Anda di halaman 1dari 25

PANGGILAN HIDUP BERKELURGA

1. PERKAWINAN SEBAGAI SAKRAMEN


A. Tanda Cinta Allah
Suami adalah tanda kehadiran Allah untuk
mencintai istri dan istri menjadi tanda cinta
dan kebaikan Allah bagi suami. Mereka dipilih
untuk menjadi utusan Tuhan. Melalui suami
istri Tuhan hadir dan persatuan cinta suami
istri menjadi tanda cinta Tuhan.
B. Tanda Kehadiran Tuhan
Intisari upacara Sakramen Perkawinan adalah
janji setia yang diucapkan oleh kedua mempelai
dihadapan Imam dan Saksi. Dengan ''saling
menerimakan'' sakramen perkawinan
menetapkan mereka jadi tanda cinta Tuhan dan
Tuhan memenuhi janji-Nya untuk selalu hadir
di tengah umat.
C. Tanda Cinta Kristus
kepada Gereja-Nya
Persatuan cinta
suami istri Kristen
menjadi gambaran
dari hubungan cinta
Kristus dengan
umat-Nya. Sekaligus
Kristus juga selalu
menyertai mereka
dan mereka
dipersatukan dalam
Kristus (Ef 5:25 - 32).
2. TUJUAN PERKAWINAN KATOLIK
A. Kesejahteraan suami istri
B. Kelahiran anak
C. Pendidikan anak
D. Pemenuhan kebutuhan seksual
3. SIFAT SIFAT PERKAWINAN
KATOLIK
A. Monogami
Yaitu perkawinan yang
diadakan antara satu pria
dengan satu wanita
dengan penyerahan diri
seutuhnya dan tak boleh
terbagi kepada pribadi-
pribadi lain. Ciri
monogami menolak
poliandri maupun
poligami.
B. Tak Terceraikan
Perkawinan Katolik bersifat
tetap, seumur hidup,
permanen dan hanya maut
yang dapat memisahkan. Sifat
tak terceraikan memiliki
makna lebih dalam yaitu
perjuangan untuk memupuk
kesetiaan terhadap pasangan
dalam segala aspek kehidupan
(Mat 5:31-32).
C. Terbuka Bagi Keturunan
Perkawinan Katolik harus
terbuka terhadap kelahiran
anak. Maka segala bentuk-
bentuk penolakan terhadap
kehidupan (pengguguran)
harus ditolak dengan tegas
karena jelas merupakan
sikap penolakkan terhadap
anugerah kehidupan Tuhan.
4. SYARAT PERKAWINAN SAH MENURUT GEREJA
KATOLIK
Ada 3 kriteria yang harus dipenuhi agar perkawinan
sah secara katolik, yaitu:
> Salah satu atau keduanya tidak terkena halangan
nikah.
> Perkawinan dilakukan dihadapan dua orang Saksi
dan seorang Imam/Diakon.
> Kesepakatan/janji pasangan sungguh (verus),
penuh (plenus), dan bebas (liber).
5. PENYELIDIKAN KANONIK
Penyelidikan kanonik bukanlah persiapan
alternatif dimana orang boleh memilih
tapi merupakan suatu kewajiban moral
yang harus dijalankan oleh Imam sebagai
penanggungjawab pastoral dalam
mempersiapkan perkawinan. Penyelidikan
kanonik dilakukan di paroki dimana kedua
mempelai hendak menikah.
Tujuan penyelidikan kanonik adalah untuk
mengetahui apakah kedua mempelai akan
menikah secara sah, layak dan memenuhi syarat
perkawinan, misalnya tidak ada halangan nikah,
status bebas dari calon mempelai, pemahaman
tentang ajaran perkawinan Katolik.
Kepastian ini diperoleh dengan cara bertanya
kepada calon mempelai mengenai
pengetahuannya tentang hak dan kewajiban
pokok perkawinan, kesanggupan dan
tanggungjawab untuk memenuhi hak dan
kewajiban pokok tersebut.
Penyelidikan kanonik dimaksudkan untuk
memperoleh kepastian moral bahwa calon
pasangan yang akan menikah tidak ada
halangan nikah sesuai KHK Man 1066.
Setelah semua pertanyaan diajukan dan
dijawab serta ditulis oleh Imam, baik calon
maupun penyelidik menandatangani berkas
penyelidikan kanonik.
6. HALANGAN NIKAH
Persiapan perkawinan tidak
hanya diisi dengan tindakan-
tindakan yang bersifat pastoral
tapi juga yang bersifat yuridis.
Agar peneguhan perkawinan
sah dan halal, pihak-pihak
yang bersangkutan dengan
perkawinan perlu tahu persis
dan pasti apa yang membuat
perkawinan sah – tidak sah,
halal dan tidak halal.
Kan 1066 menetapkan sebelum perkawinan
diteguhkan, haruslah pasti bahwa tiada suatu hal
yang menghalangi peneguhannya secara sah dan
halal. Halangan menikah adalah segala sesuatu
yang menghalangi seseorang untuk dapat
menikah secara sah di gereja. Supaya perkawinan
sah, maka pasangan tersebut harus bebas dari
halangan-halangan nikah.
Secara garis besar halangan menikah
dibagidalam 2 kelompok besar, yaitu :
A. Halangan Nikah Hukum Ilahi/Kodrati

