Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Perkawinan merupakan bertemunya dua manusia yang berbeda dalam hal karakter,

kepribadian, prinsip dan tujuan hidup, serta keinginan dan harapannya.Riwayat penciptaan secara

jelas berbicara tentang satu suami satu istri, "satu daging" antara satu laki-laki dan satu

perempuan (Kej. 2:24). Dalam pernikahan yang pertama di taman Eden, Allah berperanan dalam

menciptakan pernikahan sebagai penyediakan pasangan hidup, mempersatukan dan memberkati

mereka (Kej. 2:16-23; Kej. 1:28). Kemudian Allah menyatakan dasar pernikahan itu dengan

mengatakan “oleh karena itu seorang laki-laki meninggalkan orang tuanya dan bersatu dengan

isterinya, dan mereka menjadi satu daging (Kej. 2:24).

Dalam Kitab Kejadian 2:24 disebut tujuan perkawinan ialah relasional dan procreational.

Pertama Allah tidak merasa baik bila manusia itu sendirian. Ini berarti perkawinan sebagai

lembaga yang diciptakan Allah adalah relasional, memberi teman penolong (hubungan satu

dengan yang lain). Kedua, perkawinan itu untuk bertambah-tambah (berkembang biak) atau

procreational. Pernikahan adalah pemberian Tuhan untuk seumur hidup untuk saling mengenal.

Tujuan relasional dan procreasional diberikan Tuhan dalam hidup perkawinan sebagai lembaga

yang ditetapkan Tuhan.1 Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah

persekutuan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bersifat persekutuan rohani yang diikat

1
E.P. gintings, Gembala dan Penggembalaan, Kabanjahe:Abdi Karya, 2002, hlm. 72-73; dan E.P. Gintings,
Keluarga Kristen, Kabanjahe: Masa Baru, 1989, hlm. 19-30.

1
oleh “janji kasih” sebagai sarana atau wadah yang dikehendaki oleh Allah untuk menikmati

kebahagiaan hubungan seksual. untuk saling mengenal seumur hidup.

Pengertian dan dasar pernikahan dalam Perjanjian Baru kemudian ditegaskan oleh Tuhan

Yesus dengan mengatakan: “Oleh karena itu, apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh

diceraikan oleh manusia (Mrk. 10:9).2 Dari tindakan Allah ‘mempersatukan’ mereka dan dari

dasar pernikahan yang ditetapkan oleh Allah, menyatakan bahwa pernikahan mereka adalah

pernikahan yang syah di hadapan Allah.

Dasar pernikahan Kristen sampai hari ini adalah Allah yang menetapkan dan

mempersatukan suami-isteri dalam suatu ikatan persekutuan hidup, dan apa yang sudah

dipersatukan oleh Allah tidak dapat dipisahkan oleh apa dan siapapun, sampai kematian

memisahkan, (Bnd. Mat. 19:1-12; Mrk. 10:2-9). Pernikahan Kristen adalah merupakan suatu

persekutuan rohani (religious marriage), karena hubungan seks dalam pernikahan yang

dinyatakan dalam dasar pernikahan “satu daging” (one flesh) mencakup seluruh keberadaan

suami-isteri (tubuh, jiwa dan roh). Juga mempunyai “religious oriented” (tujuan rohani) yaitu

untuk memuliakan Allah dan hubungan suami-isteri sebagai cerminan hubungan Allah dengan

umat-Nya dan hubungan Kristus dengan gereja-Nya (bnd. Ef. 5:22-23). Allah menciptakan laki-

laki dan perempuan menurut gambar Allah, mengatakan bahwa seksualitas adalah ciptaan dan

ada dalam rencana Allah, bukan akibat dosa manusia, oleh sebab itu seks adalah sesuatu yang

baik, kudus, mulia dan sesuatu yang berarti di dalam hidup manusia.3

Setiap pasangan menginginkan keutuhan dalam membangun rumah tangga. Bagi umat

Kristen, perceraian atau pembubaran perkawinan tidak diijinkan mengingat ajaran Yesus yang

tertulis dalam Matius 19:1-10 bnd. Markus 10:1-9. Sebab apa yang telah dipersatukan Allah tidak

2
Jhon Charles Wynn, Op.cit, hlm. 76.
3
Jhon Charles Wynn, Op.cit, hlm. 62-63.

2
boleh diceraikan manusia4. Namun realitas menunjukkan angka perceraian kian meningkat.

Angka perceraian semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Pandangan Alkitab mengenai perceraian diuraiakan sbb:5

1. Maleakhi 2:16a: “Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel.” Menurut

Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. “Demikianlah

mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak

boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6).

2. Dalam Perjanjian Lama Tuhan menetapkan beberapa hukum untuk melindungi hak-hak dari

orang yang bercerai, khususnya wanita (Ulangan 24:1-4). Yesus menunjukkan bahwa hukum-

hukum ini diberikan karena ketegaran hati manusia, bukan karena rencana Tuhan (Matius

19:8).

3. Kontroversi mengenai perceraian dalam Alkitab berkisar pada kata-kata Yesus dalam Matius

5:32 dan 19:9. Frasa “kecuali karena zinah” adalah satu-satunya alasan dalam Alkitab di

mana Tuhan memberikan izin untuk perceraian dan pernikahan kembali.

