Anda di halaman 1dari 28

Nama: Tesa Lonika Agustin Roding

Kelas: 2D-Akuntansi
NPM: 213209109
CHANDELIER
Pagi ini, kantor kepolisian telah ramai karena adanya berita
mengejutkan dari salah satu orang berpengaruh di kota ini. Pak Dio Kusuma,
seorang konglomerat kota ini ditemukan tewas tergantung di lampu gantung
ruang tamu tepat saat acara pesta ulang tahun putrinya yang ketiga belas,
Angel Kusuma. Aku turut mendengarkan berita itu sambil mengernyitkan
dahi. Kematian seorang konglomerat. Sangat menarik, bukan?
***
Inspektur Rian menerima telepon dari seseorang bernama Pak Reno.
Ia mengatakan bahwa terjadi kasus kematian di rumah kediaman keluarga
Kusuma, konglomerat kota ini. Inspektur Rian langsung bergegas menuju
lokasi TKP dengan mengajak rekannya, Inspektur Adi. Ia juga mengajakku
untuk menyelidiki penyebab kematian.
Nguing! Nguing! Nguing!
Sirene mobil polisi berbunyi kencang saat kami tiba di lokasi.
Sungguh rumah yang sangat mewah menurutku. Bangunannya yang megah
dihiasi perabotan-perabotan serta furniture mahal dan canggih. Rumah itu
penuh dengan hiasan pesta warna-warni. Kami masuk ke dalam rumah itu dan
disapa hangat oleh seseorang yang menelepon Inspektur Rian tadi, Pak Reno.
"Selamat pagi, Inspektur. Silakan masuk," kata Pak Reno
mempersilakan kami.
"Apa yang terjadi disini?" tanya Inspektur Rian.
"Hari ini adalah pesta ulang tahun keponakan saya, Angel. Namun
tiba-tiba saya melihat Kak Dio, kakak saya, sudah tergantung di lampu
gantung itu. Saya sangat terkejut melihatnya, dan segera menelepon polisi,"
jawab Pak Reno.
"Kami akan memeriksa lokasi," kata Inspektur Adi.
Aku melihat jasad Pak Dio masih tergantung di lampu gantung
terbujur kaku. Sebuah tali terikat di lehernya dan tangannya mengepal.
Petugas polisi lain banyak mengambil foto di sekitar lokasi.
"Bolehkah kita menurunkannya?" tanyaku pada Inspektur Rian.
"Akan kutanyakan pada Pak Reno," jawabnya.
***
Aku melihat beberapa anggota keluarga lain berada di ruang keluarga.
Ada yang menangis tersedu, ada yang menenangkan, dan ada yang masih
terdiam karena shock. Aku menghampiri mereka dan berusaha
menenangkannya.
"Hai, aku Velisa, detektif yang menyelidiki kasus ini. Bisa kenalkan
diri kalian?" tanyaku.
"Ya, ya. Aku saja yang mewakili mereka," jawab seorang anak laki-
laki disitu yang terlihat tidak menangis dan tidak begitu shock.
"Silakan," kataku.
"Aku, Alex Putra Kusuma. Aku adalah anak pertama dari papaku, Dio
Kusuma," katanya memperkenalkan diri.
"Dia mamaku, Anindya Felia. Dan yang itu adalah tanteku, namanya
Riani Lenia. Aku rasa kau sudah bertemu dengan suaminya. Reno Kusuma,
dia om ku, suami tante Riani," katanya sambil menunjukkan kepadaku.
"Lalu yang ini?" tanyaku sambil menunjuk seorang bocah yang
kutebak dia adalah Angel.
"Dia adikku, Angel Putri Kusuma. Hari ini dia berulang tahun yang
ketiga belas," jawab Alex.
"Selamat ulang tahun," kataku sambil tersenyum. Angel hanya
membalasnya dengan senyum kecil.
"Berapa usiamu, Alex?" tanyaku sambil mengeluarkan catatan kecil
dan pena.
"15 tahun," jawabnya singkat.
"Lalu mama, tante, dan om-mu?" tanyaku.
"Tahun ini mama berusia 40 tahun, dan papa 42 tahun. Tante dan om...
Aku tidak bisa memastikan berapa umurnya," jawabnya.
"Saya 38 tahun, suami saya 39 tahun,” kata Bu Riani.
"Baiklah, sementara ini dahulu. Nanti kami hubungi lagi," kataku.
Saat aku hendak keluar dari ruang keluarga itu, seseorang menepuk
punggungku.
"Kak Detektif, kalau benar papaku dibunuh, tolong cari pelakunya ya.
Tapi kalau memang ia bunuh diri... ya sudahlah," kata Alex sambil
menunduk.
"Tunggulah, kami harus melakukan banyak pemeriksaan," kataku
sambil bersimpuh di depan Alex.
"Oke," katanya sambil berbalik. Aku keluar dari ruangan itu dan
melihat jasad Pak Dio yang sedang diturunkan dari lampu gantung. Sangat
sulit bagi kami untuk memeriksa jasadnya jika masih dalam keadaan
tergantung. Sudah banyak petugas polisi yang memotret jasad itu ketika
masih di atas lampu, jadi kami bisa menyelidikinya.
"Apa kau habis menghibur keluarga itu?" tanya Inspektur Rian.
"Tidak. Aku hanya menanyakan beberapa hal. Hanya nama dan usia,"
jawabku.
"Kita belum bisa menginterogasi mereka karena mereka masih dalam
keadaan terkejut. Hanya Pak Reno Kusuma saja yang sepertinya bisa kita
interogasi," kata Inspektur Rian.
"Dan Alex. Anak sulung Pak Dio Kusuma yang tadi kutanyai di ruang
keluarga itu," kataku. Jasad Pak Dio telah sampai di lantai setelah beberapa
petugas berusaha menurunkannya dari lampu gantung. Terlihat sebuah tali
melilit leher Pak Dio. Tubuhnya kaku dan tangannya mengepal. Aku
memegang tangan Pak Dio yang kaku kemudian menemukan sebuah kertas
yang tergenggam.
"Inspektur," kataku pada Inspektur Rian.
"Oi, Nak," seru Inspektur Adi. Bukankah aku tadi sedang bersama
Inspektur Rian? Ah entahlah.
"Ada apa?" tanya Inspektur Adi.
"Sepertinya aku salah memanggil inspektur. Aku memanggil
Inspektur Rian, tetapi yang datang kau. Ah sudahlah," kataku.
"Sama saja," katanya.
"Aku menemukan ini tergenggam di tangan Pak Dio," kataku sambil
menunjukkan gumpalan kertas itu.
"Apa ini?" tanya Inspektur Adi.
"Tidak tahu, belum kubuka," kataku sambil menyerahkan kertas itu
pada Inspektur Adi.
"Happy birthday my daughter, Angel Putri Kusuma. Papa loves you,"
kata Inspektur Adi membaca isi kertas itu.
"Surat ucapan ulang tahun," kataku.
"Ya, benar," kata Inspektur Adi.
"Keluarga setuju untuk melakukan proses otopsi pada jasad Pak Dio.
Aku akan menelepon Kapten Adrian dahulu," kata Inspektur Rian.
"Bagaimana dengan pestanya?" tanyaku.
"Batal. Semua tamu yang sudah diundang kami larang untuk masuk
ke TKP," jawab Inspektur Rian. Saat hendak berdiri, aku melihat beberapa
keanehan di lantai bawah meja itu. Aku memutuskan untuk merangkak dan
melihat benda apa yang aneh itu. Serbuk dari potongan obat dan beberapa
pecahan kaca berwarna-warni. Aku memasukkannya ke dalam kantong
menggunakan pinset.
"Lihat apa yang kutemukan," kataku.
***
Kami telah tiba di kantor polisi usai memeriksa kasus kematian tadi.
Jasad Pak Dio Kusuma sedang berada di ruang otopsi untuk diperiksa.
Sedangkan kami berada di ruang utama kantor.
"Apa yang kau temukan, Nak?" tanya Inspektur Rian padaku.
"Ini," kataku sambil mengeluarkan kantong-kantong tadi.
"Serbuk dari potongan obat, dan pecahan kaca yang berwarna-warni,"
kataku.
"Obat?" tanya Inspektur Adi.
"Ya. Lihat pil ini," kataku.
"Pecahan kaca? Mungkin dari sebuah vas atau guci?" tanya Inspektur
Rian. Aku hanya mengangkat bahu.
"Bagaimana dengan rekaman kamera pengawas?" tanyaku.
"Rumah sebesar itu tidak memiliki satupun kamera pengawas," jawab
Inspektur Adi.
