Anda di halaman 1dari 5

Chapter VIII : Supertes

SUARA kebisingan bumi yang tiada hentinya dulu, seketika berubah seratus delapan puluh
derajat. Keheningan mengisi segala sudut kota yang dahulunya sibuk tiada henti. Bahkan tak
ada suara kicauan burung terdengar, acap kali hal tersebut membuat mereka semakin takut.
Pertanyaan-pertanyaan di luar nalar perlahan satu per satu menyeruak dan timbul ke
permukaan pikiran, termasuk akankah hewan-hewan terjangkit dengan virus mengerikan ini?
Namun di antara semua kemungkinan dan kejadian buruk tersebut, ada banyak hal yang bisa
mereka syukuri, salah satu contohnya ya tersedianya satu kamar mandi untuk menjaga
kebersihan diri mereka.

Tiba-tiba terdengar suara baling-baling helikopter yang begitu keras perlahan


mendekati gedung mereka. Mereka langsung berteriak sekeras mungkin ke arah datangnya
helikopter itu, dengan harap mereka dapat diselamatkan dari sana.

"Tolong! Tolong kami! Kami di sini!" teriak mereka semua sambil melambai-
lambaikan tangan sekuat tenaga.

Namun sayangnya, helikopter itu tidak menggubris sedikit pun dan langsung berlalu
begitu saja. Suara kepergian helikopter itu lambat laun menghilang begitu saja.

"Sial! Mereka pasti tidak akan datang lagi ke sini lagi karena menganggap tidak ada
seseorang pun yang selamat di sini," keluh Reza sembari menendang sampah yang berada di
sekitarnya.

Hawila, salah satu teman mereka yang pendiam langsung berkata membalas ucapan
Reza.

"Bagaimana pun juga kita harus keluar dari sini. Gak mungkin kita terus tinggal di
sini, apa lagi persediaan kita sangat terbatas," ucap Hawila sambil membersihkan
kacamatanya dari debu.

Rey yang setuju dengan pendapat Hawila mengangguk dan memberikan kedua
jempolnya."Benar tuh. Walau di luar sana berbahaya, tetapi kalau kita bekerja sama pasti bisa
menghadapi rintangan sesulit apa pun. Aku sangat yakin dengan hal itu."
"Dan lagi, kalau pun kita bertahan di sini juga percuma. Yang ada kita akan mati
kelaparan suatu saat nanti. Lebih baik mati berjuang dari pada mati sia-sia," timpal Daniel—
berhasil menarik perhatian semua untuk setuju dengan pendapat Hawila dan Rey.

“Lalu ... kita akan pergi ke mana? Ada ide?” tanya Anna yang langsung meruntuhkan
keyakinan yang telah susah payah mereka bangun.

Lisa dengan cepat langsung menanggapi. “Aku ingat satu tempat yang mungkin akan
membantu dan menyelamatkan kita. Seingatku ada kantor kemiliteran provinsi yang
lokasinya tak jauh dari kampus kita. Mungkin barangkali di sana kita bakal tertolong,
bagaimana?”

Raut wajah yang tadinya manyun pun seketika berseri kembali, seakan mendapatkan
kebahagiaan di waktu yang sangat tepat.

“Itu ide yang sangat bagus, Lisa. Tumben otak lo encer!” gurau Reza—dibalut
sindiran halus.

Namun, Anna yang ragu pun kembali menuturkan kalimat yang tidak mengenakkan.
“Terus, caranya keluar dari kepungan zombi yang menunggu di balik pintu tuh bagaimana
coba?”

“ANNNAAA!”

Anna tersentak kaget. “Salah gue apa coba! Gue kan cuma bertanya doang!”

Lisa menggeleng tak percaya. “Iya emang bertanya sih. Cuma pertanyaan lo dari tadi
buat mental kita runtuh tahu! Dasar!”

Mereka akhirnya memutuskan untuk menjernihkan pikiran terlebih dahulu, sembari


mengancang-ancang cara dan strategi berikutnya agar dapat keluar dari situasi menyebalkan
ini. Cuaca sore yang mulai mendung membuat mereka takut akan hujan yang bisa turun
kapan saja. Pasalnya lantai atap yang tidak memiliki penutup sama sekali pasti langsung
membasahi tubuh mereka tanpa ampun.

Malam pun tiba, mereka duduk bersandar di dinding sembari bercerita tentang
kenangan masing-masing sebelum insiden virus ini terjadi. Kadang mereka bersenda gurau
untuk mencairkan suasana yang tegang sesaat.
Friska yang ingin buang air pun mengajak Patrecia untuk menemaninya. Ketika
Patrecia sedang menunggu Friska dari luar, pandangannya tak sengaja menangkap pancaran
sinar dari gedung di depan mereka, tepatnya dari dalam gedung fakultas hukum. Cahaya yang
ia lihat berkelap-kelip seolah menandangan SOS. Tak lama kemudian cahaya itu hilang
kembali.

Setelah mereka kembali berkumpul, Patrecia menceritakan apa yang ia lihat


sebelumnya. Ketika penuturan Patrecia makin menguat saking bersemangatnya, tiba-tiba
suara dobrakan terdengar amat keras dari pintu tangga yang mereka kunci. Rey langsung
menyuruh mereka diam karena sudah pasti makhluk-makhluk yang masih aktif mendengar
suara mereka.

Suara itu menghilang begitu mereka tak mengeluarkan suara juga. Rey pun
mengambil kesimpulan bahwa situasi di balik pintu itu masih sangat berbahaya. Mereka
memutuskan untuk tidur agar hari dapat berlalu begitu saja.

Kini hanya suara hembusan angin malam yang menemani tidur mereka. Semua
tertidur pulas kecuali Hawila yang tidak dapat tidur dan tampak insomnia. Hawila mencoba
untuk menjaga teman-temannya sembari menunggu kantuknya datang. Ia memandangi
semuanya sambil berdiri melihat ke bawah. Walau pandangannya kurang begitu jelas, ia
merasa di bawah sana lebih mengerikan nantinya.

Ia menatap ke atas mencoba mencari bintang yang menghilang akibat terhalang oleh
awan. Setetes air mengenai wajahnya. Ia langsung membangunkan yang lain bahwa hujan
tampaknya akan segera turun.

"Teman-teman, bangun! Hujan sudah turun!" ucap Hawila sembari menggoyang-


goyangkan tubuh yang lain.

Tak lama kemudian hujan lebat turun membasahi mereka. Hawila dan beberapa dari
mereka mencoba mengamankan stok makanan yang tersisa ke dalam kamar mandi. Rey
menyuruh para wanita untuk berteduh di kamar mandi. Sementara para lelaki hanya dapat
menahan dinginnya air hujan yang membasahi tubuh mereka.

***

Keadaan makin memburuk begitu sang fajar menampakkan wujudnya. Dinding dan lantai
yang terbuat dari semen itu masih kelihatan lembab akibat diterpa hujan deras semalam. Rey
dan beberapa teman lelakinya berakhir demam akibat diguyur air hujan di tengah malam,
baju mereka pun masih basah kuyup sehingga menimbulkan efek kedinginan yang luar biasa.
Para wanita yang selamat dari hujan deras semalam pun mencoba untuk mengobati mereka
dengan peralatan seadanya dan menyiapkan sarapan.

Panas matahari mulai menghangatkan tubuh Rey dan yang lainnya. Keadaan mereka
yang mulai berangsur membaik pun disambut hangat oleh Lisa, Anna, dan semua mahasiswi
yang selamat itu.

Setelah menyiapkan semuanya dan memastikan keadaan para lelaki itu sembuh total,
sorenya mereka langsung memutuskan segera bergerak. Anna yang bersiap membuka pintu
memberikan kode kepada yang lain untuk bersiap menghajar para zombie itu. Rey pun tak
lupa mengingatkan mereka untuk menyerang kepalanya terlebih dahulu, hal itu dikarenakan
akan lebih mudah melumpuhkan mayat hidup itu kalau pusat kendali virus berhasil
dihancurkan.

Anna mulai menghitung mundur. " Satu ... dua ... tiga!"

Jumlah kawanan zombi yang datang ternyata jauh lebih sedikit dari yang mereka
perkirakan. Jelas saja hal itu membuat mereka dengan mudah melewatinya. Mereka pun
bergegas menuju ke bawah. Lantai demi lantai berhasil dilewati dengan susah payah,
untungnya jumlah zombi yang menampakkan diri jauh berkurang dibanding pertama kali Rey
dan temannya melewati lantai itu. Hingga mereka pun tiba di lantai dua, jalan mereka yang
mulanya baik-baik saja kini diblokade segerombolan zombi yang jumlahnya lebih banyak
dari lantai sebelumnya.

Mereka yang hampir ketahuan langsung mundur perlahan untuk mencari celah
bergerak terlebih dahulu. Mereka pun memutuskan masuk ke sebuah ruangan yang tak lain
adalah ruang musik, ruang khusus untuk pemutaran melodi dan instrumen harmoni
pembangkit semangat bagi aktivis kampus.

Mereka mulai memperhatikan seisi ruangan. Seketika Rey mendapatkan sebuah ide
cemerlang.

"Aku punya ide!" ucap Rey dengan semangat. "Kita akan memutar sebuah lagu dari
sini. Kita posisikan lokasi pemutaran jauh dari pintu keluar kampus ini agar seluruh zombi itu
dialihkan dan kita bisa bergerak bebas.”
"Bagaimana kalau nanti makhluk-makhluk itu datang semakin banyak karena
keributan yang kita buat?" tanya Lisa pada Rey.

"Oleh karena itulah, kita pasang musik di area yang jauh dari ruangan ini. Setidaknya
mereka berkumpul di satu titik dan tak menghalangi langkah kita lagi," balas Rey sambil
melipat kedua tangannya.

Mereka yang mengerti maksud Rey langsung memilih lagu yang paling bising dan
memasangnya tepat di titik yang mereka rasa paling aman. Sedangkan Daniel dan Reza mulai
mengancang-ancang waktu yang tepat untuk segera melarikan diri.

Tak butuh waktu lama, suara hentakan kaki segerombolan zombi itu terdengar makin
kuat. Mereka berlarian dengan ganas menuju titik sumber suara yang telah ditentukan. Tepat
sasaran, strategi mereka berjalan dengan lancar. Setelah memastikan kondisi benar-benar
aman, dengan cepat mereka langsung berlari keluar dengan hati-hati. Rey memerintahkan
yang lain untuk lebih dulu pergi ke bawah, sedangkan ia dan Reza mengunci rapat-rapat pintu
penghubung dua lantai tersebut agar makhluk-makhluk yang berada di dalam tidak dapat
keluar. Syukurnya rencana mereka berhasil dengan sempurna. Rey dan Reza langsung
menyusul teman-teman mereka yang sudah menunggu di bawah.

Mata Rey berbinar. Thanks God. You’re always with us whatever the condition is. I
love you, God, for unlimited time.

Anda mungkin juga menyukai