PENDAHULUAN
kepribadian, prinsip dan tujuan hidup, serta keinginan dan harapannya.Riwayat penciptaan secara
jelas berbicara tentang satu suami satu istri, "satu daging" antara satu laki-laki dan satu
perempuan (Kej. 2:24). Dalam pernikahan yang pertama di taman Eden, Allah berperanan dalam
mereka (Kej. 2:16-23; Kej. 1:28). Kemudian Allah menyatakan dasar pernikahan itu dengan
mengatakan “oleh karena itu seorang laki-laki meninggalkan orang tuanya dan bersatu dengan
Dalam Kitab Kejadian 2:24 disebut tujuan perkawinan ialah relasional dan procreational.
Pertama Allah tidak merasa baik bila manusia itu sendirian. Ini berarti perkawinan sebagai
lembaga yang diciptakan Allah adalah relasional, memberi teman penolong (hubungan satu
dengan yang lain). Kedua, perkawinan itu untuk bertambah-tambah (berkembang biak) atau
procreational. Pernikahan adalah pemberian Tuhan untuk seumur hidup untuk saling mengenal.
Tujuan relasional dan procreasional diberikan Tuhan dalam hidup perkawinan sebagai lembaga
yang ditetapkan Tuhan.1 Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah
persekutuan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bersifat persekutuan rohani yang diikat
1
E.P. gintings, Gembala dan Penggembalaan, Kabanjahe:Abdi Karya, 2002, hlm. 72-73; dan E.P. Gintings,
Keluarga Kristen, Kabanjahe: Masa Baru, 1989, hlm. 19-30.
1
oleh “janji kasih” sebagai sarana atau wadah yang dikehendaki oleh Allah untuk menikmati
Pengertian dan dasar pernikahan dalam Perjanjian Baru kemudian ditegaskan oleh Tuhan
Yesus dengan mengatakan: “Oleh karena itu, apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh
diceraikan oleh manusia (Mrk. 10:9).2 Dari tindakan Allah ‘mempersatukan’ mereka dan dari
dasar pernikahan yang ditetapkan oleh Allah, menyatakan bahwa pernikahan mereka adalah
Dasar pernikahan Kristen sampai hari ini adalah Allah yang menetapkan dan
mempersatukan suami-isteri dalam suatu ikatan persekutuan hidup, dan apa yang sudah
dipersatukan oleh Allah tidak dapat dipisahkan oleh apa dan siapapun, sampai kematian
memisahkan, (Bnd. Mat. 19:1-12; Mrk. 10:2-9). Pernikahan Kristen adalah merupakan suatu
persekutuan rohani (religious marriage), karena hubungan seks dalam pernikahan yang
dinyatakan dalam dasar pernikahan “satu daging” (one flesh) mencakup seluruh keberadaan
suami-isteri (tubuh, jiwa dan roh). Juga mempunyai “religious oriented” (tujuan rohani) yaitu
untuk memuliakan Allah dan hubungan suami-isteri sebagai cerminan hubungan Allah dengan
umat-Nya dan hubungan Kristus dengan gereja-Nya (bnd. Ef. 5:22-23). Allah menciptakan laki-
laki dan perempuan menurut gambar Allah, mengatakan bahwa seksualitas adalah ciptaan dan
ada dalam rencana Allah, bukan akibat dosa manusia, oleh sebab itu seks adalah sesuatu yang
baik, kudus, mulia dan sesuatu yang berarti di dalam hidup manusia.3
Setiap pasangan menginginkan keutuhan dalam membangun rumah tangga. Bagi umat
Kristen, perceraian atau pembubaran perkawinan tidak diijinkan mengingat ajaran Yesus yang
tertulis dalam Matius 19:1-10 bnd. Markus 10:1-9. Sebab apa yang telah dipersatukan Allah tidak
2
Jhon Charles Wynn, Op.cit, hlm. 76.
3
Jhon Charles Wynn, Op.cit, hlm. 62-63.
2
boleh diceraikan manusia4. Namun realitas menunjukkan angka perceraian kian meningkat.
