Anda di halaman 1dari 20

Satu Jiwa, Dua Kehendak

Racella Deven Andrani

Pagi ini, ketika mentari seakan enggan melukiskan pemandangan cerah, menciptakan
suasana yang lebih layaknya dipenuhi kabut kelam, sebuah tragedi mengejutkan menghantui
kota. Seorang pria menjadi salah satu korban dalam rencana pembunuhan yang terasa begitu
dingin dan terencana. Kehidupannya berakhir dengan keadaan yang begitu tragis, ditemukan
di sebuah rumah tua yang terlihat semakin memudar di bawah sinar matahari. Darah yang
memercik di sekitar tempat kejadian tersebut menjadi saksi bisikan kematian yang telah
merampas nyawa seorang polisi, melahirkan misteri yang menyelubungi ruangan seperti
bayang-bayang tak terlihat yang menunggu untuk dipecahkan oleh pencerahan kebenaran.

Dengan keberanian yang menggertak, Renjana melangkah mendekati rekan


kepolisiannya, memulai percakapan yang dipenuhi ketidakpercayaan terhadap kasus
pembunuhan yang kembali menghantui kota.

“Apakah kita memiliki barang bukti yang bisa diandalkan?” Renjana menyuarakan
pertanyaannya dengan cermat, mencari kejelasan di tengah ketidakpastian.

“Nihil, pak. Tidak ada jejak yang dapat ditemukan dari kasus pembunuhan kali ini,”
jawab bawahannya dengan tegas, membenarkan keprihatinan Renjana.

“Baiklah, kalau begitu segera bawa korban ke Laboratorium Forensik untuk dilakukan
autopsi. Mungkin saja di tubuhnya masih meninggalkan jejak dari pelaku yang dapat
membantu kita memecahkan kasus ini,” Renjana memberikan instruksi dengan tegas.

Bawahan Renjana hanya mampu menganggukkan kepala sebagai tanda pengertian,


menyadari pentingnya tugas yang diberikan.

Setelah proses pemeriksaan, mayat korban diarahkan ke Laboratorium Forensik untuk


diautopsi. Dokter Harsa yang bertanggung jawab atas autopsi memberikan laporan yang
mengguncangkan Renjana.

“Dari analisis DNA, korban dapat diidentifikasi sebagai seorang polisi bernama
Gilang Mahendra, berusia 32 tahun. Tidak ada jejak sidik jari yang tertinggal di tubuhnya,
namun terdapat 64 luka tusukan pisau yang tersebar di seluruh tubuhnya. Yang lebih
mencengangkan, organ jantungnya hilang.”
Dengan ekspresi penuh perhatian, Dokter Harsa melanjutkan, “Saya melihat metode
pengambilan jantung dan sayatan pada dada yang begitu terampil, hampir seperti seorang ahli
bedah yang memiliki keterampilan luar biasa. Kita berhadapan dengan pelaku yang bukanlah
orang biasa dalam melakukan tindak keji semacam ini.”

“Ahli bedah?” tanya Renjana dengan penasaran

“Iya Renjana,” jawab Dokter Harsa dengan penuh ketegasan.

“Baiklah, terimakasih Dokter Harsa. Kalau begitu saya pergi dulu,” ujar Renjana.

Renjana, memegang hasil autopsi dalam genggaman, meninggalkan ruang autopsi


dengan pertanyaan besar di benaknya. Kendati dihadapkan pada kekejaman yang sulit
dipahami, dia merasa semakin terpaku pada kegelapan yang semakin menyelubungi kasus ini.
Sambil melajukan mobilnya menuju kantor polisi, Renjana tidak bisa menahan gumamnya,
“Kasus yang menarik” seolah menyadari bahwa di balik setiap fakta, tersembunyi benang
merah yang memerlukan kecerdasan dan kehati-hatian untuk diungkap.

Sesampainya di kantor polisi, Renjana langsung disambut oleh Gentara, rekan


setimnya.

“Renjana, bagaimana hasil autopsinya?" tanya Gentara dengan rasa penasaran yang
sulit ditutupi.

Renjana menghela nafas sejenak sebelum memberikan jawaban, "Kacau gen, ngga
ada sidik jari di tubuh korban. Jantungnya hilang, dan sayatan terbuka yang ada di tubuh
korban kemungkinan besar dilakukan menggunakan pisau bedah. Dokter Harsa bahkan
berspekulasi bahwa kita mungkin berurusan dengan seorang ahli bedah."

Gentara mengangkat alisnya, terkejut dengan fakta yang diungkapkan Renjana. “Apa
yang sebenarnya terjadi, Ren?”

Renjana menjawab dengan pandangan tajam, “Itulah yang perlu kita cari tahu. Pelaku
ini bukan orang sembarangan. Kita mungkin berhadapan dengan seseorang yang memiliki
pengetahuan mendalam tentang anatomi dan keahlian bedah. Ini bukan kasus biasa, dan kita
harus hati-hati.”

“Sekarang kita bagi tugas saja. Kau pergilah mencari informasi dari keluarga korban
maupun teman dekatnya. Aku, di sisi lain, akan kembali ke tempat kejadian perkara untuk
memeriksa rekaman CCTV di sekitar sana dan menginterogasi masyarakat sekitar. Siapa
tahu, ada saksi yang melihat peristiwa tragis pembunuhan itu,” lanjutnya.

“Baiklah, Ren.” Gentara meresponnya dengan semangat, penuh keyakinan bahwa


Renjana takkan pernah salah langkah dan tetap memiliki semangat juang yang tak
tergoyahkan dalam menyelesaikan setiap kasus.

Dengan tekad yang tak kenal menyerah, Renjana melangkah pergi menuju tempat
kejadian perkara. Setibanya di sana, ia mulai memeriksa rekaman CCTV satu per satu yang
tersebar di sekitar lokasi kejadian. Namun, hasil jerih payahnya tidak membuahkan hasil
apapun, karena tak ada bukti yang dapat ditemukan. Semuanya terkesan berjalan seperti
keadaan normal, menyisakan teka-teki yang semakin membingungkan.

Keputusannya untuk menginterogasi setiap individu yang tinggal di sekitar tempat itu
bukan sekadar aksi rutin, melainkan langkah pertama dalam menangkap detail-detail kecil
yang mungkin terabaikan.

