Nim : 21.07.217
Mata Kuliah : Psikologi Pastoral
Program Studi : Pasca Sarjana (M. Th)
Dosen : Dr. Jaharianson Saragih
I. Pendahuluan
II. Pembahasan
II.1. Latar Belakang Tokoh
Lawrence Kohlberg dilahirkan dalam sebuah keluarga kaya dan belajar di
Akademi Phillips, sebuah sekolah swasta yang terkenal. Pada Perang Dunia II,
setelah menyelesaikan pendidikannya di Akademi Phillips, ia mendaftar sebagai
ahli mesin di sebuah kapal perang. Setelah dinasnya dalam perang selesai, ia
mendaftar ke Universitas Chicago pada tahun 1948. Hasil ujian masuknya sangat
tinggi, dan ia memperoleh gelar sarjana dalam psikologi dalam waktu hanya satu
1
tahun. Kemudian ia melanjutkan ke program pasca sarjana dan tertarik pada
penalaran moral anak-anak dan karya-karya awal Jean Piaget. Ia menulis disertasi
doktoralnya di sana pada 1958, yang memberikan kerangka dari apa yang kini
dikenal sebagai tahap/tingkat perkembangang moral Kohlberg.1
Lawrence Kohlberg seorang serjana yang meluangkan banyak waktu dan
tenaga untuk mempelajari fenomena moralitas dari sudut pandang psikologis. Ia
menjabat sebagai professor di Universitas Chicago serta Universitas Harvard. Ia
terkenal karena karyanya dalam pendidikan, penalaran, dan perkembangan moral.
Di Universitas Harvard ia memimpin Harvard’s Center for Moral Education.2
1
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tahap_Perkembangan_Moral_Kohlberg diakses pada 7 April 2022
Pukul 19.23 Wib.
2
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia, 2011), 83.
3
Siti Rohmah Nurhayati, Telaah Kritis Terhadap Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg,
Dalam: Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006, 94.
2
aturan yang mengendalikan aktivitas mereka. Pada tahap heteronomi, anak
memandang bahwa peraturan merupakan hukum dari luar yang bersifat suci, karena
ditetapkan oleh orang dewasa. Pada usia 8 tahun, anak memasuki tahap otonomi, di
mana peraturan dilihat sebagai suatu keputusan bebas, peraturan harus dihormati
karena dimufakati bersama.4
Untuk melanjutkan jalur penelitian Piaget, Kohlberg memperluas
pandangannya dengan dua cara, yaitu: pertama, dalam penelitiannya ia tidak
membatasi diri pada anak saja. Ia melakukan penelitiannya tentang anak berumur 6
sampai 28 tahun, yang sebagian besar telah diikutinya dari masa anak sampai umur
dewasa. Artinya, sesudah jangka waktu tertentu ia meyelidiki orang yang sama,
supaya dapat menentukan perkembangan moralnya. Kedua, ia memperluas horison
kultural dengan mengikutsertakan dalam penelitiannya subjek-subjek dari negara
dan kebudayaan lain dari Amerika Serikat, tempat ia sendiri hidup.5
Metode Kohlberg adalah ia mengemukakan sejumlah dilema moral khayalan 6
kepada subjek-subjek penelitian. Untuk dilema-dilema itu tidak tersedia pemecahan
dalam lingkungan anak-anak itu, sehingga mereka harus mencari pemecahannya
sendiri. Jadi, tidak mungkin mereka melaporkan apa yang mereka saksikan di
sekitarnya; mereka harus meyampaikan keputusan moral mereka sendiri. Dengan
cara itu Kohlberg ingin mendapat jawaban atas dua pertanyaan: bagaimana anak-
anak memecahkan dilema moral itu dan alasan-alasan apa dikemukakan untuk
membenarkan pemecahan itu. Pertanyaan pertama menyangkut isi keputusan moral,
sedang pertanyaan kedua menyangkut struktur atau bentuknya. Bisa saja dua anak
yang dihadapkan dengan suatu dilema moral, memberi jawaban yang sama tentang
pertanyaan pertama, tapi jawabannya berbeda tentang pertanyaan kedua. Misalnya,
dalam kasus seorang anak mencuri uang milik ibunya. Dua anak sama-sama bisa
menilai bahwa hal itu tidak boleh. Tapi dalam memberi alasan mengapa perbuatan
itu tidak boleh, mereka bisa berbeda. Yang satu bisa menjawab: “hal itu tidak boleh,
karena saya akan dihukum bila ketahuan”. Yang lain bisa menjawab: “hal itu tidak
boleh, karena kita harus menghormati milik orang lain”. Yang menarik bagi
Kohlberg sebagai psikolog bukan terutama penilaian-penilaian moral yang berbeda-
4
Ibid, 94.
5
K. Bertens, 94.
6
Khayalan dalam arti kasus-kasus itu tidak terjadi secara konkret, tapi pada prinsipnya bisa terjadi.