"Pelit sekali," gumamku. Kedua inspektur itu hanya tertawa kecil.
Aku teringat dengan kasusku yang lalu ketika menyelidiki pembunuhan di
SMA Rafflesia. Sungguh dramatis bila diingat.
"Obat ini harus diperiksa," kata Inspektur Rian sambil berdiri dan
akan menuju laboratorium forensik sambil membawa kantong obat itu.
"Bagaimana dengan pecahan kaca itu?" tanya Inspektur Adi.
"Tadi banyak petugas yang memotret lokasi kejadian, bukan? Dimana
file fotonya?" tanyaku.
"Teknisi Yuda," jawab Inspektur Adi singkat. Aku dan Inspektur Adi
segera menuju ruangan Teknisi Yuda untuk melihat file foto tadi. Sebenarnya
tiap ruangan kami ada komputer yang bisa dioperasikan. Hanya saja ketika
selesai investigasi, kamera yang digunakan untuk memotret biasanya
diberikan pada Teknisi Yuda untuk memindahkan file-filenya.
"Hai," sapa Inspektur Adi.
"Bagaimana hari kalian?" tanya Teknisi Yuda sambil meminum
kopinya.
"Sangat sibuk," jawabku.
"Apa yang kalian inginkan?" tanyanya.
"Melihat foto-foto investigasi tadi," jawab Inspektur Adi.
"Baiklah. Ada sekitar 200 foto disini. Bagian mana yang kalian cari?"
tanya Teknisi Yuda.
"Apakah ada yang terlihat seperti vas atau guci? Atau mungkin
patung, gelas, hiasan semacamnya?" tanya Inspektur Adi.
“Aku tak paham," jawab Teknisi Yuda. Aku mengeluarkan kantong
berisi pecahan kaca tadi.
"Kami ingin menyelidiki pecahan kaca ini. Mungkin berasal dari
pecahan vas atau guci yang ada di rumah itu," kataku.
"Oh ya, baiklah. Tunggu sebentar," kata Teknisi Yuda sambil
mengoperasikan komputernya.
"Foto-foto ini, dari nomor 30 hingga 45, berisi foto-foto dari
perabotan mahal di rumah itu," kata Teknisi Yuda.
"Baiklah," kataku sambil melihat layar komputer itu. Teknisi Yuda
menggeser foto-fotonya. Namun tidak ada yang cocok dengan pecahan kaca
itu.
"Tidak ada," kata Inspektur Adi.
"Dimana kau temukan pecahan kaca itu?" tanya Teknisi Yuda.
"Di bawah meja ini," kataku sambil menunjuk foto meja tadi.
"Baik. Aku perbesar gambarnya," katanya.
"Sepertinya ini pecahan yang kau ambil. Lalu ada pil putih?" tanya
Teknisi Yuda.
"Benar, sekarang sedang diselidiki Inspektur Rian," kata Inspektur
Adi.
"Apakah kau mengambil semua pecahan kacanya?" tanya Teknisi
Yuda padaku.
"Aku rasa begitu," jawabku.
"Tidak. Ada yang kau lewatkan disini," kata Teknisi Yuda.
"Pecahan kaca yang tertinggal. Tunggu. Tetap perbesar gambarnya,"
kataku.
"Goresan?" tanyaku.
"Lihat, ada goresan di kaki meja kayu ini. Kemudian pecahan kaca
yang sama," kataku.
"Mungkin benda ini jatuh dan menggores kaki mejanya," kata
Inspektur Adi.
"Bisa jadi," kataku.
"Baik, terima kasih bantuannya," kataku pada Teknisi Yuda. Aku
berjalan kembali ke mejaku sebelum akhirnya Inspektur Rian datang
membawa hasil forensik.
***
"Laporan forensik telah ada. Kalian pasti tidak percaya dengan
hasilnya," kata Inspektur Rian. Aku membuka map itu dan mulai membaca
laporannya bersama Inspektur Adi.
"Fluoxetine?" tanya Inspektur Adi.
"Ya," jawab Inspektur Rian singkat sambil mengambil air di gelasnya.
"Fluoxetine..." kataku terputus sambil mencari tentang obat itu di
internet lewat laptop di mejaku.
"Obat anti depresan untuk mengatasi depresi, bulimia nervosa,
gangguan obsesif kompulsif, gangguan pola makan, dan serangan
kepanikan," kata Inspektur Adi sambil membaca di layar laptop.
"Siapa yang mengonsumsi obat ini di rumah itu?" tanyaku.
"Mungkin Bu Anindya," jawab Inspektur Rian.
"Bisa jadi," kata Inspektur Adi.
"Jadi kapan kita bisa mulai interogasinya?" tanyaku.
"Besok. Aku sudah mengatakannya pada Pak Reno. Mereka setuju
untuk proses interogasi besok," jawab Inspektur Rian.
"Apa kita perlu menjemput mereka?" tanya Inspektur Adi.
"Tidak. Pak Reno minta proses interogasi dilakukan di rumah.
Mungkin mereka agak tidak nyaman berada di kantor polisi," jawab Inspektur
Rian.
"Bagaimana dengan dua anak itu? Apa mereka juga diinterogasi?"
tanya Inspektur Adi.
"Tentu," jawabku cepat. Hari ini adalah hari interogasi bagi keluarga
kaya itu. Mereka minta untuk diinterogasi di kediaman mereka, bukan di
kantor polisi. Aku, Inspektur Rian, dan Inspektur Adi pergi ke rumah itu
menaiki mobil polisi dari markas. Detektif Tio sedang izin tidak bertugas
karena hari ini adalah jadwal melepas benang jahitannya di rumah sakit.
Sesampainya di rumah besar itu, kami disambut oleh Pak Reno, lagi.
Ia mempersilakan kami masuk ke ruang tamu. Di ruang itu sudah ramai oleh
anggota keluarga, sama seperti saat aku menemui mereka di ruang keluarga.
Hanya satu yang tak kukenal, usianya masih agak muda.
"Selamat pagi. Kami dari kepolisian akan melakukan proses
interogasi pada keluarga korban, Dio Kusuma. Sepertinya semua sudah hadir
disini. Kita akan mulai dari Anda, Pak Reno. Selain Pak Reno, silakan untuk
menunggu di lain tempat agar tidak mengganggu proses," kata Inspektur
Rian. Inspektur Adi mengarahkan anggota keluarga lain untuk menunggu di
ruang makan sambil mengobrol dengan mereka. Sedangkan aku masih disini
untuk proses interogasi.
"Adiatma Reno Kusuma, 39 tahun, Anda putra kedua dari Raden
Kusuma, sekaligus adik dari korban, Abraham Dio Kusuma?" tanya Inspektur
Rian memulai interogasi.
"Ya, benar," jawab Pak Reno.
"Apa yang sedang Anda lakukan di hari saat kejadian?" tanya
Inspektur Rian. Seperti biasa aku hanya menyimak dan duduk di kursi dengan
tangan menopang dagu.
"Kemarin pagi, seperti biasa saya bangun dan menuju meja makan.
Oh ya, maaf sebelumnya. Ini saya menceritakan kegiatan di rumah saya ya,
karena saya dan Kak Dio memang menempati rumah yang berada," kata Pak
Reno.
"Oke" kata Inspektur Rian singkat.
"Setelah itu seperti biasa saya sarapan roti isi buatan istri saya sambil
membaca koran harian. Saya dan istri saya, Riani, sangat ingat hari apa
kemarin. Kak Anindya, istri Kak Dio, memang mengundang kami untuk hadir
dalam acara ulang tahun putri bungsu mereka, Angel. Jadi pagi itu setelah
mandi dan bersiap, kami segera menuju rumah ini," kata Pak Reno.
"Baik. Lalu?" tanya Inspektur Rian.
"Saya memarkirkan mobil di samping garasi, dekat dengan mobil Kak
Dio. Gerbangnya dibukakan oleh Mbak Tina, asisten rumah tangga ini
sekaligus pengasuh Angel dan Alex. Ini tidak seperti biasanya, karena
mereka, Kak Dio dan Kak Anindya sedang meliburkan petugas keamanan,"
kata Pak Reno.
"Saya memencet bel rumah ini, namun tidak ada yang membukakan
satupun. Jadi saya memutuskan untuk langsung masuk karena saya dan Kak
Dio memang dekat. Saya pikir pintunya terkunci, namun tidak mungkin
karena Mbak Tina saja bisa keluar. Riani masih sibuk dengan sepatu hak
tingginya yang susah dilepas. Saat saya hendak masuk ke rumah, saya sangat
kaget dengan apa yang barusan saya lihat. Kak Dio tergantung di lampu
gantung rumah ini," kata Pak Reno sambil menunjuk lampu itu.
"Kemudian saya menelepon polisi," sambung Pak Reno.
***
"Anda datang ke acara ini lebih awal dari yang lainnya?" tanya
Inspektur Rian.
"Benar. Karena kami dari pihak keluarga, biasanya nanti kami juga
ikut membantu mengurusi acara," jawab Pak Reno
"Apakah Anda tahu Pak Dio pernah bermasalah atau memiliki
masalah dengan seseorang?" tanya Inspektur Rian.
"Masalah? Mungkin dengan beberapa kliennya. Tapi selalu berakhir
dengan kesepakatan yang damai. Saya rasa kakakku tidak pernah bermusuhan
dengan siapapun," jawab Pak Reno.
"Kapan terakhir Anda bertemu dengan Pak Dio?" tanya Inspektur
Rian.
"Dua hari yang lalu, satu hari sebelum pesta. Kakakku dan istrinya
datang ke rumah kami untuk menyampaikan undangan acara ulang tahun
Angel. Dan setelah itu saya melihatnya sudah tergantung di lampu," jawab
Pak Reno.
"Jika saya boleh tahu, bagaimana perkembangan proses otopsinya?"
tanya Pak Reno.
"Sedang diproses, laporannya belum keluar. Jika sudah laporan sudah
keluar, Anda akan kami hubungi," jawab Inspektur Rian.
"Pak Reno, saya ingin bertanya pada Anda," kataku.
"Silakan," kata Pak Reno.
"Diantara anggota keluarga ini, adakah yang sedang mengalami stres
atau depresi berat?" tanyaku.
"Stres? Aku rasa Kak Dio mengalaminya karena terlalu banyak
memikirkan pekerjaannya," jawabnya.
"Apa Pak Dio mengonsumsi obat?" tanyaku.
"Aku tidak tahu. Sejak kakakku menikah, aku sudah pisah rumah
dengannya. Tapi selama kami masih satu rumah dulu, ketika dia stres, dia
hanya pergi ke kolam renang dan merendam kakinya. Dia tidak pernah
minum obat apapun kecuali saat sakit," jawabnya.
"Baiklah kalau begitu, terima kasih atas informasinya. Kami akan
menghubungi Anda lagi," kata Inspektur Rian menutup percakapan.
"Oke. Terima kasih kembali. Jika ada perkembangan info segera
hubungi saya ya," kata Pak Reno sambil bersalaman denganku dan Inspektur
Rian. Pria 39 tahun itu pergi dari ruang tamu dan berjalan menuju ruang
makan untuk menemui anggota keluarga yang lain. Aku memberi kode pada
Inspektur Adi untuk memanggil anggota keluarga yang lain. Kemudian
seorang wanita berjalan menuju ruang tamu.
"Bisa kita mulai interogasinya?" tanya Inspektur Rian pada wanita itu.
Wanita itu hanya mengangguk.
"Riani Lenia, 38 tahun, istri dari Adiatma Reno Kusuma, adik ipar
korban, Abraham Dio Kusuma?" tanya Inspektur Rian memulai interogasi.
"Benar sekali," jawab Bu Riani.
"Dimana Anda saat hari kejadian?" tanya Inspektur Rian.
"Kemarin pagi saya bangun kemudian menyiapkan sarapan untuk
suami saya, di rumah pribadi kami. Agenda hari kemarin sudah jelas, yaitu
menghadiri pesta ulang tahun Angel, keponakan kami. Kak Anindya dan Kak
Dio mengundang saya dan suami untuk hadir dalam pesta itu, sehari
sebelumnya. Saya sangat bersemangat untuk membelikan kado untuk Angel.
Maka dua hari yang lalu, sehari sebelum pesta, saya mengajak suami saya
untuk membeli kado di supermarket," kata Bu Riani.
"Kemudian kemarin saat hari H ada yang membukakan. Lalu Mas
Reno memutuskan untuk langsung masuk dan mulai membuka pintu. Saya
tidak langsung ikut masuk karena tali sepatu hak saya masih melilit diantara
jari-jari, jadi saya membuka sepatu agak lama. Saat Mas Reno sudah masuk,
dia terkejut dan berteriak sedikit kencang. Saya kaget, kemudian Mas Reno
terlihat panik,” sambungnya.
“Dia langsung mengeluarkan ponselnya dan menelepon polisi. Saya
yang kebingungan kemudian bertanya padanya. Mas Reno menunjuk ke arah
lampu gantung itu dan saya melihat Kak Dip sudah tergantung disana. Saya
ikut panik dan langsung masuk ke rumah itu untuk mencari Kak Anindya,
Angel, atau Alex. Kak Anindya baru selesai mandi dan memakai baju
mandinya saat bertemu saya. Saya memberi tahu padanya bahwa Kak Dio
tergantung di lampu gantung. Kemudian ia bergegas untuk melihatnya
sebelum berganti baju," sambungnya.
"Kemudian?" tanya Inspektur Rian.
"Kemudian kalian datang," jawabnya.
"Bu Riani, apakah Anda tahu kakak ipar Anda ini bermusuhan dengan
seseorang?" tanya Inspektur Rian.
"Hm... Saya rasa tidak. Saya tidak tahu. Saya tidak begitu akrab dan
tidak sering mengobrol dengannya. Mungkin suami saya yang tahu, atau Kak
Anindya," jawabnya.
"Diantara anggota keluarga ini, siapa yang biasanya mengalami stres
atau depresi?" tanyaku.
"Mungkin Kak Dio? Saya tidak tahu. Tapi jika Kak Dio mengalami
stres mungkin itu karena terlalu banyak memikirkan pekerjaannya," jawab Bu
Riani.
"Apa Anda tahu dia mengonsumi obat?" tanyaku.
"Saya tidak tahu," jawabnya.
"Tunggu. Berarti terakhir kali Anda bertemu dengan Pak Dio adalah
satu hari sebelum pesta?" tanya Inspektur Rian.
"Ya, dia datang bersama Kak Anindya," jawabnya.
"Baiklah kalau begitu. Terima kasih atas informasinya. Kami akan
menghubungi Anda lagi," kata Inspektur Rian sambil bersalaman.
"Sama-sama," jawabnya singkat sambil pergi beranjak dari ruang
tamu itu.
"Penjelasannya sangat detail," ucapku pada Inspektur Rian.
"Sulit untuk menuduhnya sebagai tersangka," kata Inspektur Rian.
"Alibinya sama seperti Pak Reno, mungkin mereka memang
mengatakan hal yang sebenarnya," kataku.
***
Seorang wanita, lagi, tapi kali ini berusia lebih tua berjalan menuju
ruang tamu, tempat kami menginterogasi. Matanya terlihat sembab dan
bibirnya pucat. Bisa ditebak bahwa ia adalah Bu Anindya, istri Pak Dio.
"Anindya Felia, 40 tahun, istri korban, Abraham Dio Kusuma?" tanya
Inspektur Rian. Bu Anindya hanya mengangguk pelan.
"Bu, dimana Anda saat kejadian?" tanya Inspektur Rian. Wanita itu
mengangkat kepalanya.
"Pagi itu saya bangun lebih dulu daripada anggota keluarga lainnya.
Saya menyiapkan roti meja makan, kemudian Mas Dio bangun dan mandi
lebih dulu. Kemarin memang sudah kami rencakan untuk mengadakan pesta
ulang tahun untuk putri kami, Angel. Setelah selesai menyiapkan roti, saya
pergi ke ruang tamu untuk memastikan kerapian dekorasi acara bersama Mas
Dio. Kemudian Alex dan Angel yang baru saja bangun, turun dari kamarnya
dan menuju ruang makan untuk sarapan. Setelah itu, mereka berdua kembali
masuk kamar mereka untuk menyiapkan baju yang akan dipakai saat pesta,"
kata Bu Anindya.
"Alex tidak terlalu ribet dalam memilih pakaian. Namun Angel, tuan
putri acara ini terlihat sibuk dan bingung memilih gaunnya. Berkali-kali ia
menunjukkan beberapa gaun pada saya dan Mas Dio. Namun karena
waktunya hampir mepet, saya memutuskan untuk pergi mandi dan bersiap.
Angel juga sudah memilih gaun mana yang akan ia pakai untuk acara. Setelah
itu Mas Dio kembali ke kamar untuk menyiapkan kadonya, tapi ia lupa
menulis kartu ucapan. Jadi ia pergi ke ruang kerjanya untuk menulis kartu
ucapan," sambungnya.
