Anda di halaman 1dari 43

Pastoral Konseling

Terhadap Pernikahan Yang


Mengalami Krisis Perceraian
Dan Dampaknya Untuk
Menurunkan Tingkat Kemarahan, Stress Dan
Meningkatkan Makna Hidup Para Istri Yang Ditinggalkan
Suaminya Dalam Menghadapi Krisis Perceraian
Di GKPI Resort Porsea
PENDAHULUAN
Edit Abstraksi

Pernikahan adalah suatu lembaga persekutuan yang diciptakan dan ditetapkan oleh Allah
antar seorang laki-laki dengan seorang perempuan (heterosexual) yang didahului
tindakan, meninggalkan orang tua oleh karena cinta, dengan sepengetahuan masyarakat
(bersatu) dan mencapai kepenuhannya dalam satu daging (one flesh) dan dimahkotai
(diberkati) dengan penganugerahan anak.

Dalam pernikahan yang pertama di taman Eden, Allah mempunyai peranan dalam
menciptakan pernikahan yaitu Allah menyediakan pasangan hidup, mempersatukan dan
memberkati mereka (Kej. 2:16-23; Kej. 1:28). Kemudian Allah menyatakan dasar
pernikahan itu dengan mengatakan “oleh karena itu seorang laki-laki meninggalkan orang
tuanya dan bersatu dengan isterinya, dan mereka menjadi satu daging (Kej. 2:24).
Pengertian dan dasar pernikahan kemudian ditegaskan oleh Tuhan Yesus dengan
mengatakan: “Oleh karena itu, apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh
diceraikan oleh manusia (Mrk. 10:9).1 Dari tindakan Allah ‘mempersatukan’ mereka dan
dari dasar pernikahan yang ditetapkan oleh Allah, menyatakan bahwa pernikahan mereka
adalah pernikahan yang syah di hadapan Allah.

Dasar pernikahan Kristen sampai hari ini adalah Allah yang menetapkan dan
mempersatukan suami-isteri dalam suatu ikatan persekutuan hidup, dan apa yang sudah
dipersatukan oleh Allah tidak dapat dipisahkan oleh apa dan siapapun, sampai kematian
memisahkan, (Bnd. Mat. 19:1-12; Mrk. 10:2-9).

Pernikahan adalah suatu ikatan perjanjian yang eksklusif antara seorang laki-laki dan
perempuan yang ditetapkan/diteguhkan (ditahbiskan) oleh Allah. Pernikahan sebagi suatu
persektuan hidup dilandasi oleh persetujuan atau perjanjian bebas oleh karena cinta dan

1
Jhon Charles Wynn (ed), Sex, Family and Society in Theological Focus, New York,
Association Press, 1966, hlm. 76.
persetujuan kedua belah pihak harus dinyatakan secara jelas di hadapan saksi-saksi yang
syah2 yaitu dihadapan jemaat dan keluarga.

Pada saat acara pemberkatan pernikahan dilaksanakan kedua mempelai mengadakan


suatu perjanjian di hadapan Allah dan jemaat-Nya. Janji itu mempunyai makna, dimana
keduanya mengambil bagian dalam kehidupan satu dengan yang lain, baik suka dan duka
sampai kematian memisahkan mereka. Maka jika seorang dari pasangan itu melanggar
perjanjian tersebut, ia berdosa terhadap pernikahan itu, terhadap dirinya dan
pasangannya, karena mereka mengadakan perjanjian itu di hadapan Allah.3

Perjanjian dalam pernikahan adalah suatu perjanjian yang dibuat berdasarkan pola
perjanjian Allah dengan umat-Nya, sebagaimana juga dinyatakan dalam pernikahan
Hosea yang menggambarkan ‘perjanjian kasih’ Allah dengan umat-Nya. Maka makna
perjanjian dalam pernikahan juga mengatakan hakekat dari pernikahan sebagaimana yang
Allah maksudkan yaitu kesetiaan, monogamy dan persekutuan selama hidup. Pernikahan
adalah suatu perjanjian untuk setia kepada yang lain di dalam hubungan satu
daging.4karena pernikahan tidak hanya mempunyai dasar secara rohani, tetapi pernikahan
ada dan terjadi di tengah masyarakat dan mempunyai dimensi sosial, sehingga soal
pernikahan adalah punya hubungan dengan masyarakat dan negara5, juga karena seks di
dalam kehidupan manusia bukanlah hanya berhubungan dengan masalah tubuh, bukan
juga hanya urusan pribadi, tetapi tidak dapat disangkali bahwa seks pada manusia
mempunyai aplikasi sosial. Hal ini menuntut bahwa penyatuan dua pribadi dalam
pernikahan harus dilaksanakan di depan umum, dan itu akan menjadi perlindungan
bagipernikahan sebagai suatu lembaga persekutuan.6

2
T. Gilarso, Sj (ed), Membangun Keluarga Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1996,
hlm. 9.
Glenda Malmin, Wanita Engkau Dipanggil dan Diurapi, 2003, hlm. 209-210.
3

Failchhild Roy W, Christrian In Families, Curriculum Press, 1964, hlm. 57.


4
5
Jhon L. Thomas, Sj, Beginning Your Marriage, United Nates Buchely
Publications, 1982, hlm. 15.
6
Henry A. Bowman, A Christian Interpretation of Marriage, Philadelphia: The
Westminster Press, 1952, hlm. 28.
Pernikahan Kristen adalah merupakan suatu persekutuan rohani (religious marriage),
karena hubungan seks dalam pernikahan yang dinyatakan dalam dasar pernikahan ‘satu
daging’ (one flesh) mencakup seluruh keberadaan suami-isteri (tubuh, jiwa dan roh). Juga
mempunyai ‘religious oriented’ (tujuan rohani) yaitu untuk memuliakan Allah dan
hubungan suami-isteri sebagai cerminan hubungan Allah dengan umat-Nya dan
hubungan Kristus dengan gereja-Nya (bnd. Ef. 5:22-23).

Maka pernikahan sebagai persekutuan rohani dan yang mempunyai tujuan rohani,
peranan Allah sangat menetukan dalam kehidupan pernikahan Kristen. Allah tidak hanya
berperan untuk memberikan penolong atau pasangan yang sepadan, mempersatukan dan
menetapkan pernikahan tetapi Allah juga berperan dalam kelanjutan hidup pernikahan
tersebut. Oleh sebab itu, pernikahan Kristen harus dimula dengan iman kepada Allah,
kehadiran Allah untuk menguduskan, meneguhkan janji, menyempurnakan kasih (cinta)
dan memberkati pernikahan mereka, sehingga pernikahan mereka menjadi
pernikahan/keluarga yang diberkati oleh Tuhan (bahagia).7

Sebagaimana pernikahan yang pertama di taman Eden, demikian pula dalam


pernikahan Kristen, Allah yang mempersatukan dan memberkatinya melalui berkat yang
disampaikan oleh hamba Tuhan dengan penumpangan tangan. Pada saat pemberkatan
pernikahan dilaksanakan, kedua mempelai berdiri/berlutut di hadapan Allah, memohon
dan menerima berkat Allah atas pernikahan mereka dan berkat yang menolong mereka
untuk menghadapi pernikahan mereka sesuai dengan kehendak Allah.8

Allah menciptakan laki-laki dan perempuan menurut gambar Allah, mengatakan bahwa
seksualitas adalah ciptaan dan ada dalam rencana Allah, bukan akibat dosa manusia, oleh
sebab itu seks adalah sesuatu yang baik, kudus, mulia dan sesuatu yang berarti di dalam
hidup manusia.9 Allah menciptakan seks dan salah satu tujuan Allah menciptakannya
adalah untuk manusia dapat menikmati kebahagiaan dalam hubungan seksual yang

7
Henry A. Bowmann, Op.cit, hlm. 21.
8
T. Gilarso, Op.cit, hlm. 11.
9
Jhon Charles Wynn, Op.cit, hlm. 62-63.
mencakup seluruh keberadaan manusia, dan untuk tujuan inilah Allah menciptakan
pernikahan.

Dan pernikahan mempunyai salah satu tujuan adalah sebagai wadah yang dikehendaki
oleh Allah untuk pemenuhan kebutuhan seksual. Maka dapat dikatakan bahwa
pernikahan mempunyai tujuan untuk penyediaan dan pengaturan dimana suami-isteri
dapat melakukan dan menerima kepuasan atas kebutuhan hidup seksualitas mereka.
Pernikahan merupakan suatu sistem yang mengatur ekpresi seksual di tengah masyarakat,
dan memberikan stabilitas kepada kehidupan seksual.

Maka pernikahan adalah pengaturan dan wadah yang resmi dimana diijinkan melakukan
aktivitas seksual, sehingga hubungan tersebut mempunyai makna.10 Maka hubungan seks
di luar pernikahan (wadah yang resmi) merupakan penyimpangan dari rencana Allah dan
tidak mempunyai makna sebagaimana hubungan seks dalam pernikahan yang dinyatakan
dengan ‘satu daging’.

Setiap pasangan menginginkan keutuhan dalam membangun rumah tangga. Bagi umat
Kristen, perceraian atau pembubaran perkawinan tidak diijinkan mengingat ajaran Yesus
yang tertulis dalam Matius 19:1-10 bnd. Markus 10:1-9. Sebab apa yang telah
dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia. Jikapun ada alasan satu-satunya bagi
suami untuk mencerakan isterinya karena zinah, sesuai dengan konteks Injil Matius yaitu
dekat dengan ke-Jahudian dimana seseorang harus menjaga kesucian/kekudusan rumah
tangganya, justru hal tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk kawin lagi. Sebab siapa
yang berbuat demikian dia juga digolongkan berzinah. Jika pada zaman dahulu banyak
orang meminta surat cerai kepada Musa, itu dicap Yesus sebagai kesengsaraan hati (Mat.
19:7-9).

Namun realitas menunjukkan angka perceraian kian meningkat..Angka perceraian


semakin meningkat dari waktu ke waktu. Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak
baik suami maupun istri sudah sama-sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani

10
Nimkoft, Meyer Fancis, Hougthon, 1975, hlm. 54-56.
rumah tangga. Undang-undang Nomor 1 Tahun 197411 Tentang Perkawinan tidak
memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal 39 ayat (2) UU
Perkawinan serta penjelasannya secara kelas menyatakan bahwa perceraian dapat
dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan. Definisi perceraian
di Pengadilan Agama itu, dilihat dari putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan di UUP
kan dijelaskan, yaitu:
1. karena kematian
2. karena perceraian
3. karena putusnya pengadilan

Perceraian ialah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin
melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah untuk
dipisahkan.

Alkitab tidak pernah merestui adanya perceraian, sebab perceraian merupakan suatu
penghacuran terhadap janji setia pernikahan. Dalam janji nikah yang diucapkan
dihadapan Allah, mereka harus sehidup-semati, baik kaya maupun miskin, baik sehat
maupun sakit, baik senang maupun susah dan sebagainya. Namun kenyataannya di dunia
masih ada pasangan yang melanggar janji setia itu. Beberapa alasan umum yang sering
menyebabkan suatu perceraian antara lain:12

A. Ekonomi

Bukankah ketika pendeta memberkati pernikahan di gereja sudah diadakan perjanjian


bahkan seperti sumpah setia bahwa kedua mempelai itu akan setia sampai mati, baik
dikala kaya atau miskin, sehat ataupun sakit?. Namun kenyataannya ada banyak pasangan
yang menganggap janji di atas hanya sekadar janji biasa, padahal mereka sedang berjanji

11
http://www.pemantauperadilan.com

12
http://www.gii-usa.org, Saumiman Saud adalah rohaniwan & pemerhati yang berdomisili San
Jose, California. Penulis buku Mengenal Dia Lebih Dalam (Kairos , Jogjakarta ) dan Dinamika Kehidupan
Orang Percaya terbitan (Yasinta, Jakarta) beliau dapat dikontak via email : Saumiman@gmail.com 
dihadapan Tuhan. Tidak jarang jarang kita melihat hanya masalah uang, perceraian
itupun terjadi. Apakah pernikahan itu hanya karena uang?

Memang kadang kala ada pria yang kelewatan, sering kita dengar para wanita mengeluh
sebab suaminya tidak mau bekerja, mabuk-mabukan lalu (maaf) main perempuan lagi.
Bagaimana pernikahan kami bisa bertahan, anak-anak butuh kasih-sayang, susu dan
makanan, uang sekolah dan sebagainya. kita mengalami kesulitan memaksa kelurga yang
demikian supaya bersatu, tetapi sebagai orang percaya kita harus yakin bahwa Tuhan
sanggup mengubah seseorang, maka tidak salahnya apabila kita mendoakan mereka;
bukan menyarankan supaya bercerai. Sebaliknya, mungkin Tuhan memberkati dengan
limpah, lalu keluarga itu menjadi kaya raya. Sang suami atau istri mulai sibuk dengan
pekerjaan dan kegiatan-kegiatan lainnya. Akhirnya juga bisa terjadi perceraian karena
perhatian semua dicurahakan kepada mencari uang. Itulah sebabnya ada orang yang
berpendapat "Biarlah miskin tetapi keluarga bahagia", namun bukankah alangkah
baiknya pendapat ini boleh diubah "biarlah kaya tetapi keluarga tetap bahagia juga".

B. Berselingkuh

Perselingkuhan sering terjadi mungkin karena kurangnya perhatian dari pasangan kita,
karena perpisahan yang cukup lama satu dengan yang lain, dengan sekretaris atau orang
sekantor dan sebagainya.. Biasanya karena sering terjadi komunikasi, baik secara
langsung atau melalui telepon atau surat-menyurat. Sebagai orang percaya seharusnya hal
ini tidak perlu terjadi apabila kita memberi batasan terlebih dahulu, misalnya kita harus
sadar bahwa "kita sudah menikah", lain halnya apabila masih berpacaran, masih banyak
pilihan. Tetapi apabila seseorang sudah menikah maka jangan sesekali memberi
kesempatan seperti itu. Demikian juga kita perlu jaga jarak terhadap wanita atau pria
yang sudah menikah. Kadang kala dengan cerita penuh humor, perhatian yang terlalu
mendalam, memberi hadiah dan sebagainya bisa membuat seseorang salah pengertian.
Harus dijaga jaraknya, supaya hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Sebab apabila
sudah terlanjur "cinta" maka sangat sakit dan sulit untuk dipisahkan. Bagi yang menikah
ingatlah keluarag anda di rumah, dan bagi yang belum menikah anda diminta jangan
merusak rumah tangga orang lain. Bukankah dunia tidak selebar daun kelor?
C. Tidak Cocok, Bertengkar terus

Sebenarnya pertengkaran atau cekcok itu wajar dalam suatu pernikahan, ada orang yang
mengatakan itulah "pelangi" atau "keindahan" sebuah pernikahan. Yang penting adalah
sebuah pertengkaran itu jangan lari dari masalah pokok yang terjadi. Sering kali yang
terjadi di dalam pertengkaran itu tidak kunjung habis, karena masing-masing mengorek-
ngorek kesalahan masa lalu. Mungkin kejadiaanya sudah 5 atau 10 tahun yang lalu, tetapi
diungkitkan lagi; padahal sesungguhnya persoalannya dimulai dengan hal yang kecil,
misalnya lupa mengunci pintu rumah, ketemu mantan pacar di gereja dan sebagainya.
Yang paling penting diperhatikan di dalam pertengkaran itu adalah hendaknya kita
mempunyai prinsip bahwa kejadian itu harus selesai sebelum matahari terbenam, sesuai
dengan prinsip Alkitab. Jangan pernah terucap kata "minta cerai" tehadap pasangannya,
karena ini sangat menyakitkan, apalagi sampai yang wanita membawa koper kembali ke
rumah orang tua. Syukur kalau sang suami mau jemput anda pulang, kalau sama-sama
gengsinya, maka akan timbul perceraian.

Seorang teman saya baru-baru ini pernah menceritakan tentang keluarganya, beliau
pertama menikah sering sekali bertengkar, karena selain pacarannya secara kilat dan ia
menemukan banyak perbedaan di antara mereka berdua. Namun ia harus belajar tahan
menghadapi kenyataan hidup ini. Sekarang anak mereka sudah dua dan hidup bahagia.

D. Penyiksaan

Masalah penyiksaan ini sering juga terungkap terhadap beberapa pasangan pernikahan
yang pada mulanya di luar dugaan mereka. Ada yang karena kelainan seks sehingga ia
akan merasa terangsang apabila degan menyakiti pasangannya, bila perlu sampai
tubuhnya terluka-luka. Ada yang sering memukul pasangannya apabila terjadi
pertengkaran dan tidak jarang mengluarkan benda-benda tajam untuk mengancam
pasangannya. Nah kalau ini terus-menerus terjadi bagaimana keluarga ini dapat bertahan?
Wajarnya memang keadaan seperti ini tidak boleh terjadi terhadap pasangan suami-istri,
tetapi kenyataannya ada keluarga yang menghadapi demikian.Saya pernah menemukan
seorang wanita yang sering dipukul oleh suami pada waktu muda, sekarang ia seperti
orang gila karena stress. Ia berusaha menahan, sabar, tetap mau bersatu, namun orang-
orang tidak mengerti dia, dan akhirnya ia seperti hampir gila. Bagi yang tidak tahan
maka, ia akan mengambil langkah terakhir yakni perceraian. Seandainya perceraian
merupakan alternatif terakhir, maka sebagai konsekwensinya ia harus tetap membujang
( lihat 1 Korintus 7:10-11 dan Matius 19:9). Seorang ahli psikologi menyarankan bahwa
kalau anda sampai menemukan pasangan yang demikian, hendaknya tindakan yang
diambil pertama kali bukan bercerai, namun bagaimana mengobati penyakit ini. Mungkin
caranya harus berpisah untuk "sementara waktu" atau bagaimana; namun disarankan
hendaknya dikonsultasikan dengan para ahli.

E. Sakit / cacat tubuh

Sebenarnya masalah sakit penyakit bukan merupakan alasan bagi sesorang untuk
bercerai. Ada banyak pasangan yang penuh kesabaran merawat sang suami atau istri yang
karena sesuatu penyakit harus berbaring cukup lama di tempat tidur bahkan samapi akhir
riwayat hidupnya. Di sinilah letak kesetiaan seseorang terhadap pasangannya diuji.
Sesuai dengan janji pernikahkan maka sakit penyakit bahkan sampai cacat bukan
merupakan alasan seseorang untuk bercerai. Sebab bagi orang percaya kita harus
menerima kenyataan ini, walaupun pahit seperti empedu. Berdoalah minta kekeuatan dari
Tuhan, supaya ada kekuatan mengahadapi persoalan-persoalan yang sukar.

F. Perbedaan agama

Memang tidak semua pasangan sampai bercerai karena masalah perbedaan agama.
Banyak pasangan justru bisa membawa pasangannya kepada Kristus. Tetapi kita tidak
menutup kenyataan ada pasanagn tertentu yang mengalami kesulitan akibat perbedaan
agama. Terutama mereka yang sebagai istri. Sebelum menikah masih ada kelonggaran
boleh ikut kebaktian maupun pelayanan, tetapi setelah menikah mulailah dibatasi; sampai
akhirnya hadir ke kebaktianpun tidak boleh. Inilah yang bisa menyebabkan pasangan
suami-istri itu bubar.
Pandangan Alkitab mengenai perceraian sbb:13
1. Pertama-tama, apapun pandangan mengenai perceraian, adalah penting untuk
mengingat kata-kata Alkitab dalam Maleakhi 2:16a: “Sebab Aku membenci
perceraian, firman TUHAN, Allah Israel.” Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah
pernikahan sebagai komimen seumur hidup. “Demikianlah mereka bukan lagi dua,
melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia" (Matius 19:6). Meskipun demikian, Allah menyadari bahwa karena
pernikahan melibatkan dua manusia yang berdosa, perceraian akan terjadi.
2. Dalam Perjanjian Lama Tuhan menetapkan beberapa hukum untuk melindungi hak-
hak dari orang yang bercerai, khususnya wanita (Ulangan 24:1-4). Yesus
menunjukkan bahwa hukum-hukum ini diberikan karena ketegaran hati manusia,
bukan karena rencana Tuhan (Matius 19:8).
3. Kontroversi mengenai apakah perceraian dan pernikahan kembali diizinkan oleh
Alkitab berkisar pada kata-kata Yesus dalam Matius 5:32 dan 19:9. Frasa “kecuali
karena zinah” adalah satu-satunya alasan dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan
izin untuk perceraian dan pernikahan kembali. Banyak penafsir Alkitab yang
memahami “klausa pengecualian” ini sebagai merujuk pada “perzinahan” yang terjadi
pada masa “pertunangan.” Dalam tradisi Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap
sudah menikah walaupun mereka masih “bertunangan.” Percabulan dalam masa
“pertunangan” ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai.
4. Namun demikian, kata Bahasa Yunani yang diterjemahkan “perzinahan” bisa berarti
bermacam bentuk percabulan. Kata ini bisa berarti perzinahan, pelacuran dan
penyelewengan seks, dll. Yesus mungkin mengatakan bahwa perceraian
diperbolehkan kalau terjadi perzinahan. Hubungan seksual adalah merupakan bagian
integral dari ikatan penikahan, “keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24;
Matius 19:5; Efesus 5:31). Oleh sebab itu, memutuskan ikatan itu melalui hubungan
seks di luar pernikahan dapat menjadi alasan untuk bercerai. Jika demikian, dalam
ayat ini, Yesus juga memikirkan tentang pernikahan kembali. Frasa “kawin dengan
perempuan lain” (Matius 19:9) mengindikasikan bahwa perceraian dan pernikahan
kembali diizinkan dalam kerangka klausa pengecualian, bagaimanapun itu

13
http://www.ekadarmaputra.com
ditafsirkan. Penting untuk diperhatikan bahwa hanya pasangan yang tidak bersalah
yang diizinkan untuk menikah kembali. Meskipun tidak disebutkan dalam ayat tsb,
izin untuk menikah kembali setelah perceraian adalah kemurahan Tuhan kepada
pasangan yang tidak bersalah, bukan kepada pasangan yang berbuat zinah. Mungkin
saja ada contoh-contoh di mana “pihak yang bersalah” diizinkan untuk menikah
kembali, namun konsep tsb tidak ditemukan dalam ayat ini.
5. Sebagian orang memahami 1 Korintus 7:15 sebagai “pengecualian” lainnya, di mana
pernikahan kembali diizinkan jikalau pasangan yang belum percaya menceraikan
pasangan yang percaya. Namun demikian, konteks ayat ini tidak menyinggung soal
pernikahan kembali dan hanya mengatakan bahwa orang percaya tidak terikat dalam
pernikahan kalau pasangan yang belum percaya mau bercerai. Orang-orang lainnya
mengklaim bahwa perlakuan sewenang-wenang (terhadap pasangan yang satu atau
terhadap anak) adalah alasan yang sah untuk bercerai sekalipun Alkitab tidak
mencantumkan hal itu. Walaupun ini mungkin saja, namun tidaklah pantas untuk
menebak Firman Tuhan.
6. Kadang-kadang hal yang dilupakan dalam perdebatan mengenai klausa pengecualian
adalah kenyataan bahwa apapun jenis penyelewengan dalam pernikahan, itu hanyalah
merupakan izin untuk bercerai dan bukan keharusan untuk bercerai. Bahkan ketika
terjadi perzinahan, dengan anugrah Tuhan, pasangan yang satu dapat mengampuni
dan membangun kembali pernikahan mereka. Tuhan telah terlebih dahulu
mengampuni banyak dosa-dosa kita. Kita tentu dapat mengikuti teladanNya dan
mengampuni dosa perzinahan (Efesus 4:32). Namun, dalam banyak kasus, pasangan
yang bersalah tidak bertobat dan terus hidup dalam percabulan. Di sinilah
kemungkinanan Matius 19:9 dapat diterapkan. Demikian pula banyak yang terlalu
cepat menikah kembali setelah bercerai padahal Tuhan mungkin menghendaki
mereka untuk tetap melajang. Kadang-kadang Tuhan memanggil orang untuk
melajang supaya perhatian mereka tidak terbagi-bagi (1 Korintus 7:32-35). Menikah
kembali setelah bercerai mungkin merupakan pilihan dalam keadaan-keadaan
tertentu, namun tidak selalu merupakan satu-satunya pilihan.
7. Adalah menyedihkan bahwa tingkat perceraian di kalangan orang-orang yang
mengaku Kristen hampir sama tingginya dengan orang-orang yang tidak percaya.
Alkitab sangat jelas bahwa Allah membenci perceraian (Maleakhi 2:16) dan bahwa
pengampunan dan rekonsiliasi seharusnya menjadi tanda-tanda kehidupan orang
percaya (Lukas 11:4; Efesus 4:32).
8. Tuhan mengetahui bahwa perceraian dapat terjadi, bahkan di antara anak-anakNya.
Orang percaya yang bercerai dan/atau menikah kembali jangan merasa kurang
dikasihi oleh Tuhan bahkan sekalipun perceraian dan pernikahan kembali tidak
tercakup dalam kemungkinan klausa pengecualian dari Matius 19:9. Tuhan sering
kali menggunakan bahwa ketidaktaatan orang-orang Kristen untuk mencapai hal-hal
yang baik.

Hukum-hukum mengenai perceraian menyebutkan tentang keadaan yang tidak


mengijinkan adanya perceraian dan aturan-aturan mengenai hubungan kedua belah pihak
setelah perceraian terjadi. Dalam kedua kasus ini perlindungan terhadap perempuan 14
rupanya menjadi pokok utama hukum-hukum tersebut.
1. Dalam, Ulangan 22:28-29 ada larangan untuk menceraikan perempuan yang harus
dinikahi oleh laki-laki yang telah memeperkosanya.
2. Peraturan dalam Ulangan 24:1-4 menjadi pokok pertentangan antara Yesus dan
orang Farisi. Peraturan itu tidak "memerintahkan" perceraian tetapi mengandaikan
bahwa perceraian sudah terjadi. Dalam kasus ini, sang suami diminta menulis
surat cerai untuk melindungi istrinya. Jika tidak, ia atau suami barunya yang
kemudian dapat dituduh berzinah. Suami pertama dilarang mengambil kembali
perempuan apabila suaminya yang berikut menceraikannya atau meninggal dunia.
Dapat disebutkan lagi kasus perempuan tawanan yang hendak diceraikan dan
tidak boleh dijual sebagai budak, kalau suaminya tidak merasa puas. Dalam hal
itu perceraian tampaknya lebih baik daripada perbudakan.
3. Setidak-tidaknya martabat dan kemerdekaan masih dipertahankan, bila
dibandingkan dengan perbudakan (Ul 21:4).

14
Dr. Christopher Wright : HIDUP SEBAGAI UMAT ALLAH; ETIKA
PERJANJIAN LAMA: Poligami dan Perceraian, BPK Gunung Mulia, 1995, Halaman :
180-183
Dengan demikian perceraian ditoleransi dalam batas-batas hukum. dibandingkan dengan
poligami, perceraian lebih jauh dari kehendak Allah.
1. Dalam Maleakhi 2:13-16 ada serangan yang tidak mengenal kompromi terhadap
perceraian, yang memuncak dengan kecaman yang terang-terangan: "Aku
membenci perceraian, firman Tuhan, Allah Israel". Tidak ada kecaman atas
poligami yang setajam atau dilengkapi dengan argumen teologis yang kuat seperti
itu, barangkali karena poligami hanya merupakan "perluasan" pernikahan yang
melampaui batasan monogami yang dimaksudkan Allah, tetapi perceraian sama
sekali menghancurkan pernikahan. Dalam kata Maleakhi, perceraian berarti
"menutup [diri] dengan kekerasan"". Poligami menggandakan hubungan tunggal
yang Allah kehendaki, sedangkan perceraian menghancurkan hubungan itu atau
mengandaikan hubungan itu sudah hancur.

Istilah perceraian berasal dari kata ‘cerai’ yang artinya pisah, tidak bersatu lagi, ibarat
nyawa yang sudah pisah dengan tubuhnya.15 Dalam ikatan perkawinan, bercerai berarti
berhenti berlaki-bini, sedangkan istilah menceraikan berarti menjadikan supaya tidak
berhubungan lagi. Tegasnya perceraian adalah peristiwa putusnya hubungan perkawinan
suami-isteri yang diatur menurut tata cara yang dilembagakan untuk mengatur hal itu.
Dengan adanya perceraian, maka terbuka pula peluang bagi suami-isteri untuk kawin
lagi.16 Dan aturan tersebut berbeda-beda tergantung pada adat dan agama yang dianut.

Di Indonesia terdapat undang-undang perkawinan yang mencakup peraturan-peraturan


tentang perceraian. Pada dasarnya perceraian perkawinan dikenal dalam hukum adat atau
hukum agama. Ini dinyatakan dalam hukum perkawinan Indonesia.17 Dalam buku pokok-
pokok hukum, perkawinan hapus18 jikalau satu pihak meninggal. Selanjutnya ia hapus
juga, jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat ijin hakim, bilamana pihak yang

15
W. J. S. Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; PN Balai
Pustaka, 1984, hlm. 200.
16
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta; PT. Delta Pamungkas, 1977, hlm. 79.
17
H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung; Mandar
Masa, 1990, hlm. 160-162.
18
Praf Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta; PT. Intermasa, 1980, hlm.
42.
lainnya meninggalkan teipat tinggalnya hingga sapuluh tahun lamanya dengan tiada
ketentual lasibnya. Akhirnya perkawinan dapat dihapuskan dengan perceraian. Tegasnya
perceraian berarti penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah
satu pihak dalam perkawinan itu.

Sebenarnya undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan saja


antara ruami dan isteri, tetapi harus ada alasan yang sah. Adapun alasan-alasan (dasar)
untuk perceraian menurut hukum perkawinan Indonesia ialah:19
1. Zinah
2. Meningalkan tempat tinggal bersama dengan etikad buruk.
3. Dikenakan hukuman penjara lima tahun (lebih) karena dipersalahkan melakukan
kejahatan.
4. Penyakit berat atau membahayakan jiwa.

Sementara dalam undang-undang perkawinan menambahkan 2 alasan lagi yaitu:20


1. Salah satu pihak mendapat cacat badan dengan tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami-isteri.
2. Antara suami-isteri terus menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dampak Perceraian dituliskan sbb:21


1. “Efek negatif perceraian pada anak bisa berbeda-beda,” ujar Dra. Clara
Istiwidarum Krisanto, MA, CPBC dari Jagadnita Consulting, seraya melanjutkan,
“Tergantung banyak faktor, antara lain:
a. dari usia anak,
b. jenis kelamin,
c. kematangan kepribadian,
d. kesehatan psikologis,
e. serta ada-tidaknya dukungan dari orang dewasa lainnya.”
19
H. Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm. 162.
20
Undang-undang Perkawinan Pasal PP9 dalam Praf Subekti, Op.cit, hlm. 42.
21
Dra. Clara Istiwidarum Krisanto, MA, CPBC dari Jagadnita Consulting
2. Sebuah penelitian menunjukkan, anak perempuan lebih bisa meng-handle hal-hal
yang berkaitan dengan konsekuensi dari perceraian orangtuanya ketimbang anak
lelaki.
3. “Problem anak lelaki dari orangtua yang bercerai biasanya lebih serius, mereka
lebih terganggu. Mungkin ini karena lelaki lebih rasional, sementara perempuan
lebih mampu memendam perasaan.”
4. Pada anak yang masih terlalu kecil, memang agak susah menjelaskan perihal
perceraian, termasuk kenapa orangtua harus bercerai. “Soalnya, mereka belum
tahu konsep tentang cinta, tentang kenapa orangtua pisah tapi tetap mencintai
dirinya, dan sebagainya,” terang Clara.

Banyak sekali dampak negatif perceraian yang bisa muncul pada anak seperti :
1. “Marah pada diri sendiri, marah pada lingkungan, jadi pembangkang, enggak
sabaran, impulsif,” ujar Clara.
2. Bisa jadi, anak akan merasa bersalah (guilty feeling) dan menganggap dirinyalah
biang keladi atau penyebab perceraian orangtuanya. “Anak merasakan, ‘Ah,
jangan-jangan saya yang membuat Papa-Mama bercerai,’ sehingga muncul rasa
marah campur rasa bersalah.” Apalagi jika dalam proses selanjutnya, terjadi
perebutan anak antara suami-istri. “Anak jadi bingung, pingin ikut ayah, tapi kok
akhirnya ikut sang ibu. Ia akan merasa menjadi biang keladi perebutan itu.”
3. Dampak lain adalah anak jadi apatis, menarik diri, atau sebaliknya, mungkin
kelihatan tidak terpengaruh oleh perceraian orangtuanya. “Orangtua harus harus
hati-hati melihat, apakah ini memang reaksi yang wajar, karena dia sudah secara
matang bisa menerima hal itu, atau hanya pura-pura.”
4. Anak juga bisa jadi tidak pe-de dan takut menjalin kedekatan (intimacy) dengan
lawan jenis. “Ke depannya, setelah dewasa, anak cenderung enggak berani untuk
commit pada suatu hubungan. Pacaran-putus, pacaran-putus.”
5. Self esteem anak juga bisa turun. “Jika self esteem-nya jadi sangat rendah dan
rasa bersalahnya sangat besar, anak bisa jadi akan dendam pada orangtuanya,
terlibat drugs dan alkohol, dan yang ekstrem, muncul pikiran untuk bunuh diri.”
6. Beban sebagai publik figur atau anak pasangan publik figur, seperti yang terjadi
pada anak-anak pasangan Dewi Yull-Ray Sahetapi, juga akan semakin besar.
“Orang biasa saja menghadapi kasus perceraian pasti terbebani, kok, apalagi
publik figur. Semua orang bisa lihat dan berkomentar macam-macam.”(Aksepsi)
7. Ada juga yang kemudian jadi merendahkan salah satu orangtua, tidak lagi bisa
percaya pada orangtua, atau sebaliknya, terlalu mengidentifikasi salah satu
orangtua. Misalnya, anak sangat kasihan pada salah satu pihak. “Apalagi jika anak
sudah besar dan punya keinginan untuk menyelamatkan perkawinan orangtuanya,
tapi tidak berhasil. Ia akan merasa sangat menyesal, merasakan bahwa
omongannya tak digubris, merasa diabaikan, dan merasa bukan bagian penting
dari kehidupan orangtuanya.”
Perasaan marah dan kecewa pada orangtua merupakan sesuatu yang wajar, seperti yang
dilontarkan Gisca pada sang ayah “Ini adalah proses dari apa yang sesungguhnya ada di
hati anak. Jadi, biarkan anak marah, daripada memendam kemarahan dan kemudian
mengekspresikannya ke tempat yang salah,” ujar Clara.

Penggembalaan dan Konseling dilakukan dalam membantu anggota jemaat. Dalam


zaman modern sekarang ini semakin banyak orang yang merasakan ketidaktentraman
jiwanya, terutama dikota-kota dan di sentra-sentra ekonomi, karena dalam
lingkungannya setiap hari sering diganggu dengan ketiadaan norma-norma tempat dia
bisa berdiri dan sering jiwanya juga tidak kuat lagi. Sudah sepantasnyalah anggota
jemaat pergi ke Pendeta atau gembalanya. Untuk memperbaiki sebab dan akibat
psikologis dari krisis yang hebat ada tiga kemungkinan pertolongan2 yaitu:

Pelayanan penggembalaan umum adalah suatu pelayanan yang mencakup kehadiran,


mendengar, kehangatan, dan dukungan praktis.Konseling kritis jangka pendek, informal
dan formal, diperlukan oleh orang-orang yang dapat menggerakkan sumber
penanggulangan mereka lebih cepat dan mengatasi krisis mereka lebih konstruktif
dengan menerima suatu bantuan dalam hal menguji realitas dan dalam hal perencanaan
pendekatan yang efektif kepada situasi baru yang diciptakan oleh krisis itu.