3
beda, melainkan struktur atau bentuk perbedaan-perbedaan itu bersama dengan
perkembangannya.7
7
K. Bertens, 85
8
Siti Rohmah Nurhayati, 94
9
https://p2k.unkris.ac.id/id1/1-3065-2962/Tahap-Perkembangan-Moral-
Kohlberg_206756_p2k_unkris.html diakses 7 April 2022 pukul 12.52.
10
Siti Rohmah Nurhayati, 95.
4
dosis kecil seharga $2000. Heinz, suami wanita yang sakit itu pergi ke setiap
kenalannya untuk meminjam uang, tetapi ia hanya mendapatkan sebesar kira-
kira $1000 atau separuh dari harga obat. Heinz menceritakan kepada apoteker
bahwa isterinya hampir meninggal dan ia meminta agar apoteker tersebut sudi
menjual obatnya lebih murah atau memberi kesempatan kepada Heinz untuk
membayar sisa pembayaran di kemudian hari. Tetapi apoteker itu berkata:
“tidak bisa, saya sudah menemukan obat itu dan saya ingin mendapatkan uang
yang banyak dari penemuan obat itu”. Heinz menjadi sangat sedih dan ia
mulai berpikir untuk memasuki apotek itu dan mencuri obat tersebut lalu
memberikannya kepada sang isteri. Bolehkah Heinz melakukan hal tersebut?
Mengapa?
Dari sudut pandang teoritis, apa yang menurut partisipan perlu
dilakukan oleh Heinz tidaklah penting. Teori Kohlberg berpendapat bahwa
justifikasi yang diberikan oleh partisipanlah yang signifikan, bentuk dari
respon mereka.
11
K. Bertens, 86.
5
Adapun tingkat pekembangan moral menurut Kohlberg adalah sebagai
berikut:12
Dalam tahap pertama tingkat ini, anak berorientasi pada kepatuhan dan
hukuman, dan moralitas suatu tindakan dinilai atas dasar akibat fisiknya. Anak
menganggap perbuatannya baik apabila ia memperoleh ganjaran atau tidak
mendapat hukuman. Oleh karenanya tingkah laku anak diarahkan untuk
mendapatkan ganjaran tersebut dan menghindarkan larangan-larangan yang
akan memberinya hukuman. Kepatuhan anak ditujukan kepada otoritas, bukan
kepada peraturan dan kepatuhan dinilai untuk kepentingan dirinya sendiri.
Pikirannya bersifat egosentris, yaitu anak tidak dapat memahami atau
mempertimbangkan pandangan-pandangan orang lain yang berbeda dengan
pandangannya.
6
hukuman dalam hal sudah timbulnya pandangan timbal balik antara dirinya
dengan orang lain, karena tahap orientasi patuh dan takut hukuman hanya
mampu melihat dari perspektif dan kepentingan dirinya sendiri saja.
Perbedaan lainnya adalah bahwa seseorang pada tahap ini di dalam
menentukan apakah sesuatu itu baik atau tidak baik, tidak sepenuhnya
tergantung pada pihak otoritas (kekuatan eksternal), tetapi peran dirinya
sendiri mulai ada.
Dalam tahap ini, moralitas anak yang baik, anak yang menyesuaikan
diri dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain dan untuk
mempertahankan hubungan baik dengan mereka. Agar disebut sebagai anak
baik, individu berusaha agar ia dapat dipercaya oleh kelompok, bertingkah
laku sesuai dengan tuntutan kelompok dan berusaha memenuhi harapan-
harapan kelompok. Jadi pada tahap ini individu telah menyadari nilai dalam
suatu kelompok. Ciri-ciri altruistik cukup menonjol, yaitu ia lebih
mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri. Kemampuan empati
membuat individu pada tahap ini mulai meninggalkan prinsip timbal balik,
sifat egois telah ditransformasikan kepada pencarian persetujuan. Oleh karena
itu di dalam memutuskan sesuatu secara moral baik, persetujuan diri sendiri
7
belum cukup, individu masih mencari persetujuan eksternal. Perlu dipahami
bahwa egosentrisme individu belum ditinggalkan sama sekali.
8
keluwesan dalam keyakinan-keyakinan moral yang memungkinkan modifikasi
dan perubahan standar moral apabila ini terbukti akan menguntungkan
kelompok sebagai suatu keseluruhan. Pada tahap ini individu menyadari
bahwa hukum dan kewajiban harus berdasarkan perhitungan rasional dari
kegunaannya secara keseluruhan. Di dalam bertindak individu melakukan
yang paling baik untuk mendapatkan yang paling baik. Individu menyadari
bahwa terdapat perbedaan nilai dan pendapat diantara individu-individu.
Dalam hal ini individu tidak memihak, akan tetapi lebih berorientasi pada
kontrak sosial. Beberapa nilai dan hak seperti hak hidup dan kebebasan harus
tetap dijunjung tinggi walaupun tidak mendapatkan dukungan mayoritas.
Dalam tahap keenam ini kebenaran didasari oleh kata hati sendiri yang
mengandung konsistensi, pemahaman yang logis dan prinsip universal seperti
keadilan, persamaan hak-hak asasi manusia dan penghormatan terhadap
martabat manusia. Dengan mengikuti prinsip etis yang dipilih sendiri oleh
individu ini, apabila hukum melanggar prinsip-prinsip, maka individu akan
bertindak dengan berpegang pada prinsip-prinsip tersebut. Prinsip ini
merupakan keadilan hak asasi manusia sebagai individu. Individu memiliki
persektif bahwa setiap manusia yang rasional menyadari sifat moralitas atau
fakta bahwa orang adalah pribadi tersendiri dan harus diperlakukan demikian.
Pada tahap ini orang menyesuaikan dengan standar sosial dan cita-cita internal
terutama untuk menghindari rasa tidak puas dengan diri sendiri dan bukan
untuk mengindari kecaman sosial. Tahap ini merupakan moralitas yang lebih
banyak berlandaskan penghargaan terhadap orang lain daripada keinginan
pribadi.
9
Menurut Kohlberg, ada beberapa sifat yang menandai seluruh perkembangan
moral, yaitu:13
Sifat pertama adalah bahwa perkembangan tahap-tahap selalu berlangsung
dengan cara yang sama, dalam arti si anak mulai dengan tahap pertama, lalu
pindah ke tahap kedua dan seterusnya. Semua tahap harus dijalanai menurut
urutan itu dan tidak meungkin loncat-loncat. Namun tidak perlu seorang anak
untuk seluruh perilaku moralnya berada dalam suatu tahap tertentu, bisa saja
secara dominan ia berada dalam suatu tahap, tapi untuk sebagian masih pada
tahap sebelumnya atau sudah pada tahap berikutnya.
Sifat kedua adalah bahwa orang hanya dapat mengerti penalaran moral satu
tahap di atas tahap di mana ia berada. Jadi, seorang anak yang berada dalam
tahap kedua, sama sekali tidak mengerti penalaran moral dari mereka yang
berada dalam tahap keempat ke atas.
Sifat ketiga adalah bahwa orang secara kognitif merasa tertarik pada cara
berpikir satu tahap di atas tahapnya sendiri. Karena cara berpikir tahap
berikutnya dapat memecahkan masalah dengan memuaskan dilema moral yang
dialami. Contohnya: jika anak ingin mendapatkan seluruh kue, sedangkan
kakaknya (lebih besar dan lebih kuat) juga ingin mendapat seluruh kue, maka ia
merasa tertarik pada ide untuk membagikannya, yang merupakan cara berpikir
dari tahap lebih tinggi. Ide ini merupakan pemecahan yang baik, karena dalam
usaha merebut kue dengan kekerasan pasti ia akan kalah. Menurut Kohlberg,
seorang anak dalam perkembangan moralnya akan tumbuh lebih baik, jika
mendapat tantangan dari anak-anak yang lebih tua yang sudah lebih maju
dalam perkembangannya.
Sifat keempat adalah bahwa perkembangan dari satu tahap ke tahap berikutnya
terjadi bila dilema ketidakseimbangan kognitif dalam penilaian moral, artinya
orang sudah tidak melihat jalan keluar untuk menyelesaikan masalah atau
dilema moral yang dihadapi. Jika situasi adalah sedemikan rupa seingga tidak
ada pemecahan yang memadai, maka ia akan mencari peyelesaian yang lain.
Sebaliknya, jika tidak dialami ketidakseimbangan, tidak ada alasan juga untuk
berkembang. Contoh tentang kue tadi, jika anak yang lebih besar dan lebih kuat
mau, ia bisa mendapatkan kue itu dengan memaksa pandangan egoistisnya.
13
K. Bertens, 90-93.
10
Hanya jika ia menempatkan diri pada pihak adiknya, ia akan menyadari bahwa
ia harus meninjau kembali pandangan egoistisnya. Perkembangan moral bisa
maju karena ketidakseimbangan tersebut.
14
Siti Rohmah Nurhayati, 100.
15
K. Bertens, 93.
11
memungkinkan subjek laki-laki lebih mudah dalam berhubungan dengan hal
tersebut.16
III. Kesimpulan
1. Tingkat Pra-konvensional
Tahap 1 : Orientasi ketaatan dan takut hukuman.
16
Siti Rohmah Nurhayati, 101.
17
K. Bertens, 94.
12
Tahap 2: Orientasi naif egoistis/hedonisme instrumental.
2. Tingkat Konvensional.
Tahap 3: Orientasi anak yang baik.
13