4. Sebagian orang memahami 1 Korintus 7:15 sebagai “pengecualian” lainnya, di mana

pernikahan kembali diizinkan jikalau pasangan yang belum percaya menceraikan pasangan

yang percaya..

Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-sama

merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga. Undang-undang Nomor 1 Tahun

19746 Tentang Perkawinan tidak memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal

4
Jikapun ada alasan satu-satunya bagi suami untuk menceraikan isterinya karena zinah, sesuai dengan
konteks Injil Matius yaitu dekat dengan ke-Jahudian dimana seseorang harus menjaga kesucian/kekudusan rumah
tangganya, justru hal tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk kawin lagi. Sebab siapa yang berbuat demikian dia
juga digolongkan berzinah. Jika pada zaman dahulu banyak orang meminta surat cerai kepada Musa, itu dicap Yesus
sebagai kesengsaraan hati (Mat. 19:7-9).
5
http://www.gki.com
6
http://www.pemantauperadilan.com

3
39 ayat (2) Undang Undang Perkawinan (UUP) serta penjelasannya secara kelas menyatakan

bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan.

Definisi perceraian di Pengadilan Agama itu, dilihat dari putusnya perkawinan. Putusnya

perkawinan dalam UUP dijelaskan, yaitu: karena kematian, karena perceraian, karena putusnya

pengadilan.

Perceraian ialah berakhirnya suatu pernikahan. Istilah perceraian berasal dari kata “cerai”

yang artinya pisah, tidak bersatu lagi, ibarat nyawa yang sudah pisah dengan tubuhnya. 7 Dalam

ikatan perkawinan, bercerai berarti berhenti berlaki-bini, sedangkan istilah menceraikan berarti

menjadikan supaya tidak berhubungan lagi. Tegasnya perceraian adalah peristiwa putusnya

hubungan perkawinan suami-isteri yang diatur menurut tata cara yang dilembagakan untuk

mengatur hal itu. Dengan adanya perceraian, maka terbuka pula peluang bagi suami-isteri untuk

kawin lagi.8

Alkitab tidak pernah merestui adanya perceraian, sebab perceraian merupakan suatu

penghacuran terhadap janji setia pernikahan. Namun kenyataannya di dunia masih ada pasangan

yang melanggar janji setia itu. Beberapa alasan umum yang sering menyebabkan suatu perceraian

antara lain:9 Ekonomi, Berselingkuh, Tidak Cocok, Bertengkar terus, Penyiksaan, Masalah

penyiksaan atau KDRT, Sakit / cacat tubuh, Perbedaan agama. Selain itu factor-faktor

determinan10 penyebab terjadinya perceraian dalam keluarga adalah kurangnya kesiapan mental,

permasalahan ekonomi, kurangnya komunikasi antar pasangan, campur tangan keluarga pasangan

dan adanya perselingkuhan.

7
W. J. S. Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; PN Balai Pustaka, 1984, hlm. 2000.
8
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta; PT. Delta Pamungkas, 1977, hlm. 79.
9
http://www.gii-usa.org,
10
http://digilib.itb.ac.id

4
Di Indonesia terdapat undang-undang perkawinan yang mencakup peraturan-peraturan

tentang perceraian. Pada dasarnya perceraian perkawinan dikenal dalam hukum adat atau hukum

agama. Ini dinyatakan dalam hukum perkawinan Indonesia.11 Dalam buku pokok-pokok hukum,

perkawinan hapus12 jikalau satu pihak meninggal. Selanjutnya ia hapus juga, jikalau satu pihak

kawin lagi setelah mendapat ijin hakim, bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat

tinggalnya hingga sepuluh tahun lamanya dengan tiada ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan

dapat dihapuskan dengan perceraian. Tegasnya perceraian berarti penghapusan perkawinan

dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.

Sebenarnya undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan saja

antara suami dan isteri, tetapi harus ada alasan yang sah. Adapun alasan-alasan (dasar) untuk

perceraian menurut hukum perkawinan Indonesia ialah:13 1) Zinah, 2) Meningalkan tempat

tinggal bersama dengan etikad buruk, 3) Dikenakan hukuman penjara lima tahun (lebih) karena

dipersalahkan melakukan kejahatan, 4) Penyakit berat atau membahayakan jiwa.

Sementara dalam undang-undang perkawinan menambahkan 2 alasan lagi yaitu:14

1. Salah satu pihak mendapat cacat badan dengan tidak dapat menjalankan kewajibannya

sebagai suami-isteri.

2. Antara suami-isteri terus menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidak ada harapan

akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Masalah-masalah yang dapat mengganggu kehidupan pribadi seorang istri yang

ditinggalkan suaminya atau mengalami krisis perceraian adalah kekecewaan, sakit hati, benci dan

dendam tapi yang paling mendominasi adalah Kemarahan yang begitu besar. Kemarahan adalah

11
H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung; Mandar Masa, 1990, hlm. 160-162.
12
Praf Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta; PT. Intermasa, 1980, hlm. 42.
13
H. Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm. 162.
14
Undang-undang Perkawinan Pasal PP9 dalam Praf Subekti, Op.cit, hlm. 42.

