Anda di halaman 1dari 8

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)

Jemaat "BUKIT AGAPE" ENTIKONG

□BAHAN PENGAJARAN KATEKISASI PRA-PERKAWINAN GPIB

● PERTEMUAN 1 (BACA KITAB EFESUS 5 : 22-33)


PERKAWINAN
Pengantar
Perkawinan menjadi penting karena mengubah perjalanan dan status hidup seseorang.
Pelaksanaan perkawinan di Indonesia biasanya melibatkan banyak pihak, seperti : para calon,
keluarga, gereja, masyarakat dan negara. Status keluarga yang diperoleh pasangan nikah
mengikat diri mereka kepada norma-norma yang berlaku dalam gereja dan masyarakat.
Perkawinan kristen bersifat monogami, tidak terceraikan, dan menempatkan prinsip
kesetaraan bagi suami-isteri yang didasarkan pada kasih Kristus. Untuk mencapai
kebahagiaan sebagai keluarga Allah, maka kebahagiaan itu harus dihadirkan, dipelihara,
sehingga menjadi kebiasaan. Hal tersebut tentu perlu disertai dengan kedewasaan iman
dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan dalam kenyataan hidup yang terus berubah.
Keluarga yang ideal adalah keluarga Allah, dimana hubungan antara sesama anggota
keluarga berada dalam hubungan kasih dan kesetiaan, sebagaimana Kristus mengasihi
umatNya. Keberadaan itu diharapkan dapat dikhayati dan diberlakukan untuk menjadi berkat
bagi gereja dan masyarakat.
Pengertian :
Nilai : perasaan tentang apa yang dianggap penting atau tidak penting yang mempengaruhi
perilaku orang yang memiliki nilai itu.
Norma: petunjuk-petunjuk hidup yang berisi kewajiban atau larangan yang mengikat perilaku
dari suatu kelompok masyarakat atau gereja .
Uraian Materi Pelajaran
1.Perkawinan pada umumnya
Dalam masyarakat sudah ada prosedur dan tata cara pelaksanaan perkawinan. Dalam
pelaksanaan perkawinan itu, tak jarang disertai juga dengan kebiasaan-kebiasaan atau adat
setempat sejauh tidak bertentangan dengan perkawinan pada umumnya. Apa yang menjadi
syarat-syarat administratif perkawinan berdasarkan Undang-undang Perkawinan tahun 1974
berlaku juga bagi gereja. Perkawinan merupakan hal penting dalam perjalananan hidup
seseorang. Dengan perkawinan status seseorang berubah dalam masyarakat dan gereja.
Status perkawinan itu membolehkan suami-isteri hidup bersama menjalani kehidupan seksual
dan memperoleh anak dari hubungan mereka selaku suami-isteri. Sehubungan dengan
perubahan status perkawinan seseorang, maka hal itu harus diketahui oleh masyarakat
umum.
(Sesudah butir 1 ini, para peserta membaca referensi alkitab yang tersebut diatas,
kemudian minta tanggapan terhadap mereka beberapa hal mengenai ; beberapa versi cerita
tentang penciptaan manusia ; laki-laki dan perempuan. Ajukan pertanyaan mengenai adakah
petunjuk monogami dan poligami dalam alkitab? Apakah kata kitab suci mengenai perkawinan
dan perceraian? Berikan beberapa penjelasan bila perlu, kemudian masuk pada butir.2)