2
Ibid., hal 6
Konseling dan terapi jangka panjang, dibutuhkan oleh yang terluka berat secara
kejiwaan dan dilumpuhkan oleh kehilangan yang amat besar atau krisis yang terjadi
berkali-kali sehinga mereka tidak mampu lagi menggerakkan sumber penanggulangan
mereka tanpa bantuan penggembalaan.

Penggembalaan (Pastoral Care, Zeelsorge) dan Counseling (Pastoral Counseling) adalah


“tugas utama” Pendeta berdasarkan keyakinan akan pilihan Allah sendiri untuk menjadi
gembala “Allah memperalat sejarah saya untuk menjadi gembala”. Seorang gembala
menjadi gembala hanya oleh karena pemilihan Allah.3 Pendeta atau gembala yang mau
memperdulikan, yang mau melayani orang lain melalui penggembalaan dan Konseling
bukanlah berarti ia ketinggalan zaman dari gembala yang hanya cari uang. “Carilah
dahulu Kerajaan Allah dan kebenaranNya maka semuanya akan ditambahkan
kepadamu” (Mat. 6:33).

Selain penggembalaan dan konseling itu merupakan tugas utama Pendeta dan semua
pelayanan khusus dalam gereja, maka tidak boleh diabaikan bahwa penggembalaan itu
janganlah dipahami hanya menjadi tugas Pendeta. Semua umat percaya harus juga
dilibatkan dalam mengimplementasikan imamat-am orang percaya, bahwa semua orang
percaya harus saling menggembalakan dalam komunitas persekutuan jemaat (bd. Gal.
6:2).

Masalah-masalah umum kehidupan manusia yang normal ialah : “kemarahan”


(“anger”), ”cemburu, iri hati” (“envy”), “kecemasan” (“anxiety”), ”rendah diri“
(“inferiority”), ”kesepian” (“loneliness”), ”rasa bersalah“ (“guilt”) dan “duka cita”
(“grief”). Dalam pelayanan pastoral, banyak lagi masalah lain. Kemarahan “Kemarahan”
adalah keadaan emosi yang bisa dialami setiap orang pada saat-saat tertentu yang bisa
dilakukan secara tersembunyi (terpendam) maupun terang-terangan, bisa dalam waktu
singkat maupun lama dalam bentuk kebencian, dendam, dsb. Kemarahan itu bisa merusak
(“destruktive”) bila dalam ekspresi emosi yang tak terkendali, tapi bisa juga membangun
(“contruktive”) bila mendorong kita untuk memeriksa dan memperbaiki kesalahan atau

3
Baca juga tentang Zeesorge (Pastoral Care) dalam buku Pdt.DR.E.P.Gintings, Gembala
dan Penggembalaan bagian 1.1.
mengingatkan kita untuk berpikir secara lebih baik. Kemarahan terjadi bila dalam proses
perjalanan kehidupan itu terjadi ganjalan dalam mencapai sesuatu yang diinginkan.
Hambatan (bloking) tersebut mempengaruhi reaksi “fisik” maupun “emosi” yang
bersangkutan. Reaksi inilah yang bisa dalam bentuk disembunyikan tapi bisa juga secara
terbuka. Malah kemarahan adalah faktor yang sangat menentukan timbulnya berbagai
penyakit, kesusahan, inefficiency kerja, pertengkaran, frigidity, child’s defiance, serta
macam-macam gangguan lainnya.

H.Norman Wright4 membahas anatomi suatu krisis untuk memberikan pertolongan dan
pedoman bagi setiap anggota jemaat karena krisis selalu dihadapi dalam kehidupan
setiap orang. Apakah itu karena perkembangan hidup seseorang atau juga karena
peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan terjadi. Jalan hidup merupakan serentetan
krisis perkembangan yaitu hal-hal yang dapat diramalkan atau “developmental Crisis”
yang tidak diharapkan sebagian krisis merupakan proses yang berkembang dan yang
lainnya terjadi karena situasi. Didalam kedua kategori krisis inilah kehidupan sesorang
itu terus menerus harus menyeselaikan persoalan-persoalan. Setiap situasi baru yang
dihadapi seseorang selalu memberikan kesempatan untuk membangun cara baru dalam
membangun kemampuannya mengatasi krisis yang dihadapinya. Seseorang itu harus
mempergunakan “inner resources” (kemampuan yang ada didalam dirinya, yaitu nilai-
nilai yang telah tersosialisasi dalam dirinya). Kadang-kadang seseorang itu harus
berusaha berulangkali karena caranya yang pertama tidak berhasil tapi jika ia tekun ia
akan mendapatkan cara-cara untuk mengatasi masalahnya. Berdasarkan sosialisasi yang
sudah terjadi dan pengalaman yang sudah terjadi ada maka seseorang itu akan lebih
mudah menghadapi atau menyeselaikan masalah yang ia hadapi.

Tjaard & Anne Hommes5 dalam tullisannya menggutip buku Gerald Caplan, ”Principles
of Preventif Psychiatry” secara lebih rinci menjelaskan bahwa setiap orang terus-
menerus dihadapkan pada situasi yang menuntut kegiatan penanggulangan masalah,

4
H.Norman Wright, Konseling Krisis:membantu orang dalam Krisis dan sters,
Malang:Gandum Mas, 1993, hal 1-9.
5
Gerarld Caplan alam Tjaard & Anne Hommes, Konseling Krisis, Seri Pastoral 317-
Pusat Pastoral Yogyakarta 2000 No 10; hal 9-10.
suatu krisis terjadi pada diri seseorang kerika kegiatan penanggulangan masalah tidak
efektif. ”Inner resources” atau sumber penanggulangan masalah yang ada pada dirinya
tidak efektif, artinya stress yang berasal dari kebutuhannya tidak terpenuhi dibiarkan
terus meningkat tanpa pernah mereda. Tekanan itu berasal dari terhalangnya pemuasan
dri beberapa kebutuhan pisik dan kejiwaan. Dalam kaitan inilah Caplan melukiskan
empat tahap yang khas pada perkembangan krisis seseorang :

Masalah sebagai “stimulus” (=perangsang dorongan) menyebabkan ketegangan dalam


organisme, yang menggerakkan tanggapan penanggulangan-masalah yang biasanya
digunakan orang.
Kegagalan dari tanggapan ini dan tidak terpuaskannya kebutuhan secara terus menerus,
menghasilkan gangguan bathin termasuk perasaan cemas, bingung, bersalah, tidak
berguna dan kekacauan fungsi hingga tingkat tertentu.

Ada dua aksi yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan pernikahan yang mengalami
krisis perceraian.

Pertama, aksi kultural atau aksi keluarga.


Jika akar masalah berada pada pribadi atau perilaku pasutri dan tidak ada hubungannya
dengan pihak orang tua maka intervensi keluarga/kultural terkadang juga efektip. Selama
keluarga tidak menjadi bagian dari masalah pasutri di atas dimungkinkan terjadinya aksi
kultural. Penulis banyak mendengar tentang efektivitas aksi kultural ini untuk
menyelematkan pernikahan. Aksi ini merupakan kekayaan yang perlu dipertahankan dan
semakin dikembangkan. Ketika pihak orang tua/mertua menjadi bagian dari masalah
pernikahan maka aksi ini menjadi tidak efektip dan untuk itu dibutuhkan aksi yang kedua.

Kedua, aksi pastoral.


Aksi pastoral yang diuraikan di bawah ini berangkat dari aksi pastoral yang penulis
lakukan kepada pasutri di atas. Fungsi pastoral sebagaimana disebutkan Clinebell
difokuskan pada rekonsiliasi. Ada berarapa langkah yang penulis lakukan yaitu:
1. Membuka jalur komunikasi dengan pasutri. Langkah pertama adalah membuka jalur
komunikasi dengan pasutri yang rumah tangganya mengalami krisis. Biasanya
apabila jalur komunikasi dibuka oleh pasutri yang bermasalah maka sikap
keterbukaan mereka jauh lebih besar ketimbang konselor yang membuka jalur
komunikasi. Setelah jalur komunikasi terbuka maka harus dipastikan dalam
percakapan pastoral yang dilakukan kemudian pasutri harus hadir ke duanya.
Konseling pastoral kepada pasutri yang mengalami krisis tapi hanya diikuti oleh
suami atau isteri saja tidak akan menghasilkan apa-apa karena tidak semuanya pihak
yang bermasalah duduk bersama membicarakan dan berusaha memecahkan masalah
bersama. Dalam hal ini pelayan pastoral harus tegas, hadir kedua-duanya atau tidak
sama sekali. Bukan berarti percakapan pastoral lalu berhenti bila hanya salah satu
yang hadir. Percakapan pastoral tetap berjalan tapi sifatnya bukan lagi konseling
pasutri tapi menjadi konseling pribadi.

2. Pencarian akar masalah yang dihadapi.


Langkah ke dua yang penulis lakukan adalah pencarian akar masalah yang
dihadapi atau menampung dan merumuskan masalah. Untuk ini ada beberapa hal
yang dapat dilakukan:

Pertama, mendengarkan masalah yang dihadapi dari versi suami dan juga versi
isteri di mana ke duanya tidak diizinkan untuk interupsi, tidak diizinkan untuk
marah. Rogers (1998) mengatakan bahwa suasana yang aman dan kondusip
menjadi syarat utama agar konseli dengan bebas dan terbuka tanpa rasa takut
mengungkapkan masalahnya. Tujuan dari langkah ini adalah agar terjadi self-
disclosure dan insight. Lewat penuturan masalah yang ada ke duanya melepaskan
beban emosional. Pelepasan beban emosional adalah curative. Di samping itu
penuturan dengan versi yang berbeda bisa menuntun ke insight baru. Perspektip
dari ke duanya menjadi semakin luas atas masalah yang ada. Versi masalah bukan
lagi dua tapi menjadi tiga. Pertama versi suami, ke dua versi isteri, dan ketiga versi
bersama. Insight itu menyembuhkan. Berhubung karena adanya kemungkinan tidak
semua diungkapkan karena berbagai faktor penulis melanjutkan dengan
memberikan angket terbuka untuk diisi dan ini merupakan langkah ke dua.

kedua, dalam pencarian akar masalah adalah pasutri diminta untuk mengisi angket
terbuka berikut ini. Tujuannya untuk kembali mendapatkan informasi dari alam
bawah sadar yang belum dikeluarkan lewat self-disclosure di atas sehingga
informasi tentang penyebab krisis, dampak krisis, dan apa harapan pasutri tentang
rumah tangga mereka semakin jelas.

Ketiga, langkah selanjutnya adalah menemukan tipologi pasutri. Ini penulis


lakukan sebagai bagian dari upaya pencarian akar masalah. Untuk ini biasanya
penulis memakai test enneagram. Test ini akan menunjukkan di tipologi mana
pasutri berada. Berbeda dengan teori Karen Horney yang membagi manusia atas 3
tipologi enneagram menggolongkan manusia atas 9 tipe yaitu tipe 1 sampai tipe 9
( Robert, R & Ebert, A, 1996). Sekalipun Enneagram menggolongkan manusia atas
9 tipologi namun demikian hasilnya tetap dapat diciutkan menjadi tiga tipologi ala
Karena Horney yaitu: tipe dominant, tipe pleaser atau menyenangkan, dan tipe
withdrawal atau menarik diri. Dari hasil test penulis sebagai konselor bisa
mendeteksi sejauh mana sumbangan tipologi pasutri atas krisis yang mereka
hadapi. Hasil test kemudian disampaikan kepada pasutri disertai penjelasan bagian
mana yang menyumbang pada krisis yang sedang dihadapi dan apa yang harus
dilakukan ke depan. Jika dihubungkan dengan kasus di atas maka tipe suami yang
dominan, tidak mau mengalah, kurang fleksibel, menjadi salah satu faktor ketidak
harmonisan pasutri ini.
Langkah terakhir adalah meminta pasutri untuk menulis hal-hal yang positip
tentang diri mereka dan juga tentang suami mereka sebanyak mungkin. Tambahan
lagi mereka diminta untuk menulis tentang hal-hal yang ingin suami/isteri
tinggalkan agar rumah tangga mereka menjadi harmonis. Tujuan dari self-
disclousre tentang diri sendiri dan tentang hal negatip yang harus ditinggalkan
adalah agar ke duanya menyadari bahwa mereka memiliki kekuatan dan
kemampuan untuk mengharmoniskan keluarga mereka kembali. Keduanya menjadi
sadar akan kekuatan yang perlu semakin ditingkatkan dan kelemahan yang harus
ditanggalkan.
Setelah akar masalah ditemukan langkah selanjutnya adalah pengatasan masalah
atau intervensi.

3. Intervensi
Berdasarkan kasus di atas yang menjadi akar masalah ada beberapa yaitu:
 tipe kepribadian suami yang dominan dan bahkan cenderung menggunakan
kekerasan. Hal di atas mengakibatkan luka batin pada isteri.
 Kedua, Campur tangan pihak mertua dari ke dua belah pihak yang semakin
memperparah luka batin isteri dan melukai batin suami.
 Perlawanan isteri adalah ungkapan kemarahan karena luka batin yang
dialami. Ketiga, tiadanya kesatuan hati untuk mencari alternatip tempat
beribadah karena ke duanya saling memaksakan kehendak masing-masing.
Untuk luka batin yang di alami oleh pasutri jalan ke luarnya adalah mereka saling
mengampuni. Pasutri sambil berpegangan tangan diminta untuk saling mengakui
kesalahan dan memohon pengampunan (Mzm. 32:1-4, Mark. 11:25, 1 Yoh. 1:9). Di
samping itu pasutri juga memanjatkan harapan dan diminta mengikrarkan janjinya
kepada Tuhan. Biasanya katarsis terjadi di sini. Sesuah itu biasanya keduanya
mengalami kelegaan atau lepas dari beban berat.

1.1. Latar Belakang Masalah

Pernikahan Kristen adalah persekutuan antara seorang laki-laki dan perempuan yang
dipersatukan, ditetapkan dan diberkati oleh Allah. Penetapan Allah dan pemberkatan
Allah atas pernikahan adalah merupakan ‘pengesahan Allah’ atas suatu pernikahan.
Penetapan dan pemberkatan Allah atas pernikahan dilaksanakan melalui gereja/hamba-
Nya. Maka ‘pemberkatan pernikahan yang dilaksanakan oleh gereja mempunyai makna
sebagai penetapan dan pengesahan pernikahan pernikahan di hadapan Allah.

Pernikahan Kristen sebagai ‘janji kasih’ kedua mempelai yang menggambarkan


perjanjian kasih antara Allah dengan umat-Nya, Kristus dengan gereja-Nya. Perjanjian
tersebut mempunyai makna keduanya masuk dalam suatu persekutuan seumur hidup
sampai kematian memisahkan. Perjanjian itu disyahkan dihadapan Allah dan jemaat-Nya
pada saat acara pemberkatan pernikahan dilaksanakan. Maka makna ‘pemberkatan
pernikahan’ adalah merupakan saat dimana janji kedua mempelai diteguhkan oleh Allah
di hadapan para saksi yaitu jemaat, sehingga pernikahan tersebut medapat dukungan dan
pengakuan sebagai suatu persekutuan/hubungan yang syah.

Pernikahan Kristen adalah sebagai persekutuan rohani, maka harus dimulai dengan
kehadiran dan berkat Allah sebagai dasar kehidupan pernikahan/keluarga, sehingga
suami-isteri dapat mewujudkan pernikahan/keluarga sesuai dengan kehendak Allah.
Maka makna pemberkatan pernikahan adalah memulai persekutuan/kehidupan
pernikahan dengan berkat Tuhan, dimana kedua mempelai berdiri/berlutut untuk
memohon dan menerima ‘berkat Allah’ yang disampaikan oleh hamba Tuhan.

Pernikahan adalah merupakan wadah yang dikehendaki oleh Allah untuk menikmati
kebahagiaan hubungan seksual. Hubungan seksual dapat dilaksanakan dalam pernikahan
yang syah di hadapan Allah. Maka makna pemberkatan pernikahan adalah sebagai lisensi
bagi pasangan yang menikah untuk mewujudkan hubungan seksual yang merupakan
puncak kesatuan mereka yang dinyatakan dalam ‘satu daging’.

Riwayat penciptaan secara jelas berbicara tentang satu suami satu istri, "satu daging"
antara satu laki-laki dan satu perempuan (Kej. 2:24). Di samping itu, ada bagian-bagian
dalam tulisan-tulisan hikmat yang mendorong, atau setidak-tidaknya menganjurkan,
monogami yang kokoh (Ams. 5:15-20; 18:22; 31:10-31, Kidung Agung) dan ada
penggunaan gambaran pernikahan untuk melukiskan hubungan yang eksklusif antara
Allah dan Israel. Meskipun orang sadar bahwa dari segi teologis poligami adalah kurang
ideal, namun poligami ditoleransi di Israel sebagai suatu kebiasaan sosial. Tetapi ada
hukum-hukum yang membatasi dampak-dampaknya yang mungkin menghina pihak
perempuan22.

Pada mulanya Allah menciptakan manusia sesuai dengan gambar dan rupa Allah.
Pernyataan ini terkait dengan eksistensi Allah yang kekal sebagai pencipta. Allah
menciptakan laki-laki dan perempuan menurut gambar Allah, mengatakan bahwa
seksualitas adalah ciptaan dan ada dalam rencana Allah, bukan akibat dosa
manusia, oleh sebab itu seks adalah sesuatu yang baik, kudus, mulia dan sesuatu
yang berarti di dalam hidup manusia.23 Allah menciptakan seks dan salah satu
tujuan Allah menciptakannya adalah untuk manusia dapat menikmati kebahagiaan
dalam hubungan seksual yang mencakup seluruh keberadaan manusia, dan untuk
tujuan inilah Allah menciptakan pernikahan. Dan pernikahan mempunyai salah
satu tujuan adalah sebagai wadah yang dikehendaki oleh Allah untuk pemenuhan
kebutuhan seksual. Maka dapat dikatakan bahwa pernikahan mempunyai tujuan
untuk penyediaan dan pengaturan dimana suami-isteri dapat melakukan dan
menerima kepuasan atas kebutuhan hidup seksualitas mereka. Pernikahan
merupakan suatu sistem yang mengatur ekpresi seksual di tengah masyarakat, dan
memberikan stabilitas kepada kehidupan seksual. Maka pernikahan adalah
pengaturan dan wadah yang resmi dimana diijinkan melakukan aktivitas seksual,
sehingga hubungan tersebut mempunyai makna.24 Maka hubungan seks di luar
22
http://www.sarapanpagi.org
23
Jhon Charles Wynn, Op.cit, hlm. 62-63.
24
Nimkoft, Meyer Fancis, Hougthon, 1975, hlm. 54-56.
pernikahan (wadah yang resmi) merupakan penyimpangan dari rencana Allah dan
tidak mempunyai makna sebagaimana hubungan seks dalam pernikahan yang
dinyatakan dengan ‘satu daging’.

MANUSIA DAN KEBAHAGIAAN Dalam pernikahan yang pertama di taman Eden,


Allah mempunyai peranan dalam menciptakan pernikahan yaitu Allah menyediakan
pasangan hidup, mempersatukan dan memberkati mereka (Kej. 2:16-23; Kej. 1:28).
Kemudian Allah menyatakan dasar pernikahan itu dengan mengatakan “oleh karena itu
seorang laki-laki meninggalkan orang tuanya dan bersatu dengan isterinya, dan mereka
menjadi satu daging (Kej. 2:24). Pengertian dan dasar pernikahan kemudian ditegaskan
oleh Tuhan Yesus dengan mengatakan: “Oleh karena itu, apa yang telah dipersatukan
oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia (Mrk. 10:9).25 Dari tindakan Allah
‘mempersatukan’ mereka dan dari dasar pernikahan yang ditetapkan oleh Allah,
menyatakan bahwa pernikahan mereka adalah pernikahan yang syah di hadapan Allah.
Maka dapat dikatakan bahwa acara pernikahan yang pertama, diatur dan
dilaksanakan oleh Allah sendiri, dan kata yang digunakan oleh Allah dalam pernikahan
tersebut adalah ‘perjanjian’ bnd. Ams. 2:7; Mal. 2:14, dimana dikatakan bahwa isteri
adalah teman dan isteri perjanjian.

Dasar pernikahan Kristen sampai hari ini adalah Allah yang menetapkan dan
mempersatukan suami-isteri dalam suatu ikatan persekutuan hidup, dan apa yang sudah
dipersatukan oleh Allah tidak dapat dipisahkan oleh apa dan siapapun, sampai kematian
memisahkan, (Bnd. Mat. 19:1-12; Mrk. 10:2-9).

Allah menetapkan dan mempersatukan suami-isteri melalui alat-Nya yaitu gereja-Nya


(hamba-Nya). Kita dapat bandingkan dengan liturgi pemberkatan pernikahan yang
dilakukan oleh gereja (hamba Tuhan) pada saat meneguhkan perjanjian yang telah
dinyatakan oleh kedua mempelai dengan ungkapan ‘sesungguhnya saya adalah hamba
Allah mengatakan kepadamu, apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh
dipisahkan oleh siapapun’.26

Maka dapat dikatakan bahwa makna pemberkatan dalam acara pernikahan adalah
merupakan penetapan dan peneguhan Allah atas suatu pernikahan, melalui hamba-Nya.
Dengan demikian, suatu pernikahan syah di hadapan Allah pada saat pemberkatan
pernikahan dilaksanakan. Maka jika suatu pernikahan tidak mendapatkan pemberkatan,
apakah pernikahan mereka merupakan pernikahan yang syah di hadapan Allah?

Dalam Kitab Kejadian 2:24 disebut tujuan perkawinan ialah relasional dan
procreational. Pertama Allah tidak merasa baik bila manusia itu sendirian. Ini berarti
perkawinan sebagai lembaga yang diciptakan Allah adalah relasional, memberi teman

25
Jhon Charles Wynn (ed), Sex, Family and Society in Theological Focus, New York,
Association Press, 1966, hlm. 76.
26
Agenda Bahasa Indonesia, Tata Kebaktian Pemberkatan Nikah (Perkawinan), hlm. 19.
penolong (hubungan satu dengan yang lain). Kedua, perkawinan itu untuk bertambah-
tambah (berkembang biak) atau procreational.

Pernikahan adalah pemberian Tuhan untuk seumur hidup untuk saling mengenal. Tujuan
relasional dan procreasional diberikan Tuhan dalam hidup perkawinan sebagai lembaga
yang ditetapkan Tuhan.27

Dalam bagian lain dari bukunya “Perjalanan Menuju Kekekalan,” ditegaskan bahwa:

“Allah yang menciptakan manusia dengan tujuan ilahi dan bahwa manusia diciptakan

untuk hidup selamanya dalam suatu hubungan kekal dengan Allah Yang Maha Kuasa di

surga.”3 Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kekekalan Allah memberi

dampak pada eksistensi manusia ciptaan-Nya berbeda dengan ciptaan lainnya.

MANUSIA DAN KEJATUHAN KEDALAM DOSA Pada peristiwa kejatuhan

manusia dalam dosa (Kej. 3), manusia menghadapi tantangan maut sebagai hukuman atas

ketidaktaatan kepada Allah (Rom. 6: 23; Kej. 3: 19). Menghadapi kematian menjadi

suatu pemahaman yang paling menakutkan dan suatu peristiwa perpisahan yang paling

menyedihkan. Berbagai pertanyaan muncul dalam benak setiap orang yang menghadapi

kematian. Seperti apa rasanya kematian dan apa yang akan terjadi setelah kematian? Apa

lagi jika pasien dalam kondisi terminal 4 menghadapi proses kematian yang disertai

penderitaan fisik dalam jangka waktu yang panjang.