1. Maleakhi 2:16a: “Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel.” Menurut
Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. “Demikianlah
mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
2. Dalam Perjanjian Lama Tuhan menetapkan beberapa hukum untuk melindungi hak-hak dari
orang yang bercerai, khususnya wanita (Ulangan 24:1-4). Yesus menunjukkan bahwa hukum-
hukum ini diberikan karena ketegaran hati manusia, bukan karena rencana Tuhan (Matius
19:8).
3. Kontroversi mengenai perceraian dalam Alkitab berkisar pada kata-kata Yesus dalam Matius
5:32 dan 19:9. Frasa “kecuali karena zinah” adalah satu-satunya alasan dalam Alkitab di
pernikahan kembali diizinkan jikalau pasangan yang belum percaya menceraikan pasangan
yang percaya..
Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-sama
19746 Tentang Perkawinan tidak memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal
4
Jikapun ada alasan satu-satunya bagi suami untuk menceraikan isterinya karena zinah, sesuai dengan
konteks Injil Matius yaitu dekat dengan ke-Jahudian dimana seseorang harus menjaga kesucian/kekudusan rumah
tangganya, justru hal tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk kawin lagi. Sebab siapa yang berbuat demikian dia
juga digolongkan berzinah. Jika pada zaman dahulu banyak orang meminta surat cerai kepada Musa, itu dicap Yesus
sebagai kesengsaraan hati (Mat. 19:7-9).
5
http://www.gki.com
6
http://www.pemantauperadilan.com
3
39 ayat (2) Undang Undang Perkawinan (UUP) serta penjelasannya secara kelas menyatakan
bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan.
Definisi perceraian di Pengadilan Agama itu, dilihat dari putusnya perkawinan. Putusnya
perkawinan dalam UUP dijelaskan, yaitu: karena kematian, karena perceraian, karena putusnya
pengadilan.
Perceraian ialah berakhirnya suatu pernikahan. Istilah perceraian berasal dari kata “cerai”
yang artinya pisah, tidak bersatu lagi, ibarat nyawa yang sudah pisah dengan tubuhnya. 7 Dalam
ikatan perkawinan, bercerai berarti berhenti berlaki-bini, sedangkan istilah menceraikan berarti
menjadikan supaya tidak berhubungan lagi. Tegasnya perceraian adalah peristiwa putusnya
hubungan perkawinan suami-isteri yang diatur menurut tata cara yang dilembagakan untuk
mengatur hal itu. Dengan adanya perceraian, maka terbuka pula peluang bagi suami-isteri untuk
kawin lagi.8
Alkitab tidak pernah merestui adanya perceraian, sebab perceraian merupakan suatu
penghacuran terhadap janji setia pernikahan. Namun kenyataannya di dunia masih ada pasangan
yang melanggar janji setia itu. Beberapa alasan umum yang sering menyebabkan suatu perceraian
antara lain:9 Ekonomi, Berselingkuh, Tidak Cocok, Bertengkar terus, Penyiksaan, Masalah
penyiksaan atau KDRT, Sakit / cacat tubuh, Perbedaan agama. Selain itu factor-faktor
determinan10 penyebab terjadinya perceraian dalam keluarga adalah kurangnya kesiapan mental,
permasalahan ekonomi, kurangnya komunikasi antar pasangan, campur tangan keluarga pasangan
7
W. J. S. Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; PN Balai Pustaka, 1984, hlm. 2000.
8
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta; PT. Delta Pamungkas, 1977, hlm. 79.
9
http://www.gii-usa.org,
10
http://digilib.itb.ac.id
4
Di Indonesia terdapat undang-undang perkawinan yang mencakup peraturan-peraturan
tentang perceraian. Pada dasarnya perceraian perkawinan dikenal dalam hukum adat atau hukum
agama. Ini dinyatakan dalam hukum perkawinan Indonesia.11 Dalam buku pokok-pokok hukum,
perkawinan hapus12 jikalau satu pihak meninggal. Selanjutnya ia hapus juga, jikalau satu pihak
kawin lagi setelah mendapat ijin hakim, bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat
tinggalnya hingga sepuluh tahun lamanya dengan tiada ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan
dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
antara suami dan isteri, tetapi harus ada alasan yang sah. Adapun alasan-alasan (dasar) untuk
tinggal bersama dengan etikad buruk, 3) Dikenakan hukuman penjara lima tahun (lebih) karena
1. Salah satu pihak mendapat cacat badan dengan tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami-isteri.
2. Antara suami-isteri terus menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidak ada harapan
ditinggalkan suaminya atau mengalami krisis perceraian adalah kekecewaan, sakit hati, benci dan
dendam tapi yang paling mendominasi adalah Kemarahan yang begitu besar. Kemarahan adalah
11
H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung; Mandar Masa, 1990, hlm. 160-162.