1
2.Apa yang dimaksud dengan perkawinan Kristen ?
Pada umumnya gereja (Protestan) memandang, bahwa perkawinan merupakan urusan
masyarakat, artinya masyarakatlah yang memberi status perkawinan bagi sepasang laki-laki
dan perempuan. Dalam hal ini Petugas Pencatat sipil yang melegalkan status suami-isteri itu
dalam bentuk sebuah akte perkawinan. Namun bagi gereja, perkawinan yang dilakukan
berdasarkan Undang-undang itu masih merupakan perkawinan duniawi.
Perkawinan perlu lebih diperdalam dari sisi rohaninya. Perkawinan kristiani merupakan ikatan
janji suami-isteri untuk membangun kehidupan keluarga yang berdasarkan kasih Allah didalam
Kristus. Hubungan suami-isteri menggambarkan hubungan Allah dan manusia atau
mencerminkan Kasih Kristus yang abadi terhadap umat-Nya (Ef 5:22-33). Untuk pelaksanaan
perkawinan kristiani tersebut, lembaga gereja mengatur secara tersendiri. Sesuai tugas dan
aturan yang berlaku, gereja wajib menerima permohonan calon (suami-isteri) yang akan
menikah. Dengan permohonan calon (suami-isteri) tersebut, gereja mendapat tugas dari Allah
untuk meneguhkan dan memberkati calon (suami-isteri) itu menjadi suami-isteri dari sebuah
keluarga Kristen yang baru dan mandiri.
3. Tujuan Perkawinan Kristen
Pada dasarnya perkawinan bertujuan untuk mencapai kehidupan bersama suami-isteri
bahagia yang mencerminkan kasih Kristus yang abadi.
Dalam Kitab Suci disabdakan,”... laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”, (Kej. 1:27).
Tuhan memperkenankan mereka hidup dalam kebersamaan untuk memperoleh keturunan
(beranak cucu) dan mengelola alam ini, supaya hidup ini terjaga dan berlanjut dan Allah
menghendaki supaya semua ciptaan-Nya memuji Tuhan, (Mazmur 148). Untuk
melangsungkan pemeliharaan kehidupan ini, Tuhan mengaruniakan keluarga sebagai
wadahnya, (band. Kej. 2:24). Keluarga itu dapat dibentuk melalui ikatan suami-isteri dalam
perkawinan. Perkawinan itu merupakan ikatan janji suami-isteri untuk mencapai kebahagiaan
bersama dalam keluarga yang mencerminkan kasih Kristus.

● PERTEMUAN 2 (BACA KITAB MATIUS 19 :1-12)


4. Sifat Perkawinan Kristen
- Pertama, bersifat monogami, artinya seorang suami hanya memiliki satu isteri. Demikian
juga tentunya, seorang isteri hanya memiliki satu suami. (KEJADIAN 2:22)
- Kedua, tak terceraikan. Artinya hidup perkawinan itu menuntut kesatuan, kebersamaan
dan kesetiaan satu sama lain antar pasangan. Karena itu gereja menolak perceraian (lihat
akta gereja GPIB tentang Perkawinan).
- Ketiga, kesetaraan. Pasangan suami-isteri adalah laki-laki dan perempuan yang
mempunyai kesetaraan. Pada dasarnya semua manusia, laki-laki dan perempuan adalah
sama dihadapan Tuhan. Namun harus diakui setiap orang bisa berbeda dalam kepribadian
dan kemampuan karunianya. Laki-laki dan perempuan mempunyai keunikannya masing-
masing. (KEJADIAN 2:18)
Sebagaimana pada butir 3 diatas, dasar hubungan suami-isteri adalah kasih Allah
didalam Kristus. Yang dimaksudkan dengan kasih Allah ini tidak bisa disamakan dengan
kasih yang ada pada manusia. Pada dasarnya kasih ini adalah kasih yang menyelamatkan
dan menghidupkan. Kasih yang diungkapkan dalam bentuk kecerdasan hati, jiwa, akal budi
dan kekuatan fisik kita. (band.Markus 12:30) Kualitas kasih Allah ini dinyatakan juga dalam I
Korintus 13. Kesatuan yang dimaksud bukan hanya dalam arti fisik, tetapi juga kesatuan
mendalam yang meliputi seluruh potensi diri mereka secara utuh selaku suami-isteri.
2
Kesatuan pasangan suami-isteri yang didasarkan pada kasih Allah menempatkan mereka
untuk saling menghargai dan melengkapi.
Karena itu sejak awal perkawinan, pasangan hidup nikah dituntut mengambil
keputusan berdasarkan nurani dan imannya untuk memasuki perkawinan. Keputusan untuk
hidup tidak menikah atau menjadi single parent dapat juga diambil setelah seseorang
mempertimbangkan akan kemampuan-kemampuan dan keterbatasan seseorang yang
digumulinya bersama Tuhan.
Kehidupan dalam kasih ditengah kenyataan masyarakat yang terus menerus berubah
senantiasa menghadapi tantangannya. Nilai-nilai dan norma dalam masyarakat berpengaruh
secara timbal balik dengan nilai-nilai dan norma-norma yang kita pegang. Salah satu
tantangannya ditandai dengan ketidak-adilan dalam pembagian kerja dalam rumah tangga ;
baik karena pengaruh budaya tradisional ataupun karena budaya modern. Atau beberapa
bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tindakan kekerasan dalam rumah tangga
bukan saja melanggar hukum, melainkan juga tidak sesuai dengan kehidupan dalam kasih
Allah itu. Sebagaimana perkawinan kristiani didasarkan pada kasih Allah, maka dalam
perkawinan kristiani pengampunan harus senantiasa terbuka dengan suatu kesadaran
bersama untuk bertumbuh semakin dewasa. Disinilah betapa pentingnya kasih itu diiringi
dengan komitmen. Kasih Allah yang abadi itu dan cinta manusiawi yang terbatas itu harus
sama-sama ada dalam kehidupan perkawinan.
Menurut psikolog Sternberg yang dikutip oleh Les Parrot III, dan Leslie Parrot
(2001;hal.34 )”cinta bagaikan sebuah segitiga, memiliki 3 sisi, yakni ; gairah(passion),
keintiman(intimacy) dan komitmen(Commitment)”. 3 hal tersebut harus berada secara
seimbang satu dengan yang lain. Kehidupan dalam kasih Allah jangan disalah-artikan, seolah-
olah segala sesuatu akan berjalan mulus. Dalam rumah tangga dapat saja terjadi perdebatan
dan konflik. Akan tetapi bila itu terlalu sering terjadi, salah satu faktornya adalah soal
komunikasi atau sikap penerimaan satu sama lain. Yang harus dihindari ialah agar konflik
tidak merusak hubungan keluarga. Dan agar supaya perdebatan tidak menjurus kepada
kekerasan kata dan kekerasan fisik. Peran pasangan suami-isteri dalam menghadirkan
gambaran segitiga cinta itu yang didasari kasih Allah sangat penting. Kebahagiaan harus
dipelihara dan ditumbuhkan terus menerus.
Perkawinan merupakan karunia Tuhan untuk membangun keluarga yang dikehendaki
Allah. Pencapaian kebahagiaan selaku suami-isteri bukan saja untuk sekedar melanjutkan
generasi atau memperoleh keturunan tetapi juga untuk berbagi hidup dengan menumbuhkan
terus nilai-nilai iman dalam keluarga, supaya tetap menghasilkan buah-buahnya ditengah-
tengah masyarakat dan kehidupan sekitar kita ; manusia dan lingkungan alamnya.
5. Percakapan untuk diskusi
1. Adakah bentuk-bentuk perkawinan dalam gereja yang tidak sesuai dengan norma-norma
gereja?
2. Hal hal apakah yang perlu kita pertimbangkan dalam mengambil keputusan untuk menikah
atau tidak menikah (dengan calon pasangan kita)?
3. Bagaimanakah cara mempertahankan kesetiaan kita kepada pasangan kita?

● PERTEMUAN 3 (BACA KITAB KEJADIAN 12 : 1 - 20)


SUAMI – ISTERI YANG RUKUN DAN ANAK SEBAGAI ANUGERAH ALLAH
1. Pendahuluan.
Perkawinan merupakan peristiwa penting yang didalamnya seorang laki-laki dan
perempuan menyepakati keberadaan mereka bersama sebagai persekutuan suami-istri.
3
Persekutuan ini diikat oleh janji nikah yang merupakan landasan bersama untuk menjalani
kehidupan sebagai keluarga. Dalam konteks demikian maka perkawinan merupakan titik awal
terbentuknya lembaga keluarga yang dibangun berdasarkan iman kepada Yesus Kristus.
Ketika perkawinan terjadi maka persekutuan ini mengembangkan kehidupan spiritual
mereka bersama melalui relasi yang bersifat permanent, intim dan dilandasi perjanjian. Alkitab
menjelaskan bahwa sejak semula Tuhan Allah telah menciptakan manusia menurut gambar
dan rupa-Nya. Ia menciptakan manusia itu : laki-laki dan perempuan dalam satu kesatuan
utuh ( Kej. 1 : 26 – 27 ). Keutuhan gambar dan rupa Allah itu harus nampak dalam
kebersamaan yang sejajar dan sederajat. Tidak satupun diantara keduanya memiliki
kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lain.
Dalam pemahaman yang demikian maka keberadaan persekutuan suami-istri tidak hanya
dilihat sebagai aspek sosial karena manusia adalah mahluk sosial tetapi merupakan peristiwa
iman. Sebagai peristiwa iman relasi antara suami – istri memiliki makna seperti relasi antara
Yesus dan jemaat ( Ef. 5 : 22 – 33 ). Sebagai peristiwa iman maka persekutuan antara suami
– istri memiliki peran mendasar dalam kehidupan bergereja. Karenanya dapat dikemukakan
bahwa basis kehidupan bergereja yang mengarah kepada pembangunan jemaat adalah
keluarga. Alasan untuk hal ini ialah gereja sebagai persekutuan tidak hanya soal individu
melainkan kolektif yang merujuk kepada kesatuan suami-istri sebagai bagian didalamnya.
Secara mendasar hal ini dikemukakan oleh para reformator bahwa perkawinan dilandasi
dengan perjanjian yang kudus dengan tujuan untuk mewujudkan kekudusan itu dalam relasi
yang menguntungkan keduabelah pihak. Dalam pandangan yang demikian dapat dikatakan
bahwa keberadaan perkawinan merupakan peristiwa yang kudus dan mengarah kepada
upaya mewujudkan kekudusan itu dalam panggilan dan pengutusan sebagai suami-istri.
Disisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa perkawinan juga diperhadapkan dengan situasi
yang sulit. Hal ini dapat saja terjadi ketika harapan-harapan yang berkembang diawal
perkawinan tidak terwujud dalam kenyataan. Kebutuhan akan perhatian menjadi paradoks
ditengah-tengah masyarakat yang semakin invidual. Juga kepedulian menjadi langka
ditengah-tengah egoisme yang mencuat. Kalau secara mendasar ini terjadi akibat dari
perubahan cara pandang maka perkawinan dewasa ini tidak lagi menjadi suatu kebahagiaan
karena kemenangan atas tantangan dan pergumulan tetapi kebahagiaan yang tidak memiliki
fondasi kokoh. Narasi tentang membangun rumah diatas pasir atau batu menjadi gambaran
yang aktual tentang perlunya fondasi yang kokoh dalam relasi suami-istri.
Bertolak dari gambaran diatas perlu dikemukakan bahwa persoalan-persoalan yang
digumuli oleh gereja dalam panggilan dan pengutusannya senantiasa bersentuhan dengan
kebutuhan aktual dalam keluarga. Maksudnya ialah fungsi dan peran gereja yang senantiasa
mengarah kepada pembangunan jemaat agar dapat memberitakan kabar sukacita yang
secara tetap memiliki basis pada keluarga. Pernyataan Dietrich Bonhoeffer bahwa perkawinan
tidak hanya bersifat personal tetapi menyandang tugas yang diberikan oleh Allah dapat
menjadi dasar dari tindakan pendampingan dan konseling pastoral yang dilakukan oleh gereja.
Sehingga ketrampilan atau kemampuan untuk membangun persekutuan yang berkualitas
sebagai suami – istri Kristen tetap menjadi sebuah proses yang berlangsung terus menerus.

● PERTEMUAN 4 (BACA KITAB KEJADIAN 3 : 1-24)


A. Hidup rukun bukan pilihan tetapi gaya hidup !
Sebagai suami istri dihayati bahwa persekutuan tersebut senantiasa berlangsung secara
dinamis. Hal ini bertolak dari pribadi – pribadi yang berbeda namun mengambil tindakan untuk
bersatu sebagai suami istri. Inilah yang disebut sebagai perjanjian kekal sebab ditempatkan

4
dalam relasi yang berlangsung secara intens. Disinilah godaan untuk timbulnya konflik perlu
menjadi perhatian sebab konflik yang bersifat destruktif ( merusak ) dapat mengancam
kerukunan suami – istri. Rahner menyatakan bahwa pengajaran utama ( core of teaching )
dari Yesus adalah soal relasi yang hidup.
Kerukunan suami-istri sangat dipengaruhi oleh keadaan dewasa ini dimana : anonimitas
( tidak dikenal ) dan mobilitas (aktivitas)merupakan gaya hidup saat ini. Karena itu kehadiran
suami-istri perlu dihayati sebagai suatu gaya hidup yang dikehendaki oleh Tuhan ( bnd. Yoh 2
: 1 dan 11 ).
Dalam dunia kapital dewasa ini sebagaimana dikemukakan oleh sosiolog Glenn Loury
merupakan dunia yang dibangun dalam relasi / koneksi sehingga setiap bentuk kapital dapat
memproduksi kapital yang lain. Uang adalah kapital, intelektual adalah kapital. Dalam kontkes
keluarga dapat disebut sebagai keluarga kapital yakni keluarga yang memiliki energi untuk
memproduksi damai sejahtera. Dalam pemahaman bahwa setiap keluarga diutus
memberitakan perbuatan Allah yang besar ( I Petrus 2 : 9 ). Pada titik inilah karya Roh Kudus
menghadirkan kuasa yang dapat menjadi energi bagi setiap keluarga ( Kis.P. R 1 : 8 ).Dengan
pemahaman yang demikian nampak bahwa relasi yang terbangun senantiasa mengacu
kepada masa depan dalam ketaatan yang ikhlas. Pelajaran untuk menjadi suami-istri yang
baik belum selesai sampai pada waktu yang Tuhan sendiri tentukan.

● PERTEMUAN 5 (BACA KITAB 1 SAMUEL 1 : 1-28)


B. Anak sebagai anugerah.
Anak tidak hanya dipahami sebagai peristiwa berlangsungnya sebuah generasi tetapi perlu
dilihat juga sebagai bagian dari pemeliharaan Allah. Dalam konteks ini orang tua berkewajiban
untuk mendampingi dan melindungi sebagaimana Allah mendampingi dan melindungi
manusia. Melalui tindakan itulah terjadi sebuah proses pendewasaan yang melengkapi
seorang anak, sehingga ia bergerak dari ketergantungan total ( total dependence ) kepada
kemandirian yang dewasa ( mature independence ).
Seorang anak hadir sebagai bagian dari karya Allah dan merupakan anugerah yang harus
diterima dengan penuh tanggung jawab dari orang tua. Pada masa kini keteladanan orang tua
merupakan kebutuhan mutlak, ditengah-tengah arus kesibukan orang tua. Amanat nikah
Kristen sebagai bagian dari formula ibadah pemberkatan nikah senantiasa menjadi ‘koridor’
dimana setiap orang tua menjaga dan mendampingi anak mereka.

● PERTEMUAN 6 (BACA KITAB KISAH PARA RASUL 5 : 1 - 11 )


C. Ekonomi keluarga.
Peserta katekisasi diminta untuk membaca Matius 4 : 4, bahwa manusia hidup tidak
hanya dari roti saja tetapi juga dari setiap firman TUHAN, serta mendiskusikannya dalam
perspektif mereka sebagai katekisan.
Pemahaman tentang ekonomi keluarga Kristen perlu dijernihkan dari berbagai intervensi
pemikiran yang mereduksi nilai-nilai Kristiani. Dewasa ini persoalan yang dihadapi adalah :
a. konkretisme – yakni segala sesuatu hanya ditempatkan dalam perspektif materi.
Kemanusiaan manusia berada pada titik yang tidak lagi berkualitas.
b. Individualisme sebagai suatu gaya hidup yang dapat menghadang nilai-nilai kristiani
Uang dan kekayaan bukanlah tujuan utama dari kehidupan suami-isteri. Sekalipun
demikian uang merupakan kebutuhan yang mendukung proses kehidupan berumah tangga.
Alkita member beberapa catatan penting tentang kekayaan, termasuk uang.

5
Pertama, memang Yesus Kristus berbicara tentang kekayaan, tetapi semua ucapan – Nya
sengat berhubungan dengan anugerah Allah. Justeru Yesus Kristus mengingatkan manusia
tentang fungsi dan peran uang ( kekayaan ), supaya manusia tidak terjebak pada
kesengsaraan.
Bacalah ayat ayat ini :
a) Matius 6 : 1 – 4, 9, 34
b) Matius 13 : 44 – 46; 18 : 23 – 35; 20 : 1 – 6; 25 : 31 – 46;
c) Markus 4 : 18 – 19; 12 : 1 – 2;
d) Lukas 7 : 41 – 43; 10 : 29 – 37; 11 : 5 – 7, dll.

Kedua, kekayaan ( termasuk uang ) membuat manusia tergiur dan tidak melakukan
kehendak Allah. Bacalah Alkitab tentang sifat Bileam yang tamak akan kekayaan !
a) Bilangan 22:1-34
b) Ulangan 23:4-5
c) Yosua 4:9-10
d) Nehemia 13:2
e) 2 Petrus 2:15-16
f) Yudas 1:11
g) Wahyu 2:14
Gehasi, pembantu Nabi Elisha, yang tamak.( 2 Raja 5 : 20 – 27 ), juga Ananias dan Safira
( Kis. 5 ). Paulus mengatakan, bahwa akar dari segala kejahatan adalah sifat cinta uang ( 1
Tim. 6 : 10a ).
Ketiga, hubungan suami isteri dapat terjatuh ke dalam dosa, karena percecokan masalah
kekayaan ( termasuk uang ).
Karena itu, untuk memahami kekayaan ( termasuk uang ), suami-isteri perlu
memperhatikan beberapa hal, yaitu :
a) Uang bukan sumber hidup. Akan tetapi Allah sajalah yang memberikan segala sesuatu,
jika kita percaya dan melakukan kehendak – Nya ( Yer. 17 : 7 – 8 ).
b) Uang ( kekayaan ) tidak menentukan kebahagiaan ( Luk. 2 : 15 ).
c) Masadepan tidak tergantung pada kekayaan, termasuk uang ( Maz. 46 : 1 – 2 )
d) Suami – isteri yang berhasil tidak diukur berdasarkan jumlah kekayaan ( termasuk uang
) yang dimilikinya ( 1 Tim. 3 : 3 ).
e) Kebahagiaan dan keberhasilan adalah milik Allah. Ia yang menentukan nasib malang
atau mujur ( Yes. 45 : 7). Oleh karena itu, hal penting adalah mencari Allah ( bd. Am.
5 : 4 – 6; Mat. 6 ; 31 – 34 )

Keempat, GPIB tidak mengajarkan warganya untuk tidak menghargai kekayaan. Yang
diajarkan adalah : bagaimana mengelola kekayaan ( termasuk uang ) sebagai berkat Allah.
Tujuan Allah mengaruniakan materi ( kekayaan dan uang ) ada – lah :
a) Agar percaya, bahwa Allah sanggup memberikan segala yang dibutuhkan umat-Nya
( Flp. 4 : 19 )
b) Agar umat-Nya tidak kuatir terhadap kekurangan dan kemiskinan ( Mat. 6 : 32 – 34 ; 7 :
11 )

6
c) Agar umat mengelola kekayaan dan uang secara bertang – gungjawab ( Luk. 16 : 11 )
d) Agar umat menggunakan kekayaan dan uang sebagai alat pendukung pelayanan
( Rom. 10 : 14 – 15a )
e) Agar umat menolong sesamanya ( 2 Kor. 9 : 1 – 15 )

D. Seksualitas dalam Keluarga


Seks (alat kelamin) adalah pemberian Allah ke dalam kehidupan laki – laki dan
perempuan. Ia berfungsi sebagai penerus keturunan ( Kej. 1 : 28 ). Oleh karena itu,
pemanfaatannya harus sesuai dengan pernyataan Allah. Harus digunakan secara
bertanggung jawab. Penyelewengan ( per-selingkuhan atau free sex ) dan atau penyimpangan
( homoseksual atau lesbianitas ) tidak dikehendaki Allah ( Imm. Psl 18 – 20 ).
Allah mengingatkan setiap orang yang telah menikah, agar mereka menjauhkan dirinya
dari perzinahan, perselingkungan dan juga percabulan ( Kel 20 : 14; Ul. 5 : 15 ). Hal itu bukan
saja berlaku bagi pasangan suami – isteri, melainkan berlaku juga atas orang – orang yang
belum menikah, termasuk janda dan duda.

● PERTEMUAN 7 (BACA KITAB 1 PETRUS 3 : 1-7 )


E. Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga bertolak dari perilaku sesorang yang dilakukan dalam
kerangka menguasai orang lain. Kekerasan dalam rumah tangga dapat berbentuk fisik, psikis
dan ekonomi.
Persoalan ini seringkali tidak muncul kepermukaan sebab dianggap sebagai sebuah ‘aib’.
Semua orang dapat menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga tetapi yang lebih sering
mengalami adalah perempuan dan anak-anak.
Allah tidak menghendaki terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sebab ketika relasi
suami-istri dibangun dalam kasih karunia Allah ( vertikal ) maka hubungan suami-istripun
dipengaruhi oleh-Nya ( horisontal ).
Hubungan penuh cinta kasih merupakah perwujudan dari kasih Allah yang ditempatkan
dalam pemahaman perjanjian ( covenant ). Melalui peristiwa kekerasan dalam rumah tangga,
maka terjadilah penyelewengan terhadap anugerah yang dipercayakan Allah kepada suami-
istri. Disinilah perlunya kematangan untuk dapat melihat kekerasan dalam rumah tangga
sebagai bukan aib dan ditanggapi secara baik. Laki-laki maupun perempuan diciptakan Allah
dengan sifat setara sehingga Allah tidak menghendaki adanya dominasi satu kepada yang lain
dengan alasan apapun.

F. Ibadah keluarga.
Beberapa catatan teologis yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan ibadah
keluarga ialah:
1. Terjadinya perjumpaan dengan Allah ( Maz. 22 : 27 – 29,Wahyu 15 : 4 )
2. Terjadinya hubungan dialogis antara Allah dan manusia (Yoh. 4 : 23 – 26)
3. Ungkapan syukur atas kebangkitan Yesus Kristus (Ibr. 10 : 19 – 25 ) dan karena itu
Votum dalam ibadah adalah pernyataan bahwa Allah bersedia menerima kita.

7
Dalam konteks keluarga hendak dinyatakan bahwa ibadah terjadi sebagai kelanjutan dari
ibadah minggu supaya pemikiran tentang karya Allah tidak berhenti hanya pada waktu dan
ruang tertentu tetapi mendapat bagian dalam seluruh keberadaan keluarga.
Komunikasi yang dibangun adalah komunikasi komunal dan bukan komunikasi personal
saja.
Kehadiran Yesus Kristus dalam keluarga merupakan peristiwa yang perlu dihayati terus
menerus supaya hidup kita lebih bermakna dan memiliki sifat militan ( berjuang ). Vita est
brevis (Agustinus ) – hidup itu singkat, maka ibadah keluargapun akan tiba di titik akhir.-

GPIB JEMAAT "BUKIT AGAPE" ENTIKONG - 2020

Anda mungkin juga menyukai