"Setelah itu saya masuk ke kamar mandi. Saat saya sudah selesai
mandi dan perawatan wajah, saya kaget bertemu Riani. Riani sangat panik
dan memberitahu saya bahwa Mas Dio sudah menggantung di lampu
gantung. Saya terkejut sekali dan...," katanya terputus dan sambil
menggelengkan kepalanya. Ia mengusap air matanya.
"Saya bilang pada Riani bahwa ingin berganti baju dulu karena saya
masih menggunakan baju mandi. Reno sudah menelepon polisi saat itu. Saya
bingung harus bagaimana. Angel menjerit ketika keluar dari kamarnya saat
melihat papanya sudah berada di lampu gantung. Mendengar jeritan Angel,
Alex langsung keluar kamar dan berteriak memanggil papanya," kata Bu
Riani.
"Apa Anda tahu suami Anda memiliki masalah dengan seseorang?"
tanya Inspektur Rian.
"Satu bulan lalu ia bercerita bahwa ada investor yang tidak
menyukainya, mereka sempat berdebat sebelum akhirnya membuat
kesepakatan yang damai," jawab Bu Anindya.
"Ada diantara keluarga ini yang sedang mengalami depresi atau stres
berat?" tanya Inspektur Rian.
"Mas Dio memang beberapa kali stres memikirkan pekerjaannya
bahkan hingga ia tidak sempat memikirkan makan jika saya tidak menyiapkan
dan menungguinya makan," jawabnya.
"Apa ia mengonsumsi obat?" tanyaku.
"Tidak," jawab Bu Anindya. Ia terlihat sedikit bingung atas
pertanyaanku.
"Lalu siapa yang meminum fluoxetine?" tanyaku. Ia terkejut
mendengar pertanyaanku.
"Saya. Saya menderita bulimia. Ketika saya selesai makan, saya akan
memuntahkannya," jawab Bu Anindya. Aku dan Inspektur Rian saling
berpandangan.
"Dimana biasanya Anda meletakkan obat itu?" tanyaku.
"Di kamar," jawab Bu Anindya.
"Kapan terakhir kali Anda meminumnya?" tanya Inspektur Rian.
"Tadi pagi," jawab Bu Anindya.
"Boleh kami pinjam obatnya?" tanyaku.
"Baiklah. Aku masih menyimpan satu botol lagi, kebetulan yang botol
ini sudah hampir habis," jawab Bu Anindya sambil berjalan menuju kamarnya
untuk mengambil obat itu.
"Fluoxetine," gumamku sambil menghela nafas panjang.
"Ini" kata Bu Anindya sambil menyerahkan botol obat itu pada kami.
"Apa Anda merasa kehilangan atau melihat yang tidak semestinya
disini?" tanya Inspektur Rian.
"Maksudnya?" tanya Bu Anindya.
"Pecahan kaca ini. Apa Anda memiliki vas, guci, atau patung hiasan
yang mirip dengan kaca ini?" tanyaku sambil memperlihatkan foto pecahan
kaca itu.
"Tidak, tidak ada," jawab Bu Anindya sambil menggelengkan
kepalanya bingung.
"Baiklah. Terima kasih atas informasinya. Kami akan menghubungi
Anda lagi," kata Inspektur Rian menutup perbincangan.
"Ya, terima kasih kembali. Kami sangat bergantung pada kalian untuk
menyelidiki kematian Mas Dio," kata Bu Anindya sedih. Aku hanya
menganggukkan kepala. Bu Anindya kembali ke ruang makan, namun
sebelum itu ia sempat minum air putih terlebih dahulu.
"Bagaimana dengan dua anak itu?" tanyaku.
"Mungkin Inspektur Adi yang akan menemanimu. Sepertinya mereka
akan takut jika aku yang menanyai," kata Inspektur Rian sambil berdiri dan
berjalan menuju ruang makan.
***
Inspektur Adi berjalan menuju ruang tamu bersama Alex dan Angel
untuk proses interogasi. Dua anak itu tampak sedikit takut sebelum akhirnya
memberanikan diri untuk duduk di hadapanku. Inspektur Adi tampak
menenangkan mereka sebelum interogasi.
"Alex Putra Kusuma dan Angel Putri Kusuma. Kalian putra-putri dari
Abraham Dio Kusuma?" tanyaku memulai interogasi.
"Iya" jawab mereka.
"Alex, 15 tahun. Angel, 13 tahun?" tanyaku lagi.
"Benar," jawab mereka.
"Kemarin aku habis ulang tahun" kata Angel. Aku hanya tersenyum
kecil.
"Aku mau tanya nih. Kemarin kalian ada dimana aja?" tanyaku
dengan nada santai agar mereka tidak terlalu ketakutan.
"Aku yang jawab dulu ya," kata Angel.
"Oke," kataku singkat.
"Pagi kemarin tuh aku bangun, terus sarapan, habis itu aku mau mandi
tapi aku bingung mau pakai gaun yang mana untuk pesta. Akhirnya aku pilih-
pilih gaun dulu. Aku nunjukin ke papa sama mama, akhirnya aku pilih satu
yang paling bagus," kata Angel.
"Setelah itu?" tanya Inspektur Adi.
"Setelah itu aku masuk kamar untuk nyiapin aksesoris sama sepatu,"
jawab Angel.
"Kalau Alex?" tanyaku.
"Hampir sama, cuma aku nggak nyiapin gaun," jawab Alex.
"Aku bangun pagi, terus sarapan. Habis itu aku masuk ke kamar lagi
untuk nyiapin kemeja yang mau aku pakai" kata Alex.
"Lalu?" tanyaku.
"Aku tetap di kamar, Kak. Malam itu aku baru membuat sketsa
gambar, tapi karena ngantuk jadinya aku ketiduran. Nah nanggung banget
kalau nggak diselesaikan, jadi setelah aku pilih baju, aku nyempatin untuk
nyelesaikan dulu," jawab Alex.
"Angel, ada sesuatu yang harus kamu lihat," kata Inspektur Adi sambil
memandangku. Aku mengeluarkan kertas ucapan ulang tahun Angel yang
digenggam oleh Pak Dio. Aku memperlihatkannya di dalam kantong bukti
transparan.
"Jangan dikeluarkan ya, cukup lihat dari kantong luarnya saja,"
kataku. Angel mengambil barang bukti itu kemudian tersenyum. Sesaat
kemudian ia menunduk sedih.
"Terima kasih," kata Angel. Aku hanya mengangguk. Alex telah
datang membawa sketsanya.
"Ini" kata Alex sambil menyerahkan sketsanya.
"Wah keren, boleh aku lihat gambar lainnya?" tanyaku memancing.
"Mari ke kamarku, aku punya banyak sketsa di meja," kata Alex
mengajakku ke kamarnya.
"Tetaplah disini bersama Angel. Ajak dia mengobrol apa saja,"
ucapku pada Inspektur Adi.
"Baiklah," kata Inspektur Adi singkat.
Aku berjalan menuju kamar Alex. Kamar itu didominasi oleh warna
biru terang dengan barang-barang yang pastinya tidak murah. Ada banyak
sketsa gambar di mejanya. Alex menunjukkan satu-satu padaku. Namun
tujuanku bukanlah menilai gambar, tapi menyelidiki ruangannya. Aku
melihat dekorasi dan foto-foto Alex yang tergantung di kamarnya. Ada
banyak foto disana mulai dari foto keluarga hingga foto kelas.
"Hei, apakah ini teman-teman sekelasmu?" tanyaku pada Alex sambil
menunjuk sebuah foto.
"Iya, itu foto kelasku yang diambil saat perayaan hari kemerdekaan,"
jawab Alex.
"Bagaimana dengan ini? Apa kamu pindah kelas?" tanyaku melihat
foto Alex bersama teman-temannya yang lain.
"Tidak. Itu bukan teman-teman sekelasku. Itu fotoku bersama dengan
teman-teman komunitas wall climbing," jawab Alex.
"Komunitas dari sekolah?" tanyaku.
"Ya," jawabnya singkat sambil berbalik menuju kursinya. Aku
menulis cepat nama sekolah Alex.
"Bagaimana dengan kamar Angel?Apakah aku boleh melihatnya
juga?" tanyaku.
"Masuk saja. Dia tidak pernah mengunci pintu kamarnya," jawab
Alex. Aku mulai masuk ke kamar Angel yang serba pink itu. Cukup
berantakan disini karena mungkin ia habis membongkar isi lemarinya. Tidak
ada yang menarik dari kamar itu kecuali barang-barangnya.
"Angel suka mengoleksi alat tulis?" tanyaku.
"Ya. Setiap alat tulis yang bentuknya lucu atau warnanya bagus pasti
dia beli," jawab Alex. Aku melihat banyak alat tulis berwarna-warni disana.
Dan bentuknya pun berbagai macam. Setelah melihat-lihat aku memutuskan
untuk keluar.
"Oke, kunjungan kami berakhir disini. Terima kasih atas bantuan
kalian hari ini," kataku sambil menghampiri Inspektur Adi dan Angel.
"Sama-sama, Kak Detektif," kata Angel dan Alex sambil berlari ke
ruang makan.
"Tinggal satu tersangka kita," kataku.
***
Seorang wanita yang terlihat masih agak muda datang menghampiri
kami. Kemudian ia duduk di kursi untu proses interogasi.
“Tina Yuliana, 26 tahun, asisten rumah tangga di rumah ini?” tanya
Inspektur Adi memulai percakapan.
“Ya” jawabnya singkat.
“Dimana Anda saat hari kejadian?” tanya Inspektur Adi lagi.
“Sesuai jadwal saya baru datang kesini pada pukul tujuh pagi.
Kemarin adalah acara ulang tahun Non Angel, acaranya baru akan dimulai
pukul sembilan. Pagi itu setelah saya memarkirkan sepeda, kemudian masuk
lewat pintu belakang seperti biasanya. Bu Anindya dan Pak Dio sudah ada di
meja makan saat itu. Saya mulai mengelap meja dan perabot-perabot itu
karena waktunya hampir mepet,” kata Mbak Tina.
“Kemudian Pak Dio menyuruh saya untuk berhenti mengelap karena
memang perabot itu tidak terlalu berdebu, saya hanya menjalankan tugas saja.
Pak Dio menyuruh saya untuk berjaga di gerbang dan bertugas membukakan
gerbang jika ada yang datang karena petugas keamanan sedang libur,” kata
Mbak Tina.
“Kenapa petugas keamanan diliburkan?” tanyaku.
“Ambil cuti, karena saat libur hari raya mereka tidak sempat cuti,
maka mereka ambil cuti pada minggu ini,” jawab Mbak Tina.
"Kemana Anda setelah berjaga di gerbang?" tanya Inspektur Adi.
"Tidak kemana-mana. Saya di pos keamanan untuk menunggu siapa
yang akan datang," jawab Mbak Tina.
"Berarti Anda tidak masuk ke dalam rumah lagi?" tanyaku.
"Tidak. Sampai para polisi datang kemari dan saya kebingungan,"
jawab Mbak Tina.
"Artinya Anda tidak tahu kejadian yang terjadi di dalam
rumah?Termasuk Pak Dio yang menggantung di lampu?" tanya Inspektur
Adi.
"Tidak, sampai saya bertanya pada polisi yang datang," jawab Mbak
Tina.
"Kapan terakhir kali Anda bertemu dengan Pak Dio?" tanya Inspektur
Adi.
"Ya saat Pak Dio menyuruh saya untuk berjaga di gerbang. Setelah
itu saya hanya duduk di pos keamanan sambil menonton televisi dan mengisi
teka-teki silang di koran harian," jawab Mbak Tina.
"Apa Anda bertemu dengan Pak Reno dan Bu Riani?" tanyaku.
"Ya. Saya yang membukakan gerbang untuk mereka," jawab Mbak
Tina.
"Anda selaku asisten rumah tangga sekaligus pengasuh bagi dua anak
itu. Apa Anda tahu apa saja yang dikonsumsi oleh keluarga ini?" tanya
Inspektur Adi.
"Tentu, saya yang biasa memasak untuk keluarga ini, sesekali dibantu
oleh Bu Anindya," jawab Mbak Tina.
"Maksudnya, selain makanan apa Anda tahu apa saja yang mereka
konsumsi? Misalnya obat," kataku.
"Oh tidak, tidak," kata Mbak Tina sambil menggeleng.
"Baiklah. Terima kasih atas informasinya. Untuk kelanjutannya kami
akan menghubungi Pak Reno sebagai perwakilan," kata Inspektur Adi
menutup percakapan. Mbak Tina hanya mengangguk dan kembali ke ruang
makan tadi.
"Kenapa kau menanyakan dokter keluarga juga?" tanya Inspektur Adi
padaku.
"Obat yang dikonsumsi Bu Anindya bukan obat sembarangan yang
bisa dibeli dengan bebas, harus disertai dengan resep dokter saat membelinya.
Makanya aku menanyakan dokternya," jawabku.
"Oke. Proses interogasi sudah selesai, perkembangan info akan kami
hubungi lebih lanjut. Mengenai otopsi Pak Dio, secepatnya akan kami kabari.
Terima kasih banyak atas waktunya," kata Inspektur Rian pada keluarga itu.
Seluruh anggota keluarga mengantar kami menuju pintu keluar. Setelah
berpamitan kami segera meninggalkan rumah megah itu.
***
Sesampainya di kantor polisi, kami segera mencari keberadaan
ayahku, Kapten Adrian. Namun sebelumnya kami lebih dulu bertemu dengan
Teknisi Yuda.
"Dimana Kapten?" tanya Inspektur Adi.
"Disitu," jawab Teknisi Yuda sambil menunjuk meja ayahku.
"Bagaimana otopsinya?" tanyaku pada ayahku.
"Lancar. Hasilnya sudah keluar," jawab Kapten Adrian.
"Kalian bisa melihatnya di ruang otopsi bersama Dokter Airlangga, ia
masih ada disana," kata Kapten Adrian. Dokter Airlangga adalah dokter
forensik sekaligus ahli patologi muda kepolisian. Aku dan kedua inspektur
itu segera menuju ruang otopsi. Sebelum masuk, kami memakai pakaian
khusus selama berada di ruang steril itu.
"Bagaimana hasil otopsinya?" tanya Inspektur Rian.
"Korban tewas karena oksigen yang menghambat ke otak dan paru-
paru, ini karena lehernya tidak langsung patah saat digantung. Tali yang
melilit di leher itu menutup saluran arteri karotis dan pembuluh kapiler di
wajah dan mata pecah. Saraf vagus yang berada di dasar tempurung kepala
dan berfungsi mengendalikan jantung terpengaruh. Ketika otak kekurangan
oksigen, hal itu akan menekan dan memicu refleks saraf vagus sehingga detak
jantung dan tekanan darah menurun. Waktu kematian diperkirakan kurang
dari satu jam sebelum ditemukan. Jenis tali itu adalah tali karmantel," kata
Dokter Airlangga sambil menunjuk-nunjuk bagian leher Pak Dio.
"Tali itu biasa digunakan untuk melakukan olahraga panjat dinding,"
kataku.
"Panjat dinding!" seruku sedikit panik.
"Ada apa?" tanya Inspektur Rian.
"Saat aku berada di kamar Alex tadi, aku melihat foto-foto yang
terpajang di dinding kamarnya, salah satunya foto Alex bersama komunitas
wall climbing atau panjat dinding," jawabku.
"Apa nama komunitas itu?" tanya Inspektur Adi cepat.
"Itu komunitas dari sekolahnya," jawabku.
"Apa nama sekolahnya?" tanya Kapten Adrian.
"Central Junior High School," jawabku.
"Sekolah yang mahal," kata Inspektur Adi.
"Anak konglomerat," kataku.
"Bagaimana dengan obat depresi itu?Siapa yang mengonsumsinya?"
tanya Kapten Adrian.
"Bu Anindya. Ia bukan mengalami depresi ataupun stres. Dia
menderita bulimia nervosa," jawab Inspektur Adi.
"Kami belum memeriksa lebih lanjut tentang dokter pribadinya," kata
Inspektur Rian.
"Baiklah. Kalian boleh beristirahat terlebih dahulu. Kalian boleh
bekerja lagi setelah waktu istirahat habis," kata Kapten Adrian.
***
"Lihat apa yang kutemukan bersama Teknisi Yuda," kata Kapten. Aku
berjalan menuju ruangan teknisi itu bersama Inspektur Adi dan ayahku,
sedangkan Inspektur Rian tetap di luar bersama Detektif Tio.
"Hei, kalian harus lihat ini," kata Teknisi Yuda sesampainya kami di
ruangannya.
"Pecahan ini bukan berasal dari vas atau guci ataupun patung. Amati
teksturnya, itu bukan berasal dari bahan porselen, tapi campuran plastik dan
kaca," kata Teknisi Yuda.
"Benda apa yang terbuat dari bahan itu?" tanya Inspektur Adi.
"Kami menduga benda itu adalah sesuatu yang tajam, itu menjelaskan
kenapa ada goresan panjang di kaki meja itu," jawab Kapten Adrian.
"Bukan benda tajam yang terbuat dari campuran plastik dan kaca,"
kataku.
"Ya, memang bukan. Benda seperti itu tidak mampu membuat
goresan serius seperti ini. Bagaimana aku menjelaskannya," kata Kapten
Adrian sambil mencari kertas dan mulai menggambar.