12
Praf Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta; PT. Intermasa, 1980, hlm. 42.
13
H. Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm. 162.
14
Undang-undang Perkawinan Pasal PP9 dalam Praf Subekti, Op.cit, hlm. 42.
5
keadaan emosi yang bisa dialami setiap orang pada saat-saat tertentu yang bisa dilakukan secara
tersembunyi, terpendam maupun terang-terangan, bisa dalam waktu singkat maupun lama dalam
bentuk kebencian, dendam, dsb. Kemarahan itu bisa merusak (destructive) bila dalam ekspresi
emosi yang tak terkendali, tapi bisa juga membangun (contructive) bila mendorong kita untuk
memeriksa dan memperbaiki kesalahan atau mengingatkan kita untuk berpikir secara lebih baik.
Kemarahan terjadi bila dalam proses perjalanan kehidupan itu terjadi ganjalan dalam
mencapai sesuatu yang diinginkan. Hambatan (bloking) tersebut mempengaruhi reaksi fisik
maupun emosi yang bersangkutan. Reaksi inilah yang bisa dalam bentuk disembunyikan tapi
bisa juga secara terbuka. Malah kemarahan adalah faktor yang sangat menentukan timbulnya
berbagai penyakit, kesusahan, inefficiency kerja, pertengkaran, frigidity, child’s defiance, serta
Istri yang mengalami krisis perceraian merasakan kurangnya dukungan sosial dan lebih
merasa terbatas dan terisolasi ketimbang seorang janda. Ia juga dapat menderita gangguan
kesehatan fisik dan mental yang lebih berat dari pada janda. Perceraian biasanya merupakan
penghinaan bagi ego, suatu pengalaman mengurangi harga diri. Rasa gagal dan rasa bersalah
yang bersangkutan sering sangat hebat sehingga dapat berdampak kepada kehilangan makna
hidup dimana merasa hidup tak berguna. Istri yang mengalami krisis perceraian merasa terluka
karena ditolak oleh bekas pasangannya, disertai perasaan-perasaan seperti: kemarahan yang tidak
diselesaikan, kebencian, dendam dan sulit mengampuni, kesendirian, keraguan akan diri
sendiri, dan stress/depresi bercampur aduk semuanya dan menghasilkan luka kedukaan yang
Selain itu masalah-masalah yang dihadapi seorang istri yang ditinggalkan suaminya atau
15
http://www.seniornews.co.id/
6
1. Masalah Emosional keberadaan pasangan hidup sungguh dapat membebaskan seseorang dari
rasa kesepian. Sementara rasa kesepian berkaitan erat dengan konsep diri negatif dan
menghasilkan emosi-emosi negatif. Keadaan ini dapat menyulitkan hubungan dengan orang
lain. Selain itu, adanya pasangan juga memberikan perasaan berharga di mata masyarakat.
Akibatnya, ketika harus hidup sendiri karena perceraian, biasanya individu mengalami rasa
rendah diri ketika berada dalam situasi seremonial, ketika orang-orang lain hadir
berpasangan.
2. Overload dalam Peran. Orangtua tunggal berperan sebagai ayah sekaligus sebagai ibu bagi
anak-anaknya. Peran ganda yang paling berat adalah membesarkan anak-anaknya sendirian
supaya dapat tumbuh menjadi pribadi yang sehat, baik fisik maupun mental. Wanita yang
menjadi orangtua tunggal harus membiasakan diri mengerjakan semua pekerjaan yang biasa
dilakukan pria. Kalau sebelumnya tidak ikut mencari nafkah, sekarang ia harus bekerja. Ini
bukan persoalan yang mudah. Seandainya pria atau wanita single parent mampu membayar
pembantu atau baby sitter, tetap ada beberapa pekerjaan yang tidak dapat diserahkan kepada
orang lain, seperti mengurus pajak, merawat anak ketika sakit, dsb.
