digunakan oleh Kohlberg
tersebut adalah Dilema Heinz:10
“Di Eropa, ada seorang wanita yang hampir meninggal dunia karena
menderita penyakit kanker. Menurut pendapat dokter yang merawatnya, hanya
ada satu jenis obat yang dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah
sejenis radium yang baru ditemukan oleh seorang apoteker yang tinggal di
kota tersebut. Biaya untuk membuat obat itu mahal, tetapi apoteker memasang
harga 10 kali lipat dari harga pembuatannya. Untuk membuat obat tersebut,
apoteker mengeluarkan biaya sebesar $200 dan kemudian menjualnya satu

7
K. Bertens, 85
8
Siti Rohmah Nurhayati, 94
9
https://p2k.unkris.ac.id/id1/1-3065-2962/Tahap-Perkembangan-Moral-
Kohlberg_206756_p2k_unkris.html diakses 7 April 2022 pukul 12.52.
10
Siti Rohmah Nurhayati, 95.

4
dosis kecil seharga $2000. Heinz, suami wanita yang sakit itu pergi ke setiap
kenalannya untuk meminjam uang, tetapi ia hanya mendapatkan sebesar kira-
kira $1000 atau separuh dari harga obat. Heinz menceritakan kepada apoteker
bahwa isterinya hampir meninggal dan ia meminta agar apoteker tersebut sudi
menjual obatnya lebih murah atau memberi kesempatan kepada Heinz untuk
membayar sisa pembayaran di kemudian hari. Tetapi apoteker itu berkata:
“tidak bisa, saya sudah menemukan obat itu dan saya ingin mendapatkan uang
yang banyak dari penemuan obat itu”. Heinz menjadi sangat sedih dan ia
mulai berpikir untuk memasuki apotek itu dan mencuri obat tersebut lalu
memberikannya kepada sang isteri. Bolehkah Heinz melakukan hal tersebut?
Mengapa?
Dari sudut pandang teoritis, apa yang menurut partisipan perlu
dilakukan oleh Heinz tidaklah penting. Teori Kohlberg berpendapat bahwa
justifikasi yang diberikan oleh partisipanlah yang signifikan, bentuk dari
respon mereka.

II.3.2. Tingkat Perkembangan Moral L. Kohlberg

Menurut Kohlberg, enam tahap (stages) dalam perkembangan moral


dapat dikaitkan satu sama lain dalam tiga tingkat (levels) demikian rupa
sehingga setiap tingkat meliputi dua tahap. Tiga tingkat itu berturut-turut
adalah tingkat prakonvensional tingkat konvensional, dan tingkat pasca
konvensional. Tapi perkembangan moral tidak dimulai bersamaan dengan
kehidupan seorang manusia. Menurut Kohlberg, selama tahun-tahun pertama
belum terdapat kehidupan moral dalam arti yang sebenarnya. Jika anak kecil
membedakan antara baik dan buruk, hal itu hanya kebetulan terjadi dan jarang
sekali perbedaan seperti itu didasarkan atas norma-norma atau kewibawaan
moral. Penilaian moral pada anak kecil itu belum mempunyai suatu struktur
yang jelas. Karena itu bisa dikatakan bahwa tiga tingkat tadi didahului oleh
suatu periode pramoral. Kohlberg baru mulai penelitiannya pada anak-anak
berumur sekitar enam tahun.11

11
K. Bertens, 86.

5
Adapun tingkat pekembangan moral menurut Kohlberg adalah sebagai
berikut:12

Tingkat I : Pra Konvensional.

Pada tingkat (level) moralitas Pra konvensional, moralitas anak


berorientasi kepada akibat fisik yang diterimanya daripada akibat-akibat
psikologis dan berorientasi pada rasa patuh kepada pemberi otoritas. Jadi
perilaku moral anak berdasarkan pada kendali eksternal, pada hal-hal yang
diperintahkan dan dilarang oleh otoritas tersebut. Tingkat Pra konvensional ini
dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap satu dan tahap dua.

Tahap 1 : Orientasi ketaatan dan takut hukuman.

