Pada mulanya Allah menciptakan manusia sesuai dengan gambar dan rupa Allah.
Pernyataan ini terkait dengan eksistensi Allah yang kekal sebagai pencipta. Allah
menciptakan laki-laki dan perempuan menurut gambar Allah, hal itu berarti bahwa
seksualitas adalah ciptaan dan ada dalam rencana Allah, bukan akibat dosa manusia, oleh
sebab itu seks adalah sesuatu yang baik, kudus, mulia dan sesuatu yang berarti di dalam hidup
manusia.1
Pernikahan Kristen adalah sebagai persekutuan rohani, maka harus dimulai dengan
kehadiran dan berkat Allah sebagai dasar kehidupan pernikahan/keluarga, sehingga suami-
isteri dapat mewujudkan pernikahan/keluarga sesuai dengan kehendak Allah. Maka makna
Tuhan, dimana kedua mempelai berdiri/berlutut untuk memohon dan menerima ‘berkat Allah’
Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-
sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga, saat kedua pasangan tak
dalam 2 bentuk yaitu factor-faktor umum dan faktor-faktor determinan. Beberapa factor-
faktor umum yang sering menyebabkan suatu perceraian antara lain:2 Ekonomi, Berselingkuh,
Tidak Cocok, Bertengkar terus, Masalah penyiksaan atau KDRT, Sakit / cacat tubuh,
Perbedaan agama. Selain itu faktor-faktor determinan 3 penyebab terjadinya perceraian dalam
1
Jhon Charles Wynn (ed), Sex, Family and Society in Theological Focus, New York, Association Press,
1966, hlm. 62-63.
2
http://www.gii-usa.org
3
http://digilib.itb.ac.id
1
Para istri yang mengalami krisis perceraian merasa terluka karena ditolak oleh bekas
kebencian, dendam, kesendirian, keraguan akan diri sendiri, dan stress/depresi bercampur
aduk semuanya dan menghasilkan luka kedukaan yang semakin besar yang sering berasal dari
perceraian tersebut.
Melalui test yang telah dilakukan dengan alat ukur kemarahan, stress dan makna
hidup ternyata para istri yang mengalami krisis perceraian mengalami masalah kemarahan
stress dan hilangnya makna hidup. Maka penulis berkeinginan untuk menulis tentang pastoral
Konseling terhadap para istri yang mengalami krisis perceraian untuk melihat sejauh mana
dampak pastoral konseling yang dilakukan kepada para istri yang mengalami krisis perceraian
dapat menurunkan tingkat kemarahan dan stress serta meningkatkan makna hidup mereka.
Sustaining, Reconciling dan Nurturing) dengan cara mendengar, berbicara dan bertanya
secara empati kepada konseli diharapakan dapat menghatarkan konseli kepada curative
factors yakni suatu self disclosure dan insight yang baru. Setiap pertemuan jika dimungkinkan
akan selalu diselang-selingi dengan lagu, doa artinya mengandalkan pertolongan dan
Pernikahan adalah suatu lembaga persekutuan yang diciptakan dan ditetapkan oleh
Allah antar seorang laki-laki dengan seorang perempuan (heterosexual) yang didahului
tindakan, meninggalkan orang tua oleh karena cinta, dengan sepengetahuan masyarakat
(bersatu) dan mencapai kepenuhannya dalam satu daging (one flesh) dan dimahkotai
(diberkati) dengan penganugerahan anak. Riwayat penciptaan secara jelas berbicara tentang
satu suami satu istri, "satu daging" antara satu laki-laki dan satu perempuan (Kej. 2:24).
2
Dalam pernikahan yang pertama di taman Eden, Allah mempunyai peranan dalam
memberkati mereka (Kej. 2:16-23; Kej. 1:28). Kemudian Allah menyatakan dasar pernikahan
itu dengan mengatakan “oleh karena itu seorang laki-laki meninggalkan orang tuanya dan
bersatu dengan isterinya, dan mereka menjadi satu daging (Kej. 2:24). Perkawinan merupakan
bertemunya dua manusia yang berbeda dalam hal karakter, kepribadian, prinsip dan tujuan
hidup, serta keinginan dan harapannya, maka dalam perjalanan pernikahan itu sendiri akan
sulit menemukan jalan lurus tanpa belokan-belokan dan hambatan-hambatan dan kelokan-
kelokan tajam yang akan membuat orang yang menempuhnya selalu waspada. Perbedaan-
perbedaan inilah yang sering menjadi pangkal sebab dan salah paham yang mengganggu
Dalam Kitab Kejadian 2:24 disebut tujuan perkawinan ialah relasional dan
procreational. Pertama Allah tidak merasa baik bila manusia itu sendirian. Ini berarti
perkawinan sebagai lembaga yang diciptakan Allah adalah relasional, memberi teman
penolong (hubungan satu dengan yang lain). Kedua, perkawinan itu untuk bertambah-tambah
Pernikahan adalah pemberian Tuhan untuk seumur hidup untuk saling mengenal.
Tujuan relasional dan procreasional diberikan Tuhan dalam hidup perkawinan sebagai
lembaga yang ditetapkan Tuhan.4 Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa
pernikahan adalah persekutuan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bersifat
persekutuan rohani yang diikat oleh ‘janji kasih’ sebagai sarana atau wadah yang dikehendaki
oleh Allah untuk menikmati kebahagiaan hubungan seksual. untuk saling mengenal seumur
hidup.