PERTANYAAN HIDUP MANUSIA /REALITAS Semua manusia di dunia ini

mengharapkan jawaban dari pertanyaan di atas karena setiap manusia pada suatu saat
27
E.P. gintings, Gembala dan Penggembalaan, Kabanjahe:Abdi Karya, 2002, hlm. 72-
73; dan E.P. Gintings, Keluarga Kristen, Kabanjahe: Masa Baru, 1989, hlm. 19-30.
3
. Ibid., hlm.10
4
. Pasien dalam kondisi terminal adalah seorang yang terdiagnosa telah memasuki
stadium akhir dari
penyakitnya, yang secara medis tidak dapat lagi disembuhkan.
pasti akan berhadapan dengan kematian. Semua manusia dari setiap latar belakang

bangsa, budaya dan agama sepanjang sejarah mendiskusikan bahkan memperdebatkan

tentang hal tersebut. Kenyataannya usaha tersebut belum dapat menjawab pertanyaan

universal tentang kematian ini. Kematian tetap tinggal sebagai misteri bagi manusia,

sehingga mengakibatkan ketakutan, kegelisahan/kecemasan dan kesedihan dalam

menghadapinya.

Hal itu juga digambarkan oleh Tuhan Yesus dalam kemanusiaan-Nya ketika

berhadapan dengan maut di atas kayu salib. Matius mencatat bahwa Yesus berseru

dengan suara nyaring “Eli, Eli, lama sabakhtani? Yang artinya Allah-Ku, Allah-Ku

mengapa Engkau meninggalkan Aku?”5 Seruan Yesus ini mengandung makna yang

sangat dalam, bukan hanya suatu jeritan akibat penderitaan fisik karena menanggung

dosa manusia, tetapi juga menggambarkan penderitaan batin yang luar biasa karena

menghadapi keterpisahan dari Allah yang tidak dapat dielakkan. Hukuman dosa adalah

maut.6

PSIKOLOGI PERKAWINAN Dalam dunia medis, kematian dijelaskan sebagai

suatu proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap mahluk hidup. Yang menjadi

masalah bukan pada kematian, tetapi proses kematian itu sendiri. Demikian ditegaskan

Gunawan yang dikutip oleh Siti Annisa dalam tulisan pengantar pada buku “Pasien

terminal” sebagai berikut:

Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap mahluk
hidup dan meninggal dengan tenang adalah dambaan setiap insan. Namun
sering kali harapan dan dambaan tersebut tidak tercapai. Yang datang
adalah proses kematian yang panjang dan penuh penderitaan, sehingga
manusia tidak hanya takut karena eksistensinya yang tidak jelas setelah

5
.Matius 27: 46
6
. Roma 6: 23
meninggal, melainkan juga takut karena ia akan menderita dan kehilangan
jati diri serta arti hidupnya selama proses kematian.7

PERKEMBANGAN PSIKOLOGI MODEREN Perkembangan ilmu

kedokteran dari tahun ketahun menghasilkan berbagai penemuan alat-alat kesehatan yang

canggih, telah dapat melampaui beberapa batas yang sebelumnya mengandaskan upaya

medis. Namun ilmu dan teknologi kedokteran pada akhirnya harus menerima kenyataan,

bahwa dalam kehidupan ada hal-hal yang tidak dapat dikontrol oleh manusia, seperti

kematian. Gunawan melaporkan juga bahwa:

Dalam masyarakat kita umur harapan hidup semakin bertambah dan


kematian semakin banyak disebabkan oleh penyakit-penyakit degeneratif
seperti kanker dan stroke. Pasien dengan penyakit kronis seperti ini akan
melalui suatu proses pengobatan dan penyembuhan yang panjang. Jika
penyakit berlanjut maka suatu saat akan dicapai stadium terminal yang
ditandai oleh kelemahan umum, penderitaan, ketidakberdayaan, dan
akhirnya kematian.8

Pada stadium terminal, profesi medis tidak memungkinkan lagi untuk melakukan

upaya kuratif (pengobatan) terhadap pasien. Yang masih dapat dilakukan adalah upaya

paliatif.9 Pada umumnya perawatan paliatif dapat menolong pasien menjalani sisa hidup

dengan optimal, sambil mempersiapkannya untuk menghadapi kematian dengan tenang.

Alkitab sebagai sumber kebenaran yang diilhamkan Allah, menjawab dengan

jelas masalah kematian dan sikap orang percaya dalam menghadapinya. Karena Allah di

dalam Kristus telah mengalahkan maut (I Kor. 15: 55-56), maka kematian bukan sebagai

musuh yang perlu ditakuti dan bukan pula titik akhir dari kehidupan, masih ada

7
. Siti Annisa Nuhonni, Zubairi Djoerban dan K. Bartens, Pasien terminal – Aspek
Medis dan Etis,
Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1996, hlm. vii
8
. Ibid., hlm. viii
9
. Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif guna meringankan beban penderita
sakit terutama yang
secara medis tidak dapat disembuhkan.
kelanjutan hidup manusia setelah ia mati. Kematian merupakan suatu sarana perhentian

kesadaran selama masa peralihan sampai kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali. 10

atau bagi orang percaya kematian merupakan titik transisi menuju semacam kehidupan

yang lebih penuh.11

ALKITAB BERBICARA TENTANG PERCERAIAN Alkitab juga berbicara

tentang penyakit pada stadium terminal. Dalam Perjanjian Lama Yesaya 38: 1-22

menguraikan bagaimana pengalaman Raja Hizkia ketika berada pada stadium terminal

dari penyakitnya. Hizkia menyaksikan pengalaman penderitaan dan kegentarannya

menghadapi maut. Dalam keadaan yang demikian Allah melibatkan nabi Yesaya secara

langsung dalam penyelesaian penyakitnya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Yesaya

berperan sebagai gembala untuk mendampinginya.

PERJANJIAN BARU TENTANG PERCERAIAN Dalam Perjanjian Baru juga

ditemukan berbagai macam penyakit pada stadium terminal, misalnya dalam Markus 5:

25-34 perempuan yang sakit pendarahan, Markus 3: 1-6 orang yang mati sebelah

tangannya dan Matius 9: 1-8 orang lumpuh. Yesus sangat peduli dengan mereka. Ia

hadir, menyapa dan menolong mereka. Bukan hanya Yesus, para rasul juga memberikan

perhatian kepada orang sakit (Kis. 3: 2-10; 9: 32-34).

Nas yang paling terkenal dalam Yakobus 5: 14 “apakah ada diantara kamu yang

sakit? Baiklah ia memanggil para penatua jemaat …” Adalah bukti bahwa pelayanan

pada orang sakit, khususnya dalam kondisi terminal tidak cukup hanya dari pihak medis

10
. Bruce Milnes, Mengenali Kebenaran, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996, hlm. 367-
368
11
. Donald Guthrie, Teologia Perjanjian Baru 3, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999,
hlm. 187
saja, tetapi sangat diharapkan peran yang lebih besar dari pihak gereja atau kaum

rohaniawan.

Menghadapi pasien dalam kondisi terminal di rumah sakit, peran tenaga medis

khususnya di Indonesia hanyalah sebatas meringankan penderitaan fisik penderita saja,

dengan memberikan obat-obat penenang atau dengan bantuan peralatan medis yang

canggih. Untuk mengerti atau memahami keadaan pasien, kebutuhan, pikiran dan

perasaan, bahkan keselamatan jiwanya, profesi medis tidak mampu memenuhinya.

Sehubungan dengan itu Siti Annisa Nuhonni melaporkan:

Studi dari berbagai negara menunjukkan bahwa pasien yang menghadapi


ambang akhir hidupnya, justru belum tersentuh oleh sistem pelayanan
kesehatan yang semakin maju dan terintegrasi. Sebagian dokter
menyadari bahwa kelompok pasien ini belum memperoleh perawatan yang
optimal dan cenderung terlantar. Diduga, kondisi ini disebabkan oleh
perhatian, pemahaman dan pengetahuan para dokter belum memadai
untuk mengatasi berbagai masalah yang timbul pada pasien dengan
kondisi penyakit sangat lanjut, seperti mengatasi nyeri, mengatasi gejala
yang sulit dikendalikan, mengurangi rasa takut pasien, memberikan
bimbingan dan dukungan spiritual.12

David Field juga menegaskan demikian:

Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh orang yang sakit tak terobati bisa
diperberat oleh ketidakberhasilan dokter dan perawat menghadapi reaksi
mereka sendiri terhadap kematian dan sekarat. Khususnya kurangnya
pengetahuan akan sifat penyakit mereka dan isolasi sosial atas banyak
pasien yang sakit tak terobati mungkin, setidak-tidaknya sebahagian,
merupakan kesulitan yang dimiliki staf rumah sakit dalam menangani dan
menghadapi kematian dan sekarat.13

PENDAMPINGAN PASTORAL TERHADAP PEREMPUAN DALAM

KRISIS PERCERAIAN Pendampingan pastoral merupakan pelayanan pendampingan

yang dibutuhkan pasien dalam upaya perawatan paliatif, sangat diperlukan membantu

12
. Siti Annisa Nuhonni, op. cit., hlm. 1
13
. David Field, Pendampingan Orang Menjelang Ajalnya,Yogyakarta: Kanisius, 1994,
hlm. 21
dan menolong mereka yang menderita penyakit dalam kondisi terminal. Dengan

pendampingan pastoral maka perhatian khusus yang dibutuhkan pasien pada stadium

terminal dapat terpenuhi. Tetapi itu dapat terlaksana jika ada kerjasama antara tenaga

medis dengan rohaniawan (pastor). Kerjasama itu adalah agar gereja atau para

rohaniawan (pastor) diberikan kesempatan untuk melaksanakan perawatan paliatif di

bidang yang tidak bisa dijangkau lagi dengan pertolongan medis.

Di dalam menjalani sisa hidupnya, pasien dalam kondisi terminal sangat

membutuhkan pelayanan seorang konselor (rohaniawan) untuk mengerti atau memahami

keadaannya, kebutuhan, pikiran dan perasaannya. Pelayanan ini merupakan suatu tanda

kasih dan kepedulian terhadap penderitaan pasien. Ia tidak merasa diabaikan atau

disingkirkan pada saat ia tidak bisa lagi disembuhkan.

KENYATAAN DI PORSEA TENTANG PERCERAIAN Kenyataannya, kita

sering menjumpai pasien dalam stadium terminal di rumah sakit-rumah sakit, khususnya

di Sumatra Utara belum ditangani dengan baik oleh pihak rumah sakit (tenaga medis),

demikian juga kurang mendapat perhatian dari gereja atau para rohaniawan (pastor).

Gereja atau para rohaniawan mengabaikannya bahkan sudah merasa puas dengan

pelayanan mimbar atau pelayanan rutinitasnya. Sikap kurang peduli ini mengakibatkan

pasien berada dalam ketakutan, kegelisahan dan keputusasaan serta penderitaan batin

dalam menghadapi kematian.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis berkeinginan untuk menulis tentang

pendampingan pastoral kepada pasien dalam kondisi terminal, melaluinya penulis

berharap mengetahui keadaan pasien, kebutuhan, pikiran dan perasaannya serta dapat
menolongnya agar dalam kondisi yang demikian itu ia dapat tenang dan siap menerima

kematiannya.

1.2. Identifikasi Masalah

1. KEJATUHAN MANUSIA Kejatuhan manusia ke dalam dosa berdampak pada

seluruh aspek dan eksistensi kehidupan, dimana manusia akhirnya berhadapan dengan

penderitaan juga kematian.

2. Krisis PERCERAIAN Kematian menjadi misteri bagi manusia. Karena itu

menimbulkan ketakutan, kegelisahan / kecemasan, kesedihan dan keputusasaan,

terutama bagi pasien dalam kondisi terminal.

3. DUNIA PSIKOLOGI DAN PERCERAIAN Dalam dunia medis yang menjadi

masalah adalah proses kematian itu sendiri, yakni jika pasien menghadapi proses

kematian yang disertai kelemahan, penderitaan fisik, ketidakberdayaan dalam jangka

waktu yang panjang dan akhirnya kematian.

4. KESULITAN PEREMPUAN KORBAN PERCERAIAN Pasien dalam kondisi

terminal jika dibiarkan hanya dirawat oleh tenaga medis saja maka pasien akan

terlantar dan menderita. Karena itu dibutuhkan pendampingan pastoral dari gereja

atau para rohaniawan (pastor).

5. KLIEN MENDAPAT PERLAKUAN NEGARTIF BAIK OLEH

MASYARAKAT MAUPUN GEREJA Para pasien dalam kondisi terminal yang ada
di rumah sakit belum ditangani dengan baik oleh para tenaga medis, juga belum

mendapat perhatian dan kepedulian yang serius dari gereja atau para rohaniawan

(pastor).

6. PEREMPUAN KORBAN PERCERAIAN MENUNJUKKAN KESIAPAN

YANG MANTAP MENJALANI KEHIDUPANNYA Para pasien dalam kondisi

terminal berada dalam ketidaktenangan dan ketidaksiapan menerima kematiannya.

1.3. Pembatasan Masalah

Melihat luasnya ruang lingkup penelitian ini, maka penulis merasa perlu

menentukan batasan masalah agar tulisan ini tidak mengambang. Sehubungan dengan

itu Winarno Surakhmad menegaskan bahwa:

Pembatasan ini diperlukan bukan saja memudahkan atau


menyederhanakan masalah bagi penyelidik, tetapi juga untuk menetapkan
lebih dahulu segala sesuatu yang diperlukan untuk pemecahannya, tenaga,
kecekatan, waktu, ongkos dan lain yang timbul dari rencana tertentu itu.14

Berdasarkan hal di atas penulis menyadari bahwa kemampuan yang dimiliki

sangat terbatas, juga hal-hal lainnya yang mendukung penelitian ini. Maka dalam

penulisan ini penulis membatasi masalah dan memfokuskan masalah di sekitar

pendampingan pastoral KEPADA PEREMPUAN KORBAN PERCERAIAN DI

GKPI PORSEA KOTA kepada pasien dalam kondisi terminal karena ketidaktenangan

dan ketidaksiapan menerima kematian di beberapa Rumah Sakit di Medan dan Binjai.

1.4. Perumusan Masalah


14
. Winarno Surakhmad, Pengantar Pendidikan Prosedur dan Strategi, Bandung:
Tarsito1985, hlm. 39
Berkenaan dengan latar belakang masalah, maka penulis mengangkat beberapa

pertanyaan bersangkutan dengan penelitian sebagai berikut:

 Pertama, apakah hakekat perkawinan Kristen dan apakah yang dimaksud dengan
krisis perceraian?
 Kedua, faktor-faktor apakah yang menyebabkan pernikahan mengalami krisis
perceraian?
 Ketiga, bagaimana upaya konseling pastoral terhadap keluarga yang mengalami krisis
perceraian.

1. Apa yang dimaksud dengan penyakit dalam kondisi terminal?PERCERAIAN

2. Bagaimana reaksi pasien pada stadium terminal ketika terdiagnosa terminal?

KONDISI UMUM PEREMPUAN KORBAN PERCERAIAN DI PORSEA

3. Apakah dampak penyakit dalam kondisi terminal terhadap psikis dan spiritual pasien?

DAMPAK PERCERAIAN TERHADAP PSIKIS DAN SPRITUAL KLIEN

4. Bagaimana tingkat ketenangan dan kesiapan pasien menerima kematiannya sebelum

dan sesudah pendampingan pastoral? kemarahan, MAKNA HIDUP DAN HIDUP

ROAHANI PEREMPUAN KORBAN PERCERAIAN

5. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi ketidaktenangan dan ketidaksiapan pasien

dalam menerima kematiannya? FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN

PERCERAIAN DALAM RUMAH TANGGA PEREMPUAN KORBAN

PERCERAIAN DI PORSEA

6. Aspek-aspek ketakutan dan kegelisahan terhadap hal apa sehingga pasien mengalami

ketidaktenangan dan ketidaksiapan menerima kematiannya? ASPEK- ASPEK

PSIKOLOGI TERHADAP HAL-HAL APA SEHINGGA KLIENT

MENGALAMI PERCERAIAN
7. Sejauh manakah dampak pendampingan pastoral menaikkan tingkat ketenangan dan

kesiapan pasien menerima kematiannya? MENURUNKAN TINGKAT STRESS,

DAN MENINGKATKAN MAKNA HIDUP DAN HIDUP ROHANI.

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah:

1. Untuk menemukan pengertian tentang penyakit dalam kondisi terminal.

PERCERAIAN

2. Untuk mengetahui reaksi pasien ketika terdiagnosa terminal, sehingga dapat

menentukan cara penanganan yang tepat terhadapnya. REAKSI PEREMPUAN

KORBAN PERCERAIAN DI GKPI RESORT PORSEA SEHINGGA DAPAT

MENENTUKAN PELAYANAN YANG TEPAT KEPADANYA.

3. Untuk mengetahui dampak penyakit pada stadium terminal terhadap psikis dan

spiritual pasien. DAMPAK PERCERAIAN

4. Untuk mengetahui tingkat ketenangan dan kesiapan pasien menerima kematiannnya

sebelum dan sesudah pendampingan pastoral. MAKNA HIDUP DAN HIDUP

ROHANI

5. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaktenangan dan

ketidaksiapan pasien pada stadium terminal menerima kematiannya. FAKTOR-

FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN PEREMPUAN KORBAN

PERCERAIAN DI GKPI PORSEA

6. Untuk mengetahui aspek-aspek ketakutan dan kegelisahan pasien sehingga

mengalami ketidaktenangan dan ketidaksiapan menerima kematiannya. ASPEK-


ASPEK PSIKOLOGI TERHADAP HAL-HAL APA SEHINGGA KLIENT

MENGALAMI PERCERAIAN

7. Untuk mengetahui sejauh mana dampak pendampingan pastoral dalam menaikkan

tingkat ketenangan dan kesiapan pasien menerima kematiannnya. ? DAMPAK

PENDAMPINGAN MENURUNKAN TINGKAT STRESS, DAN

MENINGKATKAN MAKNA HIDUP DAN HIDUP ROHANI.

1.6. Hipotesa Penelitian

Jika pendampingan pastoral dilakukan terhadap pasien dalam kondisi terminal,

maka ia akan tenang dan siap menerima kematiaannya. PEREMPUAN KORBAN

PERCERAIAN MAKA, IA AKAN TABAH DAN KUAT MENJALANI

KEHIDUPANNYA

1.7. Manfaat Penelitian

Penulis berharap agar penelitian ini bermanfaat untuk:

1. Memberikan kontribusi dalam peningkatan jumlah literatur Kristen, khususnya

tentang pelayanan pendampingan pastoral kepada pasien dalam kondisi terminal.

KEPADA PEREMPUAN KORBAN PERCERAIAN DI GKPI PORSEA

2. Memberikan masukan kepada Gereja, Lembaga Kristen, yang bergerak dalam dunia

medis, para rohaniawan, serta kaum awam yang terlibat dalam pelayanan terhadap
pasien dalam kondisi terminal. TERHADAP REALITA KEPADA PEREMPUAN

KORBAN PERCERAIAN DI GKPI PORSEA

3. Agar gereja atau para rohaniawan menyadari pentingnya peranan mereka dalam

melayani pasien pada stadium terminal di rumah sakit.MEMBERIKAN

PELAYANAN KHUSUS KEPADA PEREMPUAN KORBAN PERCERAIAN

4. Agar pengelola rumah sakit jangan hanya memfasilitasi rumah sakitnya dengan

tenaga medis saja, tetapi juga perlu menyediakan konselor di bidang pastoral. Karena

itu perlu menjalin hubungan kerjasama dengan gereja atau para rohaniawan (pastor)

yang mampu mendampingi pasien, khususnya pasien dalam kondisi terminal.

LEMBAGA MASYARAKAT DALAM HAL INI STM/TUA-TUA DAERAH

UNTUK MEMBERIKAN PENGHARGAAN DAN PERAN KEPADA

PEREMPUAN KORBAN PERCERAIAN DI GKPI PORSEA.

5. Menjadi suatu kesempatan bagi penulis untuk menerapkan ilmu yang sudah dipelajari

selama di bangku kuliah, dalam bentuk tulisan ilmiah. OK

6. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya, untuk pengembangan ilmu teologi,

khususnya teologia praktis di bidang pastoral. OK

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian jelas ada sangkut pautnya dengan pengumpulan data-data dari

lapangan penelitian. Maka dalam penelitian ini dipakai dua jenis metode penelitian,

yakni:
Pertama, Metode Deskriptif. Penelitian deskriptif mencakup pengumpulan data

untuk menguji hipotesis yang berkaitan dengan status subyek penelitian sekarang. 15

Penelitian ini berusaha mendeskripsi, yaitu memberi gambaran atau lukisan secara

sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara

fenomena yang diselidiki.16 Deskripsi adalah bersifat menggambarkan apa adanya, tanpa

mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum. 17 Adapun sebagai ciri-

ciri metode diskriptif yang merupakan titik tolak penulis memilihnya sebagai metode

dalam penelitian ini adalah:

1. Memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang,

pada masalah-masalah yang aktual.

2. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa.

Kedua, Metode Kualitatif. Penelitian kualitatif adalah sejenis penelitian formatif

yang secara khusus memberikan tehnik untuk memperoleh jawaban atau informasi

mendalam tentang pendapat dan perasaan seseorang.18 Penelitian ini memungkinkan

penulis mendapat hal-hal yang tersirat (insight) mengenai sikap, kepercayaan, motivasi

dan perilaku target populasi. Informasi atau temuan-temuan yang diperoleh dan secara

khusus yang berhubungan dengan dampak penyakit dalam kondisi terminal terhadap

ketidaktenangan dan ketidaksiapan penderita menerima kematiannya akan dipakai

sebagai acuan di dalam pendampingan pastoral bagi yang mengalaminya.

15
. Sumanto, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi Offset, 1990, hlm. 47
16
. Mohammad Nasir, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1998, hlm. 63
17
. Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, ,hlm. 228
18
. Hadi Nurlaela Ella, Aplikasi Metode Kualitatif Dalam Penelitian Kesehatan, Depok:
FKM UI, 2000,
hlm. 25
Ada dua alasan utama penulis yang mendasari penggunaan metode penelitian

kualitatif, yakni:

Pertama, alasan Konseptual. Penelitian kualitatif memmberikan informasi yang

mendalam sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih besar dibandingkan

dengan tehnik kuantitatif.

Kedua, alasan Praktis. Menjadi pertimbangan penggunaan jenis penelitian ini, yaitu

biaya murah, waktu singkat, rancangan dapat dimodifikasi selama penelitian

berlangsung.19

1.8.2. Tehnik Pengumpulan Data

1. Liberary Research (penelitian kepustakaan) yaitu mengumpulkan data informasi

dari berbagai literatur, jurnal-jurnal penelitian maupun artikel-artikel yang

diharapkan menopang pengembangan tesis ini.

2. Field Research (penelitian lapangan). Dalam penelitian di lapangan penulis akan

mengumpulkan data-data dengan pengamatan dan wawancara langsung terhadap

pasien dalam kondisi terminal. Wawancara yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah wawancara yang tidak berstruktur namun terfokus20 sekaligus mengukur

tingkat ketenangan dan kesiapan pasien dalam kondisi terminal. Melalui

pengamatan dan wawancara, penulis akan memaparkan dengan jelas tentang

keadaan pasien pada stadium terminal.