Halangan nikah dikatakan berasal dari


hukum Ilahi kalau halangan itu bersumber
dari hukum kodrat, yang dibuat dan diatur
oleh Allah sendiri dalam tata penciptaan.
Halangan nikah yang bersumber dari
hukum Ilahi tidak bisa diberi dispensasi,
mengikat semua orang baik yang dibaptis
maupun yang tidak dibaptis.
Yang termasuk Halangan Nikah Hukum
Ilahi/Kodrati adalah :
> Impotensi seksual yang bersifat tetap
(1084)
> Ikatan perkawinan sebelumnya (1085)
> Hubungan Darah dalam garis lurus baik
ke atas maupun ke bawah (1091)
B. Halangan Nikah Hukum
Gerejani/Manusia
Adalah halangan yang diciptakan oleh
otoritas gerejawi yang berwenang untuk
mencapai tujuan-tujuan khasnya secara
lebih efektif untuk menegakkan
kesejahteraan umum dan membantu
setiap orang mencapai keselamatan jiwa
(kan 1753).
Halangan yang bersumber dari hukum
gerejawi/manusiawi bisa diberi dispensasi
oleh otoritas gerejawi yang berwenang,
tentunya bila memenuhi ketentuan-
ketentuan undang undang mengenai
pemberian dispensasi (kan 85 - 93).
Yang termasuk halangan
menikah menurut hukum
gerejawi adalah:
 Halangan umur (1983)
 Beda agama (1986)
 Tahbisan Suci (1087)
 Kaul Kemurnian (1088)
 Penculikan (1089)
 Pembunuhan (1090)
 Hubungan darah garis
menyamping (1091)
 Hubungan semenda (1092)
 Kelayakan publik (1093)
 Hubungan adopsi (1094)
7.PERKAWINAN CAMPUR
(MATRIMONIUM MIXTA)
Dalam seruan apostolik Familiaris Consortio
(1981) Paus Yohanes Paulus ll mengajarkan
bahwa perkawinan kristiani adalah peristiwa
iman. Sakramen perkawinan menjadi sabda cinta
kasih Allah kepada dunia dan pengakuan serta
pewartaan iman yang harus dihayati sepanjang
hidup keluarga.
Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan
sakramental dan pengaruhnya bagi kehidupan
iman maka Gereja Katolik menginginkan agar
umat tidak melakukan perkawinan campur, yaitu
menikah dengan orang non katolik. Gereja
mengakui bahwa setiap orang memiliki hak
untuk bebas menentukan status hidup. Iapun
bebas menentukan jodohnya sendiri sekalipun
berbeda iman atau agama. Gereja menghormati
pilihan umat dengan melakukan tindakan
pengamanan.
Perkawinan campur dibedakan dalam perkawinan
campur beda gereja (mixta religio) dan perkawinan
campur beda agama (disparitas cultus)
A. Perkawinan Campur Beda Agama (disparitas cultus)
adalah perkawinan antara seorang katolik dengan
seorang yang tidak dibaptis (Islam, Budha, Hindu,dst).
Kita membatasi diri untuk berbicara tentang
perkawinan campur beda agama, khususnya agama
Islam.
Pandangan Katolik
Agama Katolik tidak mutlak melarang perkawinan campur antara orang
Katolik dan orang yang berbeda agama, tapi juga tidak
menganjurkannya. Perkawinan campur beda agama memerlukan
dispensasi dari Gereja supaya sah. Dispensasi ini diberikan dengan
persyaratan sebagai berikut :
 Pernyataan tekad pihak Katolik untuk menjauhkan bahaya
meninggalkan imannya dan berjanji untuk sekuat tenaga
mengusahakan pembaptisan dan pendidikan anak-anak yang akan lahir
secara Katolik.
 Pihak bukan Katolik harus diberitahu mengenai janji pihak Katolik
tersebut supaya sebelum menikah ia sadar akan janji dan kewajiban
pihak Katolik.
 Penjelasan kepada kedua belah pihak tentang tujuan dan sifat hakiki
perkawinan yang tidak boleh disangkal agar perkawinan itu menjadi
sah.
Perkawinan campur beda agama yang sah menurut Gereja Katolik
tidak dapat diceraikan.
B. Perkawinan Campur Beda Gereja
(Mixta Religio).
Adalah perkawinan orang Katolik dan
orang Kristen bukan Katolik
(perkawinan beda Gereja) dilarang,
jika dilakukan tanpa ijin. Meskipun
demikian, perbedaan Gereja bukan
merupakan halangan yang
menggagalkan perkawinan.
Tanpa ijin yang tegas dari yang
berwenang, dilarang perkawinan
antara dua orang yang sudah dibaptis,
yang diantaranya satu dibaptis dalam
Gereja Katolik sedangkan pihak yang
lain tercatat pada Gereja atau
persekutuan gerejani yang tidak
bersatu penuh dengan Gereja Katolik
(KHK 1124).
Ijin hanya boleh diberikan jika syarat-syarat berikut terpenuhi:
 Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan
imannya dan berjanji dengan jujur bahwa ia akan berusaha sekuat
tenaga agar semua anaknya dibaptis dan dididik di Gereja Katolik.
 Mengenai janji yang wajib dibuat pihak Katolik, pihak yang lain
hendaknya diberi tahu pada waktunya sehingga jelas bahwa ia sungguh
sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik.
 Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan dan sifat
hakiki perkawinan, yang tidak boleh ditiadakan oleh pihak maupun (KHK
1125).
Pihak Katolik terikat pada tata peneguhan
perkawinan, yaitu perkawinan dihadapan Uskup
atau Pastor Paroki (Imam maupun Diakon yang
diberi delegasi yang sah dan dihadapan dua
orang saksi).
Akan tetapi, jika ada alasan yang berat, Uskup
berhak memberikan dispensasi dari tata
peneguhan (KHK 1127). Jadi peneguhan nikah
dapat dilaksanakan di depan pendeta atau
petugas catatan sipil asal mendapat dispensasi
dari Uskup: forma kanonika
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai