Pernikahan adalah suatu lembaga persekutuan yang diciptakan dan ditetapkan oleh Allah
antar seorang laki-laki dengan seorang perempuan (heterosexual) yang didahului
tindakan, meninggalkan orang tua oleh karena cinta, dengan sepengetahuan masyarakat
(bersatu) dan mencapai kepenuhannya dalam satu daging (one flesh) dan dimahkotai
(diberkati) dengan penganugerahan anak.
Dalam pernikahan yang pertama di taman Eden, Allah mempunyai peranan dalam
menciptakan pernikahan yaitu Allah menyediakan pasangan hidup, mempersatukan dan
memberkati mereka (Kej. 2:16-23; Kej. 1:28). Kemudian Allah menyatakan dasar
pernikahan itu dengan mengatakan “oleh karena itu seorang laki-laki meninggalkan orang
tuanya dan bersatu dengan isterinya, dan mereka menjadi satu daging (Kej. 2:24).
Pengertian dan dasar pernikahan kemudian ditegaskan oleh Tuhan Yesus dengan
mengatakan: “Oleh karena itu, apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh
diceraikan oleh manusia (Mrk. 10:9).1 Dari tindakan Allah ‘mempersatukan’ mereka dan
dari dasar pernikahan yang ditetapkan oleh Allah, menyatakan bahwa pernikahan mereka
adalah pernikahan yang syah di hadapan Allah.
Dasar pernikahan Kristen sampai hari ini adalah Allah yang menetapkan dan
mempersatukan suami-isteri dalam suatu ikatan persekutuan hidup, dan apa yang sudah
dipersatukan oleh Allah tidak dapat dipisahkan oleh apa dan siapapun, sampai kematian
memisahkan, (Bnd. Mat. 19:1-12; Mrk. 10:2-9).
Pernikahan adalah suatu ikatan perjanjian yang eksklusif antara seorang laki-laki dan
perempuan yang ditetapkan/diteguhkan (ditahbiskan) oleh Allah. Pernikahan sebagi suatu
persektuan hidup dilandasi oleh persetujuan atau perjanjian bebas oleh karena cinta dan
1
Jhon Charles Wynn (ed), Sex, Family and Society in Theological Focus, New York,
Association Press, 1966, hlm. 76.
persetujuan kedua belah pihak harus dinyatakan secara jelas di hadapan saksi-saksi yang
syah2 yaitu dihadapan jemaat dan keluarga.
Perjanjian dalam pernikahan adalah suatu perjanjian yang dibuat berdasarkan pola
perjanjian Allah dengan umat-Nya, sebagaimana juga dinyatakan dalam pernikahan
Hosea yang menggambarkan ‘perjanjian kasih’ Allah dengan umat-Nya. Maka makna
perjanjian dalam pernikahan juga mengatakan hakekat dari pernikahan sebagaimana yang
Allah maksudkan yaitu kesetiaan, monogamy dan persekutuan selama hidup. Pernikahan
adalah suatu perjanjian untuk setia kepada yang lain di dalam hubungan satu
daging.4karena pernikahan tidak hanya mempunyai dasar secara rohani, tetapi pernikahan
ada dan terjadi di tengah masyarakat dan mempunyai dimensi sosial, sehingga soal
pernikahan adalah punya hubungan dengan masyarakat dan negara5, juga karena seks di
dalam kehidupan manusia bukanlah hanya berhubungan dengan masalah tubuh, bukan
juga hanya urusan pribadi, tetapi tidak dapat disangkali bahwa seks pada manusia
mempunyai aplikasi sosial. Hal ini menuntut bahwa penyatuan dua pribadi dalam
pernikahan harus dilaksanakan di depan umum, dan itu akan menjadi perlindungan
bagipernikahan sebagai suatu lembaga persekutuan.6
2
T. Gilarso, Sj (ed), Membangun Keluarga Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1996,
hlm. 9.
Glenda Malmin, Wanita Engkau Dipanggil dan Diurapi, 2003, hlm. 209-210.
3
Maka pernikahan sebagai persekutuan rohani dan yang mempunyai tujuan rohani,
peranan Allah sangat menetukan dalam kehidupan pernikahan Kristen. Allah tidak hanya
berperan untuk memberikan penolong atau pasangan yang sepadan, mempersatukan dan
menetapkan pernikahan tetapi Allah juga berperan dalam kelanjutan hidup pernikahan
tersebut. Oleh sebab itu, pernikahan Kristen harus dimula dengan iman kepada Allah,
kehadiran Allah untuk menguduskan, meneguhkan janji, menyempurnakan kasih (cinta)
dan memberkati pernikahan mereka, sehingga pernikahan mereka menjadi
pernikahan/keluarga yang diberkati oleh Tuhan (bahagia).7
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan menurut gambar Allah, mengatakan bahwa
seksualitas adalah ciptaan dan ada dalam rencana Allah, bukan akibat dosa manusia, oleh
sebab itu seks adalah sesuatu yang baik, kudus, mulia dan sesuatu yang berarti di dalam
hidup manusia.9 Allah menciptakan seks dan salah satu tujuan Allah menciptakannya
adalah untuk manusia dapat menikmati kebahagiaan dalam hubungan seksual yang
7
Henry A. Bowmann, Op.cit, hlm. 21.
8
T. Gilarso, Op.cit, hlm. 11.
9
Jhon Charles Wynn, Op.cit, hlm. 62-63.
mencakup seluruh keberadaan manusia, dan untuk tujuan inilah Allah menciptakan
pernikahan.
Dan pernikahan mempunyai salah satu tujuan adalah sebagai wadah yang dikehendaki
oleh Allah untuk pemenuhan kebutuhan seksual. Maka dapat dikatakan bahwa
pernikahan mempunyai tujuan untuk penyediaan dan pengaturan dimana suami-isteri
dapat melakukan dan menerima kepuasan atas kebutuhan hidup seksualitas mereka.
Pernikahan merupakan suatu sistem yang mengatur ekpresi seksual di tengah masyarakat,
dan memberikan stabilitas kepada kehidupan seksual.
Maka pernikahan adalah pengaturan dan wadah yang resmi dimana diijinkan melakukan
aktivitas seksual, sehingga hubungan tersebut mempunyai makna.10 Maka hubungan seks
di luar pernikahan (wadah yang resmi) merupakan penyimpangan dari rencana Allah dan
tidak mempunyai makna sebagaimana hubungan seks dalam pernikahan yang dinyatakan
dengan ‘satu daging’.
Setiap pasangan menginginkan keutuhan dalam membangun rumah tangga. Bagi umat
Kristen, perceraian atau pembubaran perkawinan tidak diijinkan mengingat ajaran Yesus
yang tertulis dalam Matius 19:1-10 bnd. Markus 10:1-9. Sebab apa yang telah
dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia. Jikapun ada alasan satu-satunya bagi
suami untuk mencerakan isterinya karena zinah, sesuai dengan konteks Injil Matius yaitu
dekat dengan ke-Jahudian dimana seseorang harus menjaga kesucian/kekudusan rumah
tangganya, justru hal tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk kawin lagi. Sebab siapa
yang berbuat demikian dia juga digolongkan berzinah. Jika pada zaman dahulu banyak
orang meminta surat cerai kepada Musa, itu dicap Yesus sebagai kesengsaraan hati (Mat.