1.8.3. Populasi dan Sampel serta Lokasi Penelitian


19
. Ibid., hlm. 2-3
20
. Koentjaniaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983,
hlm. 139
Populasi penelitian adalah pasien di beberapa Rumah Sakit di Medan dan Binjai.

Jumlah sampel adalah pasien yang terdiagnosa terminal yang mengalami ketidaktenangan

dan ketidaksiapan dalam menerima kematiannya, yang ditemukan dari antara seluruh

pasien yang ada, yaitu mereka yang sedang dalam perawatan dan masih dapat

berkomunikasi. Penelitian ini dibatasi hanya diempat Rumah Sakit di Medan dan dua

Rumah Sakit di Binjai.

1.9. Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini akan dibagi menjadi lima bab. Dalam bab pertama penulis

akan memaparkan tentang pendahuluan penulisan yang mencakup: latar belakang

masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan

penelitian, hipotesa penelitian, populasi dan sampel serta lokasi penelitian, metodologi

penelitian dan sistematika penelitian.

Bab ke-dua memuat tentang kerangka teoritis yang di dalamnya mencakup:

pengertian pendampingan pastoral, dasar Alkitabiah, fungsi pendampingan pastoral,

teori-teori pastoral, proses pendampingan pastoral, sikap dasar pendampingan pastoral,

langkah-langkah dalam rangka pastoral, pengertian PEREMPUAN KORBAN

PERCERAIAN istilah penyakit dalam kondisi terminal, pengertian kematian, reaksi

pasien pada stadium terminal, dampak penyakit dalam kondisi terminal terhadap psikis

dan spiritual pasien, faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaktenangan dan

ketidaksiapan menjelang kematian, aspek-aspek ketidaktenangan dan ketidaksiapan

menjelang kematian.
Bab ke-tiga memuat tentang metodologi penelitian yang di dalamnya mencakup:

prosedur penelitian lapangan: lokasi penelitian dan waktu penelitian, populasi dan

sampel, gambaran umum klien/pasien dan alat ukur yang dipakai.

Bab ke-empat memuat tentang pembahasan data: ketidaktenangan pasien sebelum

pendampingan pastoral, ketidaksiapan pasien sebelum pendampingan pastoral,

ketenangan pasien sesudah pendampingan pastoral, kesiapan pasien sesudah

pendampingan pastoral, kebutuhan, pikiran dan perasaan pasien dalam kondisi terminal,

faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaktenangan dan ketidaksiapan pasien menerima

kematian, Aspek-aspek ketidaktenangan dan ketidaksiapan pasien menerima kematian,

lama pendampingan pastoral, diskusi dan refleksi.

Bab ke-lima memuat tentang kesimpulan dan saran.

Kepustakaan

Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta; PT. Delta Pamungkas, 1977.


Graham, Billy,
The Christ Centered Home, Minesatta The Billy Graham Evangelistic Association Box
179.
Gunarsa, Dra. Ny. Singgih D. & DR. Singgih D. Gunarsa,
Psikologi Untuk Keluarga, Jakarta: BPK-GM, 1976.
Hadikusuma, H. Hilman,
Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung; Mandar Masa, 1990.
Poerwardarminta, W. J. S.,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; PN Balai Pustaka, 1984.
Subekti, Praf,Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta; PT. Intermasa, 1980.
Sukosworo, Ignatius,Seni Berkomunikasi Dalam Membangun Keluarga Kristen, Jakarta:
Obor, 2000
Swindol, Charles R., Perceraian, Jakarta: BPK-GM.
Wells, Rosemery,Ayah Ibuku Bercerai, Jakarta; BPK-GM, 1991.
Dr. Christopher Wright : Hidup Sebagai Umat allah; Etika Perjanjian Lama: Poligami
dan Perceraian, BPK Gunung Mulia, 1995, Halaman : 180-183
Clinebell, Howard J., “The Basic Type of Pastoral Counseling”, Nashville : Abingdon,
1984.
Gintings E.P., Gembala dan Konseling Pastoral, Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2002.
Gintings E.P., Gembala dan Pastoral Klinis, Kabanjahe : Abdi Karya, 2006.
Gintings E.P., Keluarga Kristen, Kabanjahe: Abdi Karya, Cet. 2, 1996.
Gintings E.P., Mengantisipasi Stress dan Penanggulangannya, Yogyakarta: Yayasan
ANDI, Cet. 2, 2002.
Gintings E.P., Kamus Pintar Teo-Praksis Pastoral (Draft 2003)
Hommes, Tjaard G. dan Singgih, Gerrit E., (ed.)., “Teologia dan Praksis Pastoral”,
Jakarta-Yogyakarta : BPK Gunung Mulia-Kanisius, cet. 2, tahun 1994.
(Howard Clinebell, Tipe-tipe dasar pendampingan dan konseling pastoral, hlm. 303-
304).
Adam, J. Masalah-masalah Dalam Rumah Tangga Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2001.
Burger, J, Personality, New York; ITP, 1997.
Colins, G., Christian Counseling, USA: W. Publishing Group, 1988
Pasaribu, Marulak, Pernikahan dan Keluarga Kristen, Batu-Jawa Timur; Dept. Literatur
YPPII, 2005
Robert, R & Ebertd, A. Enneagram, Manila: Paulist Press, 1996.
Rogers, C. On Becoming A Person. USA: Hougthon Miflin, 1988
Wrigth, Norman, Konseling Krisis,Malang: Gandum Mas, 2000
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta; PT. Delta Pamungkas, 1977.
Graham, Billy, The Christ Centered Home, Minesatta The Billy Graham Evangelistic
Association Box 179.
Gunarsa, Dra. Ny. Singgih D. & DR. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga,
Jakarta: BPK-GM, 1976.
Hadikusuma, H. Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung; Mandar Masa, 1990.
Poerwardarminta, W. J. S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; PN Balai Pustaka,
1984.
Subekti, Praf, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta; PT. Intermasa, 1980.
Sukosworo, Ignatius, Seni Berkomunikasi Dalam Membangun Keluarga Kristen, Jakarta:
Obor, 2000
Swindol, Charles R., Perceraian, Jakarta: BPK-GM.
Wells, Rosemery, Ayah Ibuku Bercerai, Jakarta; BPK-GM, 1991.
-------, Agenda Bahasa Indonesia, Tata Kebaktian Pemberkatan Nikah (Perkawinan).
Adams, Jay E., Masalah-masalah Dalam Rumah tangga Kristen, Jakarta: BPK-GM,
2000.
Bowman, Henry A., A Christian Interpretation of Marriage, Philadelphia: The
Westminster Press, 1952.
Gilarso, Sj, T., (ed), Membangun Keluarga Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Malmin, Glenda, Wanita Engkau Dipanggil dan Diurapi, 2003.
Nimkoft, Meyer Fancis, Hougthon, 1975.
Roy W., Failchhild, Christerian In Families, Curriculum Press, 1964.
Thomas, Sj., Jhon L., Beginning Your Marriage, United Nates Buchely Publications,
1982.
Wynn, Jhon Charles, (ed), Sex, Family and Sosiety in Theological Focus, New York,
Association Press, 1966.
Bd.Tjaard & Anne Hommes, Konseling Krisis, seri Pastoral 317, Pusat Pastoral
Yogyakarta 200 no.10, hal 6
Pdt.DR.E.P.Gintings, Gembala dan Penggembalaan bagian 1.1.
H.Norman Wright, Konseling Krisis:membantu orang dalam Krisis dan sters,
Malang:Gandum Mas, 1993, hal 1-9.
Gerarld Caplan alam Tjaard & Anne Hommes, Konseling Krisis, Seri Pastoral 317-Pusat
Pastoral Yogyakarta 2000 No 10; hal 9-10.
E.P.Ginting, Mengantisipasi stress dan penanggulangannya, Yogyakarta Andi, 1999, hal
53.
Gintings, E.P. Kamus Pintar Teopraksis Pastoral (Draft., 2005).
___________, Gembala dan Konseling Pastoral, Yogyakarta: ANDI, 2002.
___________, Gembala dan Penggembalaan, Kabanjahe: Abdi Karya, 2002.
___________, Gembala dan Pastoral Klinis, Kabanjahe: Abdi Karya, Segera terbit
2006.
___________, Penggembalaan dan Konseling : Yesus Teladan Kita, Kabanjahe: Abdi
Karya, Segera Terbit 2006
Abednego dalam Ferdinan Sulaiman dkk (ed), Struggling in Hope, Jakarat: BPK-GM,
1999.
Abineno, J. L. Ch., Penggembalaan, Jakarta: BPK-GM, 1963.
Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral, 1973.
Anthony, L., Pelayanan Pastoral, (Unplublised).
Barna, George, Leaderson Leadership, Malang : Gandum Mas, 2002.

Gintings, E.P., Gembala dan Penggembalaan, Kabanjahe: Abdi Karya, 2002.


Gintings, E.P., Metode Studi Kasus Pastoral: Kompetensi, Hermeneutis dan
Prolegomena Teologia Pastoral, (Draft, 2007).
Gintings, E.P., dalam bukunya Metode Studi Kasus fasal 2 (draft 2006).
Gintings, E.P., Apakah Hukum Gereja?, (Draft 2006) bab. 8.
Gintings, E.P., Kamus Pintar Teopraktis Pastoral (draft, 2003) entry: Penggembalaan,
dasar utama sikap-,.
Gintings, E.P., Buku Kenangan Wisuda STT Abdi Sabda, 2003.
Gintings, E.P., Gembala dan Pastoral Klinis, Bandung Bina Media Informasi, 2007.
Gintings, E.P., Konseling Pranikah, 2006 (draft), hlm. 113-114.
Gintings, E.P., Keluarga Kristen, Kabanjahe: Masa Baru, 1989.
Gintings, E.P., Gembala dan Konseling Pastoral, Yogyakarta; Andi, 2002.
Gintings, E.P., Manusia dan Masalahnya dalam pasal. 3,9,6.
Gintings, E.P., dan M.P. Ambarita, Bank Perkreditan Rakyat Pijer Podi Kekelengen di
desa Simalem, Jakarta: BPK-GM, 2001.
Hommes, Tjaard G., dan E. Gerrit Singgih (ed), Teologi dan Praksis Pastoral, Jakarta-
Yogyakarta: BPK-GM-Kanisius, Cet. 2, 1994.
Hiltner, Seward, dalam Preface to Pastoral Theology.
Oden, T. C., dalam Derek J. Tidball, Teologi Penggembalaan.
Putra, Ekadarma, Kepemimpinan Dalam Perspektif Alkitab, Yogyakarta: Yayasan Media
Buana Indonesia, 2002.
Qates, Wayne, dalam T.S. Wiryasaputra, Pendampingan Pastoral Kepada Orang Sakit,
Yogyakarta: Seri Pastoral No. 245 Yogyakarta, 1995.
Stanley, Andy, Visioneering, Yogyakarta : Penerbit Yayasan ANDI, 2002.
Storm, M. Bons, Apakah Penggembalaan Itu?, Jakarta: BPK-GM, 1988.
Thornton, M, Theology: A Reorientation.
Wijayanta, Sigit, Transformasi Masyarakat, Bekasi: Bina Warga, 2000.
-------, Agenda Bahasa Indonesia, Tata Kebaktian Pemberkatan Nikah (Perkawinan).
Adams, Jay E., Masalah-masalah Dalam Rumah tangga Kristen, Jakarta: BPK-GM,
2000.
Bowman, Henry A., A Christian Interpretation of Marriage, Philadelphia: The
Westminster Press, 1952.
Gilarso, Sj, T., (ed), Membangun Keluarga Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Malmin, Glenda, Wanita Engkau Dipanggil dan Diurapi, 2003.
Nimkoft, Meyer Fancis, Hougthon, 1975.
Roy W., Failchhild, Christerian In Families, Curriculum Press, 1964.
Thomas, Sj., Jhon L., Beginning Your Marriage, United Nates Buchely Publications,
1982.
Wynn, Jhon Charles, (ed), Sex, Family and Sosiety in Theological Focus, New York,
Association Press, 1966.

Anda mungkin juga menyukai