4
E.P. gintings, Gembala dan Penggembalaan, Kabanjahe:Abdi Karya, 2002, hlm. 72-73; dan E.P.
Gintings, Keluarga Kristen, Kabanjahe: Masa Baru, 1989, hlm. 19-30.
3
Pengertian dan dasar pernikahan dalam Perjanjian Baru kemudian ditegaskan oleh
Tuhan Yesus dengan mengatakan: “Oleh karena itu, apa yang telah dipersatukan oleh Allah,
tidak boleh diceraikan oleh manusia (Mrk. 10:9).5 Dari tindakan Allah ‘mempersatukan’
mereka dan dari dasar pernikahan yang ditetapkan oleh Allah, menyatakan bahwa pernikahan
Dasar pernikahan Kristen sampai hari ini adalah Allah yang menetapkan dan
mempersatukan suami-isteri dalam suatu ikatan persekutuan hidup, dan apa yang sudah
dipersatukan oleh Allah tidak dapat dipisahkan oleh apa dan siapapun, sampai kematian
memisahkan, (Bnd. Mat. 19:1-12; Mrk. 10:2-9).Pernikahan adalah suatu ikatan perjanjian
(ditahbiskan) oleh Allah. Pernikahan sebagi suatu persektuan hidup dilandasi oleh persetujuan
atau perjanjian bebas oleh karena cinta dan persetujuan kedua belah pihak harus dinyatakan
secara jelas di hadapan saksi-saksi yang syah6 yaitu dihadapan jemaat dan keluarga.
karena hubungan seks dalam pernikahan yang dinyatakan dalam dasar pernikahan ‘satu
daging’ (one flesh) mencakup seluruh keberadaan suami-isteri (tubuh, jiwa dan roh). Juga
mempunyai ‘religious oriented’ (tujuan rohani) yaitu untuk memuliakan Allah dan hubungan
suami-isteri sebagai cerminan hubungan Allah dengan umat-Nya dan hubungan Kristus
dengan gereja-Nya (bnd. Ef. 5:22-23). Allah menciptakan laki-laki dan perempuan menurut
gambar Allah, mengatakan bahwa seksualitas adalah ciptaan dan ada dalam rencana Allah,
bukan akibat dosa manusia, oleh sebab itu seks adalah sesuatu yang baik, kudus, mulia dan
Setiap pasangan menginginkan keutuhan dalam membangun rumah tangga. Bagi umat
Kristen, perceraian atau pembubaran perkawinan tidak diijinkan mengingat ajaran Yesus yang
5
Jhon Charles Wynn, Op.cit, hlm. 76.
6
T. Gilarso, Sj (ed), Membangun Keluarga Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 9.
7
Jhon Charles Wynn, Op.cit, hlm. 62-63.
4
tertulis dalam Matius 19:1-10 bnd. Markus 10:1-9. Sebab apa yang telah dipersatukan Allah
tidak boleh diceraikan manusia8. Namun realitas menunjukkan angka perceraian kian
1. Maleakhi 2:16a: “Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel.”
Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komitmen seumur hidup.
“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah
2. Dalam Perjanjian Lama Tuhan menetapkan beberapa hukum untuk melindungi hak-hak
dari orang yang bercerai, khususnya wanita (Ulangan 24:1-4). Yesus menunjukkan bahwa
hukum-hukum ini diberikan karena ketegaran hati manusia, bukan karena rencana Tuhan
(Matius 19:8).
3. Kontroversi mengenai perceraian dalam Alkitab berkisar pada kata-kata Yesus dalam
Matius 5:32 dan 19:9. Frasa “kecuali karena zinah” adalah satu-satunya alasan dalam
Alkitab di mana Tuhan memberikan izin untuk perceraian dan pernikahan kembali.
Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-
Tahun 197410 Tentang Perkawinan tidak memberikan definisi mengenai perceraian secara
khusus. Pasal 39 ayat (2) Undang Undang Perkawinan (UUP) serta penjelasannya secara kelas
8
Jikapun ada alasan satu-satunya bagi suami untuk menceraikan isterinya karena zinah, sesuai dengan
konteks Injil Matius yaitu dekat dengan ke-Jahudian dimana seseorang harus menjaga kesucian/kekudusan
rumah tangganya, justru hal tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk kawin lagi. Sebab siapa yang berbuat
demikian dia juga digolongkan berzinah. Jika pada zaman dahulu banyak orang meminta surat cerai kepada
Musa, itu dicap Yesus sebagai kesengsaraan hati (Mat. 19:7-9).
9
http://www.gki.com
10
http://www.pemantauperadilan.com
5
menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah
ditentukan. Definisi perceraian di Pengadilan Agama itu, dilihat dari putusnya perkawinan.
Putusnya perkawinan dalam UUP dijelaskan, yaitu: karena kematian, karena perceraian,
Perceraian ialah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin
Alkitab tidak pernah merestui adanya perceraian, sebab perceraian merupakan suatu
penghacuran terhadap janji setia pernikahan. Namun kenyataannya di dunia masih ada
pasangan yang melanggar janji setia itu. Beberapa alasan umum yang sering menyebabkan
suatu perceraian antara lain:11 Ekonomi, Berselingkuh, Tidak Cocok, Bertengkar terus,
Penyiksaan, Masalah penyiksaan atau KDRT, Sakit / cacat tubuh, Perbedaan agama. Selain
Istilah perceraian berasal dari kata ‘cerai’ yang artinya pisah, tidak bersatu lagi, ibarat
nyawa yang sudah pisah dengan tubuhnya.13 Dalam ikatan perkawinan, bercerai berarti
suami-isteri yang diatur menurut tata cara yang dilembagakan untuk mengatur hal itu. Dengan
adanya perceraian, maka terbuka pula peluang bagi suami-isteri untuk kawin lagi. 14 Dan
aturan tersebut berbeda-beda tergantung pada adat dan agama yang dianut.
tentang perceraian. Pada dasarnya perceraian perkawinan dikenal dalam hukum adat atau
11
http://www.gii-usa.org,
12
http://digilib.itb.ac.id
13
W. J. S. Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; PN Balai Pustaka, 1984, hlm.
2000.
14
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta; PT. Delta Pamungkas, 1977, hlm. 79.
6
hukum agama. Ini dinyatakan dalam hukum perkawinan Indonesia. 15 Dalam buku pokok-
pokok hukum, perkawinan hapus16 jikalau satu pihak meninggal. Selanjutnya ia hapus juga,
jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat ijin hakim, bilamana pihak yang lainnya
meninggalkan tempat tinggalnya hingga sepuluh tahun lamanya dengan tiada ketentuan
berarti penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam
perkawinan itu.
antara suami dan isteri, tetapi harus ada alasan yang sah. Adapun alasan-alasan (dasar) untuk
1. Zinah
kejahatan.
1. Salah satu pihak mendapat cacat badan dengan tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami-isteri.
ditinggalkan suaminya atau mengalami krisis perceraian adalah kekecewaan, sakit hati, benci
dan dendam tapi yang paling mendominasi adalah Kemarahan yang begitu besar.
15
H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung; Mandar Masa, 1990, hlm. 160-
162.
16
Praf Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta; PT. Intermasa, 1980, hlm. 42.
17
H. Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm. 162.
18
Undang-undang Perkawinan Pasal PP9 dalam Praf Subekti, Op.cit, hlm. 42.
7
“Kemarahan” adalah keadaan emosi yang bisa dialami setiap orang pada saat-saat tertentu
yang bisa dilakukan secara tersembunyi (terpendam) maupun terang-terangan, bisa dalam
waktu singkat maupun lama dalam bentuk kebencian, dendam, dsb. Kemarahan itu bisa
merusak (“destruktive”) bila dalam ekspresi emosi yang tak terkendali, tapi bisa juga
Kemarahan terjadi bila dalam proses perjalanan kehidupan itu terjadi ganjalan dalam
mencapai sesuatu yang diinginkan. Hambatan (bloking) tersebut mempengaruhi reaksi “fisik”
maupun “emosi” yang bersangkutan. Reaksi inilah yang bisa dalam bentuk disembunyikan
tapi bisa juga secara terbuka. Malah kemarahan adalah faktor yang sangat menentukan
Istri yang ditingal suami atau Perempuan yang bercerai amat merasakan kurangnya
dukungan sosial dan lebih merasakan terbatas dan terisolasi ketimbang seorang janda. Ia juga
menderita gangguan kesehatan fisik dan mental yang lebih berat dari pada janda. “Perceraian”
biasanya merupakan penghinaan bagi ego, suatu pengalaman mengurangi harga diri. Rasa
gagal dan rasa bersalah yang bersangkutan sering sangat hebat. Para istri yang mengalami
krisis perceraian merasa terluka karena ditolak oleh bekas pasangannya, disertai perasaan-
keraguan akan diri sendiri, dan stress/depresi bercampur aduk semuanya dan menghasilkan
luka kedukaan yang semakin besar yang sering berasal dari perceraian tersebut.
Selain itu masalah-masalah yang dihadapi seorang istri yang ditinggalkan suaminya
dari rasa kesepian. Sementara rasa kesepian berkaitan erat dengan konsep diri negatif dan
19
: http://www.seniornews.co.id/
8
menghasilkan emosi-emosi negatif. Keadaan ini dapat menyulitkan hubungan dengan
orang lain20. Selain itu, adanya pasangan juga memberikan perasaan berharga di mata
masyarakat. Akibatnya, ketika harus hidup sendiri karena perceraian, biasanya individu
mengalami rasa rendah diri ketika berada dalam situasi seremonial, ketika orang-orang
2. Overload dalam Peran. Orangtua tunggal berperan sebagai ayah sekaligus sebagai ibu bagi
sendirian supaya dapat tumbuh menjadi pribadi yang sehat, baik fisik maupun mental.
Wanita yang menjadi orangtua tunggal harus membiasakan diri mengerjakan semua
pekerjaan yang biasa dilakukan pria. Kalau sebelumnya tidak ikut mencari nafkah,
sekarang ia harus bekerja. Ini bukan persoalan yang mudah. Seandainya pria atau wanita
single parent mampu membayar pembantu atau baby sitter, tetap ada beberapa pekerjaan
yang tidak dapat diserahkan kepada orang lain, seperti mengurus pajak, merawat anak
3. Beban Ekonomi. Beban ekonomi menjadi lebih berat bila seseorang biasa mencukupi
kebutuhan ekonomi. bersama pasangan, kemudian harus menanggung sendiri semua biaya
rumah tangga, termasuk biaya pendidikan anak. Kadang keadaan lebih sulit karena anak
yang masih balita sangat tergantung, terutama bila tidak ada orang lain yang dapat
hambatan untuk dapat bekerja. Pada salah satu kasus, seorang ibu mengalami stres karena
anak remajanya mengalami depresi dan gangguan perilaku setelah orangtuanya bercerai.
20
Pada anak, kehilangan perhatian dan kasih-sayang dari salah satu orangtua juga dapat berakibat
negatif. Kasih-sayang yang ia peroleh dari orangtua tunggalnya – yang kadang berlebihan – tidak cukup untuk
mengobati rasa sedih atau kecewa. Seiring dengan berjalannya waktu, anak yang salah satu orangtuanya
meninggal biasanya lebih cepat menyesuaikan diri dengan keadaan. Lain halnya dengan anak yang orangtuanya
bercerai dan harus hidup dengan salah satu orangtua, biasanya lebih sulit menyesuaikan diri. Rasa kecewanya
dapat begitu dalam karena terenggutnya kasih dan kebersamaan dengan kedua orangtuanya. Mereka menjadi
senang menyendiri, melamun, cepat tersinggung, dan cepat marah. Kalau dibiarkan anak tidak dapat lagi
mengontrol diri, sehingga akhirnya tidak mampu berpikir sehat.
9
4. Stigma Masyarakat. Hingga saat ini masih ada kecenderungan masyarakat memberikan
penilaian miring pada orang yang tidak memiliki pasangan saat pergi berdua atau menjalin
hubungan dengan lawan jenis. Pada wanita, penilaian itu seringkali lebih tajam. Bagi
kebanyakan orang, penilaian itu menjadi hambatan untuk berhubungan dengan siapa saja.
Dalam salah satu kasus, seorang ibu yang telah hampir enam tahun menjanda memilih
tidak memiliki rekanan bisnis yang berlawanan jenis demi menjaga citranya di mata
masyarakat.
Perceraian membawa dampak yang besar pada siapapun, baik kepada pasangan yang
bercerai maupun pada anak-anak mereka. Stres akibat perceraian yang terjadi menempatkan
perempuan dalam resiko fisik maupun psikis. Stres karena perceraian dapat menurunkan
kemampuan sistem pertahanan tubuh, menyebabkan individu yang bercerai rentan terhadap
Dampak lain perceraian adalah terutama kepada anak seperti dituliskan Dra. Clara
1. “Efek negatif perceraian pada anak bisa berbeda-beda, Tergantung banyak faktor,
antara lain: dari usia anak, jenis kelamin, kematangan kepribadian, kesehatan
2. Sebuah penelitian menunjukkan, anak perempuan lebih bisa meng-handle hal-hal yang
3. “Problem anak lelaki dari orangtua yang bercerai biasanya lebih serius, mereka lebih
terganggu. Mungkin ini karena lelaki lebih rasional, sementara perempuan lebih
21
Dalam satu penelitian terhadap perempuan yang baru saja berpisah (1 tahun atau kurang) cenderung
menunjukkan kegagalan fungsi daya tahan tubuh daripada perempuan yang perpisahannya terjadi beberapa tahun
sebelumnya (1- 6 tahun) (Kiecolt-Glaser & Glaser, 1988).
22
http://www.claraistiwidarumkrisanto.com
10
4. Pada anak yang masih terlalu kecil, memang agak susah menjelaskan perihal
Sedangkan dampak negatif perceraian yang bisa muncul pada anak seperti :
1. Marah pada diri sendiri, marah pada lingkungan, menjadi pembangkang, tidak
2. Bisa jadi, anak akan merasa bersalah (guilty feeling) dan menganggap dirinyalah
biang keladi atau penyebab perceraian orangtuanya. “Anak merasakan, ‘Ah, jangan-
jangan saya yang membuat Papa-Mama bercerai,’ sehingga muncul rasa marah
campur rasa bersalah.” Apalagi jika dalam proses selanjutnya, terjadi perebutan anak
antara suami-istri. “Anak jadi bingung, pingin ikut ayah, tapi kok akhirnya ikut sang
3. Dampak lain adalah anak jadi apatis, menarik diri, atau sebaliknya, mungkin kelihatan
melihat, apakah ini memang reaksi yang wajar, karena dia sudah secara matang bisa
4. Anak juga bisa jadi tidak pe-de dan takut menjalin kedekatan (intimacy) dengan lawan
jenis. “Ke depannya, setelah dewasa, anak cenderung enggak berani untuk commit
5. Self esteem anak juga bisa turun. “Jika self esteem-nya jadi sangat rendah dan rasa
bersalahnya sangat besar, anak bisa jadi akan dendam pada orangtuanya, terlibat drugs
dan alkohol, dan yang ekstrem, muncul pikiran untuk bunuh diri.”
6. Ada juga yang kemudian jadi merendahkan salah satu orangtua, tidak lagi bisa percaya
pada orangtua, atau sebaliknya, terlalu mengidentifikasi salah satu orangtua. Misalnya,
anak sangat kasihan pada salah satu pihak. “Apalagi jika anak sudah besar dan punya
11
merasa sangat menyesal, merasakan bahwa omongannya tak digubris, merasa
zaman modern sekarang ini semakin banyak orang yang merasakan ketidaktentraman
setiap hari sering diganggu dengan ketiadaan norma-norma tempat dia bisa berdiri dan sering
jiwanya juga tidak kuat lagi. Untuk memperbaiki sebab dan akibat psikologis dari krisis yang
2. Konseling krisis jangka pendek, informal dan formal, diperlukan oleh orang-orang
yang dapat menggerakkan sumber penanggulangan mereka lebih cepat dan mengatasi
krisis mereka lebih konstruktif dengan menerima suatu bantuan dalam hal menguji
realitas dan dalam hal perencanaan pendekatan yang efektif kepada situasi baru yang
3. Konseling dan terapi jangka panjang, dibutuhkan oleh yang terluka berat secara
kejiwaan dan dilumpuhkan oleh kehilangan yang amat besar atau krisis yang terjadi
H. Norman Wright23 membahas anatomi suatu krisis untuk memberikan pertolongan dan
pedoman bagi setiap anggota jemaat karena krisis selalu dihadapi dalam kehidupan setiap
orang. Lebih lanjut dalam "Konseling Krisis" membagi perceraian kedalam 6 tahap yang
saling tumpang tindih bahkan tidak berurutan dan dengan tingkat intensitas yang tidak sam:
23 ?
H.Norman Wright, Konseling Krisis:membantu orang dalam Krisis dan sters, Malang:Gandum Mas,
1993, hal 1-9, 176-179
12
1. Perceraian Emosional. Perceraian ini mulai terjadi saat salah satu atau kedua pihak
pasangan menyembunyikan emosi dalam hubungan mereka. Daya tarik dan rasa percaya
2. Perceraian Secara Hukum. Perceraian ini terjadi ketika salah satu atau keduanya
3. Perceraian Ekonomi. Perceraian ini terjadi dimana kedua pihak mulai melakukan
pambagian hak dan mungkin sang istri yang tadinya tidak bekerja, sekarang harus bekerja
demi kebutuhan.
4. Perceraian Koparental (pasangan yang sudah resmi bercerai, tetapi tetap menjadi orang
tua bersama).
5. Perceraian masyarakat. Perceraian ini terjadi ketika orang yang bercerai tersebut berada
6. Perceraian psikis. Pada tahap ini orang yang telah bercerai menjadi otonom ia mempunyai
kekuasaan untuk menentukan arah dan tindakannya. Apakah itu karena perkembangan
hidup seseorang atau juga karena peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan terjadi. Jalan
hidup merupakan serentetan krisis perkembangan yaitu hal-hal yang dapat diramalkan
atau “developmental Crisis” yang tidak diharapkan sebagian krisis merupakan proses yang
Setiap situasi baru yang dihadapi seseorang selalu memberikan kesempatan untuk
membangun cara baru dalam membangun kemampuannya mengatasi krisis yang dihadapinya.
Seseorang itu harus mempergunakan “inner resources” (kemampuan yang ada didalam
dirinya, yaitu nilai-nilai yang telah tersosialisasi dalam dirinya). Kadang-kadang seseorang itu
harus berusaha berulangkali karena caranya yang pertama tidak berhasil tapi jika ia tekun ia
akan mendapatkan cara-cara untuk mengatasi masalahnya. Berdasarkan sosialisasi yang sudah
13
terjadi dan pengalaman yang sudah terjadi ada maka seseorang itu akan lebih mudah
Tjaard & Anne Hommes24 dalam tullisannya menggutip buku Gerald Caplan,
”Principles of Preventif Psychiatry” secara lebih rinci menjelaskan bahwa setiap orang terus-
menerus dihadapkan pada situasi yang menuntut kegiatan penanggulangan masalah, suatu
krisis terjadi pada diri seseorang ketika kegiatan penanggulangan masalah tidak efektif.
”Inner resources” atau sumber penanggulangan masalah yang ada pada dirinya tidak efektif,
artinya stress yang berasal dari kebutuhannya tidak terpenuhi dibiarkan terus meningkat tanpa
pernah mereda. Tekanan itu berasal dari terhalangnya pemuasan dri beberapa kebutuhan pisik
dan kejiwaan
Masalah kehancuran rumah tangga tepatnya masalah krisis perceraian bukanlah hanya
hanya terjadi di kalangan artis di ibukota atau orang-orang di daerah urban melainkan telah
menyebar sampai ke desa-desa di pelosok negeri ini. Sebagaimana dalam batasan penulisan
nanti bahwa lokasi penelitian beradi di Kabupaten Tobasa, Kecamatan Porsea, tepatnya di
Jemaat GKPI Resort Porsea yang terletak di Desa Patane III. Tercatat warga jemaat yang
berstatus “Padao-dao/panirang-nirangon”25, dalam hal ini rata-rata para istri yang dimaksud
Para istri yang mengalami krisis Perceraian ini hidup dengan mengandalkan hasil
pertanian untuk menghidupi keluarganya. Sebagian diantara mereka sudah memasuki usia 60
tahun keatas. Anehnya sebagaian besar dari mereka tahu keberadaan suaminya bahkan ada
yang masih di sekitar kecamatan Porsea, ada yang sudah menikah ulang ada yang masih
24
Gerarld Caplan alam Tjaard & Anne Hommes, Konseling Krisis, Seri Pastoral 317-Pusat Pastoral
Yogyakarta 2000 No 10; hal 9-10.
25
Istilah ini berarti keadaan yang saling berjauhan, pisah ranjang tapi tidak ada norma hokum formal
menguatkannya. Dalam kondisi seperti ini masyarakat biasanya bersikap tidak mau tahu seolah-olah tidak ada
masalah dalam pernikahannya.
14
bertahan. Beberapa dari para istri yang mengalami krisis perceraian tersebut mengalami
masalah ekonomi sebaba harus menanggung biaya sekolah dan perkuliahan anak-anaknya.
Dalam Pelayanannya GKPI Jemaat Porsea Kota Resort Porsea telah memfasilitasi
pelayanan untuk kaum ibu tapi belum dikhususkan kepada para istri yang mengalami krisis
perceraian. Tetapi dalam pelayanan umum kaum perempuan di GKPI tema-tema khusus
rumah tangga sering dikhotbahkan dan didiskusikan. Hanya saja kekterbatasan waktu bahwa
penulis masih tujuh bulan melayani di GKPI Resort Porsea.. Namun selama beberapa bulan
terakhir ini perkunjungan pastoral dan percakapan sering dilakukan kepada mereka . Ternyata
penulis mendapati bahwa para istri yang mengalami krisis perceraian ini mempunyai keluhan,
pergumulan dan permasalahan yang membutuhkan perhatian yang sangat serius dan
penanganan khusus.
Pergumulan mereka berkisar kepada Kemarahan dan kepahitan hati karena getirnya
kehidupan dalam terpaaan angin krisis ekonomi dan harga diri di masyarakat. Masalah
tersebut cenderung sangat kompleks dan rumit sekali. Dari Pengamatan di lapangan ada
beberapa diantara mereka yang jarang atau tidak beribadah lagi. Jika ditanyakan alasannya
mereka menjawab dengan ketus dan tak bersahabat seolah-olah siap menerima resiko apa
saja. Hal ini disebabkan mereka kehilangan makna hidup dan pengharapan mereka pudar.
Ketika penulis mendekati mereka dengan simpati dan empati yang tinggi menghasilkan
beberapa orang terbuka dan waktu dihantar dengan lagu, saat teduh dan doa tuntunan tak
jarang mereka katarsis dan mulai self disclosure, hingga mendapati insight yang baru sebagai
pastoral Konseling terhadap para istri yang mengalami krisis perceraian dan sejauh mana
dampak pastoral konseling kepada para istri yang mengalami krisis perceraian untuk
menurunkan tingakt kemarahan dan stress serta meningkatkan makna hidup mereka. Melalui
15
kajian ini penulis berharap mengetahui keadaan klien, kebutuhan, pikiran dan perasaannya
serta dapat menolongnya agar dalam kondisi yang demikian itu mereka memproleh
2. Identifikasi Masalah
1. Dalam pernikahan yang pertama di taman Eden, Allah mempunyai peranan dalam
memberkati mereka (Kej. 2:16-23; Kej. 1:28). Kejatuhan manusia ke dalam dosa
berdampak pada seluruh aspek dan eksistensi kehidupan, dimana manusia dalam hal ini
para istri akhirnya berhadapan dengan masalah pernikahan yang mengalami krisis
perceraian..
bathin, stress, kesulitan ekonomi, makna hidup dan hidup rohani terutama bagi para istri
3. Peranan budaya sebagai lembaga adat tidak memberikan peran yang signifikan sebaliknya
4. Para istri yang mengalami krisis perceraian membutuhkan konseling pastoral, agar dapat
menjalani kehidupan secara normal artinya terhindar dari berbagai perasaan yang
menganjal. Karena itu dibutuhkan pendampingan Pastoral dari gereja atau para rohaniwan
(Pendeta)
5. Para istri mengalami krisis perceraian perlu mendapatkan perhatian dan kepedulian yang
serius dari pihak gereja atau rohaniwan dan lembaga adat di Porsea
6. Para istri yang mengalami krisis perceraian akan menunjukkan kesiapan yang mantap
16
3. Pembatasan Masalah
Melihat luasnya ruang lingkup penelitian ini, maka penulis merasa perlu menentukan
batasan masalah agar tulisan ini tidak mengambang. Sehubungan dengan itu Winarno
Berdasarkan hal di atas penulis menyadari bahwa kemampuan yang dimiliki sangat
terbatas, juga hal-hal lainnya yang mendukung penelitian ini. Maka dalam penulisan ini
penulis membatasi masalah dan memfokuskan masalah di sekitar Konseling pastoral kepada
4. Perumusan Masalah
1. Apakah hakekat perkawinan Kristen dan apakah yang dimaksud dengan krisis perceraian?
4. Bagaimana upaya konseling pastoral terhadap para istri yang mengalami krisis
perceraian?.