19:7-9).
10
Nimkoft, Meyer Fancis, Hougthon, 1975, hlm. 54-56.
rumah tangga. Undang-undang Nomor 1 Tahun 197411 Tentang Perkawinan tidak
memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal 39 ayat (2) UU
Perkawinan serta penjelasannya secara kelas menyatakan bahwa perceraian dapat
dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan. Definisi perceraian
di Pengadilan Agama itu, dilihat dari putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan di UUP
kan dijelaskan, yaitu:
1. karena kematian
2. karena perceraian
3. karena putusnya pengadilan
Perceraian ialah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin
melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah untuk
dipisahkan.
Alkitab tidak pernah merestui adanya perceraian, sebab perceraian merupakan suatu
penghacuran terhadap janji setia pernikahan. Dalam janji nikah yang diucapkan
dihadapan Allah, mereka harus sehidup-semati, baik kaya maupun miskin, baik sehat
maupun sakit, baik senang maupun susah dan sebagainya. Namun kenyataannya di dunia
masih ada pasangan yang melanggar janji setia itu. Beberapa alasan umum yang sering
menyebabkan suatu perceraian antara lain:12
A. Ekonomi
11
http://www.pemantauperadilan.com
12
http://www.gii-usa.org, Saumiman Saud adalah rohaniwan & pemerhati yang berdomisili San
Jose, California. Penulis buku Mengenal Dia Lebih Dalam (Kairos , Jogjakarta ) dan Dinamika Kehidupan
Orang Percaya terbitan (Yasinta, Jakarta) beliau dapat dikontak via email : Saumiman@gmail.com
dihadapan Tuhan. Tidak jarang jarang kita melihat hanya masalah uang, perceraian
itupun terjadi. Apakah pernikahan itu hanya karena uang?
Memang kadang kala ada pria yang kelewatan, sering kita dengar para wanita mengeluh
sebab suaminya tidak mau bekerja, mabuk-mabukan lalu (maaf) main perempuan lagi.
Bagaimana pernikahan kami bisa bertahan, anak-anak butuh kasih-sayang, susu dan
makanan, uang sekolah dan sebagainya. kita mengalami kesulitan memaksa kelurga yang
demikian supaya bersatu, tetapi sebagai orang percaya kita harus yakin bahwa Tuhan
sanggup mengubah seseorang, maka tidak salahnya apabila kita mendoakan mereka;
bukan menyarankan supaya bercerai. Sebaliknya, mungkin Tuhan memberkati dengan
limpah, lalu keluarga itu menjadi kaya raya. Sang suami atau istri mulai sibuk dengan
pekerjaan dan kegiatan-kegiatan lainnya. Akhirnya juga bisa terjadi perceraian karena
perhatian semua dicurahakan kepada mencari uang. Itulah sebabnya ada orang yang
berpendapat "Biarlah miskin tetapi keluarga bahagia", namun bukankah alangkah
baiknya pendapat ini boleh diubah "biarlah kaya tetapi keluarga tetap bahagia juga".
B. Berselingkuh
Perselingkuhan sering terjadi mungkin karena kurangnya perhatian dari pasangan kita,
karena perpisahan yang cukup lama satu dengan yang lain, dengan sekretaris atau orang
sekantor dan sebagainya.. Biasanya karena sering terjadi komunikasi, baik secara
langsung atau melalui telepon atau surat-menyurat. Sebagai orang percaya seharusnya hal
ini tidak perlu terjadi apabila kita memberi batasan terlebih dahulu, misalnya kita harus
sadar bahwa "kita sudah menikah", lain halnya apabila masih berpacaran, masih banyak
pilihan. Tetapi apabila seseorang sudah menikah maka jangan sesekali memberi
kesempatan seperti itu. Demikian juga kita perlu jaga jarak terhadap wanita atau pria
yang sudah menikah. Kadang kala dengan cerita penuh humor, perhatian yang terlalu
mendalam, memberi hadiah dan sebagainya bisa membuat seseorang salah pengertian.
Harus dijaga jaraknya, supaya hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Sebab apabila
sudah terlanjur "cinta" maka sangat sakit dan sulit untuk dipisahkan. Bagi yang menikah
ingatlah keluarag anda di rumah, dan bagi yang belum menikah anda diminta jangan
merusak rumah tangga orang lain. Bukankah dunia tidak selebar daun kelor?
C. Tidak Cocok, Bertengkar terus
Sebenarnya pertengkaran atau cekcok itu wajar dalam suatu pernikahan, ada orang yang
mengatakan itulah "pelangi" atau "keindahan" sebuah pernikahan. Yang penting adalah
sebuah pertengkaran itu jangan lari dari masalah pokok yang terjadi. Sering kali yang
terjadi di dalam pertengkaran itu tidak kunjung habis, karena masing-masing mengorek-
ngorek kesalahan masa lalu. Mungkin kejadiaanya sudah 5 atau 10 tahun yang lalu, tetapi
diungkitkan lagi; padahal sesungguhnya persoalannya dimulai dengan hal yang kecil,
misalnya lupa mengunci pintu rumah, ketemu mantan pacar di gereja dan sebagainya.
Yang paling penting diperhatikan di dalam pertengkaran itu adalah hendaknya kita
mempunyai prinsip bahwa kejadian itu harus selesai sebelum matahari terbenam, sesuai
dengan prinsip Alkitab. Jangan pernah terucap kata "minta cerai" tehadap pasangannya,
karena ini sangat menyakitkan, apalagi sampai yang wanita membawa koper kembali ke
rumah orang tua. Syukur kalau sang suami mau jemput anda pulang, kalau sama-sama
gengsinya, maka akan timbul perceraian.
Seorang teman saya baru-baru ini pernah menceritakan tentang keluarganya, beliau
pertama menikah sering sekali bertengkar, karena selain pacarannya secara kilat dan ia
menemukan banyak perbedaan di antara mereka berdua. Namun ia harus belajar tahan
menghadapi kenyataan hidup ini. Sekarang anak mereka sudah dua dan hidup bahagia.
D. Penyiksaan
Masalah penyiksaan ini sering juga terungkap terhadap beberapa pasangan pernikahan
yang pada mulanya di luar dugaan mereka. Ada yang karena kelainan seks sehingga ia
akan merasa terangsang apabila degan menyakiti pasangannya, bila perlu sampai
tubuhnya terluka-luka. Ada yang sering memukul pasangannya apabila terjadi
pertengkaran dan tidak jarang mengluarkan benda-benda tajam untuk mengancam
pasangannya. Nah kalau ini terus-menerus terjadi bagaimana keluarga ini dapat bertahan?