"Seperti ini," kata Kapten sambil menunjukkan gambar coretnya.
"Sisi tajamnya bukan pada kaca itu, tapi sisi yang lain. Sedangkan sisi
tajamnya mungkin memang berbahan besi," kata Kapten.
"Ah! Aku tau maksudnya," kata Inspektur Adi.
"Benda-benda yang memiliki dua sisi seperti itu. Mungkin obeng?"
tanya Teknisi Yuda.
"Tidak. Gagang obeng tidak terbuat dari campuran kaca," kata Kapten
Adrian.
"Gunting, cutter," kataku.
"Ya! Gunting! Itu benda yang cocok dengan perkiraan kita," kata
Inspektur Adi.
"Artinya sisi gunting yang tajam menggores kaki meja, kemudian ada
pecahan gagang gunting atau cutter itu?" tanyaku.
"Gunting atau cutter yang terlempar. Ujungnya yang tajam menggores
kaki meja, kemudian gagangnya pecah," jawab Teknisi Yuda.
"Sudutnya akan cocok jika terlempar dari arah sana," kata Teknisi
Yuda sambil menujuk layar komputernya.
"Dari bawah lampu gantung itu?" tanya Inspektur Adi.
"Seseorang melempar benda itu dari arah bawah lampu gantung,"
kataku sambil menatap layar komputer Teknisi Yuda.
"Saatnya investigasi. Aku akan meminta surat perintah
penggeledahan pada ketua pengadilan," kata Kapten Adrian.
"Tapi, bagaimana jika ini adalah kasus bunuh diri?" tanyaku.
"Dengan sengaja menggunakan tali karmantel? Itu rencana bunuh diri
yang kurang tepat. Biasanya orang gantung diri menggunakan tali yang lebih
tebal," kata Inspektur Adi.
"Benar juga," kataku putus asa.
"Lalu sekarang kita menyelidiki?" tanya Inspektur Rian.
"Ya. Tunggu sampai Kapten selesai mengajukan surat
penggeledahan," jawab Inspektur Adi. Aku berjalan menuju mejaku dan
meminum jus yang sempat kubeli saat setelah dari toko olahraga tadi. Detektif
Tio datang menghampiriku dan duduk di kursi depan mejaku.
"Kasus ini hanya satu pembunuhan saja, tapi rasanya sangat sulit
untuk menemukan petunjuk," kataku.
"Barang-barang bukti itu adalah petunjuk. Begini, Nak. Terkadang
kita perlu berpikir simpel dalam sebuah kasus, jangan berpikir berlebihan,"
kata Detektif Tio.
"Jika benar ia dibunuh, siapa pelakunya," gumamku.
"Ingat, berpikirlah simpel," kata Detektif Tio.
"Surat penggeledahan sudah ada, mari menginvestigasi rumah itu”
kata Inspektur Adi mengajakku. Aku segera menghabiskan jusku dan
mengambil jasku. Berpikir simpel, kataku dalam hati. Aku tersenyum pada
Detektif Tio.
***
Kami telah tiba di kediaman Kusuma lima belas menit kemudian.
Sesampainya disana, gerbang dibukakan oleh Mbak Tina, asisten rumah
tangga itu. Setelah memarkirkan mobil kemudian kami bertiga mulai
menyelidiki rumah itu. Yang menyambut kami bukan Pak Reno lagi,
melainkan Bu Anindya. Pak Reno dan istrinya memang tidak tinggal di rumah
itu.
"Kami memiliki surat perintah penggeledahan atas rumah ini beserta
isinya," kata Inspektur Rian sambil mengeluarkan surat itu. Raut wajah Bu
Anindya tampak sedikit cemas.
"Masuklah," kata Bu Anindya bingung.
Kami segera memasuki rumah mewah itu dan mencari bukti-bukti.
Aku melangkah menuju meja TKP, sedangkan kedua inspektur itu sibuk
menyelidiki perabotan-perabotan rumah itu.
Aku masuk ke dalam kamar tidur Alex lagi sendirian. Kolong meja
belajar Alex banyak serbuk putih seperti kapur, dan ada tas berisi peralatan
panjat dinding. Aku membuka tas itu dan menemukan tali karmantel yang
sama dengan tali yang melilit di leher Pak Dio. Sedikit shock kemudian aku
memasukkannya ke dalam kantong bukti. Aku menyusuri kamar itu dengan
cermat lagi dan menemukan sebuah gunting dengan gagang rusak sebelah di
kotak pensil diatas meja belajar. Setelah menyelidiki kamar Alex aku keluar
dan menghampiri kedua inspektur itu.
"Aku menemukan banyak barang bukti yang mengarah pada teori
kita," kataku.
"Bawa itu dan kita periksa di kantor polisi," kata Inspektur Rian.
"Bu Anindya, penggeledahan kami telah selesai hari ini. Terima kasih
atas izinnya, kami kembali ke markas," kata Inspektur Adi pada Bu Anindya.
Wanita itu hanya mengangguk. Bibirnya masih terlihat pucat dan bawah
matanya masih sedikit menghitam.
***
Sesampainya di kantor polisi, kami bertemu dengan Kapten Adrian
dan Teknisi Yuda lagi. Mereka sedang berbincang seru sebelum kami datang.
"Aku menemukan sidik jari di dekat goresan kaki meja itu. Kemudian
juga aku menemukan gunting yang gagangnya pecah sebelah," kataku sambil
mengeluarkan barang-barang itu.
"Dan yang terakhir ini, tali karmantel," kataku.
"Ini tali yang sama seperti yang melilit di leher Pak Dio, kan?" tanya
Teknisi Yuda.
"Ya aku rasa," jawabku.
"Dimana kau menemukan tali dan gunting ini?" tanya Kapten Adrian.
"Kamar Alex," jawabku.
"Mungkinkah dia pelakunya?" tanya Inspektur Adi.
"Belum tahu," jawabku.
"Apa yang kalian temukan disana, Inspektur?" tanya Kapten pada
kedua inspektur.
"Hanya sidik jari yang ada di hampir setiap jengkal lantai rumah itu,"
jawab Inspektur Rian.
"Dan aku menemukan pil ini lagi. Fluoxetine kurasa," kata Inspektur
Adi.
"Aku akan memeriksa sidik jarinya," kata Inspektur Adi.
"Aku ikut," kata Teknisi Yuda.
"Apa kau mau memeriksa sidik jari pada gunting itu juga?" tanyaku
pada Teknisi Yuda.
"Baiklah, kubawa sekalian," jawabnya.
"Hasil forensiknya sudah keluar, kalian pasti tidak percaya dengan
hasilnya," kata Kapten Adrian.
***
"Bagaimana laporan forensiknya?" tanya Inspektur Rian.
"Di gunting itu terdapat sisa beberapa helai benang yang berasal dari
tali karmantel. Dan di gagang guntingnya terdapat sidik jari seseorang yang
sama dengan sidik jari yang menempel di kaki meja dan lantai," kata Kapten
Adrian.
"Sidik jari siapa itu?" tanyaku.
"Orang yang berada di rumah itu," jawab Inspektur Adi sambil
menunjukkan foto seseorang.
"Bukankah itu...," kata Inspektur Rian terputus.
"Astaga!" kataku kaget.
"Tapi apa alasannya? Maksudku apa motifnya sampai membunuh Pak
Dio?" tanyaku.
"Mungkin balas dendam?" kata Inspektur Rian.
"Atau gangguan kejiwaan," kata Kapten Adrian.
"Bisa jadi pelaku itu juga meminum fluoxetine, karena obat itu juga
ditemukan di bawah meja kan?" kata Inspektur Adi.
"Ya. Dan fluoxetine juga merupakan obat anti-depresan," kataku.
"Maksudmu dia yang mengalami depresi?" tanya Inspektur Rian.
"Siapa tahu. Tapi apa yang menyebabkan ia sampai berbuat seperti
itu?" kataku sambil berpikir keras.
"Sepertinya aku tahu, tapi aku tidak yakin," gumamku.
"Kita sudah menemukan pelakunya serta bukti-buktinya. Siapa yang
akan menghubungi Pak Reno?" tanya Kapten Adrian.
"Biar aku saja," kata Inspektur Rian.
"Katakan bahwa kita sudah menemukan pelakunya dan minta
padanya untuk mengumpulkan semua anggota keluarga di rumah kediaman
itu," kata Kapten Adrian.
"Siap," kata Inspektur Rian sambil berbalik.
"Sebaiknya kita bersiap untuk pergi ke rumah itu," kata Inspektur Adi.