5
keadaan emosi yang bisa dialami setiap orang pada saat-saat tertentu yang bisa dilakukan secara

tersembunyi, terpendam maupun terang-terangan, bisa dalam waktu singkat maupun lama dalam

bentuk kebencian, dendam, dsb. Kemarahan itu bisa merusak (destructive) bila dalam ekspresi

emosi yang tak terkendali, tapi bisa juga membangun (contructive) bila mendorong kita untuk

memeriksa dan memperbaiki kesalahan atau mengingatkan kita untuk berpikir secara lebih baik.

Kemarahan terjadi bila dalam proses perjalanan kehidupan itu terjadi ganjalan dalam

mencapai sesuatu yang diinginkan. Hambatan (bloking) tersebut mempengaruhi reaksi fisik

maupun emosi yang bersangkutan. Reaksi inilah yang bisa dalam bentuk disembunyikan tapi

bisa juga secara terbuka. Malah kemarahan adalah faktor yang sangat menentukan timbulnya

berbagai penyakit, kesusahan, inefficiency kerja, pertengkaran, frigidity, child’s defiance, serta

macam-macam gangguan lainnya.

Istri yang mengalami krisis perceraian merasakan kurangnya dukungan sosial dan lebih

merasa terbatas dan terisolasi ketimbang seorang janda. Ia juga dapat menderita gangguan

kesehatan fisik dan mental yang lebih berat dari pada janda. Perceraian biasanya merupakan

penghinaan bagi ego, suatu pengalaman mengurangi harga diri. Rasa gagal dan rasa bersalah

yang bersangkutan sering sangat hebat sehingga dapat berdampak kepada kehilangan makna

hidup dimana merasa hidup tak berguna. Istri yang mengalami krisis perceraian merasa terluka

karena ditolak oleh bekas pasangannya, disertai perasaan-perasaan seperti: kemarahan yang tidak

diselesaikan, kebencian, dendam dan sulit mengampuni, kesendirian, keraguan akan diri

sendiri, dan stress/depresi bercampur aduk semuanya dan menghasilkan luka kedukaan yang

semakin besar yang sering berasal dari perceraian tersebut.

Selain itu masalah-masalah yang dihadapi seorang istri yang ditinggalkan suaminya atau

mengalami krisis perceraian adalah sebagai berikut:15

15
http://www.seniornews.co.id/

6
1. Masalah Emosional keberadaan pasangan hidup sungguh dapat membebaskan seseorang dari

rasa kesepian. Sementara rasa kesepian berkaitan erat dengan konsep diri negatif dan

menghasilkan emosi-emosi negatif. Keadaan ini dapat menyulitkan hubungan dengan orang

lain. Selain itu, adanya pasangan juga memberikan perasaan berharga di mata masyarakat.

Akibatnya, ketika harus hidup sendiri karena perceraian, biasanya individu mengalami rasa

rendah diri ketika berada dalam situasi seremonial, ketika orang-orang lain hadir

berpasangan.

2. Overload dalam Peran. Orangtua tunggal berperan sebagai ayah sekaligus sebagai ibu bagi

anak-anaknya. Peran ganda yang paling berat adalah membesarkan anak-anaknya sendirian

supaya dapat tumbuh menjadi pribadi yang sehat, baik fisik maupun mental. Wanita yang

menjadi orangtua tunggal harus membiasakan diri mengerjakan semua pekerjaan yang biasa

dilakukan pria. Kalau sebelumnya tidak ikut mencari nafkah, sekarang ia harus bekerja. Ini

bukan persoalan yang mudah. Seandainya pria atau wanita single parent mampu membayar

pembantu atau baby sitter, tetap ada beberapa pekerjaan yang tidak dapat diserahkan kepada

orang lain, seperti mengurus pajak, merawat anak ketika sakit, dsb.

3. Beban Ekonomi. Beban ekonomi menjadi lebih berat bila seseorang biasa mencukupi

kebutuhan ekonomi. bersama pasangan, kemudian harus menanggung sendiri semua biaya

rumah tangga, termasuk biaya pendidikan anak. Kadang keadaan lebih sulit karena anak yang

masih balita sangat tergantung, terutama bila tidak ada orang lain yang dapat diserahi untuk

mengasuh. Dalam keadaan demikian orangtua tunggal mengalami hambatan untuk dapat

bekerja. Pada salah satu kasus, seorang ibu mengalami stres karena anak remajanya

mengalami depresi dan gangguan perilaku setelah orangtuanya bercerai.

4. Stigma Masyarakat. Hingga saat ini masih ada kecenderungan masyarakat memberikan

penilaian miring pada orang yang tidak memiliki pasangan saat pergi berdua atau menjalin

7
hubungan dengan lawan jenis. Pada wanita, penilaian itu seringkali lebih tajam. Bagi

kebanyakan orang, penilaian itu menjadi hambatan untuk berhubungan dengan siapa saja.

Dalam salah satu kasus, seorang ibu yang telah hampir enam tahun menjanda memilih tidak

memiliki rekanan bisnis yang berlawanan jenis demi menjaga citranya di mata masyarakat.

H. Norman Wright16 membahas anatomi suatu krisis untuk memberikan pertolongan dan

pedoman bagi setiap anggota jemaat karena krisis selalu dihadapi dalam kehidupan setiap orang.

Lebih lanjut dalam "Konseling Krisis" membagi perceraian kedalam 6 tahap yang saling

tumpang tindih bahkan tidak berurutan dan dengan tingkat intensitas yang tidak sama:

1. Perceraian Emosional. Perceraian ini mulai terjadi saat salah satu atau kedua pihak pasangan

menyembunyikan emosi dalam hubungan mereka. Daya tarik dan rasa percaya terhadap

pasangan menjadi luntur.

2. Perceraian Secara Hukum. Perceraian ini terjadi ketika salah satu atau keduanya mengajukan

gugatan perceraian sesuai undang-undang yang berlaku.

3. Perceraian Ekonomi. Perceraian ini terjadi dimana kedua pihak mulai melakukan pambagian

hak dan mungkin sang istri yang tadinya tidak bekerja, sekarang harus bekerja demi

kebutuhan.

4. Perceraian Koparental (pasangan yang sudah resmi bercerai, tetapi tetap menjadi orang tua

bersama).

5. Perceraian masyarakat. Perceraian ini terjadi ketika orang yang bercerai tersebut berada

dalam suatu komunitas tertentu: klub sosial, pelayanan gerejani, dsb.

6. Perceraian psikis. Pada tahap ini orang yang telah bercerai menjadi otonom ia mempunyai

kekuasaan untuk menentukan arah dan tindakannya. Apakah itu karena perkembangan hidup

16 ?
H.Norman Wright, Konseling Krisis:membantu orang dalam Krisis dan sters, Malang:Gandum Mas, 1993,
hal 1-9, 176-179

8
seseorang atau juga karena peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan terjadi. Jalan hidup

merupakan serentetan krisis perkembangan yaitu hal-hal yang dapat diramalkan atau

developmental Crisis yang tidak diharapkan sebagian krisis merupakan proses yang

berkembang dan yang lainnya terjadi karena situasi.

Perceraian membawa dampak yang besar pada siapapun, baik kepada pasangan yang

bercerai maupun pada anak-anak dan keluarga mereka 17. Stres akibat perceraian yang terjadi

menempatkan perempuan dalam resiko fisik maupun psikis. Stres karena perceraian dapat

menurunkan kemampuan sistem pertahanan tubuh, menyebabkan individu yang bercerai rentan

terhadap penyakit dan infeksi.

Dalam zaman modern ini semakin banyak orang yang merasakan ketidaktentraman

jiwanya, terutama dikota-kota dan di sentra-sentra ekonomi, karena dalam lingkungannya setiap

hari sering diganggu dengan ketiadaan norma-norma tempat dia bisa berdiri dan sering jiwanya

juga tidak kuat lagi. Untuk memperbaiki sebab dan akibat psikologis dari krisis yang hebat ada

tiga kemungkinan pertolongan yaitu:

1. Pelayanan penggembalaan umum adalah suatu pelayanan yang mencakup kehadiran,

mendengar, kehangatan, dan dukungan praktis.

2. Konseling krisis jangka pendek, informal dan formal, diperlukan oleh orang-orang yang

dapat menggerakkan sumber penanggulangan mereka lebih cepat dan mengatasi krisis

mereka lebih konstruktif dengan menerima suatu bantuan dalam hal menguji realitas dan

dalam hal perencanaan pendekatan yang efektif kepada situasi baru yang diciptakan oleh

krisis itu.

17
Dampak lain dari Krisis perceraian adalah kepada keluarga dan anak selanjutnya merupakan saran bagi
peneliti berikutnya. Penulis hanya membatasi penulisan dan penelitian kepada dampak krisis perceraian terhadap istri

9
3. Konseling dan terapi jangka panjang, dibutuhkan oleh yang terluka berat secara kejiwaan

dan dilumpuhkan oleh kehilangan yang amat besar atau krisis yang terjadi berkali-kali

sehinga mereka tidak mampu lagi menggerakkan sumber penanggulangan mereka tanpa

bantuan penggembalaan. Upaya Konseling dapat dilakukan untuk membantu istri

mengalami krisis perceraian.

Dasar alkitabiah dari pastoral konseling diumulai pada saat Allah menciptakan alam

semesta dan pada hari keenam Allah menciptakan manusia pertama seturut dengan gambar dan

rupa Allah (Imago Dei kej.1:26). Allah memberkati dengan amanat prokreasi agar mereka

memenuhi bumi dengan jaminan penyertaan/pemeliharaan Allah (providentia) kemudian setelah

kejatuhan kedalam dosa Allah sendiri yang berinisiatif untuk memanggil dan mencari mereka

(Kej.3:8-9).