Dalam tahap pertama tingkat ini, anak berorientasi pada kepatuhan dan
hukuman, dan moralitas suatu tindakan dinilai atas dasar akibat fisiknya. Anak
menganggap perbuatannya baik apabila ia memperoleh ganjaran atau tidak
mendapat hukuman. Oleh karenanya tingkah laku anak diarahkan untuk
mendapatkan ganjaran tersebut dan menghindarkan larangan-larangan yang
akan memberinya hukuman. Kepatuhan anak ditujukan kepada otoritas, bukan
kepada peraturan dan kepatuhan dinilai untuk kepentingan dirinya sendiri.
Pikirannya bersifat egosentris, yaitu anak tidak dapat memahami atau
mempertimbangkan pandangan-pandangan orang lain yang berbeda dengan
pandangannya.

Tahap 2: Orientasi naif egoistis/hedonisme instrumental.

Pada tahap ini, seseorang menghubungkan apa yang baik dengan


kepentingan, minat dan kebutuhan dirinya sendiri serta ia mengetahui dan
membiarkan orang lain melakukan hal yang sama. Seseorang menganggap
yang benar apabila kedua belah pihak mendapat perlakuan yang sama, yaitu
yang memberikan kebutuhan-kebutuhan sendiri dan orang lain, semacam
moralitas jual beli. Perspektif timbal balik ini masih bersifat sangat pragmatis.
Tahap ini juga disebut tujuan instrumental oleh karena tindakan itu dianggap
benar jika secara instrumental dapat menyenangkan, memuaskan diri sendiri
dan orang lain. Tahap ini berbeda dari tahap moral orientasi patuh dan takut
12
Ibid, 86-90. bnd. Siti Rohmah Nurhayati, 95-95.

6
hukuman dalam hal sudah timbulnya pandangan timbal balik antara dirinya
dengan orang lain, karena tahap orientasi patuh dan takut hukuman hanya
mampu melihat dari perspektif dan kepentingan dirinya sendiri saja.
Perbedaan lainnya adalah bahwa seseorang pada tahap ini di dalam
menentukan apakah sesuatu itu baik atau tidak baik, tidak sepenuhnya
tergantung pada pihak otoritas (kekuatan eksternal), tetapi peran dirinya
sendiri mulai ada.

Tingkat II: Konvensional.

Tingkat moralitas ini juga biasa disebut moralitas peraturan


konvensional dan persesuaian (conformity). Ciri utama tingkat ini adalah suatu
tindakan dianggap baik apabila memenuhi harapan-harapan orang lain di luar
dirinya, tidak peduli akibat-akibat yang langsung dan kelihatan. Sikap ini
bukan hanya mau menyesuaikan dengan harapan-harapan orang tertentu atau
dengan ketertiban sosial, akan tetapi sikap ingin loyal, sikap ingin menjaga,
menunjang dan memberi justifikasi pada ketertiban itu dan sikap ingin
mengidentifikasikan diri dengan orang-orang atau kelompok yang ada di
dalamnya. Tingkat konvensional dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap tiga
dan tahap empat.

Tahap 3: Orientasi anak yang baik.

Dalam tahap ini, moralitas anak yang baik, anak yang menyesuaikan
diri dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain dan untuk
mempertahankan hubungan baik dengan mereka. Agar disebut sebagai anak
baik, individu berusaha agar ia dapat dipercaya oleh kelompok, bertingkah
laku sesuai dengan tuntutan kelompok dan berusaha memenuhi harapan-
harapan kelompok. Jadi pada tahap ini individu telah menyadari nilai dalam
suatu kelompok. Ciri-ciri altruistik cukup menonjol, yaitu ia lebih
mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri. Kemampuan empati
membuat individu pada tahap ini mulai meninggalkan prinsip timbal balik,
sifat egois telah ditransformasikan kepada pencarian persetujuan. Oleh karena
itu di dalam memutuskan sesuatu secara moral baik, persetujuan diri sendiri

7
belum cukup, individu masih mencari persetujuan eksternal. Perlu dipahami
bahwa egosentrisme individu belum ditinggalkan sama sekali.

Tahap 4: Moralitas pelestarian otoritas dan aturan sosial.