5. Bagaimana tingkat kemarahan, stress dan makna hidup para istri mengalami krisis
6. Sejauh mana dampak Konseling Pastoral menurunkan tingkat kemarahan, stress dan
26
Winarno Surakhmad, Pengantar Pendidikan Prosedur dan Strategi, Bandung: Tarsito1985, hlm. 39
17
5. Tujuan Penelitian
1. Untuk menjelaskan pengertian tentang hakekat perkawinan Kristen dan apakah yang
perceraian
3. Untuk memaparkan dampak dari pernikahan yang mengalami krisis perceraian terhadap
5. Untuk membandinkan tingkat kemarahan, stress dan makna hidup para istri mengalami
6. Untuk menjelaskan sejauh mana dampak pastoral Konseling dalam menurunkan tingkat
kemarahan, stress dan meningkatkan makna hidup para isrti mengalami krisis perceraian
6. Hipotesa Penelitian
Jika pastoral Konseling dilakukan terhadap para istri yang mengalami krisis perceraian
akan menurunkan tingkat kemarahan dan stress serta meningkatkan makna hidup mereka.
pelayanan pastoral konseling terhadap para istri yang mengalami krisis perceraian
18
2. Memberikan masukan kepada Gereja, Lembaga Kristen yang bergerak dalam dunia adat,
para rohaniawan, serta kaum awam yang terlibat dalam pelayanan terhadap para istri yang
3. Agar gereja atau para rohaniawan menyadari pentingnya peranan mereka dalam
4. Agar pengelola lembaga adat jangan hanya berhenti pada pelayanan adat yang bersifat
umum dihadapan orang banyak tetapi turut terlibat memberikan intervensi terhadap
masalah perceraian.
5. Menjadi suatu kesempatan bagi penulis untuk menerapkan ilmu yang sudah dipelajari
6. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya, untuk pengembangan ilmu teologi,
8. Metode Penelitian
Metode penelitian jelas ada sangkut pautnya dengan pengumpulan data-data dari
lapangan penelitian. Maka dalam penelitian ini dipakai dua jenis metode penelitian, yakni:
menguji hipotesis yang berkaitan dengan status subyek penelitian sekarang.27 Penelitian ini
berusaha mendeskripsi, yaitu memberi gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. 28
27
Sumanto, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi Offset, 1990, hlm. 47
28
Mohammad Nasir, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1998, hlm. 63
19
kesimpulan yang berlaku secara umum.29 Adapun sebagai ciri-ciri metode diskriptif yang
merupakan titik tolak penulis memilihnya sebagai metode dalam penelitian ini adalah:
1. Memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang, pada
Kedua, Metode Kualitatif. Penelitian kualitatif adalah sejenis penelitian formatif yang
secara khusus memberikan tehnik untuk memperoleh jawaban atau informasi mendalam
tentang pendapat dan perasaan seseorang.30 Penelitian ini memungkinkan penulis mendapat
hal-hal yang tersirat (insight) mengenai sikap, kepercayaan, motivasi dan perilaku target
populasi. Informasi atau temuan-temuan yang diperoleh dan secara khusus yang berhubungan
dengan dampak krisis perceraian terhadap kemarahan, stress dan Makna hidup para istri yang
ditinggal suaminya akan dipakai sebagai acuan di dalam pendampingan pastoral bagi yang
mengalaminya.
Ada dua alasan utama penulis yang mendasari penggunaan metode penelitian
yang mendalam sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih besar dibandingkan
dengan tehnik kuantitatif. Kedua, alasan Praktis. Menjadi pertimbangan penggunaan jenis
penelitian ini, yaitu biaya murah, waktu singkat, rancangan dapat dimodifikasi selama
penelitian berlangsung.31
29
Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, ,hlm. 228
30
Hadi Nurlaela Ella, Aplikasi Metode Kualitatif Dalam Penelitian Kesehatan, Depok: FKM UI, 2000,
hlm. 25
31
Hadi Nurlaela Ella Op.cit., hlm. 2-3
20
2. Field Research (penelitian lapangan). Dalam penelitian di lapangan penulis akan
istri yang mengalami krisis perceraian. Wawancara yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah wawancara yang tidak berstruktur namun terfokus 32sekaligus mengukur
tingkat pengharapan dan kekuatan para istri yang mengalami krisis perceraian dalam
akan memaparkan dengan jelas tentang keadaan para istri yang mengalami krisis
perceraian.
Populasi penelitian adalah Jemaat GKPI Resort Porsea. Jumlah sampel adalah 10
orang klien yakni para istri yang sedang mengalami krisis perceraian yang mengalami
kemarahan, stress dan kehilangan makna hidup sehingga kurang berpengharapan dalam iman,
doa serta tidak mendapatkan kekuatan dalam menjalani kehidupannya. Penelitian ini dibatasi
9. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini akan dibagi menjadi lima bab. Dalam bab pertama penulis akan
penelitian, populasi dan sampel serta lokasi penelitian, metodologi penelitian dan sistematika
penelitian.
Bab ke-dua memuat tentang kerangka teoritis yang di dalamnya mencakup: pengertian
32
. Koentjaniaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 139
21
rangka pastoral, pengertian hakekat perkawinan Kristen dan pengertian krisis perceraian,
pernikahan yang mengalami krisis perceraian, upaya konseling pastoral terhadap keluarga
yang mengalami krisis perceraian, tingkat kemarahan, stress dan makna hidup para istri yang
mengalami krisis perceraian sebelum dan sesudah Konseling Pastoral. Dan sejauh mana
dampak Konseling Pastoral menurunkan tingkat kemarahan, stress dan meningkatkan makna
prosedur penelitian lapangan: lokasi penelitian dan waktu penelitian, populasi dan sampel,
Bab ke-empat memuat tentang pembahasan data: Krisis keimanan klien sebelum
klien sesudah pendampingan pastoral, kebutuhan, pikiran dan perasaan klien yang mengalami
krisis perceraian, faktor-faktor yang mempengaruhi krisis perceraian dalam pernikahan klien,
Aspek-aspek krisis perceraian dalam pernikahan , lama pendampingan pastoral, diskusi dan
refleksi.
Bab ke-lima memuat tentang kesimpulan dan saran yang berisikan: uraian kesimpulan
penulis atas uraian dan hasil penelitian sebagai jawaban atas hipotesa dan saran keapda
peneliti berikutnya, kepada gereja dan kepada masyarakat khusunya lembaga adat.
Demikianlah sitematika penulisan diperbuat dalam penulisan tesis ini dengan harapan
10. Kepustakaan
Abednego dalam Ferdinan Sulaiman dkk (ed), Struggling in Hope, Jakarat: BPK-GM, 1999.
22
Abineno, J. L. Ch., Penggembalaan, Jakarta: BPK-GM, 1963.
Press, 1952
Clinebell, Howard J., “The Basic Type of Pastoral Counseling”, Nashville : Abingdon, 1984.
Corey Gerald, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Bandung, Refika Aditama, 2005
Ella Hadi Nurlaela, Aplikasi Metode Kualitatif Dalam Penelitian Kesehatan, Depok: FKM
UI, 2000,
Gerarld Caplan alam Tjaard & Anne Hommes, Konseling Krisis, Seri Pastoral 317-Pusat
Gilarso, Sj, T., (ed), Membangun Keluarga Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1996
Graham, Billy,The Christ Centered Home, Minesatta The Billy Graham Evangelistic
Gunarsa, Dra. Ny. Singgih D. & DR. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga, Jakarta:
BPK-GM, 1976.
23
Hommes, Tjaard G. dan Singgih, Gerrit E., (ed.)., “Teologia dan Praksis Pastoral”, Jakarta-
Hommes Tjaard & Anne, Konseling Krisis, seri Pastoral 317, Pusat Pastoral Yogyakarta 2000
no.1
Pasaribu, Marulak, Pernikahan dan Keluarga Kristen, Batu-Jawa Timur; Dept. Literatur
YPPII, 2005
Poerwardarminta, W. J. S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; PN Balai Pustaka, 1984.
Qates, Wayne, dalam T.S. Wiryasaputra, Pendampingan Pastoral Kepada Orang Sakit,
24
Swindol, Charles R., Perceraian, Jakarta: BPK-GM.
Thomas, Sj., Jhon L., Beginning Your Marriage, United Nates Buchely Publications, 1982.
Wright Christopher : Hidup Sebagai Umat allah; Etika Perjanjian Lama: Poligami dan
Wrigth, Norman, Konseling Krisis: membantu orang dalam Krisis dan sters,Malang: Gandum
Mas, 2000
Wynn, Jhon Charles, (ed), Sex, Family and Sosiety in Theological Focus, New York,
Website
http://www.pemantauperadilan.com
http://www.gii-usa.org,
http://www.sarapanpagi.org
http://www.gki.com
http://digilib.itb.ac.id
http://www.seniornews.co.id/
http://www.claraistiwidarumkrisanto.com
25
PROPOSAL TESIS
NIM : 07.07.048
Daftar Bacaan
26
W. J. S. Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; PN Balai Pustaka, 1984,.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta; PT. Delta Pamungkas, 1977,
H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung; Mandar Masa, 1990, hlm.
160-162.
Praf Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta; PT. Intermasa, 1980,.
H.Norman Wright, Konseling Krisis:membantu orang dalam Krisis dan sters,
Malang:Gandum Mas, 1993,
Gerarld Caplan alam Tjaard & Anne Hommes, Konseling Krisis, Seri Pastoral 317-Pusat
Pastoral Yogyakarta 2000 No 10;
Nimkoft, Meyer Fancis, Hougthon, 1975
Jhon Charles Wynn (ed), Sex, Family and Society in Theological Focus, New York,
Association Press, 1966,
E.P. gintings, Gembala dan Penggembalaan, Kabanjahe:Abdi Karya, 2002,
E.P. Gintings, Keluarga Kristen, Kabanjahe: Masa Baru, 1989,
Jhon Charles Wynn (ed), Sex, Family and Society in Theological Focus, New York,
Association Press, 1966,
T. Gilarso, Sj (ed), Membangun Keluarga Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1996
Winarno Surakhmad, Pengantar Pendidikan Prosedur dan Strategi, Bandung: Tarsito1985,
Sumanto, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi Offset, 1990,
Mohammad Nasir, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1998
Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
Hadi Nurlaela Ella, Aplikasi Metode Kualitatif Dalam Penelitian Kesehatan, Depok: FKM
UI, 2000,
Koentjaniaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983,
http://www.pemantauperadilan.com
http://www.gii-usa.org
http://www.sarapanpagi.org
http://www.ekadarmaputra.com
http://digilib.itb.ac.id
http://www.seniornews.co.id
http://www.claraistiwidarumkrisanto.com
27