Dalam Perjanjian Lama ada beberapa istilah Ibrani yang dipakai untuk menjelaskan

konseling18 ‫( יע׳ץ‬yaes) artinya counsel, advise, ‫( ץועץ‬yoes) counselor ‫( מוץא‬moesa) = advice

artinya nasehat, ‫( יעט‬yaet) dalam arti Penggembalaan19 menunjuk kepada gembala adalah ‫הער‬

(ro’eh) (Kej. 4: 2; 37: 2; 47: 3; 46: 32,34; Kel. 3: 1), yang dibentuk dari kata ‫ ( הער‬ra’a). Istilah

tersebut sehunungan dengan kedatangan Yesus sebagai penasehat ajaib.

Dalam dunia Perjanjian Baru sejak zaman para rasul telah dikenal istilah konseling

sebagai kegiatan alami dalam kegiatan spiritual bersama. Istilah Penggembalaan ποιμήν20 dalam
18
William, A.Van Gemeren, New International Dictionary Of Old Testament Theology & Exegetis (vol.2)
p.490
19
C.Barth, Theologia Perjanjian Lama 4, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hlm. 192Penggembalaan
dalam PL menunjuk kepada gembala adalah ‫( הער‬ro’eh) (Kej. 4: 2; 37: 2; 47: 3; 46: 32,34; Kel. 3: 1), yang
dibentuk dari kata ‫ ( הער‬ra’a) dalam bentuk kata kerja (verb) memiliki beberapa pengertian dalam bahasa Inggris
sebagai berikut: to tend (memelihara, merawat ,Kej. 29: 7, 31,36), to guard (menjaga, melindungi, Kej.37: 2, 13,16;
I Sam.16:11), to feed (memberi makan, Yes.30: 23), to pasture (menggembalakan, Kej. 41: 2;Kel.39: 3), Govern
(memerintah, Yer. 22: 22; Ma. 49: 15), to nourish (memberi makan,memelihara, Hos.9: 2;.10: 21), to refresh
(menyegarkan, Hosea.9: 2; Pkh.10: 2), to be a shepherd (menjadi gembala)
20
Barclay M.Newman, Kamus Yunani Indonesia: Untuk Perjanjian Baru, Jakarta BPK-GM, 2002, hal.136

10
bahasa Yunani berpadanan dengan penghiburan, anjuran, penasehat, penolong, dan pengantara

banyak dipakai untuk menggambarkan pelayanan konseling. Kata gembala dan penggembalaan 21

disini adalah menggambarkan Yesus sebagai gembala yang baik, yang menyerahkan nyawanya

bagi domba-dombaNya dan domba-dombaNya mengenal Dia

Melalui pastoral konseling diharapkan setiap situasi baru yang dihadapi seseorang dapat

memberikan kesempatan untuk membangun cara baru dalam membangun kemampuannya

mengatasi krisis yang dihadapinya. Seseorang itu harus mempergunakan “inner resources”

(kemampuan yang ada didalam dirinya, yaitu nilai-nilai yang telah tersosialisasi dalam dirinya).

Kadang-kadang seseorang itu harus berusaha berulangkali karena caranya yang pertama tidak

berhasil tapi jika ia tekun ia akan mendapatkan cara-cara untuk mengatasi masalahnya.

Berdasarkan sosialisasi yang sudah terjadi dan pengalaman yang sudah terjadi ada maka

seseorang itu akan lebih mudah menghadapi atau menyeselaikan masalah yang ia hadapi.

Tjaard & Anne Hommes22 dalam tullisannya menggutip buku Gerald Caplan, Principles

of Preventif Psychiatry secara lebih rinci menjelaskan bahwa setiap orang terus-menerus

dihadapkan pada situasi yang menuntut kegiatan penanggulangan masalah, suatu krisis terjadi

pada diri seseorang ketika kegiatan penanggulangan masalah tidak efektif. Inner resources atau

sumber penanggulangan masalah yang ada pada dirinya tidak efektif, artinya stress yang berasal

dari kebutuhannya tidak terpenuhi dibiarkan terus meningkat tanpa pernah mereda. Tekanan itu

berasal dari terhalangnya pemuasan dri beberapa kebutuhan pisik dan kejiwaan

21
Verlag W.Kohlhammer, Theological Dictionary Of New Testament, Stuttgart Germany: WB Eermans
Publishing Co, p.492
22
Gerarld Caplan alam Tjaard & Anne Hommes, Konseling Krisis, Seri Pastoral 317-Pusat Pastoral
Yogyakarta 2000 No 10; hal 9-10.

11
Masalah krisis perceraian bukanlah hanya terjadi di kalangan artis di ibukota atau orang-

orang di daerah urban melainkan telah menyebar sampai ke desa-desa di pelosok negeri ini.

Sebagaimana dalam batasan penulisan nanti bahwa lokasi penelitian beradi di Kabupaten Tobasa,

Kecamatan Porsea, tepatnya di Jemaat GKPI Resort Porsea yang terletak di Desa Patane III.

Tercatat warga jemaat yang berstatus Padao-dao/panirang-nirangon23, dalam hal ini rata-rata

para istri yang dimaksud rata-rata sudah lebih 10 tahun berpisah. Para istri yang mengalami krisis

Perceraian ini hidup dengan mengandalkan hasil pertanian untuk menghidupi keluarganya.