3. Beban Ekonomi. Beban ekonomi menjadi lebih berat bila seseorang biasa mencukupi
kebutuhan ekonomi. bersama pasangan, kemudian harus menanggung sendiri semua biaya
rumah tangga, termasuk biaya pendidikan anak. Kadang keadaan lebih sulit karena anak yang
masih balita sangat tergantung, terutama bila tidak ada orang lain yang dapat diserahi untuk
mengasuh. Dalam keadaan demikian orangtua tunggal mengalami hambatan untuk dapat
bekerja. Pada salah satu kasus, seorang ibu mengalami stres karena anak remajanya
4. Stigma Masyarakat. Hingga saat ini masih ada kecenderungan masyarakat memberikan
penilaian miring pada orang yang tidak memiliki pasangan saat pergi berdua atau menjalin
7
hubungan dengan lawan jenis. Pada wanita, penilaian itu seringkali lebih tajam. Bagi
kebanyakan orang, penilaian itu menjadi hambatan untuk berhubungan dengan siapa saja.
Dalam salah satu kasus, seorang ibu yang telah hampir enam tahun menjanda memilih tidak
memiliki rekanan bisnis yang berlawanan jenis demi menjaga citranya di mata masyarakat.
H. Norman Wright16 membahas anatomi suatu krisis untuk memberikan pertolongan dan
pedoman bagi setiap anggota jemaat karena krisis selalu dihadapi dalam kehidupan setiap orang.
Lebih lanjut dalam "Konseling Krisis" membagi perceraian kedalam 6 tahap yang saling
tumpang tindih bahkan tidak berurutan dan dengan tingkat intensitas yang tidak sama:
1. Perceraian Emosional. Perceraian ini mulai terjadi saat salah satu atau kedua pihak pasangan
menyembunyikan emosi dalam hubungan mereka. Daya tarik dan rasa percaya terhadap
2. Perceraian Secara Hukum. Perceraian ini terjadi ketika salah satu atau keduanya mengajukan
3. Perceraian Ekonomi. Perceraian ini terjadi dimana kedua pihak mulai melakukan pambagian
hak dan mungkin sang istri yang tadinya tidak bekerja, sekarang harus bekerja demi
kebutuhan.
4. Perceraian Koparental (pasangan yang sudah resmi bercerai, tetapi tetap menjadi orang tua
bersama).
5. Perceraian masyarakat. Perceraian ini terjadi ketika orang yang bercerai tersebut berada
6. Perceraian psikis. Pada tahap ini orang yang telah bercerai menjadi otonom ia mempunyai
kekuasaan untuk menentukan arah dan tindakannya. Apakah itu karena perkembangan hidup
16 ?
H.Norman Wright, Konseling Krisis:membantu orang dalam Krisis dan sters, Malang:Gandum Mas, 1993,
hal 1-9, 176-179
8
seseorang atau juga karena peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan terjadi. Jalan hidup
merupakan serentetan krisis perkembangan yaitu hal-hal yang dapat diramalkan atau
developmental Crisis yang tidak diharapkan sebagian krisis merupakan proses yang
Perceraian membawa dampak yang besar pada siapapun, baik kepada pasangan yang
bercerai maupun pada anak-anak dan keluarga mereka 17. Stres akibat perceraian yang terjadi
menempatkan perempuan dalam resiko fisik maupun psikis. Stres karena perceraian dapat
menurunkan kemampuan sistem pertahanan tubuh, menyebabkan individu yang bercerai rentan
Dalam zaman modern ini semakin banyak orang yang merasakan ketidaktentraman
jiwanya, terutama dikota-kota dan di sentra-sentra ekonomi, karena dalam lingkungannya setiap
hari sering diganggu dengan ketiadaan norma-norma tempat dia bisa berdiri dan sering jiwanya
juga tidak kuat lagi. Untuk memperbaiki sebab dan akibat psikologis dari krisis yang hebat ada
2. Konseling krisis jangka pendek, informal dan formal, diperlukan oleh orang-orang yang
dapat menggerakkan sumber penanggulangan mereka lebih cepat dan mengatasi krisis
mereka lebih konstruktif dengan menerima suatu bantuan dalam hal menguji realitas dan
dalam hal perencanaan pendekatan yang efektif kepada situasi baru yang diciptakan oleh
krisis itu.