Wajarnya memang keadaan seperti ini tidak boleh terjadi terhadap pasangan suami-istri,
tetapi kenyataannya ada keluarga yang menghadapi demikian.Saya pernah menemukan
seorang wanita yang sering dipukul oleh suami pada waktu muda, sekarang ia seperti
orang gila karena stress. Ia berusaha menahan, sabar, tetap mau bersatu, namun orang-
orang tidak mengerti dia, dan akhirnya ia seperti hampir gila. Bagi yang tidak tahan
maka, ia akan mengambil langkah terakhir yakni perceraian. Seandainya perceraian
merupakan alternatif terakhir, maka sebagai konsekwensinya ia harus tetap membujang
( lihat 1 Korintus 7:10-11 dan Matius 19:9). Seorang ahli psikologi menyarankan bahwa
kalau anda sampai menemukan pasangan yang demikian, hendaknya tindakan yang
diambil pertama kali bukan bercerai, namun bagaimana mengobati penyakit ini. Mungkin
caranya harus berpisah untuk "sementara waktu" atau bagaimana; namun disarankan
hendaknya dikonsultasikan dengan para ahli.
Sebenarnya masalah sakit penyakit bukan merupakan alasan bagi sesorang untuk
bercerai. Ada banyak pasangan yang penuh kesabaran merawat sang suami atau istri yang
karena sesuatu penyakit harus berbaring cukup lama di tempat tidur bahkan samapi akhir
riwayat hidupnya. Di sinilah letak kesetiaan seseorang terhadap pasangannya diuji.
Sesuai dengan janji pernikahkan maka sakit penyakit bahkan sampai cacat bukan
merupakan alasan seseorang untuk bercerai. Sebab bagi orang percaya kita harus
menerima kenyataan ini, walaupun pahit seperti empedu. Berdoalah minta kekeuatan dari
Tuhan, supaya ada kekuatan mengahadapi persoalan-persoalan yang sukar.
F. Perbedaan agama
Memang tidak semua pasangan sampai bercerai karena masalah perbedaan agama.
Banyak pasangan justru bisa membawa pasangannya kepada Kristus. Tetapi kita tidak
menutup kenyataan ada pasanagn tertentu yang mengalami kesulitan akibat perbedaan
agama. Terutama mereka yang sebagai istri. Sebelum menikah masih ada kelonggaran
boleh ikut kebaktian maupun pelayanan, tetapi setelah menikah mulailah dibatasi; sampai
akhirnya hadir ke kebaktianpun tidak boleh. Inilah yang bisa menyebabkan pasangan
suami-istri itu bubar.
Pandangan Alkitab mengenai perceraian sbb:13
1. Pertama-tama, apapun pandangan mengenai perceraian, adalah penting untuk
mengingat kata-kata Alkitab dalam Maleakhi 2:16a: “Sebab Aku membenci
perceraian, firman TUHAN, Allah Israel.” Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah
pernikahan sebagai komimen seumur hidup. “Demikianlah mereka bukan lagi dua,
melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia" (Matius 19:6). Meskipun demikian, Allah menyadari bahwa karena
pernikahan melibatkan dua manusia yang berdosa, perceraian akan terjadi.
2. Dalam Perjanjian Lama Tuhan menetapkan beberapa hukum untuk melindungi hak-
hak dari orang yang bercerai, khususnya wanita (Ulangan 24:1-4). Yesus
menunjukkan bahwa hukum-hukum ini diberikan karena ketegaran hati manusia,
bukan karena rencana Tuhan (Matius 19:8).
3. Kontroversi mengenai apakah perceraian dan pernikahan kembali diizinkan oleh
Alkitab berkisar pada kata-kata Yesus dalam Matius 5:32 dan 19:9. Frasa “kecuali
karena zinah” adalah satu-satunya alasan dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan
izin untuk perceraian dan pernikahan kembali. Banyak penafsir Alkitab yang
memahami “klausa pengecualian” ini sebagai merujuk pada “perzinahan” yang terjadi
pada masa “pertunangan.” Dalam tradisi Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap
sudah menikah walaupun mereka masih “bertunangan.” Percabulan dalam masa
“pertunangan” ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai.
4. Namun demikian, kata Bahasa Yunani yang diterjemahkan “perzinahan” bisa berarti
bermacam bentuk percabulan. Kata ini bisa berarti perzinahan, pelacuran dan
penyelewengan seks, dll. Yesus mungkin mengatakan bahwa perceraian
diperbolehkan kalau terjadi perzinahan. Hubungan seksual adalah merupakan bagian
integral dari ikatan penikahan, “keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24;
Matius 19:5; Efesus 5:31). Oleh sebab itu, memutuskan ikatan itu melalui hubungan
seks di luar pernikahan dapat menjadi alasan untuk bercerai. Jika demikian, dalam
ayat ini, Yesus juga memikirkan tentang pernikahan kembali. Frasa “kawin dengan
perempuan lain” (Matius 19:9) mengindikasikan bahwa perceraian dan pernikahan
kembali diizinkan dalam kerangka klausa pengecualian, bagaimanapun itu
13
http://www.ekadarmaputra.com
ditafsirkan. Penting untuk diperhatikan bahwa hanya pasangan yang tidak bersalah
yang diizinkan untuk menikah kembali. Meskipun tidak disebutkan dalam ayat tsb,
izin untuk menikah kembali setelah perceraian adalah kemurahan Tuhan kepada
pasangan yang tidak bersalah, bukan kepada pasangan yang berbuat zinah. Mungkin
saja ada contoh-contoh di mana “pihak yang bersalah” diizinkan untuk menikah
kembali, namun konsep tsb tidak ditemukan dalam ayat ini.
5. Sebagian orang memahami 1 Korintus 7:15 sebagai “pengecualian” lainnya, di mana
pernikahan kembali diizinkan jikalau pasangan yang belum percaya menceraikan
pasangan yang percaya. Namun demikian, konteks ayat ini tidak menyinggung soal
pernikahan kembali dan hanya mengatakan bahwa orang percaya tidak terikat dalam
pernikahan kalau pasangan yang belum percaya mau bercerai. Orang-orang lainnya
mengklaim bahwa perlakuan sewenang-wenang (terhadap pasangan yang satu atau
terhadap anak) adalah alasan yang sah untuk bercerai sekalipun Alkitab tidak
mencantumkan hal itu. Walaupun ini mungkin saja, namun tidaklah pantas untuk
menebak Firman Tuhan.
