Anda di halaman 1dari 3

PEMBENTUKAN

KELUARGA KRISTEN
a) PENDAHULUAN

1. Manusia adalah mahkluk sosial (homosocius) yang selalu hidup berkelompok. Ia tidak dapat
hidup seorang diri saja. Kelompok yang terkecil dalam masyarakat disebut : keluarga, terdiri
dari suami – isteri. Keluarga adalah sebuah ikatan perjanjian (kontrak sosial) yang dibuat oleh
seorang laki-laki dan seorang perempuan di hadapan pejabat pemerintahan (Pejabat Pencatat
Perkawinan Sipil). Ikatan perjanjian itu bersifat yuridis formal, mengikat kedua pihak yang
berjanji serta menetapkan lembaga perkawinan(keluarga) sebagai istitusi hukum (yang terikat
dengan hukum positif dalam Negara).

2. Perkawinan, sesungguhnya, bertujuan membuktikan kekuatan cinta-kasih dan kasih setia


seorang laki-laki kepada seorang perempuan di depan masyarakat. Sekaligus melegalisasikan
perbuatan seksual di antara kedua pihak yang berjanji, sehingga mereka tidak boleh
melakukan perzinahan dengan siapapun sepanjang kehidupan berkeluarga.

b) PERKAWINAN MENURUT KESAKSIAN ALKITAB


Dasar perkawinan menurut kesaksian Alkitab diucapkan oleh Nabi Hosea : “Aku akan
mengikat perjanjian bagimu pada waktu itu dengan binatang-binatang di padang dan dengan
burung-burung di udara, dan binatang-binatang melata di muka bumi; Aku akan meniadakan
busur panah, pedang dan alat perang dari negeri, dan akan membuat engkau berbaring dengan
tenteram. Aku akan menjadikan engkau isteriKu untuk selama-lamanya dan Aku akan
menjadikan engkau isteriKu dalamkeadilan dan kebenaran, dalam kasih setia dan kasih
sayang. Aku akan menjadikan engkau isteriKu dalam kesetiaan, sehingga engkau akan
mengenal TUHAN” (HOS. 2 : 17-20)
Ucapan Nabi Hosea itulah yang menjadi patron (pola, model) bagi perkawinan kristen.
Hosea menjadikan tradisi perkawinan menurut budaya masyarakat Israel sebagai kebiasaan
positif untuk menceritakan, bagaimana Allah membangun hubungan dengan umatNya,
Israel. Ada beberapa tahapan yang wajib dipenuhi pihak laki-laki kepada pihak perempuan :

Pertama, membayar mahar perkawinan. “Aku akan menjadikan engkau isteriKu untuk selama-
lamanya dan Aku akan menjadikan engkau isteriKu dalam keadilan dan kebenaran, dalam kasih
setia dan kasih sayang. Aku akan menjadikan engkau isteriKu dalam kesetiaan, sehingga
engkau akan mengenal TUHAN.” TUHAN, Allah Israel sebagai pihak laki-laki memenuhi adat
kebiasaan Israel dengan memberikan mahar perkawinan, yakni
: keadilan dan kebenaran, kasih-setia dan kasih-sayangserta kesetiaan. Melalui pembayaran
mahar tersebut, Israel dibeli dan dijadikanisteriNya (mempelai perempuan).

Kedua, waktu perkawinan... Menurut Hosea, perkawinan itu berlangsung seumur hidup
: Aku akan menjadikan engkau isteriKu untuk selama-lamanya” (Hos. 2:19). Perkawinan itu
tidak terikat pada waktu, tetapi pada kehendak kedua pihak yang mengikat perjanjian ---
selama-lamanya. Mengapa tidak terikat pada waktu ? Sebab suami-isterilah yang harus
membuktikan, bahwa mereka berdua berkeinginan untuk melanjutkan hubungan cintanya
ke jenjang perkawinan; dan, oleh karena itu, mereka senantiasan akan memperjuangkan dan
mempertahankan perkawinan sampai ‘selama-lamanya.’

Ketiga, perkawinan sah menurut hukum masyarakat. Hosea berkata : “Aku akan mengikat
perjanjian bagimu pada waktu itu”(Hos. 2:18). Budaya Israel Kuno memperlihatkan, bahwa
kedua pihak wajib membuat perjanjian. Apakah tujuannya ? Agar hubungan perkawinan itu
sah di hadapan khalayak ramai yang menyaksikan peristiwa tersebut. Di samping itu,
hubungan cinta-kasih kedua orang itu diakui masyarakat, serta berjalan tanpa gangguan.
Perlu diperhatikan, proses ini dijalani laki-laki dan perempuan di Israel menurut adat istiadat,
dan, hubungan keduanya diikat secara keagamaan maupun hukum --- satu hukum berlaku
untuk semua ---, yakni hukum Taurat.

Keadaan itu berbeda dengan budaya hukum di Indonesia setelah UU Perkawinan tahun
1974 dan penyempurnaannya diberlakukan. Terhadap UU Perkawinan tersebut, Gereja
mempunyai sikap : “Perkawinan disahkan dan diresmikan oleh Negara, sedangkan Ibadah
Pemberkatan Perkawinan Kristen dilakukan oleh Gereja untuk memohonkan berkat atas
keluarga” (bukan ke atas pribadi kedua orang yang menikah). Pandangan tersebut terkait
beberapa alasan :

a) Jika terjadi keputusan perceraian, Gereja tidak boleh dilibatkan, sebab Gereja tidak
mengesahkan dan meresmikan perkawinan. Kedua pihak yang menikah wajib menyelesaikan
masalah keluarganya (perceraian) pada negara.

b) Gereja tidak pernah menyetujui perceraian, apapun alasannya. Hal ini mengingat akan tugas
Gereja selaku pelaksana misi Allah sesuai kesaksian Alkitab. Dan, bertolak dari landasan
alkitabiah, yakni : ucapan Yesus Kristus : “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.
Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mati. 19:6)

Pada sisi lain, Yesus menolak perzinahan sebagai alasan untuk bercerai. KataNya : “Karena
ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah
demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena
zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah” (MAT 19 : 8 – 9). Menurut Yesus,
sebagaimana dicatat Matius, sesungguhnya Musa tidak mau memberikan surat cerai kepada
orang Israel yang ingin bercerai. Surat cerai itu diberikan, karena ketegaran
hati (kerasnya kemauan) mereka untuk bercerai. Itulah yang dimaksudkan Yesus :
“... sejak semula tidaklah demikian.”

Mengapa Yesus berpendapat demikian ? PandanganNya bertolak dari alasan :

 Penciptaan dan pencitraan manusia. Manusia itu : laki-laki dan perempuan (Berfirmanlah
Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, ... Allah menciptakan
manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan
perempuan diciptakanNya mereka” Kej. 1:26-27). Laki-laki tanpa perempuan tidak mungkin,
dan perempuan tanpa laki-laki akan hancur. Keutuhan hidup manusia tampak dalam
kesatauan hubungan laki-laki dan perempuan. Jadi sepasang suami isteri wajib memahami
dan menghayati kemanusiaannya melalui pembinaan hubungan mereka dalam kesatuan
keluarga.

 Pernyataan Adam : “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai
perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki” (Kej. 2:23). Pernyataan Adam (laki-laki) ini sangat
penting : pertama,manusia-laki laki mengakui kesederajadan status sosial serta kesamaan
hakekat manusia-perempuan. Kedua, di dalam pernyataan itu tersirat makna, perbedaan
fungsi manusia-laki laki dan manusia-perempuan, dikarenakan kodrat kelamin. Dan,
perbedaan itu biasa. Yang penting dan yang diutamakan adalah fungsi keduanya bagi
pelayanan akan persekutuan keluarga.

 Perkawinan merupakan simbol yang menyatakan kesatuan hidup yang terjalin dalam
hubungan antara manusia dan Allah. Sama seperti perkawinan mempersatukan laki-laki
kepada perempuan, juga Allah kepada manusia. Inti persekutuan (komune) itu
adalah hubungan-hidup. Tak mungkin ada kehidupan tanpa adanya hubungan. Tak mungkin
ada asap, kalau tidak ada api. Keduanya adalah kesatuan, persenyawaan-hidup-yang-
bergerak. Dalam sebuah kalimat indah Rasul Paulus melukiskan hubungan perkawinan :
“Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat” (Eps. 5:32).
Jadi jika suami-isteri kristen memahami dan menghayati akan kesatuan ilahi yang dimaksud,
sebaiknya, mereka tidak boleh bercerai. Jika perceraian itu terjadi oleh karena kemauan
sendiri, maka suami-isteri kristen tidak menjadi contoh dan alat pemberitaan bagi kemuliaan
Kristus, mempelai Jemaat.
Hubungan perkawinan dan monoteisme Allah. Acapkali kita khilaf. Kita berpikir, bahwa
perceraian hanya meruakan urusan suami-isteri; padahal ia terhubung langsung
pada pengakuan iman. Jika kita mengaku percaya, bahwa Allah yang disembah itu esa, maka
wujud pengakuan itu harus nampak dalam hubungan perkawinan : hanya seorang isteri dan
atau seorang suami saja. Tidak boleh selingkuh (bd. Mal. 2:10 => Bukankah kita sekalian
mempunyai satu bapa ? Bukankah satu Allah menciptakan kita ? Lalu mengapa kita berkhianat
satu sama lain dan dengan demikian menajiskan perjanjian nenek moyang kita ?), sama seperti
Allah setia dan tidak mengkhianati kita.

C. PENUTUP

1. Perkawinan / pernikahan hanya terjadi satu kali seumur hidup. Tidak boleh bercerai (Mal.
2:16 => Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel – juga orang yang
menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu
dan janganlah berkhianat !). Allah tidak menghendaki perceraian, seperti yang diucapkan
Yesus Kristus : “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat. 19:6).

2. Gereja tidak boleh menceraikan pasangan suami isteri. Perceraian adalah urusan suami-isteri
dan Negara. Jika ada suami-isteri di dalam Jemaat yang bercerai, maka Gereja wajib
melaksanakan percakapan pastoral, agar mereka tidak bercerai. Akan tetapi jika oleh
kekerasan hatinya mereka tetap melanjutkan perceraian, maka Gereja wajib menempatkan
pasangan suami isteri itu dalam status penggembalaan khusus sammpai masalahnya selesai
tuntas.

3. Gereja tidak menssahkan maupun meresmikan perjanjian perkawinan menurut hukum


negara. Gereja hanya memohonkan berkat Allah atas keluarga yang telah dibentuk
berdasarkan perjanjian menurut hukum negara.

Anda mungkin juga menyukai