Dalam tahap keempat ini kebenaran diartikan sebagai menjunjung


tinggi hukum yang disetujui bersama. Individu yakin bahwa apabila kelompok
sosial menerima peraturan yang sesuai bagi seluruh anggota kelompok,
mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan itu agar terhindar dari kecaman
dan ketidak setujuan sosial. Pada tahap ini orientasi sebagai orang yang loyal,
bak hati, memenuhi harapan orang atau kelompok berganti dengan orientasi
memelihara dan mempertahankan sistem sosial. Orientasi melaksanakan
kewajiban dengan baik dan menghilangkan egosentrisme yang masih ada pada
tahap ketiga penalaran moral. Dapat disimpulkan bahwa ciri utama tahap ini
adalah menggantikan loyalitas kepada orang lain, kelompok atau masyarakat
kepada loyalitas hukum.

Tingkat III: Pasca konvensional.

Tingkat ketiga ini bisa juga disebut sebagai moralitas prinsip-prinsip


yang diterima sendiri. Pada tingkatan ini nilai-nilai moral diartikan terlepas
dari otoritas dan dari kelompok, terlepas dari apakah individu menjadi anggota
kelompok atau tidak. Individu berusaha untuk memperoleh nilai-nilai moral
yang lebih sahih yang diakui oleh masyarakat luas yang bersifat universal dan
menjadi hak milik pribadinya. Tingkat pasca konvensional ini dibagi menjadi
dua tahap, yaitu tahap lima dan tahap enam.

Tahap 5: Moralitas Kontrak sosial dan hak-hak individu.

Dalam tahap ini kebenaran diperoleh individu melalui pertimbangan


hak-hak individu yang umum dan telah dikaji oleh masyarakat secara kritis.
Konsensus masyarakat diperlukan karena nilai-nilai pribadi masih dianggap
relatif. Legalitas diutamakan, akan tetapi tidak berpegang secara kaku kepada
peraturan seperti pada tahap keempat. Pada tahap kelima ini peraturan dapat
diubah demi kesejahteraan masyarakat. Individu meyakini bahwa harus ada

8
keluwesan dalam keyakinan-keyakinan moral yang memungkinkan modifikasi
dan perubahan standar moral apabila ini terbukti akan menguntungkan
kelompok sebagai suatu keseluruhan. Pada tahap ini individu menyadari
bahwa hukum dan kewajiban harus berdasarkan perhitungan rasional dari
kegunaannya secara keseluruhan. Di dalam bertindak individu melakukan
yang paling baik untuk mendapatkan yang paling baik. Individu menyadari
bahwa terdapat perbedaan nilai dan pendapat diantara individu-individu.
Dalam hal ini individu tidak memihak, akan tetapi lebih berorientasi pada
kontrak sosial. Beberapa nilai dan hak seperti hak hidup dan kebebasan harus
tetap dijunjung tinggi walaupun tidak mendapatkan dukungan mayoritas.

Tahap 6: Moralitas prinsip-prinsip individu dan conscience.

Dalam tahap keenam ini kebenaran didasari oleh kata hati sendiri yang
mengandung konsistensi, pemahaman yang logis dan prinsip universal seperti
keadilan, persamaan hak-hak asasi manusia dan penghormatan terhadap
martabat manusia. Dengan mengikuti prinsip etis yang dipilih sendiri oleh
individu ini, apabila hukum melanggar prinsip-prinsip, maka individu akan
bertindak dengan berpegang pada prinsip-prinsip tersebut. Prinsip ini
merupakan keadilan hak asasi manusia sebagai individu. Individu memiliki
persektif bahwa setiap manusia yang rasional menyadari sifat moralitas atau
fakta bahwa orang adalah pribadi tersendiri dan harus diperlakukan demikian.
Pada tahap ini orang menyesuaikan dengan standar sosial dan cita-cita internal
terutama untuk menghindari rasa tidak puas dengan diri sendiri dan bukan
untuk mengindari kecaman sosial. Tahap ini merupakan moralitas yang lebih
banyak berlandaskan penghargaan terhadap orang lain daripada keinginan
pribadi.

II.4. Beberapa Ciri Khas Perkembangan Moral Menurt Kohlberg

9
Menurut Kohlberg, ada beberapa sifat yang menandai seluruh perkembangan
moral, yaitu:13
 Sifat pertama adalah bahwa perkembangan tahap-tahap selalu berlangsung
dengan cara yang sama, dalam arti si anak mulai dengan tahap pertama, lalu
pindah ke tahap kedua dan seterusnya. Semua tahap harus dijalanai menurut
urutan itu dan tidak meungkin loncat-loncat. Namun tidak perlu seorang anak
untuk seluruh perilaku moralnya berada dalam suatu tahap tertentu, bisa saja
secara dominan ia berada dalam suatu tahap, tapi untuk sebagian masih pada
tahap sebelumnya atau sudah pada tahap berikutnya.
 Sifat kedua adalah bahwa orang hanya dapat mengerti penalaran moral satu
tahap di atas tahap di mana ia berada. Jadi, seorang anak yang berada dalam
tahap kedua, sama sekali tidak mengerti penalaran moral dari mereka yang
berada dalam tahap keempat ke atas.
 Sifat ketiga adalah bahwa orang secara kognitif merasa tertarik pada cara
berpikir satu tahap di atas tahapnya sendiri. Karena cara berpikir tahap
berikutnya dapat memecahkan masalah dengan memuaskan dilema moral yang
dialami. Contohnya: jika anak ingin mendapatkan seluruh kue, sedangkan
kakaknya (lebih besar dan lebih kuat) juga ingin mendapat seluruh kue, maka ia
merasa tertarik pada ide untuk membagikannya, yang merupakan cara berpikir
dari tahap lebih tinggi. Ide ini merupakan pemecahan yang baik, karena dalam
usaha merebut kue dengan kekerasan pasti ia akan kalah. Menurut Kohlberg,
seorang anak dalam perkembangan moralnya akan tumbuh lebih baik, jika
mendapat tantangan dari anak-anak yang lebih tua yang sudah lebih maju
dalam perkembangannya.
 Sifat keempat adalah bahwa perkembangan dari satu tahap ke tahap berikutnya
terjadi bila dilema ketidakseimbangan kognitif dalam penilaian moral, artinya
orang sudah tidak melihat jalan keluar untuk menyelesaikan masalah atau
dilema moral yang dihadapi. Jika situasi adalah sedemikan rupa seingga tidak
ada pemecahan yang memadai, maka ia akan mencari peyelesaian yang lain.
Sebaliknya, jika tidak dialami ketidakseimbangan, tidak ada alasan juga untuk
berkembang. Contoh tentang kue tadi, jika anak yang lebih besar dan lebih kuat
mau, ia bisa mendapatkan kue itu dengan memaksa pandangan egoistisnya.

13
K. Bertens, 90-93.

10
Hanya jika ia menempatkan diri pada pihak adiknya, ia akan menyadari bahwa
ia harus meninjau kembali pandangan egoistisnya. Perkembangan moral bisa
maju karena ketidakseimbangan tersebut.

II.5. Kelebihan dan Fakta-Fakta yang Mendukung Teori Perkembangan


Moral Kohlberg
Teori perkembangan moral Kohlberg dipengaruhi oleh tradisi formal dalam
filsafat dan tradisi strukturalis dalam psikologi, sehingga dia memusatkan pada
hirarki perkembangan moral, yang mana penalaran moral individu dapat
digolongkan dalam tahap-tahap menurut pemecahan mereka terhadap dilema moral
yang diajukan. Salah satu kelebihan teori perkembangan moral dari Kohlberg
adalah pada tahap-tahap perkembangan itu sendiri yang memudahkan orang dalam
memahami perkembangan moral. Adanya pentahapan juga memudahkan orang
untuk memprediksi perkembangan moral seseorang. Secara praktis, dengan adanya
tahap-tahap perkembangan memudahkan orang dalam memberikan stimulasi yang
tepat untuk meningkatkan penalaran moral seorang anak.14

II.6. Keritik Teori Perkembangan Moral Kohlberg


Secara umum penelitian Kohlberg tentang perkembangan moral ini dinilai
sebagai prestasi besar dibidang ilmu perilaku dan karenanya Kohlberg pantas
terhitung di antara ahli psikologi terbesar dalam abad ke-20. Namun, setiap usaha
ilmiah selalu pasti menuai keritikan. Kritikan yang paling menarik dan paling
berpengaruh datang dari Carol Gilligan, seorang murid Kohlberg dan kemudian
juga menjadi professor di Universitas Harvard dan kemudian sejak 2002 pindah ke
Universitas New York.15

Gilligan menyatakan bahwa kerangka kerja Kohlberg difokuskan pada


perkembangan konsep keadilan. Hal tersebut didasarkan pada cara laki-laki dalam
memandang sesuatu, sehingga terdapat bias terhadap perempuan dalam
instrumentasi dan prosedur skoring. Dalam kenyataannya, penelitian Kohlberg lebih
banyak dilakukan dengan menggunakan subjek laki-laki, dan sebagian besar dilema
moral yang dibuat memuat karakter laki-laki sebagai pelaku utama, yang

14
Siti Rohmah Nurhayati, 100.
15
K. Bertens, 93.

11
memungkinkan subjek laki-laki lebih mudah dalam berhubungan dengan hal
tersebut.16

Gilligan menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki tidak berpikir moralitas


dengan cara yang sama. Dalam penelitiannya, dia menemukan bahwa dalam
membuat keputusan moral, perempuan berbicara lebih banyak dari laki-laki
mengenai hubungan interpersonal, tanggung jawab terhadap orang lain,
menghindari menyakiti orang lain, dan pentingnya hubungan diantara orang-orang.
Gilligan menyebut moralitas perempuan dengan “orientasi perhatian” (care).
Sedangkan kewajiban moral laki-laki lebih terarah pada penghormatan hak orang
lain. Tekanan pada kepedullian dari perempuan lebih bersifat positif dengan
menaruh perhatian kepada orang lain, sedangkan kewajiban laki-laki lebih negatif
sifatnya dalam arti tidak campur tangan dalam urusan orang lain. Dari kritik
Gilligan ini telah berkembang suatu etika feminis yang disebut ethic of care dimana
perhatian untuk kepedulian diberi tempat sentral, bertentangan dengan pemikiran
moral Kohlberg di mana keadilan selalu sentral.17

III. Kesimpulan

Kohlberg memaparkan teori yang memandangan bahwa penalaran moral, yang


merupakan dasar dari perilaku etis mempunyai enam tahapan perkembangan yang
dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring
penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan
moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas
pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada
prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama
kehidupan, walaupun ada kritikan yang mempertanyakan implikasi filosofis dari
penelitiannya. Pada tahap perkembangan moral Kohlberg, terbagi menjadi enam
tahapan perkembangan moral dikelompokkan menjadi tiga tingkatan:

1. Tingkat Pra-konvensional
Tahap 1 : Orientasi ketaatan dan takut hukuman.

16
Siti Rohmah Nurhayati, 101.
17
K. Bertens, 94.

12
Tahap 2: Orientasi naif egoistis/hedonisme instrumental.

2. Tingkat Konvensional.
Tahap 3: Orientasi anak yang baik.

Tahap 4: Moralitas pelestarian otoritas dan aturan sosial.

3. Tingkat Pasca konvensional.


Tahap 5: Moralitas Kontrak sosial dan hak-hak individu.

Tahap 6: Moralitas prinsip-prinsip individu dan conscience.

IV. Daftar Pustaka

Bertens, K., Etika, (Jakarta: Gramedia, 2011).


Nurhayati, Siti Rohmah, Telaah Kritis Terhadap Teori Perkembangan Moral Lawrence
Kohlberg, Dalam: Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tahap_Perkembangan_Moral_Kohlberg diakses pada 7
April 2022 Pukul 19.23 Wib.
https://p2k.unkris.ac.id/id1/1-3065-2962/Tahap-Perkembangan-Moral-
Kohlberg_206756_p2k_unkris.html diakses 7 April 2022 pukul 12.52.

13

Anda mungkin juga menyukai