6. Kadang-kadang hal yang dilupakan dalam perdebatan mengenai klausa pengecualian
adalah kenyataan bahwa apapun jenis penyelewengan dalam pernikahan, itu hanyalah
merupakan izin untuk bercerai dan bukan keharusan untuk bercerai. Bahkan ketika
terjadi perzinahan, dengan anugrah Tuhan, pasangan yang satu dapat mengampuni
dan membangun kembali pernikahan mereka. Tuhan telah terlebih dahulu
mengampuni banyak dosa-dosa kita. Kita tentu dapat mengikuti teladanNya dan
mengampuni dosa perzinahan (Efesus 4:32). Namun, dalam banyak kasus, pasangan
yang bersalah tidak bertobat dan terus hidup dalam percabulan. Di sinilah
kemungkinanan Matius 19:9 dapat diterapkan. Demikian pula banyak yang terlalu
cepat menikah kembali setelah bercerai padahal Tuhan mungkin menghendaki
mereka untuk tetap melajang. Kadang-kadang Tuhan memanggil orang untuk
melajang supaya perhatian mereka tidak terbagi-bagi (1 Korintus 7:32-35). Menikah
kembali setelah bercerai mungkin merupakan pilihan dalam keadaan-keadaan
tertentu, namun tidak selalu merupakan satu-satunya pilihan.
7. Adalah menyedihkan bahwa tingkat perceraian di kalangan orang-orang yang
mengaku Kristen hampir sama tingginya dengan orang-orang yang tidak percaya.
Alkitab sangat jelas bahwa Allah membenci perceraian (Maleakhi 2:16) dan bahwa
pengampunan dan rekonsiliasi seharusnya menjadi tanda-tanda kehidupan orang
percaya (Lukas 11:4; Efesus 4:32).
8. Tuhan mengetahui bahwa perceraian dapat terjadi, bahkan di antara anak-anakNya.
Orang percaya yang bercerai dan/atau menikah kembali jangan merasa kurang
dikasihi oleh Tuhan bahkan sekalipun perceraian dan pernikahan kembali tidak
tercakup dalam kemungkinan klausa pengecualian dari Matius 19:9. Tuhan sering
kali menggunakan bahwa ketidaktaatan orang-orang Kristen untuk mencapai hal-hal
yang baik.
14
Dr. Christopher Wright : HIDUP SEBAGAI UMAT ALLAH; ETIKA
PERJANJIAN LAMA: Poligami dan Perceraian, BPK Gunung Mulia, 1995, Halaman :
180-183
Dengan demikian perceraian ditoleransi dalam batas-batas hukum. dibandingkan dengan
poligami, perceraian lebih jauh dari kehendak Allah.
1. Dalam Maleakhi 2:13-16 ada serangan yang tidak mengenal kompromi terhadap
perceraian, yang memuncak dengan kecaman yang terang-terangan: "Aku
membenci perceraian, firman Tuhan, Allah Israel". Tidak ada kecaman atas
poligami yang setajam atau dilengkapi dengan argumen teologis yang kuat seperti
itu, barangkali karena poligami hanya merupakan "perluasan" pernikahan yang
melampaui batasan monogami yang dimaksudkan Allah, tetapi perceraian sama
sekali menghancurkan pernikahan. Dalam kata Maleakhi, perceraian berarti
"menutup [diri] dengan kekerasan"". Poligami menggandakan hubungan tunggal
yang Allah kehendaki, sedangkan perceraian menghancurkan hubungan itu atau
mengandaikan hubungan itu sudah hancur.
Istilah perceraian berasal dari kata ‘cerai’ yang artinya pisah, tidak bersatu lagi, ibarat
nyawa yang sudah pisah dengan tubuhnya.15 Dalam ikatan perkawinan, bercerai berarti
berhenti berlaki-bini, sedangkan istilah menceraikan berarti menjadikan supaya tidak
berhubungan lagi. Tegasnya perceraian adalah peristiwa putusnya hubungan perkawinan
suami-isteri yang diatur menurut tata cara yang dilembagakan untuk mengatur hal itu.
Dengan adanya perceraian, maka terbuka pula peluang bagi suami-isteri untuk kawin
lagi.16 Dan aturan tersebut berbeda-beda tergantung pada adat dan agama yang dianut.
15
W. J. S. Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; PN Balai
Pustaka, 1984, hlm. 200.
16
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta; PT. Delta Pamungkas, 1977, hlm. 79.
17
H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung; Mandar
Masa, 1990, hlm. 160-162.
18
Praf Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta; PT. Intermasa, 1980, hlm.
42.
lainnya meninggalkan teipat tinggalnya hingga sapuluh tahun lamanya dengan tiada
ketentual lasibnya. Akhirnya perkawinan dapat dihapuskan dengan perceraian. Tegasnya
perceraian berarti penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah
satu pihak dalam perkawinan itu.
Banyak sekali dampak negatif perceraian yang bisa muncul pada anak seperti :
1. “Marah pada diri sendiri, marah pada lingkungan, jadi pembangkang, enggak
sabaran, impulsif,” ujar Clara.
2. Bisa jadi, anak akan merasa bersalah (guilty feeling) dan menganggap dirinyalah
biang keladi atau penyebab perceraian orangtuanya. “Anak merasakan, ‘Ah,
jangan-jangan saya yang membuat Papa-Mama bercerai,’ sehingga muncul rasa
marah campur rasa bersalah.” Apalagi jika dalam proses selanjutnya, terjadi
perebutan anak antara suami-istri. “Anak jadi bingung, pingin ikut ayah, tapi kok
akhirnya ikut sang ibu. Ia akan merasa menjadi biang keladi perebutan itu.”
3. Dampak lain adalah anak jadi apatis, menarik diri, atau sebaliknya, mungkin
kelihatan tidak terpengaruh oleh perceraian orangtuanya. “Orangtua harus harus
hati-hati melihat, apakah ini memang reaksi yang wajar, karena dia sudah secara
matang bisa menerima hal itu, atau hanya pura-pura.”
4. Anak juga bisa jadi tidak pe-de dan takut menjalin kedekatan (intimacy) dengan
lawan jenis. “Ke depannya, setelah dewasa, anak cenderung enggak berani untuk
commit pada suatu hubungan. Pacaran-putus, pacaran-putus.”
5. Self esteem anak juga bisa turun. “Jika self esteem-nya jadi sangat rendah dan
rasa bersalahnya sangat besar, anak bisa jadi akan dendam pada orangtuanya,
terlibat drugs dan alkohol, dan yang ekstrem, muncul pikiran untuk bunuh diri.”
6. Beban sebagai publik figur atau anak pasangan publik figur, seperti yang terjadi
pada anak-anak pasangan Dewi Yull-Ray Sahetapi, juga akan semakin besar.
“Orang biasa saja menghadapi kasus perceraian pasti terbebani, kok, apalagi
publik figur. Semua orang bisa lihat dan berkomentar macam-macam.”(Aksepsi)
7. Ada juga yang kemudian jadi merendahkan salah satu orangtua, tidak lagi bisa
percaya pada orangtua, atau sebaliknya, terlalu mengidentifikasi salah satu
orangtua. Misalnya, anak sangat kasihan pada salah satu pihak. “Apalagi jika anak
sudah besar dan punya keinginan untuk menyelamatkan perkawinan orangtuanya,
tapi tidak berhasil. Ia akan merasa sangat menyesal, merasakan bahwa
omongannya tak digubris, merasa diabaikan, dan merasa bukan bagian penting
dari kehidupan orangtuanya.”