Sesampainya disana, gerbang dibukakan oleh Mbak Tina. Sirene mobil polisi
kami terdengar sangat keras di halaman rumah mewah tersebut. Sudah ada
satu mobil di samping garasi, sepertinya mobil milik Pak Reno. Saat kami
semua turun dari mobil, Pak Reno telah menyambut kami di depan pintu.
"Mari, silakan masuk," kata Pak Reno. Aku melihat ruang tamu yang
luas itu telah dipenuhi oleh keluarga Kusuma, Mbak Tina juga ada disana.
Aku melihat ke arah pelaku dengan tatapan tidak bersimpati lagi.
"Selamat sore. Kami dari kepolisian kota telah menemukan pelaku
atas pembunuhan seorang korban bernama Abraham Dio Kusuma. Sejumlah
bukti telah kami selidiki dan mengarah kepada satu pelaku," kata Kapten
Adrian langsung.
"Tunggu. Pembunuhan? Berarti suami saya dibunuh? Bukan gantung
diri?" tanya Bu Anindya.
"Sayangnya begitu," jawabku. Semua orang di ruangan itu saling
berpandangan kebingungan.
"Saya akan menjelaskan beberapa spekulasi terlebih dahulu dibantu
oleh detektif muda kepolisian, Detektif Velisa," kata Inspektur Adi.
"Abraham Dio Kusuma atau biasa kita sebut dengan Pak Dio, tewas
karena kehabisan oksigen akibat tali yang melilit di lehernya. Meski begitu,
lehernya tidak langsung patah dan mengakibatkan pembuluh kapilernya
pecah," kata Inspektur Adi memulai penjelasan. Seluruh anggota keluarga itu
terkejut mendengarnya. Bahkan Bu Riani sampai melongo.
"Kami juga telah melakukan investigasi terhadap rumah ini beserta
barang-barangnya dan mengambil sejumlah barang untuk penyelidikan
barang bukti," kataku.
"Barang-barang itu diantaranya adalah gunting, tali karmantel, dan
serbuk obat. Kami juga menyelidiki jejak sidik jari yang tertinggal benda,"
kata Inspektur Adi. Inspektur Rian menunjukkan barang-barang bukti itu satu
persatu.
"Kita akan mulai membahasnya dari obat itu. Obat pil itu adalah
fluoxetine, obat anti-depresan yang juga bisa digunakan sebagai obat untuk
penderita bulimia. Obat ini dikonsumsi oleh Bu Anindya," kata Inspektur Adi.
"Ya, itu memang benar," kata Bu Anindya.
“Kami juga telah mengunjungi dokter keluarga kalian, Dokter Ferina
di rumah sakit pusat kota. Dokter Ferina mengatakan hal yang sebenarnya,
bahwa Bu Anindya menderita kelainan bulimia. Tapi ia juga mengatakan hal
yang mungkin tidak dia ucapkan pada keluarga ini. Penderita bulimia akut
bisa mengalami depresi karena tertekan, oleh karenanya fluoxetine
dikonsumsi sebagai pereda," kataku.
"Apakah Anda benar-benar tidak merasa tertekan? Sampai Anda bisa
membunuh suami Anda sendiri? Apa Pak Dio yang membuat Anda menjadi
merasa tertekan?" tanya Inspektur Rian bertubi-tubi hingga membuat Bu
Anindya kebingungan menjawabnya.
"Tidak. Tidak, tidak!" kata Bu Anindya
"Saya tidak mungkin membunuh suami saya sendiri," kata Bu
Anindya mulai menangis.
"Tentu tidak, karena Anda bukanlah pelakunya," kataku.
"Lalu siapa?" tanya Pak Reno.
***
"Penjelasan kami belum selesai, bukan? Ini baru dari obat fluoxetine
saja," kata Inspektur Rian.
"Lanjutkan," kata Kapten Adrian.
"Kemudian barang bukti kedua adalah tali karmantel. Tali yang biasa
digunakan untuk olahraga panjat dinding. Kita tahu siapa yang mengikuti
komunitas olahraga ini di sekolahnya," kata Inspektur Adi.
"Alex," kataku. Semua orang melihat ke arah Alex.
"Apa tali karmantel ini milikmu?" tanyaku.
"Ya, ini punyaku. Dari mana kalian dapat?" tanyanya.
"Kamarmu. Saat aku menginvestigasi," jawabku.
"Tali karmantel inilah yang melilit di leher Pak Dio hingga tewas. Jika
Pak Dio memang berniat gantung diri, tentu ia tidak akan melakukannya
menggunakan tali seperti ini. Dan tentunya pasti ia tidak akan melakukannya
di lampu gantung rumahnya sendiri. Maka dari sinilah kami tahu bahwa Pak
Dio meninggal karena ada yang berniat membunuhnya, bukan murni bunuh
diri," kataku.
"Tali ini memang punyaku, tapi aku tidak mungkin mengikatnya pada
papaku sendiri hingga ia meninggal," kata Alex panik.
"Ya benar. Tapi jika kau berada di kondisi yang benar-benar
membencinya, apakah mungkin?Tentu. Aku tahu papamu lebih sayang dan
lebih memperhatikan Angel daripada kamu, mungkin dengan cara ini kamu
akan lebih tenang," kataku.
"Tapi aku benar-benar tidak membunuh papa. Papa memang lebih
memperhatikan Angel daripada aku, tapi itu tidak masalah," kata Alex takut.
"Jangan menangis, karena memang bukan kamu pelakunya," kataku
pada Alex sambil menepuk pundaknya.
"Lalu siapa yang membunuhnya?Jangan buat kami penasaran," kata
Bu Riani.
"Barang bukti yang ketiga yang akan menjelaskannya," kata Inspektur
Rian.
"Gunting. Lihat, gagangnya pecah bukan?" kata Inspektur Adi.
"Ya, saya melihatnya," kata Pak Reno.
"Di ujung gunting ini terdapat beberapa helai benang dari tali
karmantel itu. Artinya pelaku memotong tali itu menggunakan gunting ini
sehingga serat benangnya tertinggal di ujung gunting," kata Inspektur Adi.
"Gagangnya yang pecah, akibat dari hantaman benda keras seperti
meja. Gunting ini menghantam kaki meja itu sehingga ada bekas goresan
disana," kataku.
"Orang yang memotong tali karmantel menggunakan gunting inilah
pelakunya," kata Inspektur Rian.
"Kami telah melakukan tes sidik jari dan hasilnya ditemukan sidik
milik seseorang di rumah ini," kata Kapten Adrian.
"Orangnya adalah... dia," kata Inspektur Adi sambil menunjuk anak
itu.
"Pelakunya adalah Angel, putri bungsu Pak Dio," kataku. Semua
orang melongo melihat ke arah Angel. Bahkan Mbak Tina juga ikut melotot
kaget mendengarnya. Angel hanya terdiam dengan mata berkaca-kaca.
"T-tunggu. Ini tidak benar kan?" tanya Bu Riani tak percaya sambil
menatap keponakannya itu.
"Kali ini memang benar. Angel pelaku pembunuhan Pak Dio
berdasarkan bukti kuat yang ada," jawab Inspektur Adi.
"Izinkan aku berpendapat, tolong koreksi jika salah," kataku.
"Angel membunuh Pak Dio dengan cara seperti yang kita tahu, melilit
tali di leher kemudian menggantungnya di lampu gantung. Bagaimana
caranya? Ia mengambil tali karmantel milik kakaknya, Alex, yang mungkin
tertinggal di meja ruang tamu. Kemudian dia memotongnya menggunakan
gunting, karena sedikit kesulitan maka Angel harus menekan guntingnya
beberapa kali sebelum akhirnya tali berhasil terpotong. Itu meninggalkan
bekas serat benang pada ujung guntingnya, namun Angel tidak menyadari hal
ini," kataku.
"Angel memang berniat membunuh ayahnya, tapi ia tidak tahu
caranya. Dengan ceroboh ia berhasil membunuh ayahnya dengan cara
menggantungnya di lampu gantung rumah ini," kataku.
"Sebelum Angel berhasil menggantung ayahnya, pasti terjadi
perdebatan terlebih dahulu. Sehingga Angel yang semula ingin mengancam
ayahnya menggunakan gunting, berubah menjadi ingin menggantungnya di
lampu. Karena ancaman Angel dengan gunting itu membuat Pak Dio merasa
kesal sehingga Pak Dio melempar gunting itu ke sudut meja," kataku.
"Itu alasan mengapa ada goresan di kaki meja ini," kata Inspektur
Rian.
***
"Lagi-lagi Angel tidak menyadari hal remeh seperti ini," kata
Inspektur Adi.