Sebagian diantara mereka sudah memasuki usia 60 tahun keatas. Anehnya sebagaian besar dari

mereka tahu keberadaan suaminya bahkan ada yang masih di sekitar kecamatan Porsea, ada yang

sudah menikah ulang ada yang masih bertahan. Beberapa dari para istri yang mengalami krisis

perceraian tersebut mengalami masalah ekonomi sebab harus menanggung biaya sekolah dan

perkuliahan anak-anaknya.

Secara umum Pelayanan Penggembalaan di GKPI yang tertuang dalam Garis

Kebijaksanaan Umum GKPI24 khususnya fasal 2.3.3 tentang Penggembalaan orang bermasalah

khusus secara implisit termasuk istri yang mengalami krisis perceraian. Dalam pelayanannya

GKPI Jemaat Porsea Kota Resort Porsea telah memfasilitasi pelayanan untuk kaum ibu tapi

belum dikhususkan kepada para istri yang mengalami krisis perceraian. Tetapi dalam pelayanan

umum kaum perempuan di GKPI tema-tema khusus rumah tangga sering dikhotbahkan dan

didiskusikan. Hanya saja kekterbatasan waktu bahwa penulis masih tujuh bulan melayani di

GKPI Resort Porsea. Namun selama beberapa bulan terakhir ini perkunjungan pastoral dan

23
Istilah ini berarti keadaan yang saling berjauhan, pisah ranjang tapi tidak ada norma hokum formal
menguatkannya. Dalam kondisi seperti ini masyarakat biasanya bersikap tidak mau tahu seolah-olah tidak ada
masalah dalam pernikahannya.
24
Garis Kebijaksanaan Umum GKPI Masa Bhakti 2005-2010, Pematangsiantar, Kolportase GKPI, 2005,
hal.31-39

12
percakapan sering dilakukan kepada mereka . Ternyata penulis mendapati bahwa para istri yang

mengalami krisis perceraian ini mempunyai keluhan, pergumulan dan permasalahan yang

membutuhkan perhatian yang sangat serius dan penanganan khusus.

Pergumulan mereka berkisar kepada Kemarahan, Stress, Kehilangan Makna Hidup,

Krisis Pengampunan dan kepahitan hati karena getirnya kehidupan dalam terpaan angin krisis

ekonomi dan harga diri di masyarakat. Masalah tersebut cenderung sangat kompleks dan rumit

sekali. Dari Pengamatan di lapangan ada beberapa diantara mereka yang jarang atau tidak

beribadah lagi. Jika ditanyakan alasannya mereka menjawab dengan ketus dan tak bersahabat

seolah-olah siap menerima resiko apa saja. Hal ini disebabkan mereka kehilangan pengampunan,

makna hidup dan pengharapan mereka pudar. Ketika penulis mendekati mereka dengan simpati

dan empati yang tinggi menghasilkan beberapa orang terbuka dan waktu dihantar dengan lagu,

saat teduh dan doa tuntunan tak jarang mereka katarsis dan mulai self disclosure, hingga

mendapati insight yang baru sebagai factor curative dalam Pastoral Konseling.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis berkeinginan untuk menulis tentang pastoral

Konseling terhadap istri yang mengalami krisis perceraian dan sejauh mana dampak pastoral

konseling kepada para istri yang mengalami krisis perceraian untuk meningkatkan pengampunan

makna hidup serta menurunkan tingkat kemarahan dan stress mereka. Melalui kajian ini penulis

berharap mengetahui keadaan klien, kebutuhan, pikiran dan perasaannya serta dapat

menolongnya agar dalam kondisi yang demikian itu mereka memperoleh pengharapan dan

kekuatan menjalani kehidupannya.

2. Identifikasi Masalah

13
1. Dalam pernikahan yang pertama di taman Eden, Allah mempunyai peranan dalam

menciptakan pernikahan yaitu Allah menyediakan pasangan hidup, mempersatukan dan

memberkati mereka (Kej. 2:16-23; Kej. 1:28). Kejatuhan manusia ke dalam dosa berdampak

pada seluruh aspek dan eksistensi kehidupan, dimana manusia dalam hal ini para istri

akhirnya berhadapan dengan masalah pernikahan yang mengalami krisis perceraian.

2. Krisis perceraian sebagai kegagalan membina pernikahan menimbulkan kemarahan, luka

bathin, stress, kesulitan ekonomi, makna hidup dan hidup rohani terutama bagi para istri yang

mengalami krisis perceraian.

3. Peranan budaya sebagai lembaga adat tidak memberikan peran yang signifikan sebaliknya

malah justru membiarkan dan memisahkan.

4. Istri yang mengalami krisis perceraian membutuhkan konseling pastoral, agar dapat menjalani

kehidupan secara normal artinya terhindar dari berbagai perasaan yang menganjal. Karena itu

dibutuhkan pendampingan Pastoral dari gereja atau para rohaniwan (Pendeta)

5. Istri mengalami krisis perceraian perlu mendapatkan perhatian dan kepedulian yang serius

dari pihak gereja atau rohaniwan dan lembaga adat di Porsea

6. Istri yang mengalami krisis perceraian akan menunjukkan kesiapan yang mantap dalam

menjalani kehidupannya dengan makna hidup yang jelas.

3. Pembatasan Masalah
Melihat luasnya ruang lingkup penelitian ini, maka penulis merasa perlu menentukan

batasan masalah agar tulisan ini tidak mengambang. Sehubungan dengan itu Winarno

Surakhmad menegaskan bahwa:

Pembatasan ini diperlukan bukan saja memudahkan atau menyederhanakan


masalah bagi penyelidik, tetapi juga untuk menetapkan lebih dahulu segala sesuatu

14
yang diperlukan untuk pemecahannya, tenaga, kecekatan, waktu, ongkos dan lain
yang timbul dari rencana tertentu itu.25

Berdasarkan hal di atas penulis menyadari bahwa kemampuan yang dimiliki sangat

terbatas, juga hal-hal lainnya yang mendukung penelitian ini. Maka dalam penulisan ini penulis

membatasi masalah dan memfokuskan masalah di sekitar Konseling pastoral kepada para istri 26

yang mengalami krisis perceraian di Jemaat GKPI Resort Porsea

4. Perumusan Masalah
Berkenaan dengan latar belakang masalah, maka penulis mengangkat beberapa

pertanyaan bersangkutan dengan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah hakekat perkawinan Kristen dan apakah yang dimaksud dengan krisis perceraian?

2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan pernikahan mengalami krisis perceraian?

3. Dampak negatif dari pernikahan yang mengalami krisis perceraian secara Physikis dan

Rohani terhadap istri yang mengalami krisis perceraian.

4. Bagaimana upaya konseling pastoral terhadap para istri yang mengalami krisis perceraian?.

5. Bagaimana pemberian pengampunan dan makna hidup serta tingkat kemarahan dan stress

istri mengalami krisis perceraian sebelum dan sesudah Konseling Pastoral?.

6. Sejauh mana dampak Konseling Pastoral meningkatkan pengampunan dan makna hidup serta

menurunkan tingkat kemarahan dan stress istri mengalami krisis perceraian?

5. Tujuan Penelitian
25
Winarno Surakhmad, Pengantar Pendidikan Prosedur dan Strategi, Bandung: Tarsito1985, hlm. 39

26
dampak lain dari Krisis perceraian adalah kepada keluarga dan anak selanjutnya merupakan saran bagi peneliti
berikutnya. Penulis hanya membatasi penulisan dan penelitian kepada dampak krisis perceraian terhadap istri

15
Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan pengertian tentang hakekat perkawinan Kristen dan apakah yang

dimaksud dengan krisis perceraian

2. Untuk menguraikan faktor-faktor yang menyebabkan pernikahan mengalami krisis

perceraian

3. Untuk memaparkan dampak dari pernikahan yang mengalami krisis perceraian terhadap para

istri yang ditinggalkan suaminya di Jemaat GKPI Resort Porsea.

4. Untuk menguraikan dinamika Pastoral Konseling terhadap kehidupan para istri mengalami

krisis perceraian

5. Untuk membandingkan pengampunan dan makna hidup serta tingkat kemarahan dan stress

istri mengalami krisis perceraian sebelum dan sesudah Pastoral Konseling

6. Untuk menjelaskan sejauh mana dampak pastoral Konseling dalam meningkatkan

pengampunan dan makna hidup serta menurunkan tingkat kemarahan dan stress istri

mengalami krisis perceraian

6. Hipotesa Penelitian
Jika pastoral Konseling dilakukan terhadap istri yang mengalami krisis perceraian akan

meningkatkan Pengampunan dan makna hidup serta menurunkan tingkat kemarahan dan stress

bagi mereka.

7. Manfaat dan tujuan Penelitian


Penulis berharap agar penelitian ini bermanfaat untuk:

16
1. Memberikan kontribusi dalam peningkatan jumlah literatur Kristen, khususnya tentang

pelayanan pastoral konseling terhadap istri yang mengalami krisis perceraian

2. Memberikan masukan kepada Gereja, Lembaga Budaya yang bergerak dalam dunia adat, para

rohaniawan, serta kaum awam yang terlibat dalam pelayanan terhadap para istri yang

mengalami krisis perceraian.

3. Agar gereja atau para rohaniawan menyadari pentingnya peranan mereka dalam melayani

para istri yang mengalami krisis perceraian

4. Agar lembaga adat jangan hanya berhenti pada pelayanan adat yang bersifat umum

dihadapan orang banyak tetapi turut terlibat memberikan intervensi terhadap masalah krisis

perceraian.

5. Menjadi suatu kesempatan bagi penulis untuk menerapkan ilmu yang sudah dipelajari selama

di bangku kuliah, dalam bentuk tulisan ilmiah.

6. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya, untuk pengembangan ilmu teologi,

khususnya teologia praktis di bidang pastoral.

8. Metode Penelitian

8.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian jelas ada sangkut pautnya dengan pengumpulan data-data dari lapangan

penelitian. Maka dalam penelitian ini dipakai dua jenis metode penelitian, yakni:

1. Metode Kuantitatif.

Penelitian kuantitatif mencakup pengumpulan data dari 10 orang klien dengan

mengkombinasikannya dengan informasi-informasi dari anak, atau orang lain/family yang

mengenal atau dekat dengan keluarga tersebut.