17
Dampak lain dari Krisis perceraian adalah kepada keluarga dan anak selanjutnya merupakan saran bagi
peneliti berikutnya. Penulis hanya membatasi penulisan dan penelitian kepada dampak krisis perceraian terhadap istri
9
3. Konseling dan terapi jangka panjang, dibutuhkan oleh yang terluka berat secara kejiwaan
dan dilumpuhkan oleh kehilangan yang amat besar atau krisis yang terjadi berkali-kali
sehinga mereka tidak mampu lagi menggerakkan sumber penanggulangan mereka tanpa
Dasar alkitabiah dari pastoral konseling diumulai pada saat Allah menciptakan alam
semesta dan pada hari keenam Allah menciptakan manusia pertama seturut dengan gambar dan
rupa Allah (Imago Dei kej.1:26). Allah memberkati dengan amanat prokreasi agar mereka
kejatuhan kedalam dosa Allah sendiri yang berinisiatif untuk memanggil dan mencari mereka
(Kej.3:8-9).
Dalam Perjanjian Lama ada beberapa istilah Ibrani yang dipakai untuk menjelaskan
artinya nasehat, ( יעטyaet) dalam arti Penggembalaan19 menunjuk kepada gembala adalah הער
(ro’eh) (Kej. 4: 2; 37: 2; 47: 3; 46: 32,34; Kel. 3: 1), yang dibentuk dari kata ( הערra’a). Istilah
Dalam dunia Perjanjian Baru sejak zaman para rasul telah dikenal istilah konseling
sebagai kegiatan alami dalam kegiatan spiritual bersama. Istilah Penggembalaan ποιμήν20 dalam
18
William, A.Van Gemeren, New International Dictionary Of Old Testament Theology & Exegetis (vol.2)
p.490
19
C.Barth, Theologia Perjanjian Lama 4, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hlm. 192Penggembalaan
dalam PL menunjuk kepada gembala adalah ( הערro’eh) (Kej. 4: 2; 37: 2; 47: 3; 46: 32,34; Kel. 3: 1), yang
dibentuk dari kata ( הערra’a) dalam bentuk kata kerja (verb) memiliki beberapa pengertian dalam bahasa Inggris
sebagai berikut: to tend (memelihara, merawat ,Kej. 29: 7, 31,36), to guard (menjaga, melindungi, Kej.37: 2, 13,16;
I Sam.16:11), to feed (memberi makan, Yes.30: 23), to pasture (menggembalakan, Kej. 41: 2;Kel.39: 3), Govern
(memerintah, Yer. 22: 22; Ma. 49: 15), to nourish (memberi makan,memelihara, Hos.9: 2;.10: 21), to refresh
(menyegarkan, Hosea.9: 2; Pkh.10: 2), to be a shepherd (menjadi gembala)
20
Barclay M.Newman, Kamus Yunani Indonesia: Untuk Perjanjian Baru, Jakarta BPK-GM, 2002, hal.136
10
bahasa Yunani berpadanan dengan penghiburan, anjuran, penasehat, penolong, dan pengantara
banyak dipakai untuk menggambarkan pelayanan konseling. Kata gembala dan penggembalaan 21
disini adalah menggambarkan Yesus sebagai gembala yang baik, yang menyerahkan nyawanya
Melalui pastoral konseling diharapkan setiap situasi baru yang dihadapi seseorang dapat
mengatasi krisis yang dihadapinya. Seseorang itu harus mempergunakan “inner resources”
(kemampuan yang ada didalam dirinya, yaitu nilai-nilai yang telah tersosialisasi dalam dirinya).
Kadang-kadang seseorang itu harus berusaha berulangkali karena caranya yang pertama tidak
berhasil tapi jika ia tekun ia akan mendapatkan cara-cara untuk mengatasi masalahnya.
Berdasarkan sosialisasi yang sudah terjadi dan pengalaman yang sudah terjadi ada maka
seseorang itu akan lebih mudah menghadapi atau menyeselaikan masalah yang ia hadapi.