Dari sudut pandang orang-orang di sekitar TKP, sorotan investigasinya melekat pada
satu nama, Nata Artha Raespati, seorang mahasiswa kedokteran semester akhir. Nama ini
menjadi daya tarik tersendiri, seiring dengan keputusannya baru-baru ini untuk pindah ke
sebuah rumah kecil yang berdiri tak jauh dari lokasi kejadian. Rumah dengan desain
minimalis yang tidak terlalu mencolok dan sinar lampu remang-remang di bagian depan
rumahnya menambah kesan misterius, seolah rumah tersebut menyembunyikan sesuatu yang
akan menggemparkan publik dengan informasi yang dimilikinya.

Setelah menyelesaikan sebagian tugasnya, Renjana kembali ke kantor polisi untuk


berdiskusi dengan Gentara. Saat tiba di kantor, Gentara sudah menunggunya dengan duduk
tenang di kursi besi panjang di ruang tunggu kantor kepolisian. Dengan penuh antusias,
Gentara bertanya, “Bagaimana, Ren? Apa kau menemukan sesuatu?”

Renjana tersenyum misterius sebelum menjawab, “Ya, aku menemukan sedikit


petunjuk. Dari kesaksian orang-orang di sekitar sana, ada satu orang yang mencurigakan.
Namanya Nata, ia baru-baru ini pindah ke salah satu rumah yang ada di dekat TKP.
Sayangnya, aku belum bisa menginvestigasinya, karena katanya ia sedang bekerja paruh
waktu di sebuah cafe dekat kampusnya. Jadi, tolong hubungi dia dan beritahu bahwa aku
ingin menemuinya besok.”

“Baiklah, aku akan menghubunginya sekarang.”


Sembari menunggu Gentara menghubungi si mahasiswa, Renjana membuka sebuah
buku kecil berwarna hitam yang menjadi harta rahasianya. Di sana, tergores setiap detail hasil
investigasinya, mulai dari kasus-kasus awal yang pernah ditanganinya hingga kisah
pembunuhan misterius yang baru-baru ini melibatkan pikirannya. Buku kecil itulah seakan
menjadi jendela ke dunia gelap yang harus dipecahkan.

Renjana terlarut dalam dunianya sendiri, terpaku pada lembaran-lembaran kertas yang
menyimpan banyak sekali teka-teki dari berbagai kasus. Raut wajahnya mencerminkan
kelelahan yang teramat dalam, namun hasrat untuk memecahkan misteri terus membara di
matanya yang memerah. Tanpa disadarinya, Renjana yang telah lelah tertidur pulas di dalam
pelukan meja kerjanya, menyerah pada panggilan istirahat yang akhirnya menghampirinya.

Sementara itu, Gentara mengakhiri harinya yang panjang dengan pulang ke rumah.
Gugusan bintang-bintang menyinari perjalanannya, seolah memberikan lampu pemandu
dalam kegelapan malam yang merangkul kedamaian. Saat pintu rumah terbuka, atmosfer
keramaian sehari-hari tertinggal di luar, dan Gentara bisa melepaskan beban kelelahan yang
menyelimuti tubuhnya. Rumah menjadi tempat perlindungan, tempat untuk meresapi
ketenangan yang selalu dicari di tengah kesibukan yang menghimpitnya hari ini.

*****

Keesokan harinya, sepertinya sinar mentari sengaja merayu sela-sela jendela kantor,
menari-nari dengan gemulai untuk mengusik tidur pulas Renjana. Dengan lembut, cahaya
mentari menyapa wajahnya yang masih terlelap. Renjana pun terbangun dari tidurnya yang
masih terhanyut dalam bayang-bayang kegelapan yang menyelimuti kasus ini. Dengan
langkah yang pasti, Renjana memulai hari seperti biasa, meskipun kali ini berbeda karena ia
tidak berada di rumahnya diselubungi keheningan, mengingat bahwa ia tinggal sendirian.

Sesaat kemudian, Renjana dan Gentara memulai perjalanan bersama menuju cafe
tempat Nata bekerja. Langit pagi memberikan sentuhan dramatis pada keberangkatan mereka,
seolah menyelipkan aura ketegangan dan ekspektasi yang terpampang di wajah Renjana.
Dengan hati yang penuh teka-teki, mereka berdua melangkah ke arah yang belum pernah
dijamah, bersiap untuk menghadapi kegelapan yang mungkin membawa kebenaran yang
lama dinanti.

“Permisi,” ucap Gentara.


“Saya dari kepolisian, saya sedang mencari Natra Artha Raespati. Apakah dia ada di
sini?” tambahnya, seiring dengan ia menunjukkan kartu identitas yang tersemat dengan nama
Gentara Bellanca Zaviel.

“Ada, Pak. Sebentar, saya panggilkan dulu,” jawab karyawan dengan sopan sambil
bergerak menuju bagian belakang cafe.

Saat permintaan itu disampaikan, Gentara dan Renjana memutuskan untuk duduk,
merasakan kenyamanan dalam suasana tenang kafe yang menyelimuti mereka. Mereka
menyeruput ice americano yang telah dipesan sejak tadi, mencoba melongok pada setiap
sudut kafe yang dipenuhi dengan aroma kopi yang menggoda.

Beberapa menit berlalu dalam kesejukan cafe, hingga akhirnya seorang laki-laki
tinggi dengan penampilan yang agak cupu muncul. Terlihat tidak mungkin bahwa sosok ini
terlibat dalam pembunuhan kejam terhadap seorang laki-laki tua. Namun, penampilannya
bisa menipu, dan Gentara serta Renjana siap memulai wawancara untuk mengungkap potensi
“Apakah benar namamu Nata Artha Raespati?” tanya Renjana, memulai paginya dengan
tatapan tajam yang mencari jawaban dalam setiap ekspresi Nata.

“Ya, benar,” jawab Nata dengan ketenangan yang terasa kontras dengan ketegangan di
wajahnya.

“Duduklah dulu,” ujar Renjana, menunjuk pada kursi kosong di depannya,


menciptakan sebuah panggung pertanyaan yang siap diungkap.

Renjana memandang tajam mahasiswa bernama Nata Artha Raespati yang duduk di
depannya, mencoba menembus kedalaman pikiran pria muda itu. Nata, yang terlihat tegang
namun tetap menjaga ketenangannya, duduk dengan posisi yang santai di kursi.

“Baik, Nata, mari kita bicara terus terang. Kamu tahu bahwa Gilang Mahendra si
Petugas Patroli, telah tewas dengan kejam di rumah tua yang tidak jauh dari rumahmu,” ucap
Renjana dengan suara yang tenang namun sarat tekanan, seolah sengaja ingin menekan Nata
dengan intimidasi tersirat.

“Iya, saya tahu,” jawab Nata sembari menganggukkan kepala dengan sikap santai.

“Minggu lalu, kalian terlibat pertengkaran, bukan?” Renjana menuntut klarifikasi,


menyiratkan bahwa itu adalah poin krusial dalam penyelidikan.
“Iya, ia sering memarkirkan mobilnya di depan rumahku. Saya sudah mencoba
berbicara baik-baik padanya, tapi ia tidak pernah mempedulikan pendapat saya.” Nata
menjawab dengan nada kasar.

“Tapi, satu minggu setelah insiden itu, Gilang ditemukan tewas dengan cara yang
sangat tragis. Kamu ada di mana saat pembunuhan itu terjadi?” Renjana mengarahkan
pertanyaannya dengan tajam, menyiratkan keraguan terhadap alibi Nata.

“Saya tidak tahu apa-apa tentang kematian dia. Pada waktu itu saya berada di rumah
teman saya untuk menghadiri pesta ulang tahun,” Nata yang mulai memanas, memberikan
respon yang penuh emosi terhadap pertanyaan-pertanyaan Renjana.

“Apa kamu bisa membuktikannya?” Renjana menantang, mengisyaratkan bahwa alibi


Nata harus benar-benar kuat untuk meyakinkan penyelidikan.

“Ada banyak orang di sana yang bisa memastikan keberadaan saya. Tanyakan saja
pada teman-teman saya yang ada di pesta itu.” Nata menjawab dengan santai namun penuh
penekanan.

“Kami akan melakukan itu. Namun, kamu perlu tahu bahwa alibimu harus benar-
benar kuat untuk melepaskanmu dari jeratan kasus ini. Pembunuhan ini bukanlah permainan
biasa.” Renjana memberikan peringatan serius, menegaskan keseriusannya atas penyelidikan
kasus ini.

“SAYA TIDAK MEMBUNUHNYA!” Nata berteriak, karena sudah tersulut emosi.

Dalam suasana ruangan yang terasa tegang, Renjana memandang Nata dengan tajam,
meresapi setiap reaksi yang terpancar dari wajahnya. Melihat Nata yang tampak gelisah,
Renjana akhirnya menyuarakan rasa keheranannya, “Puft, mengapa kau begitu emosional,
Nata?” dengan nada mengejek dan tawa nyaring yang menyelubungi ruangan.

Tanpa disadari interogasi kali ini menghabiskan cukup banyak waktu dan energi.
Akhirnya Renjana pun mengajak Gentara untuk pergi dari cafe itu, meninggalkan Nata yang
memanas karena interograsi barusan. Mereka melajukan mobilnya tanpa tau harus kemana
mereka sekarang.

“Gentara, antarkan aku ke TKP, aku ingin memeriksa rumah itu. Kemarin aku belum
sempat kesana karena terlalu fokus untuk menginterogasi orang disekitar sana dan memeriksa
cctv sekitar lokasi,” celetuk Renjana
Gentara mengemudikan mobil menuju lokasi yang dibicarakan atasannya, tanpa
mengucapkan sepatah kata. Hanya anggukan singkat dari Gentara sebagai jawaban.
Sesampainya di TKP, Renjana turun dari mobil, meninggalkan Gentara. Namun, setelah
beberapa langkah, Renjana membalikkan badannya lalu berkata, “Gentara, kau pulanglah,
biarkan aku sendiri di sini.”

“Tapi-”

“Sudahlah, aku ingin memeriksanya sendiri. Pulanglah.”

Gentara yang hanya bisa menurut dengan ucapan atasannya itu hanya mengucapkan
“Sampai jumpa besok” dan berlalu begitu saja, meskipun di benaknya ia begitu khawatir pada
atasan kesayangannya itu.

Renjana mulai menjelajahi setiap ruang dan sudut rumah yang masih dikelilingi oleh
garis polisi. Setiap pintu yang dibukanya, ia harus menghadapi debu-debu yang telah
menumpuk bertahun-tahun di rumah tua itu. Rumah yang seharusnya penuh kenangan dan
kebahagiaan kini menjadi saksi bisu dari tragedi pembunuhan.

Tidak membutuhkan waktu lama, Renjana menemukan sesuatu di belakang rumah tua
itu. Di antara semak-semak belukar yang menjalar tinggi hingga ke pahanya, terdapat sehelai
Lanyard yang tersembunyi. Lanyard tersebut terdapat tanda Laboratorium Forensik, namun
tidak ada identitas yang tertera. Temuan ini membuat Renjana merasa ragu Apakah Nata
benar-benar pembunuhnya? Penemuan Lanyard ini menjadi harapan Renjana untuk menguak
kebenaran yang tenggelam.

Dengan penuh pertimbangan, Renjana memutuskan untuk menyimpan Lanyard


tersebut. Dia merasa bahwa inilah petunjuk krusial yang bisa membawanya lebih dekat pada
kebenaran di balik kasus ini. Keputusan untuk menyelidiki sendiri, tanpa campur tangan
kepolisian, semakin mengukuhkan tekad Renjana untuk mengurai seluruh kebenaran yang
menjalar di kasus pembunuhan kali ini.

*****

Dering telepon memecah keheningan pagi dan menghentikan langkah Renjana di


tanah mimpi. Ia meraih telepon, dan pada layarnya tertera nama Gentara, rekan setianya.

“Ren, gawat,” ucap Gentara dengan suara penuh kepanikan, seolah bara api
kegentaran meluncur dari kata-katanya.
“Ada apa?” Renjana menjawab dengan lesu, namun serius.

“Nata tewas, dibunuh di rumahnya.” Kata-kata Gentara menyulut api kewaspadaan di


dalam diri Renjana, membuatnya terbangun dari tidurnya tanpa ampun.

Tanpa melontarkan sepatah kata pun, Renjana dengan refleks menutup telepon dari
Gentara. Karena terburu-buru ia sampai tak sempat untuk melibatkan dirinya dalam rutinitas
pagi. Renjana hanya menyikat giginya, menggenggam kunci mobil, dan memacu mobilnya
menuju TKP. Kecemasan dan ketegangan menciptakan lapisan ketidakpastian di dalam mobil
yang meluncur cepat, seiring rengekan mesin yang menggema di sepanjang perjalanan.

Jadi, siapa pembunuh sebenarnya?

Pertanyaan itulah yang ada di benak Renjana sekarang. Kepalanya seperti ingin
meledak, karena terus-menerus memikirkan kerumitan kasus ini yang semakin menjadi-jadi.
Nata yang dicurigai menjadi tersangka pelaku pembunuhan justru tiba-tiba tewas secara
mengerikan. Tubuhnya dipotong berkeping-keping dan disusun dengan sadis seakan menjadi
kaya seni kelam yang dipajang di dinding rumah, menciptakan suasana mencekam layaknya
museum tubuh yang menakutkan.

Para petugas forensik dengan hati-hati mengumpulkan potongan tubuh Nata, seolah-
olah mereka adalah pemungut sampah yang terlatih. Setiap bagian tubuh yang terpotong akan
diangkut ke Laboratorium Forensik untuk menjalani proses autopsi. Kali ini, tugas tersebut
jatuh pada Dokter Asha, menggantikan Dokter Harsa yang sedang sibuk dengan kasus lain.

“Benar ini dengan Detektif Renjana?” tanya Dokter Asha saat Renjana berada di sana.

“Iya benar, dengan saya sendiri,” jawab Renjana.

“Baiklah, jadi dari analisis DNA yang kami lakukan, korban merupakan seorang
mahasiswa kedokteran bernama Nata Artha Raespati berumur 25 tahun. Dari potongan tubuh
korban kami tidak menemukan jejak sidik jari, tetapi ada sehelai rambut yang terselip di balik
kuku korban. Kemungkinan sebelum korban tewas, ia sempat melakukan perlawanan.”

“Apakah helai rambut itu sudah diidentifikasi?” tanya Renjana.

“Belum, setelah ini akan kami proses penganalisisan DNA dari helai rambut itu,”
jawab Dokter Asha.
Renjana terdiam sejenak, memikirkan langkah apa yang harus dilakukannya untuk
mengungkap kebenaran dari misteri pembunuhan ini. Ia menghela napas lalu memulai
pembicaraan, “Dokter Asha, apa kau mau bekerja sama denganku?” tanyanya dengan gugup.

“Tentu saja saya akan bekerja sama dengan Anda, detektif,” jawab Dokter Asha.

Renjana kebingungan mau menjelaskan rencananya, “Tapi kerja sama kali ini agak
berbeda, Dokter Asha.”

“Berbeda bagaimana?” tanya Dokter Asha.

“Jadi, kemarin saya menemukan sebuah Lanyard di lokasi kejadian pembunuhan


Gil-”

Gentara yang kaget dengan apa yang Renjana katakan, sontak menyela pembicaraan
mereka. “Ren, kau tidak bilang kepadaku kalau menemukan bukti.”

“Maafkan aku, Gen.”

“Kau ini selalu saja menyembunyikan hal-hal seperti ini,” katanya dengan kesal.

“Maaf menyela pertengkaran kalian, jadi bagaimana kelanjutannya tadi?” tanya


Dokter Asha dengan berhati-hati.

“Oh iya, Lanyard yang saya temukan ini tidak memiliki ID Card, jadi saya meminta
tolong kepada Dokter Asha untuk mengidentifikasi Lanyard itu milik siapa begitu juga
dengan helaian rambut itu. Tapi, tolong sembunyikan bukti-bukti ini terlebih dahulu,” jelas
Renjana dengan serius.

“Aku mengerti, tapi bagaimana kalau aku tertangkap karena menyembunyikan bukti-
bukti itu?”

“Aku yang akan bertanggung jawab,” tegasnya

“Kalau begitu saya setuju bekerja sama denganmu, Detektif Renjana,” sembari
menjabat tangan dengan Renjana.

“Ku serahkan bukti ini padamu, tolong jaga rahasia ini baik-baik.”

Dokter Asha hanya menganggukkan kepala pertanda bahwa ia mengerti dengan apa
yang dicuapkan Renjana.
Setelah mengakhiri percakapannya dengan Dokter Asha, Renjana dan Gentara
beranjak meninggalkan ruang forensik dengan perasaan tegang menggelayuti mereka. Dalam
langkah serius, mereka berdua melangkah menuju kantor polisi, di mana kerumitan kasus ini
semakin menjadi-jadi. Dalam tempat itu, keberanian mereka diuji seiring intensitas perburuan
kebenaran yang semakin meningkat. Suasana tegang menyelimuti udara, membawa mereka
masuk ke dalam labirin rahasia yang semakin dalam.

“Ren, sebenarnya aku juga menemukan sesuatu saat aku mewawancarai keluarga
Gilang Mahendra kemarin,” ucap Gentara, merobek keheningan di dalam mobil dengan
kepingan informasi baru.

“Kita bicarakan ini nanti,” jawab Renjana dengan ketus, menahan keingintahuan yang
memuncak.

Tiba di kantor polisi, keduanya bergegas menuju ruangan masing-masing. “Jadi, apa
yang kamu temukan, Gen?” tanya Renjana, menginginkan jawaban yang dapat membuka
lembaran baru dalam penyelidikan ini.

“Informasi yang kudapat dari keluarga Gilang mengungkap fakta mengejutkan, bahwa
Dokter Harsa bukan hanya sebatas seorang ahli forensik yang bekerja sama dengan Gilang
Mahendra, melainkan ia adalah seorang teman dekat dari Gilang Mahendra,” ungkap
Gentara, merinci lapisan masa lalu yang begitu kental. Kisah persahabatan mereka seperti
gambar puzzle yang mulai terungkap, namun masih menyisakan banyak kepingan yang
belum terjawab.

Raut wajah Renjana memperlihatkan ekspresi kebingungan yang semakin terpintal


oleh benang-benang, seolah ia harus menyusun kembali teka-teki yang semakin rumit.
“Dokter Harsa?” tanya Renjana, wajahnya mencerminkan kebingungan dan keheranan.

“Iya, Dokter Harsa dan Gilang memiliki hubungan yang begitu dekat dulunya. Tapi
pada umur 9 tahun mereka berpisah karena suatu kejadian.”

“Kejadian apa?” Renjana memohon penjelasan dengan mata yang penuh tanda tanya.

“Kebakaran yang menewaskan kedua orang tua Dokter Harsa,” jawab Gentara dengan
hati-hati, meraba kompleksitas kisah tragis ini.

Mata Renjana terbelalak, mendengar fakta yang mengejutkan. Dalam sekejap,


ruangan itu dipenuhi oleh aura ketegangan yang tak terelakkan.
“Kalau begitu, mari kita susun investigasi ini dari awal,” tegas Renjana, mengarahkan
fokus mereka pada tugas yang semakin rumit.

“Gentara, kita harus memastikan bahwa setiap langkah kita terarah dengan benar.
Dokter Harsa menjadi fokus kita. Kita butuh semua informasi yang bisa kita dapatkan tentang
hubungan mereka.”

Gentara mengangguk, serius menanggapi arahan Renjana. Mereka berdua kembali ke


meja kerja masing-masing, melibatkan diri dalam tugas yang semakin mendalam dan
mencekam.

“Tersangka selanjutnya adalah Dokter Harsa,” ucap Renjana dengan nada tegas,
membayangkan gelombang perubahan besar dalam kasus ini.

Dalam keheningan yang mencekam, pikiran keduanya melayang di lautan


ketidakpastian. Apakah Dokter Harsa, sang ahli forensik terkemuka, adalah seorang psikopat
kejam yang melakukan pembunuhan brutal terhadap dua korban? Atau mungkin is sudah
terlibat dalam lebih banyak kejahatan yang gelap dan mengerikan?

“Aku pergi dulu,” ucap Gentara, memutuskan keheningan yang terbentang di antara
mereka. Meskipun kata-kata itu terdengar sederhana, namun membawa makna yang lebih
dalam.

Ketika Gentara menyebutkan kata “Pergi” Renjana menganggukkan kepala dengan


senyum misterius. Seolah setuju dengan keputusan itu, meskipun keadaannya sedang kacau.

Renjana memutuskan untuk kembali ke tempat kejadian perkara, menanamkan dirinya


kembali dalam pusaran penyelidikan yang semakin mendalam. Sesampainya di sana, rumah
kecil yang diselimuti oleh garis polisi menjadi seperti portal menuju kebenaran yang semakin
meruncing. Dalam hening yang hanya dipecahkan oleh desiran angin dan gemercik daun
kering di tanah, Renjana berdiri di ambang pintu yang membawa ke dalam misteri kelam.
Detektif itu menggenggam erat keberaniannya, siap menyusuri setiap lapisan kejanggalan dan
menyibak tabir misteri yang semakin tebal. Dalam cahaya redup, langkah-langkahnya
menggema di koridor rumah kosong, menciptakan nada-nada yang menggetarkan di udara
petang yang sunyi.

Renjana mulai menyusuri setiap ruangan dengan konsentrasi penuh. Matanya mencari
makna di setiap detail, seakan-akan benda-benda di rumah itu adalah kata-kata yang perlu
diurai. Menit demi menit berlalu begitu cepat, seolah waktu memiliki sayap yang tak terlihat.
Ketika mentari mulai merangkak turun, warna jingga senja membelai langit, memberikan
nuansa dramatis pada pencarian yang sedang dijalani Renjana. Namun, meskipun senja telah
memukau, hasil yang ditemukan Renjana sangat minim. Kekecewaan menyergapnya seperti
badai tak terduga, meruntuhkan harapannya dengan kekuatan yang tak terelakkan.

Kring..Kring..Kring

Suara dering telepon, yang sejak tadi dinantikan, akhirnya memenuhi keheningan
ruangan. Dengan semangat yang membara, Renjana meraih telepon itu.

“Hallo, Dokter Asha,” sapa Renjana dengan penuh harap.

“Hallo, Renjana. Hasil pemeriksaannya sudah kel-”

“Aku akan kesana sekarang,” ucap Renjana, mengakhiri kalimatnya dengan girang.

Renjana memandang telepon itu sejenak, membaca getaran harapan yang muncul di
layar. Ia segera menutup telepon, menyelipkan perangkat ke dalam saku. Langkahnya mantap
menuju Laboratorium Forensik, tempat di mana setiap detiknya mungkin mengungkap
rahasia yang tersembunyi. Kekecewaan yang sebelumnya menyerangnya kini digantikan oleh
tekad yang membara, mengalir dalam setiap langkahnya seperti api yang tak pernah padam.

Sesampainya di sana, senyuman manis Dokter Asha menyambut kedatangan Renjana.

“Renjana, ini hasil pemeriksaan yang kau minta,” ucap Dokter Asha langsung terus
terang.

Dengan antusias, Renjana mengambil amplop berwarna coklat dari tangan dokter,
bertanda dari Laboratorium Forensik. Amplop itu terbuka perlahan, membawa harapan besar
bagi Renjana.

“Akhirnya, kebenaran akan segera terungkap,” serunya penuh kegirangan. Semua


yang diharapkan terpatri di lembaran-lembaran kertas itu.

Hasilnya menyatakan bahwa bukti yang dia serahkan bersama helaian rambut yang
ditemukan oleh Dokter Asha adalah milik Dokter Harsa. Meskipun ia senang karena
pembunuh akan segera tertangkap, ada rasa kecewa yang menghantui Renjana. Baginya,
Dokter Harsa adalah orang kepercayaannya, dan ternyata rasa kepercayaan itu berubah
menjadi rasa kekecewaan.
Di tengah rasa kekecewaan yang melanda Renjana, tanpa sepengetahuannya, Gentara
telah memutuskan untuk melacak setiap gerak langkah Dokter Harsa. Meskipun belum ada
kepastian bahwa Dokter Harsa adalah pelaku sejati di balik pembunuhan, Gentara merasa
kewajiban untuk mengawasi dan mengumpulkan bukti lebih lanjut. Di bawah cahaya
gemintang yang bersinar di langit malam, langkah Gentara menyusuri perjalanan yang
diambil oleh Dokter Harsa. Dengan kehati-hatian, Gentara mengikuti mobil Dokter Harsa,
mencoba membongkar rahasia yang mungkin disembunyikan oleh sosok yang selama ini
dikenal sebagai ahli forensik terkemuka.

Gentara menemukan bahwa Dokter Harsa menghentikan mobilnya di depan sebuah


rumah besar, berdiri megah di ujung sebuah gang sempit dengan nuansa warna putih dan
emas. Gentara merenung sejenak, mengamati setiap detail rumah yang terkesan sepi, kontras
dengan kemegahan fisiknya.

Sesampainya di depan garasi yang masih menyisakan celah terbuka, Gentara memilih
menyelinap ke dalamnya dengan keputusan yang matang. Kini, langkahnya menjelajahi
setiap ruang rumah yang megah namun gelap, seperti seorang penari di dalam guratan tari
kegelapan. Keberaniannya seolah menciptakan irama dalam kegelapan, sebuah eksplorasi
yang penuh dengan kecurigaan dan harapan di tengah malam yang membeku.

Sesampainya di depan garasi yang masih menyisakan celah terbuka, Gentara memilih
menyelinap ke dalamnya dengan keputusan yang matang. Kini, langkahnya menjelajahi
setiap ruang rumah yang megah namun gelap, seperti seorang penari di dalam guratan tari
kegelapan. Cahaya rembulan menyoroti setiap sudut, merinci rincian yang selama ini
tersembunyi di balik bayang-bayang malam.

Namun, di balik setiap langkah yang diambilnya, tak disadarinya bahwa ada sosok
misterius yang diam-diam mengamatinya dari belakang. Sosok itu meluncur di kegelapan
dengan gerakan yang tak terduga. Keberadaannya seperti nyanyian gelap yang melingkupi
ruang, memanifestasikan misteri yang semakin meruncing di dalam perjalanan Gentara
mencari kebenaran.

Tiba-tiba, sosok berperawakan tinggi, melibatkan diri dalam bayangan hitam yang
menyelimuti tubuhnya, dengan mantel hitam yang mengalir seiring langkahnya,
menodongkan ujung dingin dari sebuah pistol Colt M1911 ke belakang kepala Gentara. Suara
langkahnya seperti dentuman langkah seorang predator di kegelapan yang mendalam.
“Wah, ada seorang detektif amatir di sini,” ucap orang tersebut dengan suara yang
berat, merayap seperti angin malam yang membisu.

Gentara merasakan desakan dingin dari ujung pistol yang menempel pada kepalanya.
“Tolong turunkan pistolnya,” pintanya dengan suara terbata-bata.

“Takut juga kau ternyata,” ucapnya dengan tawa terbahak-bahak yang melengking di
keheningan malam, sembari memainkan pistolnya.

Dengan rasa penasaran yang melonjak di dalam dadanya, Gentara memutar tubuhnya
secara perlahan. Dan disana ia menemukan bahwa orang yang menodongkan pistol itu adalah
Dokter Harsa, yang kini menatapnya dengan mata tajam, seolah ingin menerkamnya. Namun,
ada sesuatu yang aneh dengan Dokter Harsa kali ini, sesuatu yang mencuat dari kebiasaan
ramah dan penuh senyuman yang selalu merekah dari wajahnya.

Dokter Harsa, yang sebelumnya dikenal sebagai sosok yang selalu menyinari ruangan
dengan senyuman indah, kini berubah menjadi sosok yang angkuh dan penuh dendam.
Ekspresi wajahnya yang dulunya hangat, kini dikuasai oleh bayang-bayang kegelapan.
Senyum yang dulu menghiasi setiap percakapannya, kini tergantikan oleh tatapan tajam yang
seolah memendam dendam yang begitu dalam. Kehangatan yang melekat pada nama Dokter
Harsa seakan sirna dan yang tersisa hanyalah kekejaman yang semakin membara.

Gentara terpaku oleh perubahan drastis dalam kepribadian Dokter Harsa yang begitu
kontras. Pertanyaan-pertanyaan tak terucap melintas dalam benaknya, mencari jawaban pada
kegelapan yang semakin dalam. Di tengah suasana yang tegang, Dokter Harsa melangkah
maju, menciptakan jarak yang semakin dekat di antara keduanya.

“Kau pikir kau bisa menguntitku begitu saja, Gentara," ucap Dokter Harsa dengan
nada yang dingin. Tetapi, sebelum Gentara bisa merespon, suara langkah kaki yang mendekat
terdengar dari arah yang tak terduga.

Langkah kaki yang terdengar itu ternyata adalah langkah kaki Renjana. Di kegelapan
malam, rupanya Renjana telah menyiasati situasi dengan memasang alat pelacak di mobil
Gentara. Kehadirannya menjadi pencerahan di tengah ketidakpastian.

“Angkat tanganmu, Dokter Harsa,” ucapnya sembari menodongkan sebuah pistol


Revolver. Teriakan Renjana memecah keheningan, seolah menghadirkan sinar harapan di
tengah kegelapan malam.
“Wah, pahlawan sudah datang untuk menyelamatkanmu, Gentara. Tapi, sayangnya
aku bukanlah Harsa yang bodoh itu. Mari ku perkenalkan diriku, aku adalah Abimana, orang
yang selama ini kalian cari-cari sebagai pelaku pembunuhan,” ucapnya dengan bangga.

Abimana? Bukankah dia Dokter Harsa? Ataukah Dokter Harsa memiliki seorang
kembaran? Semua pertanyaan itu tenggelam di kepala Renjana. Maka dari itu Renjana
kembali menegaskan, “Aku tidak ingin tahu siapa atau apa kau sebenarnya. Yang aku tahu,
kau adalah tersangka utama dalam kasus ini, dan kau akan bertanggung jawab atas semua
perbuatanku.”

Tapi, senyuman sinis yang tergambar di wajah Abimana seakan merobek keyakinan
Renjana. Kini, suasana semakin tegang, dan kengerian semakin mengembang di malam yang
gelap, memperlihatkan bahwa kegelapan bukan hanya milik malam, tetapi juga hati manusia
yang bisa menyimpan rahasia kelam.

“Jangan main-main denganku,” ujar Renjana sambil menodongkan pistolnya ke arah


orang yang mengaku sebagai Abimana itu.

Tapi Abimana, dengan tatapan dingin dan tak tergoyahkan, menyahut, “Aku tidak
akan bermain-main denganmu, Renjana. Karena aku akan bermain dengan asisten
tersayangmu ini.” Abimana melemparkan belati indah kesayangnya itu, hingga Gentara yang
ada tepat di belakangnya pun menjadi sasaran empuk untuk mendaratnya belati itu. Sehingga,
bahu indah Gentara tertancap oleh belati milik Abimana.

Momen itu membeku, dihiasi oleh ketegangan dan kebingungan. Renjana, meski
terkejut, tetap berusaha menjaga ketegasannya. “Kau pikir ini akan membuatku mundur? Kau
salah besar, Abimana. Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja.”

Abimana tersenyum merendahkan, “Ah, kau polisi polos. Begitu mudah tertipu.
Sekarang, kau punya dua pilihan: melepaskan senjatamu atau menyaksikan asistenmu mati di
hadapanmu.” Renjana terdiam, dipaksa untuk membuat keputusan sulit dalam sekejap.

Helaian waktu terasa begitu panjang, memberikan tekanan yang semakin terasa di
tengah malam yang kelam itu. “Jika kau terus diam, ku anggap kau memilih pilihan yang
kedua. Aku akan menghitung mundur mulai sekarang, 3-2-”

Dengan rasa pasrah, Renjana menghempaskan pistolnya, “JANGAN PERNAH KAU


SAKITI GENTARA!” teriaknya pada Abimana.
“Berani sekali kau berteriak padaku,” dengan sigap, Abimana mencengkram dagu
Renjana kuat-kuat. Tatapan dinginnya menembus jiwa Renjana, seakan merayap dan
merasuki setiap serat keteguhan yang tersisa dalam dirinya.

“Kau pikir aku akan takut dengan teriakanmu, Renjana? Kau hanya membuat dirimu
semakin rapuh di hadapanku,” Abimana menyeringai, merasakan kekuasaannya yang
semakin menguat.

Renjana mencoba menahan rasa sakit, memandang Gentara dengan ekspresi penuh
penyesalan. Hatinya berdegup kencang, meratapi keputusan sulit yang diambilnya.
Seharusnya, dalam keadaan seperti ini, ia langsung menarik pelatuk untuk mengakhiri
ancaman Abimana. Pilihan sulit yang dibuatnya ternyata membuka pintu bagi kengerian yang
lebih dalam.

Renjana merasakan beban tanggung jawab yang teramat berat, sementara Gentara
terbaring dihadapannya, rentan terhadap ancaman Abimana yang semakin menjadi-jadi.
Nasib keduanya bergantung pada setiap detik yang tak terduga, dan keputusan apa yang akan
diambil Renjana selanjutnya akan menentukan jalannya kisah ini. Keringat dingin mengalir di
kening Renjana, seakan-akan mempercepat irama waktu yang semakin melambat. Mata
Renjana mencari-cari jawaban, mencoba menemukan keberanian yang hilang untuk
mengakhiri malam yang penuh dengan kengerian ini.

Tanpa sepengetahuan Renjana, Gentara mencoba bangun dan menusukkan belati yang
semula menancap di bahunya ke kaki Abimana. Namun, apakah tindakan Gentara ini akan
berhasil mengakhiri teror Abimana, ataukah malam ini akan menjadi akhir dari kehidupan
mereka?

Abimana yang merasakan sakit di kakinya menghembuskan nafas kasar, “Kau sangat
berani, wanita cantik. Lihatlah Renjana, asisten cantikmu ini akan habis ditanganku.” Raut
wajahnya yang penuh kemarahan mengisyaratkan bahwa setiap detik akan menjadi semakin
berbahaya.

Abimana yang tersulut emosi, mencengkram erat rambut Gentara. Tanpa merasakan
sakit sedikit pun, ia melepaskan belati itu. Setetes keringat dingin menetes dari dahi Gentara.
Renjana menyaksikan adegan mencekam di depannya, mencoba menahan kecemasan yang
memuncak. Pertarungan ini tak hanya melibatkan fisik, tetapi juga merasuki setiap rasa takut
dan keberanian yang terpendam di dalam hati mereka. Hening malam terasa semakin
mencekam, seolah mempersaksikan duel antara kekuatan dan keteguhan jiwa.

“HENTIKAN, ABIMANA!” teriak Renjana penuh frustasi, suaranya terbawa angin


malam yang seolah meresapi setiap helai kegelapan.

“Ah, polisi polos. Tunggulah sebentar, aku akan menghabisi si cantik ini terlebih
dahulu. Lalu, aku akan menghabisimu. Apa kau sudah tidak sabar untuk menghembuskan
napasmu, Renjana? Apa kau mau ku habisi duluan? Tapi maafkan aku, aku lebih tertarik
untuk menghabisi asisten cantikmu yang pemberani ini.” Abimana berkata sambil tersenyum
sinis, seolah menikmati momen kekuasaan penuh yang sedang ia rasakan.

Renjana yang sudah frustasi dengan rentetan teror dari Abimana, bersiap untuk
menembakkan peluru yang ada di dalam pistol Revolver miliknya. Namun, sebelum jari-
jarinya dapat merespons, ia kalah sigap oleh kecepatan tangan Abimana. Pelatuk pistol
Abimana ditarik lebih dulu, dan peluru itu mendarat tepat di ulu hati Renjana. Renjana
terkapar lemas di lantai yang kini dicemari oleh darah yang mengalir deras setelah
mendapatkan tembakan mematikan itu.

Gentara, yang sejak awal telah berusaha untuk melawan rasa sakit di bahunya,
terdiam menyaksikan peristiwa tragis tersebut. Matanya penuh dengan ketidakpercayaan dan
keputusasaan. Malam yang kelam menyimpan rahasia yang semakin gelap, merenggut sosok
pemberani Renjana dari dunia ini. Abimana tersenyum puas, menikmati pemandangan
kehancuran yang diciptakannya. Nasib Renjana yang terkulai di tanah malam itu menjadi
saksi bisu dari kekejaman Abimana yang tak terkendali.

“RENJANAA!” tangis Gentara pecah begitu melihat Renjana terkapar lemah.

Abimana tersenyum penuh kekejaman, “Jangan menangis, cantik. Tenang saja, aku
akan membuatmu menyusul polisi polos ini.”

“Oh, tidak, tidak, aku ingin kau mati dengan cara yang lebih... puitis.” Abimana
berkata sambil memainkan belati di tangannya.

“Mau ku tembak dadamu atau mau ku gorok lehermu dengan belati yang parasnya
sama indahnya denganmu. Pilihlah sayang.” Abimana tersenyum merendahkan, menikmati
rasa tak berdaya yang ia ciptakan. Keputusan Gentara menjadi semakin berat, seakan terjebak
dalam keputusan antara hidup dan mati.
“Kenapa diam saja, sayang,” ucap Abimana sembari menyeka air mata Gentara.

“Tolong lepaskan aku dan Renjana, Abimana. Aku janji, jika kau membebaskan kami,
kau akan terbebas dari jeratan hukum,” pintanya dengan isak tangi yang masih menggema di
ruangan itu.

“Maafkan aku, sayang. Kau terlalu berharga untuk hidup berdampingan dengan polisi
polos ini. Lebih baik kau MATI dengannya,” desis Abimana dengan senyuman yang merayap
ke bibirnya.

Abimana sudah siap dengan belati cantiknya itu, mulai menggores kaki Gentara
dengan perlahan dan tanpa belas kasih. Namun, tiba-tiba...

BRAKK!

Pintu garasi yang menula hanya sebatas celah kecil kini jebol oleh kerumunan
pasukan kepolisian yang menyergap pelaku pembunuhan yang selama ini dicari-cari. Seakan
waktu berhenti sejenak, kehadiran mereka memecah keheningan yang tercipta dalam adegan
kekejaman itu.

“Harsa Arga Bagaskara, kau ditangkap atas kasus pembunuhan seorang polisi dan
seorang mahasiswa,” ucap Celio, salah seorang anggota kepolisian, dengan tegas dan serius.

“Tolong letakkan senjatamu dan angkat tanganmu,” lanjut anggota kepolisian yang
lainnya, sementara senjata-senjata mereka siap terarah pada Abimana yang terkejut.

Abimana dengan santai meletakkan belatinya dan mengangkat tangannya. Tatapan


dinginnya menyiratkan keberanian dan keangkuhan, bahkan di saat situasi yang memanas.
Gentara, yang sebelumnya terkulai lemas, melihat dengan mata penuh keterkejutan dan lega
atas kedatangan bantuan tak terduga ini. Ruangan yang sebelumnya penuh dengan
ketegangan, kini dipenuhi dengan suara-suar serius petugas kepolisian yang bergerak cepat
mengepung Abimana. Momen penangkapan ini membawa hembusan nafas lega bagi Gentara
dan Renjana, yang sejenak terdiam dalam keajaiban penyelamatan dari kegelapan.

“CEPAT! BAWA RENJANA KE RUMAH SAKIT!” teriak Gentara dengan nada pilu
yang menusuk hati.

Renjana, yang terbaring lemas dengan luka tembak yang parah, segera diangkat dan
dibawa oleh petugas medis dengan sigap. Mereka bergerak cepat, bekerja dalam keadaan
darurat untuk memberikan pertolongan pertama dan membawa Renjana ke rumah sakit.
Sementara itu, Gentara yang tak bisa tinggal diam, segera melangkah masuk ke dalam mobil
ambulans yang bersiap membawa Renjana. Ia tak sabar untuk mengetahui kondisi Renjana
dan berharap agar pertolongan medis dapat menyelamatkan nyawanya.

Detik demi detik terasa seperti abad, dan ketegangan di udara semakin terasa.
Renjana, yang diberikan pertolongan di ruang gawat darurat, menjadi pusat perhatian para
tim medis yang berusaha keras menyelamatkan nyawanya. Gentara menunggu dengan gelisah
di luar pintu, hatinya berdenyut seiring dengan bunyi detak jam dinding yang seakan
mengejek kegelisahannya.

Saat yang melelahkan, namun Gentara terus berusaha menjaga ketenangannya. Luka
di bahunya mulai menyembuh berkat perawatan sederhana yang diberikan oleh petugas
medis di tempat. Setiap langkah yang diambilnya, terasa berat, seperti membawa beban yang
tak terlukiskan.

Ruang gawat darurat menjadi saksi bisu dari kegelisahan yang melanda Gentara.
Pikirannya melayang pada pertemuan mereka yang tak terduga di rumah mewah itu, di
hadapan Abimana yang terungkap sebagai pelaku kejahatan. Kini, harapannya hanyalah satu:
agar Renjana dapat melewati semua ini dan kembali padanya dengan selamat.

Akhirnya, pintu ruang gawat darurat terbuka, dan seorang dokter keluar. Tatapan
Gentara segera memandangnya, mencari jawaban di balik ekspresi wajah sang dokter. Dalam
sekejap, waktu terasa membeku, dan Gentara merasa detak jantungnya berhenti sejenak.

“Alhamdulillah, kondisinya stabil. Kami berhasil menyelamatkannya,” ujar dokter


dengan senyuman lembut.

Gentara merasakan seolah dunia ini kembali berputar. Kegelisahannya yang


mendalam tergantikan oleh rasa syukur yang tak terucapkan. Renjana selamat, dan semburat
sinar harapan kembali menerangi langit hatinya. Momen ini, tanpa diragukan, menjadi titik
balik dalam kisah mereka, dan Gentara bersyukur bahwa cinta mereka masih memiliki babak
lanjutan.

*****

Setelah 6 bulan penyidikan, sidang keputusan pun tiba. Ruang sidang dipenuhi
ketegangan yang menggantung di udara. Dokter Harsa, sekarang terdakwa, duduk dengan
tatapan kosong di kursi terdakwa. Fakta bahwa ia mengidap Dissociative Identity Disorder
(DID) menambah kerumitan kasus ini dengan lima kepribadian, termasuk Abimana, bersaing
untuk mendominasi tubuhnya.

Di bangku pengunjung, Renjana, korban selamat, duduk dengan perasaan campur


aduk, mencerminkan rasa kasihan dan pertanyaan tak terjawab. Gentara, juga hadir sebagai
saksi, mengawasi dengan hati-hati.

Hakim memulai sidang dan mengumumkan keputusan bahwa Dokter Harsa bebas dari
jeratan hukum karena DID yang akut. Namun, ia akan dipindahkan ke rumah sakit jiwa untuk
mendapatkan pengobatan mental. Keputusan ini menciptakan kelegaan dan kebingungan di
antara para penonton yang terpaku pada drama kehidupan dan kepribadian yang rumit.

Namun, keputusan ini semakin diperumit oleh kenyataan bahwa tidak ada motif yang
jelas bagi pelaku untuk membunuh. Tindakan tersebut dilakukan semata-mata karena pelaku
mengidap DID, sebuah kondisi yang menciptakan konflik antara berbagai kepribadian di
dalam dirinya. Keputusan ini memunculkan pertanyaan lebih lanjut tentang batasan tanggung
jawab hukum dalam kasus-kasus yang melibatkan gangguan mental serius.

Anda mungkin juga menyukai