Anda di halaman 1dari 27

ABSTRAKSI

Pada mulanya Allah menciptakan manusia sesuai dengan gambar dan rupa Allah.

Pernyataan ini terkait dengan eksistensi Allah yang kekal sebagai pencipta. Allah

menciptakan laki-laki dan perempuan menurut gambar Allah, hal itu berarti bahwa

seksualitas adalah ciptaan dan ada dalam rencana Allah, bukan akibat dosa manusia, oleh

sebab itu seks adalah sesuatu yang baik, kudus, mulia dan sesuatu yang berarti di dalam hidup

manusia.1

Pernikahan Kristen adalah sebagai persekutuan rohani, maka harus dimulai dengan

kehadiran dan berkat Allah sebagai dasar kehidupan pernikahan/keluarga, sehingga suami-

isteri dapat mewujudkan pernikahan/keluarga sesuai dengan kehendak Allah. Maka makna

pemberkatan pernikahan adalah memulai persekutuan/kehidupan pernikahan dengan berkat

Tuhan, dimana kedua mempelai berdiri/berlutut untuk memohon dan menerima ‘berkat Allah’

yang disampaikan oleh hamba Tuhan

Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-

sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga, saat kedua pasangan tak

ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya. Faktor-faktor penyebab perceraian terjadi

dalam 2 bentuk yaitu factor-faktor umum dan faktor-faktor determinan. Beberapa factor-

faktor umum yang sering menyebabkan suatu perceraian antara lain:2 Ekonomi, Berselingkuh,

Tidak Cocok, Bertengkar terus, Masalah penyiksaan atau KDRT, Sakit / cacat tubuh,

Perbedaan agama. Selain itu faktor-faktor determinan 3 penyebab terjadinya perceraian dalam

keluarga adalah kurangnya kesiapan mental, permasalahan ekonomi, kurangnya komunikasi

antar pasangan, campur tangan keluarga pasangan dan adanya perselingkuhan.

1
Jhon Charles Wynn (ed), Sex, Family and Society in Theological Focus, New York, Association Press,
1966, hlm. 62-63.
2
http://www.gii-usa.org 
3
http://digilib.itb.ac.id

1
Para istri yang mengalami krisis perceraian merasa terluka karena ditolak oleh bekas

pasangannya, disertai perasaan-perasaan seperti: kemarahan yang tidak diselesaikan,

kebencian, dendam, kesendirian, keraguan akan diri sendiri, dan stress/depresi bercampur

aduk semuanya dan menghasilkan luka kedukaan yang semakin besar yang sering berasal dari

perceraian tersebut.

Melalui test yang telah dilakukan dengan alat ukur kemarahan, stress dan makna

hidup ternyata para istri yang mengalami krisis perceraian mengalami masalah kemarahan

stress dan hilangnya makna hidup. Maka penulis berkeinginan untuk menulis tentang pastoral

Konseling terhadap para istri yang mengalami krisis perceraian untuk melihat sejauh mana

dampak pastoral konseling yang dilakukan kepada para istri yang mengalami krisis perceraian

dapat menurunkan tingkat kemarahan dan stress serta meningkatkan makna hidup mereka.

Melalui Pastoral Konseling secara khusus fungsi pastoral (Healing, Guiding,

Sustaining, Reconciling dan Nurturing) dengan cara mendengar, berbicara dan bertanya

secara empati kepada konseli diharapakan dapat menghatarkan konseli kepada curative

factors yakni suatu self disclosure dan insight yang baru. Setiap pertemuan jika dimungkinkan

akan selalu diselang-selingi dengan lagu, doa artinya mengandalkan pertolongan dan

kekuatan dari Tuhan.

1. Latar Belakang Masalah

Pernikahan adalah suatu lembaga persekutuan yang diciptakan dan ditetapkan oleh

Allah antar seorang laki-laki dengan seorang perempuan (heterosexual) yang didahului

tindakan, meninggalkan orang tua oleh karena cinta, dengan sepengetahuan masyarakat

(bersatu) dan mencapai kepenuhannya dalam satu daging (one flesh) dan dimahkotai

(diberkati) dengan penganugerahan anak. Riwayat penciptaan secara jelas berbicara tentang

satu suami satu istri, "satu daging" antara satu laki-laki dan satu perempuan (Kej. 2:24).

2
Dalam pernikahan yang pertama di taman Eden, Allah mempunyai peranan dalam

menciptakan pernikahan yaitu Allah menyediakan pasangan hidup, mempersatukan dan

memberkati mereka (Kej. 2:16-23; Kej. 1:28). Kemudian Allah menyatakan dasar pernikahan

itu dengan mengatakan “oleh karena itu seorang laki-laki meninggalkan orang tuanya dan

bersatu dengan isterinya, dan mereka menjadi satu daging (Kej. 2:24). Perkawinan merupakan

bertemunya dua manusia yang berbeda dalam hal karakter, kepribadian, prinsip dan tujuan

hidup, serta keinginan dan harapannya, maka dalam perjalanan pernikahan itu sendiri akan

sulit menemukan jalan lurus tanpa belokan-belokan dan hambatan-hambatan dan kelokan-

kelokan tajam yang akan membuat orang yang menempuhnya selalu waspada. Perbedaan-

perbedaan inilah yang sering menjadi pangkal sebab dan salah paham yang mengganggu

ketenangan dan suasana aman dalam keluarga.

Dalam Kitab Kejadian 2:24 disebut tujuan perkawinan ialah relasional dan

procreational. Pertama Allah tidak merasa baik bila manusia itu sendirian. Ini berarti

perkawinan sebagai lembaga yang diciptakan Allah adalah relasional, memberi teman

penolong (hubungan satu dengan yang lain). Kedua, perkawinan itu untuk bertambah-tambah

(berkembang biak) atau procreational.

Pernikahan adalah pemberian Tuhan untuk seumur hidup untuk saling mengenal.

Tujuan relasional dan procreasional diberikan Tuhan dalam hidup perkawinan sebagai

lembaga yang ditetapkan Tuhan.4 Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa

pernikahan adalah persekutuan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bersifat

persekutuan rohani yang diikat oleh ‘janji kasih’ sebagai sarana atau wadah yang dikehendaki

oleh Allah untuk menikmati kebahagiaan hubungan seksual. untuk saling mengenal seumur

hidup.

4
E.P. gintings, Gembala dan Penggembalaan, Kabanjahe:Abdi Karya, 2002, hlm. 72-73; dan E.P.
Gintings, Keluarga Kristen, Kabanjahe: Masa Baru, 1989, hlm. 19-30.

3
Pengertian dan dasar pernikahan dalam Perjanjian Baru kemudian ditegaskan oleh

Tuhan Yesus dengan mengatakan: “Oleh karena itu, apa yang telah dipersatukan oleh Allah,

tidak boleh diceraikan oleh manusia (Mrk. 10:9).5 Dari tindakan Allah ‘mempersatukan’

mereka dan dari dasar pernikahan yang ditetapkan oleh Allah, menyatakan bahwa pernikahan

mereka adalah pernikahan yang syah di hadapan Allah.

Dasar pernikahan Kristen sampai hari ini adalah Allah yang menetapkan dan

mempersatukan suami-isteri dalam suatu ikatan persekutuan hidup, dan apa yang sudah

dipersatukan oleh Allah tidak dapat dipisahkan oleh apa dan siapapun, sampai kematian

memisahkan, (Bnd. Mat. 19:1-12; Mrk. 10:2-9).Pernikahan adalah suatu ikatan perjanjian

yang eksklusif antara seorang laki-laki dan perempuan yang ditetapkan/diteguhkan

(ditahbiskan) oleh Allah. Pernikahan sebagi suatu persektuan hidup dilandasi oleh persetujuan

atau perjanjian bebas oleh karena cinta dan persetujuan kedua belah pihak harus dinyatakan

secara jelas di hadapan saksi-saksi yang syah6 yaitu dihadapan jemaat dan keluarga.

Pernikahan Kristen adalah merupakan suatu persekutuan rohani (religious marriage),

karena hubungan seks dalam pernikahan yang dinyatakan dalam dasar pernikahan ‘satu

daging’ (one flesh) mencakup seluruh keberadaan suami-isteri (tubuh, jiwa dan roh). Juga

mempunyai ‘religious oriented’ (tujuan rohani) yaitu untuk memuliakan Allah dan hubungan

suami-isteri sebagai cerminan hubungan Allah dengan umat-Nya dan hubungan Kristus

dengan gereja-Nya (bnd. Ef. 5:22-23). Allah menciptakan laki-laki dan perempuan menurut

gambar Allah, mengatakan bahwa seksualitas adalah ciptaan dan ada dalam rencana Allah,

bukan akibat dosa manusia, oleh sebab itu seks adalah sesuatu yang baik, kudus, mulia dan

sesuatu yang berarti di dalam hidup manusia.7

Setiap pasangan menginginkan keutuhan dalam membangun rumah tangga. Bagi umat

Kristen, perceraian atau pembubaran perkawinan tidak diijinkan mengingat ajaran Yesus yang
5
Jhon Charles Wynn, Op.cit, hlm. 76.
6
T. Gilarso, Sj (ed), Membangun Keluarga Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 9.
7
Jhon Charles Wynn, Op.cit, hlm. 62-63.

4
tertulis dalam Matius 19:1-10 bnd. Markus 10:1-9. Sebab apa yang telah dipersatukan Allah

tidak boleh diceraikan manusia8. Namun realitas menunjukkan angka perceraian kian

meningkat. Angka perceraian semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Pandangan Alkitab mengenai perceraian diuraiakan sbb:9

1. Maleakhi 2:16a: “Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel.”

Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komitmen seumur hidup.

“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah

dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6).

2. Dalam Perjanjian Lama Tuhan menetapkan beberapa hukum untuk melindungi hak-hak

dari orang yang bercerai, khususnya wanita (Ulangan 24:1-4). Yesus menunjukkan bahwa

hukum-hukum ini diberikan karena ketegaran hati manusia, bukan karena rencana Tuhan

(Matius 19:8).

3. Kontroversi mengenai perceraian dalam Alkitab berkisar pada kata-kata Yesus dalam

Matius 5:32 dan 19:9. Frasa “kecuali karena zinah” adalah satu-satunya alasan dalam

Alkitab di mana Tuhan memberikan izin untuk perceraian dan pernikahan kembali.

4. Sebagian orang memahami 1 Korintus 7:15 sebagai “pengecualian” lainnya, di mana

pernikahan kembali diizinkan jikalau pasangan yang belum percaya menceraikan

pasangan yang percaya..

Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-

sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga. Undang-undang Nomor 1

Tahun 197410 Tentang Perkawinan tidak memberikan definisi mengenai perceraian secara

khusus. Pasal 39 ayat (2) Undang Undang Perkawinan (UUP) serta penjelasannya secara kelas

8
Jikapun ada alasan satu-satunya bagi suami untuk menceraikan isterinya karena zinah, sesuai dengan
konteks Injil Matius yaitu dekat dengan ke-Jahudian dimana seseorang harus menjaga kesucian/kekudusan
rumah tangganya, justru hal tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk kawin lagi. Sebab siapa yang berbuat
demikian dia juga digolongkan berzinah. Jika pada zaman dahulu banyak orang meminta surat cerai kepada
Musa, itu dicap Yesus sebagai kesengsaraan hati (Mat. 19:7-9).
9
http://www.gki.com
10
http://www.pemantauperadilan.com

5
menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah

ditentukan. Definisi perceraian di Pengadilan Agama itu, dilihat dari putusnya perkawinan.

Putusnya perkawinan dalam UUP dijelaskan, yaitu: karena kematian, karena perceraian,

karena putusnya pengadilan.

Perceraian ialah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin

melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah untuk dipisahkan.

Alkitab tidak pernah merestui adanya perceraian, sebab perceraian merupakan suatu

penghacuran terhadap janji setia pernikahan. Namun kenyataannya di dunia masih ada

pasangan yang melanggar janji setia itu. Beberapa alasan umum yang sering menyebabkan

suatu perceraian antara lain:11 Ekonomi, Berselingkuh, Tidak Cocok, Bertengkar terus,

Penyiksaan, Masalah penyiksaan atau KDRT, Sakit / cacat tubuh, Perbedaan agama. Selain

itu factor-faktor determinan12 penyebab terjadinya perceraian dalam keluarga adalah

kurangnya kesiapan mental, permasalahan ekonomi, kurangnya komunikasi antar pasangan,

campur tangan keluarga pasangan dan adanya perselingkuhan.

Istilah perceraian berasal dari kata ‘cerai’ yang artinya pisah, tidak bersatu lagi, ibarat

nyawa yang sudah pisah dengan tubuhnya.13 Dalam ikatan perkawinan, bercerai berarti

berhenti berlaki-bini, sedangkan istilah menceraikan berarti menjadikan supaya tidak

berhubungan lagi. Tegasnya perceraian adalah peristiwa putusnya hubungan perkawinan

suami-isteri yang diatur menurut tata cara yang dilembagakan untuk mengatur hal itu. Dengan

adanya perceraian, maka terbuka pula peluang bagi suami-isteri untuk kawin lagi. 14 Dan

aturan tersebut berbeda-beda tergantung pada adat dan agama yang dianut.

Di Indonesia terdapat undang-undang perkawinan yang mencakup peraturan-peraturan

tentang perceraian. Pada dasarnya perceraian perkawinan dikenal dalam hukum adat atau
11
http://www.gii-usa.org,
12
http://digilib.itb.ac.id
13
W. J. S. Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; PN Balai Pustaka, 1984, hlm.
2000.
14
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta; PT. Delta Pamungkas, 1977, hlm. 79.

6
hukum agama. Ini dinyatakan dalam hukum perkawinan Indonesia. 15 Dalam buku pokok-

pokok hukum, perkawinan hapus16 jikalau satu pihak meninggal. Selanjutnya ia hapus juga,

jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat ijin hakim, bilamana pihak yang lainnya

meninggalkan tempat tinggalnya hingga sepuluh tahun lamanya dengan tiada ketentuan

nasibnya. Akhirnya perkawinan dapat dihapuskan dengan perceraian. Tegasnya perceraian

berarti penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam

perkawinan itu.

Sebenarnya undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan saja

antara suami dan isteri, tetapi harus ada alasan yang sah. Adapun alasan-alasan (dasar) untuk

perceraian menurut hukum perkawinan Indonesia ialah:17

1. Zinah

2. Meningalkan tempat tinggal bersama dengan etikad buruk.

3. Dikenakan hukuman penjara lima tahun (lebih) karena dipersalahkan melakukan

kejahatan.

4. Penyakit berat atau membahayakan jiwa.

Sementara dalam undang-undang perkawinan menambahkan 2 alasan lagi yaitu:18

1. Salah satu pihak mendapat cacat badan dengan tidak dapat menjalankan kewajibannya

sebagai suami-isteri.

2. Antara suami-isteri terus menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidak ada

harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Masalah psikologi yang mengganggu kehidupan pribadi seorang istri yang

ditinggalkan suaminya atau mengalami krisis perceraian adalah kekecewaan, sakit hati, benci

dan dendam tapi yang paling mendominasi adalah Kemarahan yang begitu besar.
15
H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung; Mandar Masa, 1990, hlm. 160-
162.
16
Praf Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta; PT. Intermasa, 1980, hlm. 42.
17
H. Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm. 162.
18
Undang-undang Perkawinan Pasal PP9 dalam Praf Subekti, Op.cit, hlm. 42.

7
“Kemarahan” adalah keadaan emosi yang bisa dialami setiap orang pada saat-saat tertentu

yang bisa dilakukan secara tersembunyi (terpendam) maupun terang-terangan, bisa dalam

waktu singkat maupun lama dalam bentuk kebencian, dendam, dsb. Kemarahan itu bisa

merusak (“destruktive”) bila dalam ekspresi emosi yang tak terkendali, tapi bisa juga

membangun (“contruktive”) bila mendorong kita untuk memeriksa dan memperbaiki

kesalahan atau mengingatkan kita untuk berpikir secara lebih baik.

Kemarahan terjadi bila dalam proses perjalanan kehidupan itu terjadi ganjalan dalam

mencapai sesuatu yang diinginkan. Hambatan (bloking) tersebut mempengaruhi reaksi “fisik”

maupun “emosi” yang bersangkutan. Reaksi inilah yang bisa dalam bentuk disembunyikan

tapi bisa juga secara terbuka. Malah kemarahan adalah faktor yang sangat menentukan

timbulnya berbagai penyakit, kesusahan, inefficiency kerja, pertengkaran, frigidity, child’s

defiance, serta macam-macam gangguan lainnya.

Istri yang ditingal suami atau Perempuan yang bercerai amat merasakan kurangnya

dukungan sosial dan lebih merasakan terbatas dan terisolasi ketimbang seorang janda. Ia juga

menderita gangguan kesehatan fisik dan mental yang lebih berat dari pada janda. “Perceraian”

biasanya merupakan penghinaan bagi ego, suatu pengalaman mengurangi harga diri. Rasa

gagal dan rasa bersalah yang bersangkutan sering sangat hebat. Para istri yang mengalami

krisis perceraian merasa terluka karena ditolak oleh bekas pasangannya, disertai perasaan-

perasaan seperti: kemarahan yang tidak diselesaikan, kebencian, dendam, kesendirian,

keraguan akan diri sendiri, dan stress/depresi bercampur aduk semuanya dan menghasilkan

luka kedukaan yang semakin besar yang sering berasal dari perceraian tersebut.

Selain itu masalah-masalah yang dihadapi seorang istri yang ditinggalkan suaminya

atau mengalami krisis perceraian adalah sebagai berikut:19

1. Masalah Emosional keberadaan pasangan hidup sungguh dapat membebaskan seseorang

dari rasa kesepian. Sementara rasa kesepian berkaitan erat dengan konsep diri negatif dan
19
: http://www.seniornews.co.id/

8
menghasilkan emosi-emosi negatif. Keadaan ini dapat menyulitkan hubungan dengan

orang lain20. Selain itu, adanya pasangan juga memberikan perasaan berharga di mata

masyarakat. Akibatnya, ketika harus hidup sendiri karena perceraian, biasanya individu

mengalami rasa rendah diri ketika berada dalam situasi seremonial, ketika orang-orang

lain hadir berpasangan.

2. Overload dalam Peran. Orangtua tunggal berperan sebagai ayah sekaligus sebagai ibu bagi

anak-anaknya. Peran ganda yang paling berat adalah membesarkan anak-anaknya

sendirian supaya dapat tumbuh menjadi pribadi yang sehat, baik fisik maupun mental.

Wanita yang menjadi orangtua tunggal harus membiasakan diri mengerjakan semua

pekerjaan yang biasa dilakukan pria. Kalau sebelumnya tidak ikut mencari nafkah,

sekarang ia harus bekerja. Ini bukan persoalan yang mudah. Seandainya pria atau wanita

single parent mampu membayar pembantu atau baby sitter, tetap ada beberapa pekerjaan

yang tidak dapat diserahkan kepada orang lain, seperti mengurus pajak, merawat anak

ketika sakit, dsb.

3. Beban Ekonomi. Beban ekonomi menjadi lebih berat bila seseorang biasa mencukupi

kebutuhan ekonomi. bersama pasangan, kemudian harus menanggung sendiri semua biaya

rumah tangga, termasuk biaya pendidikan anak. Kadang keadaan lebih sulit karena anak

yang masih balita sangat tergantung, terutama bila tidak ada orang lain yang dapat

diserahi untuk mengasuh. Dalam keadaan demikian orangtua tunggal mengalami

hambatan untuk dapat bekerja. Pada salah satu kasus, seorang ibu mengalami stres karena

anak remajanya mengalami depresi dan gangguan perilaku setelah orangtuanya bercerai.
20
Pada anak, kehilangan perhatian dan kasih-sayang dari salah satu orangtua juga dapat berakibat
negatif. Kasih-sayang yang ia peroleh dari orangtua tunggalnya – yang kadang berlebihan – tidak cukup untuk
mengobati rasa sedih atau kecewa. Seiring dengan berjalannya waktu, anak yang salah satu orangtuanya
meninggal biasanya lebih cepat menyesuaikan diri dengan keadaan. Lain halnya dengan anak yang orangtuanya
bercerai dan harus hidup dengan salah satu orangtua, biasanya lebih sulit menyesuaikan diri. Rasa kecewanya
dapat begitu dalam karena terenggutnya kasih dan kebersamaan dengan kedua orangtuanya. Mereka menjadi
senang menyendiri, melamun, cepat tersinggung, dan cepat marah. Kalau dibiarkan anak tidak dapat lagi
mengontrol diri, sehingga akhirnya tidak mampu berpikir sehat.

9
4. Stigma Masyarakat. Hingga saat ini masih ada kecenderungan masyarakat memberikan

penilaian miring pada orang yang tidak memiliki pasangan saat pergi berdua atau menjalin

hubungan dengan lawan jenis. Pada wanita, penilaian itu seringkali lebih tajam. Bagi

kebanyakan orang, penilaian itu menjadi hambatan untuk berhubungan dengan siapa saja.

Dalam salah satu kasus, seorang ibu yang telah hampir enam tahun menjanda memilih

tidak memiliki rekanan bisnis yang berlawanan jenis demi menjaga citranya di mata

masyarakat.

Perceraian membawa dampak yang besar pada siapapun, baik kepada pasangan yang

bercerai maupun pada anak-anak mereka. Stres akibat perceraian yang terjadi menempatkan

perempuan dalam resiko fisik maupun psikis. Stres karena perceraian dapat menurunkan

kemampuan sistem pertahanan tubuh, menyebabkan individu yang bercerai rentan terhadap

penyakit dan infeksi21.

Dampak lain perceraian adalah terutama kepada anak seperti dituliskan Dra. Clara

Istiwidarum Krisanto, MA, CPBC dari Jagadnita Consulting, sbb:22

1. “Efek negatif perceraian pada anak bisa berbeda-beda, Tergantung banyak faktor,

antara lain: dari usia anak, jenis kelamin, kematangan kepribadian, kesehatan

psikologis, serta ada-tidaknya dukungan dari orang dewasa lainnya.”

2. Sebuah penelitian menunjukkan, anak perempuan lebih bisa meng-handle hal-hal yang

berkaitan dengan konsekuensi dari perceraian orangtuanya ketimbang anak lelaki.

3. “Problem anak lelaki dari orangtua yang bercerai biasanya lebih serius, mereka lebih

terganggu. Mungkin ini karena lelaki lebih rasional, sementara perempuan lebih

mampu memendam perasaan.”

21
Dalam satu penelitian terhadap perempuan yang baru saja berpisah (1 tahun atau kurang) cenderung
menunjukkan kegagalan fungsi daya tahan tubuh daripada perempuan yang perpisahannya terjadi beberapa tahun
sebelumnya (1- 6 tahun) (Kiecolt-Glaser & Glaser, 1988).
22
http://www.claraistiwidarumkrisanto.com

10
4. Pada anak yang masih terlalu kecil, memang agak susah menjelaskan perihal

perceraian, termasuk kenapa orangtua harus bercerai.

Sedangkan dampak negatif perceraian yang bisa muncul pada anak seperti :

1. Marah pada diri sendiri, marah pada lingkungan, menjadi pembangkang, tidak

sabaran, dan impulsif,.

2. Bisa jadi, anak akan merasa bersalah (guilty feeling) dan menganggap dirinyalah

biang keladi atau penyebab perceraian orangtuanya. “Anak merasakan, ‘Ah, jangan-

jangan saya yang membuat Papa-Mama bercerai,’ sehingga muncul rasa marah

campur rasa bersalah.” Apalagi jika dalam proses selanjutnya, terjadi perebutan anak

antara suami-istri. “Anak jadi bingung, pingin ikut ayah, tapi kok akhirnya ikut sang

ibu. Ia akan merasa menjadi biang keladi perebutan itu.”

3. Dampak lain adalah anak jadi apatis, menarik diri, atau sebaliknya, mungkin kelihatan

tidak terpengaruh oleh perceraian orangtuanya. “Orangtua harus harus hati-hati

melihat, apakah ini memang reaksi yang wajar, karena dia sudah secara matang bisa

menerima hal itu, atau hanya pura-pura.”

4. Anak juga bisa jadi tidak pe-de dan takut menjalin kedekatan (intimacy) dengan lawan

jenis. “Ke depannya, setelah dewasa, anak cenderung enggak berani untuk commit

pada suatu hubungan. Pacaran-putus, pacaran-putus.”

5. Self esteem anak juga bisa turun. “Jika self esteem-nya jadi sangat rendah dan rasa

bersalahnya sangat besar, anak bisa jadi akan dendam pada orangtuanya, terlibat drugs

dan alkohol, dan yang ekstrem, muncul pikiran untuk bunuh diri.”

6. Ada juga yang kemudian jadi merendahkan salah satu orangtua, tidak lagi bisa percaya

pada orangtua, atau sebaliknya, terlalu mengidentifikasi salah satu orangtua. Misalnya,

anak sangat kasihan pada salah satu pihak. “Apalagi jika anak sudah besar dan punya

keinginan untuk menyelamatkan perkawinan orangtuanya, tapi tidak berhasil. Ia akan

11
merasa sangat menyesal, merasakan bahwa omongannya tak digubris, merasa

diabaikan, dan merasa bukan bagian penting dari kehidupan orangtuanya.”

Penggembalaan dan Konseling dilakukan dalam membantu anggota jemaat. Dalam

zaman modern sekarang ini semakin banyak orang yang merasakan ketidaktentraman

jiwanya, terutama dikota-kota dan di sentra-sentra ekonomi, karena dalam lingkungannya

setiap hari sering diganggu dengan ketiadaan norma-norma tempat dia bisa berdiri dan sering

jiwanya juga tidak kuat lagi. Untuk memperbaiki sebab dan akibat psikologis dari krisis yang

hebat ada tiga kemungkinan pertolongan yaitu:

1. Pelayanan penggembalaan umum adalah suatu pelayanan yang mencakup kehadiran,

mendengar, kehangatan, dan dukungan praktis.

2. Konseling krisis jangka pendek, informal dan formal, diperlukan oleh orang-orang

yang dapat menggerakkan sumber penanggulangan mereka lebih cepat dan mengatasi

krisis mereka lebih konstruktif dengan menerima suatu bantuan dalam hal menguji

realitas dan dalam hal perencanaan pendekatan yang efektif kepada situasi baru yang

diciptakan oleh krisis itu.

3. Konseling dan terapi jangka panjang, dibutuhkan oleh yang terluka berat secara

kejiwaan dan dilumpuhkan oleh kehilangan yang amat besar atau krisis yang terjadi

berkali-kali sehinga mereka tidak mampu lagi menggerakkan sumber penanggulangan

mereka tanpa bantuan penggembalaan.

H. Norman Wright23 membahas anatomi suatu krisis untuk memberikan pertolongan dan

pedoman bagi setiap anggota jemaat karena krisis selalu dihadapi dalam kehidupan setiap

orang. Lebih lanjut dalam "Konseling Krisis" membagi perceraian kedalam 6 tahap yang

saling tumpang tindih bahkan tidak berurutan dan dengan tingkat intensitas yang tidak sam:

23 ?
H.Norman Wright, Konseling Krisis:membantu orang dalam Krisis dan sters, Malang:Gandum Mas,
1993, hal 1-9, 176-179

12
1. Perceraian Emosional. Perceraian ini mulai terjadi saat salah satu atau kedua pihak

pasangan menyembunyikan emosi dalam hubungan mereka. Daya tarik dan rasa percaya

terhadap pasangan menjadi luntur.

2. Perceraian Secara Hukum. Perceraian ini terjadi ketika salah satu atau keduanya

mengajukan gugatan perceraian sesuai undang-undang yang berlaku.

3. Perceraian Ekonomi. Perceraian ini terjadi dimana kedua pihak mulai melakukan

pambagian hak dan mungkin sang istri yang tadinya tidak bekerja, sekarang harus bekerja

demi kebutuhan.

4. Perceraian Koparental (pasangan yang sudah resmi bercerai, tetapi tetap menjadi orang

tua bersama).

5. Perceraian masyarakat. Perceraian ini terjadi ketika orang yang bercerai tersebut berada

dalam suatu komunitas tertentu: klub sosial, pelayanan gerejani, dsb.

6. Perceraian psikis. Pada tahap ini orang yang telah bercerai menjadi otonom ia mempunyai

kekuasaan untuk menentukan arah dan tindakannya. Apakah itu karena perkembangan

hidup seseorang atau juga karena peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan terjadi. Jalan

hidup merupakan serentetan krisis perkembangan yaitu hal-hal yang dapat diramalkan

atau “developmental Crisis” yang tidak diharapkan sebagian krisis merupakan proses yang

berkembang dan yang lainnya terjadi karena situasi.

Setiap situasi baru yang dihadapi seseorang selalu memberikan kesempatan untuk

membangun cara baru dalam membangun kemampuannya mengatasi krisis yang dihadapinya.

Seseorang itu harus mempergunakan “inner resources” (kemampuan yang ada didalam

dirinya, yaitu nilai-nilai yang telah tersosialisasi dalam dirinya). Kadang-kadang seseorang itu

harus berusaha berulangkali karena caranya yang pertama tidak berhasil tapi jika ia tekun ia

akan mendapatkan cara-cara untuk mengatasi masalahnya. Berdasarkan sosialisasi yang sudah

13
terjadi dan pengalaman yang sudah terjadi ada maka seseorang itu akan lebih mudah

menghadapi atau menyeselaikan masalah yang ia hadapi.

Tjaard & Anne Hommes24 dalam tullisannya menggutip buku Gerald Caplan,

”Principles of Preventif Psychiatry” secara lebih rinci menjelaskan bahwa setiap orang terus-

menerus dihadapkan pada situasi yang menuntut kegiatan penanggulangan masalah, suatu

krisis terjadi pada diri seseorang ketika kegiatan penanggulangan masalah tidak efektif.

”Inner resources” atau sumber penanggulangan masalah yang ada pada dirinya tidak efektif,

artinya stress yang berasal dari kebutuhannya tidak terpenuhi dibiarkan terus meningkat tanpa

pernah mereda. Tekanan itu berasal dari terhalangnya pemuasan dri beberapa kebutuhan pisik

dan kejiwaan

Masalah kehancuran rumah tangga tepatnya masalah krisis perceraian bukanlah hanya

hanya terjadi di kalangan artis di ibukota atau orang-orang di daerah urban melainkan telah

menyebar sampai ke desa-desa di pelosok negeri ini. Sebagaimana dalam batasan penulisan

nanti bahwa lokasi penelitian beradi di Kabupaten Tobasa, Kecamatan Porsea, tepatnya di

Jemaat GKPI Resort Porsea yang terletak di Desa Patane III. Tercatat warga jemaat yang

berstatus “Padao-dao/panirang-nirangon”25, dalam hal ini rata-rata para istri yang dimaksud

rata-rata sudah lebih 10 tahun berpisah.

Para istri yang mengalami krisis Perceraian ini hidup dengan mengandalkan hasil

pertanian untuk menghidupi keluarganya. Sebagian diantara mereka sudah memasuki usia 60

tahun keatas. Anehnya sebagaian besar dari mereka tahu keberadaan suaminya bahkan ada

yang masih di sekitar kecamatan Porsea, ada yang sudah menikah ulang ada yang masih

24
Gerarld Caplan alam Tjaard & Anne Hommes, Konseling Krisis, Seri Pastoral 317-Pusat Pastoral
Yogyakarta 2000 No 10; hal 9-10.

25
Istilah ini berarti keadaan yang saling berjauhan, pisah ranjang tapi tidak ada norma hokum formal
menguatkannya. Dalam kondisi seperti ini masyarakat biasanya bersikap tidak mau tahu seolah-olah tidak ada
masalah dalam pernikahannya.

14
bertahan. Beberapa dari para istri yang mengalami krisis perceraian tersebut mengalami

masalah ekonomi sebaba harus menanggung biaya sekolah dan perkuliahan anak-anaknya.

Dalam Pelayanannya GKPI Jemaat Porsea Kota Resort Porsea telah memfasilitasi

pelayanan untuk kaum ibu tapi belum dikhususkan kepada para istri yang mengalami krisis

perceraian. Tetapi dalam pelayanan umum kaum perempuan di GKPI tema-tema khusus

rumah tangga sering dikhotbahkan dan didiskusikan. Hanya saja kekterbatasan waktu bahwa

penulis masih tujuh bulan melayani di GKPI Resort Porsea.. Namun selama beberapa bulan

terakhir ini perkunjungan pastoral dan percakapan sering dilakukan kepada mereka . Ternyata

penulis mendapati bahwa para istri yang mengalami krisis perceraian ini mempunyai keluhan,

pergumulan dan permasalahan yang membutuhkan perhatian yang sangat serius dan

penanganan khusus.

Pergumulan mereka berkisar kepada Kemarahan dan kepahitan hati karena getirnya

kehidupan dalam terpaaan angin krisis ekonomi dan harga diri di masyarakat. Masalah

tersebut cenderung sangat kompleks dan rumit sekali. Dari Pengamatan di lapangan ada

beberapa diantara mereka yang jarang atau tidak beribadah lagi. Jika ditanyakan alasannya

mereka menjawab dengan ketus dan tak bersahabat seolah-olah siap menerima resiko apa

saja. Hal ini disebabkan mereka kehilangan makna hidup dan pengharapan mereka pudar.

Ketika penulis mendekati mereka dengan simpati dan empati yang tinggi menghasilkan

beberapa orang terbuka dan waktu dihantar dengan lagu, saat teduh dan doa tuntunan tak

jarang mereka katarsis dan mulai self disclosure, hingga mendapati insight yang baru sebagai

factor curative dalam Pastoral Konseling.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis berkeinginan untuk menulis tentang

pastoral Konseling terhadap para istri yang mengalami krisis perceraian dan sejauh mana

dampak pastoral konseling kepada para istri yang mengalami krisis perceraian untuk

menurunkan tingakt kemarahan dan stress serta meningkatkan makna hidup mereka. Melalui

15
kajian ini penulis berharap mengetahui keadaan klien, kebutuhan, pikiran dan perasaannya

serta dapat menolongnya agar dalam kondisi yang demikian itu mereka memproleh

pengharapan dan kekuatan menjalani kehidupannya.

2. Identifikasi Masalah

1. Dalam pernikahan yang pertama di taman Eden, Allah mempunyai peranan dalam

menciptakan pernikahan yaitu Allah menyediakan pasangan hidup, mempersatukan dan

memberkati mereka (Kej. 2:16-23; Kej. 1:28). Kejatuhan manusia ke dalam dosa

berdampak pada seluruh aspek dan eksistensi kehidupan, dimana manusia dalam hal ini

para istri akhirnya berhadapan dengan masalah pernikahan yang mengalami krisis

perceraian..

2. Krisis perceraian sebagai kegagalan membina pernikahan menimbulkan kemarahan, luka

bathin, stress, kesulitan ekonomi, makna hidup dan hidup rohani terutama bagi para istri

yang mengalami krisis perceraian.

3. Peranan budaya sebagai lembaga adat tidak memberikan peran yang signifikan sebaliknya

malah justru membiarkan dan memisahkan.

4. Para istri yang mengalami krisis perceraian membutuhkan konseling pastoral, agar dapat

menjalani kehidupan secara normal artinya terhindar dari berbagai perasaan yang

menganjal. Karena itu dibutuhkan pendampingan Pastoral dari gereja atau para rohaniwan

(Pendeta)

5. Para istri mengalami krisis perceraian perlu mendapatkan perhatian dan kepedulian yang

serius dari pihak gereja atau rohaniwan dan lembaga adat di Porsea

6. Para istri yang mengalami krisis perceraian akan menunjukkan kesiapan yang mantap

dalam menjalani kehidupannya dengan makna hidup yang jelas.

16
3. Pembatasan Masalah

Melihat luasnya ruang lingkup penelitian ini, maka penulis merasa perlu menentukan

batasan masalah agar tulisan ini tidak mengambang. Sehubungan dengan itu Winarno

Surakhmad menegaskan bahwa:

Pembatasan ini diperlukan bukan saja memudahkan atau menyederhanakan


masalah bagi penyelidik, tetapi juga untuk menetapkan lebih dahulu segala
sesuatu yang diperlukan untuk pemecahannya, tenaga, kecekatan, waktu,
ongkos dan lain yang timbul dari rencana tertentu itu.26

Berdasarkan hal di atas penulis menyadari bahwa kemampuan yang dimiliki sangat

terbatas, juga hal-hal lainnya yang mendukung penelitian ini. Maka dalam penulisan ini

penulis membatasi masalah dan memfokuskan masalah di sekitar Konseling pastoral kepada

para istri yang ditinggalkan suaminya di Jemaat GKPI Resort Porsea

4. Perumusan Masalah

Berkenaan dengan latar belakang masalah, maka penulis mengangkat beberapa

pertanyaan bersangkutan dengan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah hakekat perkawinan Kristen dan apakah yang dimaksud dengan krisis perceraian?

2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan pernikahan mengalami krisis perceraian?

3. Apakah dampak dari pernikahan yang mengalami krisis perceraian?

4. Bagaimana upaya konseling pastoral terhadap para istri yang mengalami krisis

perceraian?.

5. Bagaimana tingkat kemarahan, stress dan makna hidup para istri mengalami krisis

perceraian sebelum dan sesudah Konseling Pastoral?.

6. Sejauh mana dampak Konseling Pastoral menurunkan tingkat kemarahan, stress dan

meningkatkan makna hidup para isrti mengalami krisis perceraian?

26
Winarno Surakhmad, Pengantar Pendidikan Prosedur dan Strategi, Bandung: Tarsito1985, hlm. 39

17
5. Tujuan Penelitian

Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan pengertian tentang hakekat perkawinan Kristen dan apakah yang

dimaksud dengan krisis perceraian

2. Untuk menguraikan faktor-faktor yang menyebabkan pernikahan mengalami krisis

perceraian

3. Untuk memaparkan dampak dari pernikahan yang mengalami krisis perceraian terhadap

para istri yang ditinggalkan suaminya di Jemaat GKPI Resort Porsea.

4. Untuk menguraikan dinamika Pastoral Konseling terhadap kehidupan para istri

mengalami krisis perceraian

5. Untuk membandinkan tingkat kemarahan, stress dan makna hidup para istri mengalami

krisis perceraian sebelum dan sesudah Pastoral Konseling

6. Untuk menjelaskan sejauh mana dampak pastoral Konseling dalam menurunkan tingkat

kemarahan, stress dan meningkatkan makna hidup para isrti mengalami krisis perceraian

6. Hipotesa Penelitian

Jika pastoral Konseling dilakukan terhadap para istri yang mengalami krisis perceraian

akan menurunkan tingkat kemarahan dan stress serta meningkatkan makna hidup mereka.

7. Manfaat dan tujuan Penelitian

Penulis berharap agar penelitian ini bermanfaat untuk:

1. Memberikan kontribusi dalam peningkatan jumlah literatur Kristen, khususnya tentang

pelayanan pastoral konseling terhadap para istri yang mengalami krisis perceraian

18
2. Memberikan masukan kepada Gereja, Lembaga Kristen yang bergerak dalam dunia adat,

para rohaniawan, serta kaum awam yang terlibat dalam pelayanan terhadap para istri yang

mengalami krisis perceraian.

3. Agar gereja atau para rohaniawan menyadari pentingnya peranan mereka dalam

melayani para istri yang mengalami krisis perceraian

4. Agar pengelola lembaga adat jangan hanya berhenti pada pelayanan adat yang bersifat

umum dihadapan orang banyak tetapi turut terlibat memberikan intervensi terhadap

masalah perceraian.

5. Menjadi suatu kesempatan bagi penulis untuk menerapkan ilmu yang sudah dipelajari

selama di bangku kuliah, dalam bentuk tulisan ilmiah.

6. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya, untuk pengembangan ilmu teologi,

khususnya teologia praktis di bidang pastoral.

8. Metode Penelitian

8.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian jelas ada sangkut pautnya dengan pengumpulan data-data dari

lapangan penelitian. Maka dalam penelitian ini dipakai dua jenis metode penelitian, yakni:

pertama, Metode Deskriptif. Penelitian deskriptif mencakup pengumpulan data untuk

menguji hipotesis yang berkaitan dengan status subyek penelitian sekarang.27 Penelitian ini

berusaha mendeskripsi, yaitu memberi gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan

akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. 28

Deskripsi adalah bersifat menggambarkan apa adanya, tanpa mengambil kesimpulan-

27
Sumanto, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi Offset, 1990, hlm. 47
28
Mohammad Nasir, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1998, hlm. 63

19
kesimpulan yang berlaku secara umum.29 Adapun sebagai ciri-ciri metode diskriptif yang

merupakan titik tolak penulis memilihnya sebagai metode dalam penelitian ini adalah:

1. Memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang, pada

masalah-masalah yang aktual.

2. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa.

Kedua, Metode Kualitatif. Penelitian kualitatif adalah sejenis penelitian formatif yang

secara khusus memberikan tehnik untuk memperoleh jawaban atau informasi mendalam

tentang pendapat dan perasaan seseorang.30 Penelitian ini memungkinkan penulis mendapat

hal-hal yang tersirat (insight) mengenai sikap, kepercayaan, motivasi dan perilaku target

populasi. Informasi atau temuan-temuan yang diperoleh dan secara khusus yang berhubungan

dengan dampak krisis perceraian terhadap kemarahan, stress dan Makna hidup para istri yang

ditinggal suaminya akan dipakai sebagai acuan di dalam pendampingan pastoral bagi yang

mengalaminya.

Ada dua alasan utama penulis yang mendasari penggunaan metode penelitian

kualitatif, yakni: Pertama, alasan Konseptual. Penelitian kualitatif memmberikan informasi

yang mendalam sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih besar dibandingkan

dengan tehnik kuantitatif. Kedua, alasan Praktis. Menjadi pertimbangan penggunaan jenis

penelitian ini, yaitu biaya murah, waktu singkat, rancangan dapat dimodifikasi selama

penelitian berlangsung.31

8.2. Tehnik Pengumpulan Data

1. Liberary Research (penelitian kepustakaan) yaitu mengumpulkan data informasi dari

berbagai literatur, jurnal-jurnal penelitian maupun artikel-artikel yang diharapkan

menopang pengembangan tesis ini.

29
Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, ,hlm. 228
30
Hadi Nurlaela Ella, Aplikasi Metode Kualitatif Dalam Penelitian Kesehatan, Depok: FKM UI, 2000,
hlm. 25
31
Hadi Nurlaela Ella Op.cit., hlm. 2-3

20
2. Field Research (penelitian lapangan). Dalam penelitian di lapangan penulis akan

mengumpulkan data-data dengan pengamatan dan wawancara langsung terhadap para

istri yang mengalami krisis perceraian. Wawancara yang dimaksud dalam penelitian

ini adalah wawancara yang tidak berstruktur namun terfokus 32sekaligus mengukur

tingkat pengharapan dan kekuatan para istri yang mengalami krisis perceraian dalam

menjalani kehidupannya dengan baik. Melalui pengamatan dan wawancara, penulis

akan memaparkan dengan jelas tentang keadaan para istri yang mengalami krisis

perceraian.

8.3. Populasi dan Sampel serta Lokasi Penelitian

Populasi penelitian adalah Jemaat GKPI Resort Porsea. Jumlah sampel adalah 10

orang klien yakni para istri yang sedang mengalami krisis perceraian yang mengalami

kemarahan, stress dan kehilangan makna hidup sehingga kurang berpengharapan dalam iman,

doa serta tidak mendapatkan kekuatan dalam menjalani kehidupannya. Penelitian ini dibatasi

hanya Jemaat GKPI Resort Porsea

9. Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini akan dibagi menjadi lima bab. Dalam bab pertama penulis akan

memaparkan tentang pendahuluan penulisan yang mencakup: latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesa

penelitian, populasi dan sampel serta lokasi penelitian, metodologi penelitian dan sistematika

penelitian.

Bab ke-dua memuat tentang kerangka teoritis yang di dalamnya mencakup: pengertian

pendampingan pastoral, dasar Alkitabiah, fungsi pendampingan pastoral, teori-teori pastoral,

proses pendampingan pastoral, sikap dasar pendampingan pastoral, langkah-langkah dalam

32
. Koentjaniaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 139

21
rangka pastoral, pengertian hakekat perkawinan Kristen dan pengertian krisis perceraian,

faktor-faktor yang menyebabkan pernikahan mengalami krisis perceraian, dampak

pernikahan yang mengalami krisis perceraian, upaya konseling pastoral terhadap keluarga

yang mengalami krisis perceraian, tingkat kemarahan, stress dan makna hidup para istri yang

mengalami krisis perceraian sebelum dan sesudah Konseling Pastoral. Dan sejauh mana

dampak Konseling Pastoral menurunkan tingkat kemarahan, stress dan meningkatkan makna

hidup para istri mengalami krisis perceraian.

Bab ke-tiga memuat tentang metodologi penelitian yang di dalamnya mencakup:

prosedur penelitian lapangan: lokasi penelitian dan waktu penelitian, populasi dan sampel,

gambaran umum klien/pasien dan alat ukur yang dipakai.

Bab ke-empat memuat tentang pembahasan data: Krisis keimanan klien sebelum

pendampingan pastoral, Krisis keimanan klien sesudah pendampingan pastoral, Pengharapan

klien sesudah pendampingan pastoral, kebutuhan, pikiran dan perasaan klien yang mengalami

krisis perceraian, faktor-faktor yang mempengaruhi krisis perceraian dalam pernikahan klien,

Aspek-aspek krisis perceraian dalam pernikahan , lama pendampingan pastoral, diskusi dan

refleksi.

Bab ke-lima memuat tentang kesimpulan dan saran yang berisikan: uraian kesimpulan

penulis atas uraian dan hasil penelitian sebagai jawaban atas hipotesa dan saran keapda

peneliti berikutnya, kepada gereja dan kepada masyarakat khusunya lembaga adat.

Demikianlah sitematika penulisan diperbuat dalam penulisan tesis ini dengan harapan

dapat memberi gambaran atau rangkuman seluruh penulisan ini.

10. Kepustakaan

Abednego dalam Ferdinan Sulaiman dkk (ed), Struggling in Hope, Jakarat: BPK-GM, 1999.

Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral, 1973.

22
Abineno, J. L. Ch., Penggembalaan, Jakarta: BPK-GM, 1963.

Adam, J. Masalah-masalah Dalam Rumah Tangga Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2001.

Ali Lukman, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,

Anthony, L., Pelayanan Pastoral, (Unplublised).

Barna, George, Leaderson Leadership, Malang : Gandum Mas, 2002.

Baron Renee & Wagele Elizabeth, Eneagram, Jakarta, Serambi, 2007

Bowman, Henry A., A Christian Interpretation of Marriage, Philadelphia: The Westminster

Press, 1952

Burger, J, Personality, New York; ITP, 1997.

Clinebell, Howard J., “The Basic Type of Pastoral Counseling”, Nashville : Abingdon, 1984.

Clinebell Howard, Tipe-tipe dasar pendampingan dan konseling pastoral, .

Colins, G., Christian Counseling, USA: W. Publishing Group, 1988

Corey Gerald, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Bandung, Refika Aditama, 2005

Ella Hadi Nurlaela, Aplikasi Metode Kualitatif Dalam Penelitian Kesehatan, Depok: FKM

UI, 2000,

Gerarld Caplan alam Tjaard & Anne Hommes, Konseling Krisis, Seri Pastoral 317-Pusat

Pastoral Yogyakarta 2000 No 10; hal 9-10

Gilarso, Sj, T., (ed), Membangun Keluarga Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1996

Gintings, E.P., Keluarga Kristen, Kabanjahe: Masa Baru, 1989.

Gintings, E.P., Gembala dan Penggembalaan, Kabanjahe: Abdi Karya, 2002.

Graham, Billy,The Christ Centered Home, Minesatta The Billy Graham Evangelistic

Association Box 179.

Gunarsa, Dra. Ny. Singgih D. & DR. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga, Jakarta:

BPK-GM, 1976.

Hadikusuma, H. Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung; Mandar Masa, 1990.

23
Hommes, Tjaard G. dan Singgih, Gerrit E., (ed.)., “Teologia dan Praksis Pastoral”, Jakarta-

Yogyakarta : BPK Gunung Mulia-Kanisius, cet. 2, tahun 1994

Hommes Tjaard & Anne, Konseling Krisis, seri Pastoral 317, Pusat Pastoral Yogyakarta 2000

no.1

Koentjaniaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983,

Malmin, Glenda, Wanita Engkau Dipanggil dan Diurapi, 2003.

Nasir Muhammad, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1998

Nimkoft, Meyer Fancis, Hougthon, 1975

Oden, T. C., dalam Derek J. Tidball, Teologi Penggembalaan.

Pasaribu, Marulak, Pernikahan dan Keluarga Kristen, Batu-Jawa Timur; Dept. Literatur

YPPII, 2005

Poerwardarminta, W. J. S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; PN Balai Pustaka, 1984.

Putra, Ekadarma, Kepemimpinan Dalam Perspektif Alkitab, Yogyakarta: Yayasan Media

Buana Indonesia, 2002.

Qates, Wayne, dalam T.S. Wiryasaputra, Pendampingan Pastoral Kepada Orang Sakit,

Yogyakarta: Seri Pastoral No. 245 Yogyakarta, 1995

Robert, R & Ebertd, A. Enneagram, Manila: Paulist Press, 1996.

Rogers, C. On Becoming A Person. USA: Hougthon Miflin, 1988

Roy W., Failchhild, Christerian In Families, Curriculum Press, 1964.

Stanley, Andy, Visioneering, Yogyakarta : Penerbit Yayasan ANDI, 2002.

Storm, M. Bons, Apakah Penggembalaan Itu?, Jakarta: BPK-GM, 1988

Subekti, Praf,Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta; PT. Intermasa, 1980.

Sukosworo, Ignatius,Seni Berkomunikasi Dalam Membangun Keluarga Kristen, Jakarta:


Obor, 2000

Surakhmad Winaromo, Pengantar Pendidikan Prosedur dan Strategi, Bandung:


Tarsito1985,

24
Swindol, Charles R., Perceraian, Jakarta: BPK-GM.

Thomas, Sj., Jhon L., Beginning Your Marriage, United Nates Buchely Publications, 1982.

Thornton, M, Theology: A Reorientation.Wijayanta, Sigit, Transformasi Masyarakat, Bekasi:

Bina Warga, 2000.

Wells, Rosemery,Ayah Ibuku Bercerai, Jakarta; BPK-GM, 1991.

Wright Christopher : Hidup Sebagai Umat allah; Etika Perjanjian Lama: Poligami dan

Perceraian, BPK Gunung Mulia, 1995, Halaman : 180-183

Wrigth, Norman, Konseling Krisis: membantu orang dalam Krisis dan sters,Malang: Gandum

Mas, 2000

Wynn, Jhon Charles, (ed), Sex, Family and Sosiety in Theological Focus, New York,

Association Press, 1966.

Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta; PT. Delta Pamungkas, 1977.

Website

http://www.pemantauperadilan.com

http://www.gii-usa.org,

http://www.sarapanpagi.org

http://www.gki.com

http://digilib.itb.ac.id

http://www.seniornews.co.id/

http://www.claraistiwidarumkrisanto.com

25
PROPOSAL TESIS

NAMA : DEDI I.M SITUMEANG

NIM : 07.07.048

PROGRAM : MAGISTER THEOLOGIA (M.TH)

JUDUL TESIS : PASTORAL KONSELING TERHADAP PARA


ISTRI YANG MENGALAMI KRISIS
PERCERAIAN

Dan Dampaknya Untuk Menurunkan Tingkat


Kemarahan, Stress Dan Meningkatkan Makna
Hidup Para Istri Yang Mengalami Krisis Perceraian
Di Jemaat GKPI Resort Porsea

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER THEOLOGIA


SEKOLAH TINGGI THEOLOGIA ABDI SABDA
JL.BINJAI KM.10,8 MEDAN
OKTOBER - 2008

Daftar Bacaan

26
W. J. S. Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; PN Balai Pustaka, 1984,.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta; PT. Delta Pamungkas, 1977,
H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung; Mandar Masa, 1990, hlm.
160-162.
Praf Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta; PT. Intermasa, 1980,.
H.Norman Wright, Konseling Krisis:membantu orang dalam Krisis dan sters,
Malang:Gandum Mas, 1993,
Gerarld Caplan alam Tjaard & Anne Hommes, Konseling Krisis, Seri Pastoral 317-Pusat
Pastoral Yogyakarta 2000 No 10;
Nimkoft, Meyer Fancis, Hougthon, 1975
Jhon Charles Wynn (ed), Sex, Family and Society in Theological Focus, New York,
Association Press, 1966,
E.P. gintings, Gembala dan Penggembalaan, Kabanjahe:Abdi Karya, 2002,
E.P. Gintings, Keluarga Kristen, Kabanjahe: Masa Baru, 1989,
Jhon Charles Wynn (ed), Sex, Family and Society in Theological Focus, New York,
Association Press, 1966,
T. Gilarso, Sj (ed), Membangun Keluarga Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1996
Winarno Surakhmad, Pengantar Pendidikan Prosedur dan Strategi, Bandung: Tarsito1985,
Sumanto, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi Offset, 1990,
Mohammad Nasir, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1998
Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
Hadi Nurlaela Ella, Aplikasi Metode Kualitatif Dalam Penelitian Kesehatan, Depok: FKM
UI, 2000,
Koentjaniaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983,
http://www.pemantauperadilan.com
http://www.gii-usa.org
http://www.sarapanpagi.org
http://www.ekadarmaputra.com
http://digilib.itb.ac.id
http://www.seniornews.co.id
http://www.claraistiwidarumkrisanto.com

27

Anda mungkin juga menyukai