Tjaard & Anne Hommes22 dalam tullisannya menggutip buku Gerald Caplan, Principles
of Preventif Psychiatry secara lebih rinci menjelaskan bahwa setiap orang terus-menerus
dihadapkan pada situasi yang menuntut kegiatan penanggulangan masalah, suatu krisis terjadi
pada diri seseorang ketika kegiatan penanggulangan masalah tidak efektif. Inner resources atau
sumber penanggulangan masalah yang ada pada dirinya tidak efektif, artinya stress yang berasal
dari kebutuhannya tidak terpenuhi dibiarkan terus meningkat tanpa pernah mereda. Tekanan itu
berasal dari terhalangnya pemuasan dri beberapa kebutuhan pisik dan kejiwaan
21
Verlag W.Kohlhammer, Theological Dictionary Of New Testament, Stuttgart Germany: WB Eermans
Publishing Co, p.492
22
Gerarld Caplan alam Tjaard & Anne Hommes, Konseling Krisis, Seri Pastoral 317-Pusat Pastoral
Yogyakarta 2000 No 10; hal 9-10.
11
Masalah krisis perceraian bukanlah hanya terjadi di kalangan artis di ibukota atau orang-
orang di daerah urban melainkan telah menyebar sampai ke desa-desa di pelosok negeri ini.
Sebagaimana dalam batasan penulisan nanti bahwa lokasi penelitian beradi di Kabupaten Tobasa,
Kecamatan Porsea, tepatnya di Jemaat GKPI Resort Porsea yang terletak di Desa Patane III.
Tercatat warga jemaat yang berstatus Padao-dao/panirang-nirangon23, dalam hal ini rata-rata
para istri yang dimaksud rata-rata sudah lebih 10 tahun berpisah. Para istri yang mengalami krisis
Perceraian ini hidup dengan mengandalkan hasil pertanian untuk menghidupi keluarganya.
Sebagian diantara mereka sudah memasuki usia 60 tahun keatas. Anehnya sebagaian besar dari
mereka tahu keberadaan suaminya bahkan ada yang masih di sekitar kecamatan Porsea, ada yang
sudah menikah ulang ada yang masih bertahan. Beberapa dari para istri yang mengalami krisis
perceraian tersebut mengalami masalah ekonomi sebab harus menanggung biaya sekolah dan
perkuliahan anak-anaknya.
Kebijaksanaan Umum GKPI24 khususnya fasal 2.3.3 tentang Penggembalaan orang bermasalah
khusus secara implisit termasuk istri yang mengalami krisis perceraian. Dalam pelayanannya
GKPI Jemaat Porsea Kota Resort Porsea telah memfasilitasi pelayanan untuk kaum ibu tapi
belum dikhususkan kepada para istri yang mengalami krisis perceraian. Tetapi dalam pelayanan
umum kaum perempuan di GKPI tema-tema khusus rumah tangga sering dikhotbahkan dan
didiskusikan. Hanya saja kekterbatasan waktu bahwa penulis masih tujuh bulan melayani di
GKPI Resort Porsea. Namun selama beberapa bulan terakhir ini perkunjungan pastoral dan
23
Istilah ini berarti keadaan yang saling berjauhan, pisah ranjang tapi tidak ada norma hokum formal
menguatkannya. Dalam kondisi seperti ini masyarakat biasanya bersikap tidak mau tahu seolah-olah tidak ada
masalah dalam pernikahannya.