Perasaan marah dan kecewa pada orangtua merupakan sesuatu yang wajar, seperti yang
dilontarkan Gisca pada sang ayah “Ini adalah proses dari apa yang sesungguhnya ada di
hati anak. Jadi, biarkan anak marah, daripada memendam kemarahan dan kemudian
mengekspresikannya ke tempat yang salah,” ujar Clara.
2
Ibid., hal 6
Konseling dan terapi jangka panjang, dibutuhkan oleh yang terluka berat secara
kejiwaan dan dilumpuhkan oleh kehilangan yang amat besar atau krisis yang terjadi
berkali-kali sehinga mereka tidak mampu lagi menggerakkan sumber penanggulangan
mereka tanpa bantuan penggembalaan.
Selain penggembalaan dan konseling itu merupakan tugas utama Pendeta dan semua
pelayanan khusus dalam gereja, maka tidak boleh diabaikan bahwa penggembalaan itu
janganlah dipahami hanya menjadi tugas Pendeta. Semua umat percaya harus juga
dilibatkan dalam mengimplementasikan imamat-am orang percaya, bahwa semua orang
percaya harus saling menggembalakan dalam komunitas persekutuan jemaat (bd. Gal.
6:2).
3
Baca juga tentang Zeesorge (Pastoral Care) dalam buku Pdt.DR.E.P.Gintings, Gembala
dan Penggembalaan bagian 1.1.
mengingatkan kita untuk berpikir secara lebih baik. Kemarahan terjadi bila dalam proses
perjalanan kehidupan itu terjadi ganjalan dalam mencapai sesuatu yang diinginkan.
Hambatan (bloking) tersebut mempengaruhi reaksi “fisik” maupun “emosi” yang
bersangkutan. Reaksi inilah yang bisa dalam bentuk disembunyikan tapi bisa juga secara
terbuka. Malah kemarahan adalah faktor yang sangat menentukan timbulnya berbagai
penyakit, kesusahan, inefficiency kerja, pertengkaran, frigidity, child’s defiance, serta
macam-macam gangguan lainnya.
H.Norman Wright4 membahas anatomi suatu krisis untuk memberikan pertolongan dan
pedoman bagi setiap anggota jemaat karena krisis selalu dihadapi dalam kehidupan
setiap orang. Apakah itu karena perkembangan hidup seseorang atau juga karena
peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan terjadi. Jalan hidup merupakan serentetan
krisis perkembangan yaitu hal-hal yang dapat diramalkan atau “developmental Crisis”
yang tidak diharapkan sebagian krisis merupakan proses yang berkembang dan yang
lainnya terjadi karena situasi. Didalam kedua kategori krisis inilah kehidupan sesorang
itu terus menerus harus menyeselaikan persoalan-persoalan. Setiap situasi baru yang
dihadapi seseorang selalu memberikan kesempatan untuk membangun cara baru dalam
membangun kemampuannya mengatasi krisis yang dihadapinya. Seseorang itu harus
mempergunakan “inner resources” (kemampuan yang ada didalam dirinya, yaitu nilai-
nilai yang telah tersosialisasi dalam dirinya). Kadang-kadang seseorang itu harus
berusaha berulangkali karena caranya yang pertama tidak berhasil tapi jika ia tekun ia
akan mendapatkan cara-cara untuk mengatasi masalahnya. Berdasarkan sosialisasi yang
sudah terjadi dan pengalaman yang sudah terjadi ada maka seseorang itu akan lebih
mudah menghadapi atau menyeselaikan masalah yang ia hadapi.
Tjaard & Anne Hommes5 dalam tullisannya menggutip buku Gerald Caplan, ”Principles
of Preventif Psychiatry” secara lebih rinci menjelaskan bahwa setiap orang terus-
menerus dihadapkan pada situasi yang menuntut kegiatan penanggulangan masalah,
4
H.Norman Wright, Konseling Krisis:membantu orang dalam Krisis dan sters,
Malang:Gandum Mas, 1993, hal 1-9.
5
Gerarld Caplan alam Tjaard & Anne Hommes, Konseling Krisis, Seri Pastoral 317-
Pusat Pastoral Yogyakarta 2000 No 10; hal 9-10.
suatu krisis terjadi pada diri seseorang kerika kegiatan penanggulangan masalah tidak
efektif. ”Inner resources” atau sumber penanggulangan masalah yang ada pada dirinya
tidak efektif, artinya stress yang berasal dari kebutuhannya tidak terpenuhi dibiarkan
terus meningkat tanpa pernah mereda. Tekanan itu berasal dari terhalangnya pemuasan
dri beberapa kebutuhan pisik dan kejiwaan. Dalam kaitan inilah Caplan melukiskan
empat tahap yang khas pada perkembangan krisis seseorang :
Ada dua aksi yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan pernikahan yang mengalami
krisis perceraian.
Pertama, mendengarkan masalah yang dihadapi dari versi suami dan juga versi
isteri di mana ke duanya tidak diizinkan untuk interupsi, tidak diizinkan untuk
marah. Rogers (1998) mengatakan bahwa suasana yang aman dan kondusip
menjadi syarat utama agar konseli dengan bebas dan terbuka tanpa rasa takut
mengungkapkan masalahnya. Tujuan dari langkah ini adalah agar terjadi self-
disclosure dan insight. Lewat penuturan masalah yang ada ke duanya melepaskan
beban emosional. Pelepasan beban emosional adalah curative. Di samping itu
penuturan dengan versi yang berbeda bisa menuntun ke insight baru. Perspektip
dari ke duanya menjadi semakin luas atas masalah yang ada. Versi masalah bukan
lagi dua tapi menjadi tiga. Pertama versi suami, ke dua versi isteri, dan ketiga versi
bersama. Insight itu menyembuhkan. Berhubung karena adanya kemungkinan tidak
semua diungkapkan karena berbagai faktor penulis melanjutkan dengan
memberikan angket terbuka untuk diisi dan ini merupakan langkah ke dua.
kedua, dalam pencarian akar masalah adalah pasutri diminta untuk mengisi angket
terbuka berikut ini. Tujuannya untuk kembali mendapatkan informasi dari alam
bawah sadar yang belum dikeluarkan lewat self-disclosure di atas sehingga
informasi tentang penyebab krisis, dampak krisis, dan apa harapan pasutri tentang
rumah tangga mereka semakin jelas.
3. Intervensi
Berdasarkan kasus di atas yang menjadi akar masalah ada beberapa yaitu:
tipe kepribadian suami yang dominan dan bahkan cenderung menggunakan
kekerasan. Hal di atas mengakibatkan luka batin pada isteri.
Kedua, Campur tangan pihak mertua dari ke dua belah pihak yang semakin
memperparah luka batin isteri dan melukai batin suami.
Perlawanan isteri adalah ungkapan kemarahan karena luka batin yang
dialami. Ketiga, tiadanya kesatuan hati untuk mencari alternatip tempat
beribadah karena ke duanya saling memaksakan kehendak masing-masing.
Untuk luka batin yang di alami oleh pasutri jalan ke luarnya adalah mereka saling
mengampuni. Pasutri sambil berpegangan tangan diminta untuk saling mengakui
kesalahan dan memohon pengampunan (Mzm. 32:1-4, Mark. 11:25, 1 Yoh. 1:9). Di
samping itu pasutri juga memanjatkan harapan dan diminta mengikrarkan janjinya
kepada Tuhan. Biasanya katarsis terjadi di sini. Sesuah itu biasanya keduanya
mengalami kelegaan atau lepas dari beban berat.
Pernikahan Kristen adalah persekutuan antara seorang laki-laki dan perempuan yang
dipersatukan, ditetapkan dan diberkati oleh Allah. Penetapan Allah dan pemberkatan
Allah atas pernikahan adalah merupakan ‘pengesahan Allah’ atas suatu pernikahan.
Penetapan dan pemberkatan Allah atas pernikahan dilaksanakan melalui gereja/hamba-
Nya. Maka ‘pemberkatan pernikahan yang dilaksanakan oleh gereja mempunyai makna
sebagai penetapan dan pengesahan pernikahan pernikahan di hadapan Allah.
Pernikahan Kristen adalah sebagai persekutuan rohani, maka harus dimulai dengan
kehadiran dan berkat Allah sebagai dasar kehidupan pernikahan/keluarga, sehingga
suami-isteri dapat mewujudkan pernikahan/keluarga sesuai dengan kehendak Allah.
Maka makna pemberkatan pernikahan adalah memulai persekutuan/kehidupan
pernikahan dengan berkat Tuhan, dimana kedua mempelai berdiri/berlutut untuk
memohon dan menerima ‘berkat Allah’ yang disampaikan oleh hamba Tuhan.
Pernikahan adalah merupakan wadah yang dikehendaki oleh Allah untuk menikmati
kebahagiaan hubungan seksual. Hubungan seksual dapat dilaksanakan dalam pernikahan
yang syah di hadapan Allah. Maka makna pemberkatan pernikahan adalah sebagai lisensi
bagi pasangan yang menikah untuk mewujudkan hubungan seksual yang merupakan
puncak kesatuan mereka yang dinyatakan dalam ‘satu daging’.
Riwayat penciptaan secara jelas berbicara tentang satu suami satu istri, "satu daging"
antara satu laki-laki dan satu perempuan (Kej. 2:24). Di samping itu, ada bagian-bagian
dalam tulisan-tulisan hikmat yang mendorong, atau setidak-tidaknya menganjurkan,
monogami yang kokoh (Ams. 5:15-20; 18:22; 31:10-31, Kidung Agung) dan ada
penggunaan gambaran pernikahan untuk melukiskan hubungan yang eksklusif antara
Allah dan Israel. Meskipun orang sadar bahwa dari segi teologis poligami adalah kurang
ideal, namun poligami ditoleransi di Israel sebagai suatu kebiasaan sosial. Tetapi ada
hukum-hukum yang membatasi dampak-dampaknya yang mungkin menghina pihak
perempuan22.
Pada mulanya Allah menciptakan manusia sesuai dengan gambar dan rupa Allah.
Pernyataan ini terkait dengan eksistensi Allah yang kekal sebagai pencipta. Allah
menciptakan laki-laki dan perempuan menurut gambar Allah, mengatakan bahwa
seksualitas adalah ciptaan dan ada dalam rencana Allah, bukan akibat dosa
manusia, oleh sebab itu seks adalah sesuatu yang baik, kudus, mulia dan sesuatu
yang berarti di dalam hidup manusia.23 Allah menciptakan seks dan salah satu
tujuan Allah menciptakannya adalah untuk manusia dapat menikmati kebahagiaan
dalam hubungan seksual yang mencakup seluruh keberadaan manusia, dan untuk
tujuan inilah Allah menciptakan pernikahan. Dan pernikahan mempunyai salah
satu tujuan adalah sebagai wadah yang dikehendaki oleh Allah untuk pemenuhan
kebutuhan seksual. Maka dapat dikatakan bahwa pernikahan mempunyai tujuan
untuk penyediaan dan pengaturan dimana suami-isteri dapat melakukan dan
menerima kepuasan atas kebutuhan hidup seksualitas mereka. Pernikahan
merupakan suatu sistem yang mengatur ekpresi seksual di tengah masyarakat, dan
memberikan stabilitas kepada kehidupan seksual. Maka pernikahan adalah
pengaturan dan wadah yang resmi dimana diijinkan melakukan aktivitas seksual,
sehingga hubungan tersebut mempunyai makna.24 Maka hubungan seks di luar
22
http://www.sarapanpagi.org
23
Jhon Charles Wynn, Op.cit, hlm. 62-63.
24
Nimkoft, Meyer Fancis, Hougthon, 1975, hlm. 54-56.
pernikahan (wadah yang resmi) merupakan penyimpangan dari rencana Allah dan
tidak mempunyai makna sebagaimana hubungan seks dalam pernikahan yang
dinyatakan dengan ‘satu daging’.
Dasar pernikahan Kristen sampai hari ini adalah Allah yang menetapkan dan
mempersatukan suami-isteri dalam suatu ikatan persekutuan hidup, dan apa yang sudah
dipersatukan oleh Allah tidak dapat dipisahkan oleh apa dan siapapun, sampai kematian
memisahkan, (Bnd. Mat. 19:1-12; Mrk. 10:2-9).
Maka dapat dikatakan bahwa makna pemberkatan dalam acara pernikahan adalah
merupakan penetapan dan peneguhan Allah atas suatu pernikahan, melalui hamba-Nya.
Dengan demikian, suatu pernikahan syah di hadapan Allah pada saat pemberkatan
pernikahan dilaksanakan. Maka jika suatu pernikahan tidak mendapatkan pemberkatan,
apakah pernikahan mereka merupakan pernikahan yang syah di hadapan Allah?
Dalam Kitab Kejadian 2:24 disebut tujuan perkawinan ialah relasional dan
procreational. Pertama Allah tidak merasa baik bila manusia itu sendirian. Ini berarti
perkawinan sebagai lembaga yang diciptakan Allah adalah relasional, memberi teman
25
Jhon Charles Wynn (ed), Sex, Family and Society in Theological Focus, New York,
Association Press, 1966, hlm. 76.
26
Agenda Bahasa Indonesia, Tata Kebaktian Pemberkatan Nikah (Perkawinan), hlm. 19.
penolong (hubungan satu dengan yang lain). Kedua, perkawinan itu untuk bertambah-
tambah (berkembang biak) atau procreational.
Pernikahan adalah pemberian Tuhan untuk seumur hidup untuk saling mengenal. Tujuan
relasional dan procreasional diberikan Tuhan dalam hidup perkawinan sebagai lembaga
yang ditetapkan Tuhan.27
Dalam bagian lain dari bukunya “Perjalanan Menuju Kekekalan,” ditegaskan bahwa:
“Allah yang menciptakan manusia dengan tujuan ilahi dan bahwa manusia diciptakan
untuk hidup selamanya dalam suatu hubungan kekal dengan Allah Yang Maha Kuasa di
surga.”3 Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kekekalan Allah memberi
manusia dalam dosa (Kej. 3), manusia menghadapi tantangan maut sebagai hukuman atas
ketidaktaatan kepada Allah (Rom. 6: 23; Kej. 3: 19). Menghadapi kematian menjadi
suatu pemahaman yang paling menakutkan dan suatu peristiwa perpisahan yang paling
menyedihkan. Berbagai pertanyaan muncul dalam benak setiap orang yang menghadapi
kematian. Seperti apa rasanya kematian dan apa yang akan terjadi setelah kematian? Apa
lagi jika pasien dalam kondisi terminal 4 menghadapi proses kematian yang disertai
mengharapkan jawaban dari pertanyaan di atas karena setiap manusia pada suatu saat
27
E.P. gintings, Gembala dan Penggembalaan, Kabanjahe:Abdi Karya, 2002, hlm. 72-
73; dan E.P. Gintings, Keluarga Kristen, Kabanjahe: Masa Baru, 1989, hlm. 19-30.
3
. Ibid., hlm.10
4
. Pasien dalam kondisi terminal adalah seorang yang terdiagnosa telah memasuki
stadium akhir dari
penyakitnya, yang secara medis tidak dapat lagi disembuhkan.
pasti akan berhadapan dengan kematian. Semua manusia dari setiap latar belakang
tentang hal tersebut. Kenyataannya usaha tersebut belum dapat menjawab pertanyaan
universal tentang kematian ini. Kematian tetap tinggal sebagai misteri bagi manusia,
menghadapinya.
Hal itu juga digambarkan oleh Tuhan Yesus dalam kemanusiaan-Nya ketika
berhadapan dengan maut di atas kayu salib. Matius mencatat bahwa Yesus berseru
dengan suara nyaring “Eli, Eli, lama sabakhtani? Yang artinya Allah-Ku, Allah-Ku
mengapa Engkau meninggalkan Aku?”5 Seruan Yesus ini mengandung makna yang
sangat dalam, bukan hanya suatu jeritan akibat penderitaan fisik karena menanggung
dosa manusia, tetapi juga menggambarkan penderitaan batin yang luar biasa karena
menghadapi keterpisahan dari Allah yang tidak dapat dielakkan. Hukuman dosa adalah
maut.6
suatu proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap mahluk hidup. Yang menjadi
masalah bukan pada kematian, tetapi proses kematian itu sendiri. Demikian ditegaskan
Gunawan yang dikutip oleh Siti Annisa dalam tulisan pengantar pada buku “Pasien
Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap mahluk
hidup dan meninggal dengan tenang adalah dambaan setiap insan. Namun
sering kali harapan dan dambaan tersebut tidak tercapai. Yang datang
adalah proses kematian yang panjang dan penuh penderitaan, sehingga
manusia tidak hanya takut karena eksistensinya yang tidak jelas setelah
5
.Matius 27: 46
6
. Roma 6: 23
meninggal, melainkan juga takut karena ia akan menderita dan kehilangan
jati diri serta arti hidupnya selama proses kematian.7
kedokteran dari tahun ketahun menghasilkan berbagai penemuan alat-alat kesehatan yang
canggih, telah dapat melampaui beberapa batas yang sebelumnya mengandaskan upaya
medis. Namun ilmu dan teknologi kedokteran pada akhirnya harus menerima kenyataan,
bahwa dalam kehidupan ada hal-hal yang tidak dapat dikontrol oleh manusia, seperti
Pada stadium terminal, profesi medis tidak memungkinkan lagi untuk melakukan
upaya kuratif (pengobatan) terhadap pasien. Yang masih dapat dilakukan adalah upaya
paliatif.9 Pada umumnya perawatan paliatif dapat menolong pasien menjalani sisa hidup
jelas masalah kematian dan sikap orang percaya dalam menghadapinya. Karena Allah di
dalam Kristus telah mengalahkan maut (I Kor. 15: 55-56), maka kematian bukan sebagai
musuh yang perlu ditakuti dan bukan pula titik akhir dari kehidupan, masih ada
7
. Siti Annisa Nuhonni, Zubairi Djoerban dan K. Bartens, Pasien terminal – Aspek
Medis dan Etis,
Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1996, hlm. vii
8
. Ibid., hlm. viii
9
. Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif guna meringankan beban penderita
sakit terutama yang
secara medis tidak dapat disembuhkan.
kelanjutan hidup manusia setelah ia mati. Kematian merupakan suatu sarana perhentian
kesadaran selama masa peralihan sampai kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali. 10
atau bagi orang percaya kematian merupakan titik transisi menuju semacam kehidupan
tentang penyakit pada stadium terminal. Dalam Perjanjian Lama Yesaya 38: 1-22
menguraikan bagaimana pengalaman Raja Hizkia ketika berada pada stadium terminal
menghadapi maut. Dalam keadaan yang demikian Allah melibatkan nabi Yesaya secara
langsung dalam penyelesaian penyakitnya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Yesaya
ditemukan berbagai macam penyakit pada stadium terminal, misalnya dalam Markus 5:
25-34 perempuan yang sakit pendarahan, Markus 3: 1-6 orang yang mati sebelah
tangannya dan Matius 9: 1-8 orang lumpuh. Yesus sangat peduli dengan mereka. Ia
hadir, menyapa dan menolong mereka. Bukan hanya Yesus, para rasul juga memberikan
Nas yang paling terkenal dalam Yakobus 5: 14 “apakah ada diantara kamu yang
sakit? Baiklah ia memanggil para penatua jemaat …” Adalah bukti bahwa pelayanan
pada orang sakit, khususnya dalam kondisi terminal tidak cukup hanya dari pihak medis
10
. Bruce Milnes, Mengenali Kebenaran, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996, hlm. 367-
368
11
. Donald Guthrie, Teologia Perjanjian Baru 3, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999,
hlm. 187
saja, tetapi sangat diharapkan peran yang lebih besar dari pihak gereja atau kaum
rohaniawan.
Menghadapi pasien dalam kondisi terminal di rumah sakit, peran tenaga medis
dengan memberikan obat-obat penenang atau dengan bantuan peralatan medis yang
canggih. Untuk mengerti atau memahami keadaan pasien, kebutuhan, pikiran dan
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh orang yang sakit tak terobati bisa
diperberat oleh ketidakberhasilan dokter dan perawat menghadapi reaksi
mereka sendiri terhadap kematian dan sekarat. Khususnya kurangnya
pengetahuan akan sifat penyakit mereka dan isolasi sosial atas banyak
pasien yang sakit tak terobati mungkin, setidak-tidaknya sebahagian,
merupakan kesulitan yang dimiliki staf rumah sakit dalam menangani dan
menghadapi kematian dan sekarat.13
yang dibutuhkan pasien dalam upaya perawatan paliatif, sangat diperlukan membantu
12
. Siti Annisa Nuhonni, op. cit., hlm. 1
13
. David Field, Pendampingan Orang Menjelang Ajalnya,Yogyakarta: Kanisius, 1994,
hlm. 21
dan menolong mereka yang menderita penyakit dalam kondisi terminal. Dengan
pendampingan pastoral maka perhatian khusus yang dibutuhkan pasien pada stadium
terminal dapat terpenuhi. Tetapi itu dapat terlaksana jika ada kerjasama antara tenaga
medis dengan rohaniawan (pastor). Kerjasama itu adalah agar gereja atau para
keadaannya, kebutuhan, pikiran dan perasaannya. Pelayanan ini merupakan suatu tanda
kasih dan kepedulian terhadap penderitaan pasien. Ia tidak merasa diabaikan atau
sering menjumpai pasien dalam stadium terminal di rumah sakit-rumah sakit, khususnya
di Sumatra Utara belum ditangani dengan baik oleh pihak rumah sakit (tenaga medis),
demikian juga kurang mendapat perhatian dari gereja atau para rohaniawan (pastor).
Gereja atau para rohaniawan mengabaikannya bahkan sudah merasa puas dengan
pelayanan mimbar atau pelayanan rutinitasnya. Sikap kurang peduli ini mengakibatkan
pasien berada dalam ketakutan, kegelisahan dan keputusasaan serta penderitaan batin
berharap mengetahui keadaan pasien, kebutuhan, pikiran dan perasaannya serta dapat
menolongnya agar dalam kondisi yang demikian itu ia dapat tenang dan siap menerima
kematiannya.
seluruh aspek dan eksistensi kehidupan, dimana manusia akhirnya berhadapan dengan
masalah adalah proses kematian itu sendiri, yakni jika pasien menghadapi proses
terminal jika dibiarkan hanya dirawat oleh tenaga medis saja maka pasien akan
terlantar dan menderita. Karena itu dibutuhkan pendampingan pastoral dari gereja
MASYARAKAT MAUPUN GEREJA Para pasien dalam kondisi terminal yang ada
di rumah sakit belum ditangani dengan baik oleh para tenaga medis, juga belum
mendapat perhatian dan kepedulian yang serius dari gereja atau para rohaniawan
(pastor).
Melihat luasnya ruang lingkup penelitian ini, maka penulis merasa perlu
menentukan batasan masalah agar tulisan ini tidak mengambang. Sehubungan dengan
sangat terbatas, juga hal-hal lainnya yang mendukung penelitian ini. Maka dalam
GKPI PORSEA KOTA kepada pasien dalam kondisi terminal karena ketidaktenangan
dan ketidaksiapan menerima kematian di beberapa Rumah Sakit di Medan dan Binjai.
Pertama, apakah hakekat perkawinan Kristen dan apakah yang dimaksud dengan
krisis perceraian?
Kedua, faktor-faktor apakah yang menyebabkan pernikahan mengalami krisis
perceraian?
Ketiga, bagaimana upaya konseling pastoral terhadap keluarga yang mengalami krisis
perceraian.
3. Apakah dampak penyakit dalam kondisi terminal terhadap psikis dan spiritual pasien?
PERCERAIAN DI PORSEA
6. Aspek-aspek ketakutan dan kegelisahan terhadap hal apa sehingga pasien mengalami
MENGALAMI PERCERAIAN
7. Sejauh manakah dampak pendampingan pastoral menaikkan tingkat ketenangan dan
PERCERAIAN
3. Untuk mengetahui dampak penyakit pada stadium terminal terhadap psikis dan
ROHANI
MENGALAMI PERCERAIAN
KEHIDUPANNYA
2. Memberikan masukan kepada Gereja, Lembaga Kristen, yang bergerak dalam dunia
medis, para rohaniawan, serta kaum awam yang terlibat dalam pelayanan terhadap
pasien dalam kondisi terminal. TERHADAP REALITA KEPADA PEREMPUAN
3. Agar gereja atau para rohaniawan menyadari pentingnya peranan mereka dalam
4. Agar pengelola rumah sakit jangan hanya memfasilitasi rumah sakitnya dengan
tenaga medis saja, tetapi juga perlu menyediakan konselor di bidang pastoral. Karena
itu perlu menjalin hubungan kerjasama dengan gereja atau para rohaniawan (pastor)
5. Menjadi suatu kesempatan bagi penulis untuk menerapkan ilmu yang sudah dipelajari
6. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya, untuk pengembangan ilmu teologi,
Metode penelitian jelas ada sangkut pautnya dengan pengumpulan data-data dari
lapangan penelitian. Maka dalam penelitian ini dipakai dua jenis metode penelitian,
yakni:
Pertama, Metode Deskriptif. Penelitian deskriptif mencakup pengumpulan data
untuk menguji hipotesis yang berkaitan dengan status subyek penelitian sekarang. 15
Penelitian ini berusaha mendeskripsi, yaitu memberi gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara
fenomena yang diselidiki.16 Deskripsi adalah bersifat menggambarkan apa adanya, tanpa
ciri metode diskriptif yang merupakan titik tolak penulis memilihnya sebagai metode
1. Memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang,
yang secara khusus memberikan tehnik untuk memperoleh jawaban atau informasi
penulis mendapat hal-hal yang tersirat (insight) mengenai sikap, kepercayaan, motivasi
dan perilaku target populasi. Informasi atau temuan-temuan yang diperoleh dan secara
khusus yang berhubungan dengan dampak penyakit dalam kondisi terminal terhadap
15
. Sumanto, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi Offset, 1990, hlm. 47
16
. Mohammad Nasir, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1998, hlm. 63
17
. Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, ,hlm. 228
18
. Hadi Nurlaela Ella, Aplikasi Metode Kualitatif Dalam Penelitian Kesehatan, Depok:
FKM UI, 2000,
hlm. 25
Ada dua alasan utama penulis yang mendasari penggunaan metode penelitian
kualitatif, yakni:
Kedua, alasan Praktis. Menjadi pertimbangan penggunaan jenis penelitian ini, yaitu
berlangsung.19
pasien dalam kondisi terminal. Wawancara yang dimaksud dalam penelitian ini
Jumlah sampel adalah pasien yang terdiagnosa terminal yang mengalami ketidaktenangan
dan ketidaksiapan dalam menerima kematiannya, yang ditemukan dari antara seluruh
pasien yang ada, yaitu mereka yang sedang dalam perawatan dan masih dapat
berkomunikasi. Penelitian ini dibatasi hanya diempat Rumah Sakit di Medan dan dua
Penulisan tesis ini akan dibagi menjadi lima bab. Dalam bab pertama penulis
penelitian, hipotesa penelitian, populasi dan sampel serta lokasi penelitian, metodologi
pasien pada stadium terminal, dampak penyakit dalam kondisi terminal terhadap psikis
menjelang kematian.
Bab ke-tiga memuat tentang metodologi penelitian yang di dalamnya mencakup:
prosedur penelitian lapangan: lokasi penelitian dan waktu penelitian, populasi dan
pendampingan pastoral, kebutuhan, pikiran dan perasaan pasien dalam kondisi terminal,
Kepustakaan