17
2. Metode Kualitatif.

Penelitian kualitatif adalah sejenis penelitian formatif yang secara khusus memberikan tehnik

untuk memperoleh jawaban atau informasi mendalam tentang pendapat dan perasaan seseorang. 27

Penelitian ini memungkinkan penulis mendapat hal-hal yang tersirat (insight) mengenai sikap,

kepercayaan, motivasi dan perilaku target populasi. Informasi atau temuan-temuan yang

diperoleh dan secara khusus yang berhubungan dengan dampak krisis perceraian terhadap

kemarahan, stress dan Makna hidup istri yang ditinggal suaminya akan dipakai sebagai acuan di

dalam pendampingan pastoral bagi yang mengalaminya.

8.2. Tehnik Pengumpulan Data

1. Liberary Research (penelitian kepustakaan) yaitu mengumpulkan data informasi dari

berbagai literatur, jurnal-jurnal penelitian maupun artikel-artikel yang diharapkan

menopang pengembangan tesis ini.

2. Field Research (penelitian lapangan). Dalam penelitian di lapangan penulis akan

mengumpulkan data-data dengan pengamatan dan wawancara langsung terhadap para istri

yang mengalami krisis perceraian. Wawancara yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah wawancara yang tidak berstruktur namun terfokus 28sekaligus mengukur tingkat

pengharapan dan kekuatan para istri yang mengalami krisis perceraian dalam menjalani

kehidupannya dengan baik. Melalui pengamatan dan wawancara, penulis akan

memaparkan dengan jelas tentang keadaan istri yang mengalami krisis perceraian.

27
Hadi Nurlaela Ella, Aplikasi Metode Kualitatif Dalam Penelitian Kesehatan, Depok: FKM UI, 2000,
hlm. 25
28
. Koentjaniaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 139

18
8.3. Populasi dan Sampel serta Lokasi Penelitian

Populasi penelitian adalah Jemaat GKPI Resort Porsea. Jumlah sampel adalah 10 orang

klien yakni istri yang sedang mengalami krisis perceraian yang mengalami kemarahan, stress

dan kehilangan makna hidup sehingga kurang berpengharapan dalam iman, doa serta tidak

mendapatkan kekuatan dalam menjalani kehidupannya. Penelitian ini dibatasi hanya Jemaat

GKPI Resort Porsea

9. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini akan dibagi menjadi lima bab.

Dalam Bab I penulis akan memaparkan tentang pendahuluan penulisan yang mencakup:

1. Latar belakang masalah

2. Identifikasi masalah

3. Pembatasan masalah

4. Perumusan masalah

5. Tujuan penelitian

6. Populasi dan sampel

7. Lokasi penelitian

8. Metodologi penelitian

9. Sistematika penelitian.

Bab II memuat tentang kerangka teoritis yang di dalamnya mencakup:

1. Pengertian konseling pastoral

2. Dasar Alkitabiah konseling Pastoral

19
3. Fungsi konseling pastoral

4. Teori-teori pastoral

5. Proses pendampingan pastoral

6. Sikap dasar pendampingan pastoral

7. Langkah-langkah dalam rangka pastoral

8. Pengertian hakekat perkawinan Kristen

9. Pengertian krisis perceraian

10. Faktor-faktor yang menyebabkan pernikahan mengalami krisis perceraian

11. Dampak krisis perceraian terhadap Pengampunan Dan Makna Hidup Serta Kemarahan Dan

Stress

12. Upaya konseling pastoral terhadap keluarga yang mengalami krisis perceraian, untuk

meningkatkan pemberian pengampunan dan makna hidup serta menurunkan tingkat

kemarahan,dan stress istri yang mengalami krisis perceraian.

13. Keadaan Konseli sebelum dan sesudah konseling pastoral.

14. Dampak Konseling Pastoral dalam meningkatkan pemberian Pengampunan dan makna hidup

serta menurunkan tingkat kemarahan dan stress istri yang mengalami krisis perceraian.

15. Kerangka konseptual dan hipotesa

Bab III memuat tentang metodologi penelitian yang di dalamnya mencakup:

1. Prosedur penelitian lapangan

2. Lokasi penelitian dan waktu penelitian

3. Populasi dan sampel

4. Gambaran umum klien

5. Alat ukur yang dipakai.

20
Bab IV memuat tentang pembahasan data:

1. Krisis keimanan klien sebelum pendampingan pastoral

2. Krisis keimanan klien sesudah pendampingan pastoral

3. Pengharapan klien sesudah pendampingan pastoral, kebutuhan, pikiran dan perasaan klien

yang mengalami krisis perceraian

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi krisis perceraian dalam pernikahan klien

5. Aspek-aspek krisis perceraian dalam pernikahan

6. Lama pendampingan pastoral

7. Diskusi dan refleksi.

Bab V memuat tentang kesimpulan dan saran yang berisikan:

1. Kesimpulan penulis atas uraian dan hasil penelitian sebagai jawaban atas hipotesa

2. Saran kepada peneliti berikutnya, kepada gereja dan kepada masyarakat khususnya lembaga

adat.

21
22

Anda mungkin juga menyukai