24
Garis Kebijaksanaan Umum GKPI Masa Bhakti 2005-2010, Pematangsiantar, Kolportase GKPI, 2005,
hal.31-39
12
percakapan sering dilakukan kepada mereka . Ternyata penulis mendapati bahwa para istri yang
mengalami krisis perceraian ini mempunyai keluhan, pergumulan dan permasalahan yang
Krisis Pengampunan dan kepahitan hati karena getirnya kehidupan dalam terpaan angin krisis
ekonomi dan harga diri di masyarakat. Masalah tersebut cenderung sangat kompleks dan rumit
sekali. Dari Pengamatan di lapangan ada beberapa diantara mereka yang jarang atau tidak
beribadah lagi. Jika ditanyakan alasannya mereka menjawab dengan ketus dan tak bersahabat
seolah-olah siap menerima resiko apa saja. Hal ini disebabkan mereka kehilangan pengampunan,
makna hidup dan pengharapan mereka pudar. Ketika penulis mendekati mereka dengan simpati
dan empati yang tinggi menghasilkan beberapa orang terbuka dan waktu dihantar dengan lagu,
saat teduh dan doa tuntunan tak jarang mereka katarsis dan mulai self disclosure, hingga
mendapati insight yang baru sebagai factor curative dalam Pastoral Konseling.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis berkeinginan untuk menulis tentang pastoral
Konseling terhadap istri yang mengalami krisis perceraian dan sejauh mana dampak pastoral
konseling kepada para istri yang mengalami krisis perceraian untuk meningkatkan pengampunan
makna hidup serta menurunkan tingkat kemarahan dan stress mereka. Melalui kajian ini penulis
berharap mengetahui keadaan klien, kebutuhan, pikiran dan perasaannya serta dapat
menolongnya agar dalam kondisi yang demikian itu mereka memperoleh pengharapan dan
2. Identifikasi Masalah
13
1. Dalam pernikahan yang pertama di taman Eden, Allah mempunyai peranan dalam
memberkati mereka (Kej. 2:16-23; Kej. 1:28). Kejatuhan manusia ke dalam dosa berdampak
pada seluruh aspek dan eksistensi kehidupan, dimana manusia dalam hal ini para istri
bathin, stress, kesulitan ekonomi, makna hidup dan hidup rohani terutama bagi para istri yang
3. Peranan budaya sebagai lembaga adat tidak memberikan peran yang signifikan sebaliknya
4. Istri yang mengalami krisis perceraian membutuhkan konseling pastoral, agar dapat menjalani
kehidupan secara normal artinya terhindar dari berbagai perasaan yang menganjal. Karena itu
5. Istri mengalami krisis perceraian perlu mendapatkan perhatian dan kepedulian yang serius
6. Istri yang mengalami krisis perceraian akan menunjukkan kesiapan yang mantap dalam
3. Pembatasan Masalah
Melihat luasnya ruang lingkup penelitian ini, maka penulis merasa perlu menentukan
batasan masalah agar tulisan ini tidak mengambang. Sehubungan dengan itu Winarno
14
yang diperlukan untuk pemecahannya, tenaga, kecekatan, waktu, ongkos dan lain
yang timbul dari rencana tertentu itu.25
Berdasarkan hal di atas penulis menyadari bahwa kemampuan yang dimiliki sangat
terbatas, juga hal-hal lainnya yang mendukung penelitian ini. Maka dalam penulisan ini penulis
membatasi masalah dan memfokuskan masalah di sekitar Konseling pastoral kepada para istri 26
4. Perumusan Masalah
Berkenaan dengan latar belakang masalah, maka penulis mengangkat beberapa
1. Apakah hakekat perkawinan Kristen dan apakah yang dimaksud dengan krisis perceraian?
3. Dampak negatif dari pernikahan yang mengalami krisis perceraian secara Physikis dan
4. Bagaimana upaya konseling pastoral terhadap para istri yang mengalami krisis perceraian?.
5. Bagaimana pemberian pengampunan dan makna hidup serta tingkat kemarahan dan stress
6. Sejauh mana dampak Konseling Pastoral meningkatkan pengampunan dan makna hidup serta
5. Tujuan Penelitian
25
Winarno Surakhmad, Pengantar Pendidikan Prosedur dan Strategi, Bandung: Tarsito1985, hlm. 39
26
dampak lain dari Krisis perceraian adalah kepada keluarga dan anak selanjutnya merupakan saran bagi peneliti
berikutnya. Penulis hanya membatasi penulisan dan penelitian kepada dampak krisis perceraian terhadap istri
15
Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah:
1. Untuk menjelaskan pengertian tentang hakekat perkawinan Kristen dan apakah yang
perceraian
3. Untuk memaparkan dampak dari pernikahan yang mengalami krisis perceraian terhadap para
4. Untuk menguraikan dinamika Pastoral Konseling terhadap kehidupan para istri mengalami
krisis perceraian
5. Untuk membandingkan pengampunan dan makna hidup serta tingkat kemarahan dan stress
pengampunan dan makna hidup serta menurunkan tingkat kemarahan dan stress istri
6. Hipotesa Penelitian
Jika pastoral Konseling dilakukan terhadap istri yang mengalami krisis perceraian akan
meningkatkan Pengampunan dan makna hidup serta menurunkan tingkat kemarahan dan stress
bagi mereka.
16
1. Memberikan kontribusi dalam peningkatan jumlah literatur Kristen, khususnya tentang
2. Memberikan masukan kepada Gereja, Lembaga Budaya yang bergerak dalam dunia adat, para
rohaniawan, serta kaum awam yang terlibat dalam pelayanan terhadap para istri yang
3. Agar gereja atau para rohaniawan menyadari pentingnya peranan mereka dalam melayani
4. Agar lembaga adat jangan hanya berhenti pada pelayanan adat yang bersifat umum
dihadapan orang banyak tetapi turut terlibat memberikan intervensi terhadap masalah krisis
perceraian.
5. Menjadi suatu kesempatan bagi penulis untuk menerapkan ilmu yang sudah dipelajari selama
6. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya, untuk pengembangan ilmu teologi,
8. Metode Penelitian
Metode penelitian jelas ada sangkut pautnya dengan pengumpulan data-data dari lapangan
penelitian. Maka dalam penelitian ini dipakai dua jenis metode penelitian, yakni:
1. Metode Kuantitatif.
17
2. Metode Kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah sejenis penelitian formatif yang secara khusus memberikan tehnik
untuk memperoleh jawaban atau informasi mendalam tentang pendapat dan perasaan seseorang. 27
Penelitian ini memungkinkan penulis mendapat hal-hal yang tersirat (insight) mengenai sikap,
kepercayaan, motivasi dan perilaku target populasi. Informasi atau temuan-temuan yang
diperoleh dan secara khusus yang berhubungan dengan dampak krisis perceraian terhadap
kemarahan, stress dan Makna hidup istri yang ditinggal suaminya akan dipakai sebagai acuan di
mengumpulkan data-data dengan pengamatan dan wawancara langsung terhadap para istri
yang mengalami krisis perceraian. Wawancara yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah wawancara yang tidak berstruktur namun terfokus 28sekaligus mengukur tingkat
pengharapan dan kekuatan para istri yang mengalami krisis perceraian dalam menjalani
memaparkan dengan jelas tentang keadaan istri yang mengalami krisis perceraian.
27
Hadi Nurlaela Ella, Aplikasi Metode Kualitatif Dalam Penelitian Kesehatan, Depok: FKM UI, 2000,
hlm. 25
28
. Koentjaniaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 139
18
8.3. Populasi dan Sampel serta Lokasi Penelitian
Populasi penelitian adalah Jemaat GKPI Resort Porsea. Jumlah sampel adalah 10 orang
klien yakni istri yang sedang mengalami krisis perceraian yang mengalami kemarahan, stress
dan kehilangan makna hidup sehingga kurang berpengharapan dalam iman, doa serta tidak
mendapatkan kekuatan dalam menjalani kehidupannya. Penelitian ini dibatasi hanya Jemaat
9. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini akan dibagi menjadi lima bab.
Dalam Bab I penulis akan memaparkan tentang pendahuluan penulisan yang mencakup:
2. Identifikasi masalah
3. Pembatasan masalah
4. Perumusan masalah
5. Tujuan penelitian
7. Lokasi penelitian
8. Metodologi penelitian
9. Sistematika penelitian.
19
3. Fungsi konseling pastoral
4. Teori-teori pastoral
11. Dampak krisis perceraian terhadap Pengampunan Dan Makna Hidup Serta Kemarahan Dan
Stress
12. Upaya konseling pastoral terhadap keluarga yang mengalami krisis perceraian, untuk
14. Dampak Konseling Pastoral dalam meningkatkan pemberian Pengampunan dan makna hidup
serta menurunkan tingkat kemarahan dan stress istri yang mengalami krisis perceraian.
20
Bab IV memuat tentang pembahasan data:
3. Pengharapan klien sesudah pendampingan pastoral, kebutuhan, pikiran dan perasaan klien
1. Kesimpulan penulis atas uraian dan hasil penelitian sebagai jawaban atas hipotesa
2. Saran kepada peneliti berikutnya, kepada gereja dan kepada masyarakat khususnya lembaga
adat.
21
22