"Gunting yang terlempar tadi pasti mengenai gagangnya juga, maka
ada pecahan gagang gunting di bawah meja itu. Semula kami mengira bahwa
itu adalah pecahan vas atau guci, namun ternyata bukan," kataku.
"Lanjutkan," kata Inspektur Rian.
"Setelah berdebat dan mengancam Pak Dio, Angel mulai melilitkan
tali karmantel pada leher Pak Dio. Ia melakukannya di bawah sini, itulah
mengapa Dokter Airlangga mengatakan bahwa lehernya tidak langsung
patah. Setelah melilitkan tali, Angel mulai menggantungnya di lampu
gantung itu agar terlihat seakan-akan Pak Dio gantung diri," kataku.
"Tapi bagaimana bisa Angel melakukan hal seperti itu? Bagaimana
caranya?" tanya Pak Reno.
"Angel mengikuti kegiatan kepanduan di sekolahnya bukan? Aku
tahu dari foto yang terpajang di meja belajar saat investigasi pertama
kamarnya. Tidak heran mengapa ia bisa begitu lihai dalam hal simpul tali-
temali. Untuk bisa sampai menggantungnya, mungkin dia menariknya dari
atas balkon kamar," kataku.
"Mengapa dia menggunakan tali karmantel jika memang berniat
membunuh ayahnya? Itu karena sepertinya ia ingin menjebak kakaknya
terlebih dahulu. Ia menggunakan tali karmantel yang ada di meja ini agar
polisi menuduh Alex sebagai tersangka. Kemudian gunting milik Angel itu
juga diletakkan di kamar Alex agar kami menganggap bahwa Alex-lah
pelakunya. Saat kami datang untuk investigasi rumah ini, aku juga datang ke
kamar Alex lagi, bahkan ia mempersilakanku masuk. Saat itulah aku
menyadari bahwa mana ada pembunuh yang mempersilakan petugas polisi
untuk menyelidiki ruangannya. Dan disaat itu pula Alex berkata bahwa Angel
sedang tidur di kamarnya, dia takut jika kami memeriksa kamarnya untuk
kedua kali," kataku.
"Saya tidak menyangka," kata Bu Anindya menangis di samping Bu
Riani.
"Bagaimana dengan obat itu?" tanya Mbak Tina tiba-tiba.
"Angel juga ingin menjebak ibunya sebagai pelaku dengan obat yang
dikonsumsinya. Namun sepertinya ia juga mengonsumsinya," kataku.
"Maksudmu Non Angel juga meminum obat ibunya?" tanya Mbak
Tina.
"Ya," jawabku.
"Tapi apa alasan Angel membunuh ayahnya sendiri?" tanya Pak Reno.
"Itu yang kami belum ketahui," jawab Inspektur Adi.
"Mungkin Angel akan menjelaskannya," kata Kapten Adrian.
"Tapi Angel tidak memiliki riwayat bulimia," kata Bu Riani.
"Fluoxetine tidak hanya untuk penderita bulimia, tapi juga depresi,
gangguan pola makan, gangguan obsesif, dan serangan kepanikan," kataku.
"Silakan berbicara, Angel," kata Inspektur Rian. Gadis 13 tahun itu
masih terdiam sebelum akhirnya mengangkat wajahnya dan mulai berbicara.
"Kakak detektif itu memang hebat. Dia menjelaskan hampir benar
seperti apa yang kulakukan," kata Angel ringan. Semua orang melotot
padanya, tidak mempercayai bahwa gadis yang masih dibawah umur
melakukan tindakan yang sangat kejam terlebih pada ayahnya sendiri. Bu
Anindya menangis. sejadi-jadinya di bahu Bu Riani. Sejak tadi Alex hanya
diam melongo mendengar penjelasanku seakan tidak percaya adik
perempuannya itu yang melakukannya.
"Aku memang melakukannya," ucap Angel.
***
"Apa alasan kau membunuhnya?" tanya Inspektur Adi.
"Aku sudah lama menyimpan kekesalan ini. Papa sering sekali
membandingkan aku dengan anak-anak teman kantornya. Aku sangat kesal
jika dibandingkan seperti itu. Bukankah tiap anak memiliki potensi dan bakat
yang berbeda-beda?" kata Angel.
"Apa kau membunuhnya dengan cara yang sama seperti yang Detektif
Velisa katakan?" tanya Inspektur Rian.
"Ya kurang lebih. Aku berdebat dengan papa terlebih dahulu karena
ia membandingkanku lagi dengan anak teman kantornya. Awalnya aku
mengancam dengan gunting, namun ternyata papa tidak takut dengan
ancamanku dan malah melempar guntingku ke meja itu," kata Angel.
"Tali Kak Alex tertinggal di meja itu karena dia lupa membawanya.
Aku hanya menemukan itu, jadi kupakai itu saja. Jika ada pisau di dekat situ
maka aku akan gunakan pisau," kata Angel ringan. Semua orang melongo dan
melotot padanya, tak terkecuali Mbak Tina, asisten rumah tangga sekaligus
pengasuh kedua anak itu. Bu Anindya berteriak dan kembali tersedu. Adik
iparnya menenangkannya.
"Tunggu. Yang saya bingungkan adalah waktunya. Kapan Angel bisa
melakukan hal seperti itu di rumah ini? Bukankah selalu ada Mbak Tina yang
mengurusnya, ada Alex juga," tanya Pak Reno.
"Mungkin dia akan menjawabnya," kata Kapten Adrian sambil
menunjuk Angel.
"Saat sedang sepi tentunya," jawab Angel santai.
"Sebelum acara pestaku dimulai. Setelah menunjukkan gaun-gaun,
mama mandi dan melakukan perawatan wajah di kamar mandi. Kak Alex
kembali ke kamarnya dan tidak mendengar apapun. Mbak Tina berjaga di pos
keamanan luar. Hanya tinggal aku dan papa saja yang ada di ruangan ini”
jawab Angel.
***
"Lalu bagaimana dengan Angel?Apakah dia akan dipenjara?" tanya
Pak Reno.
"Angel sudah berusia genap 13 tahun, artinya dia telah berkonflik
dengan hukum," jawab Kapten Adrian.
"Berapa lama Angel akan ditahan?" tanya Bu Riani.
"Tergantung Jaksa Penuntut Umum, biasanya maksimal lima hari,"
jawab Kapten Adrian.
"Apakah Angel akan dijatuhi hukuman penjara?" tanya Bu Anindya
sambil tersedu.
"Mungkin dia akan ditempatkan di lembaga pembinaan anak sampai
berusia 18 tahun," jawab Kapten Adrian.
"Apa kau keberatan jika ditahan?" tanya Bu Anindya pada Angel.
"Tidak. Mereka tidak mur dan beberapa petugas polisi lainnya.
Anggota keluarga itu terdiam kaku setelah mendengar pengakuan dari
seorang anak perempuan berusia 13 tahun yang amat mereka sayangi itu.
“Kami izin pamit untuk kembali ke kantor polisi. Terima kasih atas
kerja samanya, kasus ini resmi ditutup,” kata Kapten Adrian sambil keluar.
Aku juga mengikutinya keluar setelah bersalaman dengan keluarga itu.
Mereka mengantarkan kami hingga gerbang dan melambaikan tangan pada
Angel yang sudah berada di dalam mobil. Angel hanya bisa tersenyum pada
keluarga itu. Suasana rumah itu terasa sangat sedih, terlebih pada keluarga
Kusuma. Siapa yang menyangka bahwa seorang konglomerat kota ini tewas
mengenaskan di tangan putri bungsunya sendiri.
***
Aku melihat acara berita di televisi kantor polisi pagi itu. Berita itu
mengabarkan tentang kematian seorang pengusaha kaya yang menjadi
konglomerat di kota ini. Aku mengambil remote kemudian membesarkan
volumenya.
"Ini untukmu, dari keluarga Kusuma," kata Inspektur Rian.
"Terima kasih," kataku. Inspektur itu hanya mengacungkan jempol.
Aku menarik pita kotak itu dan membuka kotaknya. Aku melihat
setoples coklat dan ada kartu ucapan disana.
Terima kasih Detektif Velisa, karena telah membantu dalam mengusut
kasus kematian salah satu anggota keluarga kami. Datanglah ke rumah ini
jika kau tidak sibuk. Alex ingin berfoto denganmu jika ada kesempatan untuk
bertemu lagi, dia sangat mengidolakanmu. Salam, Kusuma's Fam.
Aku membaca kartu ucapan terima kasih itu dengan tersenyum.
Kusimpan kartu itu di buku jurnal dan mulai memakan coklat yang ada di
toples sambil kembali menonton televisi.

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai