Anda di halaman 1dari 479

BACA DI https://darktranslation.

com/
DILARANG DIPERJUALBELIKAN
DALAM BENTUK APA PUN DAN
ALASAN APA PUN
ADMIN TAK MEMAAFKAN
PERBUATAN DEMIKIAN
BAGI YANG MENDAPATKAN PDF-
NYA JANGAN DISEBARKAN KE MANA
PUN
SIMPAN BAIK-BAIK
BILA ADA YANG MEMINTA, TOLONG
HUBUNGI FP DARKNOVEL:
https://www.facebook.com/DarkSoulTM/?mo
dal=admin_todo_tour
Volume 10 Interlude
Catatan Obsesi

Penerjemah: DaffaTersayang
Pernah eksis seorang pria yang termakan obsesi.
Ia bijaksana, ulung, sekaligus pengrajin terkenal.
Pencapaiannya dari semua jenis kerajinan hingga segala
struktur penciptaan. Walaupun telah banyak berkontribusi
kepada budaya juga masyarakat, fiksasinya dari pujian para
dewa-dewi merupakan motif penyelesaian suatu menara putih.
Indah lagi khidmat, lebih mendekati surga daripada bangunan-
bangunan lain. Sebuah monumen yang cocok bagi para dewata,
dianugerahkan nama Menara para Dewa-Dewi.
Memang, si perancang terlampau luar biasa. Tak seorang
pun sebelum atau sesudahnya mampu mendesain sesuatu yang
menyerupai kelas kemagnifisennya.
Tiada sesuatu yang tak bisa dia bangun.
Pria itu merasa tidak tertandingi.
Akan tetapi, di ujung dunia, ia terpikat oleh sesuatu.
Sesuatu itu ialah pintu masuk raksasa di sudut benua.
Gerbang menuju dunia lain yang terbuka tepat di bawah kakinya.
Orang itu menemukan labirin bawah tanah penuh pendar
cahaya memukau, dikelilingi bunga-bunga serta bahan mineral
yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Terbagi menjadi banyak
jenis, beraneka ragam lantai yang berubah seiring
penjelajahannya. Suatu jurang yang kian melahirkan monster dan
luasnya tak nampak ujungnya—ialah Dungeon.
Pria itu melihat dunia tersebut sepenuhnya terasingkan dari
dunia atas dan menganggapnya sebagai Karya Seni.
Kuasa di atas batas fanalah yang mampu membuat
penciptaan ini. Tak lama kemudian, pria itu melatih tubuhnya
dan meningkatkan Berkatnya agar mampu berkelana lebih dalam
lagi di Dungeon.
Semakin banyak ia belajar, makin jelas pula itu.
Komposisinya, bentuknya—segalanya kelewat rumit untuk
dipahai kecerdasan manusia.
Dungeon mistis.
Ia membungkamnya.
Tergenggam keindahannya, kerusakan raksasa, yang
tampaknya melingkupi semua keberadaan sesuatu.
Dari tenggorokan pria gila itu terdengar lolongan, suara
seekor monster yang telah lama membuang kemanusiaannya.
Sejak saat itu sang pria mengabdikan dirinya seratus persen
kepada keahliannya.
Walaupun terus memenuhi tugas yang diberikan
kepadanya, pria itu mulai menyimpang dari pemikiran rasional
dan menapaki jalan yang salah. Hari silih-berganti, lebih banyak
orang tak paham dengan konsep motif ciptaannya. Setelah diakui
sebagai seorang genius, dia langsung dicap sebagai orang gila.
Sedari itu dia menghilang dari lembaran-lembaran sejarah.
Keahlian maha hebatnya serta kekuatan yang dilimpahkan
oleh keyakinan unik namun menyimpang telah mengilhamkan
perancangan dunia yang bahkan lebih megah dari labirin bawah
tanah.
—Batas atas apa yang mampu digapai manusia? Memangnya aku
peduli.
—Akan kubuat sesuatu yang lebih azmat, kau lihat saja.
—Bila para dewa-dewi tidak dapat menjangkau daerah ini, mereka
pasti telah terungguli.
Tak peduli sebanyak apa darah yang dia tumpahkan, meski
kulitnya terkoyak-koyak hingga daging dalamnya nampak,
sekop serta beliung di tangannya takkan pernah berbaring diam.
Tiada yang tahu bahwa pria ini bertahan di jalan baru tersebut
sendirian.
Sayangnya, tubuhnya gugur dahulu sebelum ambisinya
terwujud.
Hidup seorang manusia adalah terbatas.
Dia mengutuk daging fananya lalu jatuh ke jurang
keputusasaan ketika anggota tubuhnya menolak perintahnya.
Menyesali hidupnya yang labil dan tidak jelas. Kemudian ia
meninggalkan suatu kutukan—kata-kata yang ‘kan
memungkinkannya mengatasi keterbatasan ini—dalam buku
catatan.
Bersama petunjuk yang memenuhi kepalanya.
Pria itu menyerahkan segalanya kepada mereka yang akan
terlahir, suksessornya yang akan mengemban nama serta
warisannya di masa depan.
Bangun, kau akan membangunnya!
Bangun suatu kreasi yang melampauinya, bangunlah
hasratmu!
Inilah tujuanmu! Kaulah keturunanku, walau aku tak tau
nama atau wajahmu!
Mana kala matamu melintasi catatan ini, takkan ada jalan
keluar dari darah yang mengalir di nadimu!
Rasa lapar sinting nan haus yang tak akan terpuaskan
apalagi pudar! Api yang membara dalam perutmu hanya
menghiraukan panggilanku!
Laksanakan keinginanku!
Taatilah darahku, setialah pada dambaanmu.
Fokus pada apa yang kita cita-citakan.
Ambisi, ambisi, ambisi!
Penuhi tujuan dari keberadaan terkutuk kami!
Semuanya ditulis di buku catatan.
Kegigihan pria itu jelas terurai.
“….”
Dix bersandar di sandaran sofa sambil memegang catatan
tua yang robek-robek di satu tangan, membaca dalam hati.
Membolak-balikkan halaman, tinta pada catatannya
memudar dan tercoreng di beberapa sudut, bersantai di bawah
cahaya lampu berbatu sihir mendadak seseorang memanggilnya
dari belakang:
“Dix, semuanya siap.”
Seorang lelaki besar muncul ketika Dix menurunkan
kacamata yang dikaitkan di dahi. Lensa kuarsa menutupi
matanya sedangkan bibirnya melengkung nyengir-nyengir.
“Bagus, kita mulai deh.”
Beranjak bangun, Dix melempar catatan tua itu ke sofa
tanpa pikir panjang. Meraih tombak buruk yang bersangga di
dinding lanjut mengikuti rekan besarnya menuju lorong yang
terselimuti kegelapan.
Udara barbau batu dan rasanya dingin, seolah-olah tak
mengenal kehangatan sinar mentari. Dix tersenyum sendiri
ketika jeruji besi hitam serta keramba muncul kemudian berbisik
sendiri.
“Fokus pada apa yang kita cita-citakan …. Manteplah.”
Brak, brak. Rantai bergetar ketakutan dari segala arah.
Pemburu keji mendengarkan getarannya sembari
menyeringai cekikikan.
Volume 10 Bab 6
Pra-Kekacauan

Penerjemah: DarkSouls
Cahaya terang membangunkan tidur lelapku, membangkitkan
kesadaranku.
Merasakan sinar matahari pagi, aku membuka mata.
Pemandangan familiar memenuhi penglihatan di
hadapanku: kristal yang tak bisa kujual sendiri serta satu botol
yang isinya biji-biji buah, meja dan kursi yang dihiasi bermacam-
macam barang dari Dungeon, beberapa buku dan sebuah
grimoire lusuh di rak kayu, lemari setengah terbuka menyimpan
senjata-senjata dan baju-baju zirah.
Ini kamarku.
Kamar pribadi dalam rumah Hestia Familia.
“….”
Tidak hanya melewatkan latihan rutin pagi, tetapi melihat
jam dinding, waktu menunjukkan dimulainya sarapan.
Tatkala diriku bangkit, sisa tempat tidur mulai kelihatan.
Aku menoleh ke samping.
Tidak ada. Tidak ada seorang pun di sana.
Hanya perasaan hampa nan kosong sekaligus kain putih
kusut.
Aku mencari-cari seorang gadis yang tidak di sini lagi. Aku
balik badan dan beranjak bangun.
Setelah mengganti pakaian tidur, aku ke pintu keluar.
Koridor sedang sunyi senyap. Entah berapa kali melihat taman
tengah Mansion lewat jendela, aku tidak mendengar suara riang.
Memangnya rumah kami sesunyi ini?
Sinar mentari hangat yang menembus jendela
meyakinkanku bahwa musim panas telah hadir selagi turun
tangga dari lantai tiga ke lantai satu.
“Pagi ….”
Seluruh anggota familia menyambutku di ruang makan.
“Yo.”
“Pagi.”
Welf dan Lilly tersenyum pada keterlambatanku. Kurasa
mereka bertingkah girang agar aku terhibur.
Mikoto dan Haruhime yang mengenakan kostum pelayan
juga menyadari kedatanganku.
“Selamat pagi,” kata mereka sambil tersenyum lebar-lebar.
Aroma harum terendus dari dapur. Mikoto barangkali
membuat telur goreng ala Timur Jauh pagi ini.
Sejenak terasa manis saat sekelebat déjà vu menerpaku.
“Tidak biasanya kau kesiangan.”
“Maap ….”
“Welf-sama tidak menyalahkanmu. Sarapan hampir siap,
jadi tunggu sebentar, ya, Bell-sama.”
“Oke …. Anu, mana dewi kita?”
“Lady Hestia bilang dia punya tugas yang mesti dikerjakan
sebelum pekerjaan paruh waktunya, jadi dia pergi subuh-subuh
sekali, Tuan Bell.”
“Ya, dia juga menjejalkan Jyaga Maru Kun ke mulutnya
secepat mungkin ….”
Welf, Lilly, Mikoto, dan Haruhime, semuanya berbicara
seperti biasa … tapi ada yang berbeda nampaknya. Seperti roda
gigi tak teratur … seakan ada satu bagian yang hilang,
membiarkan sisanya berputar-putar tak berguna.
Semua orang agak aneh.
Tidak ada percakapan. Di luar cerah terang, namun suasana
hati gelap mendung.
Semua orang kelihatan linglung, barangkali kehabisan kata-
kata saja ketika menyiapkan sarapan.
Haruhime paling buruk.
Alih-alih pancaran aura ceria normal, suram
menyelimutinya, telinga rubah serta ekor tebalnya menggantung
lemas.
Matanya berputar-putar sebab khawatir saat mengitari
meja, meletakkan piring-piring.
“… Nona Haruhime.”
“Ah …. Ada apa, Nona Mikoto?”
“Itu, kebanyakan piring ….”
Mikoto meringis sambil menunjuknya. Bahu Haruhime
seketika melompat saat menyadarinya.
“M-maaf!” dia mendadak membersihkan piring extra.
Tanpa sadar meletakkannya di tempat seorang gadis yang
selalu duduk beberapa hari yang lalu.
Seorang gadis yang selalu memasang senyum polos dan
murni … gadis vouivre.
Lilly, Welf, dan aku melihatnya tanpa bisa mengatakan satu
patah kata pun.
“Ayo makan ….”
Semua orang duduk di meja.
Saat makan-makan, hanya suara garpu di piring dan
kunyahan yang menyertai suasana.
Dua hari berlalu sejak Guild menitahkan misi rahasia untuk
kami.
Peristiwa yang bertempatan di perbatasan tak terjamah di
lantai dua puluh Dungeon—di Desa Tersembunyi Xenos—
menyisakan kesan buruk kepada Hestia Familia.
Xenos. Kaum monster yang bisa bicara.
Mereka punya kecerdasan dan nalar, walaupun hewan buas,
dan diasingkan oleh orang-orang maupun monster-monster
biasa.
Seorang penyihir berjubah hitam bernama Fels—yang
mengaku-ngaku sebagai Sage—bilang bahwa Xenos ingin
berjalan di dunia atas dan berinteraksi dengan para penghuninya.
Tujuan yang terlampau sulit ini menyatukan mimpi-mimpi
hidup lama mereka, impian yang mereka semua punya.
Kejutan saja tak cukup untuk menggambarkan rangkaian
wahyu ini.
Ada begitu banyak hal sampai-sampai lebih baik tidak
berpikir sama sekali.
Namun saat ini, alasan sejatinya kita kelewat merenung
adalah … jauh lebih sederhana.
Perpisahan dengan Wiene.
Waktu-waktu sesaat kami melindungi gadis vouivre muda,
meskipun ujung-ujungnya kami percayakan kepada Xenos-
Xenos lain. Terlepas dari keinginan mereka, saat ini tidak ada
tempat bagi mereka di dunia atas. Di masa lalu, orang-orang telah
mengklaim wilayah ini untuk bangsa sendiri dengan merebutnya
dari para monster. Dua jenis mahluk itu takkan pernah hidup
rukun.
Sebelum kami kehilangan segalanya, tidak ada pilihan selain
berpisah, demi keamanan Wiene sendiri.
Faktanya, Fels juga bilang ada pemburu yang bersembunyi di
Orario dan mereka takkan berhenti menangkap Xenos. Aku
sudah memberitahu Fels tentang Dewa Ikelus 1 dan bagaimana
dia menemukanku lalu menanyakan vouivre yang bisa bicara.
Kami tidak bisa apa-apa lagi sekarang.
Rasanya tak berdaya, begitu putus asa dan kesepian seolah-
olah bagian raga kami terhapus.
Emosi-emosi itu tak ingin pergi.
“….”
Aku tidak heran suasana jadi sunyi begini. Welf dan Lilly
berusaha sebaik mungkin untuk mencari topik, tapi tidak ada
yang sukses.
Sudah seperti ini sejak kami menyelesaikan misi dan
kembali dari Dungeon kemarin subuh.
Hatiku menjerit setiap kali mengingat raut wajahnya di
saat-saat terakhir, air mata mengalir turun dari pipinya.
Mengangkat wajah, mendapati Welf dan kawan-kawan
sedang menatap tempat kosong di sampingku … tempat duduk
Wiene.
Kosong.
Rasanya bagaikan mimpi bahwa seseorang yang sangat
penuh kehidupan tak lama ini berada di sana.
Semua orang sedang mencarinya, bukan aku saja.
Sulit menerima kenyataan absennya salah seorang gadis
yang membuat kami semua merasa sangat terpukul—Haruhime,
Mikoto, Welf, bahkan Lilly.
Sesungguhnya di tengah kesedihan ini … pasti selalu ada
hikmahnya. Kami tahu waktu-waktu bersama Wiene yang terasa
seperti keluarga tidak palsu.
Meskipun gadis itu monster, berbeda dari orang-orang
macam kami.
“… Bell?”
Aku sedang dalam perjalanan menuju ruang makan dan
Welf kedapatan memanggil namaku.
“Kurasa … aku akan pergi ke Dungeon sebentar.” berhenti
sesaat seraya menjawab.
Menoleh ke belakang, bukan hanya Welf, namun Lilly,
Mikoto, serta Haruhime menatap khawatir diriku.
Aku memasang senyum paling menenangkan. “Tidak apa.
Aku akan langsung balik lagi.”
Ada sesuatu yang mesti aku pastikan.
Jika aku akan terus menjadi petualang Orario …. Aku tidak
bisa melanjutkannya tanpa memastikan sesuatu.
“Kau yakin tidak apa-apa?”
“Ya ….”
Aku menjawabnya setenang mungkin sebelum membuka
pintu dan keluar dari ruang makan. Berhenti sebentar di kamar
untuk mengambil beberapa peralatan kemudian meninggalkan
Hearthstone Manor.
“….”
Tidak terdapat satu awan pun di langit biru cerah sana.
Batu-batu jalan berjajar sempurna bersimbah kilauan sinar
matahari. Kehangatan jalan adalah satu-satunya hal yang aku
lihat ketika menyusurinya, kepalaku menunduk. Tidak
memperhatikan hal lainnya sementara waktu.
Suara kendaraan yang ditarik kuda. Warga kota melakukan
aktivitas mereka. Hiruk-pikuk kota setiap harinya masih ada, tak
berubah.
Aku tak membuat suara apa pun selagi langkah kaki
menuntun rute menuju menara putih yang menjulang hingga
cakrawala: Babel.
“Bell.”
“Oh … Syr.”
Suara menerobos keramaian masyarakat tatkala diriku
menelusuri West Main Street.
Drap, drap. Melihatku lewat, Syr menuruni tangga pintu
masuk The Benevolent Mistress dan menghampiriku.
“Selamat pagi. Aku membuatkan makan siang untukmu lagi
hari ini, jadi kalau kau mau …. Bell?”
Syr memegang sekeranjang penuh makanan sambil
menampakkan senyum lebar di wajahnya, tapi ucapannya masih
telinga kanan keluar telinga kiri bagiku dan dia membungkuk
biar melihat mukaku lebih dekat.
Alisnya melengkung cemas; rambut perak berayun di
bahunya.
“… terjadi sesuatukah? Mukamu pucat banget ….”
Entah Syr yang ahli membaca ekspresi orang, atau kepalaku
yang membuat tampangku ini lebih mudah dibaca.
Yang mana pun, harus langsung meyakinkannya bahwa aku
baik-baik saja agar dia tidak resah.
“Tidak, aku oke. Hanya sedikit kesiangan pagi ini ….”
“… begitu.”
“Dan, yah, hari ini aku takkan berlama-lama di Dungeon.
Jadi, soal makan siangnya …. Anu, maaf.”
Aku tidak bisa menerima keranjang ini. Melakukan sesuatu
yang menyedihkan hanya akan lebih menggelisahkannya.
Berpikir demikian, buru-buru aku menolak tawaran makan siang
itu.
Seketika memaksakan senyum yang terlihat agak tidak
meyakinkan, sewaktu mulai merajut permintaan maaf tulus … dia
menatap tajam diriku dan melangkah lebih dekat.
“Huh?”
Kini dia persis di depanku, tidak terdapat satu jarak pun.
Aku bisa mengendus bau sabun wanginya, wajahku
langsung merah padam ketika Syr menunjuk mataku.
“Bell cemunguuuuuut, Bell cemunguuuuut.”
“….”
… dia mulai memutar-mutar jari kelingkingnya.
“Bell senyuuuum.”
“… err, Syr?”
“Yey!”
“Wha—!”
Mengakhirinya dengan mengetuk hidungku, dan aku
membiarkannya.
Berkedip beberapa kali sedangkan Syr berseri-seri.
“Kata-kata ajaib yang membuatmu merasa lebih baik …. Aku
selalu melakukannya kepada anak-anak di panti asuhan, tahu?”
Dia bersandar cukup dekat dan berbisik di telingaku seakan
berbagi rahasia. Dan itu adalah hal terakhir yang ingin aku
dengar … tapi lebih mengejutkannya lagi, ternyata wajahku rileks
dan mulai tersenyum sedikit pula.
Ekspresi alami, barangkali ekspresi yang lupa aku
tampakkan beberapa hari terakhir.
Dan aku memang merasa lebih baik, berkat gadis gembira
ini.
“… makasih, Syr. Aku pergi dulu.”
“Tentu. Berhati-hatilah.”
Bersyukur dia tidak mendesak lebih jauh, aku meninggalkan
Syr, tidak enak kepadanya karena tidak berkata lebih banyak.
“Dasar rambut putih kepala batu! Kalau kau tidak makan
makanan Syr, Kamilah yang mesti memakannya, meong ….!”
“Betapa pun menyusahkannya … si petualang kecil tidak
seperti biasanya.”
“Aku tak pernah melihatnya seterpukul itu, meong.”
Ahnya, Runoa, dan Chloe memperhatikan perbincangan
mereka di jalan dari salah satu jendela The Benevolent Mistress
dan bercakap-cakap di antara mereka sendiri setelah si bocah
pergi.
Hiks ….! Runoa balik badan, dan orang di samping Ahnya,
berusaha sebaik mungkin untuk menahan tangisnya.
“Apa kau khawatir juga, Lyu?”
“Tidak, aku ….”
Lyu, yang juga mematai-matai Syr serta Bell bersama rekan
kerjanya, mengabaikan kekhawatiran mereka dan berhenti
sesaat.
“… sebetulnya, iya. Memang mengkhawatirkanku.”
Dia dan Aisha sang Amazon pernah menemani bocah itu
menuju lantai delapan belas tempo hari. Lyu menjawab jujur
ketika ingatan tetang tingkah aneh Bell terbesit di benaknya.
Sama seperti Syr di luar, dia melihat anak laki-laki itu
sedang sedih.

Sinar mentari membasahi jalanan kota.


Musim panas telah tiba di dataran utama, hari lebih panas
dari hari-hari kemarin. Orario tidak terkecuali, alhasil semua
orang di kota mengenakan baju lengan pendek dan pakaian tipis
lainnya agar tidak kepanasan.
Adapun para petualang yang sedang dalam perjalanan
menuju Dungeon, mereka sepenuhnya dilengkapi pakaian perang
dan baju zirah seperti biasa. Logam yang menyertai tubuh
mereka berkilauan selagi pergi dari kota. Manusia hewan dan
para kurcaci yang memakai baju besi tebal mesti menyipitkan
mata agar mata mereka tak kelilipain keringat. Tidak lucu kalau
mereka terbunuh hanya karena mengenakan lebih sedikit baju
tempur sebab kotanya panas. Para petualang berjalan sedikit
lebih cepat ketika memasuki Taman Pusat, tahu mereka akan
aman dari panas membara matahari dalam Dungeon.
“Halo. Aku tidak ingin melakukan ini, tapi bisakah aku
berbicara dengan Ganesha?”
Jejak keringat di kulit Hestia, dia sampai di patung raksasa
berbentuk seorang pria bertopeng gajah yang berdiri di luar
kediaman familia lain.
“Aku tak punya janji atau semacamnya, jadi aku tahu
permintaan ini berlebihan, tapi ….”
Atas permintaan dari seorang dewi yang bahkan lebih kecil
dari mereka sendiri, seorang manusia hewan dan kurcaci yang
berjaga di gerbang depan saling bertukar pandang.
Lokasinya ada di bagian barat daya Orario, dekat pasar loak
kota. Properti-properti luas yang dipisahkan dari kota dengan
pagar putih tinggi. Di tengah-tengahnya ada patung aneh seorang
pria raksasa bertopeng gajah yang menyilangkan tangannya.
Kediaman Ganesha Familia, Iam Ganesha.
Patung yang menjulang tinggi, lebih tepatnya bangunan,
terlampau raksasa sampai melihat keseluruhannya saja bisa
mematahkan leher orang. Struktur menakjubkan itu terkenal
dengan kisah seorang dewa eksentrik yang menghabiskan
seluruh tabungan familianya untuk membangun satu mahakarya
itu saja. Kemegahannya setara dengan Babel serta distrik
perbelanjaan Orario sebagai lokasi yang patut dikunjungi para
turis yang mengunjungi kota.
Sangat menonjol, seperti biasa, pikir Hestia ketika dia melihat
bangunan aneh itu merupakan kediaman Ganesha Familia.
“Tolong tunggu di sini,” seorang manusia hewan pergi ke
pangkalannya. Hestia sangat berterima kasih atas resepsi
santunnya meskipun dia dewi dari familia lain, yang secara priadi
datang berkunjung. Melihat pengikut Ganesha menghilang ke
selangkangan patung—pintu masuk utama bangunan.
“Kalau saja Lord Ganesha dapat mengurus selera absurdnya
itu, maka kita bisa …. Argghhh!”
“Ahh, aku yakin kalian kesusahan.”
Hestia meminjamkan telinganya kepada kurcaci yang
sedang mengeluh, tak lama kemudian seorang manusia hewan
muda kembali dari gerbang depan.
“Lord Ganesha saat ini tengah berada di halaman belakang.
Beliau bilang tak keberatan jika Anda datang sendiri.’
“Oh, terima kasih.”
Sang dewi cepat-cepat menyampaikan terima kasih kepada
para penjaga ketika mereka membuka gerbang dan
mempersilahkannya masuk.
Dia pikir awalnya dewa berwajah gajah itu sedikit ceroboh,
rupanya dia mempercayai Hestia sampai mengizinkannya.
Merasa sedikit lebih positif tentang kunjungannya, dia berjalan
melingkari pangkalan patung raksasa menuju halaman belakang.
Lahan Iam Ganesha adalah ladang berumput—bisa jadi
padang rumput luas terbuka. Seandainya bukan karena tangisan
keras pedagang dari pasar loak terdekat, Hestia bisa saja lupa
dirinya berada di tengah-tengah kota metropolis luas. Sudut
matanya mendapati beberapa istal batu seukuran pabrik selagi
menghampiri halaman belakang.
“Waw!”
Dewi itu tersentak begitu mengitari lutut patung.
Dataran landai tenang dibatasi oleh pagar logam, palang-
palang yang berkilau bermandikan sinar matahari. Tiang-tiang
yang lebih tebal daripada otot Hestia dan barangkali terbuat dari
mithril atau boleh jadi Baja Damaskus2, bahan asing untuk
menempa senjata, atau bahkan adamantite (adamantium)3.
Pokoknya, setiap batang kokoh telah tertancap langsung ke
tanah dan berdiri layaknya tiang. Petulang bersenjata lengkap
berdiri di kedua sisi, terus memantau lapangan. Suasana
mendadak tegang.
Beberapa petualang, kemungkinan besar penjinak, berada di
sisi lain pagar dengan monster—beberapa sedang dalam proses
penjinakan—menyampaikan perintah mereka.
“T-tidak bisa kulihat setiap hari ….”
Seekor kuda akuatik yang disebut kelpie4 sedang
mengamuk, surai biru indah melibas-libas udara. Tiga
almalosaurus mengayun-ayunkan ekornya yang tidak bisa diam
dan menyerang paku yang menempel di kulit mereka. Para
penjinak keren juga sama mengesankannya ketika menghadapi
monster-monster menakutkan dari Dungeon lantai bawah
dengan cambuk, menundukkan hewan-hewan itu dengan paksa.
Hestia sendiri pernah mendengar di suatu tempat bahwa
Ganesha Familia punya izin legal untuk tidak hanya menjaga
monster-monster untuk Monsterphilia namun juga menculik
monster dari Dungeon dan menaruh mereka di kota.
Jika informasi Guild ini akurat, berarti Ganesha adalah
familia dengan anggota terbesar di Orario.
Banyaknya petualang kelas pertama dan Level menengah ke
atas, benar saja jikalau Ganesha Familia berada di posisi terbaik
Orario. Mereka punya seorang kelas S dan layak ditempatkan
sejajar bersama Loki Familia serta Freya Familia.
Juga dikenal sebagai Penjaga Kedamaian Orario, kebesaran dan
kekuatan familianya barangkali alasan utama Guild
memperkenankan mereka menyimpan monster.
Dewa Massa, ya ….?
Ganesha Familia mempertahankan hubungan dekat dengan
Guild dan punya anggota yang siap sitempatkan di seluruh
gerbang Orario untuk menjaga perdamaian. Masyarakat kota
menghormati mereka.
Karena tingkat kepercayaan besar ini, orang-orang Orario
merasa aman walaupun ada monster yang tinggal di sini.
Semuanya mungkin berkat Ganesha Familia, yang terkenal akan
pencapaiannya.
Beberapa menit, Hestia terfokus oleh pemandangan para
penjinak yang melawan monster satu lawan satu sebelum
teringat kembali tujuan awalnya. Hestia mulai melihat-lihat
sekeliling.
Rencana pertamanya adalah menanyai salah seorang
petualang yang berjaga-jaga di dekat pagar, tapi kemudian dia
mendengar teriakan.
“Aku Ganesha! Ergo, jangan tunjukkan gigimu di
hadapanku, monster!”
Ketemu.
Suara maskulin keras membimbingnya ke dewata itu.
Masih mengenakan topeng gajah dan berdiri dalam pagar,
menatap monster selagi hati-hati menghampirinya. Bayi naga di
depannya telah dipasang benda sihir, sebuah piringan yang
ditempatkan di leher—artinya sudah dijinakkan. Melihat
penjinak di samping si dewa, naga itu tidak langsung menyerang,
melainkan menatap Ganesha saja, mengawasi setiap gerakannya.
“Tidak ada yang perlu ditakutkan. Sama sekali tidak ada!”
“….”
“Gak serem, gak serem—naga baik! Siapa naga baik?”
Ganesha melingkarkan tangannya di dada naga yang berdiri
tinggi begitu dirinya dalam jangkauan dan mulai menggaruk
leher serta bahu mahluk itu seakan-akan sedang bermain dengan
seekor anjing.
“RRARRRRRRH!”
Tanpa peringatan, taring bayi naga berkilat-kilat di bawah
sinar matahari ketika rahang terbukanya melaju ke sebuah
topeng gajah.
“Whoooah!”
“Apa yang kau lakukan?!”
“Harus bilang berapa kali biar tidak aneh-aneh?!”
Glut, glut, glut! Ganesha berhasil menjauh tepat waktu, tetapi
ia kehilangan keseimbangan di tengah-tengah jalan dan jatuh ke
padang rumput. Pada saat yang sama, para pengikutnya mulai
meneriakkan semua jenis teguran sambil cepat-cepat membantu.
Para penjinak segera menenangkan bayi naga yang mengamuk
itu.
Hestia menyaksikannya, terperangah.
“Ganesha, menghindari malapetaka dengan rambut! Duh,
padahal aku kira aku akan mati.”
“Jadi, ini sering terjadi, ya, Ganesha?”
“Oh? Hestia rupanya! Kau di sini?!”
Ganesha berguling lagi sampai ke pagar. Suara pertempuran
menggelitik telinga Hestia, dewi yang agak terganggu itu melihat
dewa bertopeng gajah di kakinya. Pria besar bugar berotot,
bangkit berdiri saat melihat Hestia. “Happp,” dia meraih pagar
logam dan melompat ke atas.
Mendarat persis di sebelah Hestia, dia buru-buru
menampilkan pose anehnya.
“Selamat datang di kediamanku! Soal pertanyaanmu, aku di
sini setiap kali punya waktu luang!”
“Membahayakan hidupmu untuk bermain dengan
monster?”
“Mencari arti persahabatan sejati!”
Ganesha menampakkan senyum menyenangkan,
menunjukkan gigi-gigi putih bersinarnya. Hestia hanya
mendesah saja.
Tanpa basa-basi lebih jauh, langsung ke topik utama.
“Jadi, dengar-dengar kau tahu Xenos?”
“….”
Saat Hestia mengungkit topik demikian, sikap konyol
Ganesha hilang seketika, mulutnya tertutup rapat-rapat.
Ekspresi balik topengnya—kemungkinan besar telah
menjadi sangat serius. “Kita perlu privasi,” katanya,
memalingkan punggung.
Menyuruh para pengawalnya tetap di belakang, Ganesha
membawa Hestia ke daerah berutan dekat pagar putih di pesisir
kediaman. Sendirian, dua dewata itu mulai bicara.
“Kau tahu monster yang punya kecerdasan?”
“Betul. Langsung dari mulut Ouranus.”
Ouranus. Mendengar nama itu memperjelas segalanya bagi
Ganesha. Dia tak punya pertanyaan lain.
Sebagaimana Bell dan anggota keluarga lainnya yang telah
menemukan Xenos dalam misi rahasia mereka, Hestia
mempelajari Wiene dan sejenisnya dari dewa penguasa Guild,
Ouranus.
Bukan hanya itu, tetapi dewa agung telah memberitahu
perbuatan Ganesha yang menerima kehadiran Xenos.
“Memang mengejutkan. Bukan hanya bekerja bersama
Ouranus namun juga kebenaran di balik Monsterphilia juga.”
“Sewaktu aku pertama kali menemukannya …. Ketika
Ouranus memberitahuku, aku pun tak percaya.”
Lalu Ganesha lanjut menjelaskan bagaimana dia mulai
memahami kehendak Ouranus, sekaligus dirinya yang
ditugaskan untuk Monsterphilia—festival yang tujuannya
bukan hanya mempertontonkan para monster, tetapi juga
mempromosikan persahabatan bersama mereka sehingga
mendukung terlahirnya monsterphile.
Hestia kagum terhadap keseriusan mata Ganesha yang
membahas cepat persoalannya.
“Kau percaya dia? Apa yang diberitahu Ouranus
kepadamu?”
“Yah, aku berkesempatan untuk bertemu salah satu Xenos
dalam suatu kejadian. Seekor goblin, mengenakan topik merah ….
Aku tak bisa tak mengindahkan bahasa lancarnya.”
Tampaknya, Ganesha bingung kudu bereaksi apa ketika
Fels menyelundupkan Xenos bertubuh kecil dari Dungeon untuk
menemuinya secara langsung. Hestia dan orang lain juga sama
reaksinya ketika melihat Wiene.
Setelahnya, Ganesha mengikuti arus saja.
Dihadiahkan Xenos, dia melihatnya secara langsung dan
setuju untuk bekerja sama atas permintaan Ouranus—mengatur
Monsterphilia.
“… Sudah memberitahu anak-anakmu?”
“Hanya beberapa yang terpilih. Barangkali kau
menganggapnya menggelikan diriku menyembunyikan sesuatu
dari anak-anak, tapi … familiaku ketinggalan informasi.”
Keadaan mendesaknya. Mencegah kemungkinan terburuk
memerlukan informasi sebanyak mungkin. Massanya akan, tak
salah lagi akan sangat paranoid atau bahkan menolak
kebenarannya.
Sampai sekarang, kebenarannya menyakitkan.
Ganesha menatap para penjinak dan petualang di sisi lain
pagar.
“Kami diizinkan menahan monster …. Kami melakukannya
dengan terbungkus dalih bahwasanya tujuan utama adalah
untuk mempelajari kebiasaan serta kecenderungan mereka
sekaligus mengumpulkan informasi untuk membantu para
petualang di Dungeon.”
“Anak-anakmu berpikir begitu juga, bukan ….?”
Sebetulnya, mereka turut mensukseskan rencana itu.
Guild telah menerima informasi berharga nan rinci
mengenai kelemahan dan karakteristik setiap monster, kini
diarsipkan dan dimanfaatkan untuk membantu para petualang
yang mempertaruhkan nyawa di Dungeon. Bahkan Royman
Mardeel, orang paling berpengaruh di Guild, mengakui
pentingnya pekerjaan mereka dan terus mendukungnya.
Tujuan sebenarnya membangun persahabatan antara
monster dan orang masih dirahasiakan. Terlebih lagi tak seorang
pun mencurigainya.
“Bagaimana denganmu, Hestia?”
“Karena merekalah aku mengetahuinya … Bell dan semua
orang tahu.”
Hestia menjelaskan seluruh kejadiannya dimulai dari
kedatangan Wiene dan keputusan familianya untuk melindungi
gadis monster muda itu, berbagi informasi bersama salah satu
dari sedikit orang yang mengetahui kebenarannya.
Hestia juga memberitahu familianya tentang perbincangan
dengan Ouranus selagi mereka pergi menjalani misi. Dia tahu
betul segala hal yang didapatkan dari Desa Tersembunyi Xenos.
Satu-satunya sesuatu yang ditinggalkan Hestia adalah
kehendak Ouranus—yakin bahwa Bell bersama familia Hestia
punya potensi menjembatani monster dan manusia.
“Bagaimana rencanamu, Hestia?”
“Anak-anakku jauh lebih penting dari semuanya.”
Lindungi Bell dan anak lainnya. Bersama mereka. Adalah
keinginan tulus Hestia.
Itu, dan—
“—Apabila anak-anakku memutuskan sesuatu, maka aku
akan mendukung mereka dan berusaha sebisa mungkin
mewujudkannya. Misalkan mereka ingin menyelamatkan Xenos,
kalau begitu kubantu mereka.”
“Aku mengerti ….”
“Aku takkan memerintahkan sesuatu sebagai seorang dewi
atau memaksakan apa pun kepada mereka.”
Keputusan Hestia tak berubah semenjak dia mengukir
Berkatnya ke punggung Bell—di situlah Hestia mengungkapkan
keinginannya.
“Ini kisah mereka, jalan mereka.”
Hestia membiarkan mereka memutuskannya, membantu
mereka sebisa mungkin, dan mengawasi mereka.
Hestia melanjutkan, “… bohong kalau bilang aku tidak
khawatir, sih.”
Dihadapkan pertanyaan Ganesha yang melotot dari balik
topengnya, Hestia memalingkan mata dan menjawab jujur.
Apa yang dibawa eksistensi Xenos ke Orario, ke dunia
secara keseluruhan?
Hestia tahu terdapat resiko untuk menciptakan cita-cita
abnormal tentang berdamai dengan para monster, namun Hestia
masih membayangkan seorang gadis vouivre berlinang air mata
dalam kepalanya. Terperangkap banyak emosi, Hestia
memandang padang rumput.
Para penjinak yang terluka memasangkan rantai ke
monster-monster di bawah langit biru cerah.
“… Ganesha, menurutmu bagaimana? Menurutmu apa yang
akan terjadi nanti?”
“Terus terang, aku tak tahu.”
“Sama ….”
Ganesha menjawab jujur sambil mengikuti pandangan
Hestia ke halaman kedimaan.
Dewi menarik nafas selagi mereka berdua melihat seorang
penjinak menginstruksikan monster dengan memukul-mukul
kulitnya.
“Akan tetapi.”
“?”
“Sekiranya para Xenos ini—tidak, monster pada
umumnya—sungguh-sungguh menginginkan kedamaian alih-
alih pertumpahan darah ….”
Ganesha balik menghadap Hestia.
“Maka aku berhenti menjadi Dewa Massa—lantas menjadi
Ganesha Baru, Dewa Semua Mahluk, bagi para monster dan manusia!”
teriaknya, seolah hendak mengusir kegelapan yang
menyelubungi mereka.
Sambil tersenyum, dewa itu dengan percaya dirinya
menatap cakrawala dan membusungkan dada saat Hestia
melihat takjub dirinya … sampai bibirnya mulai melengkung ke
atas.
“… ini pertama kalinya aku menganggapmu keren, Ganesha.”
“Itu karena …. Aku Ganesha!”
Hestia tertawa girang terhadap kepercayaan diri Ganesha.


Beragam peta menutupi setiap sudut terbuka masing-
masing dinding.
Selain penuh gambar diagram topografi darat dan laut,
ruangan itu terhias pernak-pernik menarik dan barang-barang
asing, banyak yang jarang kelihatan di Orario. Beberapa tanaman
yang lebih cocok tumbuh di gurun, serta kerang dan mutiara
indah, banyak sesuatu menghiasi perabotan dan meja. Berdiri
topi wisatawan using, setiapnya dihasi bulu, menonjol di tengah-
tengah ketidakrapihan itu.
Seorang pria dan wanita duduk berhadapan di atas meja
ruangan yang cocok untuk seorang penjelajah dunia sejati.
“Gagal maning, ya …. Gawat.”
Dewa Hermes duduk di kursi dan sikunya diistrirahatkan di
atas meja, mengutak-ngatik papan pasir sambil berbicara.
Wanita cantik duduk kaku bak patung di sisi lain meja,
ialah Asfi.
Dia menjambangi tempat tinggal pribadi dewanya untuk
melaporkan hasil misi terbarun
“Aku tidak punya alibi. Setelah target kita mundur,
bawahanku dan aku tetap di area tersebut sampai awal hari
dengan harapan menemukan petunjuk baru, tapi … semuanya
salahku karena membiarkan mereka kabur.”
“Aduh, aku tidak menyalahkanmu.”
Wajah Asfi terus pucat pasi selagi menyampaikan laporan
berikutnya sambil minta maaf, tapi Hermes mengibasnya,
menyuruh pengikutnya untuk tak perlu khawatir.
Mereka berdua mendiskusikan gagalnya rencana pelacakan
Ikelus Familia.
Guild—lebih tepatnya Ouranus—telah melimpahkan Bell
dan Hestia Familia sebuah misi: pergi menuju Desa Tersembunyi
Xenos. Tujuan sebenarnya adalah sebagai umpan untuk menarik
pemburu-pemburu Ikelus Familia, selanjutnya terserah
sekelompok petualang Hermes Familia di bawah komando Asfi
untuk melacak mereka. Tujuannya adalah menemukan
pangkalan pemburu yang belum ditemukan, tempat ditahannya
Xenos sampai bisa diselundupkan dan dijual di pasar gelap.
Akan tetapi, Ikelus Familia tahu mereka tengah diikuti
dalam Dungeon dan memutuskan pengejaran party Bell, kabur
begitu saja. Misi Asfi berakhir gagal.
“Tapi mereka menggagalkanmu, sang Perseus sendiri dari
penyelesaian tugasnya …. Beritahu aku, menurutmu bagaimana?
Tentang target kita.”
“… kendati terdapat rumor perihal koneksi Kejahatan tak
jelas, seluruh kelompok sepertinya sekumpulan preman dan para
penjahat. Apalagi pemimpin mereka, seorang pria berkacamata
google ….”
Ikelus Familia adalah familia penjelajah Dungeon yang asal-
usulnya tak diketahui.
Mendiami Orario selama lebih dari dua puluh tahun, familia
mereka peringkat B. Anggota-anggotanya dilaporkan pernah
menyelam ke Dungeon lantai dalam. Namun, grup itu sendiri
masih misterius, barangkali karena banyaknya waktu yang
mereka habiskan di bawah tanah, sukar salah satu anggota
mereka bisa tenar atau dapat pengaruh di dunia atas.
“Orangnya jeli dan licik. Bahkan tatkala mengumpulkan
banyak pasukan untuk mengungguli party, seketika mereka
mengetahui identitas kita, dia langsung mundur.”
Pemimpin Ikelus Familia telah berhati-hati kepada Asfi,
pengrajin barang brilian yang bakatnya terkenal seantero dunia.
Dikenal sebagai Perseus, dia menemukan sejumlah sihir
fenomenal dan barang misterius seperti Kepala Hades, helm tak
kasat mata.
Karena tak tahu apa yang disembunyikan pihak Asfi dan
resiko markas besar mereka ketahuan, pemimpin Ikelus Familia
menarik mundur semua bawahannya tanpa meninggalkan
seorang pun di belakang agar tak tertangkap.
“Seorang pria berkacamata google …. Diakah Dix Perdix?”
“Persis. Bukan hanya pemimpin Ikelus Familia …. Dia
seorang petualang kelas dua, petualang Level Empat hampir
sepuluh tahun lalu.”
Dia bergelar Hazer5.
Saat Dix menerimanya, pria itu sudah terkenal giat
membantai monster dengan kecepatan hampir seperti orang gila.
“Asumsikan dia berkembang lebih kuat dan berpengalaman
sejak saat itu … mungkin sudah sekuat petualang kelas satu.”
mata Asfi mulai suram, nada suaranya memberat. Hermes
menghembuskan nafas pelan sendiri.
“Pertama-tama, kita mesti meminta maaf kepada Ouranus ….
Karena sudah melenceng dari rencana, anggap saja musuh tahu
dimana lokasi sarangnya. Kurasa mereka dapat mengumpulkan
informasi sebanyak itu dari tindakan kita saja,” mata oranye
Hermes menyipit sambil mengutarakan isi otaknya.
“Bagaimana dengan monster yang dimaksud ….?”
“Mereka disuruh pindah ke sarang yang berbeda entah
bagaimana akhir rencana. Kemungkinan besar, saat ini mereka
sedang bergerak.”
Hermes menjelaskan bahwa Ouranus ingin
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan sebanyak
mungkin dan menyuruh para Xenos meninggalkan Desa
Tersembunyi di lantai dua puluh dan berkelana lebih dalam lagi
ke Dungeon.
Biar begitu, Asfi mendengarkan sedikit keresahan dalam
penjelasan dewanya, seakan berbicara sendiri.
“Kita tidak bisa melakukan apa-apa lagi, aku tahu tidak ada
gunanya khawatir, tapi ….”
“….”
“Aaaaaargh, firasatku buruk.”
Hermes tidak membuang waktu setelah menggumamkan
ucapan itu.
Melihat ke atas, dia menyalak satu perintah baru.
“Pasang mata pada pergerakan di lantai menengah, Asfi.
Gunakan Rivira sebagai markasmu dan tetap waspada.”
“Dimengerti.”
Seolah-ilah intuisi ilahiahnya telah berkata, Hermes bilang:
“Tidak akan lama—mereka akan mulai bergerak.”

Catatan Kaki:
1. Di volume sembilan gua make “Ikelos”, gua ganti jadi
“Ikelus”, ya.
2. Baja damaskus adalah material legendaris dari baja yang
mempunyai sifat superplastis (kemampuan untuk
mengalami deformasi tetap tanpa retak hingga 1000%).
Dengan sifat yang unik ini maka baja Damaskus banyak
digunakan sebagai material untuk membuat pedang dan
senjata. Menurut mitos senjata yang dibuat menggunakan
Baja Damaskus tidak akan pernah tumpul atau patah. Selain
memiliki sifat superplastis baja Damaskus juga mempunyai
ciri khas yaitu adanya pola air (watermarking) pada
permukaannya.
Baja Damaskus dibuat pertama kali di India dan kemudian
berkembang sampai Suriah. Nama Damaskus sendiri
diberikan oleh bangsa Barat yang terlibat Perang Salib dan
menjumpai senjata yang berbahan baja Damaskus di kota
Damaskus, Suriah.
3. Adamantium adalah logam fiksi buatan manusia yang telah
digambarkan secara meluas di dalam komik yang
diterbitkan oleh Marvel Comics. Adamantium sering
dijabarkan sebagai logam yang pada hakikatnya tidak bisa
hancur dan logam campuran kimiawi yang telah
dirahasiakan oleh Pemerintah Amerika. Adamantium
bukanlah elemen: bahan bakunya tidak terdaftar di dalam
tabel periodik.
4. Kelpi adalah kuda air supranatural dalam mitologi Kelt yang
diyakini menghuni sungai dan loch di Skotlandia dan
Irlandia.
Kelpi tampak sebagai kuda yang kuat dan bertenaga.
Dipercaya jangatnya hitam (beberapa kisah menyebut
putih). Kulitnya seperti anjing laut, lembut namun dingin
seperti mayat. Kuda air dipercaya dapat berubah bentuk
menjadi wanita cantik untuk menggoda pria menuju
jebakannya.
Kuda air merupakan wujud kelpi yang umum. Konon ia
suka memakan anak-anak. Ia tampak sebagai wujud kuda
yang memikat sehingga anak-anak tertarik untuk
menungganginya. Sekali menungganginya, maka tak akan
bisa lepas dan kelpi akan membawa korbannya ke air untuk
dimakan.

5. Soal “Hazer” gelar Dix, gua menemukan banyak informasi,


gatau mana yang tepat. Gua jelasin aja ya.
Hazer adalah alat yang yang mengeluarkan asap seperti
smoke machine dan termasuk kedalam kelompok lighting
efek. Proses kerja Hazer melalui 1 operator dan dikendalikan
secara manual.
Bisa juga:
(Haze), Kabut asap secara tradisional merupakan fenomena
atmosfer di mana debu, asap, dan partikel kering lainnya
mengaburkan kejernihan langit. Manual kode Organisasi
Meteorologi Dunia mencakup klasifikasi pengaburan
horizontal ke dalam kategori kabut, kabut es, kabut uap,
kabut, kabut, asap, abu vulkanik, debu, pasir, dan salju. [1]
Sumber untuk partikel kabut termasuk pertanian
(membajak dalam cuaca kering), lalu lintas, industri, dan
kebakaran hutan.
Volume 10 Bab 7
Raja Bertangan Besi

Penerjemah: Leon Scot Kennedy


Lumut-lumut bercahaya menempel di langit-langit bekerlap-
kerlip bak bintang-bintang langit malam.
Udara lembab berbau purba setelah hujan deras menerpa.
Rerumputan dan macam-macam bunga liar tumbuh di sepanjang
lantai. Salah satu sudut tempat, butiran air menetes dari akar
Pohon Raksasa sampai membuat genangan di sana-sini,
menciptakan kabut dan riak-riak mini.
Kulit pohon yang menutupi dinding lorong menandai lokasi
Dungeon Labirin Pohon Raksasa.
Seorang gadis naga berdiri sendirian.
Rambutnya yang berwarna biru perak bersinar diterangi
cahaya. Mata kuningnya, berlinangan air mata, ia menatap jauh
ke atas, menuju langit-langi yang disembunyikan kayu serta
lumut-lumut bercahaya.
Gadis itu tahu sosok bintang sejati.
Dia telah menatap langit malam dunia atas bersama seorang
laki-laki, berdiri di sebuah taman kecil.
Langitnya indah. Sangat indah sampai-sampai dadanya
sesak.
Dia berpegangan pada pemuda tersebut, menikmati senyum
canggungnya, dan selalu mengawasinya.
Semua pohon dan kehidupan tanaman yang diterangi oleh
bintik-bintik cahaya biru itu takkan mampu menandingi
terangnya bintang dalam kepalanya.
Dunia mimpi ini telah mencuri banyak hati serta pikiran
para petualang. Akan tetapi—kelihatan jemu dan lemah bagi
gadis yang pernah melihat bintang-bintang dengan mata
telanjang.
Lagi pula, dia tak pernah berhenti mendamba-dambakan
sesuatu orisinilnya.
Demi pemandangan dunia atas.
Demi orang-orang yang menganggapnya bagian dari
mereka, bagian keluarga.
Demi senyum seorang anak laki-laki, yang senantiasa
terkejut dan bingung terhadap tingkahnya yang ujung-ujungnya
memanjakannya.
Si gadis, Wiene, memikirkan sesuatu yang jauh, melampaui
banyak lantai pemisah Labirin Pohon Raksasa dari dunia atas,
mendekap tubuhnya sendiri.
“Bell ….”
Bibinya gemetaran saat menyebut namanya.
Rasa sakit tajam menjalar di dadanya, kelewat intens
sampai mata kuning amber mulai berkilau-kilau air mata baru.
“Wiene, kita pergi.”
Wiene mendengar suara wanita harpy di belakangnya,
namun tak langsung menyadarinya. Dia mengangguk pelan
beberapa saat kemudian.
Saat mengalihkan pandangannya dari langit-langit, Wiene
balik badan, rambut biru peraknya berdesir.
Melangkah lebih jauh bersama rekan-rekannya, bersama-
sama meninggalkan ruangan yang mereka tinggali.
Dungeon lantai dua puluh empat.
Kelompok Wiene menyusuri lorong-lorong.
Gadis vouivre muda, masih tidak bisa bertarung, berjalan di
tengah-tengah regu kecil Xenos.
Kelompok itu terdiri dari, harpy, formoire, hippogriff, war
shadow, dan vouivre sendiri, Wiene. Party berjumlah 6 ekor
monster.
Xenos-Xenos lain berpencar menjadi kelompok-kelompok
yang terdiri dari lima hingga tujuh anggota menuju tujuan
mereka, seperti halnya para petualang yang tengah melakukan
ekspedisi.
Bahkan tanpa baju zirah pun, sekelompok monster dari
berbagai lantai bisa berpindah-pindah di Dungeon dalam
kawanan yang sangat menarik perhatian. Malahan, sosok
arachne dan harpy berjubah dalam satu party mirip seperti
parade sirkus yang sedang berkeliling di pusat kota.
Jumlahnya saat ini kurang lebih 44 Xenos. Kalau mereka
semua bergerak bersama-sama sebagai party, para petualang
pasti akan menemukan mereka, dan rumor ‘kan menyebar
layaknya api. Salah satu dari mereka ketahuan sudah cukup
buruk, apalagi bila ketahuan monster penuh perlengkapan
berjumlah besar berkelana bersama-sama, akan menyebabkan
banyak masalah. Penampakan itu tidak hanya menyebarkan
ketakutan serta kepanikan di antara petualang, namun juga
mengundang perhatian tak perlu.
Maka dari itu, mereka selalu membagi kawanan menjadi
kelompok-kelompok kecil tatkala ingin berpergian secara massal
untuk menghindari para petualang yang kebetulan lewat.
Terutama di lantai menengah, tempatnya relatif sempit
dibandingkan lorong-lorong besar di lantai dalam.
Pemimpin Xenos seperti lizardman, Lido, dan siren, Rei,
adalah bagian dari dua kelompok pertama yang berangkat. Tugas
mereka adalah membersihkan rute bagi para Xenos yang lebih
lemah serta memastikan tiada petualang di jalur mereka. Para
pemimpin juga membasmih monster-monster lain sekaligus
mengurus Abnormal. Peran mereka paling berbahaya karena
sering terlibat dalam pertempuran dan terpaksa menyesuaikan
diri dengan kondisi yang berubah-rubah.
Wiene ditempatkan di posisi aman belakang.
Pelindungnya yang termasuk formoire dari lantai dalam
bersama para veteran berpengalaman dari jajaran peringkat
Xenos.
Wiene mengenakan jubah hitam panjang bertudung
menyembunyikan permata berkilat-kilat yang tertanam di
dahinya. Tak dapat menampik sosok Bell dan kawan-kawannya,
berjalan sambil menunduk hampir mau menangis terus.
“Wiene, sudah cukup menangisnya.”
“M-maaf, Ranieh ….”
Arachne sebagai kepala party memarahinya dengna kasar,
membuat Wiene tersentak dan menyusut sedikit.
Namanya Ranieh.
Bagian tubuh atasnya adalah seorang wanita cantik namun
berjalan dengan banyak kaki laba-laba—seekor Xenos arachne.
Kelompok mereka berada dalam pengawasannya.
Tubuh bagian atas Ranieh dilindungi baju zirah petualang,
pelindung helm menyembunyikan sebagian besar wajahnya.
“Di sini bukan Desa Tersembunyi. Saudara-saudari liar kita
bisa menyerang kapan saja. Kepala yang terganggu oleh para
manusia akan membunuhmu.”
Teguran tajam Ranieh diselimuti kesesalan, rambut putih
melambai-lambai saat menatap Wiene dari balik helmnya. Mata
merah seperti manusia—para arachne biasanya punya banyak
mata—angkuh dan banyak maunya.
Kulitnya seputih tundra1 beku, satu warna dengan
rambutnya. Seorang manusia akan langsung menganggap
pucatnya sedang sakit parah. Namun, itu sama sekali tak
mengurangi kecantikan menakjubkannya.
Kalau-kalau seorang petualang menangkap sosoknya, kaki
arachnid akan menampakkan ketakutan dan ancaman, semata-
mata sosok feminimnya saja yang memikat perhatian mereka.
Kecantikannya bisa membuat para dewi cemburu.
Terlepas dari itu, Ranieh sangat waspada kepada orang dan
monster. Malah, dia tak ingin membuka helmnya di hadapan
orang lain selain rekan-rekan Xenos, merahasiakan
kecantikannya.
“Wiene, kau masih sedih?”
“… ya.”
“Para penghuni permukaan …. Bell dan teman-temannya.
Kau akan bertemu mereka lagi, aku tahu itu.”
Seekor harpy bernama Fia, mengenakan jubah yang mirip
jubah gadis naga, memperhatikan Wiene ini sedang berjuang
menerima teguran Ranieh dan mendekat ke samping untuk
meyakinkannya. Fia terlihat seumuran dengan rekan baru
mereka, rambut merah tua di bahun dan senyuman di wajahnya.
Gadis vouivre itu menyeka air matanya yang mengering dan
terbentuk air mata segar kemudian, kemudian sanggup
mengangguk singkat … ketika jari raksasa penuh bulu terulur dan
dengan lembutnya menggosok air mata terakhir di pipinya.
“Uoohhh ….”
“… makasih, Foh.”
Senyum Wiene tumbuh setelah melihat formoire raksasa
bernama Foh itu. Meskipun tubuhnya besar dan menakutkan,
Foh punya hati baik.
Tidak bisa menggunakan bahasa seperti Wiene dan yang
lainnya, ia berkomunikasi lewat renguhan dan dengkuran.
Tetapi, bahasa tubuh serta nada bicaranya yang ekspresif lebih
dari cukup untuk menyampaikan kepribadian hangatnya. Dalam
pertempuran, tubuh itu menjadi tameng berkat pelindung dada
raksasa di tengah-tengah tubuhnya, menyulap dirinya menjadi
dinding hidup. Foh lalu memanfaatkan gada besarnya untuk
menghancurkan musuh atau meluncurkan mereka tinggi-tinggi
ke udara untuk melindungi rekannya.
Walaupun sulit menafsirkan isi kepalanya dengan hanya
melihat mata bundar hitamnya itu, dia selalu mengawasi
kelompok itu.
Seperti monster lainnya.
Fia si harpy jauh lebih tertarik di dunia atas dan para
penduduknya ketimbang orang lain. Selalu saja penasaran, ada
saja pertanyaan yang dia tanyakan.
Cliff si hippogriff lebih suka mengudara, suara sayap
mengepaknya senantiasa dekat. Monster santai dan ceria itu
suka menggoda orang-orang di sekitarnya.
Orde si war shadow, walau pendiam, dia adalah orang
pertama yang terjun dalam pertempuran dan bersedia melakukan
apa-apa demi kelompoknya.
Ranieh barangkali menakutkan, sebenarnya dia
mengkhawatirkan keselamatan kaumnya.
Semua monsternya baik.
Mereka menyambut dengan tangan terbuka Wiene
sewaktu mereka bertemu. Sangat sedikit waktu berlalu, tetapi
dia diperlakukan layaknya teman lama dan sekutu.
Tempat Wiene adalah di sini. Satu-satunya tempat dia bisa
bersikap selayaknya, mereka-mereka yang menerimanya.
Tetapi tetap saja ….
Kendati Wiene mengerti semua itu, dia tak bisa melepaskan
rasa kesepian dari hatinya entah sekeras apa dia berusaha.
Semuanya karena orang-orang yang menemukannya saat
menangis sendirian, memeluknya, dan tersenyum bersamanya.
Gadis vouivre itu masih merindukan kehangatan mereka.
Tidak masalah bila orang-orang itu tak sepertinya.
“… Wiene, lupakan mereka. Mereka hanya akan
menyakitimu.”
Ranieh si arachne nampaknya mempermasalahkan
percakapan Wiene dan sebal, memberi peringatan berat.
Tak seperti Lido dan Rei, Ranieh adalah kelompok Xenos
yang menolak kehadiran orang-orang dunia atas.
Gros si Gargoyle senior, adalah pemimpin faksi ini. Kendati
mereka yang mempunyai paham demikian adalah minoritas,
jumlahnya masih sepertiga seluruh Xenos, disatukan oleh
kebencian terhadap ras-ras dunia atas.
Wiene tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu mereka.
Tapi itu membuatnya sedih.
“Ranieh, kenapa kau sangat membenci Bell dan teman-
temannya ….?”
“….”
“Bell, Haruhime, dan para dewi baik banget. Mereka meluk
aku terus!”
“Karena mereka merencanakan sesuatu di belakangnya ….”
“Itu enggak benar!”
Ranie yang tidak mengakui ikatan baik itu membuat Wiene
marah, matanya mau menangis lagi.
Wjaah arachne berkerut pahit selagi melihat teman
barunya.
Ranieh sudah seperti ini semenjak kali pertama mereka
bertemu. Cara bicaranya lebih baik dari kebanyakan Xenos, tapi
perasaannya mengenai penghuni dunia atas jauh dari kerinduan
mau pun kekaguman.
Kata-katanya selalu disertai kemurkaan, kebencian, atau
bisa jadi sesuatu yang mirip kesedihan.
“Dasar bodoh.”
“Hah?”
“Kau tidak tahu apa-apa tentang orang. Tidak tahu
kekejaman, kelicikan mereka.”
Anggota kelompok lain tetap diam saat Wiene melotot
murka kepada Ranieh. Tanggapan arachne pendek saja.
Suatu hari nanti, mereka akan mendatangimu juga.
Persis saat ucapan itu mulai meninggalkan mulutnya,
sesuatu terjadi.
Telinga Wiene melengkung dan meruncing sebab
menangkap jeritan putus asa di kejauhan.
“!”
Bahu Wiene menyentak hebat.
Ranieh dan Xenos lain melirik si gadis naga, bingung kenapa
dia mendadak berhenti.
“Wiene?”
“Hei, ada apa?”
“A-ada suara ….”
Arachne melihat prihatin telinga Wiene yang menjentik ke
sana-kemari.
Naga dikenal sebagai monster terkuat bukan tanpa sebab,
selain kekuatan tempur serta potensi kemampuan mereka
melampaui spesies-spesies lain. Vouivre, tipe naga, mempunyai
indra yang terlampau tajam, seperti pendengaran.
Suara yang samar nian datang dari tempat jauh lantai ini—
teriakan yang tak didengar Xenos-Xenos lain, walau si gadis
vouivre menangkapnya.
“Dia menangiskan …. Selamatkan aku ….”
Wiene langsung tahu.
Jeritan itu bukan dari petualang ataupun monster,
melainkan dari Xenos sendiri. Monster yang punya pikiran dan
perasaan, salah satu jenisnya.
Di saat yang sama, jeritan itu begitu putus asa sampai-
sampai Wiene merasa dirinya sendiri dicabik-cabik.
Wiene tidak hidup lama, namun ini kali pertama ia
mendengar jerit kesakitan.
Gemetaran, dia memeluk badan sendiri.
“Selamatkan aku …. Salah satu rekan kita meminta bantuan?!”
“Y-ya …. Dia terluka, parah banget …. Kita harus
menyelamatkannya!”
Mata Fia terbuka lebar terhadap apa yang didengarnya,
Wiene mengangguk-angguk.
Butuh seluruh keberanian dalam diri si gadis naga untuk
menjawabnya sambil memeluk badan erat-erat. Ingatan kembali
membanjiri kepalanya, mengingatkannya pada bagaimana bocah
itu merespon tangisannya, tatkala dia menatap rekan-rekannya
berkali-kali.
“Kita mesti apa, Ranieh?”
“….”
Harpy, hippogriff, war shadow, dan formoire, semuanya
memandang arachne.
Menurut perkataan Wiene, teriakan itu bukan anggota
kelompok mereka. Kemungkinan Xenos yang belum pernah
mereka temui sebelumnya.
Ranieh berhenti sejenak sambil ditatap semua rekannya.
Sekali lihat air mata Wiene, dia memecah kesunyian.
“… kita selidiki. WIene, pimpin jalannya.”
Arachne, yang bertanggung jawab atas kelompoknya, tahu
dari mata si gadis naga bahwa ada yang salah.
Dalam Dungeon luas ini, mengabaikan rekan yang mati-
matian meminta bantuan padahal hidup mereka sendiri
terancam mahluk fana dunia atas bukanlah sesuatu yang bisa
dilakukan Xenos.
Selagi Ranieh mengenakan helm besinya, suasana
menegang. Bulu formoire merinding, war shadow meregang,
sedangkang hippogriff mengepakkan kuat-kuat sayapnya.
Seketika menunda rencana pertemuan dengan Lido di lantai
dalam, arachne memimpin party ke arah yang berbeda.
“Orde, maju.”
“.”
War shadow lepas landas cepat atas perintah Ranieh. Party
lain mengikutinya beberapa saat kemudian.
Tubuh war shadow dipenuhi piringan-piringan baju zirah.
Karena wujud manusia setengah shadow-nya tersembunyi
dari ujung kepala hingga ujung kaki oleh zirah, mustahil para
petualang tahu ada monster di balik baju besi itu kalau hanya
sekali pandang saja. Karenanya, dia memposisikan diri di titik
vital untuk mengamankan jalur mereka dari para petualang dan
bahaya lain sebelum party maju.
Orde berlari menyusuri lorong-lorong gelap, mendapati
pengamat was-was yang ternyata hanya seorang petualang solo
sedang berkeliaran sembari membunyikan baju besi beratnya.
Memerika sudut-sudut jalan dan persimpangan sebelum
menginformasikan keamanannya kepada party lalu menuntun
mereka ke jalan aman tersebut. Setiap kali seekor monster
menghalangi jalan, dia memasang kembali sarung tangannya dan
menampakkan lima jari tajam—senjata tempur mematikan war
shadow—dapat dengan mudah memotong musuh-musuhnya
sendirian.
“—Gros, mungkin kita menemukan rekan lain. Sana lihat.”
Ranieh memegang kristal merah dan bicara dengannya
sebelum merespon.
“Apa?—tunggu deh, Ranieh. Jangan berbuat macam-macam
sebelum kita sampai.”
“Tidak, aku harus melakukannya.”
Ranieh memveto tegas balasan dari kristal.
“Dengar, Ranieh. Ada yang janggal. Bisa saja jebakan—”
“Meskipun begitu, tidak boleh berlama-lama lagi, Gros.”
Sela Ranieh terhadap permohonan yang menjadi-jadi itu
selagi memperkuat cengkeramannya pada kristal.
“Karena aku sudah mendengar tangisannya, tidak ada yang
menghentikanku.”
Kelompok itu cukup dekat sampai-sampai anggota lain
mendengarnya.
Tangisan sedu, bak logam bergesekan logam, hingga ingin
menutup telinga mereka. Mereka mulai gelisah sebab
tangisannya kian keras seiring langkah. Kaki mereka berdenyut-
denyut intens, sayap-sayap mereka mengepak lebih kuat ketika
Xenos melaju kencang.
Ranieh menguatkan taringnya sembari menahan ratapan
yang menusuk telinganya.
“Seandainya manusia pelakunya, kita semakin tidak bisa
mengabaikannya.”
Wajah di balik pelindungnya tanpa emosi, Ranieh
mengakhiri pembicaraan.
Arachne menampik suara yang hendak menghentikannya
dan memasukkan kembali kristal ke kantong di dalam baju
zirahnya.
“Di sana ….!”
“Orde, ruang di sebelah sana!”
Wiene membimbing party sampai sejauh ini, namun
arahannya tidak diperlukan lagi. Ranieh berteriak sekeras
mungkin.
Dia melihat celah tinggi di dinding Dungeon tertutup kayu.
Mengarah ke tempat bercabang-cabang dari jalan utama. Orde,
berbaju zirah lengkap, menyerbu masuk melalui celah tersebut.
Seketika Ranieh, Wiene, dan seluruh party tiba sesaat
kemudian—pemandangan mengerikan menyambut mata
mereka.
“Apa—?”
Tanah dipenuhi bulu-bulu dan tetesan darah.
Lumut bercahaya menerangi bagian tengah ruangan.
Sebatang pohon tunggal berdiri dengan darah bersimbah di
akarnya.
Batang tebalnya dirantai tubuh kurus.
Seolah-olah ada palu yang mencapai dan menusuknya.
Tubuhnya penuh luka-luka dari kepala sampai kaki, dia
kehilangan terlampau banyak darah sampai-sampai pakaiannya
kelihatan merah berkilat-kilat—bukti penyiksaan yang
dialaminya. Tangannya bersayap, membentang lebar, tubuh
bagian bawah berlumuran darahnya membentuk tanda salib
sementara kepalanya terkulai lemas.
Seekor siren, kedua sayapnya dipaku tiang baja.
“Eeehh ….?!”
Wiene kehabisan kata-kata terhadap pemandangan
mengerikan tersebut. Heran dan terengah-engah belaka.
Penyaliban monster.
Pemandangan aneh yang tak terperkirakan dalam Dungeon.
Sekelompok serangga hitam raksasa berdengung di udara,
berputar-putar di atas pohon layaknya burung nasar. Boleh jadi
deadky hornet tertarik ke sini oleh Wiene dan para Xenos. Mata
tanpa perasaan mereka tertuju pada siren sekarat tatkala mereka
menukik , beberapa waktu lagi rahang mereka ‘kan menggali-gali
dagingnya.
“… Fia, Cliff!” Ranieh berteriak sesaat kemudian.
Harpy itu melempar jubah dari pundaknya di depan
pemimpin party yang baru saja memanggil namanya dan
melompat bersama lolongan kuat hippogriff. Kawanan serangga
seketika bergerak mencegat, namun mereka tak sebanding
dengan proyektil-proyektil bulu dan paruh tajam. Sesaat, langit
mencerah.
Mereka mengincar siren, menghancurkan rantai dan tiang
dengan cakar mereka.
Tiba-tiba tubuh bebas nan lemah siren itu terjungkal ke
depan ketika formoire berlari menghampiri dan menangkapnya.
“Apa yang terjadi?! Jawab aku!”
Ranieh bergegas mendekati siren yang tergeletak di tangan
besar Foh. Wiene dan kawan-kawan dekat di belakang.
Bulu-bulu siren itu berwarna coklat alami. Kendati
berlumuran darah, dia punya sosok teirindah dan wajah cantik.
Lebih pentingnya lagi, sewaktu ia melihat monster
menyerangnya, laba-laba itu tahu dia adalah salah satu kaum
mereka.
Gadis itu berbeda ras dari Rei si siren, dia pastinya tak bisa
berbicara lagi. Mata berkaca-kaca, dia habis-habisan berusaha
menggerakkan lidah sambil berjuang memberitahu sesuatu.
Sial ….!
Mustahil monster melakukan ini. Jelas-jelas orang
pelakunya.
Kemaraha Ranieh pada salah satu kaumnya sudah sampai
mendidih. Namun satu ingatan masih melekat di benaknya, suara
yang dia dengar dalam perjalanan ke sini mungkin saja jebakan.
Arachne mendongak, baru ingin memperingatkan
sekutunya, sialnya saat itu—
“—Larilah ….”
Mata terbuka, suara memohon siren yang berlumuran darah
itu patah-patah.
Kemudian—
“Waw, jadi monster benar-benar bisa menangis, ya?”
Terdengar tawa singkat nan ringan seorang pria.
“Kalian peduli satu sama lain melebihi kami para
petualang.”
Menguak kamuflasi bermotif kulit pohon, sekitar dua puluh
petualang menampakkan diri, mengepung mereka.
Tidak menggubris kantung wangi yang melingkupi indra
penciuman mereka, para petualang mengelilingi pohon,
menjebak Wiene dan teman-teman.
Para Xenos memandang satu-satunya jalan keluar ruangan
dan mendapati seorang lelaki berkacamata google mengetuk
batang tombak merah di pundaknya dan menghalangi jalur
pelarian mereka.
“Agh, serius deh, mudah banget.”
Bibir pria itu melengkung bagaikan bulan sabit.
“Petualang ….!”
Semua pertanyaannya telah terjawab—Ranieh menggeram
kepada orang yang menyergap mereka.
Lebih tepatnya, gerombolan pemburu.
Campuran antara manusia, manusia hewan, kurcaci, dan
Amazon. Mereka semua menampakkan senyum kejam
sebagaimana pemimpin jelas mereka, ketua berkacamata google
yang menguatkan cengkeramannya pada bermacam-macam
senjata. Beberapa mata bilah dan ujung tombak meneteskan
darah segar, hampir merobek-robek tubuh siren itu.
“Kaulah yang ….!”
“Kau perlu bertanyakah, wanita laba-laba?”
Rekan tersiksa mereka hanya umpan.
Para petualang telah merantainya ke pohon dan memakunya
agar gagal melarikan diri, lalu menyiksanya sampai berteriak.
Para pemburu memanfaatkan suara keras siren itu untuk
memotong hiruk-pikuk Dungeon dan memancing para Xenos.
Memastikan bahwa Wiene, yang telinga sensititfnya dapat
mendengar teriakan, akan datang menyelamatkan.
Di balik lensa kecubung asap, Dix nampak geli oleh gadis
yang tertegun itu.
“Kami mengatur jebakan di sini agar kalian tidak menyelam
ke lantai dalam, tapi … bangkelah, tidak kukira akan berjalan
selancar ini!”
Lima pemburu menemaninya, punggung mereka
menghadap jalan keluar, Dix menutup jalur pelarian.
Tawa jahat pria itu bergema di sudut sepi Dungeon.
“!”
Terjadi dalam sekejap.
Sementara sebagian besar kelompok masih berusaha
memahami situasi, Orde si pendiammenembus keheningan dan
langsung menerjang Dix.
Menembus udara dengan kecepatan selevel petualang kelas
dua. ZIrah hitam legam tebalnya nampak kabur saat war shadow
itu menyalurkan kemurkaannya ke ujung cakar dan menukik
cepat menuju sasarannya bagai roh dendam.
Akan tetapi, pria berkacamata google itu tidak repot-repot
mengangkat tombak bertahan. Tepat saat tangan memanjang
Orde hendak menyerang bagian di sepasang mata ….
“!”
Pedang besar muncul dari balik bayangan Dix dan
membelah dua Orde.
“Eh?”
Suara lian menyelinap dari bibir Wiene.
Seolah dalam mosi lamban, dia menyaksikan tubuh war
shadow itu terbelah dan jatuh ke lantai.
Bilah besar itu memotong dua pelat zirah—badan Orde
jatuh dari tubuh bagian bawah dan berguling-guling sampai
berhenti.
“Gran, dasar tolol. Bagian dalam monster itu ‘kan masih kita
jual?”
“M-maaf, Dix ….”
Orde dibunuh oleh seorang pria jangkung berotot.
Tato hitam menutupi sebagian besar wajah pemburu botak
itu. Pasti seorang kriminal.
Terlepas tubuh menjulang tingginya, Garn buru-buru
muncul dari belakang pemimpinnya dan meumpan ancaman itu
dalam satu sabetan pedang besarnya. Sekalipun kekuatan dan
kecepatannya membuat orang terperangah, satu omelan marah
dari Dix cukup membuatnya gentar ketakutan.
“O-Orde ….?” bisik Wiene tak percaya tatkala menghampiri
war shadow yang sekarat itu.
Sewaktu Orde terbaring terlungkup, zirahnya berserakan
selagi menjangkau-jangkau tangan gemetarnya ke si gadis—Bruk.
Dix menginjak helmnya, menggepengkan kepala Orde.
Genangan darah menyebar dari sepatu botnya, cairan gelap
merembes ke mana-mana.
Sejenak para Xenos hening. Namun pria itu tak peduli. Dix
maju beberapa langkah tanpa melihat monster yang jatuh itu
sekilas pun.
“Kurang dari harapanku …. Tidak perlu menggunakan itu
deh.” gumam seorang pria berkacamata google, “Mengecewakan
banget,” sambil merasa dikecewakan. Namun ….
Sudut bibirnya terkelupas sesaat tatapannya tertuju pada
Wiene lagi, ia membeku di tempat.
“Baiklah—perburuan dimulai.”
Para pemburu meraung setuju atas perintah pemimpin
mereka.
“Sialan kalian semua!”
Ketika Ranieh berteriak, Xenos juga ikut meraung.
Dalam sekejap mata, para pemburu yang menyeringai
beradu senjata dengan Ranieh dan Xenos lain dalam
pertempuran.
“Ah … ahhh ….!”
Wiene tertegun.
Bentrokan raungan ganas, bilah bertabrakan, hasrat
membunuh tak terkendali terlampau keras baginya. Rekan-
rekannya, yang sangat baik dan hangat, mendadak menjadi
hewan buas yang mengikuti naluri mereka. Mengarahkan cakar
serta taring ke musuh-musuhnya tanpa ragu.
Darah menyebar ke udara, diikuti jeritan kesakitan.
Arachne menjerat beberapa pemburu dengan jaring laba-
labanya, rudak bulu harpy itu terpantul oleh baju besi, hippogriff
menyerbu para pemburu berkali-kali dari atas.
Manusia hewan atau yang murni takkan mampu mendekat
tanpa terkena serangan itu.
“?!”
“Ha-haaaa—!”
Sayangnya, para pemburu tidak terganggu.
Seorang petualang nampak jatuh dan petualang lain
menggantikannya dari belakang, pukulan tameng tubuh yang
mengikuti tahu-tahu akan disisipkan sengkatan kaki untuk
menjatuhkan monster itu ke tanah . Kemudian mereka semua
hajar dengna bilah, menggunakan sekutu sendiri sebagai umpan,
parahnya lagi banyak cahaya sihir yang membawa penyembuhan
supernatural serta panah api.
Para pemburu kuat. Apalagi strategi mereka solid.
Tak satu pun berani menghadapi Xenos sendirian, mereka
jauh lebih kuat dari monster biasa. Sebaliknya, mengungguli
mereka dengan jumlah, menyerang cepat bak sekawanan serigala
ganas. Barangkali strategi paling mendasar manusia dalam
perburuan monster, namun efisien dan efektif. Terlebih lagi, para
pemburu mendesak Ranieh dan rekannya keluar dari formasi
dengan mengincar si gadis vouivre.
Empat Xenos berjuang gagah berani untuk melindungi
Wiene, yang tak mampu bertarung. Sialnya, mereka terdesak
makin jauh dan jauh seiring berlalunya waktu.
“Agh!”
Seorang Amazon menyusup melewati sekutu-sekutunya
yang terluka parah dan masuk dalam jangkauan serangan,
menghantam gadis harpy ke tanah dengan tendangan berputar
tinggi. Pada saat yang sama, mantar sihir tepat sasaran dan
menhempas hippogriff. Tatkala mencapai tanah, beberapa
tombak tanpa ampun menusuknya sekaligus. Ranieh fokus
melindungi Wiene dari rentetan tembakan panah dan kapan
tangan sampai-sampai tak melihat pedang besar Gran, untung
berhasil menghindar namun helmnya jadi korban.
Kelewat banyak senjata dan sihir tertuju pada mereka,
nampaknya para pemburu akan mengalahkan Xenos beberapa
saat lagi.
“ORHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!”
“Hah—GAHHHHH!”
Tiba-tiba, formoire meraung gemuruh hingga memekakkan
teligna dan mengayunkan gadanya lebar-lebar sampai beberapa
pemburu terbang.
Foh berdiri sendirian, sosok setinggi dua meter berdiri
kokoh entah berapa banyak pemburu yang memotongnya.
Strategi dan kerja sama tim belum cukup. Tak seperti monster
biasa, Foh dapat membaca gerakan mereka, masih punya
kesempatan untuk melindungi diri sendiri dari gelombang panah
serta sihir yang menghujani tubuhnya hanya meninggalkan luka
minimal. Formoire itu menerbangkan para pemburu, satu per
satu.
Seorang kurcaci berusaha memblokir gada dengan perisai,
namun tetap diratakan ke tanah akibat dampak kekuatannya.
“Gawat, Dix! Mahluk itu kuat amat!”
Salah seorang pemburu meringis putus asa. Bahkan lima
orang mengeroyok pun tidak cukup menekannya.
“Oh, ayolah. Cuma satu aja.”
Dix menyaksikanpertempurannya dari pintu masuk,
merespon sebal. Mengangkat ujung tombak yang diputar-putar
selagi mengangkat senjata merahnya.
Pria berkacamata google, sampai sekarang hanya penonton
saja, ia mulai bergerak.
“ORRROOGHHOOO!”
Foh si formoire tahu si pria santai itu ingin maju.
Melihat para pemburu yang terluka parah mulai mundur,
dia menyipitkan mata terhadap si pendatang baru. Otot-otot
bahu merenggang, Xenos mengincar kepala sip ria dan menyapu
gadanya ke samping sekuat mungkin.
Membuat garis lurus horizontal.
Udara melolong terhadap daya kuatnya.
Serangan tersebut bisa langsung mengubahnya menjadi
segumpal daging hancur, dan Dix—dengan lancar menangkisnya
dengan batang tombak.
“.”
Terpercik api beriringan suara keras senjata.
Satu tombak saja sudah cukup menepis gada besar,
serangannya menyentuh udara kosong.
Kendati tangan formoire tiga kali lipat lebih besar dari Dix,
si pemburu berhasil menahan serangannya.
Keterampilan serta teknik tersebut. Adalah pertunjukkan
kekuatan dan kemampuan terlatih seorang pemburu sembrono.
Sekejap sebelum serangan berikutnya, cibiran jahat pria itu
terlefleksi di mata hitam formoire.
Dix memanfaatkan momentumnya untuk melesat melalui
lawan dan berada di titik buta.
“Suatu kala aku babak belur karena menangkap monster
besar.”
Masih di ujung ayunan, pungugng Foh sama sekali tanpa
pertahanan.
Mata Dix mengunci sasaran kekar berototnya, kemudian
menusukkan tombak lurus ke depan.
“Kau tidak kuperlukan.”
Sring! Suara logam tajam mendengung di seluruh ruangan.
Ujung tombak rubellite2 menembus lempengan dada tebal
hingga ke batang tubuh kuat formoire.
Foh benar-benar ditembus, darah tersembur dari mulutnya.
“Foh?!”
Ranieh berteriak, masih bertarung sendiri di jauh tempat.
Wiene semata-mata berdiri diam menonton.
“Gurh, ooorgh ….!”
Gada terlepas dari genggamannya yang melemah.
Melihat ujung tombak menyeramkan yang menembus dada
tengahnya, formoire memegangnya dengan jari gemetar.
Ketika mencoba mengeluarkannya—Dix di belakangnya
tertawa kejam.
“Modyar koe.”
Ditarik ke atas dengan sekuat tenaga, ujung tombak
memotong sisa tubuhnya.
Si formoire, dada terpisah dari tulang dada, berlutut dan
jatuh ke tanah.
“.”
Persis sebelum menabrak lantai, Foh melihat ke samping
sebentar, mata tanpa nyawa bertemu sepasang pupil Wiene.
Darah mengalir dari tubuh Foh, tangan kanannya masih
memanjang—tangan besar berbulu yang pernah menyeka air
matanya. Gadis naga itu tercengang.
“… Foh?”
Tiada jawaban atas panggilan lirihnya.
Wiene mendengar arachne bertarung melawan lebih
banyak pemburu saat air mata mulai mengaburkan visinya.
“Orde, Cliff, Fia ….?”
War shadow terbengkalai bermandikan darahnya sendiri,
beberapa tombak menusuk tubuh hippogriff yang gugur, dan
harpy terbaring dengan wajah menghadap lantai, mungkin gugur
juga.
Siren telah berinstrirahat di lantai, cahaya hilang dari
matanya.
Wiene memanggil nama teman-temannya, semangatnya
hancur.
“T-tidak …. Tidak!”
Air mata tumpah dari mata kuningnya, menggores pipi biru
mudanya.
Emosi yang terkumpul telah meledak-ledak, merobek-
robek dirinya yang menjerit.
“TIDAKKKKK!”
Berteriak sekeras mungkin, dia bergegas menghampiri
formoire yang terbunuh.
Berlutut di sebelahnya, tak memperhatikan darah tangan
kanan besar yang dipeluk dadanya. Takkan pernah lagi menyeka
air matanya.
Dia tak tahu cara menghentikan air di matanya dan berlutut
saja di sana, meratap.
“Tidak, tidak, tidakkk ….!”
Terisak-isak, dia membasahi mayat formoire dengan air
mata.
Tidak mungkin terjadi.
Pasti hanya mimpi. Seseorang, tolong bangunkan aku!
Wiene memohon-mohon saat emosi membelah hatinya.
Namun Dungeon sunyi tak mengabulkan keinginannya, hanya
menunjukkan kenyataan dingin dari mayat di tengah-tengahnya.
Menempel pada sang formoire, isak tangisnya tak berhenti-
berhenti. Lalu ….
Bayangan gelap menutupi Wiene.
“Tak usah khawatir, monster.”
“.”
Dix menatap gadis naga yang tersedu-sedu itu sambil dan
menyeringai.
Dia tertawa, seakan-akan tidak ada yang lebih
menyenangkan ketimbang rasa sakit di mata si gadis.
“Kau takkan ditinggalkan.”
Mata berair Wiene membelalak terbuka.
Jubahnya mulai terlepas. Dix sekilas melihat permata indah
berkilau di sana dan mengayunkan tombak merahnya dengan
satu tangan.
Penglihatannya merah menyala. Pedih menjalar ke seluruh
tubuhnya.
Setelahnya Wiene pingsan.

“Gah, rarrrwwwh ….!”


Kedua tangan dan semua kaki laba-laba telah patah, Ranieh
bertarung sampai titik darah penghabisan.
Ruangan itu hening. Sangat sunyi, sampai-sampai
pertempuran barusan rasanya seperti mimpi tak terjangkau.
Tetapi, lantai dan dinding yang terkikis mengisahkan perjuangan
hebat baru saja berakhir. Walaupun banyak pemburu,
ruangannya masih sepi.
Ranieh diseret ke tempat Dix berdiri dekat gadis harpy.
“Mesti dengan cara kasar—ya!”
“GAH!”
“Duh, sakit tuh ….”
Pria besar, Gran, menendang Ranieh dengan ujung sepatu
botnya sebelum dilemparkan ke lantai tanpa ragu-ragu.
Menekan luka bekas bertarung melawan Ranieh, pria itu
merengut padanya. Banyak orang di dekatnya tengah mengurus
luka-luka dengan kombinasi sihri dan ramuan.
“….!”
Ranieh kehilangan helmnya, rambut putih indah dan kulit
bersaljunya nampak jelas. Berbaring tengkurap, dia melihat
sekeliling.
Wiene tergeletak tak sadarkan diri di sampingnya. Mata
gadis naga itu disembunyikan rambutnya, jadi sulit melihat
ekspresi wajahnya saat ini. Ranieh nampak jelas, namun banyak
memar dan benjolan di sekujur tubuhnya. Para pemburu mesti
menghajarnya untuk memastikan gadis tak sadarkan diri tetap
tak sadarkan diri. Jubahnya rusak dan robek-robek, bahkan sisik
kerasnya retak dan patah.
“Sejak kapan monster-monster ini jadi sangat kuat ….? Sial.”
“Formoire itu, kubilang ya. Monster semacam itu tuh adalah
Xenos terbaik.”
Foh sudah mati. Orde dan Cliff mati juga. Mereka bertiga
tak lebih dari tumpukan abu sekarang.
Harpy yang tiduran di sisi lain gadis naga masih bernafas.
Mata tertutup dan wajah mengendur, dia tidak sadar saja seperti
Wiene.
Hanya monster bersosok manusia saja yang dibiarkan
hidup.
Ranieh langsung mengerti artinya.
Merekalah para pemburu yang diperingatkan Fels si
pembawa pesan Guild. Orang-orang tersebut menangkap
monster seperti WIene dan dijual di pasar gelap untuk
memuaskan keserakahan mereka sendiri. Arachne tahu mereka
bermaksud menjual para Xenos kepada para pemberi tak dikenal.
Ranieh menggertakkan taringnya saat mendengar seorang
Amazon dan manusia hewan bercakap-cakap di dekatnya dan
terlarut dalam amarah dan ketidakberdayaannya sendiri.
“Hei, kalian semua. Ayo pergi dan bawah vouivrenya.
Semestinya masih banyak Xenos di sekitar sini, jadi tetap
bersiaga.”
Dix mengumumkan perintah sambil mengetuk tombak di
bahunya.
Para pemburu lainnya bergidik dan langsung menurut.
Mereka terbagi menjadi dua kelompok, satu untuk menjaga
monster yang mucnul dari dinding Dungeon dan satunya
mengurus Xenos.
….!
Tatkala Wiene diangkat dari garis pandangnya, Ranieh
memfokuskan kekuatan ke ujung jarinya.
Menunjuk vouivre, dia meluncurkan seutas sutra.
Normalnya digunakan untuk menjerat mangsa—jaring laba-laba.
Sangat disayangkan—syung!
“….?!”
“Kau mau apa?”
Ujung tombak merah ungu memotong jaring Ranieh.
Entah bagaimana, Dix mampu mendapati jaring yang
hampir tak kasat mata itu. Arachne lupa bernafas ketika Dix
menatapnya.
“Jaring …. Hendak meninggalkan jejak? Tidak semudah itu
Ferguso.”
Laki-laki berkacamata google nyengir-nyengir saat Ranieh
merengut dan gemetar marah.
Pria ini pintar, cerdik, dan licik.
Ciri-ciri itu membuat kawan-kawannya takut. Dia selalu
tenang dan bijak, tak meninggalkan celah apa pun. Ranieh yakin
rekan-rekan Xenosnya, Fels, dan pihak lainnya di dunia atas tak
dapat menemukan basis operasi para pemburu adalah karena
pria ini adalah pimpinannya.
Monster itu memelototinya dengan kebencian membunuh.
Namun Dix berdiri santai saja, tombak merah tersandar di
bahunya.
“Aww …. Yang satu ini tidak berbahaya lagi. Kita tidak usah
khawatir di dekatnya. Semakin melihatnya semakin membuatmu
bergairah.”
Menggenggam beberapa helai rambut putih Ranieh dan
menyeretnya ke mata sampai sejajar ejekannya.
Senyum Dix kian mendalam di depan wajah arachne, sorot
mata monster itu kesakitan dan marah, terbayang dari
kacamatanya.
“Yang satu ini mati.”
“….!”
Dia menjatuhkan hukuman mati, keputusan tanpa ampun
dari seorang hakim, juri, sekaligus algojo.
Pemburu lain berkumpul di sekitar Dix yang melepaskan
rambutnya dan berdiri.
Ranieh merinding saat melihat manusia mengeluarkan
senjata-senjata mereka dan mendekat.
“H-hei, Dix, boleh tidak?”
“Boleh ngapain?”
Saat ini, tiga orang pria menghampiri Dix dan menarik
perhatiannya.
Niat mereka nampak jelas dari senyuman aneh di wajah
masing-masing orang.
“Lagian juga nanti kita bunuh, jadi sebelum itu … boleh
bersenang-senang sedikit?”
“….”
“Kita tidak punya banyak waktu, aku tahu itu …. L-lihat saja
tuh. Bakal sia-sia.”
Awalnya Ranieh tidak tahu apa yang mereka bicarakan.
Namun, dia langsung mual dan jijik begitu mengerti.
“… terserah kalian sajalah.”
Dix menyentak dagu kepada Ranieh, ketiga pria itu tidak
bisa lebih bersemangat lagi, senyum gelap terpasang di wajah
mereka.
“H-heh-heh …. Baik-baik, ya?”
Nafas compang-camping, senyum mesum.
Tatapan yang rasanya tubuh seolah dijilat-jilat. Dia
mengerti.
Orang-orang ini punya fetish monster.
Daya tarik menyimpang yang dirasakan beberapa orang
kepada monster, lebih tepatnya monster humanoid layaknya
lamia atau monster yang punya karakteristik manusia.
Kebanyakan orang dijauhi dan dibenci karenanya.
Dan ketiga orang ini akan memuaskan fetishnya.
Bukan hanya merenggut nyawa teman-temannya, mereka
juga ingin menginjak-injak harga dirinya.
Dix dan para pemburu lain menonton saat para lelaki
bersemangat itu menghampiri Ranieh.
Tinju Ranieh mengepal meskipun tangannya patah, gemetar
terbalut amarah.
“H-hentikan ….! Jangan sentuh aku!”
“Jangan nafsu, heh. Kau tahan dululah.”
Para pria mengabaikan ancaman Ranieh yang meronta-
ronta lemah kemudian meraba-rabanya.
Terluka parah dan kalah jumlah tiga lawan satu, dia cuma
bisa mempertahankan tubuhnya sedikit. Tubuh bagian bawah
arachnid tersemat genggaman kuat mereka, kulitnya banyak
yang benjol-benjol. Baju zirahnya terkoyak, memperlihatkan
dada besar serta satu lapis kain sebagai garis pertahanan terakhir
dari mata mesum para pemburu
Wajahnya mulai menunjukkan tanda-tanda rasa takut
pertama sewaktu tangan mereka mulai merayap lebih dekat.
Laki-laki itu memperhatikan ekspresinya, jantung
penjahat-penjahat kelamin itu girang sadistik. Menjilati bibir
sendiri-sendiri, mereka menerjangnya.
“.”
Persis saat itu.
Paras Ranieh berubah dari ketakutan dari pelecehan tubuh
dan jiwanya menjadi sesuatu yang lebih bengis.
Taringnya dipamerkan, matanya menyempit dan
membentuk wajah monster ganas.
Membuka rahangnya lebar-lebar dan meludahkan cairan ke
ketiga pria itu dalam sekejap mata.
“Geh—GAHHHHHHHHHHHHHH!”
Jeritan-jeritan bercampur darah pun terdengar.
“K-kebakar ….!”
“M-mendidih!”
“Hahahahahahaha! Kalian ini ngapain sih?”
Terpikat oleh keterampilan akting Ranieh, tiga orang pria
itu terhuyung mundur merasa sakit luar biasa. Para pemburu
terkekeh sambil melihat para penjahat memegang-megang mata
atau jatuh ke lantai.
Monster serangga yang terkenal akan serangan racunnya.
Meski banyak monster yang diciptakan khusus untuk
mencegah mangsanya melarikan diri dari jaring, ludah Ranieh
sangat-sangat asam dan kuat hingga mampu mendidihkan
targetnya.
Alhasil, para pemburu menjauh dari kabut asap busuk yang
mengudara dari ketiga pria itu.
“M-MONSTER PANTEKKKK!”
Marah, trio yang telah terjebak perangkap arachne tak
terduga itu mengambil senjata masing-masing.
Ranieh melihat bilah logam menyala—dan tersenyum.
“—GHHH!”
Tiga pedang menembus tubuhnya.
Ujung bilah menancap lantai Dungeon, muncul dari
punggungnya.
Darah tersembur keluar dari tiga luka serta mulutnya.
Tercecer cairan merah di lantai, darah yang tidak berbeda
dari manusia.
“Agh, gh, ha … ha-ha! AHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!”
Teriakan kesakitan dan penderitan menjadi satu raungan
ganas.
Ranieh, yang bibirnya diwarnai merah serta licin darah,
mengayunkan tangan patahnya dengan sisa kekuatan terakhir.
Biarpun terluka parah, dia berhasil menyerang tiga orang pria
yang menikamnya. Mereka jatuh ke belakang, berteriak.
Dix bersiul sembari menonton para pemburu memanggil
satu sama lain, mempersenjatai mereka sekali lagi.
“Hah! Haaa ….! Takkan kubiarkan kalian mempermalukan
tubuh ini!”
Memaksakan tubuhnya untuk berdiri tegak kendati
anggota tubuhnya patah tulang semua, Ranieh menarik nafas
berat, kemudian berteriak sekeras mungkin.
Para pemburu menyaksikan, kaget oleh keteguhan luar
biasanya.
“Sekalipun … aku mati—takkan kubiarkan kau
memilikinya!”
Lalu, menggunakan tangan, Ranieh mengorek dadanya
sendiri.
Dix dan para pemburu terperangah tatkala Ranieh
memegang inti yang terkubur jauh dalam dagingnya kemudian
tersenyum berdarah.
“Gro … s—kuserahkan sisanya kepada—”
Kata-kata yang terucap itu adalah hal terakhir yang keluar
dari mulutnya.
Menguatkan genggamannya, dan krak! Semua orang bisa
mendengarnya—suara pecah batu sihir.
Arachne bermandikan darah namun sosoknya masih
memikat, ia hancur menjadi tumpukan debu di depan mereka.
Sesaat kemudian, debunya menghilang.
“… d-dia bunuh diri.”
Para pemburu mundur setelah melihat monster itu memilih
pelariannya.
Debu yang menumpuk di lantai ialah peninggalannya. Dia
bahkan tak meninggalkan drop item apa pun.
Pemburu-pemburu itu melihatnya dengan mata gemetar,
kematian berani namun sadis tertanam dalam-dalam di ingatan
mereka.
“Ho-ho …. Nah, itu namanya keren. Gayaku seperti itu.”
Dix adalah salah satu pemburu yang tak terpengaruh dari
kejadian barusan.
Melihat pemimpin mereka tak goyah oleh adegan tadi,
bawahan-bawahannya mulai pulih, satu per satu mulai
tersenyum tenang.
Pria berkacamata google mulai tersenyum kepada
tumpukan debu itu—monster yang masih tetap setia di lantai.
“Dia memang spesial. Satu-satunya orang yang boleh
melakukan itu adalah aku. Aku tak menerima perintah apa pun.
Ternyata kami cukup cocok,” kata Dix bicara sendiri, meskipun
dia pelakunuya.
Pemburu kaum Adam mencemoh, “Memangnya kau berhak
bicara?” mengundang pemburu lain tertawa terbahak-bahak.
Dix menyesuaikan kacamatanya dengan satu tangan dan
balik menghadap mereka sambil tersenyum.
“Kita bisa memanfaatkannya sebagai umpan dan menarik
lebih banyak Xenos yang barangkali berada dekat sini … tapi tak
perlu serakah. Kita pulang.” ujar Dix selagi berbalik.
Tiga orang pria yang dagingnya meleleh berdiri terhuyung-
huyung, dan pemburu lain mengikuti pemimpinnya keluar.
“Kita dapat vouivre. Lebih baik kita taruh ke pangkalan
terlebih dahulu.”
Gelap mata kepada abu milik arachne, para pemburu
meninggalkan tempat itu selamanya.
Sekelompok kriminal menyusuri ruang-ruang Dungeon,
tubuh harpy dan gadis vouivre bergoyang-goyang di tangan
pemburu.
Setetes air terjatuh dari mata kuning tertutup gadis naga
yang dibawa semakin jauh dan jauh meninggalkan rekannya.
Beberapa jam kemudian.
“… Ou.”
Seekor gargoyle mendarat di tengah ruangan penuh abu.
Tatapan monster itu jelalatan saat seekor unicorn dan
silverback muncul di sampingnya.
Pelindung dada berlubang mengaga di tengah. Gada
kebesaran. Jubah robek-robek serta satu set lengkap baju besi
berat teriris dua. Tubuh berbatu monster itu gemetaran dan
berguncang seketika melihat peralatan tersebar di antara abu.
Dari sana, gargoyle berjalan ke sisi lain ruangan dan
menjangkau tangkai bunga yang terjatuh.
Jari-jari gemetarnya menggenggam kristal merah yang
berada di lantai sebelum para perampok datang.
Garggoyle itu memegang kristal lain yang persis sama di
tangannya yang lain.
Gros melemparnya ke belakang dan menatap langit-langit.
“OOOOOOOOOOOOOOOOORRRRHH!”
Raungnya terbakar kemarahan dan menggema ke seluruh
labirin.

“?”
Aku berbalik dan memandang kejauhan.
Yang kulihat hanyalah dinding Dungeon dan langit-langit.
Cahaya penerangan yang letaknya acak antara persimpangan dan
ruang-ruang labirin nampaknya memanjang jauh. Sekelompok
petualang pastinya dekat sebab aku mendengar suara resah
mereka dari sekitar sudut terdekat.
Aku berdiri di tengah-tengah lorong, menatap lantai yang
sudah sangat sering ditapaki petualang-petualang lain.
Aku berani bersumpah tadi mendengar sesuatu … Dungeon
yang rasanya berguncang.
“BGYAAA!”
“!”
Melihat ke belakang, teriakan mendadak menarik
perhatianku.
Seekor goblin menyerangku. Berputar menjauhi sabetan
monster level rendah yang mengincar dada dan mengangkat
Pisau Hestia di tangan kanan.
Aku berada di Dungeon, lantai tiga.
Sudah lama tidak menghabiskan waktu di Dungeon lantai
atas sampai-sampai daerah ini kelihatan baru bagiku. Dulu
ketika pertama kali bergabung familia dewi, saat masih Level 1,
aku datang ke sini sepanjang waktu. Di sinilah petualanganku
dimulai.
Sudah berada di wilayah petualang kelas bawah sejak pagi.
“GIIII!”
Monster sinting itu menyabetku dengan kedua tangannya,
tapi aku menghindar ke kiri-kanan.
Gerakan goblin itu lambat dan lesu, kurang lebih aku
anggap begitu. Bisa saja kutanam pisau ke dadanya,
menghancurkan batu sihir dalam dirinya kapan pun jua.
Namun aku tidak bisa menyerang balik.
“UhhhhAHHH!”
“….!”
Goblin itu berteriak padaku, putus asa karena tak ada
serangannya yang tepat sasaran.
Mata marahnya terkunci padaku—hasratnya sampai
membuat bulu kudukku naik, tanganku bergerak-gerak.
Naluri bertarung atau insting kabur mengaum-ngaum
adalah dorongan alamiah agar aku menantang sang monster.
Pisau Hestia melengkung di udara.
“—GIAAA!”
Bilah ungu mengukir sepotong dada goblin.
Seperti yang aku inginkan, menembus batu sihir.
Goblin tersebut membeku di tempat, seolah tahu kristal
intinya telah pecah, kemudian memudar menjadi abu dalam
desiran lirih.
Aku kebiasaan membunuh monster menggunakan teknik
itu.
“….”
Melihat tumpukan abu di kaki.
Ada gigi tajam di tengahnya.
Drop item seperti biasa …. Kelamaan menatap taring goblin,
tidak sanggup memungutnya.
Aku pergi ke Dungeon ini karena ada hal yang mesti kucari
tahu:
Bisakah aku membunuh monster?
Bisakah aku berburu monster dan tetap menjadi petualang
Orario?
… aku … bisa melakukannya.
Aku membunuh beberapa monster sejak memasuki
Dungeon pagi ini.
Menghancurkan batu sihir, membuat mereka memudar
menjadi abu.
Ya, tapi—aku belum bisa memalingkan wajah dari
kebenaran yang menyulitkan segalanya, masih terjebak dalam
kesukaran ini.
Namun itu tidak terjadi sebelum bertemu Wiene.
Aku tahu monster yang dipanggil Xenos dapat merasakan
emosi dan memikirkan pribadi sendiri.
Kini, perkara membunuh monster … aku jadi menahan diri.
Walaupun masih bisa bertarung … tapi tidak sama seperti
dulu.
Aku bertanya-tanya apakah masih bisa kembali ke dulu-
dulu kala, berkelana di Dungeon sebagai petualang biasa.
Mustahil mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan itu dari
kepalaku.
Sedetik saja terhitung hidup-mati ketika melawan monster.
Cuma masalah waktu saja sebelum aku mati jika terus berpikir
demikian. Apalagi mati oleh cakar atau taring monster.
“GRUAHHH!”
“OOOO!”
Beberapa kobold dan lizard memanjat dinding ketika aku
berjalan-jalan di ruangan Dungeon. Menggertakkan gigi dan
melawan mereka dalam pertarungan.
Kelompok kecil itu mendatangiku sekaligus, tubuhku
merespon sendiri. Sambil menghindari serangan maut, nafas
sekarat mereka menggelitik telingaku saat Pisau Hestia
menghancurkan batu ungu gelap dalam tubuh mereka.
“Jadi jangan bimbang. Jangan menahan diri demi kami.”
Suara seekor lizardman berdering di telingaku setiap kali
bertatap muka dengan monster.
Hal terakhir yang dia katakan kepadaku di Desa
Tersembunyi Xenos sebelum berpisah.
“Janganlah kau mati. Aku ingin bertemu denganmu lagi.”
Aku cukup yakin diriku ini bakal tidak berguna kalau dia
tak mengatakannya.
Jangan mati—berkat nasihat itu aku masih sanggup
memegang senjata.
Karena dia … adalah monster yang mendoakan
keselamatanku agar kami bisa bertemu lagi suatu hari nanti.
“….”
Aku berbalik dari tumpukan abu yang tadinya monster
kukalahkan dan melanjutkan perjalanan. Ujung-ujungnya,
jawaban jelas tidak muncul sendirinya, walaupun sudah lama
direnungkan. Hatiku masih bermasalah, aku menuju pintu
keluar.
Mesti cepat-cepat mencapai kesimpulan desisif.
Itu hal terlogis yang pernah kulakukan.
Monster biasa betul-betul berbeda dari para Xenos macam
Wiene dan Lido. Meskipun aku ragu-ragu, monster-monster itu
akan tetap membunuhku. Orang dan monster ditakdirkan untuk
saling bertarung.
Namun demi menghasilkan uang … mengejar idolaku ….
Tidak apa-apakah membunuh mereka? Apa aku diperbolehkan
bertarung dan membunhu demi keuntungan pribadi?
Aku sadar saat ini tidak punya alasan untuk membunuh
monster.
Bila punya pemikiran seperti ini dalam kepala … aku takkan
bertahan lama.
“Bell Cranell ….”
“Si Pemula Kecil.”
Party terdiri atas manusia hewan, prum, dan manusia
hewan menatap diriku yang verjalan diam, barusan mereka
berbisik-bisik sendiri. Aku yakin mendengar gelarku dipanggil.
Tata letak Dungeon bentuknya lingkaran.
Semakin dalam lantai semakin luas pula daerahnya.
Lantai lima puluh, bagian lantai dalam, katanya seluas
Taman Pusat dunia atas. Aku penasaran apakah ruang di sini
sangat sedikit dibandingkan lantai menengah, namun rasanya
seakan-akan aku terus menemukan petualang lain di setiap
belokannya. Dan lagi, terdapat banyak sekali petualang kelas
bawah, masuk akal jikalau banyak orang saling berpapasan.
Kurasa ketenaran Hestia Familia dari Permainan Perang
melawan Apollo Familia masih ada dan terjaga. Orang-orang
seringkali mengenalku.
Memang benar setiap kali aku berkeliaran di lantai yang
cocok dengan levelku tidak ada banyak orang di sana—aku juga
sendirian—jadi aku yakin bakal ketemu banyak orang. Setiap
kali bersilangan mata, mereka terlihat linglung.
Tapi aku hanya bisa balik menatap saja.
Oh, aku sudah sampai sini ….?
Tiba di Beginning Road lantai pertama, aku berjalan menuju
celah terbuka yang menghubungkan Dungeon dengan dunia atas.
Ada tangga spiral di bawah Menara Babel, serta langit-langit
di atasnya dilukis berwarna biru langit. Nyaris tidak ada orang di
sini, karena pagi sudah lewat, dan aku perginya subuh-subuh—
tepat sebelum sarapan—tepat sebelum jam-jam petualang
pulang dari Dungeon. Mataku tertuju pada tangga keperakan
yang kunaiki satu per satu.
Satu kaki di atas kaki lainnya … seseorang berhenti di
depanku.
“Ah ….”
Ketika melihat ke atas, ada satu orang petualang di sana.
Pelindung dada perak juga satu pedang tergantung di
pinggang.
Rambut pirang panjang berkilauan cahaya lampu berbatu
sihir bagaikan sinar di padang pasir.
Sepasang mata berwarna emas seperti warnanya
menatapku.
“Aiz ….”
Tanpa sadar nama idolaku kupanggil.

“….”
Gadis berambut pirang dan mata emas bercakap-cakap
bersama seorang anak rambut putih sebelum kembali ke dunia
atas bersama-sama.
Seorang penyihir berjubah hitam diam-diam melihat
pemandangan itu melalui kristal biru yang diletakkan di atas
sebuah tumpuan.
“Terjadi sesuatukah, Fels?”
“… tidak.”
Tanggap singkat Fels kepada suara dalam dari balik jubah
bertudung hitamnya.
Ruang Doa di bawah Markas Besar Guild.
Keempat obor yang menyala di tengah ruangan itu
semuanya menjaga cahaya di ruangan berbatu sana. Tepat di
tengah kuil yang telrihat kuno ini terdapat sebuah altar
menjulang tinggi nan agung sebagaimana dewa yang duduk di
atasnya—Ouranus.
“Jadi, tidak ada pergerakan di bawah Babel.”
“Sayangnya tidak. Pemburu-pemburu ini …. Belum ada
tanda-tanda Ikelus Familia sedang melewati menara.”
Fels mengangguk, membenarkan pemikiran Ouranus.
Fels punya mata yang dipasang di atas lubang yang
mengarah ke Dungeon bawah Babel dalam bentuk kristal biru
bulat tersembunyi di ruang bawah tanah menara.
Sebuah okulus, salah satu dari sepasang kristal kembar
ciptaan Fels si Bodoh, dulunya ia dikenal sebagai Sage.
Setiap kristal dapat menampilkan apa yang dilihat dan
didengar pasangannya. Satu-satunya benda sihir di dunia yang
berfungsi sebagai alat komunikasi jarak jauh. Pembuatannya
sangat sulit, Fels kesusahan karena kekurangan bahan-bahan
pembuatnya, dan tingkat penguasaannya sangat tinggi sampai
Perseus pun tidak selevel. Sang penyihir juga memanfaatkan
burung hantu familiar yang telah diselamatkan dari kematian
dengan menggunakan salah satu benda sihir ini sebagai
pengganti mata butanya.
Fels menjadikan kekuatan ponsel okulus ini pengawas para
penjahat dan petualang daftar hitam—seperti mereka memantau
Wiene selagi dirinya berada di dunia atas.
Kegiatan-kegiatan itu adalah rahasia terjaga rapat-rapat
sampai bawahan Ouranus sendiri—dengan kata lain, para
pegawai Guild—bahkan tidak tahu Fels ada. Mengabaikan
pelanggaran kecil atau insiden tak diketahui, penyihir berjubah
hitam telah menjaga Kota Labirin selama bertahun-tahun untuk
memastikan kondisi Orario dan Dungeon takkan memburuk.
“Tidak ada perkembangan baru, Ouranus. Meskipun
identitas sejati musuh kita diketahui, melacak mereka adalah
suatu kemustahilan.”
Seluruhnya berkat upaya Hermes Familia, mereka hampir
yakin bahwa para pemburu yang bertanggung jawab atas
penjualan monster illegal di pasar gelap adalah Ikelus Familia.
Fels telah menggunakan okulus untuk mengamati pintu
masuk Dungeon selama perjalanan menuju Desa Tersembunyi
Xenos dua hari yang lalu. Sekalipun diawasi terus sejak saat itu,
tidak ada penampakan petualang Ikelus Familia lewat.
Pergerakan para pemburu tetap dibalik bayang, seakan-
akan mereka menertawakan usaha Fels.
“Karena mereka belum kembali ke Babel, entah berarti
masih bersembunyi di kedalaman Dungeon atau Rivira …. Lagi-
lagi, kedua hal itu sepertinya tidak mungkin.”
Inti masalahnya adalah cara mereka menghindari mata Fels
sembari mengangkut Xenos yang tertangkap ke dunia atas dan
menyelundupkannya ke luar dinding Orario.
Hanya satu kemungkinan saja yang tersisa.
Penyihir berjubah hitam berbalik dari kristal biru di
tumpuan dan menatap langung dewa yang duduk di altar.
Berusaha berbicara dengan suara tenang nan singkat, Fels
mengungkapkannya jelas-jelas.
“Persis seperti dugaan kita yang lalu-lalu …. Ada pintu
masuk lain Dungeon, terpisah dari Babel.”
“….”
“Benar juga, musuh kita yang menculik monster tidak
mengoperasikan pangkalan di dunia atas—”
Krak. Api di obor memercik-mercik.
Butir api jatuh ke lantai seketika mengheningkan Ruang
Doa.
Dalam cahaya redup ini, Fels dan Ouranus saling bertatapan
namun tidak ada yang berkata-kata.
“Situasi terkini para Xenos?”
Akhirnya, Ouranus angkat bicara.
Sarung tangan hitam berpola rumit Fels menghilang ke
lipatan kain gelap.
“Saya yakin mereka dalam perjalanan menuju Desa
Tersembunyi terpisah sebagaimana rencana …. Akan tetapi, saya
belum menerima kabar kedatangan mereka dari Lido.”
Kristal lain sama bentuk seperti yang berada di atas
tumpuan muncul dari jubah Fels.
Berada di dunia atas tak mencegah kontak rutinan antara
penyihir itu dengan Xenos, berkat sepasang okulus lainnya.
Benda sihir penting yang memungkinkan Fels mempertahankan
komunikasi kapan pun dimana pun mereka berada di Dungeon,
sekaligus menyampaikan misi penyelidikan atau penumpasan
Abnormal.
Namun, okulus punya satu kekurangan, yaitu hanya dapat
berinteraksi dengan pasangannya. Yang artinya, Fels
memerlukan pasangan kristal terpisah kepada setiap lokasi yang
membutuhkan pengawasan atau orang-orang yang
menggunakan jalur komunikasi. Terlampau rumit. Alhasil, jubah
yang menutupi seluruh tubuh Fels dipenuhi kristal.
Para Xenos diberikan beberapa okulus siap pakai, tetapi
pemimpin mereka, Lido, hanya membawa satu okulus yang
terhubung ke dunia atas.
Fels mengambil kristal kuning, hendak mengintip ke
dalam—mendadak kristal itu membeku.
“Ada apa?” Ouranus bertanya, merasa ada yang tidak benar.
Setelah jeda lama, sang Sage itu menjawab dengan suara
gemetar.
“Kristal Lido menggelap ….”

Suara bengis memotong udara.


Sebuah kristal kuning menabrak lantai dan pecah.
“—Apa yang kau lakukan, Gros?!”
Suara terkejut dan marah lizardman menggema di Pohon
Raksasa Labirin.
Pertengkaran itu terjadi di sebuah ruangan jauh dalam
Dungeon lantai 24. Spesies monster bermacam-macam sudah
berkumpul di ruangan gelap yang hanya diterangi Lamp Moss.
Monster-monster itu dipenuhi baju zirah dan senjata: Kaum
Xenos.
Lido si lizardman dan Gros si gargoyle berada di tengah-
tengah kelompok, saling menatap.
“Kenapa kau menghancurkan kristalnya!? Sekarang kita
tidak bisa menghubungi Fels dan ….!”
“Tidak ada alasan lagi untuk mendengarkan kata-kata Fels!
Maupun perintahnya! Kita tahu mesti melakukan apa!”
Kini satu-satunya okulus yang digunakan sebagai alat
komunikasi telah rusak, Lido menuntut penjelasan dari Gros.
Dimulai dari kabar kelompok Gros.
—Kelompok Ranieh telah dibantai habis, Wiene dan Fia,
tertangkap.
Mendengar berita itu, Lido menggunakan semua okulusnya
untuk memanggil setiap rombongan Xenos. Rei si siren dan para
pemimpin lain segera memimpin unit mereka menuju ruangan
saat ini untuk menerima detail dan berbagai informasi
setelahnya. Kemudian, persis tatkala Lido hendak memberitahu
Fels—cakar batu Gros menghancurkan kristal dari
genggamannya dan dibuang.
“Ucapan Fels sama saja! Tahan. Tahan amarahmu sekarang.
Cukup sudah! Toleransi kita sudah melampaui batas!”
Gargyole berwarna abu itu balas teriak, mengalahkan suara
Lido.
Fels dan mereka yang memihak mage hanya berusaha
merahasiakan eksistensi para Xenos. Gros tidak peduli lagi
keprihatinan orang-orang dunia atas.
Dia membendung amarah setiap kali rekan-rekannya
diculik, kini dia meraung murka.
Beberapa potongan baju zirah dan senjata rusak
dikumpulkan di kaki para Xenos.
Gros mengambil barang-barang peninggalan rekan mereka
yang telah gugur dan dibawa ke sini.
“Aku melihat semuanya, mendengar semuanya! Aku
menyaksikan perbuatan orang-orang itu, aku menonton
kematian Ranieh!”
“….!”
Dia membagikan sepasang kristal kembar dengan Ranieh.
Ironisnya, okulus Fels-lah yang membuat Gros tidak tahan
lagi, menyulut api hitam dalam hatinya. Setelah melihatnya
secara langsung pembantaian kawan-kawannya, tiada yang
mampu menahan kebencian mendidihnya.
Gros tidak sendirian.
Dua faksi Xenos, Lido dan Gros, saling bekerja sama.
Dari awal pun pihak Gros menganggap negatif ras dunia
atas—namun para Xenos yang berpihak kepada Lido marah
mendidih.
Mata griffin membara karena hippogriff telah dibunuh.
Seekor lamia mencambuk-cambuk rambutnya sambil
meratap, bersumpah akan membalaskan dendam.
Troll memukul tanah, tinju mengepal erat sampai-sampai
darah menetes di antara jemari sedangkan puing-puing
beterbangan di udara.
Unicorn, silverback, crimson eagle, metal gazelle ….
Sebagian besar Xenos tenggelam dalam kemurkaan.
Selain Lido, satu-satunya Xenos yang masih berpikir jernih
adalah goblin bertopi merah, Rei si siren yang diam saja, dan al-
miraj dengan kaki depannya menutup mata, menahan air mata.
“Kita tidak butuh bantuan Fels! Ataupun orang lain yang
mampu menghentikan kita! Ini masalah sendiri dan kita mesti
menyelesaikannya!”
Terguncang amarah, Gros melebarkan mata batu merahnya,
tidak bisa menangis, dia meraungkan deklarasi mengerikan:
“Balas dendam! Balas dendam demi Ranieh, Orde, Cliff, dan
Foh! Selamatkan saudara-saudara kita! Para penghuni dunia atas
akan menyesali hari ini!”
Gargoyle itu meraung-raung.
Xenos di sekitarnya turut bergabung, meraung setuju.
—Balas dendam! Balas dendam! Balas dendam!
Ruangan itu berguncang saat lebih banyak suara bergabung,
penuh intensitas.
Di tengah rekan-rekannya yang meraung tak mengindahkan
petualang atau monster terdekat, Lido meringis.
Tangan merah bersisiknya mengepal.
“Bunuh mereka semua! Bunuh seluruh dan semua orang
yang menghalangi kita! Bantai mereka!”
“Jika—jika kita melakukannya … kita sama seperti orang-
orang yang menculik Wiene dan Fia ….!”
Lido berteriak dari taring-taringnya yang menguat. Di
ambang air mata, lizardman itu mengeluarkan kata-kata dari
tenggorokannya.
Api di hatinya menyala sekuat faksi Gros. Hanya satu hal
yang membuatnya tidak menggila—dambaannya.
“Setelah semua usaha kita, segalanya yang telah kita lalui—
apa kau akan membuang seluruhnya?! Akankah kau
meninggalkan impian rekan-rekan kita yang telah gugur, bahwa
suatu hari nanti kita bisa melihat cahaya di dunia atas ….?!”
Dambaan terbesarnya adalah berjalan di tanah permukaan,
hidup berdampingan secara damai bersama manusia.
Lido tidak melepaskan hasrat kuat ini dalam hatinya. Cita-
cita itu memberikan tujuan dan alasan untuk hidup. Memohon
dengan Xenos lainnya untuk mencari tahu bagaimana mereka
berusaha melangkahi garis yang tak boleh dilintasi.
“Ada orang-orang seperti Bellucchi! Apa kau sudah lupa?!”
Lido memanggil nama seorang pemuda yang menjabat
tangannya.
“Tidak semua petualang, tidak semua orang itu jahat!”
Lido menuangkan segenap isi hati dan jiwanya dalam kata-
kata, tetapi tidak ada gunanya.
Rekan-rekannya sudah lama mati.
Tak bimbang, Gros langsung membalas.
“Berapa kali kau mesti dikhianati sampai mengerti?!”
“!”
“Dimana semua orang yang menunjukkan kebaikan kepada
kita sekarang?!”
Banyak Xenos cukup beruntung untuk menemui para
petualang yang berbelas kasih sebelum bertemu Bell. Lido dan
kelompoknya menemui secercah cahaya setiap kali itu terjadi.
Akan tetapi, ketika terjadi suatu desakan, mereka semua
memihak ras permukaan.
Mengabaikan Xenos kepada nasib masing-masing.
“Nanti bocah itu akan mengkhianati kita! Suatu kala nanti
dia akan meninggalkan kita! Orang dan monster tidak bisa hidup
damai bersama!”
“….!”
“Buka matamu, Lido!”
Gargoyle itu tidak memukul tatkala memaksa sang
lizardman untuk menyerah pada mimpi absurdnya.
Lido tidak punya respon, sedikit melawan saja sewaktu
Gros mendorongnya ke samping dan menyuruh para Xenos
beraksi.
“Kita akan mengembalikan teman-teman kita, apa pun yang
terjadi! Harapan terakhir Ranieh takkan sia-sia!”
Gros merentangkan sayap berwarna abu-abunya dan
terbang keluar ruangan.
Menjawab gemuruh gargoyle, Xenos lain mengikutinya.
Sejumlah tiga puluh monster berkumpul demi mencapai
satu tujuan bersama.
“Tidak ada gunanya, Lido …. Tidak ada yang bisa
menghentikan mereka sekarang.”
Lido merosot, tersiksa sebab tak bisa menghentikan
sekutunya tepat waktu, Rei mendekat dan berbicara kepadanya.
Menyelipkan kedua tangan bersayap di dadanya seolah
mendekap badan sendiri, cuma itu yang dapat dia lakukan biar
bahunya tak gemetar.
“Sialan ….”
Melirik siren yang menahan amarahnya sementara
wajahnya berkerut.
Lalu melihat lurus ke atas, menatap bentang alam yang tak
pernah dilihatnya.
“Maaf, Fels …. Bellucchi.”
Permintaan maaf hampanya sirna termakan kegelapan.
Dadu sudah dilempar. Satu-satunya pilihan adalah
melangkah maju.
Bahkan jika segalanya tak mampu kembali seperti semula—
paling tidak rekan-rekannya bisa dibebaskan.
Isi kepala Lido sudah bulat. Pada saat yang sama, ia
membuka penahan amarah yang seketika melingkup hatinya.
Emosi mentah yang disegel rapat-rapat kini menelannya.
Lizardman memancarkan aura ganas sembari mengambil
longsword dan scimitar di kakinya dari tanah.
“Rei, Lett. Ikut aku. Kita ikuti Gros.”
“… ya.”
“Dimengerti ….”
“Aruru, cari orang itu.”
Mata bundar al-miraj menatap wajah Lido tanpa ekspresi
dari siren dan goblin bertopi merah.
“Semestinya mereka sudah sampai di Desa Tersembunyi
sekarang. Jelaskan situasinya dan bawa mereka.”
Monster kelinci tetap diam dan mengangguk, telinga
panjang menyentak ke depan.
Lengkingan pendek bernada tinggi, al-miraj itu melompat
ke hellhound yang menunggu di sampingnya. Menunggangi
punggungnya bak kuda, dan hellhound itu pergi. Jaket biru si
kelinci berkibar tertiup angin.
“Ayo pergi.”
Lido dan sekutu-sekutunya mengejar Gros.
Ekor tebal bak ular lizardman memecut ke sana-kemari saat
menambah kecepatan.
Mata kuning merah di sosoknya—sudah mirip seperti mata
monster.

“Falgar, mereka di sini—bocah-bocah Ikelus.”


Menyembunyikan lambang mereka, menggambarkan topi
dan sandar pengelana bersayap, sekelompok kecil orang mulai
mengikuti tiga pria.
Mengekor para pendatang baru, mereka berbaur dengan
arus petualang-petualang Rivira. Seperti biasa, kristal bersinar di
atas kepala mereka.
Cahaya berbinar dari formasi batuan yang bentuknya
seperti bunga krisan mekar, menunjukkan lantai delapan belas
telah memasuki sore hari. Petualang kelas atas hilir mudik dari
kota kecil di atas pulau dan di tengah-tengah danau besar.
Banyak orang mengunjungi hotel, toko, dan bar sebagai
pangkalan untuk menjelajah lebih dalam ke Dungeon atau titik
peristrirahatan menuju dunia atas. Berkat berbagai bisnis kota,
negoisasi panas antara pedagang serakah dan para penduduk
sudah lazim terjadi.
Teriakan marah meramaikan hiruk-pikuk kota dengan tawa
hangat tatkala anggota dari dua familia rival saling menatap di
jalan. Kemudian perkelahian meletus sesudahnya, namun tiada
seorang pun yang mengalihkan pandangannya dari kota para
pengembara ini.
“Boris!”
“Y? Ada apa?”
Tidak lama sampai para penduduk desa diramaikan suara
batu dan kristal bergerigi pertanda sesuatu aneh sedang terjadi.
“Monster-monster nampaknya gelisah … ada yang janggal.”
Para petualang berperalatan lengkap berkumpul di tebing
berniat mencari pemandangan takjub.
Setiap pasang mata tertuju pada lokasi di tengah hutan dan
dataran titik aman.
Di tengah lantai, di bawah akar-akar Pohon Sentral
bersemayam ….
“Itu ….”

Karena aku sudah keluar dari Dungeon, langit telah cerah nan
biru seperti biasanya.
Matahari tepat di atas kepala, siang hari pasti sudah dekat.
Aku cukup jauh dari jalan utama. Banyak jenis toko
berjejeran di sepanjang jalanan kota. Ada kerumunan orang di
sekitar toko bunga yang pegawainya beberapa manusia hewan
tanpa familia. Beberapa anak-anak bersama mereka, senyum
cerah terpasang di wajah ketika melihat tanaman berwarna-
warni tersebut. Aku melihat mereka sebentar sampai sadar ada
yang menatapku.
Sejenak, dikelilingi suara-suara ramai lagi damai kota, aku
merasa seakan tersesat ke sejumlah tempat asing.
Menghapus pemikiran itu dari kepala, aku berjalan
melewati semua toko dan berhenti.
“… um, maaf. Karena, kau tahu, menyita waktumu.”
“Tidak apa-apa.”
Kami saling berhadapan di tanah kosong yang dikepung
rumah-rumah. Hanya Aiz dan aku.
Selama pertemuan kebetulan kami di tangga spiral Babel,
aku menghentikannya sebab diriku tahu betul dirinya hendak ke
Dungeon.
Alasannya, aku tak yakin. Namun aku tengah mengejar
idolaku sejak lama, dan merasa ada sesuatu yang perlu
kutanyakan padanya.
Pikiranku tak mau tenang. Aiz pastinya memperhatikan
perjuangan batinku dan menyarankan kami sebaiknya pergi ke
tempat lain. Meninggalkan Babel, kami mulai mencari-cari sudut
kota tak berpenduduk. Dan di sinilah kami, saling bertatap
wajah.
“….”
“….”
Mata kami saling bersilangan.
Sudah berapa lama kami berdua sendirian seperti ini?
Kecantikannya melebihi elf atau bahkan dewi, melihatnya
saja sudah cukup membuatmu melupakan jalannya waktu.
Parasnya tak mengungkap banyak emosi, dan aku tidak tahu juga
dia sedang memikirkan apa, seolah-olah matanya terus tertuju
padaku.
Aku hampir melupakan segalanya, bahkan jika mulai
berpikir pun, isi pikiranku hanyalah: Kalau saja kilau emas itu dapat
terus menyihirku ….
“… ada apa?”
Aiz bertanya pelan.
Kata-katanya penuh makna. Seakan-akan mata emasnya
menembus isi benakku. Seakan dia bertanya, Ada apa? Kenapa kau
kelihatan bingung begitu?
Paru-paruku rasanya tegang. Jantungku berdegup kencang
sampai kedengaran telinga.
Mulutku mengering …. Akhirnya, aku berhasil
menyampaikannya.
“Aiz ….”
“….”
“Bila monster punya alasan untuk hidup … punya perasaan
seperti kau dan aku, bagaimana tanggapanmu?”
Aku sudah mengutarakannya.
Seandainya kau menemui monster yang bisa tersenyum seperti orang
lain, meresahkan banyak hal, meneteskan air mata layaknya orang lain—
masih bisakah kau menghunuskan pedang kepada mereka? Aku
menanyakan seorang wanita yang kupuja.
“….”
Aiz menutup bibir tipisnya.
Meskipun dia hampir seratus persen tak paham mengapa
aku mengajukan pertanyaan itu, dia masih memikirkan jawaban
jujur ketimbang merespon santai atau menganalisis pertanyaan.
Waktu berlalu.
Angin hangat musim panas melintasi kami.
Tak sedetik pun mengalihkan pandangan dariku, Aiz
akhirnya membuka mulutnya.
“Apabila monster melukai seseorang …. Tidak, bukan itu.”
Dia berhenti di tengah-tengah kalimat, menggelengkan
kepala—kemudian menyatakan jawabannya.
“Bila ada orang yang menangis karena suatu monster—
maka akan kubunuh monster itu.”
“!”
Bahuku melompat setelah mendengar kata-katanya. Aku
tak bernafas.
Aiz mengucapkan niatnya tanpa ragu-ragu sedikit pun.
Kendati monster itu punya jiwa seperti manusia, dia akan
membunuhnya di tempat.
Balasan idolaku terang-terangan dan brutal. Diriku
membeku.
Saber Aiz tanpa ampun akan merobek Wiene dan Xenos-
Xenos lain …. Gambaran tersebut terbesit dalam kepalaku.
Terkejut, aku menatap raut wajah stagnannya.
Malahan, matanya bertanya kepadaku:
—Sanggupkah kau membunuhnya?
“….!”
Benar juga. Aku kehilangan seseorang yang penting.
Kakek, orang tak tergantikan dalam hidupku, dibunuh oleh
seekor monster.
Dan aku teringat betapa tersedunya diriku menangis saat
itu terjadi.
Akasan aku tak termakan oleh kebencian dan hasrat untuk
balas dendam adalah karena tidak pernah benar-benar melihat
mayatnya dan terasa begitu kesepian kala itu sampai-sampai
amarahnya tak punya peluang untuk menguasai tubuh ini.
Aku tertegun, berdiri di tengah-tengah idealisme dan
kenyataan, antara manusia dan monster.
Jantungku berdebar-debar di hadapan tatapan Aiz.
“Aku—
Kemudian ….
Baru saja berkeringat dan mengerahkan seluruh keberanian
untuk bicara—saat itu pula ….
Dong! Dong!
Dentang menggema di cakrawala.
“?!”
Aku dan Aiz mengalihkan perhatian.
Lonceng yang berdentang setiap siang hari? Tidak.
Lonceng itu selalu berdentang dari ujung timur, tetapi suara
ini jelas dari utara. Terlebih lagi, bunyi dentangnya tak normal.
Tampaknya si pembunyi lonceng lagi terdesak.
“Arah sana, kemungkinan besar Markas Besar Guild ….
Kotanya diberi lonceng peringatan?”
Tutur Aiz membuat bulu kudukku merinding.
Ya, kini aku mengerti. Tak lama ini sedang mendengar
lonceng-lonceng itu.
Tatkala pasukan Rakia—sewaktu Ares Familia
melancarkan serangan ke Orario, mereka membunyikan bel bear
yang sama di atas Markas Besar Guild.
Alarm hanya bisa digunakan untuk mengumumkan keadaan
darurat. Pastinya sistem peringatan Orario.
Aku menahan nafas saat bunyi loncengnya menyerang
gendang telingaku.
“—Darurat! Darurat! Perhatian kepada seluruh familia di
Orario! Guild akan segera mengeluarkan misi!”
Benar sekali ketakutanku telah dikonfirmasi, batu sihir
membawakan suara dari Markas Besar Guild.
Suara blasteran elf yang nampaknya kukenal menggema di
seluruh jalan-jalan kota.
“Monster yang dilengkapi baju zirah dan serba-serbi senjata telah
menghancurkan Rivira di lantai delapan belas! Telah dipastikan
sebagian besar jumlah mereka sedang bergerak!”
—Lalu sampailah pukulan K.O, mengosongkan paru-
paruku.
“Guild memerintahkan penyebaran para petualang untuk
memusnahakan—Apa? A-anda yakin? D-dimengerti.”
Ketika dunia mulai runtuh di sekitarku, sang penyiar
berhenti bingung sesaat sebelum melanjutkan.
“Seluruh penduduk, termasuk para petualang, dengan ini
dilarang memasuki Dungeon! Guild akan menghubungi para
familia secara langsung. Dimohon tetap berwaspada di rumah
masing-masing! Sekali lagi ….”
Urgensinya jelas sekali.
Mata intens Aiz mengarah ke langit. Aku terbungkam
seribu bahasa.
Rivira, dihancurkan?
Monster bersenjata? Sebagian besarnya tengah bergerak?
Lido dan kawan-kawan …. Wiene?
Mustahil. Apa yang ….?
Gelombang panas menyerbuku seiring berputarnya kepala,
tak ada henti-hentinya. Kebingungan dan kekacauan membanjiri
setiap titik eksistensiku, keringat mengaliriku.
Lonceng peringatan bergema tanpa henti di seluruh kota,
penglihatanku mengabur.
Kehidupan sehari-hari kami rasanya telah jungkir balik.
Berita buruk tersampai begitu saja dan mengandaskan kota
dalam ketakutan.
Masalah akan segera menimpa Orario.

Catatan Kaki:
1. Tundra adalah suatu bioma tempat terhambatnya
pertumbuhan pohon dengan rendahnya suhu lingkungan
sekitar. Oleh karena itu, daerah ini disebut daerah tanpa
pohon. Tundra terdapat di wilayah bumi sebelah utara dan
terdapat di puncak gunung yang tinggi. Iklim kutub dengan
musim dingin yang panjang serta gelap dan musim panas
yang panjang dan terang terus-menerus serta memiliki
curah hujan yang rendah menjadi corak khas bioma ini.
2. Turmalin adalah kristal silikat dengan unsur-unsur mineral
seperti aluminium, besi, magnesium, natrium, litium, atau
kalium. Turmalin diklasifikasikan sebagai semi-batu
berharga.
• Warna merah dan pink = rubellite
• Warna biru = indicolite / indigolite
• Warna hijau = verdelite
• Warna kuning = dravit
• Warna hitam = schorl
• Tak berwarna = achroit

Punya Dix itu rubellite, artinya merah pink.


Volume 10 Bab 8
Kepanikan Kota

Penerjemah: DarkSouls
“Dengar kata-kataku! Monster-monster membawa senjata
menyerang kami! Rivira sudah musnah, tersapu habis!”
Seorang pria berteriak, sekujur tubuhnya terluka.
Membanting tinjunya yang berdarah-darah ke meja, tetes-
tetes merah turun ke bawah. Para resepsionis dan karyawan
Guild langsung pucat pasi ketika mereka mendengarkan laporan
Boris, sebab dialah pemimpin Rivira, kelihatannya baru saja
berhasil kabur.
Markas Besar Guild kacau-balau.
Penduduk kota Rivira terdesak dan merengsek masuk ke
lobi marmer putih ke etalase penerima tamu setelah hampir mati
di lantai delapan belas. Sebagian besar petualang yang
berkeringat jatuh ke lantai karena kelelahan, banyak juga yang
menderita cedera parah.
Alasan mereka memaksakan diri dan memaksa masuk lobi
Guild jelas sekali.
Mereka perlu memperingatkan orang-orang dunia atas
mengenai serangan Abnormal yang terjadi di Dungeon.
“Mereka datang jauh-jauh dari Pohon Sentral! Bermacam-
macam spesies ada di sana, satu-satunya kesamaan adalah
mereka semua terlalu kuat!”
Monster misterius bersenjata dari lantai bawah. Mahluk-
mahluk ini, pastinya subspesies khusus, punya potensi bertarung
satu lawan satu melawan petualang. Mereka langsung menuju ke
pulau di tengah danau, kota Rivira, dan meraung di sepanjang
jalannya.
Masyarakat Rivira terbiasa berurusan dengan Abnormal,
namun serangan ini lebih cepat dari serangan mana pun. Tatkala
dinding luar ditembus, Pos-pos kota terdepan Dungeon langsung
dikuasai. Tak mampu melancarkan banyak serangan balasan,
warga sipil yang kebetulan berada di kota bergabung bersama
petualang dan balik ke dunia atas.
Inkarnasi Rivira ke-334 telah runtuh.
“Spesies apa? Ada berapa banyak?!”
“Apa kau dikejar?! Seberapa jauh mereka datang?!”
Para penyembuh berjalan di antara para petualang atas
perintah karyawan Guild, merapalkan sihir penyembuhan,
membagikan barang-barang penyembuh, membungkus perban
luka-luka sedangkan resepsionis berusaha mengumpulkan
informasi sedetail mungkin. Sembari melanjutkan interogasi dan
analisis, mereka mulai memahami situasi terkini—Abnormal
berjumlah besar.
“T-tolong tunggu sebentar! Bagaimana k-korban jiwa para
petualang ….!?”
“Kami sebagian besar berhasil kabur, tapi … beberapa tidak
berhasil. Sekarang, mereka telah ….”
Boris mengerutkan alis ketika mengutarakan kebenaran
menyedihkannya. Misha, seorang resepsionis berambut merah,
mendengarkannya sambil menangis.
“Ini sungguh-sungguh buruk ….!”
Situasi parah ini kian memburuk tatkala Eina kembali dari
penyampaian pengumuman darurat.
Blasteran elf itu melihat seluruh lobi Guild, wajahnya
berubah sedih.
“Oh, Tulle, kau kembali. Kita butuh lebih banyak orang,
cepat bekerja.”
“Tentu saja, Pak! Sebelum itu saya boleh bertanya?”
Atasan manusia anjingnya buru-buru menemui si bawahan,
namun Eina mengajukan pertanyaan.
“Kenapa pengumumannya berubah ….?!”
Dungeon sekarang dilarang oleh semua petualang. Mereka
diperintahkan untuk berdiam diri di rumah dan menunggu
instruksi lebih lanjut.
Waktu adalah kemewahan yang tak mereka miliki.
Kota Rivira telah jatuh oleh sekelompok monster yang naik
dari lantai dalam. Kota itu adalah titik aman sekaligus garis
pertahanan terkahir mereka. Tanpanya, Guild—tidak, semua
orang yang tinggal di dunia atas—mesti mempertimbangkan
kemungkinan para monster menerobos dan keluar ke dunia atas.
Bila benar terjadi, maka para dewa-dewi yang melindungi
Kota Labirin kehilangan tempatnya di sini, seluruh dunia akan
dalam bahaya.
Sebagaimana dua familia terkuat gagal membunuh Naga
Hitam—ketika mereka gagal menyelesaikan Tiga Misi Besar
masa lalu—dunia, seperti yang mereka tahu, berada di ambang
kekalutan.
Eina tak dapat menerima perubahan perintah begitu saja.
“… itu keputusan manajemen puncak.”
“Manajemen puncak?!”
“Iya. Mereka memaksa kita mengubah pengumumannya ….
Dan lagi, bos tidak kelihatan senang. Menurutku, keputusan ini
tidak hanya datang dari atasan ….”
Manusia hewan ramping itu sangat yakin karena
maksudnya sudah cukup jelas.
Mata hijau zamrud Eina melebar di balik kacamatanya.
Tak mungkin! Hatinya menangis.
“Lord Ouranus ….?”
“Dewa Ouranus! Kenapa Anda mengeluarkan perintah
semacam itu ….?!”
Seorang Elf gemuk berteriak putus asa, wajahnya bersimbah
keringat.
Di Ruang Doa, di bawah Markas Besar Guild ….
Ouranus mendengarkan permintaan mati-matian dari
pemegang pangkat tertinggi Guild, Royman Mardeel, dan
tanggapannya senantiasa sama.
“Tenanglah, Royman.”
“Tenang?! Keadaan darurat tidak sampai seburuk ini!
Apabila kita tidak mengentikan serbuannya sekarang, takkan
ada lagi yang akan menghentikan mereka di sini! Andai kata
sanggup menembus hingga ke dunia atas, seluruh kekuatan
Guild, p-p-pengaruh kita akan goyah .…!”
Tubuh bak babi Royman merinding, seruannya gemetar
takut.
Dewa tua tetap tabah ketika menanggapi kepala Guild, yang
lebih menggalaukan kehilangan pengaruh politiknya ketimbang
kejatuhan pemerintah kota.
“Jikalau monster-monster ini ingin menembus dunia atas,
mereka sudah mengekor para petualang Rivira dan sudah di
ambang pintu Babel sekarang.”
“I-itu … masuk akal.”
“Tidak salah lagi ini Abnormal. Meskipun begitu, terlampau
dini untuk menyatakan kotanya sedang dalam bahaya.”
Ouranus melihat wajah elf gemuk itu melega kemudian
secara resmi menghilangkan ketakutannya.
“Terlebih lagi, Doa-doaku belum tertolak.”
“Ohhhh ….!”
Wajah Royman bersinar terhadap pernyataan itu.
Dewa yang dikenal sebagai Bapak Orario, Ouranus menjaga
Dungeon dengan memanjatkan Doa dari ruangan ini. Kehendak
kuat ilahiah dan tak terduga memungkinkan para petualang
mendapatkan penghasilan dari Dungeon sebab mencegah para
monster bermigrasi ke dunia atas secara massal.
Ouranus mengemban begitu banyak wewenang sampai-
sampai pemastiannya lebih meyakinkan daripada ribuan
penjelasan logis. Seluruh keraguan terhapus dari benaknya,
Royman akhirnya tenang.
“Mengirim banyak familia dalam pertempuran sekaligus
hanya akan memancing kekacauan. Ganesha Familia akan
membentuk tim penaklukan. Tugas mereka adalah
menyelamatkan para petulang di Dungeon dan menginvestigasi
lantai-lantai di bawah lantai menengah. Sampaikan pesannya
kepada yang lain.”
“Ya, segera!”
“Instruksikan lagi. Pergilah.”
“Y-ya.”
Badan berat Royman berlutut di hadapan sang dewa, lalu
bangkit dan berbalik.
Cepat-cepat menaiki tangga panjang yang terhubung ke
lantai pertama, perjuangannya membuat perut buncitnya
memantul-mantul.
Lalu, seakan hampir menggantikan kabar baik—
“Gawat ….”
“Benar.”
—Muncul bayangan dari kegelapan di ujung ruangan,
membentuk wujud Fels.
Ouranus menampakkan ekspresi yang lebih serius lagi
tatkala raga dan emosi sang penyihir terbentuk sendiri.
“Royman bertindak terlebih dahulu sebelum kita
mendapatkan informasinya.”
“Aku lebih suka memahami situasi dan menyusun rencana
sebelum kepanikan terjadi ….!”
Monster penuh perlengkapan yang diyakini termasuk
berbagai subspesies telah menyerbu lantai delapan belas. Yakin
bahwa demikian merupakan tanda-tanda penembusan dunia
atas, Royman dan anggota Guild manajemen puncak lain telah
menjatuhkan keadaan darurat kepada kota.
Reaksi alamiah bagi orang yang tak mengenal keadaan
sekitar kejadiannya. Kemunculan monster yang bukan dari lantai
pertengahan saja, melainkan lantai dalam—monster-monster
biasanya berasal dari satu sampai dua lantai di bawahnya—hal
demikian saja sudah cukup memicu teror.
Ouranus, yang memahami gambaran sepenuhnya, terlambat
bereaksi.
Walaupun terlambat, mereka mengambil pilihan terbaik
berikutnya dan mencoba mengatasi gelombang kepanikan
dengan meralat pengumuman dan misinya.
“Misal informasi kita akurat, para Xenos-lah dalangnya.
Alasan mereka belum pasti, tapi mereka menyerang Rivira ….!”
Jubah hitam Fels berdesir. Dia tak mempercayai kata-kata
itu.
Sang penyihir, yang dipanggil Si Bodoh, berjuang melawan
kompleksitas batin.
“Menurutmu apa yang terjadi, Fels?”
“Kemungkinan besar insiden ini serta kehilangan kontak
Lido saling berhubungan. Hanya dugaan saja, tapi … serangan
pemburu? Dan karena sesuatu membuat mereka menyerang Rivira
….”
Ouranus mengajukan pertanyaan tersebut kepada Fels yang
bertanya pada diri sendiri. “Amarah monster, bukan ….?” Ouranus
duduk tenang di altar sembari menutup mata. “… perintahku
tetap. Persiapkan familiarmu.”
“Lantas ….”
“Ya. Pertama-tama, seperti yang kukatakan kepada
Royman, suruh Ganesha Familia pergi ke lantai delapan belas.
Pos pertahanan mereka di seluruh kota dan gerbang perlu
digantikan. Peserta misi akan dipilih sendiri dari sekutu-sekutu
terdekat kita.”
Mengirim Ganesha Familia ke Dungeon adalah kedok saja
untuk meyakinkan publik bahwa para elit kebanggaan akan
menjaga kerusakan oleh monster seminimal mungkin.
Akan tetapi, alasan sejatinya, adalah memastikan bahwa
para Xenos tak terbunuh dalam pertarungannya. Sekaligus usaha
pencegahan agar mereka tak bisa melancarkan pembantaian
kepada petualang.
Semuanya sudah bergerak. Sebagai badan pemerintahan
Orario, pilihan Guild adalah bertindak.
Di sisi lain, manajemen puncak Guild tidak mengetahui
monster-monster cerdas ini, Ouranus mengerahkan sekutu
terpercayanya, Ganesha, untuk menangani situasi terbaru
sesegera dan serahasia mungkin.
“Bagaimana Hermes Familia?”
“Mereka masih melanjutkan penyelidikan Ikelus dan para
pengikutnya. Saat semuanya sudah siap, Fels, sertai Ganesha
Familia.”
Dewa senior menambahkan bahwa dirinya akan
memberikan perintah langsung kepada Royman. Fels menaati
perintah dewanya.
Selanjutnya, persis saat penyihir berjubah hitam hendak
pergi ….
Ouranus membuka mulut dan matanya gelisah.
“Fels—sertakan Bell Cranell ke dalam misinya.”
“… Ouranus, itu—”
“Nanti jawabannya akan datang. Kita akan menguji bocah
itu … satu-satunya petualang yang berjabat tangan dengan Xenos
….”
Ouranus mengungkit peristiwa di Desa Tersembunyi Xenos
sambil menyipitkan mata.
“Apakah dia seorang anak yang terhanyut dalam situasi ini,
ataukah manusia yang dikendalikan para dewa-dewi, atau
mungkin ….?”
Tutur dewa itu bergema ke ceruk-ceruk gelap ruangan.
Fels mengangguk beberapa saat kemudian, jubah hitam
diterangi nyala api obor.
“Saya mengerti …. Dan saya sekali lagi akan mematuhi
kehendak ilahiah Anda.”
Penyihir itu sekali lagi balik badan dan pamit undur diri dari
altar.
Sang dewa tetap diam, mengamati seksama ketika fase
situasinya kian meningkat.

Kerumunan manusia hewan telah berkumpul di halaman


depan.
Pantheon—Markas Besar Guild—semakin ramai seiring
langkahku dan Aiz menghampirinya.
“!”
Panas dan kegaduhan di sini membuatku syok.
Para petualang yang berdarah-darah tergeletak di lantai,
yang lainnya mengomel-omel marah di resepsionis konter, dan
kayawan Guild lagi kalang kabut.
Aku dan Aiz tidak mendengarkan instruksi
pengumumannya. Alih-alih, menyerbu langsung Markas Besar
Guild.
Aiz ke sini untuk mengumpulkan informasi sebanyak
mungkin, kalau aku, aku tidak bisa sabar menunggu di rumah
saja. Aku mesti tahu mengapa perintahnya demikian, alhasil
berlari terbirit-birit menghampiri meskipun syoknya belum
sembuh.
“Semua orang ini ….!”
“Ya, mereka dari Rivira ….”
Aku melihat-lihat lobi, terengah-engah. Aiz berdiri di
sampingku: santai, tenang, fokus. Nafasnya normal, dia
mengangguk.
Informasinya mengalir dari banyak sumber. Para penduduk
Rivira, yang telah melepaskan diri dari genggaman maut, sedang
berlindung dan membuat banyak keributan sampai situasi
kotanya berubah drastis. Dan juga, bukan kami satu-satunya
petualang, termasuk beberapa dewa-dewi telah tiba ketika
mendengar kabarnya terlebih dahulu dan menarik karyawan
Guild setiap kali ada orang lewat.
“Kita takkan punya kesempatan lagi untuk menguak
informasi ini ….”
Aiz benar. Mencari seseorang dalam kekacauan ini ….!
Ketidaksabaranku makin parah, gigi menggertak kepadaku
seakan menjadi dorongan berbuat sesuatu. Menggelengkan
kepala, aku tidak yakin harus apa—aku melihat tubuh petualang
berdarah, babak belur, ke mana pun melihat pemandangannya
sama.
Manusia serigala, meringkuk dan bersandar di dinding.
Kurcaci yang tangannya menekan luka di kepala, darah mengalir
deras di wajahnya saat sedang dirawat. Seorang elf, berusaha
habis-habisan menjaga party-nya yang penuh luka tetap sadar.
Apakah Lido dan kawan-kawan beneran melakukan ini ….?
Aku tidak tahu kebenarannya.
Aku tak ingin mempercayainya.
Seolah melarikan diri, gelap mata kepadanya.
“Oh—Nona Eina!”
Baru saja memalingkan muka, aku mendapati seorang
setengah elf dan memanggilnya.
Aiz berbalik dan melihat ke arah yang sama. Benar saja, Eina
berputar terkejut.
“Bell! Dan Nona Wallenstein!”
“Tolong, beritahu aku apa yang terjadi!”
Tidak ada waktu untuk berbasa-basi. Aku langsung
membahas pokok permasalahan.
Dia nampaknya ingin mengatakan sesuatu, tetapi menyerah
setelah melihat tampang seriusku, kurasa. Setelah sekilas melihat
Aiz, Eina mulai berbicara.
“Seperti yang aku umumkan. Rivira telah dihancurkan.”
“Tentang monster yang menghancurkannya ….?!”
“Menurut para petualang, mereka dilengkapi baju zirah dan
membawa senjata. Seekor gargoyle ganas yang memimpin
serangannya, tapi banyak spesies yang terlibat …. Seperti unicorn,
lizardman—”
Ketika daftarnya disebutkan, wajahku pucat pasi.
Tidak salah lagi. Kebenarannya sulit, rasanya dadaku
ditembus paku.
“Setahuku, Guild meminta Ganesha Familia untuk
mengirim pasukan penaklukan. Para elit akan menyelesaikannya
…. Bell, Nona Wallesntein, para pengirim pesan kami akan
menginformasikan kalian tatkala ada familia-familia lain yang
diperlukan. Tolong tinggal di rumah masing-masing dahulu.”
Maksud perkataannya adalah: kami hanya beban di sini.
Entah bagaimana bisa tahu itu, aku mengerutkan alis dan
kening. Mengalahkan bagian diriku yang tak menerima situasi
dan mengikuti kondisi terkini, meyakinkan diriku bahwa tidak
ada waktu untuk duduk diam, sekarang waktunya melakukan
sesuatu yang berguna.
Aku sekilas melihat Aiz di samping. Kami saling bertatapan
dan mengangguk.
“Aku pergi …. Sampai nanti.”
Menduga raut wajahnya sama seperti seorang petualang,
Aiz buru-buru keluar dari Markas Besar Guild.
Aku berusaha tampil seyakin mungkin ketika memberitahu
Eina diriku hendak kembali ke familia dan mengikuti perintah.
“—Apa!”
Tapi sesaat aku melangkah ….
Sesuatu menarik perhatianku, aku melirik ke belakang.
Misha membisikkan sesuatu ke telinga Eina, tetapi dia
terlihat risau nian. Entah ngomong apa, Eina benar-benar
tertegun.
Kepala terangkat, mata gemetar—dia menghentikanku.
“… tunggu, Bell.”
Kota terguncang.
“Bagaimana dengan misinya ….? Mereka tak meminta kita
melakukan sesuatu, kan?”
“Tidak, tidak. Takkan banyak pengaruhnya juga ….”
“J-jangan lupa dong, kita ini petualang kelas atas ….”
Dalam sebuah bangunan kumuh di ujung jalan belakang
adalah Blue Pharmacy.
Daphne, Nahza, dan Cassandra telah berkumpul di toko
barang yang multifungsi sebagai kediaman Miach Familia juga.
Daphne bilang tak usah mengkhawatirkannya, sedangkan seekor
manusia anjing benar-benar mengabaikan kata-kata Cassandra
dan menyibukkan diri dengan mengisi rak-rak buku.
“T-tapi Daph, aku baru saja bermimpi tentang monster
hitam besar ….!” Ya, ya, baguslah.” “Kalian berdua, bantu aku
menyelesaikan ini agar bisa mengumpulkan informasi ….” dewa
mereka, Miach, sedang berjalan-jalan melewati daun jendela
bangunan, wajahnya tidak nyaman saat mendengar percekapan
pengikutnya.
“Monster bersenjata …. Lalu ada sedikit perkiraan bahwa
vouivre itu termasuk bagian mereka, ya?”
“Bukankah mahluk-mahluk itu semestinya bersahabat,
Hestia ….?”
Di kediaman Takemikazuchi Famiia, Sojourn Townhouse ….
Takemikazuchi berbisik lirih dalam perumahan
berpenduduk sedikit itu.
“Lord Takemikazuchi!”
“Ouka, kau kembali!”
Manusia jangkung berbahu lebar yang memimpin familia
buru-buru menyambutnya, diikuti oleh anggota party lain.
Takemikazuchi mendesah lega. Para pengikutnya, masih
dilengkapi berbagai macam kapak, tombak, busur, dan ransel
sebagai persiapan mereka menuju labirin hari itu, mereka mulai
berbicara secara bergantian.
“Kami mendengar inti permasalahan di Dungeon. Ganesha
Familia memerintahkan para petualang untuk kembali ke dunia
atas.”
“Mereka menyuruh party-party lain untuk berlaku sama ….
Dungeon sedang kacau ….”
Komandan menakjubkan mereka yang berbicara, Ouka, dan
Chigusa yang menyelesaikannya.
“Begitukah ….” Pikir Takemikazuchi sambil mengangguk
setelah diterpa suasana berat dan kesunyian. Lalu berbalik
menghadapi para pengikutnya. “Aku tahu kau baru saja kembali,
tapi kami akan pergi ke kota. Ada warga kota yang lebih
terinformasi daripada kita. Entah menenangkan atau
menyemangati mereka, sana ringankan perasaannya.”
“Ya, pak!” para pengikut berteriak serempak dan mematuhi
perintah sang dewa.
Takemikazuchi menggaruk kasar-kasar rambutnya,
kepalanya berikal-ikal, dan menggumam, “Baiklah,” selanjutnya
mengikuti familianya keluar dari pintu.
“Jadi, bagaimana, Dewi Mahakuasa?”
Di toko cabang Hephaestus Familia yang terletak di
Northwest Main Street, juga dikenal Adventurers Way ….
Hephaestus memalingkan wajahnya dari jendela kantor
ketika salah seorang pengikutnya, seorang wanita berpenutup
mata sepertinya, mendekatinya sambil bertanya.
“… turuti perintah Guild, untuk sekarang.” terlampau
banyak risiko bila familia sebesar dirinya mulai beraksi secara
independen, sang dewi sendiri menjelaskan kepada pemimpin
familia, Tsubaki.
“Okelah,” jawabnya sambil mengangguk. “Haruskah aku
mengumpulkan semua orang? Meskipun kami para penempa
tidak banyak.”
“Ya …. Panggil kembali mereka ke kediaman, untuk jaga-jaga
saja. Nanti aku akan segera ke sana.”
Hephaestus melihat kepergian Tsubaki sebelum
mengembalikan pandangannya ke jalan utama di bawahnya.
Para petualang berkeliaran. Beberapa ada yang gelisah,
seakan-akan terombang-ambing dalam badai yang akan datang
menghujam.
Membayangkan informasi yang dia dapatkan dari teman
ilahiahnya, sebagaimana Miach dan Takemikazuchi, Dewi
Penempa menyipitkan mata kiri tak tertutupnya seolah
memikirkan dalam-dalam perkara Xenos.
“Cepat! Cepat!”
“Kami dapat perintah untuk meninggalkan gerbang dan
pos-pos lain! Panggil kembali semua orang di kota!”
“Babel sudah dikucni! Kecuali para petualang yang kembali,
jangan biarkan seorang pun lolos!”
Banyak petualang berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lain, menjalankan tugas mereka.
Kegemparan Orario tak tertandingi, namun tidak ada
bedanya dengan kekacauan dalam kediaman Ganesha Familia.
Seorang utusan Guild telah menyampaikan misi mereka,
menginformasikan seluruh anggota bahwasanya Dungeon telah
sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka.
Sudah waktunya bagi familia terbesar Orario untuk
menunjukkan kekuatan terbesarnya.
“….”
Ganesha ada di halaman depan, melihat para pengikutnya
berkeliaran, dan seekor burung hantu turun dari langit.
Familiar itu mendarat di tangan dewa yang terulur
kemudian membuka sehelai kertas yang terjaga di cakarnya.
Setelah burung hantu itu terbang lagi, Ganesha diam-diam
melihat isi kertas yang belum dibuka di tangannya.
“—Ini pasti penting, bila aku dipanggil sesenja ini.”
Drap, drap. Sepatu hak tinggi bergema di lantai seiring
mengalirnya rambut perak indah di punggung si wanita.
“Terima kasih atas kehadiranmu.”
Seorang dewi yang kecantikannya tak tertandingi berjalan
menyusuri koridor panjang diikuti oleh pelayannya. Taman
istananya yang khidmat berlokasi persis di samping
penglihatannya ketika memasuki pintu ganda megah.
“Jadi, ada apa di luar?”
Suara Freya bergaung di aula perkumpulan besar,
Folkvanger. Para pengikut dan kapten mereka sudah berkumpul
setelah kedatangannya.
Prum kembar empat sudah ada di sana, bersama elf normal
dan dark elf anggun serta manusia hewan lainnya. Seorang
manusia kucing berbulu hitam, Allen Fromel, muncul dari
kerumunan dan datang ke sisi dewinya.
Dia mulai menjelaskan situasi sambil berlutut.
“Serahkan semuanya kepada Ganesha dan gantikan posisi
mereka di gerbang, katamu ….?”
“Ya. Demikianlah perintah Guild.”
Alis perak Freya melengkung sembari mempertimbangkan
perintah yang mereka terima dari pengantar pesan Guild.
Langkah penuh teka-teki dari pihak Guild. Freya jelas
curiga.
Namun dia tersenyum pula.
“Kita disuruh melindungi kota di saat-saat seperti ini ….
Apakah kita sebegitu tak dipercayainya?”
“Biarpun begitu, keputusannya tidak masuk akal.”
Orang yang menyertainya, Ottar, menyatakan pendapat
bahwa relokasi besar-besaran seperti itu akan sangat memakan
waktu, kemewahan yang tak mereka miliki dalam keadaan
darurat ini.
Para pengikut Freya melihat sang dewi tersenyum lebar.
“Guild—tidak, Ouranus punya sesuatu yang ingin dia
sembunyikan.”
“….”
“Mereka ingin kita berada sejauh-jauhnya dari pokok
permasalahan.”
Dewi Kecantikan tahu isi kepala Ouranus. “Baiklah kalau
begitu,” tuturnya sembari tersenyum yang senyumnya mampu
mengikat semua manusia dan dewa.
“Barangkali aku akhirnya bisa menyingkirkan penalti
penghancuran Pleasure Quarter. Jikalau kita mengikuti
perintahnya, sebagai pelindung kota …. Ya.”
“Lantas ….”
“Ya. Gantikan anak-anak Ganesha di gerbang. Kita akan
melindungi Orario sehari ini.”
Menjatuhkan perintah ilahi: untuk membagi pasukan
mereka ke dalam delapan kelompok, setiap kelompok menjaga
satu gerbang kota. Anggota berpangkat lebih rendah
membungkuk cepat dan keluar dari aula mengikuti kapten
mereka.
“Aku akan kembali ke ruanganku di Babel.”
“Blokade Ganesha Familia sudah siap ….”
“Aku yakin seseorang akan membiarkanku menyelinap,
seandainya bertanya jalan benarnya.”
“Haruskah saya menemani Anda?”
“Tidak usah, Allen.”
Dia tersenyum pada petualang kelas satu yang bergelar Vana
Freya, dalam perjalanan keluar dari ruang pertemuan,
meninggalkan Folkvanger segera setelahnya.
“Diam? Omong kosong macam apa itu?”
Seorang manusia serigala meraung marah di sebuah ruangan
dekat koridor.
“Lebih cepat lagi andaikan kita ikut membantu
membersihkan kekacauannya! Kenapa semuanya diserahkan
kepada anak-anak Ganesha?”
“Bete, diem ngapa! Memangnya kita cuma perlu duduk
manis saja? Pengumuman darurat itu juga agak
membingungkan.”
Kediaman Loki Familia, Twilight Manor.
Para pemimpin familia terkuat di kota telah berkumpul
dalam ruang resepsi yang dikenal ketinggian menaranya.
Aiz baru saja kembali dari Guild dan bergabung dengan
kelompok. Dewi mereka, Loki, duduk tidak sopan di atas meja
terdekat dan menyaksikan petualang kelas satu mendiskusikan
berita terbaru.
“Yang menggangguku tuh, sudah tahu Rivira sering
dihancurkan, kenapa semua orang ketakutannya baru kali ini?”
“Aku setuju, ini berlebihan, mengeluarkan misi ke seluruh
kota seperti itu. Monster bersenjata dan berbaju zirah—apakah
benar-benar bisa jadi masalah besar?”
“Aku melihatnya di papan buletin Guild, perkara monster
yang memakai baju zirah ….”
Si kembar Amazon, Tiona dan Tione terus berbicara, Aiz
pun ikut nimbrung.
Riveria si high elf menatap mereka dari samping.
“Senjata-senjata itu bukan buatan melainkan digunakan
oleh para petualang yang kebetulan di tangan para monster.
Kemungkinan besar mahluk-mahluk ini spesies tinggi, dan
terorganisir.”
“Tambah lagi alasan kita mesti ke dalam sana!”
“Diamlah, Bete. Ini bukan masalah kejadian normal atau
Abnormal, memang aneh …. Mencurigakan, benar?”
Gareth si kurcaci memarahi manusia serigala pemarah itu,
bahkan sewaktu alisnya mengkerut.
Loki Familia masih punya banyak pertanyaan, namu Guild
kurang banyak informasi.
“Yah, entah apa yang terjadi—” suara lain memotong
perbincangan.
Semua orang di ruangan berbalik menghadap komandan
mereka, Finn si prum, ia duduk di kursi sambil melanjutkan.
“—Seratus persen takkan berakhir seperti ini …. Itu hanya
firasat saya, sih.”
Dengan sangat percaya diri mengutarakannya setelah ibu
jarinya menutup mulut.
Yang terakhir ….
Mereka meminta para dewi mengungkapkan kehendak
masing-masing.
“Eh. Aku benci ke luar topik, tapi … aku mesti setuju
padamu, Finn.”
Mata sipitnya melebar sedikit sambil nyengir-nyengir.
“Semisal kondisi ini terus berlanjut. Orario sementara
waktu akan berguncang.”
Berguncang. Berguncang.
Kotanya berguncang.
“Heeheeheeheeheehehehehehehehe ….! Gagal, ‘kan, Dix ….?”
Jauh di atas jalan-jalan kota, di atas sebuah bangunan yang
punya pemandangan indah ….
“Ini baru menarik ….!”
Ikelus cekikikan sewaktu memandang seluruh Orario,
menyaksikan ketegangan itu kian memuncak seketika seluruh
dugaan dan ekspektasi telah menyatu membentuk pusaran
kekacauan.

“Apa yang terjadi?!”


Teriakan Welf parau.
Di kediaman Hestia Familia, ruang tamu Hearthstone
Manor.
Seorang penempa berambut merah tua pendek berpakaian
jaket hitam panjang gemetar seraya berteriak cemas.
“Apa-apaan? Monster bersenjata meratakan Rivira!? Berarti
… para Xenos yang melakukannya?!”
“Lilly tidak tahu! Semua informasinya datang dari pihak
kedua atau ketiga, tiada cara untuk memastikannya ….!” Lilly
balas teriak, intensitasnya sama pula.
Haruhime, ia sepucat hantu, juga berada dalam ruangan
bersama Mikoto yang terheran-heran. Hestia baru saja kembali
ke manor dan bergabung di ruang tamu.
Setelah mendengar pengumuman darurat itu, Welf dan Lilly
meninggalkan Mikoto serta Haruhime persis sebelum tengah
hari untuk mengumpulkan informasi di kota. Mereka memang
datang dulu ke Markas Besar Guild, namun tempatnya sudah
dibanjiri para petualang dan penduduk kota yang juga mencari
informasi sampai di halaman depan pun penuh sesak. Mereka
bahkan tak sanggup menginjakkan kaki dalam gedung.
Tiada tempat yang bisa dikunjungi, mereka pulang ke
rumah.
“Haa, hahh …. Tidak ada gunanya … pergi ke sana lagi, secara
langsung …. Babel sudah ditutup, Dungeon juga …. Mereka
menendang kami ….! Kughf!”
Hestia yang berlari sendiri, tidak berusaha
menyembunyikan kelelahannya selagi mencari-cari nafas sambil
bicara, bahunya naik-turun dan batuk-batuk.
Setelah mengunjungi Ganesha, dia bekerja paruh waktu di
salah satu penyewa Menara Babel. Terpaksa pulang bersama
karyawan-karyawan lain. Saat ini, hanya personil berwewenang
yang masih tinggal di menara putih hampir kosong tersebut.
“Bagaimana kotanya? Orang lain sedang apa ….?”
“Yah, mereka tidak tinggal di jalan terus.”
Kami juga. Tidak ada yang tahu ini bakal kejadian, jadi
mereka tak tahu mesti melakukan apa.”
Lilly dan Welf menggambarkan kondisi umum terkini
kepada Mikoto, yang tetap tinggal di rumah.
Welf, Lilly, dan Hestia menyetujui satu kata: keresahan.
Sementara kekacauannya belum meletus, pengumuman
darurat telah menggelisahkan seluruh warga Orario. Mereka
mengingat pengumuman peringatan tatkala pasukan Rakia
menginvasi, namun tidak seorang pun tahu bagaimana mestinya
bereaksi terhadap situasi tak terduga ini. Banyak orang melihat-
melihat dengan mengeluarkan kepalanya dari jendela lantai atas
atau menatap menara putih saja. Dewa-dewi juga tidak berbeda.
Beberapa tersenyum dan menyaksikan segalanya terungkap
sambil memasang tatapan penuh kegembiraan, sementara orang
lainnya mengamati sembari merenung dalam-dalam.
Warga yang sangat jeli dan para pedagang berterori bahwa
monster tak lama lagi akan menembus dunia atas. Beberapa
wilayah dalam tembok kota dalam kepanikan, namun respon
cepat dari Ouranus dan Guild menanganinya.
Mereka telah mengirim beberapa tim untuk menyisir kota
dan menenangkan mereka, betapa pun tidak menenangkannya.
Dewa-dewi yang turut berperan juga membantu banyak.
Banyak manusia murni maupun manusia hewan berjejer di
jalan-jalan dan gang, bertukar pandang resah dan menebak-
nebak kejadian sebenarnya.
“Kendati mereka, kenapa juga melakukannya? Impian
mereka tidak lebih dari angan-angan saja.”
“Yah ….”
“… barangkali orang-orang jahat atau siapalah mereka
sedang berkeliling menangkap-nangkap para Xenos ada
hubungannya?”
Tak seorang pun menjawab pertanyaan Welf, Hestia
menungkit para pemburu yang dia dengar.
Sesuatu terjadi kepada para Xenos—yang memicu serangan
balik.
Lilly, Welf, dan kawan-kawan saling bertatap tegang
seketika seluruh jenis dugaan melintasi benak mereka.
“Kalau … kalau … Xenos-Xenos baik itu benar-benar korban
suatu serangan ….”
“Nona Haruhime ….”
“Mereka bagaimana? Wiene bagaimana?” tanya Haruhime,
suaranya gemetar sebagaimana telinga dan ekornya.
Suasana mulai hening. Lilly memaksa menenangkan dirinya
dan berkata dengan suara datar:
“Bila mana informasinya akurat … dan monster-monster itu
menghancurkan Rivira, maka Orario tak punya pilihan lain selain
menghabisi mereka …. Paling tidak, mesti ada semacam
konklusi,” ucap Lilly, dan pipi Haruhime memucat seiring
terenggutnya kekuatan dari tubuhnya.
Mikoto buru-buru meraih manusia rubah lemah itu dan
mendukungnya.
Ruangan itu seratus persen hening tatkala Hestia dan para
pengikutnya memikirkan kesimpulan akhir. Hanya masalah
waktu saja.
“… ada yang melihat Bell?”
“Bell-sama pergi ke Dungeon. Dia bilang akan segera
kembali ….”
Hestia mengamati ruangan seraya bicara, dan Lilly
menjawab bingung pertanyaannya.
Selagi semua orang bertanya-tanya mengapa dia belum
balik-balik juga—Mikoto melihat ke belakang. Selanjutnya,
seolah merespon pertanyaan Hestia, bel pintu menandakan
kehadiran seorang tamu.
Mikoto pergi ke pinto depan dan kembali dengan gulungan
perkamen.
“Siapa?”
“Pembawa pesan Guild! Lady Hestia, tolong!”
Mikoto memberikan perkamennya kepada sang dewi
setelah menjawab pertanyaan Welf.
Hestia membukanya dan cepat-cepat membacanya. Lilly
dan Welf diikuti oleh dua cewek lain, mengintip dari balik bahu
dan melihatnya sendiri.
“Keadaan darurat, bersiap siagalah …. Jadi, pokoknya ….”
“Kita mesti menunggu perintah lebih lanjut. Tetap di atas
tanah dan tutup mulutmu ….!”
Informasi seminimal mungkin diberikan untuk misi baru
mereka. Sewaktu para pengikutnya menyuarakan kerisauan
berbeda mereka, reaksi Hestia terlampau berbeda.
Mata birunya membelalak lebar-lebar ketika menafsirkan
desain yang ditulis dalam perkamennya—hieroglif tak kasat
mata—dan Hestia membacanya keras-keras.
“Bell telah ditugaskan sebagai penyerta tim penaklukan
menuju lantai delapan belas?!”
“DIA NGAPAIN?!”
“EH!?”
Semua anggota familia menyuarakan ketidakpercayaannya.
Haruhime agak telat, bahunya tersentak kaget.
Jenis perkamen sama yang diterima Bell tempo hari,
perkamen yang memerintahkan seluruh familia untuk
menjalankan misi rahasia. Ouranus menuliskan pesan itu lagi
agar tak seorang pun, bahkan para pegawai Guild, dapat
membacanya kecuali Hestia.
“Ouranus, apa sih yang kau pikirkan ….?”
Benar sudah—para Xenos-lah yang melatarbelakangi
seluruh insiden ini. Setelah membaca pesan yang menguraikan
tugasnya dengan meminjam pengikutnya, Hestia teryakini.
Tidak boleh dibiarkan! Dia berlari keluar dari ruang tamu
lagi.
Menggapai Bell. Mencapai Taman Pusat sebelum tim
penaklukan berangkat.
Terkejut oleh kepergian mendadak Hestia, Lilly, Welf,
Mikoto, dan Haruhime kalang kabut sejenak kemudian ikut
sambil mengemban tekad yang sama besarnya.
Hestia Familia turun ke jalan-jalan kota, lupa menutup
pintu di belakang mereka.
“Akan kujelaskan situasinya sesingkat mungkin, Bell
Cranell. Tolong dengarkan baik-baik.”
“Ya-ya!”
Dalam lorong batu bawah tanah yang redup cahaya.
Bell mengikuti Fels melalui terowongan tersembunyi yang
terhubung ke lorong rahasia Markas Besar Guild.
Setelah Eina memanggilnya, dia menyuruh Bell cepat pergi
ke ruangan tertentu—sendirian. Bell tidak boleh menyertainya,
si bocah mendapati penyihir berjubah hitam menunggunya
ketika sampai di ruangan bersangkutan. Fels mengabaikan
keterkejutan pemuda itu di lorong rahasia yang mengarah ke
suatu jalan khusus sebagai rute pelarian untuk Ouranus—
bahkan pegawai Guild pun tidak tahu jalan tersebut ada.
Saraf Bell mulai teramat-amat tegang karena penyihirnya
kelihatan terdesak waktu, tergesa-gesa menjelaskan kejadiannya
sambil membimbingnya melalui terowongan ditemani lampu
berbatu sihir.
“Informasi kita sedang buruk-buruknya. Sekarang ini, kami
tidak tahu pemicu peristiwa tersebut. Satu-satunya hal yang jelas
kita ketahui adalah monster bersenjata—para Xenos menguasai
Rivira secara paksa.”
“….!”
“Entah tindakan apa, kita mesti mengendalikan situasinya.”
Fels melanjutkan dengan memaparkan bahwa scenario
terbaik adalah mengembalikan ketertiban dan menjaga Xenos,
namun kepala Bell berputar-putar hanya dengan mendengarkan
kata-katanya.
Pikiran-pikiran Lido, Rei, dan Xenos lain, juga Wiene,
melewati kepalanya.
“Satu hal lagi: para Xenos tidak bergerak dari lantai delapan
belas.”
“Huh ….?”
“Kami tahu itu karena tak seorang pun petualang yang
kembali mengukuhkan kehadiran mereka di lantai atas setelah
kejatuhan Rivira. Kabar-kabar para petualang di lantai
menengah semuanya sama, aku yakin bisa mempercayai ucapan
mereka.”
Fels menatap kristal biru di telapak tangan lainnya.
“Maka dari itu, aku yakin alasan mengapa para Xenos tak
pindah dari Rivira adalah ….”
“… adalah?”
“Aku punya dugaan, namun hanya untuk saat ini saja.
Pertama-tama, kita mesti melihatnya dengan mata kepala
sendiri.”
Sesudah mengujar demikian, Fels berhenti dan mengalihkan
wajahnya ke Bell.
“Kami berencana utuk mengikut sertakanmu dalam tim lini
depan Ganesha Familia”
“….!”
“Aku tahu kita tidak kenal lama … tapi tolong pinjamkan
kami kemampuanmu,” Fels berjubah hitam memintanya dari
ruangan gelap.
Bell dapat merasakan tatapan Si Bodoh, walaupun tak tahu
orangnya sendiri punya mata atau tidak—kulit maupun otot
dalam hal ini. Fels menggelengkan kepala.
“Seharusnya aku yang minta. Tolong biarkan aku ikut serta.
Aku ingin pergi.”
“… terima kasih banyak, Bell Cranell.”
Bell ingin melihatnya sendiri. Tidak keberatan pada apa-apa
yang ‘kan menunggunya di bawah sana.
Ucapan terima kasih Fels masih terngiang di telinganya,
anak muda itu mengepalkan tinju dan berusaha menenangkan
detak jantungnya.

“Tidak bisa berhenti lagi ….”


Hermes mengutak-atik pinggiran topinya yang berbulu saat
menghembuskan nafas.
Dia duduk di kamar kediaman Hermes Familia. Keributan
para pengikutnya yang terdengar risau dari balik pintu selagi
pemimpin pasrah mereka, Asfi, berdiri di hadapannya sambil
memasang wajah muram.
“Bagaimana Falgar dan timnya?”
“Mereka telah diobati, dan tampaknya akan baik-baik saja
… namun belum sadar.”
Sama seperti penduduk Rivira, anggota-anggota Hermes
Familia yang terperangkap dalam serangan di kota itu mengalami
cedera serius selama pelarian mereka. Tim kecil telah dikirim ke
Rivira untuk mengawasi lantai menengah. “Para petualang Ikelus
memang muncul di Kota Dungeon itu, dan persis saat para
monster menyerang ….” adalah sesuatu yang dikatakan pemimpin
timnya sebelum pingsan.
Desahan lain, Hermes menyuruh Asfi untuk memastikan
orang-orang yang terluka merasa nyaman dan baik-baik saja,
kemudian menyipitkan mata jingganya dan melanjutkan urusan
lain.
“Tapi menyeret Bell ke dalam semua ini …. Kau benar-benar
melakukannya, Ouranus.”
Familiar Fels telah menyampaikan pesan yang merinci misi
tersebut.
Daftar anggota tim penaklukan juga dimasukkan.
Hermes cekikikan kecil yang rasanya hampir ironis.
Raut wajah yang teramat tak biasa bagi dewa pesolek yang
biasanya energik.
“… ini tak terduga. Kupikir kalian akan kelewat gembira
untuk mendorong Bell Cranell ke dalam tantangan ini dan
melihat semmua kejadiannya, atau semacam itu deh.”
“Aku lebih senang kalau Bell menjauh dari konflik ini.”
Pemikiran Hermes dan Ouranus berbeda, tambahnya.
Asfi mengangkat alis curiga sedangkan Hermes ngomong
sendiri.
“Kesulitan memperkuat pria itu … mirip=mirip itu, ya?
Kurasa begitu maksud Takemikazuchi.”
“….”
“Benar, pahlawan perlu mengatasi kesulitan, tak salah lagi …
tapi ujian ini melampaui seluruh ujian dalam hidupku.”
Tak mematuhi kehendaknya, imbuh Hermes.
Kemudian, suaranya terasa agak takut, dia berkata:
“Satu langkah salah dan tamat sudah semuanya.”
Sesudahnya, menarik pinggiran topi di atas matanya.
Sang dewa beranjak bangun dari kursinya dan memberikan
perintah kepada Asfi.
“Sana pergi ke lantai delapan belas, tapi jangan ikut grup
Ganesha. Kumpulkan informasi sebanyak mungkin. Jangan
repot-repot memulai pertarungan apa pun.”
“Bagaimana denganmu, Lord Hermes ….?”
“Ada suatu tempat yang mesti kudatangi. Seseorang yang
wajib kutemui untuk menyelesaikan beberapa hal.”
Begitu Hermes terdiam, seorang gadis anjing yang
menunggu di luar membuka pintu seakan sudah tahu wkatu
tepatnya. Dewa pesolek itu mengakui pengikutnya, yang
mempunyai informasi permintaan Hermes, dewa itu tersenyum
dan berkata dengan nada bercanda, “Aku harus bekerja juga.”
“Mulai dari sini kau yang urus …. Oh, ya.”
Lalu, persis saat Hermes mau pergi ….
Ia balik badan seolah lupa mengatakan sesuatu.
“Aku mengkhawatirkan Bell. Bawa Aisha juga.”

“Lyu, kau punya tamu.”


Dipanggil oleh Runoa si manusia, Lyu si elf berbalik
menghadapnya.
Sepanjang West Main Street, di The Benevolent Mistress ….
“Aduh, meong!” “Apa yang terjadi, meong?!” dua orang
manusia kucing ribut-ribut ketika mendapati seorang Amazon
cantik berkaki panjang berdiri di depan bar kafe.
Lyu menatap Aisha Belka dengan sorot mata skeptis saat ia
melangkah masuk.
“Ada urusan denganku?”
“Kau lagi sibuk?”
“Mengingat situasi sekarang, para pelanggan telah pergi ….”
“Kalau begitu kita bahas di luar.”
Lyu berdiri diam di bawah tatapan kuat Amazon, melirik
The Benevolent Mistress di belakangnya.
Menganggur, para pelayan sibuk mengobrol. Lyu berpikir
mereka akan baik-baik saja, dan tatkala Aisha mengisyaratkan
gang di belakang bar dengan dagunya, si pelayan mengikuti.
Lyu menatap jendela kecil yang menghadap ke tempat
pertemuan tersembunyi mereka, namun tiada peduli dan kembali
menatap Amazon.
Seorang elf dan seorang Amazon saling bertatapan,
terlindung dari sinar mentari di gang.
“Semua kekacauan ini terjadi karena aksi semacam monster
nesu. Nampaknya mereka tetap tinggal di lantai delapan belas
setelah meluluh-lantakkan Rivira. Ganesha Familia mengepalai
tim penaklukan yang hendak berangkat.”
“….?”
Aisha tak peduli perkara salam atau basa-basi dan langsung
saja membagikan informasi. Alis Lyu mengkerut dan semakin
waspada.
Elf itu balas menatap dan bersandar di bangunan sementara
si wanita seksi melipat tangan di depan belahan dada
menakjubkannya.
“Kenapa kau memberitahuku?”
“Hanya ingin kau campur tangan terhadap sesuatu …. Kau
sepertinya menyimpan sesuatu kepada Bell Cranell, kupikir kau
tahu.”
Aisha menunggu sebentar, kemudian menendang dinding
dan mendekati Lyu.
“Bocah itu diajak ke dalam tim penaklukan. Dia akan
menyebrang ke wilayah berbahaya—kurang lebih itu yang
dewaku katakan.”
“!”
“Kenapa aku tahu semua ini? Ya karena aku baru saja pindah
ke Hermes Familia.”
Nama familia yang cukup terkemuka, terkenal akan
pengumpulan informasi mereka, demikian makin memvalidkan
pernyataan Aisha.
Akan tetapi, Lyu merasa aneh sebab Amazon itu memilih
untuk bergabung dalam familia tersebut. Dan rasa penasarannya
tidak berhenti.
“Kenapa bergabung dengan Hermes Familia ….?”
“Mereka punya urusan, aku juga. Mereka memerlukan
seseorang yang punya potensi tempur lebih besar, dan aku ingin
menjadi orang yang pertama kali menerima detail kejadian-
kejadian baru.”
Hermes Familia mengoperasikan layanan pengiriman,
organisasi yang membawa masuk atau mengeluarkan paket-
paket dari mana pun ke kota. Karena itulah, bukan hanya
mengendalikan arus informasi, secara alamiahnya mengetahui
perihal-perihal transaksi pasar gelap. Aisha kini mempunyai
akses mudah kepada sesuatu yang ingin ia ketahui.
Mantan anggota Ishtar Familia menjelaskan hubungan
simbiosis mutualisme itu.
“Aku sudah tahu, dewaku sangat-sangat licik. Hanya KTP-
ku saja yang bergabung dalam familia itu, dan Hermes tak pernah
sekali pun melepaskanku. Bahkan menipu Guild bahwasanya
diriku bukanlah miliknya sehingga familianya dianggap tetap
netral.”
“….”
“Tapi, ya …. Sisi positifnya dia menepati kesepakatannya
baik-baik. Jadi tidak muncul persoalan mengenai urusanku,
ataupun permintaannya. Misi kali ini hanya memerika lantai
delapan belas dan mendukung Bell Cranell.”
Aisha selesai menjelaskan bagaimana dia bisa menjadi
anggota Hermes Familia sekaligus situasi sekarang.
“… kau dan aku menemani Tuan Cranell ke lantai delapan
belas beberapa hari yang lalu. Semenjak itu dia sudah bertingkah
aneh. Apa ada koneksi terhadap peristiwa baru-baru ini?”
“Entah. Aku baru saja pindah, jadi aku ini orang yang paling
tidak tahu …. Tidak lebih dari otot bermanfaat saja. Aku juga baru
saja mengetahui hal ini, dan sama sekali tak paham bagaimana
Bell Cranell bisa terlibat. Tidak diberitahu banyak hal juga.”
Aisha mengangkat bahu, muak dengan posisinya.
Lyu berhenti sejenak. Kegelisahan yang dia rasakan saat
melihat bocah itu menghilang ke dalam kerumunan pagi ini
kembali, roda pikirannya berputar lebih cepat.
Ketika elf itu berbicara, Aisha semakin menekan.
“Kau sang Angin Badai, benar? Kau bertarung di Permainan
Perang.”
“… apa niatmu?”
“Aku takkan mulai menggali masa lalumu,” kata Aisha.
“Buka saja telingamu. Ikelus Familia tampaknya pusat dari
seluruh insiden ini. Kau mungkin sudah mendengarnnya, tapi …
rumor bilang mereka bersekutu dengan Evilus pada masa lalu.”
Dalam sekejap mata aura Lyu langsung berubah.
Ekspresinya tetap sama, namun nyala api—emosi yang dia
kunci rapat-rapat—mulai hidup dalam mata biru langitnya.
“Evilus ….”
Nama yang takkan pernah diabaikan Lyu.
Dia dulu dikenal sebagai Leon, sewaktu berasal dari familia
yang menjunjung tinggi rasa keadilan serta kesetaraan.
Koneksinya kepada Evilus sangat dalam.
Tangan lembut Lyu mengepal, sangat mengepal sampai
memutihkan jari-jarinya.
“Bell Cranell bisa jadi bakal kesusahan melawan orang-
orang itu.”
“….”
“Jadi, bagaimana?”
Sesaat sunyi.
Sampai akhirnya, Lyu angkat bicara.
“Baiklah. Aku akan bergabung denganmu.”
Jawabannya membuat bibir Aisha tersenyum lebar-lear.
“Tidak ada cara lain juga.”
Lyu tahu kegembiraan prajurit wanita itu karena bisa
bertarung bersama sekutu yang kuat. Masih mengenakan
seragam pelayan, si elf membelai dada dan menekan emosinya.
Mantan petualang itu mau mengintervensi.
“Dengar-dengar pintu masuk Babel telah disegel. Bagaimana
caranya memasuki Dungeon?”
“Pernah dengar yang namanya Perseus? Nah, aku baru saja
satu tim dengannya, dia punya banyak mainan yang harus banget
kau lihat.”
Alih-alih memberikan jawaban langsung, Aisha
membicarakan pembuat barang terkenal.
Lyu mendesah, kecewa karena mengajukan pertanyaan
bodoh semacamnya, Aisha nyengir sambil mengucap kata-kata
sembrono.
“Baiklah, mari kita mulai.”
Setelahnya, Lyu mulai bersiap-siap.
Tepat sebelum pergi dia menatap seorang pejuang Amazon.
“Antianeira.”
“Ya?”
“Kenapa sampai sejauh ini kau membantu Tuan Cranell?”
“Aku berhutang budi padanya.”
“Hanya itu saja?”
Pertanyaan Lyu membawa senyum tak kenal takut namun
sedikit memikat ke wajah Aisha, rambut hitam panjang berayun-
ayun di belakangnya.
“Kepo banget?”
Perbincangan mereka berakhir.
Pasangan itu pergi setelahnya. Lyu menghilang dari bar kafe,
kemungkinan besar mempersiapkan peralatannya, sementara
Aisha pergi ke arah lain dan berencana saling ketemuan di lokasi
berbeda.
Begitu langkah kaki tak terdengar lagi, Syr membuka mulut.
Dia menguping dari balik dinding sejak percakapan pertama
mereka.
“Begitu deh.”
Berbalik dari dinding, Syr menghadap pemilik kurcaci
perusahaan, Mia, yang tangannya sedang disilangkan.
Mereka berada dalam ruangan stok bar. Sebuah jendela
kecil dekat langit-langit struktur kayu yang agak terbuka.
Memungkinkan mereka bedua untuk menelinga diskusi
Lyu di gang belakang bar.
“Serius nih, sudah berapa kali ….?”
Dua petulang kelas dua tentu saja mengetahui kehadiran
Syr, namun kurcaci mantan petualang itu sangat lihai
menyembunyikan keberadaannya sampai tak seorang pun
merasakan kehadirannya—walau kucing berisik di ruang makan
juga membantu. Kesabarannya berkurang, kurcaci kekar itu
mengeluarkan nafas kuat-kuat.
“Aku tahu dari awal, kalau gadis itu tidak cocok bekerja di
sini. Tidak bisa masak, kepribadiannya lawan kata ramah, dan
parahnya lagi, terlalu lembut. Barangkali karena rasa kesadilan
yang dulu dia junjung itu, tapi rasa keadilan itu takkan lama
mendekam dalam driinya.”
Mia terus ngoceh-ngoceh sendiri, berpikir bahwa Lyu
belakangan ini telah menunjukkan peningkatan, kemudian
menatap Syr.
“Nah beritahulah dia: seandainya ada tempat lain yang ingin
dia tinggali, pergilah dari barku dan pergi saja. Melihatnya selalu
bimbang seperti ini membuatku sakit kepala.”
“… oke. Akan kuberitahu.”
Syr berhenti sejenak dan setuju dengan anggukan.
“Jadi … kau membiarkan kali ini juga?”
Wajah Mia menggelap murka saat Syr bertanya dengan
mata lembut naiknya.
Mia mendesah panjang lagi.
“Aku ragu ada pelanggan yang datang, kalaupun ada maka
mereka adalah keajaiban. Tidak ada yang dia kerjakan di sini.”
“Ya.”
“Dan bocah itu kelihatan aneh akhir-akhir ini … andai dia
tidak datang lagi, berkurang satu pelanggan langganan yang bisa
kita beri makanan enak lagi.”
“Lantas?”
“Aku membiarkannya.”
Raut wajah pemilik bar makin memburuk ketika Syr
berbinar-binar sembari tersenyum selebar mungkin.
“Terima kasih banyak!” kata Syr gembira dan ketika sudah
setengah membungkuk—”
“Jangan lupa, masih ada pekerjaan yang mesti diselesaikan
tanpa kehadiran pelanggan. Lyu tidak di sini, aku berharap kau
bekerja tiga kali lipatnya.”
Mia menggerutu saat dirinya merengsek keluar dari ruang
stok.
Begitu Syr sendirian, senyum di wajahnya menegang sedikit.

Βοήθεια

Trang, trang.
Seolah beresonansi dengan kekacauan yang tengah terjadi di
tempat jauh, suara-suara kandang bergoyang dan derak-derak
rantai terdengar tanpa henti.
“Dix!”
“Ya, apa sih? Kau menghalangi, Gran. Aku ingin
mengajarkan mahluk-mahluk ini definisi rasa sakit.”
Dix berdiri di ruang gelap berbatu, memegang tombak
lengkung jahatnya saat berbalik dan menghadap bawahannya.
Namun pria bertubuh besar terus mengoceh, memotong sebagian
jawaban kesal bosnya.
“M-monster bersenjata muncul di Rivira dan
memusnahkannya …. Seratus persen berantakan di sana!”
“… rinciannya?”
Mata merah Dix terfokus pada lelaki sebesar gunung dari
balik kacamata googlenya.”
Gran menjelaskan seperti permintaan. Memberitahu
segalanya mengenai sekelompok monster yang menyapu lantai
delapan belas. Dia juga bilang Orario telah menyatakan keadaan
darurat.
“Monster bersenjata …. Hei, hei, kau bercanda? Kalau benar,
mangsanya malah mendatangi kita,” ucap Dix.
Gran melihat lorong.
Serangkaian kandang besi panjang berbaris bak penjara di
atas lantai batu dingin. Ukurannya bervairasi dari kecil sampai
sangat besar sejauh mata memandang.
Sosok-sosok di dalam kandang terlampau banyak untuk
dihitung, mereka menggeliat-geliat.
“Tidak bisa tenang? Kesal kepada para pemburu seperti
kita?”
“A-aku tidak tahu pastinya, tapi ….”
“Kenapa mereka bergerak ke Rivira? Ahaha, begitu toh
maksudnya.”
Mantap betul, monster.
Ejekan Dix tersisip sentuhan kebencian di dalamnya.
Dia tahu betul pada apa yang terjadi di luar markas mereka.
“Rivira bagaimana?”
“… hancur lebur. Parah banget sampai-sampai Guild
menjatuhkan misi, kedengarannya begitu,” tutur Gran dalam
suara selirih mungkin. Seumpama dia memasang telinga baik-
baik, Dix dapat mendengar raungan para monster, membuat para
pemburu lain marah-marah terhadap perubahan peristiwa ini.
“Kita terlalu berlebihankah? Sepertinya para hewan buas
lebih kuat dari perkiraan kita.”
Kata-katanya mungkin serius, namun wajahnya tak pernah
berhenti tersenyum.
Dix cekikikan girang walaupun monster-monster kuat ini
menghancurkan Rivira. Gran merasa lega tatkala melihat sosok
tenang pemimpinnya seperti biasa, tindak-tanduk tak kenal
takut dan mata gelap tak kenal ampunnya. Senyum tak
meninggalkan wajah, meskipun kulitnya berkeringat dingin.
“Dewa kita belum balik-balik juga. Sekarang …. Cari tahu,
langkah selanjutnya ….”
Memukul tombak ke bahu, Dix balik badan.
Seekor gadis naga muncul di garis pandangnya, terbelenggu
layaknya pengorbanan hidup, masih tak sadarkan diri dengan air
mata segar menggulung turun ke pipinya.

Ö
“—Jinakkan mereka?! Kita mesti menjinakkan target misi
kita?!”
Suara seorang wanita muda telah pergi ke langit biru.
Kotanya, masih diliputi getaran, energi kepanikan,
seluruhnya telah tertuju pada Taman Pusat.
Para petualang dan masyarakat, dewa-dewi. Lingkaran
pengamat telah terbentuk di sekitar tepi taman, semuanya fokus
pada petualang-petualang kuat yang berkumpul di dalamnya—
Ganesha Famiia.
Di tengah-tengah semuanya, satu pengumuman
mengacaukan tim penaklukan.
“Apa salahnya?! Kita sedang dalam kondisi darurat, benar?!”
“T-tertulis dalam dokumen yang Guild kirimkan kepada
Lord Ganesha dan beliau menyerahkannya kepadaku … t-tapi
melarangku untuk menunjukkannya kepada siapa pun.”
“Terus apa? Itu tidak memberitahuku apa-apa! Beritahu
detailnya! Detail! Anu—entah kau siapa!”
“Kau tahu aku tidak bisa, Ilta! Namaku Modaka!”
Seorang pemuda berteriak sekeras-kerasnya, mengoreksi
seorang Amazon berkulit gandum dan rambut merah membara
di depannya.
Persis sebelum Ganesha Familia memulai misinya, instruksi
di menit-menit terakhir Guild telah mengubrak-abrik kelompok
penaklukan. Tanpa penjelasan lebih lanjut, Guild
memerintahkan tim penaklukan untuk menjinakkan para
monster, tugas yang jauh lebih sulit ketimbang langsung
membunuh mereka. Apalagi monster-monster itu teramat
perkasa sampai sanggup menghancurkan Rivira.
Petualang kelas satu, Ilta Faana, kini menjadi pusat
perdebatan yang dipicu oleh perintah tak masuk akal juga
keterlaluan Guild.
“Santai sedikit ngapa, Ilta! Tidak sulit memahaminya!
Monster-monster ini menggunakan senjata, kan? Guild melihat
rezeki valis, berpikir bahwa subspesies langka ini akan menarik
banyak perhatian kepada Monsterphilia, dan mereka ingin kita
membawanya hidup-hidup—tidak ada penjelasan berikutnya!
Dasar orang-orang serakah! Bukan waktunya nyari valis! Bawa
aku ke bawah sana dan akan kubakar semuanya dengan tornado
apiku! BAKAR, BAKAR SEMUANYAAAAA!”
“Ibly bacot! Timmu di dunia atas!”
“HAAAAAAAAAH?! TIDAK ADA YANG NGOMONG
APA-APA KEPADAKUUUU! PERGILAH KAWAN, MENANG
‘KANNNNNNNNNN!”
“Tolong semuanya, tenanglah! Dan Ibly, sudah cukup!”
Anggota Ganesha Familia yang memperbincangkan topik
bola api mengamuk-ngamuk sendiri di tengah taman, memicu
kemarahan Ilta. Para pemimpin lain, termasuk Modaka1, tahu
saat ini tidak tempat untuk membiarkan emosinya terlepas tanpa
kendali—kendati bakalan jauh lebih buruk mana kala dewa
mereka ada di sini—makin-makin meragukan jajaran kelas-kelas
Ganesha Familia.
Gelombang kecemasan dan bisik-bisik gugup mulai
menyebar ke kerumunan warga yang menonton dari luar taman.
“Ilta, tenanglah. Kalian semua juga.”
“Tapi, kak ….!”
“K-komandan Shakti2 …. Maafkan aku.”
Kepala Ganesha Familia, Shakti Varma, angkat bicara saat
melangkah ke dalam kekacauan.
Rambut biru langit berpotongan pas sampai tengkuk,
sikapnya super santai. Tingginya 170 celch, reputasinya sebagai
wanita cantik menggairahkan sangat layak. Kaki panjangnya
dipakaikan sepatu boot logam, dan keling kebesaran melindungi
tangannya, dipastikan bahwa dirinya sudah lebih siap
menghadapi pertarungan jarak dekat. Menyandang gelar, Tongkat
Ganesha, Ankusha, pangkatnya setara sang Putri Pedang sebagai
seorang manusia kelas pertama.
Ilta si Amazon yang memanggil Komandannya kakak,
mengakui kekuatannya (secara paksa), dan terdiam di hadapan
petarung yang lebih kuat. Para petualang elit lain menunduk
ketika Shakti menoleh ke Modaka.
“Pendapat Lord Ganesha terkait perkara ini?”
“I-ikuti perintah Guild ….”
“Aku mengerti,” responnya, satu-satunya eksistensi tenang
dalam badai kehancuran yang berputar-putar di atas familia. Dia
menutup mata.
Membukanya sesaat kemudian, Shakti menghadap
bawahannya dan menyatakan:
“Kita akan menjinakkan monster-monster tersebut.
Membawanya ke sini, baik-baik.”
“Kak, kau yakin?!”
“Kita melayani Dewa Massa, Ganesha. Keyakinan kita
terpangku kepadanya, dan kita wajib mengikutinya. Salahkah
aku, Ilta?”
Bulu kuduk Amazon itu merinding oleh tatapan tajam tak
berawan Shakti. Matanya membeliak dan mengangguk.
Terperangah oleh keteguhan besi dan pengabdian kepada
dewanya, anggota-anggota Ganesha Familia lain memasang
tampang lebih tenang. “Kita pergi sesuai sinyalku. Bersiaplah!”
suara dingin Shakti membentak udara bagaikan cambuk.
“W-waw ….”
Di tengah semua suara gelisah Taman Pusat, Bell buru-buru
menutup mulut untuk menghentikan lirih kagumnya.
Bell mengenakan tali panjang di depan baju zirahnya dan
cuma memakai ransel saja di pundak—seperti perlengkapan
Lilly—dia terlihat bak pendukung.
Jauh dari tatapan risau para warga selagi menunggu
keberangkatan dan semakin dekat dengan pertengkaran internal
Ganesha Familia, dia sudah berbaur dalam tim penaklukan.
“Lord Ganesha berkata kau akan berguna sebagai penyidik
seluruh latar belakang kejadian ini, kami tak punya banyak
pilihan, selain … jangan tampil menonjol, Pemula Kecil. Akan
kujelaskan kepada semua orang yang menyadarimu bahwa kau
hanya seorang pendukung, tapi jangan maju-maju. Bakalan
merepotkan seumpama Ilta tahu kau di sini.”
“D-dimengerti …. Maaf.”
Modaka berhenti dan membisikkan telinga Bell dalam
perjalanan. Anak Hestia itu secara reflex meminta maaf.
Intinya sudah tersampaikan, anggota rajin lain Ganesha
Familia langsung pergi. Suara lirih terdengar dari samping Bell
sewaktu dirinya pergi.
“Menjinakkan, seperti yang kita minta. Dewa Ganesha
benar-benar datang.”
“Fels ….”
“Tim penaklukan akan menjaga kerahasiaanmu. Tetap
bersama mereka di lantai delapan belas.”
Suara itu mencapai telinga Bell dari ruang yang kelihatan
kosong.
Suara tersebut adalah Fels. Seorang penyihir yang tak kasat
mata karena tudungnya, seperti helm yang Asfi buat dan pernah
dilihat Bell. Karenanya, tak seorang pun dapat melihat sosok
berjubah hitam ini.
Bell menerima peralatannya segera setelah keluar dari
lorong rahasia Markas Besar Guild untuk berbaur dengan para
pendukung. Penyihir itu, kelihatan sangat asing dan
mencurigakan seketika mereka mendekati Taman Pusat,
mendadak menghilang ke sebuah tabir sebelum bergabung
dengan tim penaklukan.
“Sudah waktunya. Aku akan masuk duluan.”
“Oke.”
Penyihir itu bergerak ke Babel agar tidak menabrak orang
lain selama perjalanan mereka. Bell samar-samar dapat
merasakan eksistensi Fels, dan anak muda itu menyaksikan
sosok samar itu menghilang dan ….
“Bell!”
“Bell!” “Bell-sama!”
“!”
Seseorang memanggil namanya, Bell pun merasakan
sentuhan tangan di bahunya.
Dia berputar-putar dan segera mendapati Hestia, Welf,
Lilly, Mikoto, dan Haruhime yang berusaha menembus
kerumunan.
Anggota Ganesha Familia yang tinggal di belakang
membentuk sebuah formasi lingkaran di sekitar Menara Babel
sebagai pengendali massa. Beberapa anggota mesti menahan
kelompok yang mati-matian memanggil bocah itu.
Kenapa kalian—? Keterkejutan Bell hanya sesaat.
Menyadari kerisauan di mata teman-temannya, Bell
mengalirkan seluruh kehendak dan tekad ke dalam matanya.
Aku pergi. Tolong biarkan aku.
Lilly dan Welf nampak kesal, jelas-jelas ingin mengutarakan
isi hati mereka. Mikoto dan Haruhime juga sama. Mereka tak
bisa bergabung ke dalam Dungeon ataupun menghentikannya.
Hestia melakukan kontak mata dengan Bell di tengah
teriakan dan dorongan massa.
—Berhati-hatilah, oke?
—Oke!
Percakapan mereka tak butuh kata-kata.
Sang dewi berhasil meniadakan semua ketakutannya dan
mendukung bocah itu. Bell menanggapi dengan anggukan kuat.
“Majuuu!”
Warga bersorak-sorai tatkala Shakti mengeluarkan
perintah.
Hestia dan familianya melihat Bell pergi memasuki gerbang
Babel bersama anggota-anggota penakluk lainnya.
“Aisha! Kau tidak bilang kalau Leon akan ikut juga!”
“Apa salahnya ditambah satu orang lagi? Kau tahu dia itu
sekuat apa, tidak usah dipikirkan.”
“Beritahu aku: apa rencanamu kalau tidak kuberikan Kepala
Hades padanya ….?”
“Andromeda, Ganesha Familia sudah bergerak. Kita juga
mesti ikut.”
“!”
Dinaungi pohon berdaun lebar Taman Pusat, jauh dari
massa yang tempik sorak, seorang manusia, Amazon, dan elf
saling berbicara.
Dengan erangan yang tak cocok bagi wanita seperti dirinya,
Asfi memberikan barang sihir kepada Aisha yang membawa
pedang kayu besar, juga Lyu dalam jubah bertudungnya. Mereka
bertiga langsung menghilang, mendadak buyar begitu memakai
barangnya, kemudian melewati pengendali massa dari anggota
Ganesha Familia yang lengah.
Xenos semua …. Wiene.
Tim penakluk semata-mata mengikuti perintah saja,
penyihir berjubah hitam, penyelundup tak diundang, dan
seorang bocah yang melewati gerbang sambil memikirkan
banyak hal.
Mereka bergerak maju menuju Dungeon, di bawah langit
biru nan indah serta mata penduduk kota yang mendukung
mereka.

Catatan Kaki:
1. Para penyembah Ganesha biasanya memberikan manisan-
manisan seperti Modaka dan bola kecil manis yang namanya
laddus. Jadi “Modaka” ini manisan buat Dewa Ganesha.
2. Ankusa (Nama gelar Shakti Varma), adalah senjata Dewa
Ganesha, yakni berbentuk “TONGKAT”
Volume 10 Bab 9
Mimpi Mahluk Buas

Penerjemah: Daffa Cahyo


Pilar kristal biru yang retak-retak dan akhirnya patah terjatuh ke
lantai.
Puing-puing yang berserakan hanyalah satu-satunya sisa
tenda dan bangunan-bangunan kayu, sedangkan produk batu
sihir pecah terbakar di antara bongkahan-bongkahan bata. Kota
tanpa peraturan ini menjadi sunyi selagi terselimuti awan debu
yang membumbung naik serta pilar-pilar asap.
Dungeon, lantai delapan belas. Under Resort.
Di atas sebuah pulau besar tengah danau sisi sebelah barat
terdapat reruntuhan yang dulunya kota Rivira.
Dinding-dinding batu dan kristal yang memenuhi kota itu
rusak parah dan runtuh dari gerbang utara—catatan mengerikan
tentang serangan hebat para penyerang. Kristal biru dan putih
berserakan dari reruntuhan, pedang dan bilah patah berserakan
dan kepala kapak yang hancur serta percikan-percikan darah.
Senjata-senjata rusak itu menuturkan perlawanan balik mati-
matian para penduduk dan petualang.
Asap masih mengepul membuat bundaran-bundaran mini
di seluruh kota garda depan Dungeon, kini yang tersisa hanyalah
wujud asli terdahulunya.
“Apa yang kau lakukan kepada kaumku?! Katakanlah,
manusia!”
Suara dalam seperti monster yang sedang berbicara bahasa
dunia atas menggema di reruntuhan.
Gargoyle batu berwarna abu berdiri dengan sayap besar
terbentang lebar di atas seorang petualang laki-laki, ia berbaring
terlentang dan kedua kaki patah, di ujung jalan yang sekarang
ditinggalkan.
“Apa—Huh ….?! Kau bilang apa, aneh ….? Aku tidak mengerti
….!”
Pria itu adalah salah satu dari sedikit para petualang yang
tak bereaksi terhadap serangan mendadak para monster. Dia
tersentak sakit tatkala darah menyembur keluar dari kakinya.
Matanya berair, pria itu dengan marah berteriak-teriak di depan
monster jahat tersebut, bersikeras bahwa pertanyaannya tidak
masuk akal.
Darah segar menetes dari cakar batu goliath—dan Gros
memamerkan taring-taring mengancamnya.
“Jangan bodoh! Tubuhmu berbau asam arachne!”
“….?!”
“Kehendak rekanku berkata kau kotor!”
Wajah manusia itu berkerut saat Gros meneriakkan setiap
suku katanya dengan amarah berapi-api.
Bukan si pria yang gagal melarikan diri tepat waktu.
Berbeda dengan para petualang lain, Gros dan kawan-kawan
Xenos tak melepaskannya.
Dia adalah anggota Ikelus Familia sebagai salah satu
pemburu yang menyerang kelompok Ranieh. Pria itu
meninggalkan kelompoknya agar mendapat perawatan atas luka
bakar berbisanya dan memasuki Rivira setelah perburuan
berakhir, berbaur dengan masyarakat untuk menyembunyikan
diri dari hukum.
Asam racun arachne menuntun Xenos kepada Rivira seperti
halnya tali anyaman. Memang begitu tujuan arachne selama ini.
Monster-monster yang punya indra penciuman akurat tidak
sulit menemukan orang yang punya hubungan langsung dengan
si arachne.
Menghancurkan Rivira bukan semata-mata untuk
menghancurkan pengikut Ikelus, melainkan juga melambangkan
besarnya kemarahan Xenos.
“Jawab pertanyaannya! Kau bawa kemana kaumku?!”
Teriakan interogasi gargoyle berlanjut sedangkan para
Xenos lainnya bersama Gros membentuk lingkaran di antara
mereka berdua. Ketakutan dan keputusasaan melingkupi wajah
pria itu ditemani lusinan raungan pemecah gendang telinga.
Dua pemburu lain yang menemaninya telah ditemukan dan
langsung dibunuh setelah dimulainya penyerangan Rivira.
Cakar sekaligus taring murka Xenos telah mencabik-cabik
mereka. Menyobek-nyobek tubuh semuanya, hingga tersisa
darah saja di depan kepungan para monster.
Mustahil bernegoisasi dan nihil harapan pelarian, pria pucat
pasi itu merinding dan bibir gemetarnya merangkai senyum.
“Hah! HAHAHA! Sia-sia saja kuberitahu karena kau takkan
sanggup mencapainya ….!”
Dia memasang wajah berani dan mencoba bermain-main
dengan para penculiknya—namun ketika Gros tanpa ampun
langsung mengayunkan cakar ke bahunya, tawa laki-laki itu
berubah menjadi teriakan bernada tinggi. “HYAHHHHHHHH-
HHHHHHHHH!” teriaknya ketika darah menyembur keluar
dari luka layaknya geyser.
“Bicaralah! Beritahu kami!”
Gargoyle itu mendekatkan diri, taringnya terlampau dekat
sampai-sampai bisa menusuk lelaki itu kapan saja.
Interogasi menakutkan Gros kelewat sulit untuk ditangani,
dan lelaki itu seketika menyerah.
Alih-alih bicara, dia mengangkat satu-satunya pelengkap
yang masih dia pegang, tangan kanannya, kemudian menunjuk.
Jari gemetaran diarahkan dari kota pulau menuju hutan
yang mendominasi wilayah timur.
“Hutan ….? Di mana hutannya?! Katakan apa yang ada di
sana!”
“Pesisir timur …. Di sana ada pintu ….!”
Gros memelototi manusia yang wajahnya berantakan itu, air
mata dan ingus menutupi dirinya.
Para Xenos tahu banyak Perbatasan, seperti Desa
Tersembunyi mereka, sekaligus jalan tembus yang para
petualang tidak tahu, namun tak satu pun dari mereka
mendengar pintu di lantai delapan belas.
Gros bangkit meraung kembali, ingin menarik banyak
informasi detail darinya, namun ….
“Sudah kubilang, kau tidak punya salah satunya, jadi kau
tidak bisa masuk ke dalam ….!”
“Jelaskan!”
“Sia-sia saja ….! Menyerahlah ….!”
Jawaban pria itu memperjelas satu hal: mereka buang-
buang waktu untuk interogasi tak berguna ini.
Tampang dingin gargoyle itu menjadi muram ganas,
matanya melotot berapi-api kepada pemburu Ikelus Familia yang
sudah memenuhi tujuannya. Cakarnya terayun ke bawah.
Mengabaikan tangan terputus yang berguling-guling di
lantai, Gros menatap Xenos lain dan berbicara.
“Ke timur! Para penghuni permukaan menyembunyikan
rekan kita di tepi timur hutan! Temukan mereka!”
Raungan persetujuan para monster sesaat menggemuruh
jalan-jalan datar tatkala perintah diberikan.
Mereka menempuh rute terpendek, garis lurus menuju
timur. Para Xenos yang tak dapat terbang melompati tebing-
tebing terjal di sekitar Rivira sedangkan monster-monster
bersayap membumbung ke udara, mata terkunci pada target
masing-masing.
“—Gros!”
Gargoyle itu hendak bergabung dengan kawan-kawannya
namun dihentikan oleh panggilan Xenos lain.
Dia berbalik dan melihat arah tunjuk rekannya—ujung
selatan lantai delapan belas.
“Mereka ….!”
Sekelompok petualang muncul dari lorong yang terhubung
ke lantai tujuh belas.

“Rivira ….!”
Bell mendapati pilar-pilar asap menyembul dari barat begitu
dia muncul dari lorong redup cahaya.
Tim penaklukan menembus Dungeon dengan kecepatan
tinggi dan tiba di lantai delapan belas dalam waktu singkat. Para
elit Ganesha Familia membasmih monster-monster yang
menghadang tanpa henti, anehnya malah Bell yang kehabisan
nafas dan berjuang mati-matian menyusul sebagai pendukung.
Tim penaklukan beranggotakan tiga puluh orang tiba di
tempat kejadian dan langsung beraksi.
“Komandan, perintahmu ….!”
“Tunggu, saudari—lihat ke sana!”
Ilta si Amazon menyela Modaka dan menunjuk tinggi-tinggi
ke atas kepala mereka.
Beberapa bayang-bayang gelap mengepak-ngepak secara
berbarengan persis di bawah langit-langit berkristal cerah.
“Monster bersayap … mengenakan baju zirah.”
Shakti kesulitan meyakini sesuatu yang masih sangat jelas
dia lihat.
Monster menggunakan pelat-pelat pelindung dan baju besi.
Menurut informasi para penyintas, merekalah monster yang
menyerang Rivira, dan tugas Ganesha Familia adalah
menjinakkan semuanya.
Para petualang tertangguh familia menyipitkan mata,
membuat Bell makin gugup, dan melangkah keluar dari
terowongan. Kelompok itu berbaris langsung menuju hutan di
jalan mereka dan menerjang masuk ke dalam dataran luas jauh di
depan.
“… ada monster lain, di dataran sana ….!”
“Pindah ke timur … ke hutan? Kenapa juga mereka ke sana?”
Dari sisi barat lantai Rivira, mereka berlari melintasi
dataran dan melewati Pohon Sentral, menuju hutan lebat sebelah
timur.
Ganesha Familia menonton sekelompok monster yang
jumlahnya melebihi rekan-rekan monster bersayap yang juga
menyusuri bentang alam tersebut.
Adapun alasan para monster menghancurkan Rivira dan
pergi ke hutan besar, tim penaklukan hanya bisa berangan-
angan.
“Saudari, bagaimana?”
“… kita bagi dua kelompok. Momonga, bawa tim skala kecil
ke Rivira! Lihat-lihat di sana apakah ada yang selamat atau
tidak!”
“Siap, Bu! Dan juga, nama saya Modaka!”
“Sisanya, ikut bersamaku! Kita ikuti monster-monster yang
masuk ke hutan sana!”
Nama pemuda yang salah sebut itu segera mengumpulkan
lima petualang lalu berpisah dari pasukan utama Shakti. Bell
berhenti sejenak di bagian belakang formasi seketika kedua
kelompok berangkat ke arah berlawanan, bingung dia mesti
pergi ke mana, saat itu ….
“Ayo pergi ke hutan.”
“Fels!”
“Rivira sekarang tak lebih dari kota hantu. Lido ada dalam
kelompok monster yang pergi ke timur.”
Fels praktisnya tak kasat mata di samping Bell, ia
menyampaikan informasi demikian.
Memang benar, Bell juga melihat mereka.
Melihat seekor siren dan gargoyle di tengah-tengah monster
terbang bersayap. Dan monster daratnya adalah lamia, troll,
unicorn … serta lizardman yang berlari melintasi dataran.
Kebenaran mulai terungkap, hatinya berdegup lebih cepat
dari sebelum-sebelumnya. Si bocah awalnya lega tak melihat
gadis naga di antara kelompok-kelompok itu, namun kian lama
makin meresahkannya.
Menarik nafas dalam-dalam biar emosi rumitnya menenang,
Bell mengangguk kepada Fels dan mengikuti Shakti. Dia berlari
cepat sembari mengayunkan tangannya sampai-sampai jubahnya
berkibar bagai bendera terbawa badai.
Hutan lebat nan rapat yang membentang dari tepi selatan
sampai timur lantai delapan belas bentuknya bagaikan teluk
besar, tempat pelabuhan sempurna jika Zona Aman Dungeon ini
terhubung lautan. Sangatlah luas, menutupi lebih dari seperlima
wilayah Under Resort. Dibanding wilayah selatan lantai,
dedaunan di bagian timur dan tenggara penuh kehijauan, apalagi
pepohonannya terlihat lebih besar.
Lumut-lumut tumbuh di akar pohon yang terbuka. Pohon-
pohon tinggi membentuk kanopi hijau tebal jauh di atas kepala.
Sungai biru jernih berliku-liku di sepanjang dataran. Percak-
percik bunyi air menetes. Kristal putih lagi biru yang terlampau
raksasa sampai dikira pendek hanya karena kilauannya. Semua
hal layaknya mimpi tersebut, bentang alam indah kini hanyalah
kelabu. Bell kelewat fokus mengikuti tim penaklukan hingga tak
sempat berpikir apakah Fels tak terlihat itu masih bersamanya
atau tidak.
Kemudian Shakti yang terus-menerus mengawasi monster
bersayap jauh diatas cabang-cabang pohon dan dedaunan di
kepala formasi, ia mengangkat lengan. Sinyal kepada para
bawahannya. Mereka hendak mencegat target. Pertemuan yang
ditunggu-tunggu sudah di depan mata.
Bell memberanikan diri terhadap momentum tersebut.
Namun sebelum ia cukup dekat untuk melihat monsternya
secara langsung, sebuah raungan entah darimana menarik
perhatiannya
“Hah ….?”
“Apa-apaan ini ….!”
Ganesha Familia mendekati raungan ganas di atas dan
melihatnya—monster terjebak dalam pertarungan hidup mati.
“Mereka bertarung satu sama lain ….!”
Shakti sang pemimpin, Ilta si Amazon, dan para petualang
lain menyipitkan mata sekaligus kebingungan, berusaha
memahami kejadian itu.
Faktanya, hanya Fels dan Bell-lah yang mengerti.
Para Xenos yang ditargetkan manusia dan monster satu
kaum, sedang diserang.
Sekilas, Bell tidak menyadari bahwa monster-monster yang
bertekad mecabik-cabik musuh-musuh mereka adalah yang ia
jabat tangannya beberapa hari lalu. Aura mereka teramat
berbeda. Seolah-olah orang-orang liar haus darah meretas dan
merengsek maju melewati para penghadang—bugbear dan mad
beetle—di jalan mereka.
Bell menonton dari balik tudung, matanya gemetar, ketika
salah satu kawan Xenos-nya diserang.
Mendadak—para Xenos meraung dan maju tanpa pikir
panjang.
“?!”
Pertempuran pecah sebelum Bell dan Fels dapat memproses
keterkejutan mereka.
Melihat para manusia menyalakan kembali amarah Xenos,
mata merah mereka berdenyut-denyut selagi menukik turun
menuju para pendatang baru dengan mengemban dendam
kesumat dahsyat.
“Majulah, prajurit-prajuritku!”
Sahtki berteriak dengan hati tenang, seluruh Ganesha
Familia berseru di belakangnya.
Pedang saling berbentrokan di hutan.
“Saudari! Apakah kita perlu menjinakkan mereka semua?”
“Hanya subspesiesnya saja! Fokus pada yang mengenakan
baju besi!”
Tanpa peringatan, semua monster yang bertarung satu sama
lain balik menyerang petualang-petualang dengan amarah hebat.
Para pendukung buru-buru mengeluarkan cambuk penjinak,
menyerahkannya kepada Sahtki saat dirinya memberikan
perintah kepada Ilta.
Target mereka dapat dengan mudah dibedakan. Monster-
monster yang bertarung dengan cakar dan kulit lebih menonjol
dibanding monster bersenjata dan berbaju zirah. Tiada
pertanyaan, fokus mereka adalah pada monster yang kedua.
Paling penting lagi—Mereka semua kuat. Meskipun target-
targetnya memakai baju besi, para petualang langsung bisa
mengetahui perbedaannya dalam pertarungan.
Bugbear dan mad beetle dengan mudah dapat dikalahkan,
tapi mereka bingung cara menangani monster-monster
bersenjata. Anggota Ganesha Familia mengerutkan wajah
frustasi ketika senjata mereka berkali-kali dihempaskan.
“Fels—!”
“ORAAAAAAAAAAAAAAA!”
“—Gah!”
Bell terpisah dari Fels dalam gelombang serbuan musuh.
Mempertahankan posisinya saja sudah sangat sulit. Tak sempat
menarik pisau, Bell berzig-zag, melompat, menghindari cakaran
dan taring yang menyerang sampai terpaksa bertahan dengan
sarung tangan di balik jubahnya.
Terdapat tiga pasukan dalam pertarungan hutan rimbun ini.
“Ganesha Familia mulai terdesak.”
—Beberapa pasang mata mengawasi dari tempat tinggi tak
jauh di belakang.
Aisha, Lyu, dan Asfi mengintai di balik semak-semak padat
sambil menonton pertarungan.
Ketiga wanita itu mengikuti Bell dan anggota tim penakluk
lainnya sampai sana, berdiam diri cukup jauh di belakang agar
tak terdeteksi. Pertarungan tak terduga ini sudah berlangsung
tatkala mereka sampai.
“Monster-monster bersenjata … mereka kuat. Beberapa
malah ada yang lebih-lebih lagi, apalagi mereka semua veteran
perang.”
“Ya, dan dari sosok saja sudah kelihatan kalau mereka haus
darah. Semoga berhasil deh menjinakkannya. Sepertinya sang
Ankusha dan pemimpin lain sedang mengurus masalah masing-
masing ….”
“Yah, berarti mereka sama sekali tak bisa dijinakkan.”
Asfi berkomentar lirih di samping Lyu yang melepaskan
helmnya, mendadak muncul begitu saja.
Ganesha Familia punya lebih banyak petualang kelas satu
daripada familia-familia lain Orario, totalnya sebelas. Mereka
semua barangkali hanya level 5, namun masing-masing petualang
dapat berkelana tanpa masalah ke lantai dalam dari sebuah
ekspedisi, menjadikan grup ini salah satu familia terkemuka Kota
Labirin.
Kini, tim penaklukan beranggotakan tiga puluh petualang
isinya Level 3 ke atas. Tidak pernah ada kekurangan petualang
kelas satu di jajaran mereka.
Akan tetapi, dibebani kewajiban malang untuk
menjinakkan monster-monster ini berarti Ganesha Familia tak
dapat bertarung dengan kekuatan penuh. Pertempuran tak
terorganisir ini hanya semakin memperburuk keadaan.
Namun ketakutan terbesar mereka adalah kekuatan
monster berzirah.
Sekurang-kurangnya, tiga dari mereka—gargoyle, siren, dan
lizardman—telah mendemonstrasikan kemampuannya dalam
pertarungan satu lawan satu dengan petualang kelas satu yang
pasalnya paling kuat di sini. Sayap-sayap batu yang fungsinya
sebagai tameng seketika berubah menjadi senjata tumpul,
kemudian gelombang suara kuat meledak di udara, pedang
panjang dan scimitar digerakkan teknik liar penggunanya. Selain
Shakti, para petualang terpaksa bertahan agar serangan balik
gencar tak membunuh mereka.
Mendapatkan sejumlah besar informasi, Asfi sudah
mengetahui eksistensi Xenos sebelumnya. Dia tetap tenang,
berhati-hati mengamati situasi dari jauh.
“Asfi, Leon. Harap hindari pertempuran tak perlu.
Menampakkan diri kita hanya akan mengundang lebih banyak
masalah. Tujuan di sini semata-mata hanyalah mengumpulkan
informasi dan melindungi Bell Cranell—”
Wussssh. Lyu mendadak berdiri di tengah-tengah arahan
Asfi.
“Aku akan membantu.”
“Huh, tunggu—Leon!”
Rasa keadilan pejuang elf itu tak membiarkannya duduk
manis di pinggir medan tempur dan menyaksikan Ganesha
Familia menderita.
“Terlebih lagi, kita kehilangan Tuan Cranell. Aku akan
bertarung sambil mencarinya.”
“Bukannya kau terlalu protektif? Tuh bocah bisa
melindungi dirinya sendiri bila mana keadaan memaksa.”
“Kaulah orang yang membawaku ke sini dengan tujuan
melindunginya … ataukah kau hanya akan berdiam diri saja?”
“Oh, kau tahulah aku akan pergi.”
Mengabaikan mulut Asfi yang menganga, Aisha si Amazon
mengangkat pedang kayunya dan diletakkan ke bahu selagi
dirinya merasa girang.
“P-paling tidak kenakan helm! Lebih mudah bergerak saat
tak terlihat, dan lebih gampang daripada—!”
“Sifat alamiahku enggan bersembunyi dari pertempuran.
Taktik ceroboh tak cocok untukku.”
“Aku juga tidak memerlukannya. Semua helm dan zirah
fungsinya cuma penghambat saja, kan?”
Asfi mengulurkan tangan, kacamata meluncur ke bawah
hidungnya. “Bentar ….!” Teriakannya sia-sia ketika Lyu dan Aisha
membuang Kepala Hades ke tanah. Kain tempur bergelombang
saat mereka balik badan, dua orang wanita merengsek masuk ke
dalam pertempuran.
Barang sihir langka buatan, bernilai ratusan ribu varis,
tergeletak di lantai begitu saja.
“Sumpah deh ….!”
Asfi buru-buru memungutnya. Si pembuat barang, yang
hasil pekerjaan hidupnya telah tertolak, meninggalkan Kepala
Hades di tempat dan tetap setia dalam bayang-bayang tak
nampak.

&

Pertarungan sengit antara manusia dunia atas dan monster terus


terjadi.
Tugas menjinakkan musuh-musuhlah yang mendesak
mereka, para petualang berjuang mati-matian saat monster
meraungkan amarah mereka.
Monster bersenjata—bahkan humanoid Xenos—
terselubungi darah segar.
Perlengkapan mengemas sosok natural mereka serta
membentuk tanda-tanda kemarahan batiniah, mengubahnya
menjadi mahluk buas mengerikan. Pupil-pupil menyempit
menjadi satu garis vertikal belaka, mereka membuat para
petualang kewalahan.
“….!”
“Guh ….!”
Ilta si Amazon jatuh terlutut setelah dihajar ledakan suara
berbahaya siren bersayap emas.
Pase bertarungnya terlampau cepat, berpindah-pindah dari
pohon ke pohon. Pukulan dan tendangan Amazon menembus
udara, namun musuhnya yang punya serangan jarak jauh juga
menyerang petualang lain. Tiada solusi terhadap teknik
menyusahkan siren itu, hanya masalah waktu saja sebelum
petualang kelas satu tersudut.
Siren mengepakkan sayapnya, meluncurkan proyektil-
proyektil bulu langsung menuju Ilta—tetapi ….
“Hati-hati!”
“!”
Bilah kayu besar berayun entah dari mana, menangkis
seluruh peluru dalam satu ayunan.
“Kau punya banyak sekali kejutan, betul?!”
“?!”
Aisha menendang pohon terdekat lalu terbang ke udara dan
si siren menghindar menjauh dari tumit wanita Amazon yang
mendekat.
Ilta, tangannya masih terangkat untuk melindungi diri,
menyaksikan semuanya sambil terkaget-kaget.
“Antianeira?! Kenapa kau di sini?!”
“Tidak usah memikirkan detail kecil, wanita Amazon.
Biarkan aku mengurus ini.”
Aisha melirik gadis di belakangnya ketika ia mendarat.
“Lagi pula, kau mau-mau saja dibantu, kan?”
“… cukup sudah mengocehnya. Lindungi kami selagi kami
menjinakkan!”
Ilta berteriak dan membanting cambuk di tangannya ke
tanah keras-keras sampai segumpal kotoran terbang ke udara
sewaktu dia dan Aisha buru-buru kembali ke medan perang.
“Kekuatan mereka tak dapat dipungkiri—sayang sekali
murka mengikat mereka.”
“GAH!” pekik seekor monster.
“Walau mereka kuat menghadapi serangan langsung,
mereka rentan disergap.”
Selagi prajurit Amazon bertarung sebebas mungkin,
melancarkan serangan demi serangna, Lyu terjun ke dalam
pertarungan dari pohon jauh di atas bersama pedang kayunya
yang siap menyerang. Membidik kepala silverback dan
menjatuhkannya dalam satu pukulan.
Lyu muncul tepat waktu ketika ingin menyelamatkan
seorang petualang laki-laki dari maut.
Tercengang, si petualang menatap Lyu yang menyesuaikan
tudung agar menyembunyikan wajahnya baik-baik.
“K-kau! Siapa kau? Kau itu apa?!”
“… hanya musafir yang kebetulan lewat.”
“Bohong!”
Kejenakaan Gaensha membuat pengikut-pengikutnya
akrab dengan tanggapan tidak masuk akal. Petualang bertudung
tak dikenal bergabung dalam pertempuran dan anak-anak
Ganesha lain turut menimpali.
“Bala bantuan ….? Pastinya petualang dari lantai dalam. Lagi-
lagi, elf itu ….”
Shakti hampir langsung mendapati Lyu dan Aisha. Dia
tersadar punya dua prajurit non-penjinak dalam pertempuran
adalah keuntungan.
Setelah menerbangkan troll ke belakang dengan sekali tinju,
dia menghindar dari unicorn yang berusaha menusuk dan dia
cambuk sampai goyah. Monster itu berputar-putar hingga
menabrak tanah.
Kain tempurnya barangkali lebih cocok dikenakan di
festival alih-alih medan perang. Celah panjang dalam kain
membuatnya bebas bergerak serta berputar sementara anggota
Ganesha Familia lain berkumpul kembali melingkarinya.
“HYAHHH!”
“Apa ….?!”
Di sudut lain, Bell berjuang mempertahankan dirinya di luar
jangkauan pendatang baru.
Mata pedang panjang seekor lamia terrefleksi dari matanya.
Rambut lamia itu hijau, berlumuran banyak darah di wajahnya.
Bau busuk menerpa indra penciuman Bell ketika mahluk itu
berusaha membelahnya.
Kombinasi ketakutan dan kesedihan mencegah bocah itu
memanggil Xenos yang pernah menjabat tangannya.
Tenggorokan Bell menegang, matanya sedih.
“!”
Dia mencoba menggocek lamia untuk menghindari
sabetannya, namun malah cakar bak bilah merobek jubahnya.
Bell kehilangan penyamarannya sekaligus ransel dan alhasil
menampakkan diri dalam medan perang.
Para Xenos yang bertarung melawan monster-monster
hutan hampir berkumpul kembali walau para petualang
mengepung mereka, mendadak—
“GRAHHHHHHHHHHH!”
Seekor lizardman menembus barisan, muncul dari tengah-
tengah pertarungan sengit manusia versus monster.
—Lido!
Lizardman itu menerjang cepat Bell yang beku sesaat.
Bukannya menggunakan pedang panjang dan scimitar yang
diikat di samping senjata, ia meraih kedua bahu Bell dan
mendorongnya ke tanah.
“—Kenapa kau datang, Bellucchi?!”
“?!”
Lizardman itu berkali-kali lipat lebih berat daripada Bell
dan melampaui kekuatannya saat mereka berguling-guling di
lantai hutan, namun Lido berbicara layaknya mahluk hidup.
Mereka berdua terjebak, menjauh dari pertempuran tatkala Bell
menatap baik-baik wajah mengerikan seekor Xenos.
Selanjutnya, Lido menggunakan gaya sentrifugal untuk
melempar Bell lebih dalam ke hutan.
Sewaktu lizardman bersiap-siap mengejar, Bell mengerti
maksudnya. Alih-alih melawan momentum, dia berlepas diri
membiarkan sang momentum membawanya lebih-lebih jauh dari
pertempuran.
“Pendatang baru …. Lebih banyak penghuni dua atas yang
berdatangan!”
Terdengar suara dari jarak cukup jauh dari hiruk-pikuk
Lido dan Bell.
Gros si gargoyle mengamati gelombang pertempuran dari
belakang barisan pasukan Xenos.
Matanya terfokus kepada Lyu dan Aisha, Gros melotot
benci ketika kaumnya kocar-kacir.
“—Gros!”
“Fels?!”
Gros menoleh saat mendengar namanya dipanggil.
Jauh dari pemandangan penuh para petualang, seorang
penyihir berjubah hitam muncul dalam bayangan pilar kristal.
Menonaktifkan sihir tembus pandang, Fels memanggil
gargoyle yang sedang mengudara.
“Akhiri seluruh pertarungan ini! Konflik kita tiada
gunanya!”
“Tidak! Bila kami mundur, mereka para petualang akan
membantai kami!”
“Aku berjanji, takkan membiarkannya terjadi! Tolong
dengarlah—!”
Adu logam dan deru pertempuran menenggelamkan
percakapan.
Fels memohon kepada pemimpin Xenos, habis-habisan
meyakinkannnya untuk berpikir jernih dalam kekacauan ini, tapi
….
“Kalau begitu tarik mundur para petualang! Kami akan
menyelamatkan rekan-rekan kami!”
“?!”
“Janjimu hanya berbuah kata, aku ingin bukti!”
Fels tak segera menanggapi permintaan Gros di atas.
Goliath tersebut menatap si penyihir, kemudian meraung
marah seolah dia sudah tahu jawabannya.
“Itu tak mungkin, kan, Fels?! Sebab dalam lubuk hati
terdalam itu, kau ada di pihak mereka!”
“….!”
“Kau pastinya mengutamakan manusia, bukan kami! Kau
takkan pernah memahami amarah kami!”
Hampir lima belas tahun berlalu semenjak Fels pertama kali
membuat kotak dengan Xenos.
Perlu banyak pembicaraan untuk membangun sebuah
kepercayaan.
Akan tetapi, gargoyle itu kelewat murka sampai lupa ikatan
yang mereka miliki.
“Aku takkan terpengaruh kata-kata manismu itu!”
*SFX ~MANA JANJIII MANISMUUU~, sori admin nyanyi bentar
“Gros, aku ….!”
“Sudah jauh terlambat!”
Gros memunggungi Fels seakan-akan perbincangan telah
berakhir dan mengusir keragu-raguan terakhirnya.
Gros menyelam lebih jauh ke hutan, tenggorokan abu-bau
terbuka lebar dan berdebar-debar.
“————————OOOOO!”
Raungan yang ditujukan kepada sesama Xenos.
Memanggil kawan-kawannya yang sedang bertarung dalam
hutan dengan suara yang tak dapat ditampik telinga manusia.
Perintah untuk mencari kaum mereka, dan mengikutinya.
—Rei, alihkan perhatian manusia!
—Dipahami
Gargoyle melakukan kontak mata dengan Xenos lain di
udara, siren berbulu emas, persis sebelum meninggalkan medan
perang.
Rei, yang wajahnya bersimbah darah dan sama murkanya
dengan Xenos-Xenos lain, memimpin sekelompok rekannya ke
keributan di depan matanya, Gros mengalihkan perhatian ke tepi
timur hutan, tujuannya.
“Lido ….!”
Di suatu tempat kecil terbuka yang sangat-sangat jauh dari
pertempuran.
Bell dan Lido saling berhadapan di tanah kosong yang
dikelilingi batang-batang pohon tebal dan kristal biru putih
tinggi.
“Kenapa … kenapa kau datang, Bellucchi ….?!”
Deru pertarungan menerpa telinga dari kejauhan.
Tiada yang menemani mereka di tempat yang dipilih Lido.
Bagaimanapun, Lido tak ingin reuninya seperti ini.
Menggenggam scimitar dan pedang panjang, si lizardman
menciutkan mata kuning reptilnya seakan menahan pedih hebat.
“Aku dengar … aku dengar Rivira, kota para petualang,
dihancurkan oleh para monster berbaju zirah ….! Apakah …
apakah kalian Xenos-Xenos? Kalianlah yang melakukannya?”
“… ya. Kami yang menyerangnya.”
Di hadapkan kalimat barusan, Bell mengingat seorang gadis
patah hati.
“Kenapa?!”
“Rekan-rekanku dibunuh … oleh petualang di kota itu.
Tidak, oleh pemburu.”
Mata merah rubi mendadak membelalak.
Lido melanjutkan, menguatkan serangan verbalnya kepada
bocah tertegun itu.
“Manusia-manusia itu juga menculik Wiene dan Fia ….!”
Darah Bell menjadi es.
Pemburu menangkap Wiene—Ikelus Familia-kah?
Senyuman tak mengenakkan Dewa Ikelus terbayang dalam
kepala Bell.
Bayangan itu bisa jadi telah menggerogoti dirinya dari awal,
kini Bell tahu itu benar. Keringat dingin menggulung turun dari
kulitnya.
“Maaf, Bellucchi …. Nyatanya kami seperti yang disebut
orang dunia atas: monster.”
“Hah?”
“Aku mencoba menghentikan mereka, mereka semua. Tapi
tidak ada gunanya!”
Tak dapat mencegah penculikan Wiene sekaligus
pembunuhan kaumnya.
Lido meminta maaf, kesal karena ketidakbergunaan dirinya
sendiri. Akan tetapi, tekad kuat telah menggantikannya.
“Tapi bukan hanya mereka saja. Aku sama berangnya! Tak
dapat … mengendalikan kemurkaan ini ….!”
Bell terkesiap ketika melihat iris si lizardman terbelah dua,
pupil putihnya berubah merah dan menjadi wujud alami mereka.
“Aku haus akan balas dendam, tuk membunuh orang-orang
yang membunuh rekanku ….!”
Bell tahu semua otot dalam monster itu berdenyut-denyut,
seolah-olah siap menyerang dan membalas dendam sekarang.
Mata Lido menggetar, dan Bell tahu insting monsternya
telah mengambil alih.
Kehilangan kesadarannya sejenak dan otomatis melangkah
mundur. Bell habis-habisan menenangkan otot-ototnya.
—Tapi itu ….
Sebagaimana manusia.
Manusia juga ‘kan terlalap amarah seandainya terjadi
sesuatu kepada kawan dan sekutunya.
Seluruh emosi yang mengalir dalam Lido serta Xenos lain
tak seperti monster.
Bell membuka mulut dan menuangkan pemikirannya ke
dalam kata-kata, namun tiada yang tertutur. Pemikiran itu tetap
diam, terkubur dalam-dalam di hatinya.
“Rekan-rekan kami di sini, di hutan sebelah timur.”
“… Apa yang—?”
“Dituntun oleh satu pemburu di kota, dia bilang: ada sebuah
pintu di sekitar sini. Kami akan menyelamatkan Wiene dan Fia.”
Bell membatu, tapi masuk akal. Seluruh tindakan Xenos
yang kelihatannya aneh jadi masuk akal.
Terlalu banyak hal yang mesti dia pikirkan.
Namun saat ini, Wiene yang diculik adalah prioritas utama.
“—Lido, aku ikut juga.”
Tak lama setelah kalimat tersebut teujar dari mulutnya—
“Mundur!”
Lido mengayunkan pedang panjangnya, mengiris tanah di
kakinya.
Bell buru-buru melindungi wajahnya dengan kedua belah
tangan dari sepuan batu dan debu.
“….!”
Bell menelan keterjutan setelah penglihatannya membaik.
Celah panjang terbentuk di tanah antara dirinya dan Lido,
memisahkan mereka berdua.
Penghalang nyata yang memisahkan opini mereka.
“Bellucchi, jangan lewat. Kembalilah.”
“Lido ….?”
“Kita selesai. Tidak perlu lagi membahas apa-apa yang
sudah terjadi. Mimpi kita takkan pernah terwujud,” ujar si
lizardman, mempererat cengkeramannya pada kedua pedangnya.
Hilang saja semua harapannya.
“Walau begitu, kami takkan berhenti membebaskan rekan-
rekan kami ….!”
Sekalipun demikian, semangat juang di matanya masih
menyala terang.
“Kami akan merebut Wiene dan Fia …. Jadi Bellucchi, jauh-
jauhlah.”
“.…!”
“Andai kata mereka melihatmu bersama kami, tamatlah kau.
Semua ini salah kami. Aku tak ingin kau terlibat.”
Tolong jangan lewati batas itu.
Lido menjauhkannya.
Berusaha menjauhkannya dari jalan kehancuran.
Berusaha menjaga kebencian membaranya dari orang-orang
dunia atas.
Lido takut dikhianati.
Bell tak bisa bergerak ditatap mata ungu reptile itu, mata
yang mengkerut sakit.
Tidak, ia tidak bergerak.
Tidak menyetujui perkataan monster tersebut.
“… kau sedang apa, Bellucchi? Kalau kau ketahuan
bagaimana?! Pulanglah ke dunia atas, kepada Lilicchi dan yang
lainnya!”
Bell menggigit bibir, berusaha mengendalikan tubuh
gemetarannya kendati telinganya dihajar suara marah-marah
Lido.
Lututnya goyah, matanya terkunci pada Lido semata, ia tak
mengalihkan pandangan.
Cahaya kristal menyala dari bilah ganda lizardman,
membakar habis matanya.
Gema nan jauh menyelinap—sang gargoyle telah
meninggalkan pertempuran.
“Kau itu manusia, Bellucchi! Jangan sia-siakan waktumu
untuk mengkhawatirkan monster!”
“Lido ….”
“Pergilah!”
“Lido ….!”
“Pergilah dari sini!”
“Tapi, aku—”
Satu langkah lebih dekat, melewati celah-celah di tanah.
Lido tak membiarkan kata-katanya selesai!”
Dirinya merinding terhadap raungan monster mengerikan
itu.
Wajah si bocah tak karuan, arwahnya kacau tatkala si
lizardman meneriakkan penolakan afdalnya.
“—Tuan Cranell!”
“!”
Kedengaran suara tajam, pedang kayu tipis melintas di
antara mereka berdua segera sesudahnya.
Lido dengan tangkas menghindari serangan tersebut,
melompat ke belakang tatkala petualang bertudung yang
mengenakan jubah robek-robek mendarat di depan mata Bell.
Lido memandangi elf yang melindungi Bell kemudian
berputar lalu berlari ke arah berlawanan.
Bell ditinggalkan, mengamati ekor tebal yang menghilang ke
dalam pepohonan.
“Apa kau terluka, Tuan Cranell?”
“… Nona … Lyu? Kenapa ….?”
“Aku jelaskan rinciannya di lain waktu. Sekarang,
berbahaya berdiri sendirian di sini. Untuk saat ini kita lebih baik
berkumpul dahulu dengan Ganesha Familia.”
Lyu mengikuti raungan lizardman dan membimbingnya
menuju tempat terbuka, ia berbalik dan hendak pergi.
Meskipun Bell melihat jubahnya melambai-lambai di
punggung, bocah itu berdiri kokoh, seakan-akan kakinya dipaku
di tempat … dan menunduk.
“Tuan Cranell?”
Menyadari anak itu tak mengikuti, Lyu menghadapnya.
“Maaf, Nona Lyu ….”
Lantas Bell mendongak dan menatapnya.
“Monster itu … aku akan mengikuti lizardman.”
“!”
Lyu terperangah dari balik tudungnya saat Komandan
Hestia Familia mengutarakan isi hatinya.
“Aku … harus mengikuti lizardman itu ….!”
Bell mau nangis, namun matanya tidak plin-plan.
Lyu di depannya terdiam.
“Boleh tahu alasannya?”
“….”
Respon Bell hanya keheningan belaka ketika Lyu berbicara.
Wanita itu mengamatinya, tak berkedip sekali pun.
Mata biru langit meneliti mata merah rubi Bell.
“Kau betul-betul tidak terpancing rencana busuk Evilus ….
Ikelus Familia? Dengar-dengar sih keadaanmu begitu.”
“!”
“Akhir-akhir ini tidak seperti dirimu saja. Syr cemas …
begitu juga diriku.”
“….”
“Alasanmu mengejar monster itu adalah misteri bagiku.
Sayangnya, aku … aku tak ingin kau terlibat dengan familia
tersebut.”
Matanya penuh emosi tak terkendali, Lyu mengulurkan
tangan kanan kepada Bell seolah merasakn bahaya, seakan takut
pada kejadian ke depannya.
Seperti hari itu tatkala mereka berjabat tangan persis di
lantai ini.
“Apakah kau akan kembali ke permukaan?”
Bell tidak memalingkan wajah.
Menjauh dari tangan yang mencoba menjangkaunya.
Langkah tersebut mengantarnya melalui retakan di lantai,
mengungkit kembali ingatan menyakitkan perkara kejadian yang
membawanya kea lam sana—dengan demikian Bell berpisah
dengan Lyu, sebagaimana Lido beberapa saat yang lalu.
“Aku mengerti ….”
Jatuh keheningan kedua. Lyuu memalingkan wajah dari
seorang anak laki-laki penuh tekad membara.
Bell merasa sedih karena telah mengabaikannya, namun dia
tahu perasaan itu perlu dia tahan. Mendadak, suara riuh besar
datang dari medan pertempuran menembus pohon-pohon hutan.
Lagu penghancuran siren melindungi garis belakang Xenos.
Lyu menyipitkan mata karena suara yang jauh-jauh lebih
kuat menabrak para petualang.
Lalu menatap mata Bell sekali lagi.
“Kau telah menjadi petualang sebenar-benarnya petualang.”
“Nona Lyu ….”
“Sia-sia saja menghentikanmu. Ikutilah dia.”
Lyu menarik kantong kecil dari pinggangnya seraya bicara.
Mengeluarkan bermacam-macam ramuan tingkat tinggi
dan barang penyembuhan lainnya.
“Tapi, aku akan mengikutimu …. Setelah tim penaklukan
aman,” tambahnya.
Bell tak dapat menolak.
Ia hanya bisa menerima.
“Terima kasih banyak …. Dan maaf.”
Bell berlari cepat.
Merasa Lyu berlari ke arah berlawanan di belakangnya
selagi mengencangkan tali kantong dan mengejar ke depan.
∆αίμονας

“Dix, kita dapat kabar monster-monster itu mulai mendekati


markas kita.”
Dix menatap langit-langit berbatu setelah mendengar
laporan Gran.
“Baroy atau siapalah itu tidak bisa menutup mulut … aku
ingin sekali menghantam wajah mereka, tapi mereka sudah mati,
sih.”
Duduk di atas sangkar kecil kosong, pria berkacamata
google mulai tertawa penuh harapan.
Lanjut melihat bawahannya dan melemparkan sesuatu
kepadanya.
Lelaki besar menangkap potongan logam yang terproses,
batangan logam yang berukuran pas di tangan.
“Gran. Buka pintunya, oke?”
“D-Dix? Kau yakin? Misalkan monster sampai masuk ke sini
….”
“Para pengikut Ganesha seharusnya tak jauh di belakang.
Menyebalkan apabila mereka jadi curiga, menyaksikan sejumlah
besar monster berkeliaran di luar.”
Pria itu menyeringai.
“Mauku ingin memberikan undangan kecil kepada monster-
monster kecil itu.”
Tawa gelap nan jahat tersembur dari tenggorokannya.
“Kita berburu di kandang sendiri.”

“Gros!”
“Kau telat, Lido!”
Si lizardman menyusul gargoyle yang memimpin para
Xenos.
Mereka tiba di tepi timur hutan. Daerah ujung lantai.
Permukaan batu-batu curam yang menghadap ke langit-langit di
depan mereka.
Tidak ada jalan ke depan. Dataran tidak lebih jauh dari sini.
Banyak Xenos mencari-cari petunjuk tentang tumbuhan
dan pilar kristal, menyisir area tersebut demi detail kecil apa pun
yang barangkali mereka dapati, tidak satu pun batu terlewati.
“Bagaimana pintunya? Kau ketemu?”
“Tidak, tidak ada apa-apa di sini! Rekan kita tidak
menjawab, walau telah dipanggil berkali-kali!”
Gros mulai resah. Lido bergabung dalam pencarian, bidang
penglihatannya dikaburkan oleh pohon atau batu di segala arah.
Tidak ada yang kelihatan aneh selain pemandangan berulang-
ulang.
Boleh jadi mereka ditipu. Gros, Lido, dan Xenos lain
berusaha tenang dari kata-kata terakhir seorang pemburu—Kau
tidak punya salah satunya, jadi kau tidak bisa masuk ke dalam!—
berdering terus di telinganya.
“—Lido!”
Seketika itu terjadi.
Goblin bertopi merah berteriak heran sambil menunjuk-
nunjuk. Tatapan Lido mengikuti jari si goblin. “Itu ….”

Bell sedang berlari menembus pohon-pohon, melompati akar


yang berselang-seling di tanah bagaikan tentakel raksasa,
mendadak bayangan hitam muncul.
“Fels!”
“Bell Cranell! Kau datang!”
Mengenakan jubah panjang, Fels bergabung bersama Bell
dan ikut berlari di sampingnya.
“Kau baik-baik saja?” tanya penyihir itu sambil bernafas lega
begitu mereka bersamping-sampingan.
“Ya!” jawab Bell.
“Aku mengontak Gros, tapi sia-sia. Dia membicarakan
sesuatu tengah menculik kaumnya … konklusi satu-satunya
adalah para pemburulah yang memicu serangan mereka. Kini
tiada yang bisa menghentikan Xenos.”
“Aku berbicara dengan Lido!”
Bell menceritakan percakapannya dengan si lizardman.
Memberitahu Fels bahwa beberapa Xenos telah terbunuh,
bahwasanya Wiene dan Fia tertangkap, semuanya diceritakan.
Fels mengeluh sakit.
“Kendati tak ingin kuterima, para pemburu itu selangkah
lebih maju … aku yakin kalau Ikelus Familia-lah para pemburu
itu.”
“….!”
“Tapi pintu yang kau sebutkan ini …. Apakah mengarah ke
markas musuh?”
Fels dan Bell saling bercakap-cakap saat mereka maju,
mencocokkan langkah satu sama lain.
“Fels, bagaimana kalau … Xenos yang melawan Lyu dan tim
penaklukan? Bagaimana dengan mereka ….?”
“Tidak jadi masalah. Ganesha Familia diperintahkan
menjinakkan mereka. Aku ragu ada satu ekor pun Xenos yang
akan mati. Jujur saja, aku lebih mengkhawatirkan para
penjinaknya. Saat ini Xenos tidak seperti biasanya … biarpun
Gros dan Lido telah meninggalkan medan tempur dan membagi
dua pasukan mereka, aku yakin tidak perlu merasa takut lagi.”
Fels menjelaskan bahwa sekarang adalah kesempatan
Ganesha Familia.
“Kita barangkali gagal meyakinkan mereka untuk mundur,
tapi sekarang kita bisa bergerak tanpa hambatan. Kini kita perlu
menemukan dan menyusup ke markas rahasia ini.”
“Aku mengikuti ….!”
Akhirnya, petunjuk untuk menemukan pemburu-pemburu
itu mereka genggam. Memori air mata Wiene tatkala mereka
berpisah mendorong Bell, dan dia menambah kecepatan bersama
Fels.
Liuk-liuk cabang di atas kepala makin menipis, pepohonan
di jalan mereka mulai menunjukkan dinding berbatu.
Sekelompok pilar kristal biru berdiri megah membentuk formasi
lingkaran aneh di sekitarnya. Namun kedua tokoh itu tidak diam
saja, malah bergegas cepat untuk mencapai tujuan mereka.
“Inikah ….?”
“Ya, ujung timur hutan sekaligus destinasi kita. Sayangnya
….”
Suara Fels sedikit bergetar di samping Bell yang
terperangah, ia mengitari daerah tersebut kemudian berhenti.
“Xenos tidak kelihatan batang hidungnya ….
Menghilangkah? Tidak jelas.”
Mereka mengikuti jalan-jalan hancur yang ditempuh Xenos
dalam perjalanan di hutan, mereka mendapati tanaman tumbang
serta pecahan kristal tersebar di mana-mana. Xenos ada di sini,
mereka yakin itu.
Namun tidak terlihat apa-apa. Bell dan Fels mendengarkan
cermat-cermat lingkungan mereka, tapi tidak ada apa-apa.
Para Xenos telah menghilang. Semua monster itu
menghilang, dalam sekejap mata.
“Sebenarnya pintu apa ini? Mereka menemukan
markasnyakah ….?”
Mereka berdua berdiri saling memunggungi, memindai area
sambil meningkatkan kewaspadaan masing-masing.
Tapi mereka tak menemukan tempat mencurigakan apa
pun, sama sekali tidak ada petunjuk yang menandakan
keberadaan sang pintu. Di tengah-tengah udara hutan nan tenang
juga tanah hancur, kegelisahan mereka semakin menjadi-jadi.
Tatkala detak jantung mulai mempengaruhi kepala Bell—
sesuatu menarik matanya.
Fragmen-fragmen kristal besar yang dihancurkan Xenos-
Xenos tersebar di tanah.
Walau kilauannya menarik perhatian, regenerasi cepat
kristal masih mempertahankan wujudnya. Kristal tersebut mulai
membentuk kembali di hadapannya.
Suara tertentu mencapai telinganya seketika kristal mulai
menyerupai bentuk sebelumnya, suara yang tidak pernah ia
dengar.
Aku pernah melihat ini sebelumnya, tapi di mana ….?
“…. Desa Tersembunyi Xenos?”
Sebuah dinding kuarsa membuat pintu Perbatasan tetap
tersembunyi.
Tak butuh waktu lama sampai kuarsa1 memperbaiki
konstruksinya.
Mata Bell terbuka sedikit lebih lebar sewaktu menyadari
bahwa tambalan kristal di dinding adalah jenis kuarsa yang sama,
kuarsa-kuarsa itu pulih dengan cepat.
Lalu Bell merasakan sesuatu yang panas di bawah baju
besinya ketika kakinya dilangkahkan selangkah lebih dekat ke
arah itu.
“Hah?”
“Bell Cranell?”
Punggung Bell ditatap mata penasaran Bell, Bell berada di
lokasi deretan peristiwa terjadi, ia sama bingungnya juga.
Tangannya melilit kantong yang diberikan Lyu.
Dirogoh, jemarinya melewati ramuan tingkat tinggi dan
obat penawar sampai—Bell mengeluarkan sepotong logam,
sebuah batangan logam yang pas di telapak tangannya.
“Bell Cranell, itu apa ….?”
“Barang sihirkah ….?”
Ujungnya banyak gurat-gurat, seolah logam dulu sangat-
sangat panas sampai hampir meleleh. Tapi benar kata Bell,
sebuah barang sihir.
Objek perak bundar itu barangkali terbuat dari mithril.
Sebuah bola merah tertanam dalam di logam tersebut—
bagaikan mata yang menyolok keluar dari inti mithril.
Tertulis huruf-huruf sangat sederhana yang tidak ditulis
dalam Koine ataupun hiero-glyph di permukaan barang:
huruf D.
“A-apa ini ….?”
Barang sihir berbentuk lingkaran yang terus
menghasilkan panas, sampai tak terpikirkan lagi ketakutan
dalam benak masing-masing.
Terlebih lagi, panas dan intensitasnya bervariasi
berdasarkan lokasi seolah-olah merespon sesuatu di
dekatnya.
Mulut Bell terbuka saat dia membiarkan batang logam
itu membimbing jalan mereka.
Barang sihir menuntun ke bagian dinding batu yang
terlihat menonjol.
“Tidak ada yang kelihatan aneh ….”
“Fels, area ini … ruangan yang juga mengarah ke Desa
Tersembunyi Xenos.”
Sama-sama saja dengan bagian dinding tersebut dari
formasi bergerigi yang menyebar sejauh mata memandang.
Seketika barang sihir itu ditempatkan di puncak telapak
tangannya, Bell memberitahu Fels tentang pengamatan
sebelumnya.
Penyihir berjubah hitam terdiam, fokus tingkat
tingginya terarah ke dinding.
“Mundur, Bell Cranell.”
Tangan kanan muncul dari jubah hitam yang berdesir
menunjuk dinding.
Pola-pola rumit di sarung tangan Fels menjadi hidup.
Tiba-tiba, gelombang kejut tanpa warna keluar dari
telapak tangannya.
“….!”
“Wah, mengejutkan sih ….”
Gemuruh gelombang itu bukan hanya membuat Bell
lengah, tetapi sesuatu yang terbentang di balik tembok
setelah ledakan membuat mulutnya menganga.
Pintu masuk lorong menguap-nguap di depan mereka
seketika serpihan kuarsa jatuh ke tanah.
Pintunya cukup besar sampai monster kategori besar
saja bisa dapat dengan mudah memasukinya, lorong itu
terbuat dari berbagai macam jenis batu dan mineral.
“Bukan formasi alamiah Dungeon, melainkan sesuatu …
artifisial,” kata Fels sambil seraya berbisik, ia melangkah
masuk.
Setelah melalui pintu beregenerasi itu, Bell sampai lupa
bernafas ketika keduanya berjalan lebih jauh ke dalam
terowongan.
Jalan mereka mendadak diblokir gerbang logam yang
menjulang tinggi padahal belum masuk lima meter.
Mereka berdua membeku di hadapan pintu raksasa. Dua
patung iblis memandang ke bawah di kedua sisi.
“Orikalkum2—batangan logam agung yang dapat
ditempa menjadi barang kelas Durandal. Bahkan logam
tersebut melampaui adamantite2.”
Logam padat terlangka di dunia, hasil terakhir dari
pencampuran berbagai bahan-bahan digabungkan teknik
manusia dan manusia hewan. Bahkan Bell pun, yang masih di
tepi luar strata petualang, pernah mendengar namanya.
“Secara fisik mustahil dihancurkan …. Tapi.”
Fels melirik dan menyuruh Bell mendekat. Lantas ia
menghampiri.
Menyodorkan barang sihir di tangannya yang
gemetaran—permata merah yang terkubur dalam-dalam di
benda itu berkilauan.
Terowongan bergemuruh di sekeliling mereka dan
sebuah pintu naik.
“Tidak mungkin …. Sesuatu seperti ini, dalam Dungeon?”
Terowongan redup cahaya menunggu mereka di sisi lain,
nyaris tak diterangi cahaya lampu berbatu sihir yang
berkedip-kedip.
Bell menelan ludah, menatap benda bundar di tangannya
saat Fels berbisik pelan di samping.
Barang sihir itu adalah kunci untuk membuka pintunya.
Lyu tahutah soal ini ketika dia memberikan kantongnya? Ataukah
hanya kebetulan belaka?
Ikelus Familia—Evilus—adalah organisasi yang katanya
berkelana di Dungeon lima tahun lalu dan tetap lebih
menonjol hingga hari ini, suatu kelompok keji.
Lyu bilang dia bertarung sampai titik darah penghabisan
bersama Astrea—lambang mereka menggambarkan pedang
keadilan bersayap—untuk melindungi segenap Orario dari
mereka.
Bell teringat kembali hari-hari tatkala mantan petualang
elf itu memberitahunya cerita tersebut persis di lantai ini, di
titik tersembunyi tempat rekan-rekannya beristrirahat.
Dia barangkali merebut barang sihir itu dari salah satu
musuhnya saat membalaskan dendam sekutu-sekutu yang
gugur.
Banyak pikiran melintas dalam benak Bell sewaktu
hipotesisnya bersambungan. Kemudian mendongak.
Terowongan batu di depannya jelas-jelas dirancang dan
dibangun oleh tangan manusia.
Patung-patung itu bukan bukti satu-satunya.
Karena tersembunyi di balik regenerasi dinding Dungeon
Zona Aman tempat para monster tak terlahir, konstruksinya
diabaikan.
Tapi malah memunculkan lebih banyak pertanyaan,
siapa yang membangunnya? Kapan? Bagaimana? Semakin
banyak pertanyaan bertumbuhan.
Fels berjalan melewati Bell, dia bahkan tak
memperhatikan petualang yang berkeringat dingin itu,
mendekati sekotak dinding di balik pintu.
Permukaan batunya bisu walau tertulis satu tanda
buram berbahasa Koine.
“… Daedalus.”
Suara hampa Fels membaca suatu nama.
Rasa merinding yang betul-betul tak berhubungan
dengan Dungeon menjalari Bell. Bocah itu menatap jurang nan
gelap yang terbentang tanpa akhir di hadapannya.
Matahari cerah dari ufuk mulai menyingsing dari pusat
langit.
Menara Babel berdiri tegak di Taman Pusat, lokasi itu
masih ramai meskipun tim penakluk sudah lama berangkat.
Ganesha Familia bekerja keras mempertahankan zona
tkp di sekitar menara. Petualang lain mendekat untuk
mencari informasi, tapi sebagian besar kerumunan masih
cemas menunggu kepulangan mereka sambil membawa
kemenangan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu,
ketegangan mudah memudar dengan mudah.
“Bangsat, kita beneran jadi penunggu saja ….?”
“Gara-gara pengawasan ketat, menyelinap ke dalam
Dungeon sangat tidak mungkin …. Semua petualang dan
dewata yang mencoba menyusup telah tertangkap.”
“Menunggu tuh sulit, kan ….? Aku selalu melakukannya
setiap hari, Welf.”
“Master Bell ….”
Welf, Mikoto, Hestia, dan Haruhime berkumpul di
sudut Taman Pusat. Mereka saling bercakap-cakap sambil
menatap menara putih dari jauh. Tidak ada cara
mengembalikan atau mengetahui kabar Xenos, semua
anggota Hestia Familia risau.
“Kembali ke topik sebelumnya … jika benar para
pemburu itu memulai kekacauan ini sambil menculik salah
satu Xenos, kenapa tidak kita coba saja cari markas mereka?
Kalau mereka semua bekerja di pasar gelap dan menjual
monster-monsternya ke kolektor atau siapalah, mereka pasti
menyimpan stok di suatu sudut kota ini, benar?”
“Itu benar … tapi bila Fels dan Guild tak mampu
menemukan tempat persembunyian mereka, apa gunanya
usaha kita ….?”
“Hermes ahli mengurus hal semacam itu, tapi … lagi-lagi,
menangkap monster dan menjual mereka untuk mendapat
keuntungan? Hanya orang-orang tak kenal takut terhadap
para dewa-dewi dan Dungeon-lah yang mencobanya.”
Hestia menyuarakan ketidaksenangannya selagi
mendengarkan pembicaraan Welf dan Mikoto.
Saat itu juga, Lilly, si otak familia, mempunyai pemikiran
sendiri setelah mendengar kata-kata Hestia.
“Menjual monster ….”
Memiringkan kepala kecilnya seakan ingatan mengalir
ke dalam kepala.
“Memancing monster, menangkap mereka, kemudian
menjualnya ….”
“… Lilly kecil?”
“K-kau merasa tidak enak badan?”
Welf dan Haruhime menatap khawatir prum saat Lilly
terus bergumam sendiri.
Mendadak, kepala gadis kecil itu tersentak sewaktu
segenap anggota familia menatapnya.
“Ayo pergi.”
“Pendukung?”
“Lilly mungkin punya petunjuk.”
Lilly memunggungi Babel dan melangkah pergi setelah
berkata demikian. Hestia dan kawan-kawan saling menatap
sesaat sebelum menyusulnya.
“Pergi? Kemana?”
Lilly berbalik untuk menjawab pertanyaan Welf.
“Mantan dewa Lilly—ke Lord Soma.”
Kediaman Soma Familia dan gudang anggur terletak di
antara East Main Street dan Southeast Main Street di distrik
ketiga Orario.
Lilly menuntun kelompok Hestia kepada dewa
pertamanya.
“Lililuka Erde …. Apa kabarmu?”
Mereka menemui Dewa Soma di ruang pribadinya, dia
lebih mirip seorang pertapa alih-alih mahluk ilahiah, namun
dia tetaplah mantan dewa Lilly, kepala Soma Familia.
“Sudah lama tidak bersua, Lord Soma. Lilly sangat-
sangat berterima kasih.”
“Hei, Soma. Maksudmu apa? Kau menuduh diriku
memperlakukan kasar si Pendukung?”
Rambut panjang menutup mata serta emosi luas nan
dalam.
Lilly membungkuk pada dewa yang hampir tidak
ditemui selama hampir dua bulan sedangkan Hestia
melompat di sampingnnya. “Maaf ….” ucap si dewa dengan
suara lirih sementara Hestia merengut kepadanya sembari
menggembungkan pipi.
Tingkah aneh Soma Familia hampir lenyap semua setelah
Lilly pindah familia dan Permainan Perang berlangsung.
Sebab Soma berhenti menggunakan anggur ilahi sebagai
hadiah untuk mengatur para pengikutnya.
Lilly tahu sekecil apa kepedulian Soma kepada orang-
orang di dunia ini, alhasil tindak-tanduknya yang agak ramah
membekaskan kesan mendalam kepada Lilly—membuatnya
senang pula.
Dia langsung merangkum situasi mereka. “Baiklah ….”
Soma mengangguk tanpa perlawanan. “Aku akan panggil
Chandra ….”
Dia menngungkit salah satu pengikut terdekatnya.
Beberapa saat kemudian seorang kurcaci kasar muncul dari
pintu.
“Sudah lama ya, Chandra-sama. Lilly dengar kau sudah
menjadi pemimpin. Selamat.”
“Cukup sudah. Aku tidak cocok memimpin apa pun ….
Tidak bisa banyak minum-minum lagi seperti biasa.
Menambah penderitaanku saja.”
Respon masam Chandrat Ihit yang entah kenapa
kelihatan lelah. Kurcaci berambut pendek yang bergabung
dengan Soma Familia hanya untuk menikmati wine
ternikmat telah membantu Lilly di saat-saat vital dan kini
menduduki pemimpin organisasi.
Membimbing Lilly dan kawan-kawan ke gudang wine,
meneguk labu yang tergantung di pinggangnya saat mereka
bergerak.
Sedangkan kediaman Soma Familia mendekati pusat
kota, gudang anggur terletak beberapa blok saja dari dinding
kota.
Sang dewa telah menyerah untuk memproduksi soma,
anggur yang cukup manjur untuk memikat semua orang di
Bumi. Familia sekarang fokus pada pengembangan wine lezat
dengan tujuan mendapat keuntungan kecil, dan gudang
anggur telah direnovasi untuk mendukung penelitian
tersebut. Sayangnya, hanya satu tempat yang tak berubah:
Sel tahanan, tempat yang dimanfaatkan familia untuk
mengendalikan para anggota.
“Hei kau …. Makanan! Mana makanan? Cepatlah, aku
lapar!”
Suara pria kasar, lebih mirip gonggongan anjing liar,
terdengar jauh dari terowongan batu.
Ketika lampu berbatu sihir tua berkedip-kedip dan
udara lembab mendingin di kulit mereka, Soma dan Chandra
mengantar Hestia Familia. Lilly menegang.
“Diamlah, Zanis. Jangan banyak bacot.”
“Ehhh? Chandra, kau sedang apa ….? Oh, ternyata Lord
kita dan …. Kalian-kalian ….”
Seorang anggota familia yang bertugas sebagai penjaga
mengarahkan mereka ke suatu sel berisi manusia.
Seorang tahanan berpipi cekung menatap
pengunjungnya satu per satu hingga terhenti di Lilly. Hampir
saat itu juga bibirnya tersenyum.
“Wkwkwkwkkwk ….! Tidak kusangka aku melihatmu di
sini.”
Lilly mesti berusaha sekeras mungkin agar wajahnya
tetap tenang di hadapan ekspresi tanpa kedip Zanis.
Nama pria itu adalah Zanis Rustra. Seorang petualang
Level 2 kelas atas seperti Chandra, dulu dia juga bertanggung
jawab atas Soma Familia.
Dialah bayangan dari sosok terdahulunya. Tiada
secercah kecerdikan dalam perawakannya, kacamatanya juga
tidak ketemu-ketemu. Melihat pakaian compang-camping
dan robek, kata lusuh sangat cocok menggambarkannya.
Posisi Zanis telah dicopot setelah peristiwa yang
membuat Lilly hengkang dari Soma Familia.
Selain banyaknya korban dari perilaku familia yang kasar
dan serampangan, faktor terparahnya adalah ia menggunakan
dan menjual wine ilahi Soma untuk memanipulasi orang-
orang lain demi keuntungannya sendiri.
Statusnya disegel oleh Soma sebagai hukuman, pria itu
sekarang menghabiskan hari-harinya dalam kurungan.
Welf tentu terlampau murka, dan pria itu menatap kesal
dirinya saat si penjahat berjalan ke jeruji hitam dan berbicara
kepada Lilly di depan kelompok.
“Datang untuk menertawai Zanis malang ini, bukan
begitu, Erde?”
“….”
“Aduh, aduh, kok jadi berubah, ya. Terakhir kali bertemu
aku di situ dan kau di sini ….” Kata mantan pemimpin kumal
itu, menatap Lilly sambil menyeringai gelap.
“… Lilly punya … pertanyaan padamu.”
“Padaku? Orang yang merenggut segalanya dariku mau
bertanya apa?”
Mengabaikan sarkasme Zanis dan suara tenangnya
bertanya:
“Perihal monster yang berbicara …. Apa kau tahu dimana
pangkalan bisnis berisiko yang kau sebutkan itu?”
Si pria membeku, benar-benar terbungkam setelah
mendengar kata-katanya.
Tapi hanya sedetik saja. Seringainya yang cekikikan
berubah menjadi tawa senang.
“Wah aku paham …. Hahahahahaha! Kau melihat salah
satunya? Bertemu salah satu monster berbicara itu, Erde?”
Tawanya bergema di terowongan.
Ternyata benar, pikir Lilly ketika melihat reaksinya.
Chandra mengangkat alis, Soma tetap diam di sampingnya.
Semuanya terjadi tepat sebelum Permainan Perang,
tatkala Zanis mengunci Lilly di sel ini selama bernegoisasi
dengan Apollo Familia. Pria itu mendatangi Lilly dalam
kondisi lemahnya dan meminta bantuan.
Rencana Zanis adalah menggunakan sihir transformasi
Lilly, Cinder Ella, untuk menangkap monster.
“Ada sebuah proyek yang mana aku ingin kau ikut berpartisipasi.
Tidak besar kok, hanya bisnis petualang baru. Memancing monster,
menangkap mereka, kemudian menjualnya … bukankah itu sederhana?”
Tapi sekarang dia tahu. Tahu mana monster yang harga
jualnya tinggi.
Lantaran telah memahami kecantikan dan betapa
hidupnya Xenos.
Zanis sudah mengetahui keberadaan mereka hari itu,
bahkan mungkin dari sebelum-sebelumnya.
Menilai caranya bicara, bisa jadi Zanis terlibat dalam
transaksi pasar gelap di sana, menjual monster berbicara
kepada kolektor-kolektor bejat. Oleh karena itu, ia jauh lebih
tersangkut kepada jual-beli rahasia dan markas
persembunyian para Xenos disembunyikan dari Hestia
Familia.
Hestia dan para pengikutnya melihat meski matanya
gemetar saat Lilly mengerutkan kening dan menuntut
jawaban.
“OAKWAOWKAWOKAOWK ….! Baiklah, barangkali
kau akan menemukan hal menarik di Daedalus Street,
seharusnya kau pergi ke sana.”
Pria itu memutar tubuhnya dan wajahnya mencibir, mata
cekungnya tertuju pada Lilly ketika memberikan petunjuk
meyakinkan.
Saraf-saraf Lilly mulai menegang tatkala menguak
informasi lebih lanjut.
“Tepatnya dimana?”
“Sana cari sendiri. Aku takkan bilang apa-apa lagi.”
Tawa Zanis sekali lagi menggema di aula batu, jelas-jelas
menikmati posisi Lilly saat ini. “Mau membuatnya bicara
dengan sedikit paksaan?” tawar Chandra, tapi Lilly
menggeleng kepala, menolak saran kekerasan.
Zanis takkan pernah takluk. Paling-paling, tidak sampai
insiden ini terselesaikan.
“Petunjuk terbaik kita adalah di Daedalus Street …. Ayo
pergi.”
Lilly balik badan dari sel tahanan dan memanggil rekan-
rekannya. Begitu mereka mengangguk, Lilly meminta Soma
dan Chandra untuk merahasiakannya lalu memimpin
kelompok kembali ke koridor.
“Semoga beruntung, Erde …. Hah! Ahahahahahahaha!”
Tawa pria mengerikan bergema di belakang mereka,
Hestia Familia pindah haluan ke Daedalus Street.
“Tempat ini terhubung ke Daedalues Street ….?!”
Bell berjalan melalui lorong batu, tidak bisa
menyembunyikan keterkejutan dari suaranya.
“Ya, tidak salah lagi. Rute menuju dunia atas yang
terhindar dari pengawasan kami sehingga memungkinkan
transaksi haram di luar Orario …. Bila mana struktur ini
menuju dataran atas, maka tempat ini adalah potongan
terakhir teka-teki yang paling logis. Tidak apa-apa untuk
berasumsi lorong bawah tanah yang menuntun ke luar
tembok kota juga, membuat mereka bisa menghindari
inspeksi gerbang.”
Fels menjelaskan rentetan pemikirannya selagi lebih
dalam menyusuri lorong tersebut.
Jaringan jalinan lorong-lorong batu itu rumit. Setiap
persimpangan dan interseksi telah diukur mati-matian untuk
menciptakan sudut sempurna yang tak eksis di Dungeon,
berarti tempat ini ialah labirin buatan. Seandainya bukan
karena jejak darah yang ditinggalkan para monter terluka,
mereka berdua pasti sudah tersesat. Walau tiada monster
yang terlahir dalam dinding dan langit-langit gelap ini,
struktur dan patung menakutkan memaparkan hewan-
hewan buas yang berdiri di sepanjang jalan.
Lampu lemah yang teristrirahatkan di dinding
menerangi sosok samar-samar Fels.
Dugaan tempat ini terhubung ke Daedalus Street
didasarkan pada tanda-tanda ukiran dinding ….” erang Fels.
Daedalus Gila …. Seorang arsitek terkenal yang hidup di masa-
masa perubahan ketika para dewa-dewi turun ke dunia, ia
yang membangun Menara Babel juga beberapa struktur yang
sungguh-sungguh menjadi fondasi Orario ….”
Fels menjelaskan seorang manusia yang hampir hidup
seribu tahun lalu, sebelum kelahiran sang Sage.
Penyihir berjubah hitam menggali lebih dalam salah satu
kisah-kisah hebat sejarah.
“Legenda bilang dia termasuk pengikut Ouranus, dewa
pertama yang melimpahkan Falna di bumi.”
“!”
“Dia banyak berkontribusi kepada Orario, mengikuti
kehendak Ouranus …. Namun, ucapan dan tindakan pria itu
kian aneh seiring bergantinya hari seketika ia memasuki
Dungeon. Oleh karenanya, ia dijuluki Gila …. Suatu saat, dia
menghilang dari mata Ouranus dan Orario sendiri.”
Fels menjelaskan apa yang diketahuinya, mempercerah
situasi.
“Terlepas Deadalus Street, sistem saluran pembuangan
keseluruhan kota dan ciptaan-ciptaan lainnya menjadi duri
dalam daging bagi Guild selama beberapa waktu ini. Ingat
tidak kau, Bell Cranell? Jaringan lorong aneh di bawah kota.”
“Benar juga ….”
Kata-kata Fels memicu beberapa kenangan, khususnya
keterlibatan Haruhime dan Syr.
Terowongan tersembunyi di bawah Pleasure Quarter.
Phryne dan Haruhime bilang karena Daedalus Street sangat
dekat. Dalam kasus serupa, Bell mengingat tangga di belakang
panti asuhan yang ia gunakan bersama Syr dan anak-anak.
Semakin meyakinkan Bell—warisan Daedalus sudah jadi
darah daging Orario.
Saat itu, orang-orang bergidik hanya dengan berpikir
bahwa satu orang sudah mampu membangun sebanyak itu,
tetapi Fels menjelaskan bahwa itulah alasan Daedalus sang
Pengrajin tetap hidup sebagai salah satu yang terhebat
sepanjang sejarah—juga orang gila.
Bell menelan ludah, benar-benar terkesima oleh
keajaiban yang melampaui batas fisik tubuh manusia berkat
Berkah. Dia bahkan tak tahu wajah si pria ataukah Daedalus
betul-betul nama aslinya.
“Kami mempertimbangkan kemungkinan masuk kedua
Dungeon yang terpisah dari Babel. Tentu saja pernah
menyelidiki Daedalus Street, tapi … sial.”
“Fels ….?”
“… terus terang, ini jauh melebihi seluruh dugaan kami.”
Fokus mereka terpaku sepenuhnya kepada sang arsitek
legendaris saat mereka thau-tahu sampai di gerbang logam
lain.
Fels menarik kunci Bell dari lengan jubah hitam dan
ditekan ke gerbang. Pintu yang tertutup rapat telah terbuka.
Saat masuk, Fels meraba-raba dinding di dekatnya.
Cahaya menyelimuti sarung tangan berdesain ruwet, dan
gelombang kejut tak berwarna lainnya terpancar dari telapak
tangan. Bell memandang ke belakang dan mendapati pelat
logam utuh di bawah permukaan batu-batu hancur.
“Apa tuh ….?”
“Adamantite. Aku melihat sinar metalik dari balik wajah
batu yang memburuk dalam perjalanan ke sini. Lorong-lorong
ini pertama-tama dilapisi adamantite sebelum lapisan
batunya melekat ke permukaan.
Kendati kemurniannya bervariasi berdasarkan asalnya,
adamantite sangat-sangat langka, logam padat yang bisa
ditambang dalam Dungeon. Jelas saja zat mahal itu tak mudah
didapatkan.
Kejutan lain membuat Bell merinding.
“Pintu masuknya dilindungi orikalkum, lorong dibangun
adamantite …. Tanpa kunci sihir ini, hampir mustahil untuk
menyusup ke dalam, biarpun kita berhasil menemukan
strukturnya.”
Krak! Sarung tangan Fels berderak saat tangannya
mengepal.
“Serangkaian lorong buatan yang terhubung ke Dungeon
…. Sekalipun sulit dipercaya, hanya sejarah orang gila paling
terkenallah yang menciptakan ini.”
Tapi pertanyaan tak terjawab masih eksis.
Mungkinkah secara fisik satu orang dapat membuat
sebuah karya dari dunia atas menuju Dungeon lantai delapan
belas, dan bisa jadi semakin dalam lagi? Ada juga masalah
orikalkum dan adamantite.
Fels angkat bicara seakan-akan membaca pikiran Bell.
“Kita belum memahami skala struktur ini. Daedalus
mungkin punya kelasnya sendiri, namun semuanya hampir
mustahil untuk melakukannya sendirian. Akan tetapi ….”
Fels membiarkan ucapannya tanpa jawaban tatkala ia
mengintip lebih jauh ke lorong nan gelap.
“Jawaban yang kita cari-cari tentunya berada jauh di
depan.”
Pintu masuk lain ke Dungeon, pintu buatan tangan
manusia.
Mereka menemukan markas tersembunyi Ikelus Familia.
Kerja keras dan penderitaan bertahun-tahun akhirnya
membuahkan hasil. Suara penyihir itu gemetar terbalut emosi
berkecamuk.
“Akhirnya kita menemukannya, Ouranus ….!”
“Ketemu kau—Ikelus.”
Suara melayang di langit.
Dunia atas, jauh dari labirin bawah tanah ….
Hermes memanggil seorang dewa tertentu dari belakang
ketika dirinya berdiri di atap menara batu bata tinggi.
“… heeheehee! Kau beneran menemukanku.”
Dewa Ikelus perlahan berbalik dari atap sepi.
Atap itu adalah bagian dari beberapa bangunan tempat
tinggal tanpa tujuan ataupun alasan, ketinggian dan luasnya
tidak konsisten, membuat area tersebut sulit dinavigasi.
Hermes dan Ikelus berdiri di atas menara batu bata tepat
di tengah-tengah Daedalus Street, Kota Dungeon Orario.”
“Hermes, kok bisa kau menemukan tempat ini? Jujur nih,
tidak kusangka ada orang yang bisa ke sini dari jauh-jauh.”
“Tentu tidak mudah … mencari seorang dewa yang
menyembunyikan jejaknya dengan kekuatan ilahi. Mungkin
tidak besar, namun menggunakan kemampuan demi
keuntungan pribadi sama saja menghina Bumi … kau
melanggar aturan.”
“Heehee! Apa salahnya pamer sedikit? Bukan berarti
akan bisa menghentikan bocah-bocah level tinggi itu ….
Lagian, bakal membosankan kalau aku tertangkap sebelum
semua kesenangannya dimulai?”
Ikelus berdiri di tepi menara tanpa pagar.
Seluruh Daedalus Street tampak jelas dari tempat di
bawah naungan cakrawala Orario.
Gang-gang berkelok di segala arah, mengelilingi menara
layaknya jaring.
Tangga mengarah ke atas dan ke bawah di tengah
tumpukan bangunan bertingkat. Hanya mereka yang dekat
dengan sang pencipta yang mampu memahami asal
inspirasinya, kekacauan yang ia coba tiru-tiru.
Hermes menelusuri pinggiran topi berbulu, mata jingga
menatap tajam buruannya.
Sedangkan Ikelus sedang tertawa-tawa seakan
menikmati permainan.
“Kau memenangkan ronde petak umpet ini, Hermes.”
“….”
“Memang takkan menghentikan pertunjukkannya, tapi
… aku bersedia menjawab semua pertanyaanmu sebagai
hadiahnya.”
Dewa berambut biru dan berkulit gandum melebarkan
tangannya seolah-olah menggoda dewata lain.
Bibirnya nyengir, menyipitkan mata kepada Hermes.
“Jadi, kau ingin tahu apa?”

Beberapa bayangan melewati lantai batu di bawah


penerangan lampu berbatu sihir.
Langkah kaki dua sampai empat kelompok bergema di
sepanjang lorong-lorong batu buatan manusia, disertai suara
seretan ekor serta kepakan sayap.
Lebih dari dua puluh monster bergerak maju.
“Bau rekan-rekan memandu kita lebih dekat—maju!”
Gargyoyle yang mengudara berteriak ketika indra
penciuman tajam battle boar memimpin pasukan. Bau samar-
samar yang melekat di udara menuntun para monster, para
Xenos melewati jalur-jalur batu. Di setiap persimpangan
jalan, Xenos selalu memilih arah dengan jejak-jejak terkuat
dari teman mereka dan menambah kecepatan setiap saatnya.
“Lido, setiap pintu di jalan kita telah terbuka …. Kita
dipancing!”
“Aku tahu itu, Lett! Tapi kita mesti pergi ….!”
Lido meremas gagang pedangnya saat menanggapi
goblin topi merah di belakang.
Begitu kelompok menembus dinding batu di tepi timur
hutan, mereka segera melihat pintu terbuka di ujung
terowongan.
Sadar sepenuhnya bahwa ini barangkali adalah markas
musuh dan kemungkinan besar sebuah jebakan, para Xenos
cepat-cepat menyerbu ranah buatan manusia ini.
Terdorong oleh amarah tak terbendung juga tujuan
tunggal—menyelamatkan teman mereka yang tertangkap—
para Xenos mendapati diri mereka di tujuan paling akhir.
“Tempat macam apa ini ….?!”
Seketika mereka sampai di puncak tangga batu, sebuah
ruangan luas tak seperti terowongan muncul di hadapan
mereka.
Ruangannya persegi panjang, lebarnya kira-kira seratus
meter dan panjangnya pun berkali-kali lipat lebarnya.
Seluruh area, termasuk langit-langit tinggi, dibangun dari
batu dan diselimuti kegelapan. Ruangan luar biasa besar ini
punya banyak kemiripan dengan Great Wall of Sorrows di
ujung lantai ketujuh belas.
Tapi Lido, Gros, dan Xenos-Xenos lain fokus pada satu
arah saja.
“Semuanya ….!”
Garis kandang hitam tak terhitung jumlahnya.
Dan dalam penjara neraka tersebut terdapat lamia,
Scylla3, dan mermaid, juga banyak monster-monster rupawan
lainnya dengan karakteristik manusia sekaligus monster yang
terlampau langka seperti carbuncle4. Semua monster yang
terkurung takut disiksa dan dipenjara dalam kandang
berantai berat.
Fia si harpy berada di kandang pertama barisan,
menempel di jeruji.
“!”
Lido, Gros, dan Xenos-Xenos lain dapat mendengarkan
kemarahan yang berkembang dalam diri mereka.
Wusshhh! Bulu dan sayap dilebarkan, mereka bergegas
maju bersama-sama.
“Hancurkan kandangnya! Bebaskan rekan-rekan kita!”
Gros meraung selagi merobek-robek kandang terdekat
sampai hancur berkeping-keping.
Lido dan monster-monster berbaju zirah lain menembus
dan menebas jeruji besi di jalan mereka sementara yang
lainnya membungkuk dan memutar logam secara paksa.
Membebaskan rantai di perut mereka, para tawanan akhirnya
dibebaskan dari kandang.
Gros memimpin Xenos lebih jauh ke belakang,
meninggalkan kandang rusak di belakang. Di sisi lain,
beberapa monster yang terbebas memang pernah jadi bagian
dari Xenos, ada juga yang tak pernah kelihatan. Ciri-ciri
Xenos ada dua, kilau kecerdasan di mata dan
ketidakmampuan untuk membebaskan diri mereka karena
lemah dan terluka.
Waktu berlalu. Jumlah kandang nampak tak berkurang
entah berapa banyak dihancurkan, panggilan bantuan tak
pernah berhenti. Bangsa mereka di ambang kehancuran,
dirangkul satu demi satu, para Xenos menghancurkan
kandang di tengah ruangan luas itu.
“Fia, mana Wiene?”
“Aku tidak tahu. Mereka menyeretnya pergi, tidak
sadarkan diri, ke belakang ….!”
Setelah Lido membebaskannya, harpy yang terluka parah
itu menggerakkan otot-ototnya, sayap bulunya menunjuk ke
kegelapan.
Mempersempit mata reptilnya, Lido meninggalkan Fia
dalam perawatan Lett dan pergi cepat.
“—Sungguh reuni yang menyentuh hati.”
Lalu, datanglah ia ….
Tepuk tangan tanpa makna berbunyi di udara, seakan si
penepuk telah menunggu waktu-waktu ini.
“….?!”
“Selamat datang di tempat tinggal sederhana kami,
monster-monster. Anggap rumah sendiri.”
Seorang pria berkacamata google muncul dari dalam
kegelapan.
Lido terhenti, Gros berbalik dari kandang rusak. Setiap
pasang mata Xenos memusatkan perhatiannya kepada si pria
kacamata.
Akhirnya mereka berhadap-hadapan dengan pemburu
yang ditakut-takuti tersebut.
“Apa kau pemburu yang menjual bangsa kami ….?”
“Oh? Kau tahu itu? Ya, akulah yang menculik kawan-
kawanmu dan mengubahnya menjadi uang tunai—lantas aku
mengajari mereka sopan santun biar menuruti para
pelanggannya, begitu deh.”
“Bangsaddddd ….!”
Sang pria menyeringai—Dix—dia mengetuk batang
tombak merah melengkungnya ke bahu. Dia bahkan tidak
mempedulikan aura ganas Lido, Gros, dan kaum Xenos.
“Yah, kata Aku tidak tepat sih. Kami lebih tepatnya,” kata
Dix, mendadak semua pemburu muncul di sekeliling ruangan.
Beberapa melangkah dari belakang Dix, yang lainnya dari
dinding di kiri-kanan, beberapa muncul dari pintu masuk.
Lett dan Fia terkejut dari barisan belakang Xenos,
melihat beberapa manusia dan manusia hewan mengepung
grup tersebut.
Xenos dan kandang-kandang rusak di kaki mereka
dilingkari para pemburu.
“…. !”
“Barangkali jumlah kalian unggul, tapi … kalian tak bisa
melindungi semua barang berhargamu dalam satu waktu, ya?”
Seperti yang dikatakan Dix. Monster yang baru saja
dilepas tidak bisa berdiri.
Xenos-Xenos sehat tak bisa bertarung dengan kekuatan
penuh jika mesti melindungi sekutu mereka. Memancing
Lido dan teman-teman ke dalam ruangan ini lalu menunggu
para Xenos membebaskan monster lain merupakan bagian
rencana.
Lido dan Gros memamerkan taring-taringnya terhadap
musuh yang menyeringai licik, menggertak-gertakkan
taringnya.
“—Lido!”
“Apa …. Bellucchi?!”
Ketika itu, Bell dan Fels menyerbu masuk ke ruangan
dari tangga batu.
Lido-lah yang pertama kali terkejut. Gros dan Xenos lain
mengikuti. Sedangkan pemburu-pemburu, mereka sama
terkejutnya.
“Kau si bocah dari …. Kau, kenapa kau datang?!”
“Bukan waktunya, Gros!”
Reaksi Gros berubah marah tatkala tahu Bell mengikuti
mereka sampai ke sana, namun tangan Lido menahannya.
Lizardman mendongak, iris reptilnya menatap Bell.
Kenapa, bagaimana, kembali sana—banyak sekali kata-kata
mendesak juga pertanyaan di mata Lido.
“Oh ayolah …. Gran, dasar goblok! Ada apa ini? Kenapa
ada tamu di markas rahasia kita? Kau betul-betul lupa menutup
pintunya?”
“A-aku menutup semuanya! Tidak bohong, Dix! Ketika
semua monsternya lewat, aku menutup semuanya, sumpah
….!”
Keringat terjatuh dari lelaki berkepala plontos setelah
diomeli Dix, dia habis-habisan berusaha berdalih.
Gran tiba bersama kelompok pemburu kedua di
belakang Xenos, Bell dan Fels jelas-jelas melihat barang yang
dia miliki.
“Bukankah itu ….?”
Bisik Bell tak percaya sewaktu Fels ikut melihat barang
sihir serupa di tangannya.
“Sebuah kunci ….?!” arus keraguan menerpa para
pemburu sewaktu melihatnya juga.
“Ohhh, jagi begitu ceritanya …. Jadi, dari orang tolol mana
kau dapat itu? Memang kita seharusnya tidak asal
memberikan barang itu.”
Sekali lihat barang sihir di tangan pendatang baru, Dix
langsung paham. Suasana hatinya langsung memburuk,
memukul tombak merah di bahunya dan menyumpah-
nyumpah sendiri.
Gran dan pemburu-pemburu lainnya yakin kuat
melawan musuh di dua arah. Mereka menjauh dari jalan dan
bergabung kembali bersama sekutu mereka, memungkinan
Bell dan Fels untuk mendekati Xenos.
“Signor Bell ….”
“Penghuni dunia atas …. Apakah kalian datang … untuk
membantu kami?”
“….!”
Harpi, yang terduduk sambil dibantu goblin topi merah,
berbicara dari lantai.
Luka-luka dan memar menyakitkan menutupi tubuhnya.
Rantai mungkin telah putus, tetapi sepasang belunggu yang
kebesaran untuk kaki kecilnya masih nyangkut. Para
pendatang baru mulai merasa mual-mual.
Bell tidak bisa menjawab saat Fia menatap lemah dirinya.
Mana Wiene?!
Bell tidak bisa membayangkan seekor gadis naga sama
kondisinya dan si bocah mulai mencari-cari. Akan tetapi,
walau penuh sesak orang dan monster dalam ruangan, anak
naga itu tidak kelihatan.
“Tidak kusangka—ruangan sebesar ini ….”
Selagi Bell kian resah setiap saatnya, Fels mengamati
lingkungan sekitar sembari mengerang.
Tudung Sage bergeser dan mengarah ke Dix, panggilan
keras penyihir itu terdengar jauh:
“Hazer, Dix Perdix … jadi kau bosnya.”
“Hei penyihir, kau siapa? Bisa dibilang, cara datangmu
bermasalah banget …. Bagaimana kalau beritahu aku siapa kau
bagi monster-monster itu? Kau juga, Pemula Kecil.”
Fels dan Dix saling bercakap-cakap sedangkan pemburu
dan Xenos saling bertatapan di ruangan. Langkah sepatu bot
mencemaskan bergema di dinding ketika ketegangan antara
kedua pihak semakin parah sampai bisa meledak kapan saja.
“Langsung ke intinya. Ini ciptaan Daedalus, benar?”
“Haha! Kau sadar, ya? Mungkin kau benar.”
“… sudah berapa lama digunakan? Tidak, kapan kau
mengetahuinya?”
“Siapa tahu? Leluhurku mencampakkannya padaku,
tidak masalah kapan atau cara penggunaannya, betul?”
Kata-kata Dix tak hanya mengherankan Fels, melainkan
menghentikan Bell juga.
“Leluhur …. Keturunan ….?!”
“Kau mengaku bagian silsilah keluarga Daedalus?!”
Suara bocah laki-laki dan penyihir itu kaget tergabung
linglung. Senyum puas tumbuh di wajah Dix sementara
Xenos menajamkan telinga terhadap perbincangan sekarang,
meragukan klaimnya.
“Aku tidak menggertak. Nih—kubuktikan, sekarang.”
Setelahnya, pria itu mengangkat kacamata.
“.”
Mata merah tak kenal takutnya ditampakkan kepada
semua orang.
Ada huruf D yang menandai pupil kirinya.
“Tuch, bukti warisan Daedalus-ku. Semua orang yang
dialiri darah orang gila itu dilahirkan dengan tanda demikian
di mata mereka.”
Garis keturunan terkutuk.
Dix menghadapi semuanya dengan bukti.
Entah asli atau tidak, mereka masih tidak yakin. Belum
ada cukup informasi untuk membenarkannya. Kendati
demikian—Bell berhenti bernafas seketika melihat tangan
Fels.
Bola dalam benda sihir tersebut punya tanda yang sama.
Benda yang tertanam di dalam logam batangan tak sekadar
menyerupai mata—
“Pintu-pintu di sini hanya merespon pada mata kami
belaka. Dibuat seperti itu agar anak cucunya dapat pergi
kemana pun dan bekerja kapan saja …. Tapi akhir-akhir ini
kami mengukir mata dari tubuh-tubuh mati mereka dan
memanfaatkannya sebagai kunci.”
Fels, Bell, dan Xenos mematung seketika Dix
menyatakan namanya.
“Knossos5 ialah labirin buatan manusia—bagian konyol
yang ditinggalkan Daedalus agar dilanjutkan nasabnya.”
“Knossos?”
Hermes mengulang sesuatu yang baru saja dia dengar.
Ikelus menjawabnya dengan seringai dan tanggapan,
“Ya,” singkat. Menjawab pertanyaan lain Hermes sebagai
hadiah.
“Lagian itu juga yang tertulis dalam buku catatan.”
“Buku catatan? Jangan-jangan ….”
“Betul, Buku Catatan Daedalus.”
Angin sepoi-sepoi di atas menara meniup pakaian hitam
tipis dewata dan mengantarkan suaranya kepada Hermes.
“Daedalus …. Nenek moyang Dix melangkah terlalu jauh
setelah melihat Dungeon. Dia cuma ingin membentuk
Dungeon dengan usahanya sendiri sampai mampu
mengalahkan setiap ciri labirin …. Bego banget gak? Heehee!
Belakangan ini banyak sekali anak-anak sinting. Sekarang
mereka hanya bocah batu.”
Ikelus mencibir seolah-olah tiada lagi yang lebih
menghibur ketimbang buku catatan penyesalan seorang pria
dan hasrat berapi-apinya.
“Tentu saja, satu orang saja tidak bisa menyelesaikan
misi seperti itu. Aku malah ragu kalau semuanya bisa kelar.
Pokoknya, Daedalus meninggal ketika proyeknya masih
dalam tahap awal, ia menghendakinya dan maka dari itu
menyerahkan buku catatan kepada keturunannya.”
“….”
“Bersama cetak biru6 yahud. Dan sejak itu anak-anaknya
mengikuti cetak biru tersebut.”
Hermes terdiam beberapa waktu sebelum merespon.
“Ikelus, bila tukasmu benar, maka … keturunannya ….”
“Benar juga, Hermes. Keturunannya mengerjakan
Knossos selama hampir—”
“—Seribu tahun,” ujar Dix sembari memakai kacamatanya
lagi. “Selama itulah para leluhur membangunnya tanpa
ketahuan Guild.”
Bell, Fels, dan bahkan para Xenos sulit mempercayai
klaim luar biasa si pria.
“Mustahil! Seribu tahun tanpa diketahui satu jiwa pun
….?!”
“Okelah, penyihir, kalau begitu kenapa labirin tempatmu
berdiri ada di sini? Pikirmu karya seni di sepanjang tepian
Dungeon serius dibangun satu malam saja?”
Tata letak Dungeon adalah melingkar.
Semakin dalam lantai semakin besar juga luasnya.
Dan—Knossos dibuat melingkari tepiannya.
Bell memanfaatkan pengetahuannya dan kata-kata Dix
hingga mencapai konklusi barusan.
Cetak biru Daedalus menyerukan sebuah struktur yang
terletak di ruang kosong sekitar tepi melingkar Dungeon,
mengubahnya menjadi semacam pilar bawah kota. Labirin
buatan manusia ini melilit lantai melingkar Dungeon.
Jaringan bawah tanah sistem saluran pembuangan yang
Fels sebutkan, terowongan rahasia yang ditemukan Bell,
semuanya adalah untuk rencana besar tersebut.
Wajah Bell memucat saat ia berjuang memahami skala
penuh Knossos.
“Orang tuaku, kakek, dan leluhur-leluhur lain telah
memperluas Knossos sampai lantai menengah, padahal aku
pun tidak tahu wajah-wajah mereka.”
Seribu tahun berlalu semenjak kematian Daedalus Gila.
Knossos adalah hasil obsesi seribu tahun kegilaannya,
terdorong oleh haus akan obsesi.
Bell hampir dapat membayangkan samar-samar visi
Daedalus, tangan-tangan merangkak keluar dari kakinya.
“Tapi di sisi lain … seribu tahun dan masih di lantai
menengah.”
Baru 30 persen cetak biru tercapai, Dix memberitahunya
seakan menyemprot air liur.
“… aku tak percaya semua ini adalah hubungan antara
Ikelus Familia dan Evilus ….” gumam Fels, tentu dia tengah
memikirkan sesuatu.
Dix mencibir.
“Aku tidak tahu kapan nenek moyang pertama kali mulai
bekerja bersama organisasi Evilus yang kau sebut itu. Namun
saat aku teralahir di labirin rindang ini, keduanya sudah tak
terpisahkan.”
“—Semuanya demi menyelesaikan proyek masing-
masing.”
Ikelus melanjutkan.
Orikulum dan adamantite.
Belum lagi banyaknya batu dan material bangunan lain.
Knossos tak punya kemampuan regenerasi Dungeon—
tempat ini hampir mustahil dilanjutkan sekiranya mengikuti
arahan Daedalus. Sebab itikad orang gila itu ialah membuat
sesuatu yang mampu malampaui sang Dungeon sendiri.
Jelastah, bahan yang diperlukan untuk membangun
Knossos sangat-sangat sulit diperoleh.
“Karena itulah keturunan Daedalus terlibat dalam Evilus
dan kelompok-kelompok busuk lainnya ….”
Akibatnya, generasi Daedalus punya koneksi dengan
beragam organisasi pasar bawah tanah dan pasar gelap.
Mereka mencari-cari organisasi yang punya banyak
persediaan orikalkum, bahan bangunan, atau emas. Mereka
tak peduli transaksi bisnisnya akan melanggar hukum atau
akan mengaitkan pencurian.
Menjadi pintu masuk kedua Dungeon, pintu yang
jauh dari mata-mata Guild, Knossos menjadi keeping
tawar-menawar mereka.
Dungeon buatan manusia kian berkembang seiring
pergantian waktu. Mulanya beberapa organisasi meragukan
kegunaannya, namun pada akhirnya mereka menemukan
nilai khusus Knossos dan menggunakannya demi Hasrat
pribadi. Kelompok jahat bekerja sama untuk
menyembunyikan eksistensinya dari Guild.
Segalanya mulai saling berkesinambungan dalam otak
Hermes sewaktu jemarinya menelusuri bagian pinggiran topi.
Knossos sendiri adalah sarang kejahatan—kegelapan
telah mengancam kota selama berabad-abad.
“Kabarnya para keterunan tersebut menghalalkan segala
cara untuk menyelesaikan Dungeon mereka. Terosebsi dalam
menggapai Misteri, menculik wanita biar memastikan
seseorang dapat melanjutkan generasi mereka.
Ikelus bilang bahwa Dix terlahir dari salah satu wanita
yang diculik tersebut.
Setengah saudara kandung dan inses sudah jadi hal
lazim.
“Walaupun warisan Daedalus sendiri, sulit percaya
bahwa anak-cucunya bersedia mengabdikan hidup mereka
untuk pekerjaan absurd semacam itu ….”
“Aku bisa komentar apa? Pasti ada hubungannya dengan
darah mereka.”
Ikelus mengabaikan tanggapan Hermes. “Darah
terkutuk … sebagaimana perkataan Dix.”
Dewa itu tersenyum lebar sambil menatap Kota Labirin.
“Semua darah daging Daedalus menaati apa-apa yang
berada dalam satu buku catatan, yakni: mendirikan itu.”
Mata merahnya nyaris tidak kelihatan di balik lensa
kacamata tembus cahayanya.
Setelahnya, Dix mengangkat tombak, warnanya sama
dengan matanya, tombak disiagakan dan ujungnya
menunjuk.
“… intinya, menjual Xenos-Xenos adalah salah satu cara
mendapatkan dana.”
Mengenai waktu Dix dan para pemburu mendapatkan
keberadaan Xenos, itu masih belum jelas.
Sayangnya, Dix memerlukan banyak sekali uang untuk
penyelesaian Knossos. Setelah bergabung familia untuk
mendapatkan Berkat, dia secara bertahap memegang kendali
kelompok, membimbing mereka menuju pasar gelap Orario.
Dix mendenguskan hipotesis Fels.
“Ya, awalnya begitu.”
Tuturnya membuat Bell merinding, lalu—BANG!
“Cukup bicaranya!”
Tepat sekali ia mendapati cakar Gros merobek-robek
kandang di dekatnya, menghancurkannya.
Mata gargoyle berkilauan, dan sayap berwarna abu di
punggungnya membentang lebar.
“Kekejamanmu terhadap ras kami dan pembunuhan
Ramieh tetap tidak berubah!—rasakanlah amarah kami!”
Gargoyle terbang, menukik ke arah Dix dalam satu
gerakan cepat.
Pria berkacamata google buru-buru meraih kerah kawan
dekatnya, melemparnya langsung kepada gargoyle. “Huh?”
kebingungan pria itu berubah menjadi teriakan ngeri saat
cakar-cakar batu Gros mengoyaknya.
Percikan darah pertama memicu pertempuran.
“Gros dan aku akan memimpin serangan! Dole, tugas
timmu melindungi yang terluka!”
“Wha—GYAHH!”
Lizardman meneriakkan perintah kepada sekutunya
sambil melukai manusia hewan terdekat. Sedangkan Xenos
lain melindungi rekan-rekan mereka yang baru terbebas,
bersilangan senjata dengan pemburu yang menyerang.
“Bajingan!”
“Keh …. Firebolt!”
Dihajar suara pertempuran sengit, Bell terpaksa
berperang dengan sekelompok pemburu yang menyerbunya.
Akan tetapi, mereka lebih baik memikirkan goblin topi
merah yang memegang kapak tempur tinggi-tinggi di sisinya
dan Fels bergerak melindungi harpi terluka, musuh-musuh
langsung mundur semuanya tatkala Swift-Strike Magic Bell
dirapalkan.
“Oh ayolah …. Mereka agak kuat, kan? Kita
meremehkannya.”
Sementara itu, anggota Ikelus Familia yang terheran-
heran merasa sama.
Semua pemburu selain Dix berlomba-lomba turut
bertempur dalam pertarungan, omongannya benar, para
pemburu mulai terdesak. Mengincar monster lemah kian
membuat Xenos murka, dan monster-monster itu cepat
menembus formasi manusia.
Terutama Gros dan Lido. Senyum Dix menjengkel ketika
bawahan-bawahannya kalah satu per satu.
“Tidak usah menahan lagi …. Sepertinya datang waktu
kita menggunakan itu,” tukas Dix. Memegang tombak di
tangan kirinya dan mengulurkan tangan kanannya.
“.”
Satu-satunya alasan Fels dapat bereaksi tepat waktu
terhadap pemandangan mengerikan ini—adalah karena
pengalaman besar yang jauh melebihi semua orang.
—Namun sudah terlambat.
Ketika Gran dan kawan pemburu lain berlindung seolah
nnyawa mereka bergantung pada pemimpinnya, hawa
merinding bersikulasi di tubuh sampai tulang hingga hampir
menyentuh nol mutlak.
Jubah penyhiir hitam melambai-lambai di garis belakang
pertempuran utama.
“—Berlindung di belakangku, Bell Cranell!
SEKARANG!”
Mata Bell membelalak, terheran-heran oleh hilangnya
perangai tenang Fels dan langsung patuh tanpa banyak tanya.
Memeluk Lett dan Fia kuat-kuat di dada, Bell terjun ke
belakang Fels tepat sewaktu sang penyihir membentangkan
kedua tangannya lebar-lebar.
Sesaat kemudian ….
“Hilanglah dalam mimpi buruk tiada akhir.”
Getaran suara dari tenggorokan pria itu menenun
mantra.
“Phobetor Daedalus.”
Gelombang cahaya merah menyala dari jari-jarinya.
“.”
Cahaya merah menyapu medan tempur.
Sinar jahat melahap kegelapan. Tidak ada ledakan,
kejutan atau bahkan getaran pun tidak ada. Namun menelan
semua yang dijangkaunya, yang tersisa hanyalah bulu-bulu
kuduk naik, nada kedengkian berdering-dering di telinga
semua mahluk.
Bell dan dua Xenos yang bersembunyi di balik Fels
menangkup telinga mereka sembari dengan hati-hati
mengintip ke balik jubah untuk melihat situasi. Saat itu ….
“OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!”
Semua monster mengamuk-amuk, seratus persen di luar
kendali.
“Wha—?!”
“Lido, Gros!”
“Semua orang?! Kenapa ….?!”
Bell, goblin bertopi merah, harpi, semuanya terlihat tak
percaya selagi Xenos mulai menghancurkan segala sesuatu di
depan mata.
Mata lizardman memerah, gargoyle meraung-raung
layaknya orang gila. Gumpalan air liur tersembur dari mulut
mereka saat menembus dan menebas-nebas pedang atau
cakar. Seperti monster selayaknya.
Seluruh Xenos punya satu kesamaan: mata mereka punya
rona merah sama layaknya Dix.
Gema metalik terdengar keras ketika kandang-kandang
terbalik dan batu-batuan bergemuruh di bawah hentak kaki
murka yang memekakkan telinga.
Tak lama sebelum naluri liar terhubung dengan jenis
mereka sendiri. Pertarungannya menjadi battle royale ala
PUBG, kawan menjadi lawan.
“A-apa yang terjadi ….?”
Tidak hanya Xenos berzirah sehat wal’afiat yang
terpengaruh. Bahkan monster-monster yang baru saja
terbebas dan terluka parah bergabung dalam kekisruhan. Bell
menyaksikannya, seluruh wajahnya ngeri. Darah mengalir
dari luka terbuka mereka, namun tetap menyerang semuanya.
Seruan teriakan dan raungan terdengar di mana-mana.
Rambutnya berdiri pada pembantaian monster tersebut.
“Kutukan ….!” Fels bergidik di samping Bell, mereka
masih syok.
Kutukan.
Seperti sihir yang memanggil api atau petir dan
penguatan yang meningkatkan atribut fisik, kutukan perlu
mantra pemicu untuk merapalkannya. Biar begitu, efeknya
masih cocok disebut kutukan.
Kekalutan, pembatas gerakan, rasa sakit fisik—terlalu
banyak tipenya.
Yang paling menyusahkan tentang kutukan adalah
sihirnya sulit ditahan dan disembuhkan. Hanya barang
khusus yang mampu melakukannya. Bahkan Daya Tahan
Tingkat Lanjut tidak ada efeknya.
Jelas monster-monster itu menjadi lengah.
Bak sihir, teknik demikian adalah unik bagi manusia.
Xenos tidak bisa apa-apa selain menerima serangannya.
“Aww~, semuanya sudah berakhir sih saat aku
merapalkannya … mestinya begitu.”
Dix melihat monster-monster menggila dengan mata
gembira—sampai mendapati Bell dan Fels berdiri di sisi lain
pertempuran.
“Tidak berfungsi kepada mereka—penyihir, jubahmu itu
barang sihir juga?”
“… benar sekali. Melindungi kutukan dan sihir anti-
Status.”
Teriakan Dix menembus medan perang, tapi respon Fels
teramat lirih sampai mustahil kedengaran.
Jubah hitam penyihirlah yang melindungi Bell dan dua
Xenos di belakangnya dari kutukan. “Sekalipun tidak yakin
kutukannya dapat berdampak banyak kepada tubuh kurus
ini,” penyihir yang dijuluki si Bodoh bergumam, balik
menatap laki-laki berkacamata yang senyum-senyum.
“Kutukan itu pasti penyebab perburuan mereka tidak
ketahuan, juga alasan mereka mundur dari Hermes Familia
….!”
Kutukan menyambungkan teka-teki Fels terakhir,
menghubungkan semua bagian kosongnya.
Jika orang yang menyaksikan kegiatan mereka kena
kutukan, mereka langsung menjadi makanan monster
walupun para pemburu tidak repot-repot mengotori
tangannya. Andai kata dengan bantuan suatu mukjizat, saksi
tersebut berhasil bertahan hidup lama sampai akal sehatnya
kembali, ingatan sebelum kutukan terlepas akan
mempengaruhinya.
Juga alasan utama Ikelus Familia mundur dari tim
petualang Asf. Dix mengkhawatirkan barang sihir Perseus—
kemungkinan dia juga membawa sesuatu yang mirip-mirip
jubah Fels atau barang lain yang mampu menahan efek
kutukan. Dix menggagalkan perburuannya agar Asfi pulang
dengan tangan kosong.
Bell juga mengerti itu.
Dampak terbesar kutukan Dix adalah apabila kali
pertama melihatnya.
“Phobetor Daedalus.”
Kutukan yang membingungkan target, mengacaukan
mereka.
Mantra rapalannya sangat pendek namun jangkauan
serangannya luas dan kuat, teknik mematikan.
Siapa pun yang terpapar tanpa pertahanan akan
langsung jadi gila—sepanjang hidup takkan menjumpai
sihirnya lagi.
Bell tidak sanggup menyembunyikan kegetiran di
matanya terhadap kutukan yang membuat tubuh korban
mengamuk hingga fisiknya runtuh.
Sebab Dix menangkap banyak Xenos. Kartu asnya.
“Kita bakalan rugi, karena harus menggunakannya, tapi
….”
Beberapa pemburu tidak sempat melarikan diri dari
kutukan mendadak dan yang lainnya tak punya barang sihir
penangkal. Mereka juga berteriak-teriak bagaikan monster,
menebas manusia dan monster lain dengan pedang patah
rusak.
Dix memandang orang-orang dan monster yang
terpengaruh kemudian berkata:
“Heh, oh ya—bon appétit7, monster!”
Tiba-tiba, dua monster mendarat persis di depan Bell.
“?!”
Merekalah Xenos yang sedang saling bunuh. Serangan
monster lain menjatuhkan mereka sampai berlutut.
Mahluk-mahluk bingung mulai beranjak bangun dan
menerjang kelompok Bell.
“AAAAAAAAAAAAAAAaaaaAAAAAaaaaaAAA!”
“Gawat!”
Kutukan kini mencengkeram mereka.
Keempat mahluk menjauh dari sabetan cakar dan
terjangan taring serampangan tak terkendali. Satu serangan
menghantam lantai batu dengan bunyi ledakan dan puing-
puing tersebar, mata liar monster tertuju PADA Bell, Fels,
Lett, dan Fia. Goblin topi merah dan si harpi membeku
ketakutan ketika melihat rekan-rekan mengerikannya.
Ketika para pemburu gila melanjutkan serangan mereka
walaupun cedera serius, mereka berempat berada di tengah-
tengah pertempuran habis-habisan.
“?!”
Bell tidak bisa menyerang Xenos yang harusnya berjuang
bersamanya. Menahan dan menghindar adalah satu-satunya
pilihan, si bocah tidak dapat melarikan diri dari griffin yang
menghadang lompatannya. Tepat sebelum paruh tajam
merobek-robek dagingnya, gada besar troll menghantam
mereka. Griffin dan Bell sama-sama dilempar ke udara.
“Signor Bell?!”
Penglihatannya mengabur ketika terhempas menjauh
dari pertempuran utama.
Griffin terkena bagian fatal gadanya dan sekarang
menggeliat kesakitan kehilangan cengkeramannya pada Bell.
Meski petualang rambut putih berhasil melarikan diri, dia
terpisah dari Fels dan kawan-kawan. Panggilan goblin topi
merah termakan hiruk-pikuk jeritan dan pusaran raungan,
Bell seratus persen terisolasi.
Mendorong griffin dari tubuhnya untuk melarikan diri,
Bell mengangkat kepala, entah berada di mana dirinya ….
“.”
Seekor lizardman berdiri di depannya, senjatanya
terangkat tinggi.
—Lido.
Huas darah, matanya menakutkan. Scimitar menunjuk
ke langit-langit. Bocah itu tersentak oleh bayangan
mencekam tersebut.
Kepala Bell mengosong saat melihat lizardman siap
membelah dua dirinya.
Menatap raut wajah buas—jelas terasa aura membunuh
darinya—Bell menghunuskan pisau tapi tidak bisa bergerak
lebih jauh.
Si lizardman langsung menyabet scimitar-nya.
Waktu melambat. Seolah tak sadarkan diri, Bell
menyaksikan bilahnya terayun turun, membuat garis
lengkungan menuju tubuhnya. Tatkala itu.
“GAHH!”
Gelombang kejut tak kasat mata menabrak lizardman
dari samping, menerbangkan monster tersebut.
“?!”
Waktu kembali normal, Bell berputar-putar dan melihat
tangan kanan tertutup sarung penyihir memanjang ke
arahnya.
“Maaf, Lido ….!”
Ledakan energi jarak jauh Fels menyelamatkan hidup
Bell. Sang Penyihir berteriak;
“Hentikan Hazer, Bell Cranell!”
“Hah?”
“Tipe kutukan ini harusnya ‘kan terangkat semisal
perapalnya dikalahkan! Xenos akan kembali normal!”
Bell berpaling dari Fels dan mendapati seorang pria
berkacamata juga tombak merah.
Sangat sedikit jarak memisahkan mereka. Kini berada di
pusat pertarungan, Bell berada paling dekat dengannya.
Dalam jarak serang.
Melotot tajam mata merah dari balik kacamata tersebut.
Seluruh tubuhnya terbakar dari dalam, dia melompat berdiri.
Untuk pertama kalinya hari ini, si bocah yang baru saja
terhanyut deretan kejadian menunjukkan semangat tempur
tinggi.
“Menyerangku, Pemula Kecil? Aku ini Level Lima, tahu!”
“….!”
“Gak bohong deh. Beberapa monster bicara itu sungguh
kuat. Pekerjaanku ini bisa kulakukan karena punya keahlian
bertahan hidup lebih daripada para petualang.”
Kata-kata Dix bukanlah kebohongan sewaktu melihat
bocah itu bangkit dengan penuh semangat.
Mata Bell bergetar terhadap Level menakutkan itu, tapi
….
“Kutukan boleh jadi kuat, tapi ada harganya! Si pria pasti
sedang menghadapi harga itu saat ini!”
“Awww, diamlah. Tutup mulutmu.”
Seringai buruk nampak di wajah Dix sedangkan suara
Fels menggema di antara mereka.
Perbedaan utama antara kutukan dan sihir adalah harga
yang wajib dibayar.
Kutukan perlu kompensasi, berdampak semacam penalti
saat efeknya masih berlaku.
Mata Bell bersinar-sinar penuh tekad.
Pisau hitam di tangan kanan lalu pisau merah pendek di
tangan kiri, Bell menyerbu.
Bergerak lurus dalam medan tempur.
Menggocek cakar-cakar yang diayunkan kepadanya, Bell
mengabaikan monster-monster tersebut dan menyerang Dix
dari jarak dekat.
“Dix.”
“Tidak apa. Kalian urus saja penyihir itu.”
Menyentak dagunya kepada bawahan terdekat, bibirnya
mencibir lagi.
Mereka meninggalkan Dix, pemburu yang paling
ditakuti, ia sendirian melawan bocah berkecepatan penuh. Si
pria mengangkat tombak.
“Habisi dia, Bell Cranell!”
Sambil mendengar suara penyihir di belakang, pisau dan
tombak bertabrakan.
Percikan api terbang bersamaan suara berisik logam. Bell
dan Dix saling bersilangan bilah.

Σκύλα

“Hei! Ada yang selamat!”


“Kau baik-baik saja? Jawab aku!”
Kota Rivira dihujani cahaya kristal.
Party berjumlah kecil yang terpisah dari pasukan utama
Ganesha Familia mendatangi tempat yang dulunya pangkalan
terdepan Dungeon, mencari-cari tanda kehidupan. Anggota
kelompok saling memanggil, buru-buru menyembuhkan seorang
kurcaci yang ditemukan terkubur dalam tumpukan puing-puing
dan seorang elf tergeletak di sisi jalan.
“M-mengerikan sekali ….”
Modaka menemukan beberapa mayat yang dimutilasi
secara brutal di tengah puing-puing.
Mayat-mayat itu hanyalah tumpukan daging yang
tergeletak dalam lautan darah, tercabik-cabik sampai wajahnya
tak dikenali. Hampir seperti pembantaian yang memuaskan
dorongan hati pribadi.
Mereka tak tahu mayat-mayat tersebut dulunya anggota
Ikelus Familia.
Wajah Modaka memucat, tangannya menutup mulut
sambil mengamati kerusakan dari dalam reruntuhan kota.
“….?”
Fokus pada takdir kejam yang menimpa sesama petualang,
Modaka kebetulan melihat sekilas sesuatu dari balik tebing luar.
Dia melihat sisi lain dataran lantai pertengahan, tempat
monster-monster muncul dari terowongan yang terhubung ke
lantai sembilan belas di akar Pohon Sentral.
Bola putih berbulu duduk di atas monster hitam berkaki
empat. Sosoknya tidak bisa dipastikan karena berada jauh,
namun insting bilang bahwa mereka adalah hellhound dan al-
miraj.
Menggeleng kepala terhadap pasangan absurd itu, Modaka
melihat mereka berlari cepat menuju hutan timur.
“Hah? Apa itu?” Modaka bergumam sambil kebingungan—
tatkala bayangan baru muncul dari akar pohon, waktu sejenak
seolah terasa membeku.
“… Sial.”
Dia hanya dapat berkata demikian.
“Sial, sial ….! Siaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaal!”
“Oi, kau kenapa?”
“Kabur! Kita perlu mencari komandan dan cabut dari sini!”
“Kau ngomong apa sih?”
“Sekarang bukan waktunya menjinakkan!”
Anggota Ganesha Familia lain berkumpul di sekitar
Modaka, ia panik betul.
Keringat keluar dari setiap pori-pori kulitnya, dia berteriak
sekuat tenaga.
“Seekor Abnormal!—subspesies dari neraka ada di sini!”
“Kerja bagus! Sekarang kendalikan!”
“Empat lagi!”
Beberapa anggota Ganesha Familia bekerja sama mendesak
dan menahan seekor lamia yang meronta-ronta.
Jauh dalam hutan timur ….
Tim penakluk menang melawan monster bersenjata, kurang
lebih karena sebagian besar mahluk telah menghilang ke
kedalaman hutan, hanya beberapa yang tinggal. Petualang
bertudung membantu mengubah jalannya pertempuran,
memungkinkan mereka untuk menekan monster-monster yang
masih melawan.
Metode penjinakan hampir tak berpengaruh pada suara
monster bersenjata. Meski suara pertempuran masih menggaung
melalui dedaunan, pertarungannya telah diminimalkan. Hanya
beberapa monster saja yang tak berhasil dikendalikan. Mayat-
mayat monster hutan serta tumpukan abu berserakan di
permukaan hutan. Medan perang telah menyusut menjadi daerah
kecil.
“Aduhhhh, pukul-pukulan dan dentingan … semuanya
membuatku sakit kepala ….”
“Siren emas itu yang paling menyebalkan …. Tampaknya ia
menahan diri.”
Aisha menurunkan bilah kayu besar di sebelah Lyu, elf itu
juga melakukan hal sama. Sementara, Ilta dan seluruh Ganesha
Familia menangkap siren emas di cabang-cabang pohon tepat di
atas kepala.
Ialah monster terakhir yang bertarung dengan taring dan
cakarnya. Sedangkan gelombang suara kuat sang siren
menjauhkan para petualang, sekembalinya Lyu setelah berpisah
dari Bell, dia langsung menyergapnya dari belakang dan
menjatuhkannya dari langit, membuat para petualang dapat
melawan monster-monster secara langsung.
Kekuatannya yang setara petualang kelas satu tidak jauh
beda ketika kalah jumlah. Tanpa dukungan suara mematikan
siren, monster lain tak bertahan lama dan hampir segera
setelahnya berjatuhan satu per satu.
“….!”
Siren duduk bertengger di dahan pohon, dadanya kembang-
kempis sambil menatap para petualang dengan satu mata.
Dialah satu-satunya monster yang tak terikat. Tubuhnya
didekap sayap. Wajahnya mengkerut, bersimbah merah yang
merupakan darah musuh-musuhnya mengalir turun dari pipi.
“Akhirnya, yang terakhir ….”
Komandan petualang, Shakti, menarik nafas dalam-dalam
dan mengamati medan pertempuran setelah segalanya berakhir.
Aku ragu kami bisa berjuang segigih ini jikalau perintahnya tidak
menjinakkan … tapi siapalah aku mengeluhkannya.
Sesuai kehendak Ganesha, dia mengingatkan dirinya sambil
mengangguk.
Shakti tahu mereka mesti mengejar kelompok monster
kedua yang kabur ke hutan dan baru ingin memberikan perintah
….
“….?”
Dia berbalik.
Mendengar sesuatu menembus semak-semak, matanya
menemukan sumber suara tersebut.
—Hellhound dan al-miraj?
Alih-alih menyerang, dua monster itu bergegas
mendekatinya. Saat itu pula ….
“.” dia melihatnya. Lalu ….
BRUK!
“… saudari?”
Bunyi keras menarik perhatian Ilta si Amazon dari monster
di atas dan melihat ke belakang.
Mendapati wanita yang dia panggil saudari bersandar di
batang pohon tebal jauh di belakang.
Kepala dan punggungnya tersandar di pohon.
Tidak, dia tidak bersandar.
Dia menabraknya.
Syut! Mendadak, dia bergeser.
Muntah darah, Shakti menggesek kulitnya ketika dia
meluncur di permukaan hutan dan terjatuh.
“Eh ….?”
Krik, kirk! Suara mengecam dari pepohonan di depannya
sebelum berubah menjadi dentuman keras.
Lyu, Aisha, para petualang, dan semua monster melihatnya.
Hutan berguncang di sekitar tubuh tak berdaya Shakti saat
dirinya tertelungkup dan wajah menghadap tanah.
“Saudari!” Ilta berteriak. Mata Lyu membeliak, orang lain
juga sama.
Tak merasa ingin bersembunyi, keberadaannya membuat
pepohonan dan tanaman tumbang sembari mengguncang hutan,
setiap langkahnya meretakkan tanah.
Presensi tak dikenal para petulanag, siren terbang sembari
bernafas lega ketika ia muncul dari balik pohon-pohon.
“Apa—?”
Tinjunya sebesar batu-batu besar.
Sosoknya menjulang raksasa.
Dilengkapi baju besi tebal.
Sepasang kapak terhunus di kedua tangannya, seekor
Labrys8.
Bayangan gelap berkulit hitam pekat melotot kepada para
petualang.
“Bangsat kau!”
Ilta mengamuk murka sementara anggota Ganesha Familia
lain menyiapkan senjata mereka dan menyerbu maju.
Bayangan hitam yang muncul di hadapan mereka—
melolong.

Πέλεκυς

“Lett, Fia, kalian bisa pergi dari sini?”


Mereka terpisah dari Dungeon.
Pertarungan rusuh sedang terjadi di sebuah ruangan besar
dalam Knossos, labirin buatan manusia yang didirikan selama
beberapa dekade oleh banyak sekali orang.
“Untuk menyelamatkan Signor Bell?! Mengingat situasi
terkini ….!”
“Tidak, ke pintu masuk di belakang kita!”
“!”
“Kembalilah ke lantai delapan belas, Bersatu dengan Rei dan
mereka yang tinggal bersamanya. Aku ingin kau menjelaskan
kejadian saat ini dan bawa mereka ke sini. Kau bahkan bisa
mengikutsertakan Ganesha Familia!”
Fels tahu kalau sekarang bukan waktunya setengah-
setengah seraya berteriak ke sana-sini.
Seumpama para petualang mengetahui eksistensi Xenos,
tatanan masyarakat akan berubah sampai tingkat teratas, tapi
semuanya lebih baik daripada dihancurkan Ikelus Familia persis
saat ini.
Dua Xenos mengangguk, memahami niatnya.
“Kau ingat rute ke sini?”
“Ya!”
“Bawa kunci ini. Kuncinya bisa membuka semua pintu.”
Fels buru-buru menyodorkan barang sihir berbentuk bola
kepada goblin topi merah. Si monster pendek membuang kapak
besarnya dan menghadap harpi yang duduk di sisinya.
“Fia!”
“Aku bisa terbang …. Aku akan terbang!”
Belenggu kebesaran masih mengikat kakinya, Fia membuka
sayap dan memaksa tubuhnya terbang.
Berhasil mengudara namun tak stabil, si topi merah
memegang salah satu kakinya. Dua Xenos itu membumbung
tinggi-tinggi, melewati saudara-saudarinya yang sinting
kemudian menuruni tangga batu.
“Penyihir, kau berbuat apa?!”
“!”
Suara sekasar geraman anjing liar menggelitik telinga Fels
sebelum Fels melihat asal suaranya.
Pemburu-pemburu Ikelus Familia datang. Delapan pria dan
wanita yang selamat dari kutukan Phobetor Daedalus Dix
menyerbu dengan senjata terangkat tinggi-tinggi.
“Ada sesuatu yang ingin kuketahui. Kenapa kau mematuhi
perintah orang itu? Setahuku, dia semata-mata manusia
bertangan besi.”
Andaikan mereka bertarung bersama-sama, jumlahnya sulit
diatasi. Mereka hanya perlu melancarkan satu serangan gencar.
Fels memutuskan untuk mundur ke dalam pesta
pertarungan antar Xenos.
“Karena sangat menyenangkan, apalagi selain itu? Ikuti kata
Dix, dan semua uang serta wanita yang kami inginkan akan
datang sendiri! Monster tuh cuma mainan saja!”
“… kenapa aku bertanya, ya?”
Fels memilih tidak merespon jawaban tersebut namun
dengan serangan balik.
Sekarang ayunan berkekuatan penuh monster menghambat
musuh-musuh. Kapan pun pemburu entah bagaimana melewati
amukan monster atau memanjat kandang untuk memotong
jarak, Fels menembak mereka dengan gelombang kejut sebelum
jadi terlalu dekat.
“Gah!”
“Dasar—! Apa itu?! Semacam barang sihir?!”
“Apa susahnya memahami proyektil-proyektil dari energi
sihir.”
“Raungan beberapa monster juga berefek sama,” jelas
penyihir.”
Keriuhan pertempuran adalah kawan baik Fels. Biarpun
monster yang menyerang membabi-buta menyusahkan, lebih
penting lagi musuh tak bisa menggunakan sihir.
Menyelesaikan mantra rapalan hampir mustahil. Bahkan
musuh yang bisa merapal sambil bertarung bakal kesusahan
menyelesaikan rapalan. Semua orang yang menjauh dari huru-
hara dan merapalkan sihir menjadi sasaran empuk gelombang
kejut Fels, sebab rapalannya perlu waktu.
Sarung tangan tersebut adalah barang sihir yang dirancang
khusus untuk ofensif: Pemakan Sihir.
Senjata proyektil desain Fels untuk penggunaan pribadinya.
“Kendati efisiensinya plus-plus …. Aku cukup iri dengan
Swift-Strike Magic Bell.”
Memanfaatkan battle royale Xenos sepenuh mungkin, si
Bodoh menerbangkan pemburu lain.
“Kalau bukan karena trik kotormu ….!” seorang manusia
hewan meludah sambil menghampiri Fels, mengutuk jubah
hitam penyihir di antara benda-benda sihir lain, menjadikan
lawannya setara atau bahkan lebih tinggi dari Perseus.
“Tapi dari jarak ini—!”
Sebuah pedang panjang hendak mengirisnya.
Fels menyambarnya dari udara bagai elang.
“?!”
“Trik kotor yang kalian keluhkan memerlukan beberapa
Kemampuan Tingkat Lanjut,” jawab Fels, dengan mudah
menghentikan bilahnya dengan telapak tangan terbungkus
sarung meski ayunannya berkekuatan penuh.
Penyihir jubah hitam sangat santuy sekali menjelaskannya
kepada pemburu yang terperangah.
“Dulu aku Level Empat. Walau tidak bisa naik level sejak
daging di tubuhku sudah membusuk semua.”
Mengekspresikan kebencian kepada dewa di masa lalu, Fels
mengulurkan tangan dan menekan telapak tangannya ke perut
lawan.
“Tunggu—!”
Lalu—dor!
Gelombang kejut tanpa warna meledak langsung ke usus-
ususnya dan ditembak jauh seperti meriam.
“Oh, dan aku pernah dijuluki Sage. Jadinya cukup percaya
diri dengan kemampuan energi sihir dan Pikiran,” tutur penyihir
serba hitam sambil menyindir sedikit. Desain rumit pada sarung
tangan Fels bersinar.
Empat pemburu kalah. Sisanya telah diurus, Bell pasti
membutuhkan bantuan. Dan ketika pemikiran tersebut terlintas
di kepala Fels ….
Sang penyihir nyaris tidak menghindari serangan dari
belakang.
“Wah aneh. Kebetulan aku Level Empat juga.”
“….!”
Pria botak besar yang wajahnya penuh tato—Gran—
sepotong jubah hitam Fels terpotong oleh pedang besarnya. Satu
Amazon, manusia hewan, dan kurcaci yang berhasil menembus
pertempuran kacau dan menghampiri sang Sage.
Merekalah orang-orang yang membunuh Ranieh. Kekuatan
utama Ikelus Familia.
Sadar betul ia kalah unggul, Fels melambaikan kedua
tangannya, melepaskan gelombang kejut lain.
Serangkaian ledakan melengking dan gelombang-
gelombang meletus di sisi lain medan perang.
Bell meluncurkan serangan demi serangan pada pria di
hadapannya tatkala getaran berat menghantam gendang
telinganya.
“Bocah, kau beneran Level Tiga? Kakimu gesit amat.”
“….!”
Dix memutar-mutar tombak merah dua meternya, dengan
mudahnya mengetuk semua serangan.
Sederhananya, serangan Bell tidak melukai sudut tubuh Dix
sama sekali. Si pria menghindari setiap tebasan cepat nan gila
Bell.
Raungan berdarah para Xenos di belakangnya, pria
berkacamata mendesak si bocah oleh serangan bertubi-tubi
tombaknya.
Mereka berdua berpisah.
“Penyihir itu berkata benar. Kutukan membuat Statusku
turun drastis.”
“….!”
“Rasanya seolah lambat dan berat.”
Seakan-akan ia melihat keragu-raguan dalam mata Bell,
ingin tahu apakah ia betul-betul dilemahkan. Lantas, Dix
mengungkapkan harga Phobetor Daedalus secara langsung.
Lawan Bell biasanya punya kekuatan yang mampu
menghantam petualang kelas satu secara langsung.
Walaupun Statusnya turun drastis sampai mempengaruhi
Level—Dix masih Level 4.
Muka si anak laki-laki menegang, tetapi dia sudah
mengetahui perbedaan Statusnya dan memegang gagang
pisaunya tanpa kenal takut. Kemudian menyerang lagi.
“Aku cuma pengen mengacau saja, tapi sepertinya tidak ada
pilihan lain. Rumor-rumor yang menghebatkan Pemula memang
benar.”
Namun dia mulai bosan.
Pria berkacamata tersenyum.
“Sudah siap melawan giliranku?” tanya santainya.
Dia sudah puas bermain-main, ujung tombak mendadak
ditusuk ke bawah dengan aura membunuh.
“?!”
Dampak luar biasa menggetok Ushiwakamaru-Nishiki dari
genggaman Bell.
Ketika pisau merah pendek berputar-putar di udara, ujung
tombak Dix sudah kembali menyerang.
“Kah!”
Bell menghindar namun rambut putihnya teriris.
Bell terus memutar-mutar tubuhnya saat helai demi helai
rambut putihnya terjatuh, menggunakan momentum untuk
berputar menghampiri Dix sambi menyimpan Pisau Hestia di
tangan belakang.
“Tangkas sekali kau, bocah?”
“Gahhh!”
Sayangnya, Dix ikut berputar, mengarahkan ujung
tombaknya ke wajah Bell.
Bell hanya mengenai udara kosong, wajahnya terbakar
kesakitan. Kendati dunia berguncang bagi Bell, dia cepat-cepat
pasang kuda-kuda. Menguatkan posisinya, menghadap Dix lagi
yang sudah berada di belakangnya.
“?!”
Hal pertama yang dia lihat adalah tombak merah persis di
depan mata.
Sekilas melihat ejekan Dix, Bell mengerahkan seluruh
Kekuatannya untuk menebas Pisau Hestia ke atas dan
menangkis senjata ke samping.
“Hahahahahahahahaha!”
Ujung tombaknya dibelokkan, sialnya di saat-saat terahir
kembali diputar dan teriris ke anak itu. Tawa Dix ditemani
serangan tersebut. Dia telah memperingatkan Bell bahwa
gilirannya menyerang telah tiba.
Tombak panjang melengkung di udara, menyerang bak ular
yang taring-taringnya meruncing jelas. Meningkatkan
kekuatannya kepada si bocah, ia terpaksa bertahan bersama
Pisau Hestia dari gerakan lincah dan berzig-zag. Tidak ada
pola—Bell tidak tahu dari arah mana serangannya ‘kan datang.
Terlebih lagi, pria itu menggabungkan beberapa tendangan kasar
dengan serangan kuat tanpa hentinya, membuat Bell hilang
keseimbangan dan serangan-serangan berikutnya kian sulit
diprediksi.
Bell semakin terdesak oleh tombak Dix dan agresi liar
acaknya.
“Senang mengenalmu!”
Ia menusuk tombaknya ke depan untuk menghabisi bocah
yang goyah tersebut.
Bell melihat ujung tombak datang—matanya berkilat-kilat.
—Berhasil!
Tangan kiri kosongnya terayun ke belakang punggung,
sesaat kemudian, lintasan merah melesat dari sarungnya.
Kekuatan luar biasanya menabrak tombak Dix.
“!”
Mata merah dari balik kacamata google-nya terbuka lebar.
Pisau cadangan Ushiwakamaru, ditemani teknik yang ia
pelajari dari Putri Pedang: bait and switch.
Bell mengingat sesi latihan penuh semangat bersama gadis
Amazon di atas dinding kota persis sebelum Permainan Perang
dan pura-pura lengah saat berada di posisi paling tidak
diuntungkan.
“Kewaspadaan orang ‘kan menurun ketika serangan terakhir hendak
dilancarkan.”
Kala kata-kata idolanya berputar ulang dalam benak, tubuh
Bell mengabur. Pisau merah pertama memungkinkannya
menghindari ujung tombak senyaris mungkin, kemudian
mendekati lawan yang tergelepar.
Kelemahan tombak adalah kekuatan bilah Bell—yaitu: jarak
dekat. Bell mulai memanfaatkan seluruh keuntungan senjatanya.
Tetapi ….
“.”
Dix, yang matanya membelalak target, mencibir penuh
keyakinan.
Pria itu memegang pisau tembur di belakang punggungnya,
cukup besar sampai dikira pedang pendek, tersembunyi dari
pandangan Bell.
Lintasan pisau berkilau dari sisi berlawanan tombak,
terbayang baik pada mata merah rubi beku Bell.
Seolah dia menyalin teknik Bell, menarik pisau dari bagian
sekitar pinggang dan digerakkan menuju perut lawan yang tanpa
pertahanan.
Serangan balik sempurna. Ujung pisau tempur meraup ke
atas.
“!”
Kena perangkap sendiri, Bell segera jongkok dengan
kekuatan penuh.
“Oh?”
Penglihatannya terjatuh tatkala serangan arah perut
berubah haluan menuju dada.
Ujung pisau tempur berhenti di pelat dadanya. Baju zirah
perak memblokir senjata Dix dan terdengarlah suara keras
dentang logam.
“Hahaha! Baju besimu bagus!”
“Ugh!”
Masih memulihkan diri dari benturan dadanya, Bell
menendang.
Sungai-sungai keringat membasahi kulit, Bell
menyesuaikan lempeng dada dengan tangan kanan yang masih
menggenggam terbalik Pisau Hestia.
Welf ….!
Pandai besi itu membualkan bahan adamantite ganda yang
dicampurkan ke dalam inkarnasi kelima Pyonkichi.
“Aku menghabiskan banyak uang untuk logam itu. Lebih
baik kau tidak merusaknya,” ucap pemuda berambut merah
sambil tertawa-tawa. Dalam lubuk hati Bell diam-diam
berterima kasih padanya atas baju besi.
Zirah tersebut melindunginya dari serangan mematikan
musuh, menyelamatkan hidupnya.
“Kerja bagus, bocah. Nih serangan lain.”
Dix menyerbu lagi, bibirnya menyeringai.
Bell tidak punya pilihan lain selain bertahan dari musuh
bertombaknya, pisau rahasianya kembali disarungkan.
—Dia kuat.
Keahlian serta taktik Dix tidak menurun, tidak peduli
sebesar apa Statusnya berkurang.
Tentu tidak. Keduanya sudah ditempa dari pertempuran
nyata, pengalaman sebenarnya.
Entah sedekat apa Status Bell padanya, meskipun punya
senjata terbaik, Kecepatannya yang setara, jumlah pengalaman
yang memisahkan mereka berdua tak terdekatkan.
Sederhananya, Dix Perdix si pemburu masih kuat, walaupun
kutukan menahannya.
Bell susah payah menyadari fakta tersebut ketika batang
tombak merobohkannya ke tanah.
Rasa pedih membakar menjalar dari jari kaki dan jemari
tangannya, sama seperti ketika ia sedang melawan Phryne.
“GAHHH!”
Walau Bell berhasil menjauh dari lintasan senjata, ujung
tombak merah tua masih mengiris pipinya.
Sesaat kemudian, Bell berdiri dan berhasil menjauh.
“Panas ….!”
Rasa sakit intens membakar di pipi membuat seluruh
tubuhnya tersentak.
“Hati-hati. Satu serangan dari tombak ini … kau bisa mati di
tempat,” ucap Dix sambil nyengir, mengangkat tombak jahatnya
yang diputar-putar sampai dihunuskan ke mata Bell.
“Pelengkapnya dipesan dari seorang penyihir. Ada kutukan
yang ditanam dalam tombak ini. Apa pun yang dipotong takkan
sembuh, bahkan ramuan ataupun sihir tidak berguna.
Bagaimanapun, kutukannya masih menjangkit.”
“!”
Wajah Bell syok. Secara bersamaan keringat dingin
mengalir di lehernya.
Entah berapa kali Bell menyeka darah, lukanya takkan
membeku. Pernyataan Dix benar. Darah menetes dari pipinya,
menodai kulit serta baju zirah.
Tidak mungkin dapat pulih dari satu serangan itu saja,
benar-benar senjata terkutuk.
Bell menggertakkan gigi terhadap sihir merah yang
memperburuk lukanya.
—Sepertinya aku pernah melihat ini?
Melirik bayangan lukanya pada bilah pisau.
Kebingungan karena memori dalam isi kepalanya.
“Berapa kali pun kau menjatuhkan monster, lambat laun
mereka akan sembuh jua. Jauh lebih mudah bila kau
memotongnya sampai tidak bergerak dan lukanya tak sembuh-
sembuh.”
Mata Bell berkedip sambil mendengarkan penjelasan santai
Dix tentang metode mengerikannya.
“Mungkinkah …. Barbarian di Daedalus Street itu ….?”
Di belakang panti asuhan. Bell dan Syr memasuki
terowongan bawah tanah setelah anak-anak memintanya.
Bell mengingat monster kategori besar yang ia lawan dalam
kegelapan.
“Hei, bocah, serius nih? Kau bertemu dia?!”
Bell merenung, dirinya tercengang sementara Dix tertawa
terbahak-bahak.
“Mantap, kami menangkap si besar itu. Aku mengirisnya
dengan tombak ini, tapi … ia kabur dari bawahan idiotku sebelum
kami membunuhnya.”
“….!”
“Terowongan sialan itu ambruk pas kami mengejar dan dia
berhasil kabur. Kami terus mencari-cari juga. Tidak kusangka
kami membiarkannya begitu saja.”
Tubuh besar berlumuran darah tentunya dari hasil luka
pendarahan, namun tidak kelihatan tanda-tanda regenerasi.
Raungannya penuh amarah, sakit, dan penderitaan.
Bell terkejut oleh erangan monster itu.
Apakah barbarian itu Xenos juga ….?
“Tuh monster menyusahkan sekali, jadi kami membunuh
monster-monster besarnya sejak saat itu, tapi …. Rupanya kau
membunuhnya demi kami. Makasih atas bantuannya, Pemula
Kecil.”
Urat nadi Bell merinding terhadap seringai dan tawa pria di
hadapannya, Dix lebih menakutkan ketimbang monster mana
pun atau malah Dungeon itu sendiri.
Evilus yang Lyu sebut-sebut pastinya seperti ini.
Hawa dingin tak terlukiskan membungkus tubuh Bell.
“Kenapa ….”
“Hmmm?”
“Kenapa kau menyakiti monster-monster itu ….?”
Kata-kata terbuai dari mulut Bell tanpa sadar.
“Sudah kubilang aku perlu uang, kan?”
“Apa … apa hanya itu saja ….?”
Bagaimana bisa ia terus menyakiti Xenos setelah mendengar
erangan seperti yang Bell dengar?
Lolongan monster memenuhi telinganya, tubuh Bell
condong ke depan, meminta jawaban.
“….”
Dix menutup mulut sejenak sementara ucapan si bocah
menggantung di udara.
Dix menyentuh kacamata google … dan tersenyum.
Senyumnya berbeda dari senyum sebelum-sebelumnya.
“Pemula Kecil. Tahu tidak mengapa darah daging Daedalus
menuruti kehendak gila para pendahulu dari kuburnya ….?
Tahukah kau mengapa semuanya berlanjut selama ribuan tahun?
Tidakkah kau tahu?”
Bell tersentak, terkejut oleh pertanyaan tiba-tiba itu.
Dix tidak menunggu jawaban.
“Karena darah kami yang memaksanya.”
“Apa ….?”
“Darah yang memerintah kami,” ujarnya, melepas kacamata
lebar google itu sekuat tenaga.
Suara si pria mencapai puncak.
“Darahnya tak mau diam! Selesaikan labirin besar ini,
katanya!”
“!”
“Ia bahkan tak memaksaku istrirahat! Darah Daedalus terus
membangkitkanku!”
Kali pertama suaranya tertuang emosi.
Dix mengabaikan langkah mundur reflex Bell dan terus
mengoceh.
“Selalu seperti itu semenjak aku terlahir dalam tempat
sampah gelap dan kotor ini! Cetak biru Knossos dalam buku
catatan itu membuat kami kerja rodi! Tiada yang bisa melarikan
diri, tidak dari garis keturunan terkutuk ini!”
Tawa geli Dix tergabung murka dan kemarahan.
Bell bergidik ketakutan ketika melihat pameran arus
kebencian.
—Keturunan terkutuk.
Kegigihan Daedalus Gila terus berlanjut tanpa gangguan
selama hampir seribu tahun.
Obsesi pantang menyerah sang arsitek, terus mendesak
untuk menciptakan sesuatu yang melampaui Dungeon,
mengungguli para dewa-dewi itu sendiri.
Apakah demikian perkataan Dix? Benarkah kecemerlangan
dan kegilaan pria itu telah turun-temurun kepada anak-cucunya
melalui darah?
“Memang gak masuk akal, yea?! Satu-satunya orang yang
boleh mengaturku—hanyalah aku sendiri!”
Bell terjebak antara kemungkinan dan tebakannya sendiri,
namun satu hal terjamin kebenarannya.
Pria di hadapannya, Dix Perdis … memiliki idealisme
individualitas kuat, cukup kuat sampai menandingi darah
terkutuknya.
“… aku ingin semua persoalan ini menghilang saja. Tidak
bercanda,” kata Dix dingin, senyumnya tidak berubah seakan
amarah terkumpulnya telah sukses dilepaskan. “Aku benci
labirin ini lebih dari semua orang di dunia.”
Namun Dix tidak bisa melanggarnya.
Darah takkan membiarkannya. Kutukan Daedalus
terlampau kuat.
Bersikeras melakukan kebalikannya, demi menyelesaikan
bagian pekerjaannya.
Dix akhirnya melepas sentuhan kacamatanya.
“Aku suka melampiaskan seluruhnya kepada Dungeon. Aku
benci labirin yang membuat Daedalus gila dan semua leluhur-
leluhurku. Aku membunuh monster, terus membunuh,
membunuh, membunuh mereka satu per satu.”
“….!”
“Tentu saja, itu belum cukup.”
Lalu, Dix melihat Xenos yang masih berkelahi antar sesama
di belakang Bell.
“Bagaimana caranya memuaskan diriku ….? Itu saja yang
kupikirkan, membangun labirin ini. Namun kami menemukan
monster berbicara kala itu, dan dimulailah perburuannya.
Gimana, ya …. Oh, ya. Harusnya begitu setelah pantek-pantek
Zeus dan Hera menghilang.”
Dix melihat ke bawah, terkekeh sendiri begitu kata-kata
terucap dari mulutnya.
Bell lagi-lagi merinding saat dihadapkan tawa jahat si pria,
tawa parau mengerikan tersebut terngiang-ngiang di telinga.
“Mereka bukan monster biasa. Menangis dan memohon atas
hidup mereka. Bayangkan saja itu. Monster-monster dilahirkan
dari Dungeon yang juga membuat Daedalus jadi gila, memohon
belas kasih …. Haha, masih meninggalkan kesan padaku.”
“.”
Senyumnya terpampang di paras ketika mendongak terlihat
amat ngeri sampai-sampai Bell terdiam seribu bahasa.
“—Akhirnya ketemu! Hasrat yang mampu membungkam
kutukan sialan itu!”
Dix mengayunkan tombak merah di tangan kanannya,
mengiris udara.
“Kecapan puas pertamaku dari penderitaan dan tangisan
putus asa para monster, lantaran aku memperlakukan mereka
seperti sampah! Memuaskan dahaga sekaligus menenangkan
darahku!”
“Apa—?”
“Sebagaimana petuah nenek moyangku, aku sekadar mengejar hasrat!”
Dix tidak berhenti bicara.
“Oh, sungguh—sukacita murni! Akhirnya menutup mulut
darah itu! Melawan dirimu sendiri dan menjadi pemenang! Tidak
bir atau pun ale mampu menandinginya—sebuah euforia murni!”
Bell menyaksikan kegilaa pria di depan matanya dan
langsung mengerti.
Dengan kata lain, tidak ada makna besar atas perlakuan Dix
kepada Xenos, skema besar pun tidak.
Tujuan satu-satunya adalah memuaskan keinginannya dan
kesadisan maha besarnya.
Dan keinginan menggebu-gebu itu sanggup mengatasi
kutukan darahnya.
Dambaan Dix … adalah memuaskan kehendak sadis tak
terpuaskannya, seluruh perbuatannya adalah demi tujuan
tunggal itu.
Sepenuhnya berbeda dari pertempuran Welf yang nadinya
mengalir darah Crozzo. Aneh bila membandingkan keduanya.
Dix sudah berhenti total melawan darahnya—digantikan
hasrat yang jauh lebih kuat, maka dari itu ia menjadi monster
yang melampaui monster itu sendiri.
“Gara-gara itu ….!”
Dia melakukan perbuatannya kepada Wiene dan Xenos ….
Bahu Bell gemetar ketika melihat seorang pria tenggelam
dalam kesenangannya.
“Kau melakukan semua ini?”
Ekspresi Dix terhapus dalam sekejap.
“Sadarlah, bocah.”
“?!”
“Kau tak mungkin mengerti sensasinya, diatur-atur darah
yang mendorong impulsif.”
Dix menyerbu maju, dengan satu tangan menusuk-nusuk
tombaknya berulang kali sedangkan Bell menghindar panik biar
tidak terkejar.
“Kau takkan pernah paham perasaan seorang laki-laki yang
tidak berdaya oleh kutukan yang membakar bola matanya dari
dalam dan luar!”
Dix menyalurkan seluruh amarahnya pada satu sapuan
lengkung. Tak mampu menahan pukulan tombak, Bell
terhempas.
“Mulanya cuma buat uang,” tutur Ikelus, sosoknya
dikelilingi cakrawala biru. “Sudah kubilang sebelumnya,
menyelesaikan Knossos membutuhkan banyak sekali uang—
banyak dan banyak uang. Kebanyakan sampai harta karun yang
diangkut dari labirin lantai bawah pun tidak bisa menutupinya.”
“….”
“Terlebih lagi, risiko kehilangan sekutu amat-amat tinggi.
Bila mana kau punya cara mengamankan dompetmu, kau masih
punya peluang, benar?”
Ikelus mengenang waktu-waktu Xenos secara tidak sengaja
ditemukan dan terpikirlah rencana pasar gelap.
Muka Hermes tetap netral sambil mendengarkan.
“Dix yang pertama kali memulainya, tapi …. Heeheehee! Dia
berubah.”
“Berubah ….?”
“Benar. Sambil mengajarkan rasa takut akan sakit kepada
para monster sebelum mereka dibawa keluar … suatu kala,
matanya mulai bersinar saat dia melihat mereka menangis.”
Ikelus melanjutkan dengan menyebut bahwa Sesuatu dalam
dirinya telah terbangun.
Lalu menjelaskan bahwa tujuan dan metode penangkapan
Xenos telah berubah.
“Aku menyukainya. Dia nampak seperti pria yang sedang
mengejar keinginannya. Mata biadab tersebut, gemetaran, tidak
salah lagi tengah menjerit Bahagia ….!”
“… itu lebih buruk dari kata buruk, Ikelus.”
“Heeheeheehee ….! Kita para dewa pasti mempunyainya,
kan? Bocah-bocah itu memang menyusahkan, tapi aku menyukai
mereka semua dengan caraku sendiri.”
Suara Ikelus termakan angin sepoi-sepoi, seolah sedang
bersorak-sorai kepada anak-anaknya untuk mengalahkan
keturunan terkutuk itu.
“Roman-romannya keinginan terakhir Daedalus akan mati
di generasi Dix.”
“….”
“Dia tidak sama sekali berminat menyelesaikan Knossos, ide
itu sudah musnah.”
Ikelus menyipitkan mata.
“Kini dia meraih hal yang kusukai—impian para monster.”

Τέρας

Mustahil ….!
Asfi dikacaukan pemandangan tersebut.
Tangan dan kaki terkulai lemas di tanah, bilah merah di
tanah meneteskan darah, serpihan-serpihan senjata rusak
berserakan.
Tubuh-tubuh para petualang yang terkapar, nyaris tak
bernafas di bawah titik pengamatnya.
Mereka dibantai.
Para elit Ganesha Familia, petualang kelas satu Orario,
semuanya dikalahkan oleh seorang monster.
Sama seperti Shakti, Ilta langsung pingsan dalam sekali
pukul. Semuanya telah berakhir sebelum tahu apa yang
menabrak mereka.
Musuh secara khusus menargetkan anggota-anggota
terkuat tim penakluk, mengalahkan mereka satu per satu
sebelum menghampiri sisanya. Tanah-tanah hancur dari satu
ayunan Labrys ganda. Menebang pohon besar dan menginjak
formasi para petualang dengan kaki masifnya.
Kulit hitamnya sama sekali tidak terluka.
Huff, huff! Nafas putus-putus dari moncong kuatnya bergema
di seluruh hutan sunyi.
Ia berdiri di tengah-tengah medan tempur penuh tubuh-
tubuh petualang yang tergeletak layaknya mayat, ia bagai raja
malapetaka.
Black minotaur ….?!”
Dia tidak tahu itu. Tidak juga pernah mendengarnya.
Monster sebesar itu tidak ada dalam pengetahuan Asfi.
Detak jantungnya mengguncang seluruh tubuh dari dalam.
Berjuang mengatur nafasnya melawan irama kuat. Berhati-hati
untuk tidak membuat suara, memberitahu tangan dan kaki
untuk tak mengguncang barang sihir yang membuatnya tembus
pandang.
Ia menyesal.
Dia tidak memprioritaskan pengumpulan informasi dan
meninggalkan medan perang begitu saja.
Membiarkan Lyu dan Aisha memengaruhinya dan
membiarkan rasa keadilan meyakinkannya untuk memberi
bantuan dari bayang-bayang—semuanya salah.
Mestinya dia melarikan diri cepat-cepat.
Melihat sesuatu di depannya, melawan tubuhnya yang tidak
mau menurut, Asfi menyesali segalanya.
“Pasti ini bercanda ….”
“….”
Selain monster hitam itu, dua orang masih bertahan di sana.
Aisha dan Lyu.
Mereka tidak bergabung dalam pembantaian tanpa
perlawanan yang sudah berakhir itu. Wajah-wajah mereka
merasakan urgensi. Keduanya berdiri kewalahan dan tidak
bergeming di depannya.
Monster-monster lain menghilang. Seolah mereka tahu
kejadian ini akan terjadi, mereka meninggalkan pertempuran dan
pergi ke timur.
….?!
Larilah, Asfi memohon dalam hatinya.
Menjauhlah sejauh mungkin! Hatinya menjerit kepada wanita-
wanita itu.
Akan tetapi, elf dan prajurit Amazon pelan-pelan
mengangkat senjata mereka, secara simbolis menolak
permintaan Asfi.
Para wanita dikelilingi tubuh tak sadarkan diri Ganesha
Familia.
Namun mereka semua masih bernafas.
Tidak tega meninggalkan para petualang sekarat ini kepada
maut masing-masing, Lyu dan Aisha menodong monster hitam
tersebut.
Asfi menggertakkan gigi, merasa tak berdaya.
“….”
Suasana mulai tegang.
Lyu merosot, bilah kayu Aisha bersiul, Asfi meraih sarung di
pinggangnya meski kegelisahan masih menyengat.
Tiga jantung berdetak bersama-sama.
Langkah pertama monster hitam itu adalah sinyalnya. “!”
Kedua petualang menerjang dalam satu waktu bersama Asfi
yang tak kasat mata melompat dari pohon tempatnya bertengger,
melempar jarum-jarum tajam dan Minyak Ledak kepada hewan
buas itu.
Sang monster dengan sangat gampang memblokir tiga
jarum yang muncul tiba-tiba dengan sarung tangan. Minyak
Ledak seketika meledak beberapa saat kemudian. Niatnya tidak
untuk membuat serangan. Akan tetapi, asap serta nyala api akan
menganggu penglihatan musuhnya. Dua petualang yang maju
berganti arah, maju dari sebelah kanan dan kiri.
Terperangkap dalam serangan penjepit, musuhnya—
mengincar Aisha.
“?!”
Bayangan hitam menembus asap.
Jarak antara mereka menjadi nol dan satu tendangan kaki
kuat muncul dari balik asap. Ketiganya bergidik ketakutan —
Lyu, hewan buas tersebut menghilang dari penglihatannya,
Asfi mengamati dari udara, dan Aisha-lah targetnya.
Dia mengangkat pedang kayu besar untuk menahan
serangan Labrys yang mengincar wajahnya.
“.”
Sedetik kemudian senjatanya hancur sehancur-
hancurnya.
Tulang pada jemarinya retak-retak sebab tabrakan itu.
Bilah tebal hancur sekali serang di depan wajahnya, hujan
pecahan perak memenuhi penglihatan Aisha. Kendati
Amazon itu mengorbankan senjatanya sebagai pembuka
serangan, dia tidak bisa menahan serangan selanjutnya.
Musuh tanpa ampun mengayunkan tangan kanannya,
menghantam Aisha sekejap kemudian.
“Arghh!”
Telapak tangan musuh tepat di atas tangan kiri Aisha,
menerbangkannya dan terhempaslah ia sambil terdengar
suara-suara retakan menyeramkan.
Aisha menabrak batang pohon besar, meluncur ke tanah
dan tidak bangun lagi.
“Antianeira!”
Seolah tertarik jeritan Lyu, bayangan hitam tidak
membaung-buang waktu dan langsung berbalik
menghadapnya.
“!”
Lyu memerlukan setiap tetes reflex kecepatan tinggi
untuk tiarap ke tanah agar menghindari serangan sapuan
yang meruntuhkan hukum gaya semu9.
Labrys melintas di atas kepalanya ketika elf memeluk
permukaan hutan. Angin yang mengiringi senjatanya sangat kuat
sampai merobek jubah dan tudungnya. Wajah fasial Lyu kini
terbuka.
Prajurit elf itu tak membiarkannya tanpa serangan balasan,
ia menebas pedang kayunya ke depan tatkala melewati
musuhnya—namun ia menghindari serangannya dengan
lompatan satu kaki.
“….!”
Sosok besarnya menghujam tanah, menggetarkan seisi
medan. Lyu berguling menjauh, mengenyahkan kekagetannya.
Monster hitam itu sudah muncul tepat di depannya dan siap
menguncinya dengan Labrys yang terangkat tinggi-tinggi,
kendati jarak mereka jauh.
—Dilemparkah?!
Rupanya tidak.
Harapan Lyu bertentangan, musuh menusuk kapak
berbilah gandanya ke tanah di kaki.
Kristal, batu, dan tumbuh-tumbuhan meledak oleh
gelombang proyektil yang meluncur persis ke arahnya.
“?!”
Walau Lyu berhasil menghindarinya tepat waktu—
“—Guh, argh!”
—Dia mendengar pecahan beberapa kristal karena
benturan di belakangnya, sekaligus jeritan kesakitan.
“Apa—?”
Lyu menoleh ke belakang dan melongo heran.
Asfi terbaring di tanah.
Lyu langsung mengerti.
Target utama musuh bukanlah dia, melainkan Perseus dan
barang sihirnya.
Entah dari bau atau firasat semata, minotaur telah
mendeteksi keberadaan Asfi dan menerbangkan semprotan
proyektil ke area luas.
Lyu tidak tahu kalau dirinya menghalangi pandangan Asfi,
menunda reaksinya.
“Andromeda ….”
Kepala Hades pecah oleh hujan pecahan kristal.
Asfi tidak lagi tembus pandang, wanita muda cantik itu
mendarat jatuh. Jubah putih yang senantiasa dia kenakan kini
berlubang-lubang dan dinodai darah. Kacamata berbingkai
peraknya terlepas dari wajah dan sekarang dia berbaring di tanah
tak jauh dari Lyu.
“….”
Mata tak percaya Lyu menatap Aisha dan Asfi. Melihat tak
seorang pun mampu bergabung kembali dalam pertempuran,
sang elf menghadap ke depan.
Monster tersebut berdiri di hadapannya, mimpi buruk
menjadi nyata.
Drap, drap! Labrys berlumuran darah parah petualang, atau
mungkin monster yang tidak terhitung jumlahnya, bergoyang-
goyan seiring langkah mahluk buas yang menggetarkan tanah.
Lyu tetap diam, kuda-kudanya merendah dan mengangkat
senjata.
Menghadapi musuhnya, mencengkeram pedang kayunya
dengan kedua tangan.
Monster hitam tersebut memperhatikan dan berhenti
otomatis.
Mata penasarannya tertuju pada Lyu, sesaat tiada emosi, ia
diam-diam menyiagakan Labrys.
Lyu melawan monster itu sendirian.
“….”
Kehilangan tudungnya sebab serangan musuh, kecantikan
elf-nya tampak jelas di hutan.
Semangat bertarungnya tetap kuat.
Alisnya meninggi, memelototi musuhnya dengan eksistensi
penuh wibawa serta raut wajah prajurit.
Biar begitu, sungai-sungai keringat yang menggulung jatuh
di wajah mengkhianati pikiran sejatinya.
Sudah lama sekali ….
Perasaan berada di ambang pintu kematian.
Lyu tidak mengalaminya semenjak ia berhenti menjadi
petualang dan menjauh dari urusan-urusan Dungeon.
Terdapat garis absolut antara kehidupan dan kematian,
garis yang selalu sukses ia hindari
Kini garis absolut tersebut berdiri di depannya, lebih tebal
dan berbeda dari yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Keheningan singkat menusuk telinganya.
Jantung berdegup cepat menumbuk peringatan di telinga,
dia melemaskan tangan di sekitar pedang kayu untuk
menyesuaikan genggamannya, kemudian diremas erat-erat.
Momen selanjutnya ….
“OOOOOOOOOOO!”
Lyu dan monster mulai bergerak.
Berjongkok agar terhindar irisan kapak yang disertai seruan
pertempuran lalu mendorong bilah kayunya dari bawah.
Serangannya meleset, tapi Lyu tidak peduli. Gadis itu terus
menggerakkan kakinya dan menambah kecepatan.
Pertempuran Aisha menunjukkan bahwa mencoba
menahan kekuatan besar musuh bukan solusi. Bahkan kontak
seminim mungkin harus dicegah sebisanya. Lyu berlari seperti
angin, menghindari sarangan layaknya badai. Dan dengan
kekuatan topan, dia melancarkan serangan. Lyu menuangkan
seluruh kekuatannya untuk menghindar dan menyerang balik,
memanfaatkan semua kesempatannya untuk menyerang si
monster hitam.
Potensi agresif lawannya selalu mengungguli langkah
pertama, memaksa Lyu membaca gerakan dan bereaksi setiap
saat.
Monster itu punya skill, dia sedang beradaptasi dan
memprediksi pola-pola serangannya. Sifatnya sama dengan
sebagian kecil monster bersenjata lainnya. Bagi Lyu, hal tersebut
ialah faktor paling menakutkan. Setiap musuh menyerang,
ketakutan mengancam hendak membanjirinya, tapi Lyu tidak
ingin takut. Takut berarti kalah, kalah berarti mati.
Mempertahankan kuda-kuda rendah di hadapan musuh
raksasanya, Lyu terus memborbardir kakinya.
“—Uoooo.”
Mata monster melebar ketika serangan Lyu terasa lebih
keras, setiap ketepatan serangan dan kecepatannya berangsur-
angsur meningkat. Dia melihat kegembiraan dalam wajah si
monster. Mahluk tersebut bukan monster yang biasa ia temui.
Monster ini tidak tertarik membantai orang, melainkan
suka bertarung melawan mereka.
Pemikiran tersebut terlintas dalam benaknya. Lyu pun
yakin makna pertempuran mereka. Perbedaan antara pembunuh
massal serta seorang prajurit terletak pada cita-cita tak
berkesudahan untuk naik tingkat dan mengecap kemenangan.
Perawakan elegan nan rahasia Lyu mulai berubah.
Lantas pertempuran antara seorang elf dan monster,
bergerak cepat hingga meninggalkan bayangan di tempat,
kekuatan tak terbatas minotaur nampaknya akan berakhir dalam
waktu kurang dari semenit.
Dari awal Lyu sudah bertarung dengan kekuatan penuh,
tidak berniat membuat pertarungannya alot.
Tahu bahwa tubuhnya barangkali telah mencapai batas,
prajurit itu berusaha menyelesaikan pertarungan untuk
selamanya:
“HYAHHHH!”
“OOOOOOOOOOOOOOOOOOO!”
Dia menerjang dari samping. Berjongkok bagai binatang
buas, Lyu meluncur maju dengan teknik coba lagi sedangkan
monster hitam mengayun-ayunkan Labrys tingginya di atas
kepala.
Kapak besar tersebut jatuh lebih cepat ketimbang terjangan
gilanya.
“?!”
Saat angin topan berikutnya membawa bilah kayu ke udara,
pundak monster bergerak.
Rasanya janggal.
Harusnya ada perlawanan di waktu-waktu kemenangan ini,
namun Labrys menembus udara belaka ketika diayunkan ke
tanah. Tidak ada apa-apa.
Kemudian, datang bayangan di atas bayangan tubuh
monster.
—Kena kau.
Bayangan itu adalah Lyu.
Dia melompat ke udara dari lari kijangnya persis sebelum
kapak ganda jatuh menghantam.
Bagian pertama strateginya adalah membuat lawannya
tetap fokus. Lyu memanipulasi fokus tersebut untuk mendesain
serangan selinapnya.
Lyu memainkan kartu truf, pertempuran udara.
Sewaktu musuh diharuskan menyesuaikan diri dari
pertempuran darat ke serangan udara, titik buta besar mulai
terbuka.
Taktik Lyu melebihi kekuatan serta keterampilan
monsternya.
“HAAAAAAAAAH!”
Membidik lawan tertegunnya, dia menghunus dua pedang
pendek dari pinggang.
Pedang pendek kembar. Dia mendapatkannya dari familia
Timur Jauh yang kini tidak lagi eksis.
Lyu berusaha menebas hidup monster di depannya, bilah-
bilah berkilat.
“—Whaa ….!”
Tetapi—itu menahannya.
Yang menahan serangan bilah ganda Lyu adalah satu
tanduk.
Tanduk merah tumbuh dari dahinya, bak banteng.
Menghadang serangan bilah ganda secara langsung, tetap
kuat seakan takkan bisa hancur.
Sesudahnya, monster menggunakan otot di lehernya untuk
melempar tubuh rentan Lyu ke udara setelah menyerap
dampaknya.
“Ghahhh!”
Bruk! Tubuh ramping Lyu menabrak pohon, suara berisik
tabrakan menggema di hutan.
Terengah-engah kala udara diperas keluar dari paru-
parunya, Lyu melihat sekelebat bayangan hitam menutupi
dirinya yang berusaha bangun.
“!”
Labrys menjulang tinggi di depannya, dan sudah sangat
terlambat untuk menghindar.
Lyu menatap bayangan hitam besar, tahu betul bahwa dia
akan mati.
“….”
Tepat sebelum kapaknya jatuh ….
Minotaur berhenti dan melihat ke arah lain. Matanya
melebar, Lyu juga mendengarnya—lolongan monster dari jauh,
jauh-jauh dari dalam hutan. Seolah lolongan itu menyampaikan
pesan.
Terdiam, monster hitam menurunkan kapaknya dan
menjauh dari Lyu.
Meninggalkan elf yang melongo, dia menghilang ke dalam
hutan dengan langkah kaki yang mengguncang tanah.
“… aku … diampuni.”
Gumam lirih Lyu ketika mahluknya menghilang dari
pandangan.
Dia menatap tangannya yang gemetaran, tidak bisa
mengepal, tak lama ia menyerah karena kelelahan dan bersandar
di pohon sebelah belakang.
Memandang langit biru yang menjadi ciri khas lantai.
Banyak petualang terbaring tanpa daya di sepanjang medan
perang yang diterangi cahaya-cahaya kristal menembus kanopi
hutan, tapi hanya Lyu seorang yang sanggup bergerak.
∆ιπλό τσεκούρι

“Apa aku membuatmu semarah itu, Pemula Kecil?”


Dix bertanya di tengah-tengah kegilaan tanpa henti.
“Mereka bisa bicara, itu saja. Tidak mengubah fakta bahwa
mereka sama-sama monster.”
“Gahhgh ….!”
Bell menerima banyak serangan.
Meski berhasil menghindari tombak terkutuk itu sendiri,
Dix masih unggul dalam pertarungan dan telah menghasilkan
banyak rasa sakit. Sejak awal pertempuran, Bell sudah banyak
luka memar dan tidak aneh kalau bilang dari kepala sampai ujung
kaki dirinya terluka.
Akan tetapi, mata bocah itu masih jernih, bersinar seperti
matahari tanpa awan di langit.
“Apa salahnya membunuh mereka di genangan darah
kaumnya sendiri?”
“Ghah?!”
“Kau juga melakukannya, bukan? Bunuh monster, dapat
duit. Sama saja, kan?”
“Gahhh ….?!”
Anak muda itu hampir tidak bergerak, dan Dix kembali
menggetuknya dengan tangkai tombak.
Walau Bell bisa mencegat senjatanya menggunakan Pisau
Hestia, Bell tidak bisa sepenuhnya melindungi diri dari tebasan
panjang dan diagonal. Kaki, tangan, serta wajahnya lebih sering
menerima banyak pukulan dari yang otaknya bisa ingat.
Dix hanya bermain-main sama Bell, memukulnya sambil
bersenang-senang dan tersenyum.
Dia cuma ingin melihat cahaya meninggalkan mata si anak
dan menyaksikan semangatnya hancur. Kalimat tersebut ditahan
oleh ayunan-ayunan pisau.
“… meski … pun ... itu benar ….!”
“?”
“Lido, semua monster itu bisa tersenyum … dan tertawa ….!
Mereka bisa juga menangis, seperti kita ….!”
Bell memelototi Dix dengan mata merah rubinya.
“Mereka bisa … berjabat tangan ….!”
Bell mengepalkan tangan kanannya, mengingat kehangatan
yang pernah dirasakan telapak tangannya itu.
“… bocah, kau sudah gila, ya,” kata Dix, seringainya makin
dalam.
Mata merah berkilau dari balik kacamata google, seolah-
olah roh sadisnya sedang membara.
“Nah, mesti apa ya ….”
“UGHA ….!”
Pukulan keras ke bahu atas Bell membuatnya berlutut.
Dix memandangi Bell, ia menopang dirinya sendiri dengan
tangan kiri selagi terengah-engah.
“Kalau tidak salah … kau punya sesuatu untuk vouivre itu,
bukan?”
Layaknya saklar … waktu berhenti bagi Bell setelah
mendengar nama itu.
“—Baiklah, akan kutunjukkan apa maksudku.”
Senyum jahatnya terpampang di wajah Dix.
“Apa yang kau ….?”
“Waktunya bobo.”
Tendangan kuat menghantam dagu bawahnya, Bell terjatuh
di lantai batu.
Kehadiran pria yang terkekeh-kekeh itu semakin
menghempasnya. Terperangkap dalam kabut berputar-putar nan
memualkan selama sejenak, dia menggigit bibirnya dan berjuang
untuk bangkit kembali. Kemudian ia menendang lantai batu lagi.
Tersandung, Bell berlari lebih dalam lagi ke ruangan, tempat
Dix menghilang dalam kegelapan.
Mata Bell disapa beberapa terowongan penuh pintu
orikalkum, sekaligus lubang-lubang di lantai, nampak logam-
logam di balik terowongan batu itu, ternyata jalan yang masih
dalam pembangunan. Ketika Xenos gila meraung-raung jauh di
belakangnya, Bell masuk ke lorong redup cahaya.
Semata-mata satu lampu berbatu sihir yang menerangi
jalan.
Kegelapan menemaninya.
Menembus kegelapan yang menyelubungi jalan laksana
tudung dan membuat kakinya hampir tersandung, Bell berhasil
sampai ke ujung jalan batu dan mendengar:
“—Bell!”
Gadis naga yang terbelenggu rantai digantung di langit-
langit.
“Wiene!”
Mata Bell melebar, mengistrirahatkan tangannya di dinding
batu agar tubuhnya tidak roboh.
Tidak ada apa-apa di ruangannya selain darah kering yang
berceceran di lantai.
Tangannya dirantai, Wiene seperti hendak dikorbankan
kepada dewa kuno. Kakinya juga banyak goresan, tubuh memar
babak belurnya sama dengan Bell.
Rambut biru keperakan berdesir, sisik-sisik rusak yang
mengelupas dari kulit putih birunya, mata kuning berair Wiene
menatap Bell.
Reuni yang telah lama ditunggu-tunggu. Mereka akhirnya
bertemu lagi.
Tapi ini salah, semuanya salah.
Tempat ini, situasi ini, penderitaan fisik dan batin bukanlah
yang ingin mereka reunikan. Mereka tidak pernah
mendambakan ini.
Pada momen singkat itu, banjir emosi tak terhitung
jumlahnya berkecamuk dalam hati Bell.
Dan orang yang membuatnya kacau-balau, pria
berkacamata google, tengah berdiri tepat di samping Wiene.
“Kuis cepat, Pemula Kecil.”
Dix meraih segenggam rambut biru perak vouivre sambil
memasang seringai di bibirnya.
“Ahh ….!”
Wiene menjerit kesakitan dan kepalanya tersentak
sedangkan dagunya mendongak.
Marah, Bell hampir berteriak menyuruh Dix
melepaskannya.
“Apa yang terjadi seandainya … aku mencopot permata di
kepalanya itu?”
“.”
Bell merasakan tangan dingin di sekitar hatinya ketika Dix
menyambar permata merah tua di dahi si gadis.
Air Mata Vouivre.
Batu kemerahan bernilai lebih dari mimpi terliarnya.
Permata mistik yang layak dijuluki Batu Kemakmuran.
Akan tetapi, vouivre akan menjadi sangat-sangat garang dan
bengis begitu kehilangan permatanya ….
“TIDAK!”
Segenap dirinya berteriak.
“T-tidak, hentikan! Aku … aku bukan lagi ….!”
“Haha! Jadi kau tahu, benar?”
Bell berlari secepat kilat.
Kakinya terdorong amarah tak tertahankan, membawanya
kepada Wiene.
Kepada Wiene yang dirantai, ia ketakutan dan gemetaran.
Dia berada jauh—jauh sekali. Jarak di antara mereka tanpa
ujung, sangat-sangat renggang.
Meneriakkan nama WIene, Bell mencapainya.
Mata berlinangnya terangkat, seakan mengulurkan tangan
pada si bocah.
“Senang mengenalmu, monster.”
Pergelangan tangan Dix menyabet permata merah tua kuat-
kuat.
“.”
Bagi Bell, waktu telah berhenti. Warna berubah hitam dan
putih. Dunia menghentikan putarannya.
Setelah permata merah tua dicopot, rentetan cahaya muncul
menerangi dunia, membuat sebuah lengkungan dari kepala si
gadis.
“AAA.”
Ketika bibir si gadis ingin menjerit, badannya membungkuk
ke belakang dan menatap kosong langit-langit.
Iris kuningnya menyusut, tubuh langsingnya berguncangan.
“Ah, aghhh.” bergidik.
Satu goncangan terakhir bangkit dari tubuhnya bak
gelombang raksasa sebelum dia menjadi diam tanpa gerakan.
Rantai-rantai yang mengikatnya gemetar seakan tahu
kejadian selanjutnya. Lalu ….
Raungan kuat menembus tenggorokannya.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA?!”
Bell membeku di tempat, terkesima oleh suara luar biasa
gadis di depan matanya.
Rantai-rantai berderak dan menjerit seiring perubahan
tubuhnya. Benjolan besar muncul di pungung berkulit biru muda
Wiene, sayap raksasa membebas, sayap kembar mulai hidup.
Tpai bukan itu saja. Tangan dan kakinya gemetar, bengkak-
bengkak setiap nadinya berdenyut.
Tidak berhenti-berhenti. Transformasinya tidak finis.
Di tengah-tengah transformasi dagingnya yang menjijikkan,
gadis itu—menjadi monster.
“… Wiene.”
Rantainya hancur berantakan, potongan-potongan logam
jatuh ke lantai.
Awan debu memenuhi ruangan terguncang bagaikan asap
yang menyelubungi suara pecah Bell.
“Ahahahaha! Jadi begitu.”
Dix terkekeh, memegangi permata merah tua yang diputus
selagi dirinya keluar cepat.
“AAA.”
Bell mendongak dari tempatnya, masih membeku di tempat,
terhadap wajah seram yang menatapnya.
Kala mata kuning tiada emosi bersilangan mata Bell—ia
meraung.
“….!”
Lalu menyerbu.
Dua tangan memegang Bell dan melemparnya bagaikan
boneka kain ke permukaan batu.
Ketika dinding-dinding seperti bayangan kabur
melewatinya, Bell mendengar tubuh raksasa menerobos
terowongan saat dirinya mendarat di lantai batu ruang utama.
“A-apa itu ….?” Tukas Gran sambil mengangkat senjatanya
tinggi-tinggi, melongo terhadap sesuatu yang muncul dari
belakang ruangan.
“Jangan-jangan … Wiene-kah ….?!” gumam suara tidak
percaya.
Terpojok oleh para penyerang dan kini jubah hitamnya
compang-camping, Fels bersandar di dinding.
Hampir tidak mempedulikan kerusuhan di sekitar mereka,
Xenos-Xenos murka terus mengamuk dan melolong ketika
bayangan baru membumbung jatuh dari ketinggian tertingginya.
“… ah.”
Bell, masih merasa pedih ketika punggungnya mendarat
keras, dia menatap tubuh besar yang berdiri di atasnya dan sekali
lagi membeku.
Dari kepala sampai ekor tingginya tujuh meder.
Dua kaki di bagian bawah tubuhnya telah bergabung bak
ular raksasa. Sepasang sayap abu-abu mengerikan mengepak dari
tubuh kecil bagian atas, membentuk simetri acak.
Cakar panjang mirip naganya sekali lagi telah menajam,
sisik-sisik jahat menutupi sebagian besar tubuh mahluk itu. Yang
tersisa dari Wiene hanyalah rambut biru perak yang memanjang
sampai ke bawah sayap hingga kulit tipis biru mudanya.
Adapun kepala di atas leher nampak seolah-olah lukisan
wajah naga dilukiskan padanya, parasnya membatu dan pipinya
pecah-pecah. Mata hampanya tiada pupil, putih dan merah darah
seakan melambangkan transformasi barbarnya.
Hanya kekosongan hitam pekat di bekas bagian permata
merah tua, mata ketiga Wiene.
Akhirnya bangkit berdiri, Bell kehabisan kata-kata,
menatap Wiene yang menjulang tiga meder di atasnya.
“Hahahahahahahahahahaha! Kok terkejut sih, Pemula
Kecil? Semuanya persis sebagaimana semestinya!”
Sesaat kemudian Dix kembali, tawanya berdering di telinga
Bell.
Ia benar.
Wiene adalah naga.
Cocok dengan jenis naga tipe lamia yang Bell ketahui dari
studinya.
Seekor naga—seekor monster.
“… AA, AAAAA, AAAAAAAAAAAAAAAA!”
Rambut panjang monster itu berkibar-kibar ketika
mengeluarkan teriakan melengking yang memekakkan telinga.
Suaranya membuat kulit merangkak, dan Bell tanpa sadar
menatap mahluk itu, mencoba menjaga keseimbangannya ketika
ekor Wiene menghantam lantai batu terus-terusan.
Wiene yang dia kenal telah tiada.
Senyum polosnya, kehangatannya, air matanya telah
terkubur oleh sosok monster itu.
Tidak salah lagi.
Dirinya sudah menyerupai monster.
“Bisa kau lihat ini dan ulangi kata-kata indah tadi, Pemula
Kecil? Bukan, bukan, Bell Cranell!”
Wajah Bell terdistorsi sampai ingin membelah diri.
Ucapan Dix bergema dalam benak Bell seakan sang iblis
sendiri yang berbicara kepadanya.
Kerangka menakutkan mahluk itu tidak ada mirip-miripnya
dengan manusia, gigi galaknya mengilhami penglihatan
berdarah, raungan liar nan garangnya sampai terngiang-ngiang di
telinga.
Ia tidak manusiawi.
Ia keji.
Rasa jijik dan muak, emosi yang memaksa orang-orang
untuk bertarung, memang tengah menyelimuti dirinya.
Dix tidak salah.
Tidak ada yang salah pada emosi tersebut.
Dihadapkan wujud sejati sang monster, Bell enek—merasa
mual.
“… ruuuUUuuu … uuuUUUUuUUuUuuuuUU!”
“Grah!”
Ekor naga mencambuk-cambuk, menyerang Bell yang
meringkuk ketakutan di hadapannya.
Rasanya seakan dipaku batang pohon bersisik, si bocah
tergelincir di lantai serba debu. Karakteristik sang monster
mengenai bagian kecil punggung Bell, menghancurkan botol
kaca ramuannya. Cairan penyembuh berharga pecah dari
kantong pinggangnya.
Ketika dia akhirnya berhenti, Bell jatuh tertelungkup
menghadap lantai, batuk darah dan menggeliat kesakitan.
“Sekarang kau paham, Bell Cranell?!” Dix berteriak pada
bocah itu sekali lagi.
Bell membangkitkan tubuh berdarahnya dari lantai saat
butiran-butirannya menodai permukaan batu sampai jadi merah.
Akan tetapi, pukulan verbal Hazer belum usai.
“Lihatlah sekelilingmu! Apa yang ada di depanmu?! Di
belakangmu?!”
Di depan Bell ….
Naga buas dengan naluri monster.
Di belakangnya ….
Sekelompok monster gila, melolong layaknya anjing liar.
Terjebak antara monster-monster barbar yang takkan
pernah memahami manusia.
“Sesuatu yang hampir membunuhmu! Tepat di waktu
sekarang dan sebelum-sebelumnya!”
Vouivre serta lizardman.
Raungan berdarah-darah mereka menggaung di gendang
telinga dan tatapan haus darahnya, Bell tinggal selangkah lagi
menuju ajal.
Bell sedang di ujung kekuatan dan hawa membunuh
mereka.
“Demikianlah sifat sejati monster-monster ini! Itulah
monster!” ejek Dix.
Kebenaran dalam kata-katanya tak terbantahkan.
“Buka matamu, Bell Cranell! Saksikanlah kebenaran!”
Tawa merdeka pria itu terdengar keras dari seluruh sudut
ruangan.
Mata gemetar Bell terbuka lebar sedangkan lantai-lantai
menggelap penuh darah merah.
“Hahaha! Benar-benar keterlaluan deh, Dix itu.”
Menonton kejadiannya dari kejauhan seperti Dix, Gran
tersenyum gembira. Dia lebih memilih menonton drama daripada
menghabisi Fels.
“Bell Cranell ….!” panggil Fels yang kesakitan, mati-matian
berusaha berdiri.
“… ruuUUuuUUu … UUUUUuuuuuuuuuuu ….!”
Raungan monster-monster mulai menggila, pekikan vouivre
melengking.
Semuanya terdengar jauh di telinga Bell.
Matanya terombang-ambing. Tidak fokus. Sensasi mual
menenggelamkannya, mulutnya terasa seperti besi.
Jijik bercampur rasa sakit membakar.
Dia dikelilingi monster-monster sebenarnya.
Dan Bell—mendengar detak jantung kuat.
“Hadapilah, kau di sini karena berkehendak ikut! Akuilah!”
Suara seorang pria memukul Bell ketika kepalanya mulai
terkulai.
Dia benar, sesuatu hal mengarahkan hal lainnya.
Dia menemukan gadis aneh, dia telah melibatkan
familianya, tertarik padanya.
Segalanya, setiap peristiwa menyebabkan terjadinya
peristiwa-peristiwa lain.
Apakah semua pilihannya tiada arti?
Terbawa arus peristiwa, tidak sanggup membuat keputusan
sendiri.
Lantas, beginilah hukumannya.
Waktunya membayar hukuman.
Waktunya—memberikan jawaban—
Bell menguatkan gigi gerahamnya, mengepalkan tinjunya,
menghendaki kebangkitan tubuhnya.
“… uUUuuU ….!”
Bell memperbaiki pandangannya—
—Secara langsung kepada vouivre besar yang mengamuk
dan mengepak-ngepak.
“… rUuuuu ….!”
Biasanya, vouivre penyerang punya satu pemikiran.
Mereka menjadi sungguh-sungguh agresif untuk merebut
kembali Air Mata Vouivre.
Namun, monster tersebut sama sekali tidak berminat pada
permata merah yang dipegang Dix.
“… Bluuuuuu ….”
Dia mencari sesuatu yang lebih penting.
“BeLLuuuuuuuu ….!”
Dia mencari-cari.
Walau wujudnya mengerikan, dia masih mencari-cari Bell.
Kendati seekor monster, dia merindu bocah itu.
Bell mengepalkan tangannya lebih erat dan maju. “… i … ene.”
Menyaka darah di mulut, memaksa tubuh terlukanya untuk
terus maju.
“Wiene ….!”
Suara tak stabilnya memanggil nama Wiene.
“Aaa!”
Vouivre mengayunkan ekor besarnya ke bocah yang
mendekat.
Seolah menangis sebab takut pada orang jahat, mimpi buruk
teman-temannya terbunuh.
Ekornya menabrak Bell.
“Hei, hei! Kau bakal mati misal tidak melakukan sesuatu!”
Dix tertawa mengejek.
Bell lagi-lagi bangkit berdiri dan menghampiri monster naga
itu. “… Wi … ene.”
Bell terhempas ke belakang.
“Wi … ene.”
Menabrak lantai.
“Wi … ene.”
Walau demikian, Bell mendekati dirinya yang mengamuk-
amuk untuk ketiga kalinya.
“AaaAaaa!”
Monster tersebut menyapu manusia yang babak belur dan
berlumuran darah itu.
Cakar panjang nan tajam sang naga melintas. Lengan kirinya
membuat garis diagonal ke bawah, menyayat bahu kanan Bell.
“A.”
Tubuh Bell terjatuh karena serangan tersebut, beban berat
memaksanya jatuh.
Tapi kakinya kuat. Lantai batu di bawah sepatunya retak-
retak.
Cakar naga yang mengenai pundaknya, berhenti.
Sekalipun menusuk sampai otot-otot bahunya, cakar itu
tidak menembus lebih dalam.
Krik, krik, krik! Cakarnya bergetar, gema logam berdentum.
Zirah Welf menyerap serangan tersebut, menahan cakar
naganya.
“… aku … baik-baik saja.”
Bell mendongak.
Terhadap monster yang menatapnya langsung dari atas.
“… aku … baik-baik saja, oke?”
Setelahnya, Bell tersenyum.
Menahan rasa sakit, tergenang air mata dalam sepasang
pupilnya, dia tersenyum sepenuh hati.
Seperti yang dia lakukan ketika bertemu dengannya.
Sebagaimana hari itu.
“.”
Monster naga meraung.
“Aku … di sini ….”
Mengabaikan gelombang darah segar dari mulutnya, si
bocah meengulurkan tangan kanan dan memeluk tangan yang
menusuk bahunya.
Melingkari jemari di cakarnya, cakar yang ternodai
darahnya.
“Tidak apa, Wiene ….”
Menarik tubuh keras absurdnya dekat-dekat.
Memeluk tubuh dingin dan menekan wajah tidak
manusiawinya ke dada.
“.”
Dix berdiri tertegun, menyaksikan adegan tersebut. Gran
menganga, Fels terdiam seribu bahasa.
Bahkan monster-monster yang kebetulan melihat mereka
telah membeku, sejenak gemetar.
“Tidak apa-apa ….”
Bell telah mengakui dan menerima penolakan dan rasa
mualnya sendiri, sesudahnya menahan perasaan-perasaan itu
dengan emosi lebih kuat.
Detak jantung hangatnya yang berdegup-degup sampai
pada gadis yang selalu ingin mendengarnya.
Bell mencium rambut biru keperakannya, mata berkaca-
kaca, kemudian berbisisik.
“Ah ….”
Cairan bening mengumpul di sepasang pupil berwarna
kuningnya.
Satu tetes, dua tetes, dan banyak lagi. Kedua matanya
meluap-luap.
Monster mestinya tidak tahu cara menangis, dan monster
satu ini tahu.
“aa … aaaAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!”
Sekali lagi vouivre itu berteriak ketakutan, melempar jauh
Bell.
Tubuh besarnya meronta-ronta seperti amukan badai, roh
gadis beserta naluri monster saling bertarung memperebutkan
kendali di tengah aliran air mata dan ratapan.
“Wiene ….!” Bell berteriak dari permukaan terowongan yang
didudukinya, wajahnya sakit-sakit.
Persis saat ingin menyerbunya dan menenangkannya lagi ….
“—Buzzkill.”
Tombak merah menyerang dari belakang.
“?!”
Bell praktis menghindarkan tubuhnya dari tombak
tersebut, berputar ke samping, lanjut berdiri dan menghadapi
pria pemegang tombak.
Dix menatap jengkel Bell, mata di balik kacamata google-
nya menyipit.
“Kau sedang apa, bocah? Mengecewakan sekali. Harusnya
kau sayat mahluk itu dengan pisaumu.”
Setiap katanya selalu sumpah serapah, Dix menusukkan
tombaknya dengan satu tangan.
Bell terkesiap, menghunus Pisau Hestia dan membelokkan
ujung tombaknya.
“Sudah kubilang, bukan? Monster tuh monster!”
“….!”
“Apa gunanya mengasihi mereka?!”
Dix yang marah berteriak-teriak di sela-sela serangan
tombaknya, senjatanya tampak mengabur.
“Kau berhutang apa pada mereka? Apa faedah membantu
mahluk-mahluk itu?!”
Seketika itu ….
“!”
Mata Bell menyala dari dalam.
Iris lebar nan berbelit-belit terkunci pada lengkungan jahat
tombak. Kekuatan kecil yang masih mendiami tubuh Bell—ia
menyerang ujung tombaknya.
“Apa—?”
“Semua orang pantas diselamatkan! Manusia, monster—
tidak ada bedanya!”
Ujung tombak terkutuk menabrak lantai batu setelah
berputar-putar dan berguling menjauh dari dentingan keras
bernada tinggi lalu menghilang dalam kegelapan.
Matanya penuh keyakinan berapi-api Bell balas teriak
kepada Dix yang terperangah.
“Mereka butuh bantuan!”
Alasan itu saja sudah cukup. Bocah itu menyiapkan pedang
ilahiahnya dan berteriak.
“Itu lebih dari cukup!”
Kata-kata itu, kemauan itu, tidak lain adalah dari dirinya
sendiri.
Jawaban sentimen Bell menggema ke seluruh ruangan.
“Bell Cranell, kau ….” Fels melirih setelah teriakan si anak
muda menggapainya.
Sesuatu berubah di antara Xenos-Xenos yang menggila.
Beberapa Xenos, bahu mereka gemetaran, dada mereka
melebar dan berkontraksi.
Mata batu gargoyle terbuka lebar.
Tetes air mata jatuh dari mata reptil lizardman.
“—Bocah, dasar kau hipokrit!” Dix menanggapi pernyataan
Bell. Mulutnya terbuka lebar dan tersenyum buas, Dix mulai
salut lagi. “Kau bilang akan menyelamatkan semua orang,
manusia ataupun monster? Menyelamatkan semua orang dan
segalanya?”
“….!”
“Mustahil! Bahkan anak gaul pun tahu itu! Membuatku ingin
muntah saja,” tambah Dix dengan tawa menghina.
Bersenjatakan tombak tanpa kutukan juga pisau tempur,
dia menyerang anak yang sedang terluka itu tanpa ampun.
“Bell Cranell, kau bukan kelinci. Kau lebih mirip kelelawar!
Kau hanya mengepakkan sayap dan tidak pernah mendarat di
mana pun!”
“?!”
Mencolok pipi Bell dengan kata-kata barusan, Dix
menendang lebar ke samping. Menghantam dada Bell, dia
menendangnya sampai mundur ke belakang.
“Ugh ….!”
“Ahh, membosankan banget …. Ternyata kau cuma anak
yang otaknya tolol.”
Dix melangkah maju, memukul bahunya sendiri dengan
poros tombak sambil mendekati tempat Bell berbaring di lantai.
Menyuarakan kekecewaan totalnya, dia memutar-mutar
tombak.
“Cukup sudah semua ini. Pergilah ke neraka.”
Mengarahkan ujung tombaknya yang masih tajam ke Bell
dan langsung menusuk ke bawah.
Tepat ketika tombak itu hendak menabraknya ….
“Terima kasih—”
Ekor warna merah muncul dari belakang Dix. “—Bellucchi.”
Lido, masih memegang pedang panjang tinggi-tinggi di atas
kepalanya, mata merah terselimuti haus darah, menjatuhkan
senjatanya kuat-kuat.
“Whh—GAH!”
Di saat-saat terakhir Dix menyadari dan berhasil
menghindari serangan langsung, tapi darah masih berceceran
dari punggungnya.
Pria berkaca mata mundur layaknya hewan buas terluka,
menggeram pada sesuatu yang dia lihat.
“K-keparat!”
Dia telah diselamatkan seekor lizardman—Bell menatap
kaget Lido.
Matanya merah tua, bukti bahwa ia masih dipengaruhi
kutukan.
Akan tetapi.
“Wah, sial deh, aku senang. Sangat senang … aku merasa
kuat meski tidak tahu alasannya!”
“….?!”
“Siapa tahu kata-kata orang … bisa membuatmu … sangat
panas ….!”
Tekad membara dalam hatinya telah menjadi dasar kuat tuk
menyingkirkan kutukannya dan mengembalikan akal sehatnya.
Lido menyatukan giginya bersama-sama, hampir
meretakkannya, memegang gagang senjata sekuat tenaga.
Senyum monster terurai dari air matanya.
Bendungannya bocor, mengirimkan sungai air mata ke pipi
reptilnya.
“Maaf, Bellucchi … dan makasih.”
Setelah meminta maaf atas semuanya dan menyampaikan
rasa terima kasih, Lido menoleh ke depan, tatapannya tajam.
Kemudian meraungkan kutukan penuh haus darahnya
kepada Dix secara langsung.
“OOOOOOOOOOOOOOOOOO!”
“!”
Melihat Lido telah mencurahkan energi baru untuk Bell.
Menarik setiap kekuatan dari otot-ototnya, dia mengikuti
lizardman ke dalam pertempuran.
Manusia dan monster bertarung bersama-sama melawan
pemburu jahat, berdampingan.
“Ada apa ini ….?! Kok bisa kau berpikir jernih, monster?!” Dix
membentak kesal. Namun dia juga gemetar ketakutan.
Sebetulnya, dia sedang terpojok.
Bell terluka parah dari ujung kepala sampai kaki, Lido masih
merasakan efek kutukan. Kendati tidak bisa bertarung dengan
kekuatan penuh, pertempuran masih dua lawan satu. Bahkan
tanpa teknik pedang hebatnya, lizardman masih mengemban
kekuatan petualang kelas satu—kekuatannya masih sebanding
dengan Dix. Sebab status sang penjahat melemah karena
Phobetor Daedalus masih aktif, lantaran Dix tidak dapat
bersaing dengan Lido dalam kondisi sekarang.
Di sisi lain, bila ia mendapatkan kekuatan penuhnya berarti
melepaskan kutukannya, Xenos-Xenos gila akan kembali sadar
dan langsung melawan Dix dan kawan-kawannya.
Pelarian penjahat dihalangi satu orang hipokrit dan seekor
Abnormal.
“Dix?!”
Gran menyeru panik setelah melihat pemimpinnya
terdesak.
Kutukannya adalah satu-satunya keunggulan Ikelus
Familia. Pria besar segera pergi menuju bagian belakang ruangan,
memimpin sekelompok pemburu untuk membantu pemimpin
mereka.
“GHAAAA!”
Kala itu, gelombang kejut kuat tanpa warna menabrak
punggung tak berdaya Amazon.
“Takkan kubiarkan ….!”
“K-kau?!”
Gran dan teman-temannya berpaling tatkala muka rekan
Amazon-nya terbanting ke lantai. Seorang penyihir berdiri di
depan mereka, tangan kiri terentang dan jubah hitam
berantakan.
Marah-marah, para pemburu menyerbu Fels bersama-sama.
Duar, duar, duar! Tangan kanan Fels melebar dan menembakkan
gelombang demi gelombang.
“Kontolll! Woi kalian, bunuh penyihir itu! Sisanya, ikut aku
dan bantu Dix!”
Gran tidak menunggu jawaban, meninggalkan manusia
hewan dan seorang kurcaci di depannya kemudian berlari ke arah
lain. Di sepanjang jalan, dia menendang para pemburu yang
roboh biar bangun kembali karena gelombang kejut Fels,
selanjutnya memimpin kelompok di sekitar monster-monster
gila yang saling bunuh di medan tempur.
Sayangnya, sekejap kemudian ….
Kras! Setengah penglihatan Gran menggelap sementara
suara daging membuat telinganya pengang.
“Ga … ahhh ….?”
Butuh waktu sejenak sampai laki-laki itu sadar bahwa
bagian kiri wajahnya telah robek dari serangan samping.
Menekuk leher dan bergumam bingung, dia memalingkan
wajah dan mendapati seekor gargoyle, nafasnya membuat bahu
naik turun.
“AGGGAAAAAAAAAAAA!”
“Kenapa-kenapa—GYAHHHHHHHHHHHHHHH!”
Xenos yang semestinya terkutuk malah mendatangi para
pemburu sambil menggila.
Gros dan Xenos-Xenos lainnya menemukan cara untuk
menahan efek kutukan, seperti Lido, ia mengarahkan aura
membunuhnya kepada Gran dan dua pemburu yang berusaha
habis-habisan menghabisi Fels.
“SHAAAA!”
“FHHH!”
“….!”
Walau gelombang pertempuran sepenuhnya telah berbalik,
serangan gabungan Bell dan Lido berhasil mengungguli Dix.
Pedang kembar lizardman berayun dari kanan, dan pisau si
bocah menusuk dari kiri.
Dengan mulus berpindah-pindah sisi, dua serangan
berselang-seling menyerang secara serempak sedangkan sip ria
memblokir pisau dengan poros tombaknya. Teriakan Gran dan
pemburu-pemburu lain di medan tempur lain membuat Dix
panik.
Butir-butir keringat pertama tertetes dari sosok sombong
sip ria.
Setelahnya—ia menyadari sesuatu.
“.”
Antara serangan tangan kiri Bell dengan Pisau Hestia dan
sapuan pedang panjang serta scimitar lizardman—bertahan
melawan tiga bilang sekaligus, terdengar suara lain.
Kring, kring.
“—Bocah.”
Putaran-putaran bilah menenun suatu melodi yang
terdengar layaknya lonceng.
Suara tinju Bell kian keras, cukup keras sampai menembus
hiruk-pikuk pertempuran ganas.
“—Hei!”
Setitik cahaya putih melewatinya, saling berkumpul
menjadi satu.
Dix memperhatikan sinar-sinar terpantul di kacamatanya—
kemudian berteriak sekeras mungkin.
“BOCAHHHHHHHH?! Kau sedang apaa?!”
Argonaut.
Dan Serangan Serentak selama pertarungan.
Setelah pertama kali memperoleh skill dalam pertarungan
mewalan Lido, Bell kini menggunakannya kembali dan bertarung
bersamanya.
“GURAAAA!”
“?!”
Momentum kebingungan singkat membuat Dix lengah.
Lido memanfaatkannya, menusukkan scimitar-nya ke depan.
Walau lelaki itu menghindari bilahnya dengan jarak sedekat
mungkin, ia kehilangan keseimbangan kala Bell menutup jarak
dalam sekejap mata.
SYUUTT! Dix mendengar kaki kiri Bell bergerak di jarak
dekat.
Wajah Dix membeku.
Setelah serangan ke dua puluh ….
Bell mendorong tinjunya ke depan, sambil berteriak.
“AHHHHHHHHHHHHHHHHH!”
DUAR!
“GAHHHHHHHH!”
Ledakan plasma bak kilat berapi meledak di dada lapis baja
Dix.
Pukulan dahsyat membuatnya masuk ke kandang hitam di
sudut jauh ruangan.
“Hah, gahhh ….!”
Bell memegang tangannya saat rasa sakit terbakar nan
intens menerpanya selagi Dix terlempar jauh.
Serangan Argonaut telah menghancurkan senjata masa lalu,
dan dalam waktu lebih singkat pula. Serangan panjang telah
merubah kepalan tangan Bell.
Darah merembes keluar dari kulit sobeknya, hampir seluruh
tulangnya patah, Bell menggertakkan gigi sembari berusaha
melenturkan jari-jarinya.
“Ah.”
Sementara itu, tetes warna merah jatuh dari mata Lido dan
Xenos-Xenos lain.
“… a-apa yang ….”
“Gros ….! Kutukannya sudah hilang?”
Fels memandang lega para Xenos tatkala mereka dilepaskan
dari kendali Phobetor Daedalus.
Berdiri di atas para pemburu yang terbantai tidak sengaja
dalam amukan sinting mereka, Gros dan kawan-kawan monster
menggelengkan kepala ke atas bawah, akhirnya menenang.
“Kau berhasil, Bellucchi!”
“….”
Tidak, bukan aku.
Lido bergembira karena kesadarannya kembali, tetapi hanya
Bell seorang yang tahu.
Dix sendiri mengangkatnya tepat sebelum benturan.
Tiada pilihan selain mengangkat kutukannya biar Statusnya
kembali—kembali ke Level 5 tuk mencegah serangan
pramungkas tak terhindari, yang mana memberikannya cukup
kekuatan untuk mengatasi daya tempur Argonaut.
“GahhHHH! Agh …. Itu SAKITTTTTTTTTT ….!”
Dix berteriak kesakitan dari balik tumpukan sangkar hitam
rusak. Bell masih dalam siaga satu, Lido pun tahu belum berakhir.
Mereka berdua menghadapnya.
Bell mengerahkan segalanya ke dalam serangan barusan dan
berdampak serangan besar, sebab Dix kesakitan. Meringkuk bak
bola gemetar, pria itu batuk darah secara teratur seolah-olah
dampak serangan telah menghancurkan seluruh tulang dadanya.
Menabrak gunung kurungan tidak membantu persoalannya, dia
dipenuhi luka. Darah mengalir dari luka terbukanya.
“DASAR MEKI ….! AKU COPOT KEPALA KAU ….!”
Sembari memegang tangkai tombak bagaikan tongkat, Dix
meraba-raba keluar dari jalinan batang logam, mata berdarahnya
tampak jelas dari kacamata google retaknya, dia berteriak penuh
kebencian saat beranjak bangun.
“Itu kalimatku.”
“?!”
Lido, yang sudah menutup celah di antara mereka, menatap
Dix dengan aura ganas dan mengayunkan senjatanya ke bawah
kuat-kuat.
Laki-laki berkacamata berputar sebelum sempat
mengenainya, namun Lido tanpa ampun mengejarnya.
“Kau akan membayar segala perbuatan kepada kaumku!”
“M-menjauhlah dariku! Mundurlah!”
Dix hanya bisa melompat mundur, berguling-guling ke
sana-sini dan menghindari serangan setan Lido, tubuh Bell
condong ke depna, berjuang melawan rasa sakit dan kelelahan
untuk menyelamatkan vouivre yang masih menderita di
dekatnya.
“H-hentikan! Aku akan beneran mati kalau kau terus
melakukan ini!”
Dix bertarung sungguh-sungguh, susah payah menahan dan
menghindari serangan Bell juga Lido.
Cibir arogannya menghilang, pria itu mundur,
perawakannya makin menyusut dalam setiap langkah
mundurnya.
Pelan-pelan, ia mundur ke sudut dekat deretan pintu
tempat Wiene masih melolong kesakitan dan menukas:
“Mundur atau—”
Dix mendadak mendongak dan berdiri gagah, bibirnyha
menyeringai.
“—Kuhancurkan!”
Keduanya baru mau menerjang maju namun ditahan pria
yang mengeluarkan satu permata merah tua.
“!”
Bell dan Lido berhenti di tengah ayunannya.
Air Mata Vouivre Wiene. Satu-satunya kunci yang dapat
mengakhiri rasa sakitnya.
Dix mencemoh, mengambil keuntungan dari keseimbangan
mereka yang goyah dan menghajarnya dengan bagian tangkai
tombak. Melihat mereka berdua menabrak permukaan, dia
mengangkat permata merah tinggi-tinggi di atas kepala.
“Sepenting inikah barang ini bagimu? Baiklah. Kau boleh
ambil!”
Lalu dilempar langsung ke lubang dalam lantai, ke
terowongan yang masih dalam tahap pembangunan.
“!”
“KEH!”
Mata Bell dan Lido membelalak seketika sebelum bereaksi.
Lido mengejar permatanya dalam sekejap, kecakapan
fisiknya ditunjukkan tatkala melempar diri ke dalam lubang
tanpa ragu-ragu.
Ketika lizardman meraih permata dari belakang, Bell yang
lebih lambat berhasil menguatkan tumitnya di tempat dan
memegang ekor panjang Lido di detik-detik terakhir.
“Lebih bagus dari yang kuharapkan!”
Alih-alih menonton keputusasaan bocah yang berjuang
menarik lizardman dari tepi lubang, Dix malah menunjuk si
vouivre.
“Hilanglah dalam mimpi buruk tiada akhir.”
Cahaya merah buruk menelan Wiene segera setelah
mantranya dirapalkan.
“—AAAAAAAAAAA!”
“Apa?!”
Naga itu terhuyung mundur, meraung-raung. Feks, Gros,
dan Xenos lainnya bergegas membantu Bell dan melihat
kejadian seluruhnya, mata mereka terbuka lebar.
“Seharusnya cukup.”
Terakhir, Dix membuang kacamata rusaknya dan
memperlihatkan huruf D yang menandai mata bagian kirinya.
Ketika beresonansi dengan pintu di sampingnya,
gerbang masuk mendadak terbuka.
“Naik ke langit.”
“?!”
Vouivre yang tidak bisa diam menerobos pintu dan
menerobos tangga tak berujung di belakangnya.
“Kau! Apa yang kau lakukan?!”
“Kutukanku sanggup membuat orang melihat sesuatu-
sesuatu selama targetnya tidak banyak. Bell Cranell, monster
naga itu sedang mengejarmu sekarang! Dan jalur itu
terhubung langsung ke dunia atas!”
Dix mengarahkan separuh pertama pernyataannya
kepada Gros dahulu kemudian kepada Bell yang baru saja
menarik Lido dari lubang.
Bibirnya menyeringai tatkala menyampaikan informasi
terakhir.
“Bila mana monster itu berhasil keluar, dia takkan
bertahan lama!”
“….?!”
Terpuaskan oleh nafas anak lelaki itu, Dix menggunakan
matanya untuk membuka pintu lain.
“Dix Perdix!”
“Oh! Tidak usah pedulikan aku, sana tangkap hewan
buasmu! Hah! HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!”
Dengan cekatan menghindari gelombang kejut Fels, Dix
menghilang di belakang portal sementara tawanya menggema
di sepanjang lorong.
“KHHH ….!”
Gros naik ke udara, sayap-sayap batu melebar sampai
ukuran penuhnya sementara ia menyerbu maju secepat kilat.
Namun pintunya tertutup rapat sebelum bisa melewati
ambangnya.
Pintu orikalkum menutup, mengejar Dix secara fisik sia-
sia saja.
“—Lido, permatanya!”
“Bellucchi?!”
Bell mengambil permata merah tua dari tangan Lido yang
terulur dan berlari menaiki tangga curam mencari Wiene.
Tubuhnya terbakar api membara, dia mengejar monster
naga yang mengamuk-amuk itu.
“Ini buruk …. Lido, Gros, aku serahkan sisanya
kepadamu!”
Khawatir eksistensi Xenos akan terungkap, kalau-kalau
monster tersebut muncul di kota nanti akan menimbulkan
kerusuhan, Fels buru-buru mengejar.
Penyihir itu berlari mengikuti Bell dan meninggalkan
Xenos mengurus sisanya.
“Lido, Gros!”
Rei, ditemani kelompok kedua Xenos, sampai di ruangan
beberapa saat kemudian.
Lett si goblin bertopi merah, Fia si harpy, dan teman-
teman lain bersama Rei tidak bisa menyembunyikan
keterkejutan mereka stelah melihat rekan-rekan terbebasnya,
juga mayat-mayat tak bergerak pemburu.
“Rei, kau punya kunci?!”
“Apa?”
Pemimpin musuh telah melarikan diri jauh ke dalam
labirin! Pemimpin itu kelewat berbahaya buat dibiarkan
hidup!”
Gros memanggil dari ujung seberang ruangan. Merasa
tak yakin, Rei berbalik untuk menghadap kawan lainnya.
Goblin dan harpy, yang menuntun siren sampai ke tempatnya
sekarang memberikan barang sihir.
“Rei, hanya ada satu kunci. Kita tidak bisa berpisah dan
menyisir labirin semau kita.”
“… kalau begitu serahkan kuncinya pada mereka yang
belum tiba.”
Setelah perbincangan cepat dengan Lett, Gros
meninggalkan kuncinya di tangan si monster kecil.
Setelah melihatnya menghilang ke jalan masuk mereka,
Rei memimpin monster-monster yang masih bertahan ke
tempat pertemuan Lido dan Gros.
“Rei, bagaimana kondisi petualang?”
“Kami berhasil mengalahkan mereka. Soal korban … aku
yakin tidak ada. Pihak kita bagaimana?”
“Kau tahu, rekan-rekan kita telah terbebas …. Sayangnya,
Wiene kehilangan permata dan telah bertransformasi. Fels
dan … bocah itu sedang mengejar.”
Para pendatang baru terbungkam setelah mendengar
Wiene sedang dalam perjalanan menuju dunia atas. Tiga
pemimpin buru-buru membagikan pemikiran.
“Rekan-rekan tawanan kita sudah tidak kuat lagi.
Mereka mesti beristrirahat di tempat aman.”
“Maka kita harus melindungi bangsa kita dan—”
“Kami ikut mengejar Wiene juga.”
Gros, Lei, juga Lido memandangi rekan-rekan mereka
yang kelelahan, buti-butir kekuatan terakhir sudah mereka
habiskan saat dalam pengaruh kutukan, mereka lanjut
menatap pintu menuju tangga yang ditempuh Wiene dan
Bell.
Siren emas dan gargoyle batu menghadap Lido setelah
deklarasinya.
“Haruskah kita benar-benar menyerahkan semuanya
kepada Bellucchi dan Fels? Tidak apa-apa cuma dengan
dibantu? Pergi ke dunia atas barangkali membuat keributan
besar, tapi … sekarang giliran kita membantu Bellucchi dan
Wiene seumpama mereka terjebak masalah. Kita mesti
membantu mereka.”
Walaupun kemungkinan terburuknya sudah bisa
diperkirakan, sudah waktunya mempertaruhkan nyawa
untuk membantu Bell dan orang-orang tersayangnya.
Gros dan Rei tetap diam di hadapan mata tajam Lido.
“… sisi positifnya, kita bakalan melihat dunia atas yang
sudah lama didamba-dambakan, benar itu?”
“Dasar bego. Di saat-saat mencekam seperti ini ….”
“Bagaimanapun itu, kau ikut, ya?”
Gros memarahi Lido karena candaannya, tapi Rei
nyengir saja di sampingnya, menyadari perasaan sejati
gargoyle.
“Aku punya sedikit harapan ketika mendapati Bell di
hutan …. Setelahnya, saat mendengar ia menyelamatkan salah
satu kaum kita … aku langsung bersuka cinta.”
Pipinya memerah ceri dan tersenyum, Rei si siren emas
berbicara bahasa mahluk dunia atas tuk mengungkapkan isi
hatinya.
Xenos lain membagikan perasaan mereka pasca
mendengar isi pikiran pemimpin mereka.
Raungan dan lolongan sekeras-kerasnya, menyuarakan
niat mereka.
Menutup mulut, Gros merentangkan sayapnya setelah
jeda lama.
“… Fels memang hebat, tapi aku tidak bisa mengandalkan
anak itu.”
Cepat-cepat membagi kelompok antar Xenos yang
tugasnya tetap tinggal dan kelompok yang khusus merawat
luka-luka mereka. Sesudahnya, kepakan besar sayapnya
menerbangkan Gros menuju tangga.
Lido dan Rei bertukar senyum sebelum berangkat
mengejar.
“Jadi, Gros? Sepertinya mereka manusia-manusia yang
dapat dipercaya!”
“… masih belum. Yang terburuk belum mendatangkan
yang terburuknya ….”
“Tidak ada yang menyenangkan bagimu, ye?”
“Gargoyle macam Gros selalu keras kepala seperti batu.”
“Cukup!”
Saling menemani, ketiga pemimpin memimpin para
Xenos menaiki tangga.
Di tempat lain kala itu ….
Seorang laki-laki berhasil menghilang selama
pembantaian Ikelus Familia.
Setelah meluncur melalui lantai batu untuk menghindari
perhatian Xenos, dia menuruninya.
“Diiiiiiix … kau kemana? Selamatkan akuuu …. Monster-
monster kampret itu …. Mereka akan membayarnya ….”
Memegang logam batangan di tangannya dan tombak
merah tua di tangan kiri.
Manusia besar itu kehilangan separuh wajahnya,
termasuk mata. Sambil bergumam sendiri, dia merangkak
lebih dalam dan lebih dalam lagi ke labirin.

Κολοσσός
Tetes-tetes air merah terjatuh ke lantai, suaranya bergemericik.
Seorang pria berjalan melewati lorong-lorong gelap
Knossos, jalannya ditandai jejak darah.
“Agh, sakitnya membakar, aw ….!”
Wajahnya berubah mengerikan, Dix menyeret tubuh
berdarahnya dan melampiaskan amarah serta frustasi dengan
menendang patung yang susah payah diukir di ujun glorong.
Dix yang dapat berpergian sesuka hati di Knossos berkat
Mata Daedalus, sedari tadi bergerak semenjak melarikan diri dari
ruang utama. Terbaksa membaca cetak biru yang digambar Buku
Catatan Daedalus sampai membuatnya muak, dia mengetahui
kerumitan lorong-lorongnya dengan mudah.
Kini dia berjalan menuju kediaman familianya, markas
bawah tanah tempat segala macam barang penyembuhan sedang
menunggunya agar dia dapat beristrirahat.
“Semua monster dan tuh bocah kentod ….! Akan kubunuh
mereka ….! Akan kubunuh mereka bila itu satu-satunya hal yang
bisa kulakukan ….!”
Selain dirinya, Ikelus Familia telah terbantai habis. Semua
Xenos yang mereka tangkap telah direbut.
Melirihkan sumpah sambil marah-marah untuk
membalasnya sepuluh kali lipat lebih berat atas perbuatan
mereka setelah Dix menemukan solusi atas seluruh perkara ini,
mata haus darah Dix melotot ke kegelapan.
“….?”
Dia mendadak berhenti.
Sesuatu serasa berbeda pada labirin yang selalu dia sebut
rumah.
Seakan-akan udaranya menggigil, ibarat kesunyian
berusaha memperingatkannya, rasanya seperti mengembara ke
Dungeon orisinil. Lampu berbatu sihir sangat sedikit dan
ditempatkan jauh-jauh, berkedip-kedip bak lilin.
Melewati beberapa pintu orikalkum, Dix merasa aman
lantaran yakin takkan pernah ditemukan. Namun kini selagi
melanjutkan pelariannya, dirinya merasa sangat merinding.
Mustahil, jangan-jangan, pintunya tertutup, tidak mungkin—
Bulu kuduknya serasa ditatap. Sesaat detak jantung
resahnya kian cepat, Dix tanpa sadar berlari.
Rasa sakit yang menusuk anggota tubuhnya tidak jadi
masalah lagi. Megap-megap, dia mencoba melarikan diri dari
sensasi merinding yang hendak menyelimutinya. Namun dia tak
bisa tenang. Ketika itulah ia mendapati jejak-jejak darah di
belakangnya, namun menyembunyikannya tidak membedakan
apa-apa. Apa pun yang mengirim aura-aura tidak nyaman ke
seluruh labirin ia sedang dekat dan mengikuti bau Dix.
Begitu dia menutup pintu belakang, terdengar pintu
berbeda terbuka di suatu tempat jauhdari sana. Bayangan
pengejarnya semakin dekat, memojokkannya sampai sudut.
“….?!”
Kendatipun diamengikuti rute yang terukir dalam-dalam di
benaknya, setiap sudut dan dinding mulai kelihatan sama.
Ketakutan bersama kepanikan meresap sementara realitas
bergabung dengan ilusi, mematikan akal sehatnya.
Obsesi Daedalus, dunia kacau yang diaku-akui sang arsitek,
sekarang menampakkan wujud aslinya. Labirin buatan manusia
ini mampu membingungkan semua orang, menjejalkannya ke
mimpi buruk tiada akhir. Apakah pengejarnya datang dari
belakang atau dari depan? Dix sama sekali tidak tahu.
Keyakinannya hilang.
Rasa aman setelah mengetahuinya, entah apa yang
menghalanginya, kutukan yang ‘kan meloloskannya telah
hancur. Demikianlah situasi saat ini—hal tersebut
mengguncangnya. Menyalakan lonceng peringatan membuat
pikirannya mengabur.
Dix melempar jauh-jauh kebanggaan dan martabatnya lalu
kabur.
Tak lama ….
“.”
Dix tiba-tiba berhenti.
Yang dia lihat di depan, di tengah lorong yang nampak
normal, sesuatu itu memblokadenya.
Lorong itu ialah jalan batu yang sangat dingin, sungguh
terselimuti kegelapan sampai-sampai mustahil melihat sisi lain.
Kegelapan itu bersuara.
Sesuatu yang muncul membuat mata merah Dix berkaca-
kaca.
Bagaikan penguasa Dungeon yang bersemayam dalam
balairung terdalam labirin, menunggu pengorbanna.
Monster hitam pekat—seekor banteng hitam—
memisahkan kegelapan dan muncul di hadapan Dix.
“… ayolah …. Kau pasti bercanda.”
Dix membuat kesalahan karena terperangkap kebencian
dan pembalasan dendamnya sampai lupa cara membuat
keputusan tenang nan rasional.
Seperti lupa bahwa musuh memegang kunci sendiri.
Lebih dari itu, kesalahan perhitungannya yang paling buruk
adalah tidak mengetahui keberadaan mahluk tersebut.
Hoff, hoff. Nafas kasar menghajar gendang telinga Dix.
Satu langkah, lalu langkah lain. Batu-batu retak di bawah
kaki monster-monster yang sedang menghampiri, namun kaki
Dix tidak mau bergerak.
Sinar cahaya menampakkan Labrys yang berlumuran darah,
senjata yang digenggam di tangan kiri hewan tersebut layaknya
batu.
“Darimana asalmu, MONSTEEEEEEEEEER?!”
Bayangan hitam gelap menutupi Dix seketika pria itu
melambaikan tangan dan menjerit ketakutan.
Sedetik kemudian—bruk!
Itulah akhirnya.
Tidak dapat mengaktifkan kutukan, kedatangan sang algojo
merenggut nyawanya dalam sekejap.
Kematian orang paling celaka nan kejam takkan datang
lebih lama lagi.
Monster itu berjalan melewati cipratan darah dan gumpalan
daging hancur, terus berjalan.
Tergesa-gesa untuk bergabung bersama kaumnya.
Ibarat lapar akan pertarungan hebat.

Ασκληπιός

“Bell Cranell!”
Tangga panjang dan besar membentang ke atas sejauh mata
memandang. Hanya anak tangga bantu yang mengarah ke sangat
atas, nampak tiada batas. Fels menyusul Bell, jubahnya berkibar-
kibar, selagi seorang pemuda berlari memanjat tujuh belas lantai
Dungeon.
“Tubuhmu tidak dalam kondisi yang tepat. Kau sudah lebih
dari kelelahan.”
“F-Fels.”
Fels memperingatkan Bell, mengingatkannya akan
kerusakan besar yang dideritanya selama pertempuran di ruang
besar di bawah.
Memang benar. Karena Bell tidak bisa bergerak semaunya,
bahkan Fels berhasil menyusul walau awal-awalnya Bell sangat
cepat.
“Kau bisa terus berlari, tapi tunggu sebentar dulu. ‘
Fels menggerakkan tangan bersarungnya kepada Bell yang
sedang terengah-engah.
“Tongkat Asclepius10, cahaya keibuan Asclepius. Demi kekuatan
regenerasi, segalanya ‘kan disembuhkan.”
Pola rumit dalam sarung tangan tersebut bessinar bagaikan
tongkat pengguna sihir seketika lingkaran sihir putih muncul di
telapak tangannya. Concurrent Casting yang dieksekusi
sempurna.
Bell terkejut melihatnya sewaktu Fels melantunkan mantra
itu.
“Dia Panacea11.”
Bola warna-warni berbeda dari pendar-pendar cahaya
menyelimuti Bell. Dia terkagum-kagum ketika luka di sekujur
tubuhnya menghilang, tinju patahnya telah sembuh, bahkan
letihnya mendadak hilang.
“Apa ini ….?”
“Sihir penyembuhan yang meringankan segala jenis cedera
dan penyakit, mirip ramuan.”
Sihir tingkat tinggi telah sepenuhnya memulihkan tubuh
Bell.
“Terima kasha banyak, Fels!”
Sekali lagi Bell bertenaga penuh, menuturkan beberapa kata
terima kasih kepada Fels dan menambah kecepatan.
Fels mendadak tertinggal di belakang seketika bocah
menaiki delapan tangga sekaligus seperti kelinci.
“Serius nih ….?!”
Terhadap kelincahan luar biasa Bell, kata-kata dewa-dewi
terucap oleh Fels. “Aku tidak bisa mneyusul ….!” erang penyihir
itu ketika Bell memompa tangannya tanpa peduli apa-apa.
“Wiene ….!”
Retakan batu pecah terdengar di kejauhan.
Cahaya bersinar dari jauh di atas, menandakan bahwa sang
monster telah mencapai dunia atas.

DarkNovel

Matahari semakin terbenam di dekat dinding barat kota,


memberitahu masyarakat bahwa malam akan jatuh ke Orario
beberapa jam setelahnya.
Hestia Familia mencapai blok tenggara kota di bawah
cakrawala yang masih biru dan memasuki Daedalus Street.
“Tidak ada gunanya. Di mana pun tidak ada petunjuk ….”
“Barangkali ini di atas tanah, tapi tempatnya seperti
dungeon alih-alih jalan beneran.”
“M-Master Welf, aku sungguh tidak tahu apa yang kau
bicarakan ….”
Selagi kelompok tersebut menyusuri jalan-jalan bata
menghitam, Mikoto menyelidiki sekitaran mereka, Welf
menggaruk kepala, dan kimono Haruhime mulai basah dengan
keringat ketika orang-orangnya saling berbicara.
“Pendukung, sepertinya kita mesti bertanya-tanya. Bahkan
rumor yang kedengarannya meyakinkan bisa jadi berhubungan.”
“Lilly memang tidak mengira semuanya akan berjalan
lancar, tapi ….”
Hestia juga Lilly, mereka sudah berusaha sebisa mungkin
untuk mengumpulkan informasi dari penduduk setempat, ia
saling bertukar pandang.
Setelah berpisah dari Soma Familia, mereka menjambangi
Daedalus Street sebagaimana saran Zanis. Kelompok itu telah
berjuang sebaik-baiknya untuk mengikuti bayangan monster
sesamar pun, namun mereka malah tersesat dalam komplek
kumuh nan rumit yang bercabang-cabang.
Tangga mengarah ke atas dan bawah, terhubung ke rentetan
rumah dan bangunan-bangunan kecil. Sebagian besar didirikan
oleh batu bata, tiada sajak ataupun alasan untuk ukuran dan
ketinggian salah satu struktur yang berpusat-pusat. Seakan
familianya terperangkap dalam ilusi optic, jalan-jalan labirin
sekaligus tangga tak terbatas dalam kota terbatas.
“Aku yakin Bell juga merasa demikian … tapi aku tidak
punya banyak kenangan indah tentang Daedalus Street.”
Menatap batu bata tatkala ingatan mulai membanjiri
kembali, Hestia menyipitkan mata biru sipitnya.
Berbelok ke tikungan jalan berbeda, kelompok tersebut
merujuk tanda Ariadne di dinding bata merah untuk memeriksa
lokasi mereka sebelum berkeliaran.
“—!”
“Hei …. Apa itu?”
Mikoto dan Welf adalah orang pertama yang menyadari hal
janggal.
Mereka berbelok cukup tajam hingga mengagetkan Hestia,
beberapa saat sesudahnya telniga Haruhime berdiri tegak. Lilly
tersentak sedetik setelahnya.
Kepala sang dewi terpacu, mencoba mencari-cari tahu
mengapa para pengikutnya seketika risau—dan seruan jeritan
terdengar lagi di kejauhan.
“!”
“Ayo pergi!”
“Ya!”
Tepat ketika Hestia mengetahui kejadiannya, Welf dan
Mikoto memimpin Hestia Familia. Kelompok itu berjuang
melawan tuk mencapai pusat jeritan, menabrak-nabrak bahu
sambil panik, mendengar teriakan-teriakan warga seiring
perjalanan mereka.
Lalu, sewaktu berputar di sudut lain.
“WHOA ….!”
“Monster?!”
Mahluk menyerupai lamia sedang mengamuk.
Bahkan di Kota Labirin, hal demikian tidak pernah
kedengaran. Salah satu bangunan yang berselebahan dengan
jalan lebar tanpa sudut, banyak puing-puing berserakan di tanah.
Kulit biru muda bersisik monster berserakan layaknya pecahan
fragmen, bukti bahwa ia telah menghancurkan beberapa dinding.
Banyak masyarakat yang belum melarikan diri dari asap
tebal yang menyelimuti daerah tersebut.
Tentu saja, satu-satunya familia atau petualang di tempat
kejadian adalah Hestia Familia.
“Jadi monster telah kabur dari markas besar musuh ….? Itu
masuk akal, kan?”
“… t-tunggu, tunggu sebentar. Itu ….”
Monster di tanah bergidik setelah Welf melepaskan
pedangnya, sementara Mikoto mengangkat katana panjangnya,
Kotetsu, dan suara goyahnya berbicara.
Mengaktifkan skill-nya, Yatano Black Crow, sewaktu dia
mendengar keributan. Meskipun dia tidak melihatnya baik-baik,
Mikoto bilang bahwa mereka pernah menemui monster itu
sebelumnya.
Lilly membeku begitu wajah monster tersebut akhirnya
terlihat dari dalam asap, melirihkan namanya dengan mata
terfokus saja pada tubuhnya.
“… seekor vouivre.”
“?!”
Welf, Mikoto, Haruhime, dan Hestia terkesiap secara
bersamaan.
Mereka melihatnya.
Lubang aneh—tempat permata merah tua seharusnya
berada—di dahi.
“Mustahil ….!”
Begitu tim Hestia memahami kondisi monster itu dalam
sekejap, dia mulai bergerak.
“!”
Melengking tajam, dia menyerbu mereka.
Reaksi Welf beserta Mikoto langsung instan, menyilangkan
pedang besar dan katana untuk membuat benteng dan
menghentikan lajunya. Akan tetapi ….
“GHWWOOOOOO!”
“Uwah!”
Mereka terhempas ke smaping.
Vouivre yang mengamuk-amuk kelewat kuat sampai-
sampai petualang Level 2 tidak bisa menahannya dengan senjata
mereka. Walau memang memperlambat monster tersebut, Welf
dan Mikoto menabrak dinding bangunan di dekatnya, membuat
para penduduk kota semakin menjerit.
“Lady Hestia ….!”
“Kh ….?! Haruhime!”
Hestia terdesak ke sisi jalan oleh Lilly, berteriak ketika
melihat manusia rubah terjatuh tepat di depan vouivre.
Biarpun kakinya terpeleset oleh getaran di tanah dan serba
goresan juga keruk, Haruhime yang gemetar berusaha duduk,
matanya membelalak saat menatap monsternya.
“Nona … Wiene ….?”
Matanya bersinar merah, padahal mata Wiene kuning.
Menghabiskan lebih banyak waktu bersama gadis naga itu
daripada semua orang, si renart membisikkan namanya.
Air mata mengalir turun dari pupil hijaunya, lantaran
melihat nasib temannya itu.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!”
Gadis naga yang bertransformasi mengedepankan tubuh
panjangnya seolah sedang mengejar suatu penampakan.
Haruhime tidak dapat bergerak ketika monster
mencambuk-cambuk ekornya, ekor setebal dada kurcaci ke
arahnya. “Nona Haruhime!” teriak Mikoto. Anggota familia lain
memanggilnya, suara-suara mereka bergema di jalanan, dan
seketika ….
“—Wiene!”
Bell menyambar ke tempat kejadian bagaikan hembusan
angin, kakinya jadi terlihat samar.
“Bell!”
Muncul dari lubang yang dibuat Wiene, bocah itu
melempar dirinya ke ekor naga dan menghantam tangan
berzirahnya ke samping untuk mengubah lintasan ekor. Ekor
Wiene melewati kepala Haruhime, menyabet udara kosong.
Si bocah mendengar teriakan heran sekaligus kegembiraan
familianya ketika ia berdiri di depan renart itu.
“Master Bell ….!”
“Nona Haruhime, tolong kembalilah!”
Bell meringis seakan-akan air mata dan suara sedih
Haruhime membelah dua dirinya, lantas Bell balas berteriak.
Mikoto datang membantu gadis yang tidak bisa bergerak
sendiri kemudian menyeret Haruhime kembali ke tim.
Aku mencegah kemungkinan terburuknya, tapi ….!
Bell mengikuti jalan-jalan hancur dari Kota Labirin setelah
keluar dari salah satu pintu masuk tersembunyi Knossos dan
menyusulnya di Kota dungeon.
Akan tetapi, banyak orang memperhatikan Wiene. Telapak
tangannya bterkeringat begitu melihat banyak sekali penonton.
Sekarang apa? Aku harus apa?
Tidak—permata merah tua mesti dikembalikan kepadanya
terlebih dahulu. Menghentikan amukan adalah prioritas utama.
Wiene kembali memasang kuda-kuda, memulihkan diri
dari sergapan Bell yang sekarang sedang berdiri di depannya.
—Ketika itulah terjadi.
Kilatan cahaya melintas dari langit.
“.”
Dari beakang, di atas kepala Bell ….
Muncul dari sudut matanya—tombak panjang yang
ujungnya bilah emas—menusuk tangan kiri Wiene bak
sambaran petir.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!”
Momentum maha kuat tombak tersebut meluncurkan
tangannya ke bangunan terdekat.
Wiene berteriak saat tombaknya melaju cepat ke tanah,
secara efektif menjepitnya di tempat.
Perubahan cepat itu membuat Bell lengah, kepalanya
mengosong dalam sekejap.
Lupa bernafas sedang otaknya memproses kejadian barusan.
Kemungkinan besar, seseorang berkekuatan besar yang
melempar tombaknya dari belakang.
“—jadi itu sumber keributannya, betul?”
Bell mendengar suara dari jauh.
Lalu sorak-sorai meletus.
“….!”
“HORE, KAMI DISELAMATKAN!”
“PARA PETUALNAG!”
Suara-suara penuh kegembiraan dan kehebohan itu.
Mereka semua membicarakan orang-orang yang muncul di
belakang Bell.
Hestia serta anggota familianya terdiam seolah menyiratkan
siapa-siapa yang telah datang.
Bell mendengar degup jantungnya.
Lonceng peringatan menyala keras di telinganya sampai
tidak sanggup berpikir jernih.
Dong! Dong! DONG! Bell perlahan-lahan berbalik sewaktu
dering cepat menenggelamkan dunia di sekitarnya.
“….”
Hal pertama yang dilihatnya ialah seorang ksatria berambut
pirang, mata emas sambil memegang pedang di tangannya.
“Tampaknya orang-orang masih aman-aman saja.”
“Apa nih? Rupanya ada yang sudah datang mendahului
kita?”
“Bentar, bukankah itu ….”
“Dia argonaut!”
“Bocah kelinci lagi ….”
Orang berikutnya yang datang adalah elf agung yang
membawa-bawa tongkat panjang, kurcaci ditemani kapak
perang besar di atas bahu, Amazon kembar memegang pisau
Kukri dan pedang panjang berbilah ganda, serta manusia serigala
yang mengenakan sepatu boot logam.
“Vouivre … pikirku ada hubungannya dengan penampakan
monster bersayap sebelumnya?”
Orang terakhir yang datang adalah si pelempar tombak,
seorang prum.
Berdiri di atas sekelompok bangunan dan memandang Bell
serta Wiene adalah petualang-petualang terkuat Orario.
Finn Deimne bergelar Pemberani.
Riveria Ljos Alf bergelar Sembilan Neraka.
Gareth Landrock bergelar Elgarm.
Tiona Hyrute bergelar Amazon.
Tione Hyrute bergelar Jormungand12.
Bete Loga bergelar Vanargand13.
Dan Aiz Wallenstein bergelar Putri Pedang.
Setelah ekspedisi paling terakhir, setiap pemimpin telah
menyentuh Level 6.
Mereka bahkan disejajarkan familia saingan sebagai para
pahlawan garda depan Kota Labirin yang tentunya akan menjadi
buah bibir untuk generasi-generasi selanjutnya.
Familia terkuat Orario, Loki Familia.
“Apakah monster itu ada hubungannya dengan lantai
delapan belas? Kelihatan seperti belenggu, tapi mana baju
besinya?”
“Aku tidak yakin soal itu … tapi Guild barangkali telah
merencanakan kemungkinan ini ketika memerintahkan seluruh
familia untuk bersiap siaga.”
“Cih, pemberitahuan lebih lanjut bakal lebih enak.”
Bagi Bell, waktu membeku selagi pembicaraan salah satu
Amazon, elf agung dan manusia serigala menyasar telinganya.
Tidak masuk akal. Mereka terlampau awal.
Tempat ini Daedalus Street Kota Labirin. Sekalipun mereka
pergi secepat kilat tatkala keributannya dimulai, mereka takkan
keburu. Fakta petualang-petualang lain tentu saja
membuktikannya.
Mungkinkah—mereka mengetahuinya?
Menyaksikan terungkapnya peristiwa itu dan menganalisis
kemungkinan waktu-waktu mereka diperintahkan menunggu
diam di dunia atas?
Bell mengunci pandangan gemetarnya kepada prum,
pemimpin Loki Familia sangat tenang mengamati medan perang
dari atas.
“Kapten, monsternya bagaimana ….?”
“Batu di dahinya hilang. Singkirkan secepatnya.”
Cuma ada satu alasan mereka di sini.
Untuk membasmi monster mana pun yang muncul di kota.
Jalan-jalan dipenuhi tempik sorak ibarat kemenangan besar
sebab kota mereka terselamatkan dari kekacauan yang menimpa.
Bell hampir terhuyung oleh suara tersebut. Para anggota
Hestia Familia pucat pasi saat kebisingan menghanyutkan
merkea.
Petualang-petualang itu berdiri sebagai suar harapan bagi
penduduk Orario, karena selalu mengagumi kekuatan mereka.
Tetapi bagi Bell, sorakan tersebut seperti kiamat.
“Oh, yang bener aja dong. Kenapa bocah-bocah Loki mesti
dateng?”
Di puncak menara bata, salah satu titik tertinggi Daedalus
Street ….
Ikelus bersama Hermes buru-buru memperhatikan pusat
masalah dari titik pandang mereka di Kota Dungeon,
menyaksikan keberlangsungan peristiwa tersebut.
“Tepat saat segala sesuatunya jadi menarik …. Yah, anggap
saja itu penutup peristiwa.”
“… tentu.”
Dua dewa menonton petualang kelas dua Loki Familia dan
di bawahnya di belakang Aiz. Ikelus merosot, bosan sebab familia
tertangguh Orario hendak mengakhiri semuanya.
“Berarti anak-anakku sudah tiada …. Seluruh hal besarnya
diakhiri peristiwa kecil ini.”
Ikelus menghadap Hermes, secara sarkas mengucapkan
selamat sambil nyengir. Akan tetapi, Hermes terdiam, sepasang
mata santuynya fokus seorang keseluruhan sosok bocah sampai
wajahnya.
—Nona … Aiz.
Di tengah kegelisahan membakar ….
Bell mendongak, menemui tatapan Aiz saat dia menatapnya
dari ketinggian.
Idola anak bocah itu melihat dirinya seornag.
Mata emasnya penasaran, seakan bertanya, ‘Kenapa kau di
sana?’
Uh, ahh ….
Kata-kata seorang pria menjadi hidup di benaknya.
Dasar hipokrit.
Dix mencemooh dan menertawakan keputusan goblok Bell.
Tawa hampa memenuhi telinganya kala ia mengajukan
pertanyaan lain:
“Bocah, sekarang bagaimana?”
“AAAAAAAAAAAAaa ….?!”
Monster naga itu menjerit kesakitan.
Tombak menembus jauh ke dalam tanah, betul-betul
menjepit gadis naga itu.
Pikrian Bell mendung, visinya berdenyut-denyut.
Ia berdiri di tanah tak bertuan, persis di tengah-tengah dua
dunia. Maju atau mundur? Maju atau mundur?
Idola dan monster, sekutu dan sisik, pahlawan dan penjahat,
kakek dan gadis, permintaan maaf dan pertaubatan, janji dan
pengkhianatan, murni dan palsu, momen-momen penentuan dan
pilihan. Pilih, pilih, pilih.
Bayangan itu menyala di hatinya: senyum dan air mata si
gadis.
Tangan terentangnya, kehangatannya, janji yang dibuatnya,
Bell bersumpah untuk melindunginya ….
Semua pikirannya menyatu secara harmonis, menggerakkan
hati Bell.
Keabadian terkondensasi menjadi satu momen tunggal.
Bell.
Bell.
Bell—
“OOOOOOOOOOOOOOOOOOH ....?”
Teriakan warga kota mulai mereda.
Malah pusaran amarah membingungkan yang
menggantikannya. Para petualang berperingkat rendah berjinjit
dan menegakkan leher untuk melihat kejadian sebenarnya,
kecurigaan menggelapkan raut wajah mereka.
Keheningan mencekam menyelimuti keributan Kota
Dungeon.
“Hah?”
Manusia serigala itu mengerutkan kening pada sesuatu di
depannya.
“Hei …. Apa itu?”
“Argonaut Kecil ….?”
Kembar Amazon tercengang.
“Ini tidak salah?”
“Finn ….”
“… ada apa di kepalanya?”
Kurcaci, elf agung, dan prum menyipitkan mata masing-
masing.
“.”
Sementara gadis idolanya, mata emasnya gemetar tak
percaya.
“….!”
Bell melawan mereka.
Punggungnya menghadap monster yang menggeliat-geliat
kesakitan sambil menahan orang-orang yang berusaha
membunuhnya.
Seakan melindungi vouivre sekaligus mempertahankannya
dari para petualang.
Butir-butir keringat menggulung jatuh di pipi, nafasnya
compang-camping, wajahnya pucat bak hantu.
Mengangkat pisau hitamnya dalam genggaman terbalik,
bersiap menghadang mereka.
Jangan bego ….!
Lilly, Welf, Mikoto, dan Haruhime kehabisan kata-kata.
Mata Hestia terbuka selebar mungkin.
“….!”
Gros si gargoyle juga sama, ia menonton dari kejauahn.
“Kau sedang apa, Bellucchi ….?”
Lido dan Xenos lainnya tetap bersembunyi dengan
mendekat dari gang belakang, kini kepala mereka buntu. Bahkan
Fels yang ikut pun sangat terheran-heran.
“—hee, HEE-HEE! EEHEEHEEHEEHEEHEHE ….!”
Dia Ikelus.
Dia yang melihat semuanya dari atas, pundaknya kejang-
kejang senang.
“Lihatlah itu, Hermes?! Ini lucu!”
Dewa itu tertawa terbahak-bahak, rambut biru tuanya
berkilauan dan bergoyang-goyang.
“Kukira zaman cuma ada bocah-bocah nakal … nyatanya
masih ada bocah gila lagi!”
Berdiri di sebelah Ikelus, tubuhnya membungkuk dan
tertawa tanpa henti.
… bibir Hermes diam-diam melengkung tersenyum, hampir
seperti senyuman kesepian.
“Kau beneran orang tolol ….”
Warga kota, petualang, monster, dan dewata, semuanya
fokus pada satu titik.
Bocah sendirian yang telah menghancurkan dirinya sendiri.
Bell, dia telah menantang Loki Familia untuk
menyelamatkan seorang gadis monster.
Catatan Kaki:
1. Kuarsa adalah salah satu mineral yang umum ditemukan di
kerak kontinen bumi. Mineral ini memiliki struktur kristal
heksagonal yang terbuat dari silika trigonal terkristalisasi
(silikon dioksida, SiO2), dengan skala kekerasan Mohs 7
dan densitas 2,65 g/cm³.
2. Orichalcum atau orikalkum adalah logam yang disebut
dalam beberapa tulisan kuno, terutama pada kisah Atlantis
seperti yang dikisahkan dalam dialog Critias, yang ditulis
oleh Plato. Menurut Critias, orichalcum dianggap paling
berharga kedua setelah emas, dan dapat ditemukan dan
ditambang di banyak wilayah di Atlantis pada zaman kuno.
Orikalkum juga merupakan mata uang Kerajaan Romawi.
3. Dalam mitologi Yunani, Skilla (bahasa Inggris: Scylla)
(bahasa Yunani: Σκύλλα) adalah monster laut yang di
pinggangnya ada beberapa kepala anjing yang buas. Skilla
tinggal di suatu tempat di dekat Kharibdis (pusaran air
raksasa) dan di antara mereka hanya ada suatu celah sempit
sehingga jika ada pelaut yang melalui tempat tersebut,
pelaut tersebut harus memilih; dihancurkan oleh Kharibdis
atau dimakan oleh Skilla.
4. Carbuncle adalah makhluk mirip kelinci yang di dahinya
terdapat permata cerah dan bulu berwarna cerah.
Carbuncle dapat dibuat secara artifisial. Ketika carbuncle
mati, mereka akan lenyap ...
5. Knossos (sebutan alternatif Knossus, Cnossus, Yunani
Κνωσός diucapkan [kno̞ˈso̞s]), juga disebut labirin, atau
Istana Knossos, adalah situs arkeologi zaman perunggu
terbesar di pulau Kreta dan diduga sebagai pusat upacara,
politik, dan budaya Peradaban Minoa. Istana ini berbentuk
seperti lorong-lorong rumit yang digunakan sebagai ruang
kerja, tempat tinggal, dan gudang yang terletak dekat
dengan lapangan tengah. Gambar detail kehidupan sehari-
hari orang Kreta pada akhir zaman perunggu ditampilkan
dalam lukisan dinding pada tembok di istana ini. Kini
Knossos menjadi daya tarik dan tujuan wisata berkat
sebagian besar bagiannya telah dipugar oleh arkeolog
Arthur Evans dan lokasinya yang dekat dengan kota utama
Kreta Heraklion.
Bagian dari rekonstruksi Istana Minoa di Knossos oleh
Arthur Evans. Ini adalah bastion A pada gerbang utara,
perhatikan fresko banteng di atasnya.
Kota Knossos tetap menjadi kota penting pada kurun Klasik
dan Romawi, akan tetapi popularitasnya beralih ke kota
baru Handaq (kini Heraklion) pada abad ke-9 M. Pada abad
ke-13 kota ini disebut Makryteikhos 'Tembok Panjang';
uskup Gortyn tetap menyebut diri mereka sebagai
keuskupan Knossos hingga abad ke-19. Kini nama ini hanya
digunakan untuk situs arkeologi yang terletak dipinggiran
kota Heraklion.
6. Cetak biru (Inggris: blueprint) adalah kerangka kerja
terperinci (arsitektur) sebagai landasan dalam pembuatan
kebijakan yang meliputi penetapan tujuan dan sasaran,
penyusunan strategi, pelaksanaan program dan fokus
kegiatan serta langkah-langkah atau implementasi yang
harus dilaksanakan oleh setiap unit di lingkungan ....
7. Bon appétit adalah kalimat dari bahasa prancis yang artinya:
Selamat Menikmati.
8. Labrys adalah kapak bermata dua yang menurut beberapa
pendapat digunakan oleh Klitaimnestra untuk membunuh
Agamemnon.
9. Gaya fiktif, yang disebut juga gaya khayal atau semu, adalah
gaya hanya terjadi atau muncul pada kerangka acuan non
inersial. Contoh dari gaya fiktif adalah gaya sentrifugal dan
gaya coriolis. kedua gaya ini terjadi pada kerangka acuan
yang berputar.
10. Staff of aesculapius (juga disebut 'rod of aesculapius')
mengacu pada tongkat dewa penyembuhan dan pengobatan
Yunani bernama Asclepius. ... Konon di zaman Hippocrates
(bapak kedokteran) hidup, mereka yang sakit akan
ditempatkan pada kuil penyembuhan (healing temple) yang
diberi nama 'asclepieion'. Dan Dewa yang memiliki tongkat ini
ialah Hermes.
11. Panacea adalah putri Dewa Asklepius yang melambangkan
kekuatan dari kebersihan, obat, dan penyembuhan. Dalam
mitologi Romawi dia dinamakan sebagai Vediovis.
12. Dalam mitologi Nordik, Jörmungandr (Nordik Kuno:
Jǫrmungandr, pelafalan [ˈjɔrmunˌɡandr̥], berarti "monster
raksasa" adalah ular laut yang merupakan anak dari raksasa
Angrboða dan Loki. Menurut Prose Edda, Odin mengambil
ketiga anak Loki dan Angrboða (Fenrir, Hel, dan
Jörmungandr), dan kemudian melempar Jörmungandr ke
samudra besar yang mengelilingi Midgard.] Ular ini menjadi
begitu besar sampai-sampai ia dapat mengelilingi Bumi dan
kepalanya dapat menjangkau ekornya. Ketika makhluk ini
melepaskan ekornya, maka Ragnarök akan dimulai. Musuh
bebuyutan Jörmungandr adalah dewa petir Thor.
13. Fenrir adalah serigala raksasa anak Loki dan raksasa
Angerboda. Nama lain Fenrir adalah Fenris, Fenrisúlfr, dan
Vanargand ("tongkat harapan").
Fenrir tumbuh menjadi sangat besar dengan sangat cepat
sehingga para dewa menjadi takut. Para dewa berpura-pura
memainkan permainan untuk mengikat serigala itu, untuk
mencari tahu apakah Fenrir dapat membebaskan diri. Fenrir
setuju untuk ikut bermain jika ada yang bersedia meletakakn
tangan di mulutnya. Hanya dewa perang, Tyr, yang berani
untuk meletakkan tangannya di mulut Fenrir.
Para dewa mendapati bahwa tidak ada benda yang dapat
mengikat Fenrir, sampai mereka memperoleh pita perak sakti
yang disebut Gleipnir, dibuat oleh para kurcaci. Pita ini dibuat
dari suara kucing, janggut wanita, nafas ikan, dan ludah
burung. Ketika Fenrir dia tidak dapat melepaskan diri dari
ikatan ini, dia pun sadar bahwa dia telah ditipu. Sebagai
balasannya, Fenrir menggigit tangan Tyr hingga putus. Karena
itulah Tyr dikenal sebagai Dewa Bertangan Satu.
Ketika Ragnarok dimulai, Fenrir berhasil bebas dari
belenggunya. Dia lalu bergabung dengan para raksasa dan
monster lainnya dalam perang melawan para dewa. Fenrir
bertarung melawan Odin. Dia berhasil membunuh dan
memakan Odin. Vidar, putra Odin, marah dan membalas
kematian ayahnya dengan cara merobek rahang Fenrir dengan
tangan kosong.
Volume 10 Bab 10
Si Tolol
Penerjemah: Daffaaaaaaaaaaaaaaaa
Sebelah blok tenggara Orario, salah satu sudut Daedalus Street
tengah terselimuti keheningan mengerikan.
Pemandangan di bawah langit buru telah jauh menyimpang
dari kata normal.
Vouivre terkapar di tengah-tengah dinding bangunan, ia
ditancap tombak. Persis di depannya, berdiri di tengah jalan lebar
sambil mengangkat senjata berniat melindungi si monster,
adalah Bell. Hestia dan anggota familia lain berkerumun di sisi
jalan, penduduk kota mengawasi dari jauh, dan Loki Familia
berkumpul di atap rumah secara langsung di belakang mereka.
Ketika gumpalan debu mengepul dari puing-puing batu,
seorang bocah beridri di depan para penonton dan tatapan curiga
mereka.
“Jadi … kita apakan itu?”
Payudara massif Tione bergelombang-gelombang sembari
mendesah pada bocah yang siap menantang mereka. Saudari
perempuan kembarnya, Tiona, terkaget-kaget di sebelahnya,
sedangkan Bell, Aiz, dan petualang-petualang terkuat Loki
Familia saling memandang.
“K-kita harus apa?”
“Abaikan saja dia. Entah isi kepalanya apa, tapi tidak jadi
masalah. Akhiri semua ini sekarang.”
Bete nyaris kedengaran bosan seketika dia melangkah maju.
Tepat saat sisa-sisa anggota Loki Familia bersiap mengikuti
manusia serigala dewasa menyerbu monsternya—“FIREBOLT!”
“?!”
DUAR! Petir membara menembus langit disertai deru
ledakan.
Bete dan kawan-kawannya hampir tidak berhasil melompat
turun dari atap, namun mereka semua membeku di tengah
gerakan. Terkejut oleh ledakan mendadak tersebut, warga
Daedalus Street menutup telinga mereka karena ketakutan.
Bell memasukkan permatanya ke kantung pinggang
sebelum mengulurkan tangan kirinya ke langit dan melancarkan
Swift-Strike Magic.
Serangan barusan adalah ancaman, peringatan agar tidak
mendekat.
Bell berdiri diam, keringat sebanyak air sungai mengalir di
kulitnya.
“—Aah?”
“?!”
Emosi mentah nampak dari wajah Bete, Loki Familia, dan
penduduk kota.
‘Ada apa ini?’ tanya banyak pasang mata secara serempak.
Kritik kepada bocah yang melindungi monster itu bukan
satu-satunya hal dalam mata mereka—melainkan penghinaan
dan permusuhan kian bangkit jua. Dia tinggal selangkah lagi dari
pengucilan masyarakat. Dia dapat melihat kebingungan Aiz dan
Tiona, mata-mata waspada dari seluruh anggota Loki Familia,
dan raut wajah terkejut familianya sendiri.
Pisau Hestia gemetar di tangannya, keringat juga detak
jantung anak itu sudah mencapai nada crescendo.
—Ini bisa jadi akhirnya.
Satu kata keliru dan tamatlah segalanya.
Bell Cranell akan menjadi musuh masyarakat.
Adapun perkataan selanjutnya ….
“… i—”
Lidah keringnya belibet seperti simpul.
Bell memandang orang-orang di depannya dan mengangkat
suara.
“… yang … yang satu ini milikku.”
Ucapan tersebut keluar dari mulutnya.
“Aku melihat vouivre ini duluan, berarti milikku ….!”
Bete dan yang lainnya terperangah, seketika Bell
mengutarakan pendapatnya sekasar mungkin.
“Jadi pergilah ….!”
Tesudut pada momen-momen kebenaran, Bell memilih
bertindak sebagai seorang petualang pemarah.
Setelah mengklaim batu sihir sang monster dan seluruh
drop item untuk dia sendiri, Bell menghunuskan senjata di
tangan kanannya ke hadapan para penonton yang ternganga,
termasuk familianya sendiri.
“….?!”
“!”
Saat itulah vouivre yang meronta-ronta akhirnya mencabut
tombak dan melepaskan diri.
Muntah darah, dia melesat pergi, seolah mencoba melarikan
diri dari para petulaang dan rasa sakitnya sendiri.
Bell balik badan dan mengejar monster tersebut tanpa ragu-
ragu.
“Oooooooke … apa pula maksudnya?”
Tiona memiringkan kepala bingung. Aiz membuka mulut.
“Melanggar aturan bagi petualang yang membunuh target
petualang lain ….”
“Ahhhhh … para monster naga cukup langka, benar?”
“Bocah belagu …. Itu berlaku di Dungeon. Aturan-aturan itu
tidak sah di sini!”
Penjelasan Aiz memuaskan Tiona yang mengangguk setuju,
namun Bete sudah nafsu ingin mengobarkan bulu abu-abunya.
Manusia serigala itu bukan satu-satunya orang yang kesal
gara-gara bocah itu memprioritaskan keuntungannya sendiri
dalam keadaan darurat ini—anggota familia Bete dan penduduk
kota menjadi marah juga benci.
“Jenderal ….”
“Jangan biarkan anak itu. Ikuti vouivre-nya.”
Tione terus fokus pada monster dan anak yang mendekati
ujung jalan sewaktu dirinya berbalik menghadap Finn, ia mulai
mengeluarkan serangkaian perintah dengan suara tegas.
Pasukan Loki Familia patuh. Beberapa ada yang melompat
dari atap sementara yang lainnya setia di jalan sesuai
instruksinya, ketika itulah ….
“—OOOOOOOOOOOOOOOO!”
“?!”
Raungan ganas monster menggema di cakrawala seolah
menenggelamkan keriuhan kota.
Lebih dari dua puluh monster yang membawa senjata
muncul di jalan sesaat kemudian.
“Monster bersenjata!”
“Sepertinya ada hubungannya dengan kehancuran Rivira.”
Langkah-langkah kaki cepat menggema di sepanjang gang
belakang ketika seekor lizardman melompat ke garis depan
bersama gargoyle yang membumbung turun menuju bangunan
serumit Dungeon dari atas. Dua monster itu memimpin rekan-
rekan mereka yang menyerang dari darat maupun langit.
Sekali lagi jalan-jalan mulai kacau—penduduk sipil
berteriak ketika para petualang yang menatap tak percaya.
Segerombolan monster berkumpul di depan Loki Familia seolah
menghadang jalan mereka—bertindak sebagai umpan—
sekaligus mencegah serbuan mereka.
“Lido, Gros ….!”
—Di sisi lain, Fels yang mengejar para Xenos dan berupaya
menghentikan merkea, menyaksikan tanpa daya dari sebuah
gang.
“Tolong jangan hentikan kami, Fels.”
“Rei ….!”
“Kami sudah membulatkan tekad. Kami akan membantu
orang itu dan kerabat kami. Bila mana menyerahkan mereka
kepada takdir …. Kami ‘kan kehilangan hak tuk mengejar hasrat
kami.”
Siren menggigit ujung sayapnya, mengoles wajahnya dengan
darah sebelum tersenyum kepada Fels lalu mengudara. Sarung
tangan penyihir terbalut jubah hitam itu mengepal sewaktu
bulu-bulu emasnya terbang turun dari langit.
“Sial …. Kau sadar betul perasaan telah menggerakkan
hatiku untuk membantumu, benar?”
Fels meninggalkan tempat persembunyiannya, bertekad
membantu Xenos.
“Finn, perintahmu?”
Riveria memulai serangan balasan dengan busur seraya
memanggil Finn.
“… tangkap hidup-hidup sebanyak mungkin.”
“Hidup-hidup?”
Bete mencibir, tetapi jenderal prum itu menanggapinya
dengan anggukan dan berkata, “Ya. Ada sesuatu yang ingin
kuketahui. Pertama-tama, Tione, pimpin kelompok untuk
melawan mereka secara langsung. Jangan gunakan sihir kuat.
Nanti bakal merusak kota.”
“Aku paham!”
“Dimengerti!”
“Baiklah ….”
“Pengguna sihir akan membantu melindungi warga kota
yang sedang mundur. Keamanan mereka adalah prioritas utama
kita. Sekarang pergilah.”
“Siap!”
Menerima perintah cepat, para bawahannya segera
berangkat untuk melaksanakannya.
Sementara Tione, Tiona, dan Bete menyerang maju sembari
memimpin pasukan Loki Familia persis di belakang mereka, Finn
memanggil Aiz sebelum dia melompat turun dari atap.
“Aiz, kau tinggal di sini.”
“….?”
“Riveria, aku menyiapkan penghalang. Aku tahu maksud
perkataanku, tapi aku ragu penduduk kota akan sempat
melarikan diri.”
“… Kebanyakan renovasi akan menimbulkan masalah
tersendiri. Aku mengerti, kita mesti berhati-hati.”
“Anggap saja perkara demikian sudah kelar. Gareth, aku
tidak ingin meminta, tapi bersediakah kau memasang perimeter
di sana?”
“Hmm? Oke sih …. Kau yakin mereka sanggup menangani
monster bersenjata itu?”
“Ya, mereka bertiga saja sudah cukup.”
Sepenuhnya mengabaikan kebingungan Aiz, Finn
menyampaikan perintah kepada Riveria dan Gareth.
Melirik warga sipil yang tadinya bimbang untuk evakuasi
kini merasa aman untuk melakukannya—belum lagi merasa
semangat setelah melihat aksi familia terkuat Orario dengan
mata kepala sendiri. Riveria mendesah seketika dirinya
melompat dari atap, setelah selesai merapalkan mantra.
Gareth mengangkat kapaknya ke atas bahu dan berlari ke
arah yang ditunjuk Finn.
“… Finn.”
“Oh, maaf, maaf. Aiz, kaulah insuransi kami.”
Menatap …. Finn langsung minta maaf begitu merasakan
mata Aiz.
Memaksakan senyum seakan merasa ada yang janggal
terhadap Putri Pedang yang biasanya diam-diam saja—merasa
kecewa atau barangkali tidak puas.
“… apa … ada yang datang?”
Jempolku agak … kau tahulah ….”
Aiz bertanya sambil memasang wajah penurut sementara
Finn ngedot.
Kini gadis itu sendirian di atap, jenderal prum memalingkan
pandangannya.
Para petualang dan monster sudah terlibat dalam
pertempuran di depannya.
Pertempuran antara Loki Familia dan Xenos telah dimulai.

Pertarungan telah dimulai tatkala para kombatan telah menyebar


di jalan-jalan selebar delapan meder itu.
Pasukan Xenos bertempur sambil menghadap tembok
timur kota di belakang mereka, berusaha menahan laju
petualang-petualang. Loki Familia datang dari barat,
menghampiri Menara Babel, dan kedua kelompok saling
bertabrakan di tengah jalan.
Seekor troll bertukar serangan dengan manusia serigala,
seorang gadis manusia menghadapi lamia, pemanah elf nan
memukai menembak-nembak panah kepada griffin. Masing-
masing monster dilengkapi senjata sesuai pilihan pribadi. Medan
tempur menggaungkan suara konstan hiruk-pikuk senjata yang
saling bertabrakan.
“GAOOOOOOOOO!”
“Lizardman, eh ….”
Lido yang sosoknya mengerikan, bentrok dengan Tione si
Amazon.
Monster bersenjata pedang panjang dan scimitar sementara
musuhnya punya sepasang pisau Kukri. Dua petarung saling
bertukar serangan dan tebasan.
“….?!”
Akan tetapi, Lido segera merasa bahwa ia sedang berjuang
melawan gelombang badai air pasang.
Rambut hitam panjangnya berkibaran, bilahnya mengabur
dalam amukan tarian. Setiap serangan berkecepatan tinggi
cukup kuat hingga memberikan dampak kritis. Lido
menahannya sekuat mungkin, membunyikan dentang-dentang
logam maha keras sampai membuat pendengarannya pengang.
Amazon terus menari, tetapi tariannya bercampur gayanya
sendiri. Kaki warna gandum rampingnya menyabet seperti
cambuk, menghancurkan sisik warna merah berharga Lido.
Terlebih lagi, kakinya yang nyeker sama sekali tidak tergores.
Tatkala bilahnya terukir di udara bagaikan jaring, teknik
tinjunya juga memanfaatkan siku dan kaki.
Sewaktu bilahnya terblokir, dampak serangannya mengirim
guncangan intens di sarung tangan sampai otot-otot dalamnya.
Bagi lizardman, monster sebenarnya, gaya bertarung
barbarnya menyerupai hewan buas, Kukri ganda sudah seperti
taringnya sendiri.
Lido hampir langsung dalam posisi bertahan.
“Menarik ….”
Tione menyipitkan mata kepada lizardman yang bertahan
dari serangannya, berhasil menghindari serangan fatal yang
menyerempet sisiknya.
Mendadak tertarik pada ilmu pedang Lido, dia
mempercepat langkah seakan-akan hendak menentukan
seberapa banyak skill dan taktik yang dimiliki si monster.
S-sangat kuat ….!
Mata kuning reptil Lido gemetaran.
Dia telah melawan banyak petualang dalam pertarungan
hari ini—termasuk para elit Ganesha Familia, Shakti, dan pria
berkacamata, Dix—dia yakin dapat dengan mudah menghajar
tentara manapun. Hal demikian tidak berlebihan ataupun gertak
sambal semata. Keyakinannya berasal dari bertahun-tahun
mengkonsumsi kristal sihir monster lain biar potensi spesiesnya
disempurnakan, sekaligus waktu yang dihabiskannya untuk
menempa teknik bertarung liarnya.
Akan tetapi, melawan lawan di depan mata tidak
menunjukkan secercah cahaya kemenangan pun.
Lido hanya dapat menerima kenyataan bahwasanya dia sang
monster, telah menjadi mangsa Amazon bermata tajam itu.
—Freya Familia dan Loki Familia.
—Lido, kau harus menghindari mereka sebisa mungkin
—Mereka tidak boleh menjadi musuhmu.
Lido mengingat nasihat Fels dalam kegelapan nan dalam
Dungeon.
Mereka berusaha keras menghindari dua kelompok itu
karena peringatan sang penyihir, kini Lido tahu arti sebenarnya
kata-kata Fels secara langsung.
Tapi—aku tidak boleh mati sekarang!
Lido, matanya menyala, dengan piawai menangkis serangan
lawan dan melancarkan serangan balik.
Sewaktu berhasil memisahkan jarak dari beberapa tebasan
cekatan, dia mengayunkan pedang panjang dan scimitar-nya ke
depan sekuat mungkin.
Tentu saja, Tione mengetuk bilahnya dengan mudah—
memaksa Lido menyerang dengan ekor, dan pinggangnya juga
mengemban kekuatan besar.
“!”
Serangan ketiga membuat Tione lengah, dua pisau Kukri
terlempar dari genggamannya.
Kau suka itu?
Saat Lido menebas scimitar sebagai serangan
pramungkas—Tione menghilang.
Terlampau cepat untuk diikuti matanya, tangan kosongnya
memegang kepala Lido dari samping dan dibanting ke dinding
terdekat oleh satu gerakan halus.
“—GHAAAA!”
Dampaknya membuat dinding bata menghitam meledak,
mengubur Lido dalam bongkahan bata tatkala satu matanya
melebar penuh ketakutan.
“… kau bukan sembarang lizardman, betul?”
Orang yang melempar seluruh tubuh lizardman ke dinding
dengan satu tangan kurus mengucapkan fakta sejati sambil
mengencangkan cengkeramannya, membuat tengkorak Lido
retak karena tekanan tersebut.
Ekor monster meronta kesakitan, dan Tione melompat
mundur kembali. Sekarang telah terbebas, Lido menarik
tubuhnya dari tumpukan puing-puing tetapi hampir tidak dapat
berdiri.
“….!”
“Bacot banget ….”
—Dekat tepi jalan, jauh dari Lido dan Tione, Bete menutup
telinga serigalanya biar terlindung dari gelombang suara yang
mendengung jauh di atas kepala.
Siren yang nampak mengerikan dengan lihai menghindari
panah dan senjata-senjata lain yang dilemparkan ke arahnya
sambil mengeluarkan gelombang suara frekuensi tinggi jangka
luas. Bete hampir-hampir goyah di hadapan serangan hebatnya
walau jarak antara mereka cukup jauh. Para petualang dalam area
serangannya sama sekali tidak berkutik dan jatuh terlutut seiring
mengucurnya darah dari telinga mereka.
Matanya melihat ancaman, Bete menghentak tanah.
“?!”
Rei si siren tersentak ketika Bete meroket ke dirinya dari
sebelah kiri bawah. Saat Bete merobek-robek udara bagaikan
serigala rakus yang hendak melahap bulan, dia buru-buru
menghentikan serangannya dan menghindar.
Mereka berdua saling lewat di tengah udara, siren itu
merinding tatkala kepalan werewolf nyaris mencelakai
wajahnya. Di saat yang sama, sang lawan rupanya telah
mengatisipasi dan mendarat di sebuah gedung terdekat.
Memutar tubuh dalam hitungan detik, lanjut melompat lagi dari
sana.
Lagi-lagi, ia menutup jarak layaknya peluru.
“.”
Rei, seekor monster terbang, ingin melakukan serangan dari
belakang. Tiada waktu untuk melongo.
Bete menyeringai, sepatu bot logam mithrilnya di bawah
terang sinar mentari selagi melengkung tinggi-tinggi di atas
kepala.
Bruk.
Kendati tidak punya sayap, Bete membanting kakinya ke
punggung monster udara.
“?!”
Rei jatuh ke tanah bak meteorit.
Tidak dapat bernafas atau menahan kejatuhannya dengan
cara apa pun, benturannya menghancurkan trotoar batu.
Berakhir dalam satu serangan belaka.
“Kenapa kau mesti memberikan perintah menyusahkan
begitu, Finn ….?”
Mengutuk instruksi untuk membawa hidup-hidup
monsternya, Bete menghampiri Rei untuk memeriksa apakah
dirinya cukup menahan diri atau tidak. Kawan terlukanya
melihat, semata-mata ingin membalas perbuatan siren kepada
mereka, Bete mendekati kawah kecil tempat Rei berbaring
telungkup oleh tendangan ceroboh Bete.
Dada siren gemetaran di balik lapis kain tempurnya selagi
mendarat telentang.
“Ahhhhnn? Apa-apaan ….?”
Meluncur di trotoar batu telah menghapus sebagian wajah
Rei yang bersimbah darah.
Rambut panjangnya emas gelap, mata biru bagai langit,
perawakan cantiknya setara dengan para elf.
Bete mengangkat alis kepada sosok Rei yang sengaja
disembunyikan dan nyengir-nyengir.
“Monster yang cukup indah, benar?”
Kemudian mengangkat kaki kanannya dan tanpa ampun
diarahkan langsung ke perut Rei.
“… ah!”
“Tapi monster tempatnya di neraka.”
Tubuh bawah siren otomatis naik sebab dampak tumit
sepatunya. Sambil tersenyum cemooh lagi marah, dia
menjejalkan pembatas antara orang dan monster ke Rei.
Matahari indah namun keras membakar mata Rei.
Dia sangat ingin melihat cahaya dunia atas, dan cahaya
tersebut hanya menerangi realitas kejamnya.
“OOOOOOOOOOOOO!”
“Mereka tidak tahu cara menutup mulut, ya?!”
Seekor gargoyle menyerbu werewolf yang menanam sepatu
botnya di Rei.
Bete melompat mundur, menghindari serbuan kemarahan
Gros, dan menghancurkan cakar batu yang menggeseknya
dengan tendangan sebelum sempat mencopot kepalanya.
Waktu masih terhenti bagi gargoyle yang melihat fragmen
cakar batunya beterbangan, tendangan berputar sepatu bot Bete
menghajarnya.
“Gwah?!”
“Jenismu bukan di sini.”
Werewolf brutal menindaklanjuti tendangan-tendangan
lain, menyuruh gargoyle menghabiskan waktu dalam dunia
bawah tanah suram.
“Satu … dan dua!”
“?!”
Pelarian udaranya dicegah, gargoyle habis-habisan
menangkis serangan sedangkan Tiona melucuti lawannya, goblin
topi merah. Kapaknya kebesaran sebab pengguna senjatanya
mungil, lalu dia terbangkan dari beberapa ayunan terampil
pedang raksasa bilah gandanya.
—Seekor goblin, tapi setara Level 4, bisa jadi?
Tiona merenung, terkesan sekaligus bingung oleh lawannya
yang kemungkinan spesies modifikasi goblin bertopi merah, saat
dirinya menggunakan teknik tendangan berbeda dari teknik
saudarinya.
“Hiiiyaaa!”
“GUH!”
Dalam sekejap mata, Tiona mengalahkan monster yang
menantang tersebut.
“Aku bukan Bete, tapi sulit menahan Urga.”
Menyeimbangkan senjata bermata dua di atas bahunya
dengan satu tangan, Tiona berlari kecil melewati para petualang
dan monster yang saling bentrokan. “Tidak bisa bersenang-
senang ….” gumamnya dalam hati sambil mencari-cari mangsa.
“KIHHHHHHH!”
“Heh? Al-miraj~?”
Mata merah bundar menatap tepat ke arahnya, buluya
seperti kapas.
Dia menyerang sambil mengangkat satu tangan tinggi-
tinggi seolah berteriak, ‘Ini untuk bangsaku!’
Monster yang menyerupai seorang anak bocah tidak sedikit
pun menarik perhatian Tiona, dia mengulurkan tangan dan
menamparnya.
“KYU!”
PLAK! Suara besar dari pipinya ketika al-miraj bermata
lebar berguling kembali ke jalan dan menabrak dinding.
Al-miraj yang tatapannya hampa—Aruru—hilang
kesadaran setelah mencicit lirih. “Kyuuu ….”
Kawan hellhound-nya kabur dari sana dan bersembunyi di
belakang gedung terdekat.
“Sungguh gawat ….!”
Fels berbisik cemas, mengamati medan perang dari atap
gedung partemen tinggi sebelum beraksi.
Satu Xenos, lalu satunya lagi dan satunya lagi dikalahkan
Loki Familia. Bahkan anggota terlemah di belakang Tiona dan
kapten lainnya menunjukkan kekuatan beesar serta kerja sama
hebat tim. Bertarung terus-terusan dari Dungeon lantai delapan
belas tidak ada faedahnya karena lamia, troll, dan harpy terluka
telah mencapai batas fisik mereka.
Sesuatu yang buruk akan terjadi. Segalanya sampai di saat
ini. Menggertak gigi-gigi kerangka dari balik jubah hitamnya,
Fels mendongak dari jalan dan mengamati daerah sekitar.
“Pertempurannya terjadi di Daedalus Street, relatif dekat
dengan Colosseum dan East Main Street ….!”
Sekilas melihat amphitheater yang diapit dua bangunan,
Fels sudah menetapkan pikirannya.
“Maaf, Ouranus … saya menggunakannya!”
Fels menarik tongkat emas dari balik lipatan jubahnya dan
berlari menuju utara.
“… gempa bumi?”
Bruk. Lizardman roboh ke tanah di depannya, dan Tione
menatap kakinya sendiri.
Bete telah mengalahkan gargoyle, dan kini hanya beberapa
monster saja yang masih berdiri, guncangan menjalar ke daratan.
Guncangannya kian kuat—tidak, dekat—dan anggota-anggota
Loki Familia sama terkejut dan tidak percaya saat itu. Kemudian
….
Tanah terbeah dua oleh kekuatan maha kuat dan
terungkaplah massa logam bersinar.
“Wogh?! Apa tuh?!” teriak takjub Tione, diikuti teriakan
terkejut sekutu-sekutunya.
“Monster logam?!”
“Spesies baru?!”
Seperti kata petualang, mahluk itu terbuat dari logam perak.
Tangan dan kakinya lebih tebal daripada monster kategori
biasa. Kepalanya nampak bak gunung mini karena posisi
lehernya dan hanya punya bagian yang terlihat mirip mata.
Sebuah simbol, lebih hitam dari bahasa mana pun, simbol
tersebut tepat berada di atas matanya. Tingginya lebih dari tiga
meder dan juga kurang simetris di kedua sisi tubuhnya, mahluk
itu boleh jadi dirakit dari potongan-potongan logam besar.
Tubuh bengkoknya punya semacam kesamaan dengan flame
rock, jenis monster yang berada di Dungeon lantai dalam.
“Golem … itu barang sihirku sendiri, dikirim ke selokan
setelah insiden Monsterphilia ….!”
Fels ngomong sendiri di ambang keputusasaan,
mengumumkan kartu trufnya.
Sang pencipta dapat menyalurkan energi sihir ke tongkat
dan dapat mengendalikannya dari kejauhan, walau sebagian
besar sosoknya bersifat robotik. Prajurit logam mengemban
instruksi sederhana.
Kombatan loyal tanpa keraguan ataupun jiwanya sendiri—
barang sihir kualitas tinggi memerlukan skill yang hanya dimiliki
Fels yang dulunya dijuluki sang Sage.
Fels menggunakan tongkatnya untuk memerintahkan
prajurit masuk ke dalam pertempuran dan membantu Xenos.
“Apa ini?! Salah satu teman mereka?!”
“Mana kutahu?!”
Tione dan Bete segera menghadapi Golem yang murka,
menyerang dari jarak dekat.
“—Bangke, dia keras!”
“Buatan adamantite?!”
Akan tetapi, ujung kedua pisau Kukri memantul setelah
dihantam, goncangan sepatu bot logamnya yang menabrak massa
padat itu juga menggapai kaki Bete.
“Kau sangat benar ….!”
Fels yang melihat ke bawah dari atas, sedang tersenyum
puas seandainya punya otot atau kulit untuk melakukan
demikian.
Seluruh tubuh Golem telah dibuat menggunakan
adamantite. Bukan adamantite standaran, namun bentuknya
lebih murni dari lantai dalam. Bahkan petualang kelas satu pun
tidak bisa menghancurkannya secara mudah. Dalam skala uang,
nilainya satu miliar valis, kartu as yang Fels sembunyikan selama
berabad-abad.
“!”
Tatkala penyihir itu terkekeh-kekeh di atas, Golem tanpa
ampun menangkis serangan Tione dan Bete sambil menyerbu
para petualang tanpa goresan satu pun. Gerakannya barangkali
kikuk, tetapi bobot dan kepadatan adamantite membuat setiap
ayunan liar lengannya sangat kuat.
Banyak petualang berpikir dua kali sebelum menyerang
sementara yang lainnya dihempas ke angkasa bersama perisai-
perisai mereka. Bete menecakkan lidah, tiba-tiba—
“—Ohhohohoho! Begini yang hebat!” mata Tiona berbinar-
binar, dia menyeringai lebar.
Fels membeku di tempat, menyaksikan gelombang
pertempuran beralih di depan mata.
“Semuanya, menyingkirlah!”
“Idiot itu ….!”
“Hei! Tendang semua monster itu dari jalan!”
Suasana hati Tione menyuram ketika Tiona muncul,
memutar pedang bilah ganda layaknya kincir angin di masing-
masing tangan, dan pun Bete membentaknya. Mereka berdua jadi
bingung.
Teman-temannya juga sama. “Larilah!” “Dia datang!” mereka
saling berteriak, berusaha menyingkir dari Tiona.
Penduduk kota—dan Hestia Familia, masih berada di
tempat yang sama—memandang bingung sekeliling sementara
Finn tersenyum lemah, Riveria mendesah panjang, dan Aiz
merasa sedikit iri saat memperhatikannya.
Golem itu perlahan-lahan berbalik, mendadak dia sendirian
di jalan tak berpenghuni.
Prajurit logam menyerang secara langsung sewaktu Tiona
menampakkan senyum polos pada sasarannya—dan menyerang
dengan senjata bilah ganda.
“Akuuuuuuu datanggggg!”
Setelahnya, singgg!”
“.”
Masyarakat Orario, Hestia Familia, dan para Xenos hanya
bisa menonton.
Bilah besar jatuh dari suatu sudut.
Fragmen-fragmen logam penuh kilauan berserakan ketika
tubuh adamantite itu jatuh ke tanah dengan dentuman keras.
Bertindak sebagai patung terkikis, Fels menatap kosong dua
bagian Golem tersayangnya.
“….!”
“Hah? Ia masih gerak?!”
Krik, krik, krik! Bagian atas tubuhnya yang terpotong mulai
bergerak, mengejutkan Tiona yang mulai menebas lagi.
Cahaya meninggalkan mata Golem seketika bilahnya
memotong simbol di kepala, dan tangannya terjatuh ke tanah.
Prajurit logam menjadi sunyi bak kuburan.
“Oh! Ternyata kepala titik lemahnya! Finn, aku berhasil!”
“Tiona, dasar goblok! Jenderal menyuruh kita membawanya
hidup-hidup, kan?”
“Ah.”
Tegur Tione sambil memukul adiknya seperti sambaran
petir ketika Hryute muda melambaikan tangan. Lantaran
terpaku pada insting barbarnya, Tiona membeku di tempat.
Pedang buatannya, pedang berbilah ganda—dua bilah
kebenasaran di ujungnya—sudah termasuk besar bahkan bagi
standar petualang. Senjata raksasa berkilauan dalam genggaman
Tiona.
Beberapa saat berlalu dan kerumunan yang tadinya diam
kembali bersorak.
“Hah, hahahahaha …. Tidak berguna nyatanya, Ouranus.
Monster sebenarnya tuh mereka ….!”
Setelah terlepas dari kelinglungan, Fels hanya bisa tertawa
kosong.
Campuran kekaguman sekaligus ketakutan telah
menguasai si penyihir sesudah melihat kekuatan sejati Loki
Familia.
Dan saat itu ….
“Finn selalu benar. Taktiknya tepat sekali, seperti biasa.”
“.”
Terdengar suara lirih kurcaci dari belakang Fels.
Dialah Gareth, kapak perangnya sudah siap siaga.
Finn beralasan pastinya ada seorang penjinak—atau
seseorang—yang memulainya, sebab waktu dan koordinasi
kedatangan Xenos tepat betul, dia memerintahkan Gareth untuk
membokong sosok aneh yang mengawasi pertempuran.
“Apa kau dalang para monster?”
“….”
“Kau ini orang atau monster ....? Wah, menyabet jubahmu
harusnya memperjelas semuanya.”
Sang penyihir membeku, tidak dapat menemukan cara
melarikan diri dari sosok maha kuat petualang kelas satu.
Dari balik jubah hitamnya, Fels mengingat sensasi
merinding, walau tidak bisa merasakannya lagi.
“….!”
Teriakan kesakitan Xenos dan sorak-sorai ceria warga kota
di telinganya, Welf menguatkan cengkeraman pedang besarnya.
Hestia Familia belum pindah dari sisi jalan. Mereka tak
dapat mengejar Bell gara-gara Xenos mendadak muncul
menghalangi, tapi paling pentingnya lagi, mereka terkagum-
kagum oleh kerja sama tim dan skill Loki Familia.
Penglihatan penempa muda itu penuh Xenos-Xenos terluka,
berdarah sambil merangkak di tanah. Welf tidak tahan lagi dan
keluar dari tempat persembunyiannya.
“Kau tidak boleh, Welf-sama!”
Lilly melompat tepat di belakangnya, meraih bajunya.
“Lepaskan, Lilly kecil! Kalau begini, mereka akan—”
“Tidak boleh! Situasi Bell-sama masih belum kelar, bila kita
melindungi mereka juga, Hestia Familia akan ….!”
Lilly juga bertarung melawan rasa takut.
Takut akan apa yang terjadi pada familia mereka yang ‘kan
segera dibubarkan juga terhadap kekuatan tak tertandingi
petualang kelas satu, lebih menakutkan ketimbang monster
mana pun.
Welf menggigit bibirnya, melihat Lilly gemetaran sewaktu
dirinya diingatkan persekusi dan sanksi.
“… tidak apa. Pergilah, Welf.”
“Lady Hestia!”
“Bilang saja dewi yang suruh. Pengikut tidak bisa
menentang keinginan dewata mereka, kan? Dewa-dewi selalu
saja mencari hiburan … kalau itu kemauanku, orang-orang
mestinya takkan terlalu membencimu.”
Lilly tidak dapat mengabaikan kata-kata dewi dan belas
kasihnya untuk rekan-rekan Wiene. Melepaskan
cengkeramannya pada Welf, Lilly merogoh kantong barangnya
seakan-akan bertekad membantu perjuangan mereka.
“… aku akan menahan para petualang dengan sihirku.
Gunakan kesempatan itu untuk mencapai Xenos.”
“Nona Mikoto ….”
“Lady Haruhime, berkenankah kau meminjamkan Level
Boost-mu? Terus terang, aku ragu kalau diriku ini sanggup
menahan petualang kelas atas lama-lama ….”
“… tentu saja!”
Mikoto menghampiri Welf, menyarungkan katana-nya.
Haruhime mengangguk tegas.
Semua orang berkeringat kala ketegangan semakin
meningkat, Mikoto dan Haruhime hendak bersembunyi di
belakang bangunan terdekat sehingga sihir renart tidak
ketahuan, ketika itu—
Raungan gemuruh memenuhi udara.
Aiz, Finn, Riveria, Tiona, Tione, Bete, dan Gareth—mereka
semua menghentikan tindakan dan buru-buru pergi ke asal
gemuruh.
Welf, Mikoto, dan seluruh anggota Hestia Familia
membeku terhadap gemetar langit.
“Apa … itu ….?”
Kerumunan yang bersorak-sorai mendadak diam.
Para pejuang Loki Familia tiba-tiba terhenti, bahkan
Haruhime yang non-kombatan pun terdiam, buntut rubahnya
berkedut-kedut, instingnya menyuruh kabur dalam ketakutan.
Hestia yang seorang dewi pun tertegun.
Dum … dum … dum ….
Gema berat nan mengancam juga goncangan bumi
menandakan kedatangan pendatang baru.
Tidak usah melihat pun orang sudah tahu jikalau itu
langkah kaki. Mereka mendekat, perlahan-lahan, dari belakang
dinding yang vouivre dobrak ketika dia datang.
Setiap pasang mata terfokus pada dinding yang masih
diselimuti asap tersebut.
Banyak monster masih berbaring terentang di jalan,
seketika suara-suara lain senyap dari medan perang.
Beberapa waktu kemudian ….
Sebuah bayangan muncul dari balik asap, menghancurkan
puing-puing yang diinjaknya tatkala sosoknya mewujud.
“—Apa-apaan ….?” bisik salah seorang petulanag.
Kulitnya hitam pekat sampai diterka lahir dari perut
terdalam dan tergelap Dungeon. Tingginya lebih dari dua meter
dengan otot-otot segagah batu besar, dia dilengkapi baju zirah
petualang.
Pelindung dada yang hampir tak terhancurkan, pelindung
bahum sarung tangan, pelat pinggang, dan pelindung kaki.
Set lengkap pelat baju besi tidak dapat menutupi seluruh
tubuhnya dan hampir mirip zirah ringan kendati sosoknya
raksasa. Memegang Labrys tinggi-tinggi dengan satu tangan,
pendatang baru mempunyai kapak besar lain yang diikat ke baju
besi bahu. Setiap bilah senjata diwarnai merah darah para
korbannya.
Kedua tanduk di kepalanya berwarna merah.
Pemandangan tersebut mengingatkan kata banteng ngamuk.
Mahluk yang tidak terjelaskan dalam arsip Guild dan
bahkan tidak dikenal Loki Familia—monster tak diketahui berdiri
di depan mereka.
Finn yang senantiasa tenang mendadak membuka lipatan
tangannya dan melangkah maju, tiba-tiba gelisah.
Ibu jarinya mengejang, tangannya sampai gemetaran.
Hoff, hoff. Monster memutar leher tebalnya ke arah Finn, dan
nafas terengah-engahnya menggelitik telinga petualang.
Sewaktu dia melihat para petualang dan monster-monster
yang terkapar—
—dia meraung sekuat tenaga.
“oOoooOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOO!”
Howl sekeras kapal perang menghapus kesunyian.
Para penduduk Daedalus Street satu per satu jatuh ke tanah,
mata mereka berguncang syok setelah mendengar raungan yang
sampai mengangkat debu itu.
“A.”
“Pendukung! Haruhime!”
Lilly dan Haruhime yang pucat pasi tidak berada jauh di
belakang kota, lutut mereka tertekuk sampai terduduk di jalan.
Welf, Mikoto dan banyak anggota Loki Familia tersentak,
berjuang segenap tenaga untuk tetap berdiri tangguh selagi
Hestia menjerit.
Howl yang jauh lebih kuat dari biasanya.
Lagu intimidasi monster yang mengikat mahluk hidup
kepada ketakutan primitif.
Mereka yang tidak layak menghadapi tantangan tersebut
‘kan melumpuh—raungannya menahan korban-korbannya.
Welf dan Mikoto jatuh berlutut. Mereka berdua menatap
telapak tangan mereka yang gemetaran, bahkan Level tinggi pun
tak mampu menyelamatkan mereka dari efeknya. Banyak
petualang dalam jajaran Loki Familia yang hampir kehilangan
tekad bertarungnya, menusuk pedang ke tanah sebagai
penopang.
“….!”
Hanya orang-orang layak yang bertahan di medan, sang
monster menyerbu.
Target pertama bayangan hitam besar yang meroket itu
adalah Tione.
“!”
Tione memelototi monster yang menerjangnya bagaikan
badai malam.
Mengangkat dua pisau Kukri miliknya, dia mengubur
kakinya untuk menahan serangannya sendiri.
“Pergi dari sana, Tione!”
Udara langsung lenyap tatkala mendekat Labrys,
menenggelamkan panggilan putus asa Finn ketika bilah
peraknya melesat lurus-lurus ke bawah—tertanam satu meter ke
bawah kaki Tione.
Terjadilah ledakan dan gelombang kedut, disertai sesuatu
tak berbobot.
Mata Tiona terkagum-kagum.
Kakinya meninggalkan tanah, merampas seluruh
kesempatan tuk menghindar kala debu dan puing-puing batu
membutakannya. Monster itu langsung menghampirinya, tangan
kirinya terayun.
Tione menyilangkan pisau Kukri di momen-momen
terakhir sebagai pertahanan, namun kedua senjata tersebut tidak
berefek apa-apa di hadapan tangan besar monster.
Hancur.
“GhaAHhHH?!”
Serangannya menembus pertahanan dan menabrak sisi kiri
tubuh—sangat mirip dengan nasib Aisha—dan menghempas
Tione ke rumah terdekat.
“Tione?!”
Seluruhnya terjadi dalam sekejap mata. Akan tetapi,
kejadiannya sudah lebih dari cukup untuk merampok semangat
para petualang.
Monster itu berdiri tegak, meraung kepada petualang lain
sebelum teriakan Tiona mencapai telinga mereka.
“UOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!”
Selagi melangkah maju seiring injakannya yang meremuk
tanah, monster mengayunkan tangan kirinya yang terkepal
hingga membuat setengah lingkaran lebar berkekuatan angin
puyuh. Semua petualang yang berdiri di depan Xenos itu tersapu
oleh ledakan dan dihempas jauh, sebagaimana Tione.
Tulang-tulang patah dan batuk darah, para petualang
menabrak sekutu mereka yang kebetulan berada jauh, berteriak
sekeras mungkin.
“UUUUWAHHHHHHHHHHH!”
Tatkala teriakan manusia terbang ke langit, Loki Familia
kehilangan lebih dari setengah pasukan mereka oleh satu sabetan
belaka.
“Kau akan membayarnya—!”
“Cruz, bergerak! Minggirlah!”
Tiona maju, pedang mata duanya terangkat tinggi-tinggi
bersama Bete di belakang, manusia serigala itu mengejek.
Petualang kelas satu menabrak banteng ngamuk selagi
petualang-petualang lain menyeret mereka yang terkena dampak
Howl dan yang terluka ke tempat aman.
Pedang berbilah ganda tidak bisa menahan serangan kuat
Labrys. Tiona yang membelalak berhasil menyerap pukulan berat
tersebut dan melawannya, memberikan kesempatan untuk Bete
agar menyusup dan menyerang kakinya.
Monster itu hilang keseimbangan. Dua petualang Level 6
bekerja sama untuk mendesaknya.
“Elfie, bawa semua orang pingsan ke tempat aman!
Sekarang!”
“Y-ya pak!”
Finn memanggil pengguna sihir memucat yang meringkuk
di formasi belakang. Terkejut oleh perintah langsung jenderal
mereka, wanita itu buru-buru memindahkan badan-badan
tergeletak di tanah tuk mempercepat evakuasi.
“Finn, boleh dukung mereka dengan sihir?!”
“Tidak. Nanti malah menarik perhatian musuh ke kita.
Penghalangmu kelewat kuat, tapi tidak dapat menahan serangan
langsung.”
Riveria mendongak dari posisinya di jalan sewaktu Finn
menundanya sampai evakuasi selesai.
Dengan lingkaran sihir yang menyebar di kaki, elf agung itu
mengubah mantra selesainya ke mode siaga selagi mengerutkan
kening di garis depan, merasa frustasi.
“Black minotaur ….?”
“Sepertinya bukan …. Lebih seperti subspesies black rhino
bagiku.”
Aiz terus menatap monster mengamuk yang hanya sedikit
mempedulikan serangan bertubi-tubi Tiona dan Bete. Finn
tersadar bahwa gadis itu ingin sekali ikut bertarung, mengikuti
tatapannya dan berteori bahwa mahluk itu adalah Abnormal dari
lantai dalam.
Demikianlah, spesies modifikasi sebagaimana monster-
monster bersenjata lain.
“… A-Asterios ….”
Xenos yang jatuh melihat ke atas dari tanah dan menghadap
si bayangan hitam.
Terluka parah, Lido membisikkan nama rekan terakhir
mereka.
“… bangsat, dasar pamer.”
—Di suatu tempat, di tengah tumpukan bata.
Tione muncul dari sana dan meludah darah, dengan santai
merapikan poni yang menghalangi pandangannya.
Lalu matanya kembali menyala.
“Dikira kau ini hebat, sapi bajingan?”
Sepenuhnya mengabaikan tulang-tulang patahnya, dia
meledak murka.
Tiona dan kawan-kawan tidak sempat bereaksi terhadap
raungan geramnya, nyaris seperti suara seseorang, kemudian
Tione terjun kembali ke medan perang, tanpa senjata.
Melewati Tiona dan Bete dalam satu lompatan, dia bergegas
menghampiri banteng mengamuk itu sambil mengangkat tangan
kirinya tinggi-tinggi, menantang hewan itu satu lawan satu.
Monster bergeser dan menyambutnya secara langsung jua,
menarik tinju kiri dan menguatkan kakinya.
“GRRRRRRRRRRRRRRAAAAAA!”
“OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!”
Tiona menghantam tinjunya ke tangan musuh layaknya
logam.
Tabrakannya menggeparkan sampai-sampai penonton
menutup telinga mereka.
Tubrukan spektakuler membuat tinju monster itu tertarik
mundur dan mematahkan semua tulang di tangan Tiona.
Dia mengepalkan gumpalan tangan berdagingnya, patah-
patah, berdarah deras dan melancarkan pukulan lain.
“?!”
Untuk kali pertama dada kuatnya dipukul, banteng itu
terhuyung mundur.
“Kau akan kujadikan daging cincang!”
Tione tidak berhenti.
Termakan kemarahan berapi-api yang menjadi sumber
kekuatan sekaligus bensin serangannya, Tione melepaskan
rentetan pukulan dan tendangan kepada tubuh besar musuh.
Tumit, siku, lutut, kepalan. Selagi rambut hitam panjangnya
menjuntai di belakang bak seekor ular, tarian ganas dari pukulan
fisiknya mengguncang tengkorak bagai logam monster itu dari
kepala hingga kaki.
“—UoooHOoOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!”
Banteng hitam itu tidak bergeming, menerima setiap
pukulannya dan diam saja.
“K-kau sedang apa sih, Tione?!”
“Bacot!”
Tiona memanggilnya walau kena pukul sampai sampai
terhempas jauh, namun Tione tidak menghiraukannya dan
berteriak murka.
Bete dan adiknya lelah menonton.
“Tidak berguna. Dia sudah kesal ….”
Pribadi sejati Tione telah terungkap—wanita itu bahkan
lebih mirip berseker1 dari adik perempuannya.
Serangannya terus berlanjut sampai-sampai kulitnya yang
terkoyak-koyak saat bersentuhan dengan musuh menjulang
tinggi tidak dipedulikan, badannya tetap kokoh sebanyak apa
pun tulang kakinya retak-retak. Sesekali menghindari serangan
balik, dia berniat melenyapkan semua musuh di depannya.
Gelar ular laut sungguh layak dipasangkan dengannya,
rambut berkibar-kibar ke sana-kemari ketika bertarung dengan
sangat ganas.
“SHIIII!”
Lalu, setelah mengelak tangan besar musuh, Tione
mengerahkan seluruh tenaganya ke kaki kiri yang melayang ke
wajahnya.
Serangan penghancuran, bahkan bagi monster dari lantai
dalam.
Tione yang melangsungkan serangan tersebut di udara,
memelototi lawannya dan malah membelalak tak percaya.
Sekalipun kakinya terkubur dalam-dalam di tulang rahang,
black minotaur masih berdiri.
Sial, mahluk ini.
Tione tak punya jawaban.
Seorang petualang takkan pernah punya ketahanan sebesar
itu, ketangguhan yang mustahil entah seberapa keras mereka
berlatih. Bukan hanya pertahanan yang terlampau resistan
hingga dampaknya dapat mematahkan kaki Tione, kedua
kakinya juga masih tertanam kukuh di tanah.
Banteng hitam meraih kaki kiri Tione yang masih menjepit
wajahnya, kemudian dilempar.
“?!”
Tiona membuang pedang bilah ganda dan terjun
menangkap kakaknya persis sebelum menghilang ke balik
dinding. Akan tetapi, tetap tak mencegah kehancuran bangunan
tersebut.
“Kau ini lagi apa?!”
“Menjauhlah! Sudah kubilang tutup mulutmu, bukan?!”
Mereka berdua menembus dinding bersama-sama,
meluluhlantakkannya sembari bolak-balik berdebat. Sementara
itu, Bete beralih melawan sang monster satu lawan satu. Manusia
serigala membanting tembakan tendangan yang kekuatannya
setara Tione, selagi banteng itu meraung dan membalasnya
dengan Labrys. Mereka berdua bergantian menyerang dan
bertahan sampai Tiona serta Tione turut bergabung dalam
pertempuran, argumen mereka sudah sampai caci maki.
Pedang berbilah ganda dan Labrys saling menabrak hebat,
sepatu bot logam menyerang, pukulan-pukulan fisik
menghubung baju zirah monster.
Baik petualang atau musuhnya tidak mundur. Sisa anggota
Loki Familia menatap kagum pertarungannya, selanjutnya
melihat sesuatu.
“I-itu seringai ….”
Senyum ganas terpasang di wajah monster.
Gigi-gigi putih kolosal muncul dari bawah belahan pipi. Tak
salah lagi, banteng mengamuk itu sedang bersenang-senang.
Melawan tiga petualang kelas atas sekaligus dan menelan
serangan tak terhitung jumlahnya tidaklah mengurangi
semangat juang besar yang menyebar ke sekujur tubuhnya.
Banteng hitam mengayunkan kepala dan meraung ganas.
Cuma perasaan, ataukah rasanya seperti ….?
Tiona mulai merinding seketika menahan raungannya dan
mengayunkan senjatanya ke bawah.
Sensasi ini, pernah kurasakan sebelumnya ….!
Frustasi dan mengklik lidah sebab serangannya tidak
efektif, Tione menjauh dari jarak serangan Labrys.
Mahluk ini, seakan-akan ….!
Bete merasa seolah dia bertarung melawan bos lantai mini.
Sepatu bot logamnya mengabur.
Kekuatannya berlebihan
Sama seperti sesuatu yang lain, bayangan yang jauh
mengintai dalam ingatan-ingatan mereka.
Para petualang muda diingatkan seorang pria tertentu.
“….”
Ottar menyaksikan pertarungan yang sedang tayang
langsung di Kota Dungeon dari lantai tertinggi Menara Babel.
“Kau kenal minotaur itu?”
Satu dinding persegi panjang yang keseluruhannya terbuat
dari kaca. Terpasang di depannya, ia menyaksikan seluruh
kejadian dari titik tertinggi Orario, Freya memanggil pelayannya
yang terus terpaku ke Daedalus Street.
“Itu …. Tidak, lagi-lagi …. Mustahil.”
Wajah Ottar tetap tabah sewaktu menghadap depan,
merenung-renung tuk mencari kata-kata yang tepat sebagai
tanggapan pertanyaan dewinya.
Melangkah di samping sang prajurit dan menyesap segelas
anggur di tangan, Freya berpaling dari pertarungan Loki Familia.
Bahkan dari jarak sejauh itu, mata perak dewi tersebut
dapat melihat warna kabur dan garis transparan berkilau-kilau.
Dia vouivre, menyusuri jalan-jalan yang hancur di Kota
Dungeon, dan si bocah sedang mati-matian mengejar.
“Helen.”
“My Lady.”
Seorang gadis berdiri di dekatnya meluruskan postur tubuh
di hadapan panggilan dewinya, namun Freya menahannya dan
melanjutkan.
“Ada kabar dari Alfregg2 dan party yang kukirim ke
Dungeon?”
“Mereka belum kembali.”
“Begitu …. Bisakah kau mengejar vouivre itu bila pergi
sekarang?”
“… saya tidak yakin bisa berhasil tepat waktu.”
Tenang menerima pendapat jujur pengiktunya, Freya
memerintahkan, “Tidak apa. Pergilah.”
Gadis itu membungkuk dan keluar ruangan, Freya berbisik
lirih:
“Tidak kusangka monster-monster seperti ini ada.”
Terpana oleh ketidakpastian dunia, dewi rambut perak
tersenyum selebar mungkin.
“—Sudah kubilang, bocah-bocahku menangkap monster-
monster macam itu.”
Gareth menyipitkan mata ketika pengakuan seorang dewa
laurt ke langit.
“Mereka mencari uang di pasar gelap, tapi ada monster yang
lolos, bisa kau lihat tuh.”
“Kau kira aku percaya itu?”
“Sekiranya kata-kataku tidak cukup, akan kuberitahu
jalannya di bawah Daedalus Street. Kelak kau akan menemukan
kandang-kandang para monster disimpan.”
Ikelus muncul di atas atap bersama Gareth serta Fels
beberapa waktu yang lalu sewaktu kurcaci itu teralihkan oleh
kedatangan seekor banteng hitam. Sesudahnya, dia mulai
menjelaskan keterlibatannya dalam situasi tersebut.
“Lantas, bagaimana kalau melepaskan si Jubah Hitam di
sini, ye?”
“….”
“Getah malang itu tiada hubungannya sama bocah-bocahku.
Hanya kebetulan terlibat dalam semua ini, itu saja.”
Ikelus beberapa kali menunjuk sosok jubah hitam yang
masih mematung, menghadap jauh.
Meskipun Ikelus tidak bohong, dia juga tidak menyatakan
kebenaran. Usai melewati pelatihan selama beberapa dekade dari
ajaran Loki, Gareth dapat membaca maksud seringai Ikelus dan
memaksakan jawaban atas isi pikirannya sejak awal.
“Kalau begitu mengapa kau memberitahuku di sini dan
sekarang ini?”
“Sebab aku kalah …. Wajib menuruti keinginan pemenang.”
Tepat setelah mengatakannya ….
Sosok berjubah hitam itu melompat turun dari atap,
menyelinap kabur di jeda percakapan.
Gareth mendesah tatkala melihat sumber informasinya
melarikan diri tanpa susah-susah mengejar.
“… detailnya akan kutanyakan nanti. Untuk saat ini, kau
ikut bersamaku.”
“Yea, oke deh. Jangan kasar-kasar, ya?”
Mengabaikan ucapan Ikelus serta nyengirnya, Gareth
meraih kerah sang dewa.
Sewaktu pertempuran kian memanas dari sudut matanya,
kurcaci tahu bahwa waktu ialah hal penting dan tak
mempedulikan dewa yang berteriak-teriak selagi dirinya
melayang di udara.
“Kayaknya dia sedang dalam perjalanan.”
“… terima kasih, Dewa Hermes.”
—Bersembunyi di gang belakang, Fels menyaksikan Gareth
menghilang dari atap di atas dan berbalik lalu mengucap terima
kasih kepada Hermes yang berdiri di depannya.
Hermes bukan hanya mengamati pertempuran dari tempat
aman di atas menara batu, dia juga memperhatikan pendekatan
Gareth di belakang Fels dan meyakinkan Ikelus untuk campur
tangan pada negoisasi walau satu pihak saja yang diuntungkan.
Tahu bahwa sang penyihir adalah tangan kanan Ouranus, dia
menyelamatkan Fels dengan mempersembahkan sesama
dewanya sendiri.
“Aku bisa bilang apa? Segala halnya sekarang, kami
memerlukan kekuatanmu untuk melewatinya, Sage.”
“… saya pergi sekarang, Dewa Hermes.”
Penyihir berjubah hitam itu kedengaran malu-malu, tetapi
sang dewa pesolek mengangkat bahu saja.
Namun Hermes tahu bahwa tidak usah lagi basa-basi dan
langsung ke pokok pembahasan.
“Baiklah, Fels. Sebagai cara berterima kasih atas
penyelamatan hidupmu, aku punya permintaan …. Bell sedang
sendirian. Tolong bantu dia.”
“Tapi … bila mana saya pergi sekarang, Xenos ….”
“Berkat black minotaur itu, semuanya bakalan beres, betul?
Dan setahuku, Pemberani itu ingin menangkap mereka hidup-
hidup. Tentunya hal terburuk dari yang terburuk takkan terjadi
hari ini.”
Hermes hati-hati menyusun argumennya.
Beberapa waktu berlalu dalam keheningan berat, lalu dewa
pengantar pesan itu menyipitkan mata di balik pinggiran
topinya.
“Ada banyak hal yang ingin kusembunyikan juga, tahu?
Kuyakin tangan kanan Ouranus pasti mengerti.”
“….”
“Memang tidak akan menebus kesalahan masa lalu …
dapatkah kau menyanggupkannya untukku?”
Hermes bersandar dekat dan membisikkan sesuatu di
samping tudung penyihir yang terdiam itu.
Fels butuh waktu sejenak untuk memikirkannya sebelum
mengulurkan tangan kepada Hermes.
Selanjutnya beberapa bola hitam yang lebih kecil dari
okulus, jatuh dari sarung tangan hitam ke telapak tangannya.
“Ini untuk keadaan darurat semata. Hancurkan saja bila
ingin menggunakannya.”
“… dimengerti. Aku Hermes bersumpah atas namaku.
Lulune.”
Hermes menyerahkan bola-bola itu kepada gadis manusia
anjing yang muncul dari dalam gang.
Melihatnya menghilang, Fels berangkat sesuai kehendak
Hermes.
“Bell dan monster naga itu menuju selatan. Aku bertaruh
mereka sudah keluar dari Daedalus Street, barangkali pergi ke
suatu tempat dalam Pleasure Quarter yang lagi rekonstruksi.”
“Dimengerti.”
Sesudah Hermes mengutarakan sesuatu yang diketahuinya
dari puncak menara, Fels mempercepat kepergiannya menuju
tenggara.

ΣΟΦΌΣ
Pertarungan berlanjut.
Adu serangan antara petualang kelas satu dan black
minotaur telah mencapai puncak. Satu langkah maju, satu
langkah mundur. Ofensif dan defensif saling bergantian setiap
detik berlalu dalam gerakan maju-mundur nan epik sementara
petualang-petualang lain melongo. Akan tetapi, pihak petualang
unggul jumlah. Seketika Tiona dan Bete mengabaikan amarah
Tione kemudian menunjukkan sedikit kerja sama tim, monster
itu mulai terpukul mundur.
Sebagaimana gelombang pertempuran yang nampaknya
mulai memihak mereka ….
Langkah monster berikutnya mengubah seluruh alur
pertempuran.
“WOOOOOOOOOOOOOOOO!”
Pukulan lain menabrak baju besinya, black minotaur
merogoh belakang bahu kanannya.
Kelima jemari gemuk itu menggenggam gagang kapak
logam yang memanjang.
—Kapak Ganda?
Dihadapkan prospek perubahan gaya tempur, ketiga
petualang melihat setiap gerak-gerik black minotaur dengan
mata panik.
Yang pertama menyadari bahayanya bukan dari jajaran
Loki Familia—dia Welf.
“—Kita menjauh dari sini, sekarang!”
“Eh?!”
“Minggir saja!”
Mendepak efek terakhir Holw, Welf menghendaki
tubuhnya maju, mengambil tubuh tak sadarkan diri Lilly dan
meraih tangan Hestia. Mikoto membawa Haruhime dalam
tangannya di belakang, Welf berlari cepat ke arah lain, ke
tempat Riveria berdiri sambil mengangkat tongkatnya di
hadapan pasukan Loki Familia.
“!’
Otot-otot tangan dan bahu berdenyut-denyut, tangan
kanan sang monster mengayunkan kapak berlumuran
darahnya ke bawah.
Sewaktu terhubung pedang berbilah ganda Tiona—
guntur menjelma.
“””?!”””
Kilatan cahaya menelan Tione bersama senjatanya, Tione
dan Bete di kedua sisinya pun tersapu gelombang kejut.
Krak! Arus listrik menari-nari di bilah yang menghajar
trio petualang tersebut.
Lapisan darah meledak, dan emas sejati senjata tersebut
terungkap.
Tiona, Tione, Bete, dan seluruh Loki Familia tersadar
detik-detik itu bahwasanya senjatanya adalah kapak sihir.
Wajah Finn berubah, Aiz menakjub, Riveria
menyiagakan tongkatnya dengan kecepatan luar biasa berkat
kemampuannya sebagai pengguna sihir. Welf yang
memprioritaskan familia sendiri menggertak gigi sedangkan
anggota-anggota lain Loki Familia masih berada di medan
perang, membeku ketakutan.
“OOOOOOOOOO”
Masih terombang-ambing oleh sengatan listrik
mendadak, ketiga petualang yang mati rasa menyaksikan
tangan kanan si hitam raksasa mengayunkan kapaknya lagi.
Senjatanya menjulang tinggi ke langit. Mahluk buas itu
menyiapkan serangan lain tuk menghempas semua musuh-
musuhnya.
Finn berteriak, Riveria merapalkan sihirnya hampir
sesaat itu juga.
“Riveria, penghalang!”
Saat anggota terakhir Hestia Familia terjun ke dalam
lingkaran sihir ….
Sihir Riveria—sebuah penghalang kubah besar—
terbentuk.
“—ooOOoOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!”
Howl mengoyak udara sekaligus gelombang kejut
menerpa.
“—kurang ajar kau!”
Bete memaksa kakinya yang kesemutan terangkat ke
udara dan menghantamnya langsung ke senjata sihir. Baut-
baut petir meledak begitu sepatu bot logamnya menyentuh
senjata black minotaur.
Cahaya kuning menyilaukan menenggelamkan
padangan sekitar. Setiap baut melesat maju layaknya banyak
kepala hydra, taring elektrik yang merobek-robek jalan dan
mengubah lingkungannya menjadi putaran pusaran
kehancuran. Berada dekat ledakan tersebut jelas saja bahwa
bukan cuma Tiona, Tione, dan Bete, namun para petualang
lain di jalan tidak sempat menghindar. Mereka semua
terjebak dalam rangkaian elektrik itu.
Ledakan petir terus maju sampai penghalang Riveria.
Duar! Dampaknya memancarkan lidah api massif. Barikade
lampu hijau melindungi penduduk kota yang tak sadarkan
diri, pengguna sihir muda, Finn, Aiz, dan Welf hanya dapat
gemetar semata.
Kala telinga mereka pulih dari ledakan, kesemuanya
menunggu asap terangkat … hanya mendapati reruntuhan
total di depan mata mereka. Setiap rumah dan bangunan yang
dulunya berjejeran telah hancur lebur, ibarat trotoar batu
terukir cakar-cakar naga, dan tubuh terbakar membara para
petualang tersebar di segala penjuru.
Seakan kiamat telah tiba, namun ajaibnya mereka semua
masih bernafas.
“K-kesemutan ….! Aku lumpuh!”
“Sial ….! Tidak bisakah kau menampung seluruh efeknya,
dasar werewolf laknat!”
“Mau kuhancurkan kepalamu, Amazon nista ….?”
Tepat sebelum ledakan terjadi, Bete memposisikan
tubuhnya di garis depan sebagai pemblokir ledakan jarak
dekat dengan mengedepankan sepatu bot logamnya—mithril
tersebut menerima listrik kapak sihir—dan mengurangi
kekuatannya besar-besaran.
Tapi jelas saja, dia tak bisa memblokir seluruh
serangannya.
Setelah meluncur di udara dan berguling-guling
melintasi puing, tiga petualang kelas satu yang terbakar parah
jatuh terlutut di sudut jalan. Hanya mereka yang masih
sanggup bergerak, namun masih saja saling menyumpah
biarpun terluka parah.
Sekalipun berhasil bertahan dari ledakan dalam keadaan
utuh, percikan api membakar tubuh mereka bak duri yang
menyala-nyala, tak satu pun dari ketiga orang itu yang bisa
bergerak dari tempat.
“….”
Terlepas dari monster yang berdiam diri di sisi timur,
tiada bayangan pun yang tersisa dari bangunan di jalan
tengah tempat minotaur berdiri. Segala sesuatu di barat sama
sekali tidak dikenal.
Finn menyipitkan mata ketika memperhitungkan
kehancurannya, melirik gunung-gunung puing dan monster
yang menatapnya.
“Lupakan perkara tangkap mereka hidup-hidup.”
Rambut emas berdesir di kepalanya, jenderal prum
membuka mulut untuk berbicara.
Tukasnya dari tempat, sendirian di atap:
“Lakukan, Aiz.”
Tiba-tiba, bruk!
Jelas suara sepatu bot menginjak tanah, ksatria
berambut pirang bermata emas mendarat di punggung
monster.
“Dimengerti.”
Rapalan lirih terurai dari bibirnya seketika menarik
saber peraknya.
“Bangkitlah, Prahara.”
Suara indah terdengar di tengah tiupan angin.
Mantra pemicu yang terlampau singkat mengaktifkan
sihirnya.
“—VUOOOOOO!”
Punggungnya rentan, minotaur cepat-cepat berbalik dan
mengayunkan senjata sihir di tangan kanannya.
Ksatria rambut pirang mata emas melihat bilah berlistrik
mendatanginya dan melirih:
“Airiel.”
Angin berhembus.
Tatkala angin menyelimuti tubuh Aiz, dia menebas maju
dengan kecepatan membutakan.
Bilahnya—menusuk lengan kanan musuh.
Waktu berhenti bagi Hestia Familia, Xenos, dan black
minotaur.
Bilah angin berjarajar mengirim senjata sihir bersama
sebagian besar lengan kanan monster. Berdistorsi di udara
sampai membanting bilahnya ke bongkahan batu pecah dan
pegangannya tetap lurus ke atas.
Energi listrik berdenyut di tanah bawah kaki ketika
monster raksasa tersebut terhuyung mundur.
Saat minotaur menjerit ke langit, darah menyembur dari
sisa lengan atas si mahluk, semua bagian dari siku sampai
ujungnya telah hilang.
Terlindungi arus angin di sekitar tubuhnya, Aiz seratus
persen menghindari air mancur darah. Setiap tetesnya
terhapus.
Sihirnya adalah Airiel.
Sihir angin yang meningkatkan atribut fisik dan senjata
pengguna.
Mereka yang bukan familianya, Welf, Mikoto dan
bahkan Hestia hanya memahami itu.
—Aiz Wallenstein.
Satu-satunya mahluk selain para petualang yang tak
terpengaruh oleh Howl, Hestia terkesima oleh penampilan
agung si gadis waktu itu.
Putri Pedang. Aiz Wallenstein.
Nama dan identitas sejatinya terkemuka. Ksatria wanita
terkuat Orario.
Idola Bell.
Terliputi angin, rambut pirang tertiup semilir-semilir
udara bagaikan peri dari kisah pahlawan, dia teramat cantik
sampai-sampai Hestia merasa layak bila dirinya diakui si
bocah.
Satu-satunya sesuatu yang tak terpengaruh Howl
monster mengguncang medan tempur, gadis itu
mengayunkan pedangnya ke udara.
“OOOOOOOOOOOOOOOO!”
Mata Minotaur membelalak terbuka, mengayunkan
Labrys-nya ke bawah sebagai serangan balik.
Serangan yang secara permanen menghilangkan banyak
petualang dari pertarungan. Alat eksekutor sang monster
bergerak.
Namun Aiz menggetoknya hanya dengan sentakan saber
tipis.
Tidak ada waktu berbangga-bangga atas kesuksesan
memotong lengan musuhnya, ataupun mengurangi
kewaspadaannya.
Aiz menatap monster terheran-heran itu, mata emasnya
menyipit.
“Aku datang.”
Menyerang dengan kekuatan penuh, pedang juga angin
saling bersatu menciptakan melodi tersendiri.
“AAAAHHH!”
Seri serangan tiada henti, tanpa ampun sama sekali.
Aiz mengukir tubuh tinggi lawannya, menebas-nebas
dari sudut yang tak terhitung jumlahnya secara bersamaan.
Tebasan diagonal ke bahu, melengkung ke atas,
berputar-putar, menebas ke bawah—minotaur satu tangan
tidak sanggup menahan semuanya. Celah-celah terbuka di
kulit hitam binatang buas tersebut amat tangguh, garis-garis
di sekujur baju besi tebalnya menutupi tubuh seiring
pergerakan black minotaur.
Menghadapi badai bilah, untuk pertama kalinya
minotaur melangkah mundur.
“Kau tahu, sihir Aiz sungguh tidak adil!”
“Kau baru sadar, otak otot ….?”
Bergerak lebih cepat dari Bete menyerang lebih keras
dari Tiona, menusuk lebih sering dari Tione.
Gadis Amazon yang tidak bisa turut bergabung,
menyaksikan dalam sedih. Di sebelahnya, manusia serigala
mengklik lidah frustasi pada sesuatu yang membuatnya
dikenal sebagai Putri Pedang: kekuatan yang dilimpahkan
kepadanya oleh angin.
Monster itu berusaha membela diri dan balas
menyerang. Aiz menyerbunya, bilah mereka saling
berbenturan.
Saber menyerang kapak. Tidak ada percikan api di udara,
hanya tiupan angin semata. Arus yang berdentuman kepada
minotaur pantang menyerah jauh lebih kuat dari biasanya,
memungkinkan teknik curang Aiz mendaratkan tiga
serangan padahal musuhnya hanya mengayun sekali.
Aiz menambah kecepatan.
Wajahnya tanpa emosi, Aiz hanya fokus pada minotaur
sembari menolak semuanya.
Ketepatan serangannya menajam, seakan-akan memaksa
lebih memfokuskan kesadarannya, dikembangkan lebih-lebih
lagi daripada sebelum-sebelumnya.
Darah keluar dari tubuh besar musuhnya oleh setiap
tiupan angin dan kilasan perak.
“I-itu ….”
Kendati sudah terpikat, Hesita masih syok saat
menontonnya, wajahnya berkedut-kedut sambil menelan
ludah.
Mikoto hampir sama, pucat pasi bagai hantu dan
suaranya menggetar:
“Itu … Putri Perang.”
Dia pernah mendegar julukan itu dari suatu tempat.
“Putri Perang.”
Pembunuh monster berkulit seorang gadis. Dia yang
berdiri di puncak gunung mayat hewan buas. Tak kenal
takut, berkeliaran di perut terdalam Dungeon tanpa lelah.
Welf, dan anggota-anggota Loki Familia lain, melihat
gadis magnifisen sambil merasa kagum walau takut ketika
dirinya menari-nari di tengah pancuran darah, sekalipun
anginnya bertindak sebagai tameng dari semprotan darah itu.
Angin mengeret lebih keras dalam pertempuran.
“!”
Tubuh besar itu goyah. Musuh mulai tidak seimbang.
Apalagi terluka, minotaur itu menampakkan kelemahan.
Aiz memanfaatkan titik butanya, merasa sangat bertekad.
Menghentak tanah secepat-cepatnya hingga mengubah
trotoar batu menjadi kerikil di bawahnya, Aiz menyalurkan
semua kekuatannya ke dalam serangan diagonal, membidik
bahu sebagai serangan penghabisan untuk selamanya.
“OOOOO!”
Akan tetapi, langkah musuh selanjutnya mengejutkan
Aiz.
Tersadar bahwa tidak akan sempat menahan dengan
Labrys, minotaur malah menggunakan kepalanya—tanduk
perkasanya. Proyektil merah tua membelokkan serangan
saber Aiz yang terselimuti angin.
Melihat gadis yang mendadak tanpa pertahanan,
minotaur menjejakkan kaki ke tanah dan mengayunkan
Labrys sekuat tenaga.
“?!”
Angin menderu.
Kekuatan tipis mahluk itu menyayat badai yang
melindungi bilah perak.
Terperangah oleh kekuatan maha kuat, kaki Aiz
memahat trotoar sebelum akhirnya berhenti dan memeriksa
pedangnya.
Senjatanya bergetar, sihir angin benar-benar telah
dihancurkan.
Tangan Aiz mati rasa setelah menahan dampak besar dan
tidak lagi mampu mempertahankan cengkeramannya pada
gagang. Di sisi lain wajahnya masih tanpa emosi, mata
emasnya sedikit terbuka lebar lanjut menatap sesuatu di
depannya.
Huff! Huff! Minotaur bersimbah darah yang sedang
terengah-engah itu tersenyum.
Bahkan kini, sang monster masihlah ganas, keji, dan tak
kenal takut.
Alis Aiz mengerut, matanya membeliak.
“Bangkitlah, Prahara.”
Sekali lagi Airiel menelan lengannya yang kesemutan,
secara paksa mengencangkan cengkeramannya dengan
kekuatan angin.
Minotaur melolong kepada musuh kuat dan pantang
menyerahnya, mengayunkan kapak ke jalur serbuan Aiz.
Bilah mereka saling bentrok dan pertarungan dimulai
lagi, alhasil menghempas mundur Hestia Familia dan para
penonton, mendadak ….
“HAHHH!”
“GOOH?!”
Sewaktu Aiz mulai merasa unggul, pertarungannya
diinterupsi.
Dia Gareth, berlengkapan baju besi berat. Akhirnya
kembali ke pertempuran, kurcaci yang menurunkan Ikelus di
atap bangunan terdekat sambil mengeluh-ngeluhkan: ‘Bocah-
bocah zaman sekarang, aku bersumpah ….’ lalu Gareth melompat
turun di belakang minotaur dan mengiris punggungnya
dengan kapak perang besar.
“Aiz, serangan dua arah.”
“… tapi Gareth, aku—”
“Kau membahayakan kami semua. Perkecil egomu—
benar ‘kan, Finn?”
Tombak panjang menjawab pertanyaan Gareth setelah
melesat ke arah monster.
“….?!”
“Betul. Lagipula, aku tidak perlu kau di sini, Gareth.”
Sesudah mengambil kembali tombaknya, Finn melempar
lagi, lantas mengangkat bahu tatkala tombaknya menusuk
bahu minotaur. Perkara dia mempermasalahkannya pada Aiz
atau tidak, untuk sementara waktu mengesampingkan
tugasnya sebagai komandan perang untuk bergabung daam
perangnya sendiri.
Masih ditatap tegas, Aiz enggan mengangguk. Tiga
petualang kelas satu penuh pengalaman mengepung
minotaur.
Monster itu masih hebat bertarungnya sekalipun
lukanya kronis, namun tak lama kemudian … bruk!
“….!”
Sosok berdarah, babak belur, dan memar-memar itu
berlutut.
“Asterios ….!”
Lido meringis seketika melihat sang black minotaur
jatuh terlutut di depan para petualang serta saber perak,
kapak perang besar, dan tombak mereka.
Demikianlah saudara sekaum terakhirnya tidak bisa lagi
bertarung. Merasa Xenos lain seperti Gros dan Rei mulai
mendekat sembari memelototi punggung para petualang—
tiba-tiba entah dari mana, tiga bola hitam dilempar ke tengah
jalan.
“!”
Membuat kontak dengan trotoar, memuntahkan aliran
asap hitam.
Mata Lido, Gros, dan Rei seketika menyala dan tersadar.
Barang sihir Fels.
“!”
“Tabir asap ….!”
“Asapnya, menyebar cepat!”
Aiz, Finn, dan Gareth tertegun ketika mendapati asap
yang berputar-putar tidak hanya menghampiri mereka,
namun juga menelan seluruh medan.
Beberapa detik setelah petualang kelas satu, Lido dan
dua rekannya bertukar pandang, menyatukan sisa-sisa
kekuatan terakhir, dan semuanya bergerak berbarengan.
“….!”
Gargoyle itu meraung.
Xenos-Xenos lainnya mulai bergerak sewaktu raungan
mencapai mereka, minotaur segera melihat ke atas.
Walau raungan berisiknya masih mendengung dalam
telinga, siren mengudara dan memancarkan gelombang suara
kuat nan luas.
“””?!”””
Dinding suara hanya menargetkan petualang kelas satu.
Ketiganya membeku di tempat, siap siaga melawan serangan
yang datang dari belakang.
Penglihatan juga aura perasa.
Mereka mungkin petualang kelas satu, namun akan
terbutakan sesaat jika pandangannya tertutupi dan suara
mengganggu.
Aura Minotaur-nya ….!
Menghilang.
Terbatasi asap yang menghalangi penglihatan,
telinganya juga diserang, Aiz tak percaya sewaktu hawa
kehadiran monster besar itu seperti menghilang dalam
kegelapan.
“Aku melihatnya ….!”
—Sedangkan, ingatan Hestia berkobar-kobar tatkala
menyaksikan asap hitam membanjiri jalan, menyembunyikan
Aiz dan petualang-petualang lain.
Kali pertama ia bertemu Fels dalam malam terang bulan,
semata-mata beberapa hari sebelumnya, asap serupa mengalir
keluar dari lengan sosok berjubah hitam sebelum sang
penyihir membawanya ke hadapan Ouranus. Bola hitam lain
terjatuh ke depan kelompok Hestia sekejap kemudian,
menutupi seluruh area dalam asap hitam.
“!”
Tak dapat mendengar suara Finn ataupun Gareth
dikarenakan gelombang suara yang memekakkan telinga, Aiz
memutuskan menggunakan Airiel sendirian.
Aliran udara di sekelilingnya meningkat dalam
kecepatan tinggi dan membersihkan asap sekitar beberapa
waktu kemudian.
Kala kabut menyebar, layaknya hewan yang bersemayam
dalam kabut yang mulai mundur cukup jauh. Minotaur telah
menghilang tanpa jejak.
—Jangan dendam, ya!
Sesaat kemudian ….
Sewaktu Aiz dan kawan-kawan petualang lain muncul
dari kedalaman kabut dan masuk garis pandang Lido, ia
menggembungkan dadanya sebagaimana balon dan
dihembuskan semuanya. Aiz, Gareth, dan Finn teralihkan
perhatiannya oleh minotaur yang menghilang lalu perlahan-
lahan menghadapi ancaman baru tersebut, sayangnya mereka
terlambat.
Api keluar dari mulut Lido.
“Lizardman bernafas api ….?!”
Aiz mengabaikan tutur Gareth yang terheran-heran dan
melingkarinya dengan dinding tameng angin. Sayang sekali,
mereka bukan target Lido.
Lizardman memindahkan kepalanya ke samping diikuti
nafas api, menyulut si jago merah di mana-mana.
“?!”
Angin Aiz sendiri takkan cukup melindungi bangunan
tempat tinggal di kedua sisi api.
Meskipun daerah kumuh, banyak pula benda mudah
terbakar kalau-kalau cepat tersentuh api. Material-material
kayu dan produk batu sihir tersulut, mengubah seluruh blok
menjadi neraka di depan mata mereka.
“GROOOOOOOOOOOO!”
Siren bersama lizardman menghentikan serangan
kemudian berlari tatkala suara gargoyle bergema menembus
hiruk-pikuk.
Monster-monster lain sudah meluncur lewat gang
belakang, Xenos sudah mundur sepenuhnya.
“….!”
“… kita kekurangan pasukan. Cruz dan yang lainnya
mesti diutamakan.”
Finn tampak dikalahkan ketika memerintahkan Aiz
untuk tetap tinggal tatkala dia hendak mengejar. Termasuk
mereka bertiga, sangat sedikit petualang yang masih bisa
bergerak.
“Apa yang terjadi di luar sana ….?!”
Riveria berdiri diam, memastikan bahwa penghalang
yang melindungi penduduk kota tetap kokoh di tempat.
Dia tidak bisa begitu saja mengabaikan sihir karena
kabut hitam menutupi visinya dan mencegahnya merangkum
situasi terkini—kekhawatirannya barangkali malah menjadi
senjata makan tuan. Orang-orang yang dia tugaskan untuk
dilindungi menjadi belenggunya.
Tanpa orang yang mengatur pergerakan setelah Finn
bergabung ke lini depan, Loki Familia kehilangan keunggulan
ofensif.
Para petualang buru-buru kembali berkumpul seketika
Finn balik mengambil mandat. Gareth menghampiri Tiona,
Tione, dan Bete sebelum menjemput Ikelus dan mengantar
mereka semua ke tempat aman. Aiz juga turut dalam upaya
penyelamatan. Tuk menanggulangi api, penyihir tak terluka
ikut bergabung bersama Riveria dalam pembekuan daerah itu
dengan sihir es dan memanggil aliran air sehingga apinya
padam. Bahkan Hestia Familia pun yang tak dapat memihak
antara Xenos atau Loki Familia, terjun langsung.
Kerusakannya dapat dicegah sejauh satu blok dalam
waktu sepuluh menit saja berkat usaha para penyihir. Apinya
telah seratus persen dihapus.
Pilar-pilar asap hitam menjulang tinggi di jalan batu, kini
semuanya menjadi puing-puing hangus tandus.
“Finn, bagaimana minotaur-nya ….?”
“… dia di bawah tanah.”
Aiz berjalan murung di tengah jalan menuju Finn yang
tengah memandang tanah.
Trotoar batu telah rusak terbuka dari bawah sampai
membuat lorong menuju daerah bawah.
“Apa ini ….?”
“Lubang yang ditinggalkan raksasa logam itu. Si monster
bisa jadi lewat sana untuk memasuki jalan selokan.”
Aiz terkejut pada lubang tempat golem Fels muncul.
Memang, ada jejak darah yang mengarah ke kegelapan di
balik lubang hangus terbuka. Monster hitam telah
menghilang ke dalam celah selama kekacauan terjadi.
“… mestikah kita mengejarnya?”
“Ya, kejarlah … namun mengingat betapa bagusnya
pelarian mereka, pikirku monster bersenjata ini cukup
cerdas. Tolong jangan kejar mereka sendirian.”
Finn mendesah seraya menjawab pertanyaan Aiz,
menyadari bahwa tangan putus minotaur juga menghilang.
Sedikit waktu berlalu sebelum para petualang dan
karyawan Guild datang terbirit-birit.
Dalam sekejap orang yang terkena Howl menerima
medis di sekelilingnya, Finn menatap langit dan
merenungkan kekeliruannya.
“Yang tadi sebuah kesalahan …. Aku gagal.”


Raungan ganas monster, ledakan eksplosif, dan terlebih lagi,
cerita-cerita para penduduk kota yang kabur dari distrik labirin
mengacaukan Orario yang tadinya mulai tenang.
Ketika Royman dan seluruh manajemen puncak lain Guild
memucat dan menurunkan perintah kepada semua familia, para
petualang tumpah-ruah ke Daedalus Street di distrik ketiga kota,
sebelah blok tenggara.
“Kehh ….!”
Matahari terbenam hampir menyinging dinding kota,
membakar setengah wajah seorang anak.
Bell berlari.
Mati-matian mengejar vouivre yang menghancurkan segala
sesuatu di jalannya.
“Wiene!”
Teriakan Bell tidak menggapai tangisan gadis naga saat
dirinya maju ke depan.
Menerobos dinding dan berlari menaiki tangga, gadis naga
dan Bell merengsek keluar dari distrik serumit Dungeon,
meninggalkan pemukiman kumuh di belakang.
“Ehhh ….! EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEHHHH!”
“Hei, kau—petualang! Sebelah sini! Sini!”
Sekelompok manusia hewan sering menjerit dan tersebar ke
semua arah begitu mereka mendapati monster ganas itu.
Meninggalkan Daedalus Street berarti mereka sedang
menyusuri jalan-jalan kota yang lebih sibuk, membuat keributan
dan teriakan-teriakan ngeri. Wanita berpakaian seperti pelacur
memanggil seorang petualang.
Bell saat itu kian resah.
“Wiene, berhenti!”
“AAAAAAAAAaaaaaaaaaaa!”
Dia melompat mendekatinya berkali-kali sewaktu melewati
Kota Dungeon, dia mendekapnya dan alhasil dijauhkan oleh
tubuh bak ular Wiene. Tangan Bell sudah luka-luka dan
berlumurah darah karena berusaha mempertahankan sisik tajam
si gadis. Memanggil-manggilnya terbukti percuma, membuat
misi pengembalian permata garnet menjadi mustahil.
Bell menempel ke tubuh bagian atasnya yang mungil, urat
nadi kejang-kejangnya tak henti-henti melemparnya bagaikan
boneka kain sampai terpisahkan oleh tanda jalan dan sekali lagi
berguling-guling di tanah. Saksi mata menjerit, takut akan nyawa
Bell.
Kutukan Dix seharusnya sudah terangkat ….!
Namun rona merah keji masih belum menghilang dari mata
Wiene.
Kutukan Dix harusnya terlepas. Namun demikian, amukan
gadis naga itu masih resistan.
Meski darah mengalir di wajah Bell, dia melirik luka tusuk
berantakan di tangan kiri Wiene.
—Tombak yang menusuknya.
Walau kebetulan, kemungkinan besar serangan tombak
Finn sangat-sangat membuatnya traumatis.
Pengingat akan tombak Dix, tawa ejeknya, kejahatannya.
Kutukan eksistensinya takkan hilang.
“Di sana! Tepat di sana!”
“?!”
Tidak mampu menghentikan Wiene, para petualang satu
per satu mulai bermunculan.
Awalnya mereka ragu-ragu, melihat vouivre menggila, yang
mana merupakan monster kategori monster seperti lamia,
menyerbu mereka. Akan tetapi, para petualang tetap
mengangkat senjata, bertekad untuk tidak membiarkan Wiene
mendekat.
Tali-tali busur berderit oleh panah yang disiapkan, jari-jari
menggenggam lembing, perhiasan di tongkat mereka berkilauan.
Bell berteriak sampai-sampai tenggorokannya sakit, kepada
petualang-petualang yang berbaris dan berdiri menghalangi
mereka.
“BERHENTI—!”
Namun, teriakan Bell tenggelam oleh sorak-sorai perintah
petualang yang mulai menyerang.
Lembing menusuk ekor naga, panah menusuk bahunya,
sihir api menerpa langsung. Sisik-sisik rusak tak terhitung
jumlahnya berjatuhan dari badan Wiene.
Raungan melengking terdengar darinya.
Menggeliat kesakitan oleh serangan tanpa ampun penjaga
kota, dia mempercepat usahanya untuk melarikan diri dari
ancaman.
Wiene membungkuk pada para petualang di jalurnya.
“….!”
Bell menggertakkan gigi keras-keras sampai nyaris patah.
Semakin banyak musuh berkumpul di jalur vouivre, Bell
menampik perselisihan dan keraguan di benaknya dan
mengulurkan tangan ke arah mereka.
“Firebolt!”
Satu Swift-Strike Magic menyongsong ke para petualang
yang bersiap-siap menyerang.
“Apa-apaan?!”
“?!”
“WAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!”
Di kaki mereka, menuju baju besi mereka, ke tubuh mereka.
Neraka listrik tersulut, menerbangkan mereka ke dalam
ledakan api.
Terus mengekor Wiene, Bell mengitari mereka yang
harusnya merupakan sekutu, para petualang.
“Pemula Kecil, dasar kau pukimay!”
Petualang berwajah merah panas meneriaki Bell ketika
baut-baut petir mengganggu serangan mereka.
Petualang kelas bawah, atas, bahkan familia mereka tidak
jadi masalah. Semuanya mendidih pada seorang anak muda yang
menghalangi mereka.
Wanita dan anak-anak yang penasaran mengintip dari
lantai-lantai bangunan yang berjejeran di jalanan, menyaksikan
aksi barbar Bell.
Dia gilakah? Sampai segitunyakah menginginkan drop item? Apa isi
kepalanya di saat-saat seperti ini? Masing-masing kritik teman
petualang membekas dalam ke hati sampai tangannya
gemetaran, namun Bell tetap merapalkan sihir. Melindungi
vouivre, sambil mengejarnya.
Pengejaran tiada akhir hinggap di arena terbaru, zona
rekonstruksi Pleasure Quarter.
Bekas wilayah Ishtar Familia, lokasinya rusak parah selama
serangan Freya Familia sampai mengusir jauh mantan pemilik
bisnis itu. Banyak bangunan masih mengemban bekas luka hari
itu, tumpukan puing masih bersebaran bahkan di Pleasure
Quarter. Warga dilarang menginjakkan kaki ke daerah tersebut.
Rumah bordil berdiri kacau, barel berantakan dan debu
menutupi jalan-jalan. Belit Babili yang vakum akan kekuasaan
terlihat seperti kota kastil kosong nan sepi.
Mereka berdua berjalan menyusuri puing-puing yang
memenuhi jalan.
Sekelompok petulang di depan telah mengepung,
menunggu Bell dan Wiene tepat di jalur mereka.
“….?”
Ting! Bell seketika tahu ada yang tidak beres.
… mereka tidak menyerang?
Senjata diistrirahatkan, bahkan suara pengejar mereka
lenyap.
Para petualang semata-mata berdiri menghadang jalan
Wiene atau barangkali menakutinya dengan menembak senjata-
senjata mereka, namun serangan tersebut berhenti sejauh mata
Bell memandang.
Seolah-olah mereka telah menyerah ….
—Tidak, bukan itu persoalannya.
Si bocah langsung merinding begitu mencabut hipotesis
meyakinkannya.
Mereka memancing Wiene ….!
Sedetik kemudian Bell langsung pucat pasi.
“Wiene, jangan pergi ke sana!”
Dia dipancing ke perangkap.
Tiada lagi yang penting baginya begiu menyadari itu, lalu
berteriak sekeras mungkin.
Seorang manusia bersama kurcaci memegang perisai besar
yang disiapkan di jalan mereka. Vouivre membelok, berlari
menelusuri jalan berbeda tuk menghindari blockade orang-
orang. Bell menggapai-gapai ekornya, namun panah melintas
persis di depannya, membuang kesempatannya.
Panah tersebut ditembakkan manusia hewan di atas atap
terdekat seolah bilang, ‘Jangan menghalangi.’
“….?”
Lantas harapan Bell terbukti sia-sia.
Gang-gang redup cahaya tiba-tiba terbuka ke area luas
penuh penerangan matahari terbenam.
Layaknya mangkuk, tanah terbuka yang dikelilingi cincin
puing.
Gadis monster menerobos gerbang besi, menghancurkan
jeruji kuat-kuat dan tanah roboh di bawahnya, vouivre itu jatuh
ke bawah.
Trotoar batu bergoyah dan terjadi deretan kerusakan-
kerusakan yang menjalar hingga ke tempat Wiene yang persis
berada di tengah-tengah. Dari segala arah banyak petualang tak
terhitung jumlahnya berdiri di tepian untuk melihat
kejatuhannya.
Banyak petualang telah berkonspirasi bersama—antar
familia.
Jantung Bell berdebar lebih cepat sewaktu melihat banyak
penyihir bersiap melepaskan mantra yang telah mereka siapkan.
Bell terjun ke tanah kosong tanpa melewatkan satu langkah
pun.
“Pemula Kecil! Mundur!”
“Kau gila, ya?! Kau bakal mati!”
Petualang-petualang meneriakkan peringatan marah
kepada anak yang baru mendarat itu.
“Tidak masalah! Lakukan sajaaaaaa!”
Seorang pria yang nampaknya tidak tenang dalam
kekacauan itu berteriak entah dari mana, suaranya
menggerakkan segalanya.
Kilat-kilat energi sihir tak terhitung meledak setelah
rangkaian mantra dirapalkan secara simultan.
Proyektil-proyektil ditembakkan langsung ke tengah.
Mata Wiene menyusut, wajahnya terang sekejap sebelum
cahaya menelannya bulat-bulat.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!”
Ledakan sihir memupus jeritan Wiene si monster.
Wiene menghilang di tengah deru angin.
“!”
Bell berlari maju.
Api berkobar, listrik menyebar, angin dingin mengguncang
tubuhnya bolak-balik tatkala berusaha menembus ke tengah-
tengah tanah terbuka.
Tidak peduli sehangus apa kulitnya, sedesis apa rambutnya,
atau malah tubuhnya terbakar es, Bell merengsek maju
menjangkau gadis di pusat pusaran energi sihir.
Jeritan tanpa kata tersembur dari paru-parunya.
Waktu melambat sampai terlampau pelan hingga
membuatnya mual.
Terjebak dalam dunia tanpa waktu, Bell mengulurkan
tangan.
Persis di sana, di tengah energi sihir yang berkedip=kedip,
terdapat seekor monster naga tanpa sisik yang sedang menatap
langit.
Asap mengepul dari seluruh tubuhnya, rambut biru
keperakan berayun-ayun selagi sosok warna abunya mulai
membusuk.
Sekilas mendapati anak lelaki yang mendekat, mata
kosongnya menatap dan bibirnya merakit satu kata:
Bell.
“!!!”
Bell mendorong tangannya ke depan sekuat tenaga dan
hampir mau meraihnya, namun tiba-tiba—
Ujung tombak merah menembus dadanya.
Rudal tersebut dilempar dari belakang Bell.
Bilah terkutuk yang menyimpan dendam mendalam.
“HAH! Hyahahahahaha! AHAHAHAHAHAHAHAHAHA!
Berhasil! Aku menyelesaikannya!”
Seorang laki-laki bertubuh besar tertawa terbahak-bahak
seperti orang sinting.
Separuh wajahnya hilang, kekeh manusia itu mulai
menggerakkan waktu lagi.
Tubuh gadis yang tertusuk mulai sedikit memiring di
hadapan mata Bell.
“—Wiene!”
Tepat ketika teriakan menangis anak itu terdengar—tanah
mulai tampak.
“Apa itu?!”
“Sesuatu runtuh!’
Tanah terbuka itu hancur di tengah, titik fokus pusaran
sihir.
Batu-batu mulai menghilang dari bawah kakinya, lalu Bell
jatuh tepat bersamanya.
Meraih gadis yang ditelan kegelapan dan mendekapnya.

Σπήλαιο

Para petualnag dan penyihir melindungi wajah mereka dengan


tangan, tanpa bergerak mengamati kejadian di bawah.
Sebuah gua.
Awan debu membumbung ke udara.
Lubang menganga terbuka di tengah-tengah area bak
mangkuk, membuat daerahnya menyerupai sarang semut
terbalik buatan manusia. Dum! Krak! Beberapa pecahan batu
terjatuh ke dalam lubang seolah-olah menyadari kejadian
barusan.
Dirancang oleh Daedalus sendiri, jalan rahasia di lorong
yang saling bersilangan di bawah Pleasure Quarter. Salah satu
jalur bawah tanah, berarti sejak awal ruang di bawah daerah
tempat Bell jatuh memang kosong. Tak sanggup menahan
hantaman sihir, trotoar batu telah runtuh sendiri.
Beberapa petualang membersihkan tenggorokan mereka,
mengisi keheningan.
Bocah dan vouivre terjun bebas jauh ke dalam lubang dan
menghilang tanpa jejak.
“Hahahahahahahahaha!”
Ada seorang manusia besar di antara mereka, tertawa-tawa
mirip orang gila.
Dialah Gran dari Ikelus Familia. Pemburu terakhir yang
masih hidup menggunakan kunci untuk kembali ke permukaan
melalui tangga Knossos dan termakan kemarahannya sendiri,
melempar ujung tombak Dix ke Wiene.
“Kau lihat itu, Dix?! Aku membunuh mahluk itu, kubunuh
sampai mati! Aku, aku yang melakukannya!”
“!”
Cakar gargoyle yang menukik dari langit menghancurkan
pria sinting.
Gros menyaksikan suar bersinar dari udara setelah
melarikan diri dari Loki Familia dan memimpin monster
bersayap itu menuju tempat terbuka tersebut. Ketika itulah Gros
melihatnya.
Gargoyle yang sepenuhnya yakin telah mengakhiri
kehidupan para pemburu, berdiri di tengah jeritan banyak
petualang dan menengok ke lubang tempat Bell dan Wiene
terjatuh, ia gemetaran.
“OOOOOOOOOOOOOOOOOOO!” “Monster terbang?!
Apa yang membuatnya sebal?!” “Bangsat, ayo cabut!”
Para Xenos menggila.
Sisa-sisa kekuatan terakhir dalam tubuh terluka parah
mereka, kesemuanya mengejar para petualang yang berteriak
untuk mundur sepenuhnya.
Semuanya biar seorang bocah dan monster perempuan itu
dapat menghabiskan saat-saat terakhir mereka tanpa gangguan.

Κόρη

Desiran pasir dan puing-puing berjatuhan di sekeliling mereka


bak jam pasir sebagai alat penghitung sisa waktu.
Batu dan puing-puing terowongan bawah tanah gelap
mengelilingi mereka.
Langit merah memandang Bell yang memeluk tubuh lemas
lunglai seorang gadis dari lubang di atas kepala mereka.
“Wiene … Wiene?!”
Matanya berkaca-kaca, dia memegang kepala tombak
terkutuk yang menyangkut di dadanya.
Kutukan telah menjangkit daging. Menarik bilah lengkung
terkutuk dari tubuh si gadis, Bell membuangnya dan terdengar
bunyi dentang kosong.
Tubuh biru muda itu bergerak-gerak.
Bell menarik permata garnet dari kantongnya dan ditekan
ke dahi perempuan itu.
Walau hanya secercah sinar samar di batu kemerahan, gadis
di tangannya tidak bergerak.
Malah—buk!
Ekor panjang naga menjadi abu.
“….?!”
Jauh dalam luka tombak di dadanya ….
Kristal ungu berdarah yang hanya terlihat dalam celah itu
retak-retak.
Tubuh bagian luarnya menjadi abu, lenyap ketika
retakannya menyebar.
“Tidak …. Jangan!”
Bell terus berteriak, menangis layaknya anak kecil.
Jangan, jangan begini—jangan pergi. Dia mengulangi kata yang
sama berkali-kali.
Aliran air mata tak berkesudahan tertetes jatuh dari
matanya yang tertutup rapat, pindah ke pipinya sewaktu Wiene
terbaring lemah dalam pelukan Bell.
“… Be … ll?”
“!”
Mata Bell terbuka lebar seketika mendengar bisikan
lemahnya, tak lebih dari nafas semata.
Wiene masih terjaga. Cahaya kembali ke mata kuningnya,
mengintip dari balik kelopak matanya yang pecah.
Pipinya masih solid dan terbentuk.
Menatap Bell, begitu lemah sampai bisa-bisa berakhir kapan
pun jua.
“Wiene ….!”
“… Be … ll …. Aku … minta maaf.”
Suara seraknya menyampaikan permintaan maaf, fokus
pada wajah berdarah Bell.
Kala suara pupus abu semakin jelas di telinganya, Bell
menggeleng kepala berulang-ulang.
Tertawa di tengah tangisannya sambil tersenyum hingga
tak bisa dianggap kemurniannya.
“Aku baik-baik saja, tidak apa, jadi … jangan khawatirkan
aku, hanya ….! Tolonglah, Wiene—!”
—Jangan menghilang.
Bell menguatkan cengkeramannya di bahu Wiene,
memohon sepenuh hati.
Gemetaran, Wiene menempelkan pipinya ke dada bocah
itu, tersenyum seakan-akan semuanya ‘kan baik-baik saja selagi
air mata menggenang dari mata kuningnya.
Fyuhh … suara lirih dari dadanya ketika perut naganya roboh
ke lantai.
“… aku … bermimpi.”
“Kau bermimpi ….?”
Hanya tubuh menyerupai manusia Wiene saja yang masih
bertahan ketika menatap mata Bell yang melebar.
“Tidak ada orang … yang mau menyelamatkanku …
menakutkan sekali.” dia berubah menjadi abu dalam pelukannya.
Waktu-waktu terakhir hidupnya, Wiene mengangkat
tangannya yang gemetar.
“Tapi, tahukah kau?”
Dengan lembut menyentuh pipinya, hancur saat melakukan
kotak. Suaranya hampir-hampir tertutup isak tangis, Wiene
melanjutkan: “Kali ini … seseorang datang …. Seseorang
menyelamatkanku.” mata Bell terbuka selebar-lebarnya. “Aku
sungguh senang ….”
Dia menutup mata, satu air mata transparan mengalir di
pipi.
Bibirnya terbuka, namun satu mimpi, satu hasrat kecil,
memeluknya erat-erat.
Di saat itu, seluruh tubuh si gadis tidak biasa.
Tubuhnya larut.
Wujudnya menjadi tak dikenal lagi.
“Terima kasih,” ucapnya kepada anak yang terkejut.
Sembari menangis, senyum mekar di bibirnya.
Kemudian ….
“Bell … aku mencintaimu.”
Dia telah tiada.
Dia hancur.
Abu memutari jemari Bell.
Kehangatannya lenyap sudah.
Waktu membeku ketika air mata bisu mengaliri pipi Bell.
Abu melayang pelan di sekelilingnya, berkilauan dalam
cahaya yang memudar membawa ingatan Wiene dalam kepala
Bell.
Pertemuan mereka.
Ketakutan.
Kesedihan.
Kekalutan.
Sentuhan.
Terima kasih.
Nama.
Kegembiraan.
Senyuman.
Pelukan.
Air mata.
Di tengah abu yang berjatuhan dari dadanya, hanya permata
indah kemerahan yang tetap utuh.
“Agh, aghhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh—”
Hatinya hancur.
Sebuah lubang telah terbuka dalam inti dirinya.
Kerongkongannya gemetar, namun sesaat sebelum ratapan
melanjuti ….
“Wahai wilayah tak terajamah, wahai dinding terlarang. Kini pada
hari ini, aku membalikkan hukum surga—”
“Tongkat Asclepius, Piala Salus. Wahai engkau yang melampaui
kekuatan penyembuhan—aku menghendakimu tuk menanti.”
Seketika lingkaran sihir putih meluas. Energi sihir yang
berkelap-kelip melangkahi bidang pemahaman manusia.
Bell yang membelalak menyaksikan Fels merapalkannya
dengan suara keras.
“Penghakiman Tuhan, petir keyakinan. Aku ‘kan terbakar, sebab
menolak takdir-Mu”
Energi sihir putih yang menerangi terowongan bawah tanah
meledak sampai menembus lubang di atas, membentuk pilar
putih yang menjulang hingga surga.
Semua orang di Orario, monster dan orang, mendapati sinar
yang menembus senja.
“Cahaya itu—Fels?!”
“….?”
Rei dan Gros sukses mengusir para petualnag dan sedang
membawa Lido yang terluka parah di Pundak mereka. Lizardman
itu melirih tak percaya ketika ketiganya menatap cahaya terang
yang berasal dari celah-celah trotoar di bawah kaki.
“Lady Hestia!”
“Seorang dewi disuruh pulang ….? Tidak, tidak!”
Hestia sedang memeriksa kondisi familianya sewaktu Welf
menarik perhatian sang dewi dengan menunjuk pilar cahaya.
“Finn ….”
“Dari Pleasure Quarter …. Bell Cranell—bukan, vouivre-
nya?”
Petualang Loki Familia turut menatap langit.
“Kau menggunakannya sekarang, Fels ….?”
Seorang dewa keriput menutup matanya.
“Cahaya itu, sudah berapa kali aku melihatnya?”
Seorang Dewi Kecantikan berambut perak tersenyum
dari titik terjelas di puncak menara raksasa.
“Sesuatu yang besar akan datang ….”
Demikian ucapan seorang dewi yang rambutnya sinabar 3
merah duduk bersila di atas atap.
“Benar-benar sebuah keajaiban.”
Seorang dewa menyipitkan mata yang tertutupi topi
musafirnya.
“—Aku berkenan pergi menuju dunia orang mati tanpa penyerta.”
Tempo lagu mencepat.
Lingkaran sihirnya bersinar lebih terang, wajah Bell dan
si jubah hitam menghilang ditelan cahaya putih.
“Gerbang Charon4, menyebrangi sungai waktu. Pinjamkanlah
telinga engkau, wahai Tuhan. Dengarkanlah melodi gila ini.”
Gema, nada agung. Harmoni ilahiah.
Juga perbuatan berdosa yang ditentang hukum bumi.
“Tangisan tak berkesudahan, ratapan tiada akhir. Harganya telah
terbayar.”
Sihir tabu yang rapalannya betul-betul panjang.
Mampu merubah takdir yang telah ditentukan, teknik
rahasia yang sanggup menentang kebenaran absolut tak
terubah.
“Wahai jalan cahaya. Kupinta engkau untuk mengorbankan masa
lalu kemudian rapallah cahaya kepada hasrat bodoh ini.”
Sihir kebangkitan yang hanya dilimpahkan kepada Sage
tua.
“Ya, diriku takkan berpaling.”
Rapalannya selesai, energi sihir berada di tingkat
tertingginya.
Sebuah permintaan yang ganjarannya seluruh Pikiran
Fels.
“Dia Orpheus.”
Pilar cahaya mulai beruraian.
Diganti jutaan fraktal cahaya yang membanjiri lorong
bawah tanah.
Gemerlap kilau-kilau putih layaknya salju berjatuhan.
Mata Bell yang terpantulkan kilauan tengah melebar saat
suara bernada tinggi memenuhi udara, dan serpihan-serpihan
kilaunya mulai berputar ke satu titik.
Terakhir, cahaya biru lembut dari balik lingkaran sihir
berputar ke dalam dada Bell.
Pilar cahaya hancur beberapa waktu selanjutnya yang
seperti suara kaca pecah.
Bell secara refleks memejamkan mata untuk melindungi
sepasang pupilnya dari kilatan cahaya yang memutihkan
dunia dalam sekejap, berguncang tatkala berat dan
kehangatan kembali ke dadanya.
Perlahan-lahan, sambil berhati-hati, Bell membuka
matanya seolah sedang berdoa … ia mendapati seorang gadis
naga menutup mata dan meringkuk di dadanya.
“Aaah.”
Tangisan lirih tertutur dari Bell seiring mengaburnya
penglihatan dan meletakkan tangan di pipinya.
Dingin. Tapi hangat. Dia merasakan detak lembut. Gadis
itu bernafas.
Dia punya empat anggota badan lentur bak tubuh
manusia. Hilang sudah sayap naganya, dan tumpukan abu di
lantai kelihatan lebih minim daripada sebelumnya.
Permata kemerahan yang tertanam di dahinya mulai
bersinar, menyorot mata Bell.
“… Itu … adalah kesuksesan pertamaku.”
Gedebug! Terdengar bunyi gebrakan tepat setelahnya.
Penyihir berjubah hitam jatuh ke lantai di belakang Bell,
seluruh energi dan tekadnya telah habis.
“Delapan ratus tahun, belum ….? Betapa kumendengki
sihir sia-sia, harapan tidak berguna yang mencuri seluruh slot
Statusku selama ini ….”
Mata mereka berdua saling bersilangan, yakin
bahwasanya dia dapat merasakan senyuman dari balik
tudung tersebut.
Penyihir itu mendongak, menatap ruang kosong.
“Tapi … ada gunanya juga.”
Air mata jatuh dari mata Bell pas menyaksikan Fels
berjuang merakit kata-kata tersebut.
Bocah itu lanjut mengalihkan perhatiannya ke si gadis,
merasakan kehangatan pipinya sekali lagi—memeluknya
seerat mungkin.
Setetes air mata terjatuh dari kelopak mata tertutup
Wiene.
Φέλς

Matahari tenggelam ke barat.


Pilar putih yang menusuk langit telah lenyap tanpa jejak.
Dunia sejenak terlingkupi warna putih cahaya, namun kini
terbungkam. Senja kini kembali menghampar Orario,
menyisakan warga kota yang kebingungan serta bisik-bisik para
dewata.
Di sudut perkampungan kumuh di bawah bayangan menara
putih ….
Finn menerima laporan terbaru di bawah penerangan
cahaya sore.
“Maaf, Finn …. Pipa air pecah di tengah jalan … alhasil kami
menghentikan pengejarannya.”
“Monster bersayap yang muncul di Pleasure Quarter juga
menghilang ke dalam selokan di bawah halaman hancur …. Tidak
pula ditemukan jejaknya.”
“Begitu …. Bagaimana dengan Bell Cranell? Vouivre?”
“Dia masih menghilang. Akan tetapi, tempat ia terjatuh
bersama vouivre … kita menemukan jejak darah yang nampaknya
merupakan abu monster.”
Finn tidak bilang apa-apa, menggerakkan lidahnya ke
sepanjang ibu jari sembari mendengarkan laporan Aiz dan
Riveria.
Sudut matanya, ia memperhatikan reaksi Aiz terhadap
informasi Riveria dan menambahkan, “Baiklah, terima kasih,”
sambil mengangguk. Jenderal prum itu membubarkan dua orang
wanita dan menolehkan pandangannya ke medan perang.
“Ujung-ujungnya mereka berhasil kabur ….”
Lirihnya sambil mengamati tata kota yang kebakaran dan
luluh-lantak.
Akhirnya, ia menitahkan perintah baru kepada Loki
Familia, yang sedang sibuk merawat luka petualang lain dan
menyelamatkan orang-orang dari reruntuhan.
“….”
Aiz memperhatikannya dalam diam lalu menatap tangannya
sendiri, kemudian mengarahkan kepalanya ke ufuk.
Matahari merah hampir menyingsing ke bawah kota yang
takkan tersentuh cahaya senja.
“Wiene, Wiene ….!”
“S-syukurlah ….!”
Mereka sampai di pintu masuk dalam saluran drainase yang
letaknya lebih dalam ke jaringan-jaringan kota.
Tersembunyi di balik pintu jebakan, terowongan tersebut
rupanya besar dan mirip-mirip sebuah area di bawah jembatan.
Firasat Bell bilang dia pernah ke sana sebelumnya, sayang tidak
tahu kapan.
Bell, Fels, Wiene, dan seluruh Xenos yang berhasil
melarikan diri sejauh ini disembunyikan oleh kanal drainase,
lokasinya masih jauh di luar jangkauan para petualang.
Lido, Gros, dan Rei, sekaligus lamia juga troll, semuanya
berkerumun mengepung Wiene di depan Bell. Walau dia masih
belum bangun, Xenos-Xenos lain gemetar dan menangis bahagia
seketika melihat rekan mereka aman dan tidur nyenyak.
“… Fels.”
“Apa yang mengganggumu, Bell Cranell?”
Bell ingin mengajukan pertanyaan kepada si penyihir, yang
lagi berdiri di luar kerumunan Xenos sepertinya.
“Apa hanya segini saja Xenos yang kembali dari permukaan
….?”
“Tidak, masih ada Xenos yang belum berkumpul. Kau
mungkin tak tahu, tapi ada banyak yang terpisah selama mundur
dari Loki Familia dan masih bersembunyi di kota, atau ….”
Tutur Fels menggantung di udara, Bell menutup mulut.
Jari Bell dapat menghitung para penyintas Xenos di
depannya. Mengkhawatirkan keselamatan semua monster yang
bergegas terjun langsung ke dalam pertempuran untuk mengulur
waktu demi dirinya atau Wiene.
Tersesat dalam pemikiran sendiri, Bell kembali fokus pada
Xenos-Xenos yang mengelilingi Wiene.
“Bell Cranell ….”
Masih kelelahan dari rapalan mantra sebelumnya, Fels
berbicara dengan suara lemah lembut selagi sandaran di dinding.
“Boleh tanya apa yang membuatmu sebal?”
Fels buru-buru melangkah maju, mendesak isi kepala si
bocah sambil memandang sedih Xenos-Xenos.
“….”
“Berkat perjuanganmu mereka diselamatkan. Tidak bohong.
Wiene pun juga. Aku berterima kasih.”
“Aku ….”
“Menyesali keputusanmu, benar?”
Menyesali tindakan yang kau pilih?
Demikianlah pertanyaannya, tetapi lebih seperti tersirat
ketimbang diucapkan.
Bell mulai menggelengkan kepalanya, tapi kemudian
berhenti dan menatap tanah seraya menjawab.
“Orang itu … petualang yang memakai kacamata google
mengatakan sesuatu padaku.”
Seorang pemburu tirani yang menangkap-nangkap dan
menyiksa Xenos.
Bell mengulangi kata-kata Dix.
“Bahwa … aku ini hipokrit.”
“….”
Pria berkacamata itu menyatakan demikian sambil
menertawakannya.
Mengklaim bahwa keputusan Bell hanyalah kata-kata indah
belaka, mimpi absurd, sebuah kepalsuan semata.
Tidak lebih dari kelelawar yang mengepak-ngepak ke sana-
kemari, tak dapat mengambil keputusan
—Dia benar.
Bell habis-habisan berusaha agar tidak diusir orang-orang
sekaligus membantu para monster.
Menjadi target kebencian Loki Famiia.
Menyerang petualang lain dengan sihirnya.
Bell ingat semuanya.
Mengkhianati begitu banyak orang sambil berusaha
menyelamatkan si gadis.
Bersebrangan dengan idolanya, menjauhkan sekutu-
sekutunya.
Bell bahkan membuang cita-citanya untuk menjadi seorang
pahlawan sesuai ajaran sang kakek. Dia sungguh dekat tuk
meninggalkan seluruhnya.
Perasaan tidak berdaya besar yang menanti-nantikannya di
akhir semua kejadian.
Sebab tanpa bantuan Fels, Xenos lain, Lyu, dan kawan-
kawan, Bell takkan sukses menyelamatkan Wiene.
Tidak mampu melindungi atau menyelamatkan siapa pun—
seorang hipokrit.
Tawa pria itu bergaung di telinganya sekali lagi.
“….”
Fels mendengarkan jawaban anak itu sambil membungkuk.
Melangkah jauh dari dinding, Bell dihampiri seorang
penyihir.
“Bell Cranell, ini semata-mata teori saja …. Sekalipun teori,
aku menganggapnya seperti ini: Mereka yang dikritik sebagai
hipokritlah yang memiliki kualifikasi penting untuk menjadi
pahlawan.”
Mata Bell membeliak terbuka, setelahnya dia mendongak.
“Dimohon teruslah merasa resah, sedih, dan ragu ketika
hendak membuat keputusan, seperti hari ini.”
“Fels ….”
“Para pahlawan wajib membuat keputusan yang sesekali
kejam, berdarah dingin, dan tidak kenal kata maaf … tapi
keputusan-keputusan itulah yang paling mulia.”
“Lantaran jawabanmu—sebagaimana pahlawan-pahlawan
zaman dulu—tidak salah, entah sekeras apa caci maki atau
kritiknya.”
Tukas Fels telah menyentuh hati terdalam Bell. Dia tidak
bisa merespon maupun menjawabnya.
Perlu mengerahkan segalanya biar emosi yang bergelora
dalam hatinya terkendali.
“Biarkan aku berbicara sebagai seseorang yang telah
kehilangan daging dan kulit. Aku, yang seorang penyihir hanya
mempunyai tulang dan penyesalan, kukatakan ini kepadamu.”
Tengkorak berumur panjang dan berjubah hitam akhirnya
mencapai kesimpulan:
“Jadilah orang tolol, Bell Cranell.”
“….”
“Kaulah yang mesti melakukannya. Yang kau pegang
barangkali bodoh bagi kami …. Akan tetapi, kuyakin hal itu
taklah tergantikan di mata para dewa-dewi.”
Fels melangkah ke samping, memungkinkan Bell melihat
monster-monster lagi.
“Bell, terima kasih banyak ….!”
“Maaf, Bellucchi …. Dan terima kasih!”
“… terima kasih. Kau … kuucapkan terima kasih.”
Penglihatan Bell mulai membayang di hadapan perasaan-
perasaan monster yang tidak dapat sepaham dengan orang.
Untuk kali terakhir menatap gadis naga yang sedang
tertidur itu, tenggorokannya bergetar.
“Banyak orang yang menunjukkan belas kasih juga ikatan
aneh bersama kami para Xenos persis sepertimu …. Kendati
begitu, hanya kaulah yang benar-benar peduli dan
menyelamatkan mereka, seperti saat ini.
“Makasih.”
Bell melihat kakinya sesudah mendengar ucapan terima
kasih itu.
Punggung si pemuda menghadap ke matahari terbenam,
sinar terakhirnya melukis merah langit selagi membelai pipinya.
Kau tidak harus bangga.
Kau boleh meragukan diri sendiri.
Tapi jangan pernah menyesal.
Sebab kehidupan yang diselamatkan oleh seorang hipokrit bodoh
berada di depanmu.
—Merasa seakan-akan sinar merah tersebut meminjam
suara kakeknya dan berkata demikian.

Catatan Kaki:
1. Berserkers (atau berserks) adalah prajurit Norse yang
ditemukan terutama dalam literatur bahasa Islandia yang
berperang dalam keadaan trans, ciri khas yang kemudian
memunculkan kata bahasa Inggris berserk (mengamuk).
Para prajurit ini ini akan sering pergi ke medan perang tanpa baju
bersi. Berserkers dibuktikan dalam berbagai sumber-sumber Old
Norse, seperti Ulfhednar (mantel-serigala).
2. Alfrigg adalah nama salah satu dari empat kurcaci yang
disebutkan dalam Srila laáttr yang membuat Brísingamen
kalung Freyja.
3. Cinnabar atau Sinabar adalah jenis mineral mercuric sulfida
yang memiliki warna merah tua atau coklat terang. ...
Cinnabar terbuat dari senyawa yang disebut merkuri sulfide
atau mercuric sulfide. Rumus kimia senyawa ini adalah HgS.
4. Dalam Kitab “OVID, METAMORPHOSES 10”, Orpheus
memasuki dunia bawah bukan melalui Acheron, tetapi
melalui Styx yaitu gerbang Taenarus, terletak di tanjung
Tainaron (juga dikenal sebagai Cape Tenaro atau Tanjung
Matapan) dari ujung selatan Yunani di Peloponnese.
Dulunya Tanjung Matapan bernama Tanjung Malea. Menurut
mitologi Yunani, mengutip dari kita “OVID,
METAMORPHOSES 10” seseorang yang meninggal akan ke
akhirat melalui sungai Stynx dengan bantuan Charon si tukang
perahu yang harus dibayar dengan koin emas sebelum akhirnya
menuju Tartarus atau akhirat. Hal ini mirif adegan dalam film
Hercules. Di Matapan ada sebuah gua yang dipercaya sebagai
penghubung menuju neraka.
Dalam kisah mitologi Yunani, Orpheus ingin menyelamatkan
istrinya yang berada di neraka, Eurydice maka ia melewati
sebuah gua di Tanjung Matapan untuk pergi menjemput istrinya
di neraka. Kepercayaan orang Yunani bahwa Hercules pernah
melalui gua yang sama untuk menuju ke neraka tanpa harus
meninggal terlebih dahulu.
Volume 10 Epilog
Konsekuensi Keputusan

Penerjemah: DaffaTERCINTAAAAA
Dia berjalan menyusuri jalan-jalan kota yang dicerahkan
matahari barat.
Langit masih berdarah. Bell berpisah dengan para Xenos dan
kini dalam perjalanan pulang di Daedalus Street.
Walau rasanya menyakitkan untuk pergi meninggalkan
Wiene yang masih tertidur, dia menyerahkannya kepada Xenos-
Xenos lain.
Publik akan lebih dari curiga bila melihat Bell bersamanya.
Fels turut bergabung bersama kelompok Lido untuk membantu
Xenos lain yang tersebar di permukaan.
Bell berjalan sambil menundukkan kepala, biar tak menarik
perhatian.
Dia tiba di salah satu jalan bak teka-teki di distrik utama
tempat Hestia Familia dan Loki Familia masih berada. Bell tak
bisa pulang begitu saja ke rumah dan membiarkan segalanya
tanpa kabar.
Bell mesti melihat dengan mata kepala sendiri kejadian
sebenarnya, konsekuensi keputusannya.
Tidak ada yang menyorakinya di jalanan—namun
situasinya berubah drastis tatkala sampai di sana.
“….?!”
Para karyawan Guild bergegas menghampiri orang-orang
terluka yang tersebar di tanah. Beberapa dinding rusak yang
tampak tidak asing. Orang-orang di daerah itu mulai
memperhatikan si bocah pucat pasi yang sekadar lewat sambil
lihat-lihat.
Warga kota, petualang, dan karyawan Guild
memelototinya.
Dialah bocah yang mengutamakan keserakahan, melindungi
monster, dan mengejarnya semata-mata hanya demi uang,
mereka diam-diam bergosip dan hatinya merasa dendam.
“Woi, Bell Cranell. Kau dapat permata naganya?”
“Kenapa kau melakukannya ….? Loki Familia bertarung
hebat demi kami.”
“Pemula Kecil petualang hebat … pantat lu!”
Biarpun tidak lama sebelum orang-orang yang pernah ia
temui mulai melampiaskan amarah kepadanya.
Tidak sama sekali menyembunyikan penghinaan tiada
ampun kepada bocah yang lagi susah payah berjalan.
Kedengkian, kebencian, keputusasaan.
Tidak pernah dihadapkan oleh emosi manusia segelap itu,
nafas Bell tercekat dalam tenggorokannya.
Nama Pemula Kecil, yang terkenal semenjak kemenangannya
dalam Permainan Perang, telah jatuh sejatuh-jatuhnya.
Ketenaran dan harapan tinggi telah hilang sepenuhnya oleh
satu aksi semata. Keduanya adalah sama-sama sebuah sisi ganda
dari satu koin. Satu sisi berarti kepercayaan, satunya
kekecewaan.
Bell telah mengkhianati mereka semua. Koinnya takkan
pernah terbalik.
Ketika mendapati kemarahan orang-orang yang terluka oleh
perbuatannya, tangan gemetar Bell merasa dingin selagi bertahan
dan terus mendesak maju.
Kemudian ….
Bell tiba-tiba terhenti saat tiba di jalan.
Trotoar batu terbelah-belah dan hancur di mana-mana.
Gunung-gunung puing menempati ruang letak rumah-rumah
dahulu berdiri. Semuanya hanyalah sisa-sisa dari pertempuran—
demikianlah konsekuensi keputusannya.
“Bell ….”
Hestia berdiri di sisi jalan. Welf dan Mikoto bersamanya.
Lilly serta Haruhime terlihat sakit secara fisik. Membuat hati Bell
terasa sakit.
“….”
Aiz berada agak jauh. Menatap Bell bersama Loki Familia
yang menghantui di belakangnya. Sementara beberapa sibuk
bekerja, ada juga yang mengamati Bell. Bocah itu menelan ludah.
“….!”
Lalu, beberapa karyawan Guild mulai kelihatan, bersama
penampakan medan pertempuran utama.
Di tengah seluruh tatapan berbisa tersebut, seorang wanita
melihatnya dan buru-buru menghampiri.
Rambut coklatnya berombak, mata hijau zamrud terlihat
dari balik kacamatanya, telinganya menjelaskan bahwa ia adalah
setengah elf.
“Nona … Eina ….”
Eina berhenti tepat di depan bocah yang kebingungan.
Tatapan menusuknya disertai kerutan dalam, ekspresi yang
belum pernah dilihat Bell sebelumnya.
Tidak ada yang berani mendekat.
Semua orang di sekitar mereka berdiri hening, kesunyian
berdengung-dengung di telinga Bell.
Eina perlahan membuka mulut.
“Kau membahayakan banyak orang demi alasan egois. Kau
bahkan menyerang petualang lain. Benarkah itu?”
—Itu tidak benar.
Bell hendak berkata begitu.
Dia cuma ingin Eina menganggapnya kesalahpahaman
belaka.
Sayangnya, dia tidak bisa menjawab apa-apa demi Wiene—
demi semua Xenos.
Kepala Bell menunduk dan menjawab.
“… ya.”
Sejenak kemudian—Plak!
Dampak jelas itu memberikan sensasi sakit di pipinya.
Mata terbelalak kaget, dia mendongak. Eina berdiri sambil
mengulurkan tangan kanan dan mata berair—dia murka.
“Aku tidak percaya padamu ….!”
Selanjutnya air mata mengalir dari pupil zamrudnya.
“Aku takkan sanggup … mempercayaimu ….!”
Menangis, Eina memeluk Bell.
Dia tahu petualang itu bohong, dia pun berang sebab
menyembunyikan kebenarannya, sedih terhadap keengganan tuk
mengungkapkannya kepada Eina.
Bell terdiam seribu bahasa seketika Eina membungkamnya
di antara sedu.
—Pinjamkan bahumu kepada seorang wanita yang menangis, dekap
dia.
Ajaran kakeknya terlintas dalam benak, kedua tangan Bell
melingkupi punggung Eina … dan jatuh lemah ke samping.
—Kakek, aku ….
Tidak tahu harus melakukan apa.
Salahnyalah Eina yang dia anggap kakak perempuannya,
menangis. Orang-orang sekeliling fokus betul terhadap
pemandangan menyedihkan itu.
Hestia dan familianya diam-diam mengamati.
Kedua tangan Eina melingkari bahu, Bell mendongak.
Matanya memantulkan warna merah gelap.

Αθλιος

Hari masih subuh.


Matahari belum terbit, ufuk masih bercorak abu-abu terang.
Hujan yang turun sepanjang malam kini terangkat. Di
tengah kabut pagi nan terang, gerbang terutara dinding kota
Orario terbuka.
“Jadi, hari-hariku di Orario telah berakhir … tapi tidak
kusangka kaulah yang menemaniku, Ganesha.”
“Itu karena … aku Ganesha.”
Ikelus berdiri di depan gerbang yang terbuka, baru ingin
keluar sewaktu Ganesha dan pengikutnya menonton. Seorang
dewa yang rambut biru tuanya bergelombang menyeringai
kepada dewa bertopeng lanjut berkata, “Kau tahu itu bukan
jawaban.”
Loki Familia yang membawa Ikelus ke hadapan Guild,
kemudian mengakui keterlibatan familianya dalam perdagangan
pasar gelap. Juga mengkonfirmasi bahwa ialah yang menangkap-
nangkap para monster dari celah pengawasan Guild.
Jelas sekali bahwasanya aktivitas familianya yang
menyebabkan para monster menembus ke dunia atas dan
mengobrak-abrik kota, dia secara permanen diasingkan dari kota
dua hari setelah insiden sebagai hukuman.
Seluruh pengikutnya pergi dan harta familia disita, dewa itu
diusir tanpa membawa apa-apa kecuali pakaian.
“Yah, kuyakin monster-monster itu sudah dikirim ke surga.”
“Guild pasti mempertimbangkannya, dan dengar-dengar sih
banyak perdebatan.”
“Aku tahu, aku tahu. Mereka perlu kambing hitam, kan?
Setelah semua tindakan familiaku, tidak bisa terlalu
menyalahkan mereka ….”
Ganesha tetap tutup mulut dari balik topengnya sambil
melihat Ikelus menerima nasib sembari tersenyum-senyum.
Guild mempersilahkan orang-orang kota memasuki area
Gerbang Utara untuk menyaksikan penghantarannya, sekalipun
masih subuk, banyak orang dan dewata sedang berkumpul.
Mereka semua melihat kepergian Ikelus secara langsung.
“Tapi kau tahu … satu-satunya penyesalanku adalah
kehilangan kursi terdepan. Tepat saat semuanya mulai mantap.”
Ikelus kembali melihat ke dalam gerbang, memandang
Orario untuk kali terakhir.
“Aku iri, Hermes.”
“—pokoknya, semuanya mulai tenang.”
Hermes dengan santuynya membuka tangan kepada dewa
tua itu sekaligus menutup laporannya.
Di bawah Markas Besar Guild, tepatnya Ruang Doa,
Ouranus berada di altar dan Hermes sedang mengadakan
pertempuan rahasia di tengah empat cahaya obor dalam balutan
kegelapan.
“Anak-anakku telah menyisir kota, survei mengatakan
mereka tidak amat kecewa dengan Guild. Barangkali berkat
Ikelus yang dijadikan kambing hitam dan bersedia bertanggung
jawab.”
Ikelus dan para pengikutnya dimintai pertanggung jawaban
lantaran membiarkan monster melarikan diri ke peremukaan dan
menempatkan kota dalam bahaya. Tiada lagi yang dapat
disalahkan selain dirinya, lantas seluruh kritik terkonsentrasi
pada Dewa Tidur itu. Guild berhasil meringankan situasi dengan
menghukum pelakunya. Fakta bahwasanya insiden tersebut
tidak lagi dianggap monster-monster yang menembus permukaaan, juga
menguntungkan urusan Guild.
Dewa itu memainkan perannya sebagai si penjahat,
menyetujui pengasingan permanen.
“Publik masih tidak sadar jikalau monster berakal itu masih
ada. Lagi-lagi, para penduduk Rivira melihat monster bersenjata,
dan ada juga koneksi antara lantai delapan belas dan Daedalus
Street … hanya masalah waktu saja sampai orang-orang tahu ada
jalan lain menuju Dungeon selain Babel.”
Akan tetapi, hanya beberapa familia dan Guild yang
mengetahui Knossos.
“Kuserahkan segalanya padamu,” ucap Hermes tanpa pikir
panjang. “Setahuku, insiden ini bakal larut termakan waktu, jadi
tidak masalah.”
Ouranus membuka mulutnya dan berbicara kepada si dewa
pesolek, dia mencoba merangkum semuanya dalam satu teori
bagus.
“Akan tetapi, masih belum berakhir.”
“Aku tahu,” ujar Hermes sambil mengangguk.
“Xenos yang melarikan diri dari Loki Familia …. Karena
tidak ada yang sanggup kembali ke Dungeon, mereka hidup
dalam ketakutan konstan terhadap kelompok petualang pencari.
Hidup mereka lagi dipertaruhkan.”
“Ironis pula, akhirnya berkesempatan melihat dunia atas
sebagaimana hasrat mereka namun mesti kembali ke Dungeon
hidup-hidup. Masalahnya, para petinggi Guild tidak hanya
menutup Babel melainkan Daedalus Street juga. Belum lagi anak-
anak Loki sedang berjaga di mana-mana. Mereka tidak punya
jalan pulang.”
“Tinggal waktu saja sampai Xenos-Xenos itu tertangkap,
bersama Fels yang melindungi mereka.”
Dunia melawan mereka, Hermes memberanikan diri,
“Bagaimana kalau mengikutkan Loki ke dalam pertaruhan?
Meski peluangnya tipis.”
Dewa itu merosot ketika Ouranus merespon kendati
sosoknya masih diam sempurna. Membelalakkan matanya yang
sipit, auranya berubah secara instan.
“Ouranus, kaulah pilar kekuatan Guild dan kotanya sendiri.
Bila mana kau mendoakan perdamaian dan terus menjaga
tatanan masyarakat dalam tembok wilayah Orario, kau wajib
melambangkan hal-hal demikian.”
“….”
“Meskipun ada suatu simpanan yang tetap ingin kau
sembunyikan, apa pun yang ‘kan mengotori reputasimu ….”
“… aku sadar itu.”
Ocehan Hermes akhirnya direspon Ouranus.
Dewa pesolek itu tersenyum begitu mendengar
tanggapannya.
“—baiklah, Ouranus, kenapa tidak menugaskanku sebagai
penjaga kondisi atas dampak insidennya?”
“… apa pemikiranmu, Hermes?”
“Kenapa nada bicaramu seperti itu? Aku hanya ingin
dianggap baik olehmu. Anggap saja hadiah karena sudah bekerja
sebagai pionmu.”
Itulah permintaan Hermes.
“Tidak rela kubiarkan bocah itu—Bell Cranell—untuk
meninggi lalu menghilang. Aku mempertaruhkan segalanya pada
dia, Ouranus.”
Opini publik telah berubah drastis, kini banyak orang yang
membenci si petualang muda.
Hermes telah menyatakan niatnya semata-mata untuk
mencegah kehancuran si bocah dan tertutupnya panggung
utama.
“Mengapa kau sangat menyukainya?”
Tanpa memiliki perasaan pribadi terhadap si bocah,
Ouranus memutuskan bertanya secara langsung.
Hermes nyengir.
“Mungkin karena dia hadiah perpisahan dari Zeus?”
Krak! Mendadak api yang terpercik dari obor menerangi
mata membelalak Ouranus.
Dewa tua itu diam saja dan pelan-pelan menutup matanya.
“Boleh aku bekerja sama kali ini, Ouranus?”
Si dewa tua tetap diam di hadapan senyum gelap dewa
menawan, menerima konsekuensi baik dan buruknya—
kemudian mengangguk.


Langit malam kebiruan memandang tumpukan puing-puing di
pinggiran kota.
Seekor monster menyelundupkan dirinya dalam bayang-
bayang, hembusan nafasnya lirih sekali.
Black minotaur, kehilangan lengan.
Darah masih mengalir dari luka terbukanya, mencelupkan
bulu hitamnya menjadi merah tua. Tes, tes. Labrys tampak
menonjol dari tanah berlumuran darah di samping minotaur yang
sedang mengalami pendarahan itu. Vitalitas luar biasa monster
adalah satu-satunya hal yang menyelamatkannya.
“….”
Ketenangannya terlampau sempurna, sensasi pertempuran
serasa bagai mimpi nan jauh tergapai. Monster itu berangsur-
angsur memindahkan pandangannya ke lubang reruntuhan di
langit-langit.
Langit dunia atas. Dia melihat kerlap-kerlip cahaya bintang
tak terhitung jumlahnya yang tidak ditemukan di Dungeon.
Seperempat bulan meyingsing mulai tampak dari balik
aliran awan tipis.
Sirnalah cahaya keemasan, tergantikan cahaya dingin.
Monster itu memandangi bulan sabit putih seakan-akan
mencari sesuatu yang belum ditemukannya.

Anda mungkin juga menyukai