com/
DILARANG DIPERJUALBELIKAN
DALAM BENTUK APA PUN DAN
ALASAN APA PUN
ADMIN TAK MEMAAFKAN
PERBUATAN DEMIKIAN
BAGI YANG MENDAPATKAN PDF-
NYA JANGAN DISEBARKAN KE MANA
PUN
SIMPAN BAIK-BAIK
BILA ADA YANG MEMINTA, TOLONG
HUBUNGI FP DARKNOVEL:
https://www.facebook.com/DarkSoulTM/?mo
dal=admin_todo_tour
Volume 10 Interlude
Catatan Obsesi
Penerjemah: DaffaTersayang
Pernah eksis seorang pria yang termakan obsesi.
Ia bijaksana, ulung, sekaligus pengrajin terkenal.
Pencapaiannya dari semua jenis kerajinan hingga segala
struktur penciptaan. Walaupun telah banyak berkontribusi
kepada budaya juga masyarakat, fiksasinya dari pujian para
dewa-dewi merupakan motif penyelesaian suatu menara putih.
Indah lagi khidmat, lebih mendekati surga daripada bangunan-
bangunan lain. Sebuah monumen yang cocok bagi para dewata,
dianugerahkan nama Menara para Dewa-Dewi.
Memang, si perancang terlampau luar biasa. Tak seorang
pun sebelum atau sesudahnya mampu mendesain sesuatu yang
menyerupai kelas kemagnifisennya.
Tiada sesuatu yang tak bisa dia bangun.
Pria itu merasa tidak tertandingi.
Akan tetapi, di ujung dunia, ia terpikat oleh sesuatu.
Sesuatu itu ialah pintu masuk raksasa di sudut benua.
Gerbang menuju dunia lain yang terbuka tepat di bawah kakinya.
Orang itu menemukan labirin bawah tanah penuh pendar
cahaya memukau, dikelilingi bunga-bunga serta bahan mineral
yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Terbagi menjadi banyak
jenis, beraneka ragam lantai yang berubah seiring
penjelajahannya. Suatu jurang yang kian melahirkan monster dan
luasnya tak nampak ujungnya—ialah Dungeon.
Pria itu melihat dunia tersebut sepenuhnya terasingkan dari
dunia atas dan menganggapnya sebagai Karya Seni.
Kuasa di atas batas fanalah yang mampu membuat
penciptaan ini. Tak lama kemudian, pria itu melatih tubuhnya
dan meningkatkan Berkatnya agar mampu berkelana lebih dalam
lagi di Dungeon.
Semakin banyak ia belajar, makin jelas pula itu.
Komposisinya, bentuknya—segalanya kelewat rumit untuk
dipahai kecerdasan manusia.
Dungeon mistis.
Ia membungkamnya.
Tergenggam keindahannya, kerusakan raksasa, yang
tampaknya melingkupi semua keberadaan sesuatu.
Dari tenggorokan pria gila itu terdengar lolongan, suara
seekor monster yang telah lama membuang kemanusiaannya.
Sejak saat itu sang pria mengabdikan dirinya seratus persen
kepada keahliannya.
Walaupun terus memenuhi tugas yang diberikan
kepadanya, pria itu mulai menyimpang dari pemikiran rasional
dan menapaki jalan yang salah. Hari silih-berganti, lebih banyak
orang tak paham dengan konsep motif ciptaannya. Setelah diakui
sebagai seorang genius, dia langsung dicap sebagai orang gila.
Sedari itu dia menghilang dari lembaran-lembaran sejarah.
Keahlian maha hebatnya serta kekuatan yang dilimpahkan
oleh keyakinan unik namun menyimpang telah mengilhamkan
perancangan dunia yang bahkan lebih megah dari labirin bawah
tanah.
—Batas atas apa yang mampu digapai manusia? Memangnya aku
peduli.
—Akan kubuat sesuatu yang lebih azmat, kau lihat saja.
—Bila para dewa-dewi tidak dapat menjangkau daerah ini, mereka
pasti telah terungguli.
Tak peduli sebanyak apa darah yang dia tumpahkan, meski
kulitnya terkoyak-koyak hingga daging dalamnya nampak,
sekop serta beliung di tangannya takkan pernah berbaring diam.
Tiada yang tahu bahwa pria ini bertahan di jalan baru tersebut
sendirian.
Sayangnya, tubuhnya gugur dahulu sebelum ambisinya
terwujud.
Hidup seorang manusia adalah terbatas.
Dia mengutuk daging fananya lalu jatuh ke jurang
keputusasaan ketika anggota tubuhnya menolak perintahnya.
Menyesali hidupnya yang labil dan tidak jelas. Kemudian ia
meninggalkan suatu kutukan—kata-kata yang ‘kan
memungkinkannya mengatasi keterbatasan ini—dalam buku
catatan.
Bersama petunjuk yang memenuhi kepalanya.
Pria itu menyerahkan segalanya kepada mereka yang akan
terlahir, suksessornya yang akan mengemban nama serta
warisannya di masa depan.
Bangun, kau akan membangunnya!
Bangun suatu kreasi yang melampauinya, bangunlah
hasratmu!
Inilah tujuanmu! Kaulah keturunanku, walau aku tak tau
nama atau wajahmu!
Mana kala matamu melintasi catatan ini, takkan ada jalan
keluar dari darah yang mengalir di nadimu!
Rasa lapar sinting nan haus yang tak akan terpuaskan
apalagi pudar! Api yang membara dalam perutmu hanya
menghiraukan panggilanku!
Laksanakan keinginanku!
Taatilah darahku, setialah pada dambaanmu.
Fokus pada apa yang kita cita-citakan.
Ambisi, ambisi, ambisi!
Penuhi tujuan dari keberadaan terkutuk kami!
Semuanya ditulis di buku catatan.
Kegigihan pria itu jelas terurai.
“….”
Dix bersandar di sandaran sofa sambil memegang catatan
tua yang robek-robek di satu tangan, membaca dalam hati.
Membolak-balikkan halaman, tinta pada catatannya
memudar dan tercoreng di beberapa sudut, bersantai di bawah
cahaya lampu berbatu sihir mendadak seseorang memanggilnya
dari belakang:
“Dix, semuanya siap.”
Seorang lelaki besar muncul ketika Dix menurunkan
kacamata yang dikaitkan di dahi. Lensa kuarsa menutupi
matanya sedangkan bibirnya melengkung nyengir-nyengir.
“Bagus, kita mulai deh.”
Beranjak bangun, Dix melempar catatan tua itu ke sofa
tanpa pikir panjang. Meraih tombak buruk yang bersangga di
dinding lanjut mengikuti rekan besarnya menuju lorong yang
terselimuti kegelapan.
Udara barbau batu dan rasanya dingin, seolah-olah tak
mengenal kehangatan sinar mentari. Dix tersenyum sendiri
ketika jeruji besi hitam serta keramba muncul kemudian berbisik
sendiri.
“Fokus pada apa yang kita cita-citakan …. Manteplah.”
Brak, brak. Rantai bergetar ketakutan dari segala arah.
Pemburu keji mendengarkan getarannya sembari
menyeringai cekikikan.
Volume 10 Bab 6
Pra-Kekacauan
Penerjemah: DarkSouls
Cahaya terang membangunkan tidur lelapku, membangkitkan
kesadaranku.
Merasakan sinar matahari pagi, aku membuka mata.
Pemandangan familiar memenuhi penglihatan di
hadapanku: kristal yang tak bisa kujual sendiri serta satu botol
yang isinya biji-biji buah, meja dan kursi yang dihiasi bermacam-
macam barang dari Dungeon, beberapa buku dan sebuah
grimoire lusuh di rak kayu, lemari setengah terbuka menyimpan
senjata-senjata dan baju-baju zirah.
Ini kamarku.
Kamar pribadi dalam rumah Hestia Familia.
“….”
Tidak hanya melewatkan latihan rutin pagi, tetapi melihat
jam dinding, waktu menunjukkan dimulainya sarapan.
Tatkala diriku bangkit, sisa tempat tidur mulai kelihatan.
Aku menoleh ke samping.
Tidak ada. Tidak ada seorang pun di sana.
Hanya perasaan hampa nan kosong sekaligus kain putih
kusut.
Aku mencari-cari seorang gadis yang tidak di sini lagi. Aku
balik badan dan beranjak bangun.
Setelah mengganti pakaian tidur, aku ke pintu keluar.
Koridor sedang sunyi senyap. Entah berapa kali melihat taman
tengah Mansion lewat jendela, aku tidak mendengar suara riang.
Memangnya rumah kami sesunyi ini?
Sinar mentari hangat yang menembus jendela
meyakinkanku bahwa musim panas telah hadir selagi turun
tangga dari lantai tiga ke lantai satu.
“Pagi ….”
Seluruh anggota familia menyambutku di ruang makan.
“Yo.”
“Pagi.”
Welf dan Lilly tersenyum pada keterlambatanku. Kurasa
mereka bertingkah girang agar aku terhibur.
Mikoto dan Haruhime yang mengenakan kostum pelayan
juga menyadari kedatanganku.
“Selamat pagi,” kata mereka sambil tersenyum lebar-lebar.
Aroma harum terendus dari dapur. Mikoto barangkali
membuat telur goreng ala Timur Jauh pagi ini.
Sejenak terasa manis saat sekelebat déjà vu menerpaku.
“Tidak biasanya kau kesiangan.”
“Maap ….”
“Welf-sama tidak menyalahkanmu. Sarapan hampir siap,
jadi tunggu sebentar, ya, Bell-sama.”
“Oke …. Anu, mana dewi kita?”
“Lady Hestia bilang dia punya tugas yang mesti dikerjakan
sebelum pekerjaan paruh waktunya, jadi dia pergi subuh-subuh
sekali, Tuan Bell.”
“Ya, dia juga menjejalkan Jyaga Maru Kun ke mulutnya
secepat mungkin ….”
Welf, Lilly, Mikoto, dan Haruhime, semuanya berbicara
seperti biasa … tapi ada yang berbeda nampaknya. Seperti roda
gigi tak teratur … seakan ada satu bagian yang hilang,
membiarkan sisanya berputar-putar tak berguna.
Semua orang agak aneh.
Tidak ada percakapan. Di luar cerah terang, namun suasana
hati gelap mendung.
Semua orang kelihatan linglung, barangkali kehabisan kata-
kata saja ketika menyiapkan sarapan.
Haruhime paling buruk.
Alih-alih pancaran aura ceria normal, suram
menyelimutinya, telinga rubah serta ekor tebalnya menggantung
lemas.
Matanya berputar-putar sebab khawatir saat mengitari
meja, meletakkan piring-piring.
“… Nona Haruhime.”
“Ah …. Ada apa, Nona Mikoto?”
“Itu, kebanyakan piring ….”
Mikoto meringis sambil menunjuknya. Bahu Haruhime
seketika melompat saat menyadarinya.
“M-maaf!” dia mendadak membersihkan piring extra.
Tanpa sadar meletakkannya di tempat seorang gadis yang
selalu duduk beberapa hari yang lalu.
Seorang gadis yang selalu memasang senyum polos dan
murni … gadis vouivre.
Lilly, Welf, dan aku melihatnya tanpa bisa mengatakan satu
patah kata pun.
“Ayo makan ….”
Semua orang duduk di meja.
Saat makan-makan, hanya suara garpu di piring dan
kunyahan yang menyertai suasana.
Dua hari berlalu sejak Guild menitahkan misi rahasia untuk
kami.
Peristiwa yang bertempatan di perbatasan tak terjamah di
lantai dua puluh Dungeon—di Desa Tersembunyi Xenos—
menyisakan kesan buruk kepada Hestia Familia.
Xenos. Kaum monster yang bisa bicara.
Mereka punya kecerdasan dan nalar, walaupun hewan buas,
dan diasingkan oleh orang-orang maupun monster-monster
biasa.
Seorang penyihir berjubah hitam bernama Fels—yang
mengaku-ngaku sebagai Sage—bilang bahwa Xenos ingin
berjalan di dunia atas dan berinteraksi dengan para penghuninya.
Tujuan yang terlampau sulit ini menyatukan mimpi-mimpi
hidup lama mereka, impian yang mereka semua punya.
Kejutan saja tak cukup untuk menggambarkan rangkaian
wahyu ini.
Ada begitu banyak hal sampai-sampai lebih baik tidak
berpikir sama sekali.
Namun saat ini, alasan sejatinya kita kelewat merenung
adalah … jauh lebih sederhana.
Perpisahan dengan Wiene.
Waktu-waktu sesaat kami melindungi gadis vouivre muda,
meskipun ujung-ujungnya kami percayakan kepada Xenos-
Xenos lain. Terlepas dari keinginan mereka, saat ini tidak ada
tempat bagi mereka di dunia atas. Di masa lalu, orang-orang telah
mengklaim wilayah ini untuk bangsa sendiri dengan merebutnya
dari para monster. Dua jenis mahluk itu takkan pernah hidup
rukun.
Sebelum kami kehilangan segalanya, tidak ada pilihan selain
berpisah, demi keamanan Wiene sendiri.
Faktanya, Fels juga bilang ada pemburu yang bersembunyi di
Orario dan mereka takkan berhenti menangkap Xenos. Aku
sudah memberitahu Fels tentang Dewa Ikelus 1 dan bagaimana
dia menemukanku lalu menanyakan vouivre yang bisa bicara.
Kami tidak bisa apa-apa lagi sekarang.
Rasanya tak berdaya, begitu putus asa dan kesepian seolah-
olah bagian raga kami terhapus.
Emosi-emosi itu tak ingin pergi.
“….”
Aku tidak heran suasana jadi sunyi begini. Welf dan Lilly
berusaha sebaik mungkin untuk mencari topik, tapi tidak ada
yang sukses.
Sudah seperti ini sejak kami menyelesaikan misi dan
kembali dari Dungeon kemarin subuh.
Hatiku menjerit setiap kali mengingat raut wajahnya di
saat-saat terakhir, air mata mengalir turun dari pipinya.
Mengangkat wajah, mendapati Welf dan kawan-kawan
sedang menatap tempat kosong di sampingku … tempat duduk
Wiene.
Kosong.
Rasanya bagaikan mimpi bahwa seseorang yang sangat
penuh kehidupan tak lama ini berada di sana.
Semua orang sedang mencarinya, bukan aku saja.
Sulit menerima kenyataan absennya salah seorang gadis
yang membuat kami semua merasa sangat terpukul—Haruhime,
Mikoto, Welf, bahkan Lilly.
Sesungguhnya di tengah kesedihan ini … pasti selalu ada
hikmahnya. Kami tahu waktu-waktu bersama Wiene yang terasa
seperti keluarga tidak palsu.
Meskipun gadis itu monster, berbeda dari orang-orang
macam kami.
“… Bell?”
Aku sedang dalam perjalanan menuju ruang makan dan
Welf kedapatan memanggil namaku.
“Kurasa … aku akan pergi ke Dungeon sebentar.” berhenti
sesaat seraya menjawab.
Menoleh ke belakang, bukan hanya Welf, namun Lilly,
Mikoto, serta Haruhime menatap khawatir diriku.
Aku memasang senyum paling menenangkan. “Tidak apa.
Aku akan langsung balik lagi.”
Ada sesuatu yang mesti aku pastikan.
Jika aku akan terus menjadi petualang Orario …. Aku tidak
bisa melanjutkannya tanpa memastikan sesuatu.
“Kau yakin tidak apa-apa?”
“Ya ….”
Aku menjawabnya setenang mungkin sebelum membuka
pintu dan keluar dari ruang makan. Berhenti sebentar di kamar
untuk mengambil beberapa peralatan kemudian meninggalkan
Hearthstone Manor.
“….”
Tidak terdapat satu awan pun di langit biru cerah sana.
Batu-batu jalan berjajar sempurna bersimbah kilauan sinar
matahari. Kehangatan jalan adalah satu-satunya hal yang aku
lihat ketika menyusurinya, kepalaku menunduk. Tidak
memperhatikan hal lainnya sementara waktu.
Suara kendaraan yang ditarik kuda. Warga kota melakukan
aktivitas mereka. Hiruk-pikuk kota setiap harinya masih ada, tak
berubah.
Aku tak membuat suara apa pun selagi langkah kaki
menuntun rute menuju menara putih yang menjulang hingga
cakrawala: Babel.
“Bell.”
“Oh … Syr.”
Suara menerobos keramaian masyarakat tatkala diriku
menelusuri West Main Street.
Drap, drap. Melihatku lewat, Syr menuruni tangga pintu
masuk The Benevolent Mistress dan menghampiriku.
“Selamat pagi. Aku membuatkan makan siang untukmu lagi
hari ini, jadi kalau kau mau …. Bell?”
Syr memegang sekeranjang penuh makanan sambil
menampakkan senyum lebar di wajahnya, tapi ucapannya masih
telinga kanan keluar telinga kiri bagiku dan dia membungkuk
biar melihat mukaku lebih dekat.
Alisnya melengkung cemas; rambut perak berayun di
bahunya.
“… terjadi sesuatukah? Mukamu pucat banget ….”
Entah Syr yang ahli membaca ekspresi orang, atau kepalaku
yang membuat tampangku ini lebih mudah dibaca.
Yang mana pun, harus langsung meyakinkannya bahwa aku
baik-baik saja agar dia tidak resah.
“Tidak, aku oke. Hanya sedikit kesiangan pagi ini ….”
“… begitu.”
“Dan, yah, hari ini aku takkan berlama-lama di Dungeon.
Jadi, soal makan siangnya …. Anu, maaf.”
Aku tidak bisa menerima keranjang ini. Melakukan sesuatu
yang menyedihkan hanya akan lebih menggelisahkannya.
Berpikir demikian, buru-buru aku menolak tawaran makan siang
itu.
Seketika memaksakan senyum yang terlihat agak tidak
meyakinkan, sewaktu mulai merajut permintaan maaf tulus … dia
menatap tajam diriku dan melangkah lebih dekat.
“Huh?”
Kini dia persis di depanku, tidak terdapat satu jarak pun.
Aku bisa mengendus bau sabun wanginya, wajahku
langsung merah padam ketika Syr menunjuk mataku.
“Bell cemunguuuuuut, Bell cemunguuuuut.”
“….”
… dia mulai memutar-mutar jari kelingkingnya.
“Bell senyuuuum.”
“… err, Syr?”
“Yey!”
“Wha—!”
Mengakhirinya dengan mengetuk hidungku, dan aku
membiarkannya.
Berkedip beberapa kali sedangkan Syr berseri-seri.
“Kata-kata ajaib yang membuatmu merasa lebih baik …. Aku
selalu melakukannya kepada anak-anak di panti asuhan, tahu?”
Dia bersandar cukup dekat dan berbisik di telingaku seakan
berbagi rahasia. Dan itu adalah hal terakhir yang ingin aku
dengar … tapi lebih mengejutkannya lagi, ternyata wajahku rileks
dan mulai tersenyum sedikit pula.
Ekspresi alami, barangkali ekspresi yang lupa aku
tampakkan beberapa hari terakhir.
Dan aku memang merasa lebih baik, berkat gadis gembira
ini.
“… makasih, Syr. Aku pergi dulu.”
“Tentu. Berhati-hatilah.”
Bersyukur dia tidak mendesak lebih jauh, aku meninggalkan
Syr, tidak enak kepadanya karena tidak berkata lebih banyak.
“Dasar rambut putih kepala batu! Kalau kau tidak makan
makanan Syr, Kamilah yang mesti memakannya, meong ….!”
“Betapa pun menyusahkannya … si petualang kecil tidak
seperti biasanya.”
“Aku tak pernah melihatnya seterpukul itu, meong.”
Ahnya, Runoa, dan Chloe memperhatikan perbincangan
mereka di jalan dari salah satu jendela The Benevolent Mistress
dan bercakap-cakap di antara mereka sendiri setelah si bocah
pergi.
Hiks ….! Runoa balik badan, dan orang di samping Ahnya,
berusaha sebaik mungkin untuk menahan tangisnya.
“Apa kau khawatir juga, Lyu?”
“Tidak, aku ….”
Lyu, yang juga mematai-matai Syr serta Bell bersama rekan
kerjanya, mengabaikan kekhawatiran mereka dan berhenti
sesaat.
“… sebetulnya, iya. Memang mengkhawatirkanku.”
Dia dan Aisha sang Amazon pernah menemani bocah itu
menuju lantai delapan belas tempo hari. Lyu menjawab jujur
ketika ingatan tetang tingkah aneh Bell terbesit di benaknya.
Sama seperti Syr di luar, dia melihat anak laki-laki itu
sedang sedih.
∆
Beragam peta menutupi setiap sudut terbuka masing-
masing dinding.
Selain penuh gambar diagram topografi darat dan laut,
ruangan itu terhias pernak-pernik menarik dan barang-barang
asing, banyak yang jarang kelihatan di Orario. Beberapa tanaman
yang lebih cocok tumbuh di gurun, serta kerang dan mutiara
indah, banyak sesuatu menghiasi perabotan dan meja. Berdiri
topi wisatawan using, setiapnya dihasi bulu, menonjol di tengah-
tengah ketidakrapihan itu.
Seorang pria dan wanita duduk berhadapan di atas meja
ruangan yang cocok untuk seorang penjelajah dunia sejati.
“Gagal maning, ya …. Gawat.”
Dewa Hermes duduk di kursi dan sikunya diistrirahatkan di
atas meja, mengutak-ngatik papan pasir sambil berbicara.
Wanita cantik duduk kaku bak patung di sisi lain meja,
ialah Asfi.
Dia menjambangi tempat tinggal pribadi dewanya untuk
melaporkan hasil misi terbarun
“Aku tidak punya alibi. Setelah target kita mundur,
bawahanku dan aku tetap di area tersebut sampai awal hari
dengan harapan menemukan petunjuk baru, tapi … semuanya
salahku karena membiarkan mereka kabur.”
“Aduh, aku tidak menyalahkanmu.”
Wajah Asfi terus pucat pasi selagi menyampaikan laporan
berikutnya sambil minta maaf, tapi Hermes mengibasnya,
menyuruh pengikutnya untuk tak perlu khawatir.
Mereka berdua mendiskusikan gagalnya rencana pelacakan
Ikelus Familia.
Guild—lebih tepatnya Ouranus—telah melimpahkan Bell
dan Hestia Familia sebuah misi: pergi menuju Desa Tersembunyi
Xenos. Tujuan sebenarnya adalah sebagai umpan untuk menarik
pemburu-pemburu Ikelus Familia, selanjutnya terserah
sekelompok petualang Hermes Familia di bawah komando Asfi
untuk melacak mereka. Tujuannya adalah menemukan
pangkalan pemburu yang belum ditemukan, tempat ditahannya
Xenos sampai bisa diselundupkan dan dijual di pasar gelap.
Akan tetapi, Ikelus Familia tahu mereka tengah diikuti
dalam Dungeon dan memutuskan pengejaran party Bell, kabur
begitu saja. Misi Asfi berakhir gagal.
“Tapi mereka menggagalkanmu, sang Perseus sendiri dari
penyelesaian tugasnya …. Beritahu aku, menurutmu bagaimana?
Tentang target kita.”
“… kendati terdapat rumor perihal koneksi Kejahatan tak
jelas, seluruh kelompok sepertinya sekumpulan preman dan para
penjahat. Apalagi pemimpin mereka, seorang pria berkacamata
google ….”
Ikelus Familia adalah familia penjelajah Dungeon yang asal-
usulnya tak diketahui.
Mendiami Orario selama lebih dari dua puluh tahun, familia
mereka peringkat B. Anggota-anggotanya dilaporkan pernah
menyelam ke Dungeon lantai dalam. Namun, grup itu sendiri
masih misterius, barangkali karena banyaknya waktu yang
mereka habiskan di bawah tanah, sukar salah satu anggota
mereka bisa tenar atau dapat pengaruh di dunia atas.
“Orangnya jeli dan licik. Bahkan tatkala mengumpulkan
banyak pasukan untuk mengungguli party, seketika mereka
mengetahui identitas kita, dia langsung mundur.”
Pemimpin Ikelus Familia telah berhati-hati kepada Asfi,
pengrajin barang brilian yang bakatnya terkenal seantero dunia.
Dikenal sebagai Perseus, dia menemukan sejumlah sihir
fenomenal dan barang misterius seperti Kepala Hades, helm tak
kasat mata.
Karena tak tahu apa yang disembunyikan pihak Asfi dan
resiko markas besar mereka ketahuan, pemimpin Ikelus Familia
menarik mundur semua bawahannya tanpa meninggalkan
seorang pun di belakang agar tak tertangkap.
“Seorang pria berkacamata google …. Diakah Dix Perdix?”
“Persis. Bukan hanya pemimpin Ikelus Familia …. Dia
seorang petualang kelas dua, petualang Level Empat hampir
sepuluh tahun lalu.”
Dia bergelar Hazer5.
Saat Dix menerimanya, pria itu sudah terkenal giat
membantai monster dengan kecepatan hampir seperti orang gila.
“Asumsikan dia berkembang lebih kuat dan berpengalaman
sejak saat itu … mungkin sudah sekuat petualang kelas satu.”
mata Asfi mulai suram, nada suaranya memberat. Hermes
menghembuskan nafas pelan sendiri.
“Pertama-tama, kita mesti meminta maaf kepada Ouranus ….
Karena sudah melenceng dari rencana, anggap saja musuh tahu
dimana lokasi sarangnya. Kurasa mereka dapat mengumpulkan
informasi sebanyak itu dari tindakan kita saja,” mata oranye
Hermes menyipit sambil mengutarakan isi otaknya.
“Bagaimana dengan monster yang dimaksud ….?”
“Mereka disuruh pindah ke sarang yang berbeda entah
bagaimana akhir rencana. Kemungkinan besar, saat ini mereka
sedang bergerak.”
Hermes menjelaskan bahwa Ouranus ingin
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan sebanyak
mungkin dan menyuruh para Xenos meninggalkan Desa
Tersembunyi di lantai dua puluh dan berkelana lebih dalam lagi
ke Dungeon.
Biar begitu, Asfi mendengarkan sedikit keresahan dalam
penjelasan dewanya, seakan berbicara sendiri.
“Kita tidak bisa melakukan apa-apa lagi, aku tahu tidak ada
gunanya khawatir, tapi ….”
“….”
“Aaaaaargh, firasatku buruk.”
Hermes tidak membuang waktu setelah menggumamkan
ucapan itu.
Melihat ke atas, dia menyalak satu perintah baru.
“Pasang mata pada pergerakan di lantai menengah, Asfi.
Gunakan Rivira sebagai markasmu dan tetap waspada.”
“Dimengerti.”
Seolah-ilah intuisi ilahiahnya telah berkata, Hermes bilang:
“Tidak akan lama—mereka akan mulai bergerak.”
Catatan Kaki:
1. Di volume sembilan gua make “Ikelos”, gua ganti jadi
“Ikelus”, ya.
2. Baja damaskus adalah material legendaris dari baja yang
mempunyai sifat superplastis (kemampuan untuk
mengalami deformasi tetap tanpa retak hingga 1000%).
Dengan sifat yang unik ini maka baja Damaskus banyak
digunakan sebagai material untuk membuat pedang dan
senjata. Menurut mitos senjata yang dibuat menggunakan
Baja Damaskus tidak akan pernah tumpul atau patah. Selain
memiliki sifat superplastis baja Damaskus juga mempunyai
ciri khas yaitu adanya pola air (watermarking) pada
permukaannya.
Baja Damaskus dibuat pertama kali di India dan kemudian
berkembang sampai Suriah. Nama Damaskus sendiri
diberikan oleh bangsa Barat yang terlibat Perang Salib dan
menjumpai senjata yang berbahan baja Damaskus di kota
Damaskus, Suriah.
3. Adamantium adalah logam fiksi buatan manusia yang telah
digambarkan secara meluas di dalam komik yang
diterbitkan oleh Marvel Comics. Adamantium sering
dijabarkan sebagai logam yang pada hakikatnya tidak bisa
hancur dan logam campuran kimiawi yang telah
dirahasiakan oleh Pemerintah Amerika. Adamantium
bukanlah elemen: bahan bakunya tidak terdaftar di dalam
tabel periodik.
4. Kelpi adalah kuda air supranatural dalam mitologi Kelt yang
diyakini menghuni sungai dan loch di Skotlandia dan
Irlandia.
Kelpi tampak sebagai kuda yang kuat dan bertenaga.
Dipercaya jangatnya hitam (beberapa kisah menyebut
putih). Kulitnya seperti anjing laut, lembut namun dingin
seperti mayat. Kuda air dipercaya dapat berubah bentuk
menjadi wanita cantik untuk menggoda pria menuju
jebakannya.
Kuda air merupakan wujud kelpi yang umum. Konon ia
suka memakan anak-anak. Ia tampak sebagai wujud kuda
yang memikat sehingga anak-anak tertarik untuk
menungganginya. Sekali menungganginya, maka tak akan
bisa lepas dan kelpi akan membawa korbannya ke air untuk
dimakan.
“?”
Aku berbalik dan memandang kejauhan.
Yang kulihat hanyalah dinding Dungeon dan langit-langit.
Cahaya penerangan yang letaknya acak antara persimpangan dan
ruang-ruang labirin nampaknya memanjang jauh. Sekelompok
petualang pastinya dekat sebab aku mendengar suara resah
mereka dari sekitar sudut terdekat.
Aku berdiri di tengah-tengah lorong, menatap lantai yang
sudah sangat sering ditapaki petualang-petualang lain.
Aku berani bersumpah tadi mendengar sesuatu … Dungeon
yang rasanya berguncang.
“BGYAAA!”
“!”
Melihat ke belakang, teriakan mendadak menarik
perhatianku.
Seekor goblin menyerangku. Berputar menjauhi sabetan
monster level rendah yang mengincar dada dan mengangkat
Pisau Hestia di tangan kanan.
Aku berada di Dungeon, lantai tiga.
Sudah lama tidak menghabiskan waktu di Dungeon lantai
atas sampai-sampai daerah ini kelihatan baru bagiku. Dulu
ketika pertama kali bergabung familia dewi, saat masih Level 1,
aku datang ke sini sepanjang waktu. Di sinilah petualanganku
dimulai.
Sudah berada di wilayah petualang kelas bawah sejak pagi.
“GIIII!”
Monster sinting itu menyabetku dengan kedua tangannya,
tapi aku menghindar ke kiri-kanan.
Gerakan goblin itu lambat dan lesu, kurang lebih aku
anggap begitu. Bisa saja kutanam pisau ke dadanya,
menghancurkan batu sihir dalam dirinya kapan pun jua.
Namun aku tidak bisa menyerang balik.
“UhhhhAHHH!”
“….!”
Goblin itu berteriak padaku, putus asa karena tak ada
serangannya yang tepat sasaran.
Mata marahnya terkunci padaku—hasratnya sampai
membuat bulu kudukku naik, tanganku bergerak-gerak.
Naluri bertarung atau insting kabur mengaum-ngaum
adalah dorongan alamiah agar aku menantang sang monster.
Pisau Hestia melengkung di udara.
“—GIAAA!”
Bilah ungu mengukir sepotong dada goblin.
Seperti yang aku inginkan, menembus batu sihir.
Goblin tersebut membeku di tempat, seolah tahu kristal
intinya telah pecah, kemudian memudar menjadi abu dalam
desiran lirih.
Aku kebiasaan membunuh monster menggunakan teknik
itu.
“….”
Melihat tumpukan abu di kaki.
Ada gigi tajam di tengahnya.
Drop item seperti biasa …. Kelamaan menatap taring goblin,
tidak sanggup memungutnya.
Aku pergi ke Dungeon ini karena ada hal yang mesti kucari
tahu:
Bisakah aku membunuh monster?
Bisakah aku berburu monster dan tetap menjadi petualang
Orario?
… aku … bisa melakukannya.
Aku membunuh beberapa monster sejak memasuki
Dungeon pagi ini.
Menghancurkan batu sihir, membuat mereka memudar
menjadi abu.
Ya, tapi—aku belum bisa memalingkan wajah dari
kebenaran yang menyulitkan segalanya, masih terjebak dalam
kesukaran ini.
Namun itu tidak terjadi sebelum bertemu Wiene.
Aku tahu monster yang dipanggil Xenos dapat merasakan
emosi dan memikirkan pribadi sendiri.
Kini, perkara membunuh monster … aku jadi menahan diri.
Walaupun masih bisa bertarung … tapi tidak sama seperti
dulu.
Aku bertanya-tanya apakah masih bisa kembali ke dulu-
dulu kala, berkelana di Dungeon sebagai petualang biasa.
Mustahil mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan itu dari
kepalaku.
Sedetik saja terhitung hidup-mati ketika melawan monster.
Cuma masalah waktu saja sebelum aku mati jika terus berpikir
demikian. Apalagi mati oleh cakar atau taring monster.
“GRUAHHH!”
“OOOO!”
Beberapa kobold dan lizard memanjat dinding ketika aku
berjalan-jalan di ruangan Dungeon. Menggertakkan gigi dan
melawan mereka dalam pertarungan.
Kelompok kecil itu mendatangiku sekaligus, tubuhku
merespon sendiri. Sambil menghindari serangan maut, nafas
sekarat mereka menggelitik telingaku saat Pisau Hestia
menghancurkan batu ungu gelap dalam tubuh mereka.
“Jadi jangan bimbang. Jangan menahan diri demi kami.”
Suara seekor lizardman berdering di telingaku setiap kali
bertatap muka dengan monster.
Hal terakhir yang dia katakan kepadaku di Desa
Tersembunyi Xenos sebelum berpisah.
“Janganlah kau mati. Aku ingin bertemu denganmu lagi.”
Aku cukup yakin diriku ini bakal tidak berguna kalau dia
tak mengatakannya.
Jangan mati—berkat nasihat itu aku masih sanggup
memegang senjata.
Karena dia … adalah monster yang mendoakan
keselamatanku agar kami bisa bertemu lagi suatu hari nanti.
“….”
Aku berbalik dari tumpukan abu yang tadinya monster
kukalahkan dan melanjutkan perjalanan. Ujung-ujungnya,
jawaban jelas tidak muncul sendirinya, walaupun sudah lama
direnungkan. Hatiku masih bermasalah, aku menuju pintu
keluar.
Mesti cepat-cepat mencapai kesimpulan desisif.
Itu hal terlogis yang pernah kulakukan.
Monster biasa betul-betul berbeda dari para Xenos macam
Wiene dan Lido. Meskipun aku ragu-ragu, monster-monster itu
akan tetap membunuhku. Orang dan monster ditakdirkan untuk
saling bertarung.
Namun demi menghasilkan uang … mengejar idolaku ….
Tidak apa-apakah membunuh mereka? Apa aku diperbolehkan
bertarung dan membunhu demi keuntungan pribadi?
Aku sadar saat ini tidak punya alasan untuk membunuh
monster.
Bila punya pemikiran seperti ini dalam kepala … aku takkan
bertahan lama.
“Bell Cranell ….”
“Si Pemula Kecil.”
Party terdiri atas manusia hewan, prum, dan manusia
hewan menatap diriku yang verjalan diam, barusan mereka
berbisik-bisik sendiri. Aku yakin mendengar gelarku dipanggil.
Tata letak Dungeon bentuknya lingkaran.
Semakin dalam lantai semakin luas pula daerahnya.
Lantai lima puluh, bagian lantai dalam, katanya seluas
Taman Pusat dunia atas. Aku penasaran apakah ruang di sini
sangat sedikit dibandingkan lantai menengah, namun rasanya
seakan-akan aku terus menemukan petualang lain di setiap
belokannya. Dan lagi, terdapat banyak sekali petualang kelas
bawah, masuk akal jikalau banyak orang saling berpapasan.
Kurasa ketenaran Hestia Familia dari Permainan Perang
melawan Apollo Familia masih ada dan terjaga. Orang-orang
seringkali mengenalku.
Memang benar setiap kali aku berkeliaran di lantai yang
cocok dengan levelku tidak ada banyak orang di sana—aku juga
sendirian—jadi aku yakin bakal ketemu banyak orang. Setiap
kali bersilangan mata, mereka terlihat linglung.
Tapi aku hanya bisa balik menatap saja.
Oh, aku sudah sampai sini ….?
Tiba di Beginning Road lantai pertama, aku berjalan menuju
celah terbuka yang menghubungkan Dungeon dengan dunia atas.
Ada tangga spiral di bawah Menara Babel, serta langit-langit
di atasnya dilukis berwarna biru langit. Nyaris tidak ada orang di
sini, karena pagi sudah lewat, dan aku perginya subuh-subuh—
tepat sebelum sarapan—tepat sebelum jam-jam petualang
pulang dari Dungeon. Mataku tertuju pada tangga keperakan
yang kunaiki satu per satu.
Satu kaki di atas kaki lainnya … seseorang berhenti di
depanku.
“Ah ….”
Ketika melihat ke atas, ada satu orang petualang di sana.
Pelindung dada perak juga satu pedang tergantung di
pinggang.
Rambut pirang panjang berkilauan cahaya lampu berbatu
sihir bagaikan sinar di padang pasir.
Sepasang mata berwarna emas seperti warnanya
menatapku.
“Aiz ….”
Tanpa sadar nama idolaku kupanggil.
c§
“….”
Gadis berambut pirang dan mata emas bercakap-cakap
bersama seorang anak rambut putih sebelum kembali ke dunia
atas bersama-sama.
Seorang penyihir berjubah hitam diam-diam melihat
pemandangan itu melalui kristal biru yang diletakkan di atas
sebuah tumpuan.
“Terjadi sesuatukah, Fels?”
“… tidak.”
Tanggap singkat Fels kepada suara dalam dari balik jubah
bertudung hitamnya.
Ruang Doa di bawah Markas Besar Guild.
Keempat obor yang menyala di tengah ruangan itu
semuanya menjaga cahaya di ruangan berbatu sana. Tepat di
tengah kuil yang telrihat kuno ini terdapat sebuah altar
menjulang tinggi nan agung sebagaimana dewa yang duduk di
atasnya—Ouranus.
“Jadi, tidak ada pergerakan di bawah Babel.”
“Sayangnya tidak. Pemburu-pemburu ini …. Belum ada
tanda-tanda Ikelus Familia sedang melewati menara.”
Fels mengangguk, membenarkan pemikiran Ouranus.
Fels punya mata yang dipasang di atas lubang yang
mengarah ke Dungeon bawah Babel dalam bentuk kristal biru
bulat tersembunyi di ruang bawah tanah menara.
Sebuah okulus, salah satu dari sepasang kristal kembar
ciptaan Fels si Bodoh, dulunya ia dikenal sebagai Sage.
Setiap kristal dapat menampilkan apa yang dilihat dan
didengar pasangannya. Satu-satunya benda sihir di dunia yang
berfungsi sebagai alat komunikasi jarak jauh. Pembuatannya
sangat sulit, Fels kesusahan karena kekurangan bahan-bahan
pembuatnya, dan tingkat penguasaannya sangat tinggi sampai
Perseus pun tidak selevel. Sang penyihir juga memanfaatkan
burung hantu familiar yang telah diselamatkan dari kematian
dengan menggunakan salah satu benda sihir ini sebagai
pengganti mata butanya.
Fels menjadikan kekuatan ponsel okulus ini pengawas para
penjahat dan petualang daftar hitam—seperti mereka memantau
Wiene selagi dirinya berada di dunia atas.
Kegiatan-kegiatan itu adalah rahasia terjaga rapat-rapat
sampai bawahan Ouranus sendiri—dengan kata lain, para
pegawai Guild—bahkan tidak tahu Fels ada. Mengabaikan
pelanggaran kecil atau insiden tak diketahui, penyihir berjubah
hitam telah menjaga Kota Labirin selama bertahun-tahun untuk
memastikan kondisi Orario dan Dungeon takkan memburuk.
“Tidak ada perkembangan baru, Ouranus. Meskipun
identitas sejati musuh kita diketahui, melacak mereka adalah
suatu kemustahilan.”
Seluruhnya berkat upaya Hermes Familia, mereka hampir
yakin bahwa para pemburu yang bertanggung jawab atas
penjualan monster illegal di pasar gelap adalah Ikelus Familia.
Fels telah menggunakan okulus untuk mengamati pintu
masuk Dungeon selama perjalanan menuju Desa Tersembunyi
Xenos dua hari yang lalu. Sekalipun diawasi terus sejak saat itu,
tidak ada penampakan petualang Ikelus Familia lewat.
Pergerakan para pemburu tetap dibalik bayang, seakan-
akan mereka menertawakan usaha Fels.
“Karena mereka belum kembali ke Babel, entah berarti
masih bersembunyi di kedalaman Dungeon atau Rivira …. Lagi-
lagi, kedua hal itu sepertinya tidak mungkin.”
Inti masalahnya adalah cara mereka menghindari mata Fels
sembari mengangkut Xenos yang tertangkap ke dunia atas dan
menyelundupkannya ke luar dinding Orario.
Hanya satu kemungkinan saja yang tersisa.
Penyihir berjubah hitam berbalik dari kristal biru di
tumpuan dan menatap langung dewa yang duduk di altar.
Berusaha berbicara dengan suara tenang nan singkat, Fels
mengungkapkannya jelas-jelas.
“Persis seperti dugaan kita yang lalu-lalu …. Ada pintu
masuk lain Dungeon, terpisah dari Babel.”
“….”
“Benar juga, musuh kita yang menculik monster tidak
mengoperasikan pangkalan di dunia atas—”
Krak. Api di obor memercik-mercik.
Butir api jatuh ke lantai seketika mengheningkan Ruang
Doa.
Dalam cahaya redup ini, Fels dan Ouranus saling bertatapan
namun tidak ada yang berkata-kata.
“Situasi terkini para Xenos?”
Akhirnya, Ouranus angkat bicara.
Sarung tangan hitam berpola rumit Fels menghilang ke
lipatan kain gelap.
“Saya yakin mereka dalam perjalanan menuju Desa
Tersembunyi terpisah sebagaimana rencana …. Akan tetapi, saya
belum menerima kabar kedatangan mereka dari Lido.”
Kristal lain sama bentuk seperti yang berada di atas
tumpuan muncul dari jubah Fels.
Berada di dunia atas tak mencegah kontak rutinan antara
penyihir itu dengan Xenos, berkat sepasang okulus lainnya.
Benda sihir penting yang memungkinkan Fels mempertahankan
komunikasi kapan pun dimana pun mereka berada di Dungeon,
sekaligus menyampaikan misi penyelidikan atau penumpasan
Abnormal.
Namun, okulus punya satu kekurangan, yaitu hanya dapat
berinteraksi dengan pasangannya. Yang artinya, Fels
memerlukan pasangan kristal terpisah kepada setiap lokasi yang
membutuhkan pengawasan atau orang-orang yang
menggunakan jalur komunikasi. Terlampau rumit. Alhasil, jubah
yang menutupi seluruh tubuh Fels dipenuhi kristal.
Para Xenos diberikan beberapa okulus siap pakai, tetapi
pemimpin mereka, Lido, hanya membawa satu okulus yang
terhubung ke dunia atas.
Fels mengambil kristal kuning, hendak mengintip ke
dalam—mendadak kristal itu membeku.
“Ada apa?” Ouranus bertanya, merasa ada yang tidak benar.
Setelah jeda lama, sang Sage itu menjawab dengan suara
gemetar.
“Kristal Lido menggelap ….”
Karena aku sudah keluar dari Dungeon, langit telah cerah nan
biru seperti biasanya.
Matahari tepat di atas kepala, siang hari pasti sudah dekat.
Aku cukup jauh dari jalan utama. Banyak jenis toko
berjejeran di sepanjang jalanan kota. Ada kerumunan orang di
sekitar toko bunga yang pegawainya beberapa manusia hewan
tanpa familia. Beberapa anak-anak bersama mereka, senyum
cerah terpasang di wajah ketika melihat tanaman berwarna-
warni tersebut. Aku melihat mereka sebentar sampai sadar ada
yang menatapku.
Sejenak, dikelilingi suara-suara ramai lagi damai kota, aku
merasa seakan tersesat ke sejumlah tempat asing.
Menghapus pemikiran itu dari kepala, aku berjalan
melewati semua toko dan berhenti.
“… um, maaf. Karena, kau tahu, menyita waktumu.”
“Tidak apa-apa.”
Kami saling berhadapan di tanah kosong yang dikepung
rumah-rumah. Hanya Aiz dan aku.
Selama pertemuan kebetulan kami di tangga spiral Babel,
aku menghentikannya sebab diriku tahu betul dirinya hendak ke
Dungeon.
Alasannya, aku tak yakin. Namun aku tengah mengejar
idolaku sejak lama, dan merasa ada sesuatu yang perlu
kutanyakan padanya.
Pikiranku tak mau tenang. Aiz pastinya memperhatikan
perjuangan batinku dan menyarankan kami sebaiknya pergi ke
tempat lain. Meninggalkan Babel, kami mulai mencari-cari sudut
kota tak berpenduduk. Dan di sinilah kami, saling bertatap
wajah.
“….”
“….”
Mata kami saling bersilangan.
Sudah berapa lama kami berdua sendirian seperti ini?
Kecantikannya melebihi elf atau bahkan dewi, melihatnya
saja sudah cukup membuatmu melupakan jalannya waktu.
Parasnya tak mengungkap banyak emosi, dan aku tidak tahu juga
dia sedang memikirkan apa, seolah-olah matanya terus tertuju
padaku.
Aku hampir melupakan segalanya, bahkan jika mulai
berpikir pun, isi pikiranku hanyalah: Kalau saja kilau emas itu dapat
terus menyihirku ….
“… ada apa?”
Aiz bertanya pelan.
Kata-katanya penuh makna. Seakan-akan mata emasnya
menembus isi benakku. Seakan dia bertanya, Ada apa? Kenapa kau
kelihatan bingung begitu?
Paru-paruku rasanya tegang. Jantungku berdegup kencang
sampai kedengaran telinga.
Mulutku mengering …. Akhirnya, aku berhasil
menyampaikannya.
“Aiz ….”
“….”
“Bila monster punya alasan untuk hidup … punya perasaan
seperti kau dan aku, bagaimana tanggapanmu?”
Aku sudah mengutarakannya.
Seandainya kau menemui monster yang bisa tersenyum seperti orang
lain, meresahkan banyak hal, meneteskan air mata layaknya orang lain—
masih bisakah kau menghunuskan pedang kepada mereka? Aku
menanyakan seorang wanita yang kupuja.
“….”
Aiz menutup bibir tipisnya.
Meskipun dia hampir seratus persen tak paham mengapa
aku mengajukan pertanyaan itu, dia masih memikirkan jawaban
jujur ketimbang merespon santai atau menganalisis pertanyaan.
Waktu berlalu.
Angin hangat musim panas melintasi kami.
Tak sedetik pun mengalihkan pandangan dariku, Aiz
akhirnya membuka mulutnya.
“Apabila monster melukai seseorang …. Tidak, bukan itu.”
Dia berhenti di tengah-tengah kalimat, menggelengkan
kepala—kemudian menyatakan jawabannya.
“Bila ada orang yang menangis karena suatu monster—
maka akan kubunuh monster itu.”
“!”
Bahuku melompat setelah mendengar kata-katanya. Aku
tak bernafas.
Aiz mengucapkan niatnya tanpa ragu-ragu sedikit pun.
Kendati monster itu punya jiwa seperti manusia, dia akan
membunuhnya di tempat.
Balasan idolaku terang-terangan dan brutal. Diriku
membeku.
Saber Aiz tanpa ampun akan merobek Wiene dan Xenos-
Xenos lain …. Gambaran tersebut terbesit dalam kepalaku.
Terkejut, aku menatap raut wajah stagnannya.
Malahan, matanya bertanya kepadaku:
—Sanggupkah kau membunuhnya?
“….!”
Benar juga. Aku kehilangan seseorang yang penting.
Kakek, orang tak tergantikan dalam hidupku, dibunuh oleh
seekor monster.
Dan aku teringat betapa tersedunya diriku menangis saat
itu terjadi.
Akasan aku tak termakan oleh kebencian dan hasrat untuk
balas dendam adalah karena tidak pernah benar-benar melihat
mayatnya dan terasa begitu kesepian kala itu sampai-sampai
amarahnya tak punya peluang untuk menguasai tubuh ini.
Aku tertegun, berdiri di tengah-tengah idealisme dan
kenyataan, antara manusia dan monster.
Jantungku berdebar-debar di hadapan tatapan Aiz.
“Aku—
Kemudian ….
Baru saja berkeringat dan mengerahkan seluruh keberanian
untuk bicara—saat itu pula ….
Dong! Dong!
Dentang menggema di cakrawala.
“?!”
Aku dan Aiz mengalihkan perhatian.
Lonceng yang berdentang setiap siang hari? Tidak.
Lonceng itu selalu berdentang dari ujung timur, tetapi suara
ini jelas dari utara. Terlebih lagi, bunyi dentangnya tak normal.
Tampaknya si pembunyi lonceng lagi terdesak.
“Arah sana, kemungkinan besar Markas Besar Guild ….
Kotanya diberi lonceng peringatan?”
Tutur Aiz membuat bulu kudukku merinding.
Ya, kini aku mengerti. Tak lama ini sedang mendengar
lonceng-lonceng itu.
Tatkala pasukan Rakia—sewaktu Ares Familia
melancarkan serangan ke Orario, mereka membunyikan bel bear
yang sama di atas Markas Besar Guild.
Alarm hanya bisa digunakan untuk mengumumkan keadaan
darurat. Pastinya sistem peringatan Orario.
Aku menahan nafas saat bunyi loncengnya menyerang
gendang telingaku.
“—Darurat! Darurat! Perhatian kepada seluruh familia di
Orario! Guild akan segera mengeluarkan misi!”
Benar sekali ketakutanku telah dikonfirmasi, batu sihir
membawakan suara dari Markas Besar Guild.
Suara blasteran elf yang nampaknya kukenal menggema di
seluruh jalan-jalan kota.
“Monster yang dilengkapi baju zirah dan serba-serbi senjata telah
menghancurkan Rivira di lantai delapan belas! Telah dipastikan
sebagian besar jumlah mereka sedang bergerak!”
—Lalu sampailah pukulan K.O, mengosongkan paru-
paruku.
“Guild memerintahkan penyebaran para petualang untuk
memusnahakan—Apa? A-anda yakin? D-dimengerti.”
Ketika dunia mulai runtuh di sekitarku, sang penyiar
berhenti bingung sesaat sebelum melanjutkan.
“Seluruh penduduk, termasuk para petualang, dengan ini
dilarang memasuki Dungeon! Guild akan menghubungi para
familia secara langsung. Dimohon tetap berwaspada di rumah
masing-masing! Sekali lagi ….”
Urgensinya jelas sekali.
Mata intens Aiz mengarah ke langit. Aku terbungkam
seribu bahasa.
Rivira, dihancurkan?
Monster bersenjata? Sebagian besarnya tengah bergerak?
Lido dan kawan-kawan …. Wiene?
Mustahil. Apa yang ….?
Gelombang panas menyerbuku seiring berputarnya kepala,
tak ada henti-hentinya. Kebingungan dan kekacauan membanjiri
setiap titik eksistensiku, keringat mengaliriku.
Lonceng peringatan bergema tanpa henti di seluruh kota,
penglihatanku mengabur.
Kehidupan sehari-hari kami rasanya telah jungkir balik.
Berita buruk tersampai begitu saja dan mengandaskan kota
dalam ketakutan.
Masalah akan segera menimpa Orario.
Catatan Kaki:
1. Tundra adalah suatu bioma tempat terhambatnya
pertumbuhan pohon dengan rendahnya suhu lingkungan
sekitar. Oleh karena itu, daerah ini disebut daerah tanpa
pohon. Tundra terdapat di wilayah bumi sebelah utara dan
terdapat di puncak gunung yang tinggi. Iklim kutub dengan
musim dingin yang panjang serta gelap dan musim panas
yang panjang dan terang terus-menerus serta memiliki
curah hujan yang rendah menjadi corak khas bioma ini.
2. Turmalin adalah kristal silikat dengan unsur-unsur mineral
seperti aluminium, besi, magnesium, natrium, litium, atau
kalium. Turmalin diklasifikasikan sebagai semi-batu
berharga.
• Warna merah dan pink = rubellite
• Warna biru = indicolite / indigolite
• Warna hijau = verdelite
• Warna kuning = dravit
• Warna hitam = schorl
• Tak berwarna = achroit
Penerjemah: DarkSouls
“Dengar kata-kataku! Monster-monster membawa senjata
menyerang kami! Rivira sudah musnah, tersapu habis!”
Seorang pria berteriak, sekujur tubuhnya terluka.
Membanting tinjunya yang berdarah-darah ke meja, tetes-
tetes merah turun ke bawah. Para resepsionis dan karyawan
Guild langsung pucat pasi ketika mereka mendengarkan laporan
Boris, sebab dialah pemimpin Rivira, kelihatannya baru saja
berhasil kabur.
Markas Besar Guild kacau-balau.
Penduduk kota Rivira terdesak dan merengsek masuk ke
lobi marmer putih ke etalase penerima tamu setelah hampir mati
di lantai delapan belas. Sebagian besar petualang yang
berkeringat jatuh ke lantai karena kelelahan, banyak juga yang
menderita cedera parah.
Alasan mereka memaksakan diri dan memaksa masuk lobi
Guild jelas sekali.
Mereka perlu memperingatkan orang-orang dunia atas
mengenai serangan Abnormal yang terjadi di Dungeon.
“Mereka datang jauh-jauh dari Pohon Sentral! Bermacam-
macam spesies ada di sana, satu-satunya kesamaan adalah
mereka semua terlalu kuat!”
Monster misterius bersenjata dari lantai bawah. Mahluk-
mahluk ini, pastinya subspesies khusus, punya potensi bertarung
satu lawan satu melawan petualang. Mereka langsung menuju ke
pulau di tengah danau, kota Rivira, dan meraung di sepanjang
jalannya.
Masyarakat Rivira terbiasa berurusan dengan Abnormal,
namun serangan ini lebih cepat dari serangan mana pun. Tatkala
dinding luar ditembus, Pos-pos kota terdepan Dungeon langsung
dikuasai. Tak mampu melancarkan banyak serangan balasan,
warga sipil yang kebetulan berada di kota bergabung bersama
petualang dan balik ke dunia atas.
Inkarnasi Rivira ke-334 telah runtuh.
“Spesies apa? Ada berapa banyak?!”
“Apa kau dikejar?! Seberapa jauh mereka datang?!”
Para penyembuh berjalan di antara para petualang atas
perintah karyawan Guild, merapalkan sihir penyembuhan,
membagikan barang-barang penyembuh, membungkus perban
luka-luka sedangkan resepsionis berusaha mengumpulkan
informasi sedetail mungkin. Sembari melanjutkan interogasi dan
analisis, mereka mulai memahami situasi terkini—Abnormal
berjumlah besar.
“T-tolong tunggu sebentar! Bagaimana k-korban jiwa para
petualang ….!?”
“Kami sebagian besar berhasil kabur, tapi … beberapa tidak
berhasil. Sekarang, mereka telah ….”
Boris mengerutkan alis ketika mengutarakan kebenaran
menyedihkannya. Misha, seorang resepsionis berambut merah,
mendengarkannya sambil menangis.
“Ini sungguh-sungguh buruk ….!”
Situasi parah ini kian memburuk tatkala Eina kembali dari
penyampaian pengumuman darurat.
Blasteran elf itu melihat seluruh lobi Guild, wajahnya
berubah sedih.
“Oh, Tulle, kau kembali. Kita butuh lebih banyak orang,
cepat bekerja.”
“Tentu saja, Pak! Sebelum itu saya boleh bertanya?”
Atasan manusia anjingnya buru-buru menemui si bawahan,
namun Eina mengajukan pertanyaan.
“Kenapa pengumumannya berubah ….?!”
Dungeon sekarang dilarang oleh semua petualang. Mereka
diperintahkan untuk berdiam diri di rumah dan menunggu
instruksi lebih lanjut.
Waktu adalah kemewahan yang tak mereka miliki.
Kota Rivira telah jatuh oleh sekelompok monster yang naik
dari lantai dalam. Kota itu adalah titik aman sekaligus garis
pertahanan terkahir mereka. Tanpanya, Guild—tidak, semua
orang yang tinggal di dunia atas—mesti mempertimbangkan
kemungkinan para monster menerobos dan keluar ke dunia atas.
Bila benar terjadi, maka para dewa-dewi yang melindungi
Kota Labirin kehilangan tempatnya di sini, seluruh dunia akan
dalam bahaya.
Sebagaimana dua familia terkuat gagal membunuh Naga
Hitam—ketika mereka gagal menyelesaikan Tiga Misi Besar
masa lalu—dunia, seperti yang mereka tahu, berada di ambang
kekalutan.
Eina tak dapat menerima perubahan perintah begitu saja.
“… itu keputusan manajemen puncak.”
“Manajemen puncak?!”
“Iya. Mereka memaksa kita mengubah pengumumannya ….
Dan lagi, bos tidak kelihatan senang. Menurutku, keputusan ini
tidak hanya datang dari atasan ….”
Manusia hewan ramping itu sangat yakin karena
maksudnya sudah cukup jelas.
Mata hijau zamrud Eina melebar di balik kacamatanya.
Tak mungkin! Hatinya menangis.
“Lord Ouranus ….?”
“Dewa Ouranus! Kenapa Anda mengeluarkan perintah
semacam itu ….?!”
Seorang Elf gemuk berteriak putus asa, wajahnya bersimbah
keringat.
Di Ruang Doa, di bawah Markas Besar Guild ….
Ouranus mendengarkan permintaan mati-matian dari
pemegang pangkat tertinggi Guild, Royman Mardeel, dan
tanggapannya senantiasa sama.
“Tenanglah, Royman.”
“Tenang?! Keadaan darurat tidak sampai seburuk ini!
Apabila kita tidak mengentikan serbuannya sekarang, takkan
ada lagi yang akan menghentikan mereka di sini! Andai kata
sanggup menembus hingga ke dunia atas, seluruh kekuatan
Guild, p-p-pengaruh kita akan goyah .…!”
Tubuh bak babi Royman merinding, seruannya gemetar
takut.
Dewa tua tetap tabah ketika menanggapi kepala Guild, yang
lebih menggalaukan kehilangan pengaruh politiknya ketimbang
kejatuhan pemerintah kota.
“Jikalau monster-monster ini ingin menembus dunia atas,
mereka sudah mengekor para petualang Rivira dan sudah di
ambang pintu Babel sekarang.”
“I-itu … masuk akal.”
“Tidak salah lagi ini Abnormal. Meskipun begitu, terlampau
dini untuk menyatakan kotanya sedang dalam bahaya.”
Ouranus melihat wajah elf gemuk itu melega kemudian
secara resmi menghilangkan ketakutannya.
“Terlebih lagi, Doa-doaku belum tertolak.”
“Ohhhh ….!”
Wajah Royman bersinar terhadap pernyataan itu.
Dewa yang dikenal sebagai Bapak Orario, Ouranus menjaga
Dungeon dengan memanjatkan Doa dari ruangan ini. Kehendak
kuat ilahiah dan tak terduga memungkinkan para petualang
mendapatkan penghasilan dari Dungeon sebab mencegah para
monster bermigrasi ke dunia atas secara massal.
Ouranus mengemban begitu banyak wewenang sampai-
sampai pemastiannya lebih meyakinkan daripada ribuan
penjelasan logis. Seluruh keraguan terhapus dari benaknya,
Royman akhirnya tenang.
“Mengirim banyak familia dalam pertempuran sekaligus
hanya akan memancing kekacauan. Ganesha Familia akan
membentuk tim penaklukan. Tugas mereka adalah
menyelamatkan para petulang di Dungeon dan menginvestigasi
lantai-lantai di bawah lantai menengah. Sampaikan pesannya
kepada yang lain.”
“Ya, segera!”
“Instruksikan lagi. Pergilah.”
“Y-ya.”
Badan berat Royman berlutut di hadapan sang dewa, lalu
bangkit dan berbalik.
Cepat-cepat menaiki tangga panjang yang terhubung ke
lantai pertama, perjuangannya membuat perut buncitnya
memantul-mantul.
Lalu, seakan hampir menggantikan kabar baik—
“Gawat ….”
“Benar.”
—Muncul bayangan dari kegelapan di ujung ruangan,
membentuk wujud Fels.
Ouranus menampakkan ekspresi yang lebih serius lagi
tatkala raga dan emosi sang penyihir terbentuk sendiri.
“Royman bertindak terlebih dahulu sebelum kita
mendapatkan informasinya.”
“Aku lebih suka memahami situasi dan menyusun rencana
sebelum kepanikan terjadi ….!”
Monster penuh perlengkapan yang diyakini termasuk
berbagai subspesies telah menyerbu lantai delapan belas. Yakin
bahwa demikian merupakan tanda-tanda penembusan dunia
atas, Royman dan anggota Guild manajemen puncak lain telah
menjatuhkan keadaan darurat kepada kota.
Reaksi alamiah bagi orang yang tak mengenal keadaan
sekitar kejadiannya. Kemunculan monster yang bukan dari lantai
pertengahan saja, melainkan lantai dalam—monster-monster
biasanya berasal dari satu sampai dua lantai di bawahnya—hal
demikian saja sudah cukup memicu teror.
Ouranus, yang memahami gambaran sepenuhnya, terlambat
bereaksi.
Walaupun terlambat, mereka mengambil pilihan terbaik
berikutnya dan mencoba mengatasi gelombang kepanikan
dengan meralat pengumuman dan misinya.
“Misal informasi kita akurat, para Xenos-lah dalangnya.
Alasan mereka belum pasti, tapi mereka menyerang Rivira ….!”
Jubah hitam Fels berdesir. Dia tak mempercayai kata-kata
itu.
Sang penyihir, yang dipanggil Si Bodoh, berjuang melawan
kompleksitas batin.
“Menurutmu apa yang terjadi, Fels?”
“Kemungkinan besar insiden ini serta kehilangan kontak
Lido saling berhubungan. Hanya dugaan saja, tapi … serangan
pemburu? Dan karena sesuatu membuat mereka menyerang Rivira
….”
Ouranus mengajukan pertanyaan tersebut kepada Fels yang
bertanya pada diri sendiri. “Amarah monster, bukan ….?” Ouranus
duduk tenang di altar sembari menutup mata. “… perintahku
tetap. Persiapkan familiarmu.”
“Lantas ….”
“Ya. Pertama-tama, seperti yang kukatakan kepada
Royman, suruh Ganesha Familia pergi ke lantai delapan belas.
Pos pertahanan mereka di seluruh kota dan gerbang perlu
digantikan. Peserta misi akan dipilih sendiri dari sekutu-sekutu
terdekat kita.”
Mengirim Ganesha Familia ke Dungeon adalah kedok saja
untuk meyakinkan publik bahwa para elit kebanggaan akan
menjaga kerusakan oleh monster seminimal mungkin.
Akan tetapi, alasan sejatinya, adalah memastikan bahwa
para Xenos tak terbunuh dalam pertarungannya. Sekaligus usaha
pencegahan agar mereka tak bisa melancarkan pembantaian
kepada petualang.
Semuanya sudah bergerak. Sebagai badan pemerintahan
Orario, pilihan Guild adalah bertindak.
Di sisi lain, manajemen puncak Guild tidak mengetahui
monster-monster cerdas ini, Ouranus mengerahkan sekutu
terpercayanya, Ganesha, untuk menangani situasi terbaru
sesegera dan serahasia mungkin.
“Bagaimana Hermes Familia?”
“Mereka masih melanjutkan penyelidikan Ikelus dan para
pengikutnya. Saat semuanya sudah siap, Fels, sertai Ganesha
Familia.”
Dewa senior menambahkan bahwa dirinya akan
memberikan perintah langsung kepada Royman. Fels menaati
perintah dewanya.
Selanjutnya, persis saat penyihir berjubah hitam hendak
pergi ….
Ouranus membuka mulut dan matanya gelisah.
“Fels—sertakan Bell Cranell ke dalam misinya.”
“… Ouranus, itu—”
“Nanti jawabannya akan datang. Kita akan menguji bocah
itu … satu-satunya petualang yang berjabat tangan dengan Xenos
….”
Ouranus mengungkit peristiwa di Desa Tersembunyi Xenos
sambil menyipitkan mata.
“Apakah dia seorang anak yang terhanyut dalam situasi ini,
ataukah manusia yang dikendalikan para dewa-dewi, atau
mungkin ….?”
Tutur dewa itu bergema ke ceruk-ceruk gelap ruangan.
Fels mengangguk beberapa saat kemudian, jubah hitam
diterangi nyala api obor.
“Saya mengerti …. Dan saya sekali lagi akan mematuhi
kehendak ilahiah Anda.”
Penyihir itu sekali lagi balik badan dan pamit undur diri dari
altar.
Sang dewa tetap diam, mengamati seksama ketika fase
situasinya kian meningkat.
Βοήθεια
Trang, trang.
Seolah beresonansi dengan kekacauan yang tengah terjadi di
tempat jauh, suara-suara kandang bergoyang dan derak-derak
rantai terdengar tanpa henti.
“Dix!”
“Ya, apa sih? Kau menghalangi, Gran. Aku ingin
mengajarkan mahluk-mahluk ini definisi rasa sakit.”
Dix berdiri di ruang gelap berbatu, memegang tombak
lengkung jahatnya saat berbalik dan menghadap bawahannya.
Namun pria bertubuh besar terus mengoceh, memotong sebagian
jawaban kesal bosnya.
“M-monster bersenjata muncul di Rivira dan
memusnahkannya …. Seratus persen berantakan di sana!”
“… rinciannya?”
Mata merah Dix terfokus pada lelaki sebesar gunung dari
balik kacamata googlenya.”
Gran menjelaskan seperti permintaan. Memberitahu
segalanya mengenai sekelompok monster yang menyapu lantai
delapan belas. Dia juga bilang Orario telah menyatakan keadaan
darurat.
“Monster bersenjata …. Hei, hei, kau bercanda? Kalau benar,
mangsanya malah mendatangi kita,” ucap Dix.
Gran melihat lorong.
Serangkaian kandang besi panjang berbaris bak penjara di
atas lantai batu dingin. Ukurannya bervairasi dari kecil sampai
sangat besar sejauh mata memandang.
Sosok-sosok di dalam kandang terlampau banyak untuk
dihitung, mereka menggeliat-geliat.
“Tidak bisa tenang? Kesal kepada para pemburu seperti
kita?”
“A-aku tidak tahu pastinya, tapi ….”
“Kenapa mereka bergerak ke Rivira? Ahaha, begitu toh
maksudnya.”
Mantap betul, monster.
Ejekan Dix tersisip sentuhan kebencian di dalamnya.
Dia tahu betul pada apa yang terjadi di luar markas mereka.
“Rivira bagaimana?”
“… hancur lebur. Parah banget sampai-sampai Guild
menjatuhkan misi, kedengarannya begitu,” tutur Gran dalam
suara selirih mungkin. Seumpama dia memasang telinga baik-
baik, Dix dapat mendengar raungan para monster, membuat para
pemburu lain marah-marah terhadap perubahan peristiwa ini.
“Kita terlalu berlebihankah? Sepertinya para hewan buas
lebih kuat dari perkiraan kita.”
Kata-katanya mungkin serius, namun wajahnya tak pernah
berhenti tersenyum.
Dix cekikikan girang walaupun monster-monster kuat ini
menghancurkan Rivira. Gran merasa lega tatkala melihat sosok
tenang pemimpinnya seperti biasa, tindak-tanduk tak kenal
takut dan mata gelap tak kenal ampunnya. Senyum tak
meninggalkan wajah, meskipun kulitnya berkeringat dingin.
“Dewa kita belum balik-balik juga. Sekarang …. Cari tahu,
langkah selanjutnya ….”
Memukul tombak ke bahu, Dix balik badan.
Seekor gadis naga muncul di garis pandangnya, terbelenggu
layaknya pengorbanan hidup, masih tak sadarkan diri dengan air
mata segar menggulung turun ke pipinya.
Ö
“—Jinakkan mereka?! Kita mesti menjinakkan target misi
kita?!”
Suara seorang wanita muda telah pergi ke langit biru.
Kotanya, masih diliputi getaran, energi kepanikan,
seluruhnya telah tertuju pada Taman Pusat.
Para petualang dan masyarakat, dewa-dewi. Lingkaran
pengamat telah terbentuk di sekitar tepi taman, semuanya fokus
pada petualang-petualang kuat yang berkumpul di dalamnya—
Ganesha Famiia.
Di tengah-tengah semuanya, satu pengumuman
mengacaukan tim penaklukan.
“Apa salahnya?! Kita sedang dalam kondisi darurat, benar?!”
“T-tertulis dalam dokumen yang Guild kirimkan kepada
Lord Ganesha dan beliau menyerahkannya kepadaku … t-tapi
melarangku untuk menunjukkannya kepada siapa pun.”
“Terus apa? Itu tidak memberitahuku apa-apa! Beritahu
detailnya! Detail! Anu—entah kau siapa!”
“Kau tahu aku tidak bisa, Ilta! Namaku Modaka!”
Seorang pemuda berteriak sekeras-kerasnya, mengoreksi
seorang Amazon berkulit gandum dan rambut merah membara
di depannya.
Persis sebelum Ganesha Familia memulai misinya, instruksi
di menit-menit terakhir Guild telah mengubrak-abrik kelompok
penaklukan. Tanpa penjelasan lebih lanjut, Guild
memerintahkan tim penaklukan untuk menjinakkan para
monster, tugas yang jauh lebih sulit ketimbang langsung
membunuh mereka. Apalagi monster-monster itu teramat
perkasa sampai sanggup menghancurkan Rivira.
Petualang kelas satu, Ilta Faana, kini menjadi pusat
perdebatan yang dipicu oleh perintah tak masuk akal juga
keterlaluan Guild.
“Santai sedikit ngapa, Ilta! Tidak sulit memahaminya!
Monster-monster ini menggunakan senjata, kan? Guild melihat
rezeki valis, berpikir bahwa subspesies langka ini akan menarik
banyak perhatian kepada Monsterphilia, dan mereka ingin kita
membawanya hidup-hidup—tidak ada penjelasan berikutnya!
Dasar orang-orang serakah! Bukan waktunya nyari valis! Bawa
aku ke bawah sana dan akan kubakar semuanya dengan tornado
apiku! BAKAR, BAKAR SEMUANYAAAAA!”
“Ibly bacot! Timmu di dunia atas!”
“HAAAAAAAAAH?! TIDAK ADA YANG NGOMONG
APA-APA KEPADAKUUUU! PERGILAH KAWAN, MENANG
‘KANNNNNNNNNN!”
“Tolong semuanya, tenanglah! Dan Ibly, sudah cukup!”
Anggota Ganesha Familia yang memperbincangkan topik
bola api mengamuk-ngamuk sendiri di tengah taman, memicu
kemarahan Ilta. Para pemimpin lain, termasuk Modaka1, tahu
saat ini tidak tempat untuk membiarkan emosinya terlepas tanpa
kendali—kendati bakalan jauh lebih buruk mana kala dewa
mereka ada di sini—makin-makin meragukan jajaran kelas-kelas
Ganesha Familia.
Gelombang kecemasan dan bisik-bisik gugup mulai
menyebar ke kerumunan warga yang menonton dari luar taman.
“Ilta, tenanglah. Kalian semua juga.”
“Tapi, kak ….!”
“K-komandan Shakti2 …. Maafkan aku.”
Kepala Ganesha Familia, Shakti Varma, angkat bicara saat
melangkah ke dalam kekacauan.
Rambut biru langit berpotongan pas sampai tengkuk,
sikapnya super santai. Tingginya 170 celch, reputasinya sebagai
wanita cantik menggairahkan sangat layak. Kaki panjangnya
dipakaikan sepatu boot logam, dan keling kebesaran melindungi
tangannya, dipastikan bahwa dirinya sudah lebih siap
menghadapi pertarungan jarak dekat. Menyandang gelar, Tongkat
Ganesha, Ankusha, pangkatnya setara sang Putri Pedang sebagai
seorang manusia kelas pertama.
Ilta si Amazon yang memanggil Komandannya kakak,
mengakui kekuatannya (secara paksa), dan terdiam di hadapan
petarung yang lebih kuat. Para petualang elit lain menunduk
ketika Shakti menoleh ke Modaka.
“Pendapat Lord Ganesha terkait perkara ini?”
“I-ikuti perintah Guild ….”
“Aku mengerti,” responnya, satu-satunya eksistensi tenang
dalam badai kehancuran yang berputar-putar di atas familia. Dia
menutup mata.
Membukanya sesaat kemudian, Shakti menghadap
bawahannya dan menyatakan:
“Kita akan menjinakkan monster-monster tersebut.
Membawanya ke sini, baik-baik.”
“Kak, kau yakin?!”
“Kita melayani Dewa Massa, Ganesha. Keyakinan kita
terpangku kepadanya, dan kita wajib mengikutinya. Salahkah
aku, Ilta?”
Bulu kuduk Amazon itu merinding oleh tatapan tajam tak
berawan Shakti. Matanya membeliak dan mengangguk.
Terperangah oleh keteguhan besi dan pengabdian kepada
dewanya, anggota-anggota Ganesha Familia lain memasang
tampang lebih tenang. “Kita pergi sesuai sinyalku. Bersiaplah!”
suara dingin Shakti membentak udara bagaikan cambuk.
“W-waw ….”
Di tengah semua suara gelisah Taman Pusat, Bell buru-buru
menutup mulut untuk menghentikan lirih kagumnya.
Bell mengenakan tali panjang di depan baju zirahnya dan
cuma memakai ransel saja di pundak—seperti perlengkapan
Lilly—dia terlihat bak pendukung.
Jauh dari tatapan risau para warga selagi menunggu
keberangkatan dan semakin dekat dengan pertengkaran internal
Ganesha Familia, dia sudah berbaur dalam tim penaklukan.
“Lord Ganesha berkata kau akan berguna sebagai penyidik
seluruh latar belakang kejadian ini, kami tak punya banyak
pilihan, selain … jangan tampil menonjol, Pemula Kecil. Akan
kujelaskan kepada semua orang yang menyadarimu bahwa kau
hanya seorang pendukung, tapi jangan maju-maju. Bakalan
merepotkan seumpama Ilta tahu kau di sini.”
“D-dimengerti …. Maaf.”
Modaka berhenti dan membisikkan telinga Bell dalam
perjalanan. Anak Hestia itu secara reflex meminta maaf.
Intinya sudah tersampaikan, anggota rajin lain Ganesha
Familia langsung pergi. Suara lirih terdengar dari samping Bell
sewaktu dirinya pergi.
“Menjinakkan, seperti yang kita minta. Dewa Ganesha
benar-benar datang.”
“Fels ….”
“Tim penaklukan akan menjaga kerahasiaanmu. Tetap
bersama mereka di lantai delapan belas.”
Suara itu mencapai telinga Bell dari ruang yang kelihatan
kosong.
Suara tersebut adalah Fels. Seorang penyihir yang tak kasat
mata karena tudungnya, seperti helm yang Asfi buat dan pernah
dilihat Bell. Karenanya, tak seorang pun dapat melihat sosok
berjubah hitam ini.
Bell menerima peralatannya segera setelah keluar dari
lorong rahasia Markas Besar Guild untuk berbaur dengan para
pendukung. Penyihir itu, kelihatan sangat asing dan
mencurigakan seketika mereka mendekati Taman Pusat,
mendadak menghilang ke sebuah tabir sebelum bergabung
dengan tim penaklukan.
“Sudah waktunya. Aku akan masuk duluan.”
“Oke.”
Penyihir itu bergerak ke Babel agar tidak menabrak orang
lain selama perjalanan mereka. Bell samar-samar dapat
merasakan eksistensi Fels, dan anak muda itu menyaksikan
sosok samar itu menghilang dan ….
“Bell!”
“Bell!” “Bell-sama!”
“!”
Seseorang memanggil namanya, Bell pun merasakan
sentuhan tangan di bahunya.
Dia berputar-putar dan segera mendapati Hestia, Welf,
Lilly, Mikoto, dan Haruhime yang berusaha menembus
kerumunan.
Anggota Ganesha Familia yang tinggal di belakang
membentuk sebuah formasi lingkaran di sekitar Menara Babel
sebagai pengendali massa. Beberapa anggota mesti menahan
kelompok yang mati-matian memanggil bocah itu.
Kenapa kalian—? Keterkejutan Bell hanya sesaat.
Menyadari kerisauan di mata teman-temannya, Bell
mengalirkan seluruh kehendak dan tekad ke dalam matanya.
Aku pergi. Tolong biarkan aku.
Lilly dan Welf nampak kesal, jelas-jelas ingin mengutarakan
isi hati mereka. Mikoto dan Haruhime juga sama. Mereka tak
bisa bergabung ke dalam Dungeon ataupun menghentikannya.
Hestia melakukan kontak mata dengan Bell di tengah
teriakan dan dorongan massa.
—Berhati-hatilah, oke?
—Oke!
Percakapan mereka tak butuh kata-kata.
Sang dewi berhasil meniadakan semua ketakutannya dan
mendukung bocah itu. Bell menanggapi dengan anggukan kuat.
“Majuuu!”
Warga bersorak-sorai tatkala Shakti mengeluarkan
perintah.
Hestia dan familianya melihat Bell pergi memasuki gerbang
Babel bersama anggota-anggota penakluk lainnya.
“Aisha! Kau tidak bilang kalau Leon akan ikut juga!”
“Apa salahnya ditambah satu orang lagi? Kau tahu dia itu
sekuat apa, tidak usah dipikirkan.”
“Beritahu aku: apa rencanamu kalau tidak kuberikan Kepala
Hades padanya ….?”
“Andromeda, Ganesha Familia sudah bergerak. Kita juga
mesti ikut.”
“!”
Dinaungi pohon berdaun lebar Taman Pusat, jauh dari
massa yang tempik sorak, seorang manusia, Amazon, dan elf
saling berbicara.
Dengan erangan yang tak cocok bagi wanita seperti dirinya,
Asfi memberikan barang sihir kepada Aisha yang membawa
pedang kayu besar, juga Lyu dalam jubah bertudungnya. Mereka
bertiga langsung menghilang, mendadak buyar begitu memakai
barangnya, kemudian melewati pengendali massa dari anggota
Ganesha Familia yang lengah.
Xenos semua …. Wiene.
Tim penakluk semata-mata mengikuti perintah saja,
penyihir berjubah hitam, penyelundup tak diundang, dan
seorang bocah yang melewati gerbang sambil memikirkan
banyak hal.
Mereka bergerak maju menuju Dungeon, di bawah langit
biru nan indah serta mata penduduk kota yang mendukung
mereka.
Catatan Kaki:
1. Para penyembah Ganesha biasanya memberikan manisan-
manisan seperti Modaka dan bola kecil manis yang namanya
laddus. Jadi “Modaka” ini manisan buat Dewa Ganesha.
2. Ankusa (Nama gelar Shakti Varma), adalah senjata Dewa
Ganesha, yakni berbentuk “TONGKAT”
Volume 10 Bab 9
Mimpi Mahluk Buas
“Rivira ….!”
Bell mendapati pilar-pilar asap menyembul dari barat begitu
dia muncul dari lorong redup cahaya.
Tim penaklukan menembus Dungeon dengan kecepatan
tinggi dan tiba di lantai delapan belas dalam waktu singkat. Para
elit Ganesha Familia membasmih monster-monster yang
menghadang tanpa henti, anehnya malah Bell yang kehabisan
nafas dan berjuang mati-matian menyusul sebagai pendukung.
Tim penaklukan beranggotakan tiga puluh orang tiba di
tempat kejadian dan langsung beraksi.
“Komandan, perintahmu ….!”
“Tunggu, saudari—lihat ke sana!”
Ilta si Amazon menyela Modaka dan menunjuk tinggi-tinggi
ke atas kepala mereka.
Beberapa bayang-bayang gelap mengepak-ngepak secara
berbarengan persis di bawah langit-langit berkristal cerah.
“Monster bersayap … mengenakan baju zirah.”
Shakti kesulitan meyakini sesuatu yang masih sangat jelas
dia lihat.
Monster menggunakan pelat-pelat pelindung dan baju besi.
Menurut informasi para penyintas, merekalah monster yang
menyerang Rivira, dan tugas Ganesha Familia adalah
menjinakkan semuanya.
Para petualang tertangguh familia menyipitkan mata,
membuat Bell makin gugup, dan melangkah keluar dari
terowongan. Kelompok itu berbaris langsung menuju hutan di
jalan mereka dan menerjang masuk ke dalam dataran luas jauh di
depan.
“… ada monster lain, di dataran sana ….!”
“Pindah ke timur … ke hutan? Kenapa juga mereka ke sana?”
Dari sisi barat lantai Rivira, mereka berlari melintasi
dataran dan melewati Pohon Sentral, menuju hutan lebat sebelah
timur.
Ganesha Familia menonton sekelompok monster yang
jumlahnya melebihi rekan-rekan monster bersayap yang juga
menyusuri bentang alam tersebut.
Adapun alasan para monster menghancurkan Rivira dan
pergi ke hutan besar, tim penaklukan hanya bisa berangan-
angan.
“Saudari, bagaimana?”
“… kita bagi dua kelompok. Momonga, bawa tim skala kecil
ke Rivira! Lihat-lihat di sana apakah ada yang selamat atau
tidak!”
“Siap, Bu! Dan juga, nama saya Modaka!”
“Sisanya, ikut bersamaku! Kita ikuti monster-monster yang
masuk ke hutan sana!”
Nama pemuda yang salah sebut itu segera mengumpulkan
lima petualang lalu berpisah dari pasukan utama Shakti. Bell
berhenti sejenak di bagian belakang formasi seketika kedua
kelompok berangkat ke arah berlawanan, bingung dia mesti
pergi ke mana, saat itu ….
“Ayo pergi ke hutan.”
“Fels!”
“Rivira sekarang tak lebih dari kota hantu. Lido ada dalam
kelompok monster yang pergi ke timur.”
Fels praktisnya tak kasat mata di samping Bell, ia
menyampaikan informasi demikian.
Memang benar, Bell juga melihat mereka.
Melihat seekor siren dan gargoyle di tengah-tengah monster
terbang bersayap. Dan monster daratnya adalah lamia, troll,
unicorn … serta lizardman yang berlari melintasi dataran.
Kebenaran mulai terungkap, hatinya berdegup lebih cepat
dari sebelum-sebelumnya. Si bocah awalnya lega tak melihat
gadis naga di antara kelompok-kelompok itu, namun kian lama
makin meresahkannya.
Menarik nafas dalam-dalam biar emosi rumitnya menenang,
Bell mengangguk kepada Fels dan mengikuti Shakti. Dia berlari
cepat sembari mengayunkan tangannya sampai-sampai jubahnya
berkibar bagai bendera terbawa badai.
Hutan lebat nan rapat yang membentang dari tepi selatan
sampai timur lantai delapan belas bentuknya bagaikan teluk
besar, tempat pelabuhan sempurna jika Zona Aman Dungeon ini
terhubung lautan. Sangatlah luas, menutupi lebih dari seperlima
wilayah Under Resort. Dibanding wilayah selatan lantai,
dedaunan di bagian timur dan tenggara penuh kehijauan, apalagi
pepohonannya terlihat lebih besar.
Lumut-lumut tumbuh di akar pohon yang terbuka. Pohon-
pohon tinggi membentuk kanopi hijau tebal jauh di atas kepala.
Sungai biru jernih berliku-liku di sepanjang dataran. Percak-
percik bunyi air menetes. Kristal putih lagi biru yang terlampau
raksasa sampai dikira pendek hanya karena kilauannya. Semua
hal layaknya mimpi tersebut, bentang alam indah kini hanyalah
kelabu. Bell kelewat fokus mengikuti tim penaklukan hingga tak
sempat berpikir apakah Fels tak terlihat itu masih bersamanya
atau tidak.
Kemudian Shakti yang terus-menerus mengawasi monster
bersayap jauh diatas cabang-cabang pohon dan dedaunan di
kepala formasi, ia mengangkat lengan. Sinyal kepada para
bawahannya. Mereka hendak mencegat target. Pertemuan yang
ditunggu-tunggu sudah di depan mata.
Bell memberanikan diri terhadap momentum tersebut.
Namun sebelum ia cukup dekat untuk melihat monsternya
secara langsung, sebuah raungan entah darimana menarik
perhatiannya
“Hah ….?”
“Apa-apaan ini ….!”
Ganesha Familia mendekati raungan ganas di atas dan
melihatnya—monster terjebak dalam pertarungan hidup mati.
“Mereka bertarung satu sama lain ….!”
Shakti sang pemimpin, Ilta si Amazon, dan para petualang
lain menyipitkan mata sekaligus kebingungan, berusaha
memahami kejadian itu.
Faktanya, hanya Fels dan Bell-lah yang mengerti.
Para Xenos yang ditargetkan manusia dan monster satu
kaum, sedang diserang.
Sekilas, Bell tidak menyadari bahwa monster-monster yang
bertekad mecabik-cabik musuh-musuh mereka adalah yang ia
jabat tangannya beberapa hari lalu. Aura mereka teramat
berbeda. Seolah-olah orang-orang liar haus darah meretas dan
merengsek maju melewati para penghadang—bugbear dan mad
beetle—di jalan mereka.
Bell menonton dari balik tudung, matanya gemetar, ketika
salah satu kawan Xenos-nya diserang.
Mendadak—para Xenos meraung dan maju tanpa pikir
panjang.
“?!”
Pertempuran pecah sebelum Bell dan Fels dapat memproses
keterkejutan mereka.
Melihat para manusia menyalakan kembali amarah Xenos,
mata merah mereka berdenyut-denyut selagi menukik turun
menuju para pendatang baru dengan mengemban dendam
kesumat dahsyat.
“Majulah, prajurit-prajuritku!”
Sahtki berteriak dengan hati tenang, seluruh Ganesha
Familia berseru di belakangnya.
Pedang saling berbentrokan di hutan.
“Saudari! Apakah kita perlu menjinakkan mereka semua?”
“Hanya subspesiesnya saja! Fokus pada yang mengenakan
baju besi!”
Tanpa peringatan, semua monster yang bertarung satu sama
lain balik menyerang petualang-petualang dengan amarah hebat.
Para pendukung buru-buru mengeluarkan cambuk penjinak,
menyerahkannya kepada Sahtki saat dirinya memberikan
perintah kepada Ilta.
Target mereka dapat dengan mudah dibedakan. Monster-
monster yang bertarung dengan cakar dan kulit lebih menonjol
dibanding monster bersenjata dan berbaju zirah. Tiada
pertanyaan, fokus mereka adalah pada monster yang kedua.
Paling penting lagi—Mereka semua kuat. Meskipun target-
targetnya memakai baju besi, para petualang langsung bisa
mengetahui perbedaannya dalam pertarungan.
Bugbear dan mad beetle dengan mudah dapat dikalahkan,
tapi mereka bingung cara menangani monster-monster
bersenjata. Anggota Ganesha Familia mengerutkan wajah
frustasi ketika senjata mereka berkali-kali dihempaskan.
“Fels—!”
“ORAAAAAAAAAAAAAAA!”
“—Gah!”
Bell terpisah dari Fels dalam gelombang serbuan musuh.
Mempertahankan posisinya saja sudah sangat sulit. Tak sempat
menarik pisau, Bell berzig-zag, melompat, menghindari cakaran
dan taring yang menyerang sampai terpaksa bertahan dengan
sarung tangan di balik jubahnya.
Terdapat tiga pasukan dalam pertarungan hutan rimbun ini.
“Ganesha Familia mulai terdesak.”
—Beberapa pasang mata mengawasi dari tempat tinggi tak
jauh di belakang.
Aisha, Lyu, dan Asfi mengintai di balik semak-semak padat
sambil menonton pertarungan.
Ketiga wanita itu mengikuti Bell dan anggota tim penakluk
lainnya sampai sana, berdiam diri cukup jauh di belakang agar
tak terdeteksi. Pertarungan tak terduga ini sudah berlangsung
tatkala mereka sampai.
“Monster-monster bersenjata … mereka kuat. Beberapa
malah ada yang lebih-lebih lagi, apalagi mereka semua veteran
perang.”
“Ya, dan dari sosok saja sudah kelihatan kalau mereka haus
darah. Semoga berhasil deh menjinakkannya. Sepertinya sang
Ankusha dan pemimpin lain sedang mengurus masalah masing-
masing ….”
“Yah, berarti mereka sama sekali tak bisa dijinakkan.”
Asfi berkomentar lirih di samping Lyu yang melepaskan
helmnya, mendadak muncul begitu saja.
Ganesha Familia punya lebih banyak petualang kelas satu
daripada familia-familia lain Orario, totalnya sebelas. Mereka
semua barangkali hanya level 5, namun masing-masing petualang
dapat berkelana tanpa masalah ke lantai dalam dari sebuah
ekspedisi, menjadikan grup ini salah satu familia terkemuka Kota
Labirin.
Kini, tim penaklukan beranggotakan tiga puluh petualang
isinya Level 3 ke atas. Tidak pernah ada kekurangan petualang
kelas satu di jajaran mereka.
Akan tetapi, dibebani kewajiban malang untuk
menjinakkan monster-monster ini berarti Ganesha Familia tak
dapat bertarung dengan kekuatan penuh. Pertempuran tak
terorganisir ini hanya semakin memperburuk keadaan.
Namun ketakutan terbesar mereka adalah kekuatan
monster berzirah.
Sekurang-kurangnya, tiga dari mereka—gargoyle, siren, dan
lizardman—telah mendemonstrasikan kemampuannya dalam
pertarungan satu lawan satu dengan petualang kelas satu yang
pasalnya paling kuat di sini. Sayap-sayap batu yang fungsinya
sebagai tameng seketika berubah menjadi senjata tumpul,
kemudian gelombang suara kuat meledak di udara, pedang
panjang dan scimitar digerakkan teknik liar penggunanya. Selain
Shakti, para petualang terpaksa bertahan agar serangan balik
gencar tak membunuh mereka.
Mendapatkan sejumlah besar informasi, Asfi sudah
mengetahui eksistensi Xenos sebelumnya. Dia tetap tenang,
berhati-hati mengamati situasi dari jauh.
“Asfi, Leon. Harap hindari pertempuran tak perlu.
Menampakkan diri kita hanya akan mengundang lebih banyak
masalah. Tujuan di sini semata-mata hanyalah mengumpulkan
informasi dan melindungi Bell Cranell—”
Wussssh. Lyu mendadak berdiri di tengah-tengah arahan
Asfi.
“Aku akan membantu.”
“Huh, tunggu—Leon!”
Rasa keadilan pejuang elf itu tak membiarkannya duduk
manis di pinggir medan tempur dan menyaksikan Ganesha
Familia menderita.
“Terlebih lagi, kita kehilangan Tuan Cranell. Aku akan
bertarung sambil mencarinya.”
“Bukannya kau terlalu protektif? Tuh bocah bisa
melindungi dirinya sendiri bila mana keadaan memaksa.”
“Kaulah orang yang membawaku ke sini dengan tujuan
melindunginya … ataukah kau hanya akan berdiam diri saja?”
“Oh, kau tahulah aku akan pergi.”
Mengabaikan mulut Asfi yang menganga, Aisha si Amazon
mengangkat pedang kayunya dan diletakkan ke bahu selagi
dirinya merasa girang.
“P-paling tidak kenakan helm! Lebih mudah bergerak saat
tak terlihat, dan lebih gampang daripada—!”
“Sifat alamiahku enggan bersembunyi dari pertempuran.
Taktik ceroboh tak cocok untukku.”
“Aku juga tidak memerlukannya. Semua helm dan zirah
fungsinya cuma penghambat saja, kan?”
Asfi mengulurkan tangan, kacamata meluncur ke bawah
hidungnya. “Bentar ….!” Teriakannya sia-sia ketika Lyu dan Aisha
membuang Kepala Hades ke tanah. Kain tempur bergelombang
saat mereka balik badan, dua orang wanita merengsek masuk ke
dalam pertempuran.
Barang sihir langka buatan, bernilai ratusan ribu varis,
tergeletak di lantai begitu saja.
“Sumpah deh ….!”
Asfi buru-buru memungutnya. Si pembuat barang, yang
hasil pekerjaan hidupnya telah tertolak, meninggalkan Kepala
Hades di tempat dan tetap setia dalam bayang-bayang tak
nampak.
&
“Gros!”
“Kau telat, Lido!”
Si lizardman menyusul gargoyle yang memimpin para
Xenos.
Mereka tiba di tepi timur hutan. Daerah ujung lantai.
Permukaan batu-batu curam yang menghadap ke langit-langit di
depan mereka.
Tidak ada jalan ke depan. Dataran tidak lebih jauh dari sini.
Banyak Xenos mencari-cari petunjuk tentang tumbuhan
dan pilar kristal, menyisir area tersebut demi detail kecil apa pun
yang barangkali mereka dapati, tidak satu pun batu terlewati.
“Bagaimana pintunya? Kau ketemu?”
“Tidak, tidak ada apa-apa di sini! Rekan kita tidak
menjawab, walau telah dipanggil berkali-kali!”
Gros mulai resah. Lido bergabung dalam pencarian, bidang
penglihatannya dikaburkan oleh pohon atau batu di segala arah.
Tidak ada yang kelihatan aneh selain pemandangan berulang-
ulang.
Boleh jadi mereka ditipu. Gros, Lido, dan Xenos lain
berusaha tenang dari kata-kata terakhir seorang pemburu—Kau
tidak punya salah satunya, jadi kau tidak bisa masuk ke dalam!—
berdering terus di telinganya.
“—Lido!”
Seketika itu terjadi.
Goblin bertopi merah berteriak heran sambil menunjuk-
nunjuk. Tatapan Lido mengikuti jari si goblin. “Itu ….”
Σκύλα
Πέλεκυς
Τέρας
Mustahil ….!
Asfi dikacaukan pemandangan tersebut.
Tangan dan kaki terkulai lemas di tanah, bilah merah di
tanah meneteskan darah, serpihan-serpihan senjata rusak
berserakan.
Tubuh-tubuh para petualang yang terkapar, nyaris tak
bernafas di bawah titik pengamatnya.
Mereka dibantai.
Para elit Ganesha Familia, petualang kelas satu Orario,
semuanya dikalahkan oleh seorang monster.
Sama seperti Shakti, Ilta langsung pingsan dalam sekali
pukul. Semuanya telah berakhir sebelum tahu apa yang
menabrak mereka.
Musuh secara khusus menargetkan anggota-anggota
terkuat tim penakluk, mengalahkan mereka satu per satu
sebelum menghampiri sisanya. Tanah-tanah hancur dari satu
ayunan Labrys ganda. Menebang pohon besar dan menginjak
formasi para petualang dengan kaki masifnya.
Kulit hitamnya sama sekali tidak terluka.
Huff, huff! Nafas putus-putus dari moncong kuatnya bergema
di seluruh hutan sunyi.
Ia berdiri di tengah-tengah medan tempur penuh tubuh-
tubuh petualang yang tergeletak layaknya mayat, ia bagai raja
malapetaka.
Black minotaur ….?!”
Dia tidak tahu itu. Tidak juga pernah mendengarnya.
Monster sebesar itu tidak ada dalam pengetahuan Asfi.
Detak jantungnya mengguncang seluruh tubuh dari dalam.
Berjuang mengatur nafasnya melawan irama kuat. Berhati-hati
untuk tidak membuat suara, memberitahu tangan dan kaki
untuk tak mengguncang barang sihir yang membuatnya tembus
pandang.
Ia menyesal.
Dia tidak memprioritaskan pengumpulan informasi dan
meninggalkan medan perang begitu saja.
Membiarkan Lyu dan Aisha memengaruhinya dan
membiarkan rasa keadilan meyakinkannya untuk memberi
bantuan dari bayang-bayang—semuanya salah.
Mestinya dia melarikan diri cepat-cepat.
Melihat sesuatu di depannya, melawan tubuhnya yang tidak
mau menurut, Asfi menyesali segalanya.
“Pasti ini bercanda ….”
“….”
Selain monster hitam itu, dua orang masih bertahan di sana.
Aisha dan Lyu.
Mereka tidak bergabung dalam pembantaian tanpa
perlawanan yang sudah berakhir itu. Wajah-wajah mereka
merasakan urgensi. Keduanya berdiri kewalahan dan tidak
bergeming di depannya.
Monster-monster lain menghilang. Seolah mereka tahu
kejadian ini akan terjadi, mereka meninggalkan pertempuran dan
pergi ke timur.
….?!
Larilah, Asfi memohon dalam hatinya.
Menjauhlah sejauh mungkin! Hatinya menjerit kepada wanita-
wanita itu.
Akan tetapi, elf dan prajurit Amazon pelan-pelan
mengangkat senjata mereka, secara simbolis menolak
permintaan Asfi.
Para wanita dikelilingi tubuh tak sadarkan diri Ganesha
Familia.
Namun mereka semua masih bernafas.
Tidak tega meninggalkan para petualang sekarat ini kepada
maut masing-masing, Lyu dan Aisha menodong monster hitam
tersebut.
Asfi menggertakkan gigi, merasa tak berdaya.
“….”
Suasana mulai tegang.
Lyu merosot, bilah kayu Aisha bersiul, Asfi meraih sarung di
pinggangnya meski kegelisahan masih menyengat.
Tiga jantung berdetak bersama-sama.
Langkah pertama monster hitam itu adalah sinyalnya. “!”
Kedua petualang menerjang dalam satu waktu bersama Asfi
yang tak kasat mata melompat dari pohon tempatnya bertengger,
melempar jarum-jarum tajam dan Minyak Ledak kepada hewan
buas itu.
Sang monster dengan sangat gampang memblokir tiga
jarum yang muncul tiba-tiba dengan sarung tangan. Minyak
Ledak seketika meledak beberapa saat kemudian. Niatnya tidak
untuk membuat serangan. Akan tetapi, asap serta nyala api akan
menganggu penglihatan musuhnya. Dua petualang yang maju
berganti arah, maju dari sebelah kanan dan kiri.
Terperangkap dalam serangan penjepit, musuhnya—
mengincar Aisha.
“?!”
Bayangan hitam menembus asap.
Jarak antara mereka menjadi nol dan satu tendangan kaki
kuat muncul dari balik asap. Ketiganya bergidik ketakutan —
Lyu, hewan buas tersebut menghilang dari penglihatannya,
Asfi mengamati dari udara, dan Aisha-lah targetnya.
Dia mengangkat pedang kayu besar untuk menahan
serangan Labrys yang mengincar wajahnya.
“.”
Sedetik kemudian senjatanya hancur sehancur-
hancurnya.
Tulang pada jemarinya retak-retak sebab tabrakan itu.
Bilah tebal hancur sekali serang di depan wajahnya, hujan
pecahan perak memenuhi penglihatan Aisha. Kendati
Amazon itu mengorbankan senjatanya sebagai pembuka
serangan, dia tidak bisa menahan serangan selanjutnya.
Musuh tanpa ampun mengayunkan tangan kanannya,
menghantam Aisha sekejap kemudian.
“Arghh!”
Telapak tangan musuh tepat di atas tangan kiri Aisha,
menerbangkannya dan terhempaslah ia sambil terdengar
suara-suara retakan menyeramkan.
Aisha menabrak batang pohon besar, meluncur ke tanah
dan tidak bangun lagi.
“Antianeira!”
Seolah tertarik jeritan Lyu, bayangan hitam tidak
membaung-buang waktu dan langsung berbalik
menghadapnya.
“!”
Lyu memerlukan setiap tetes reflex kecepatan tinggi
untuk tiarap ke tanah agar menghindari serangan sapuan
yang meruntuhkan hukum gaya semu9.
Labrys melintas di atas kepalanya ketika elf memeluk
permukaan hutan. Angin yang mengiringi senjatanya sangat kuat
sampai merobek jubah dan tudungnya. Wajah fasial Lyu kini
terbuka.
Prajurit elf itu tak membiarkannya tanpa serangan balasan,
ia menebas pedang kayunya ke depan tatkala melewati
musuhnya—namun ia menghindari serangannya dengan
lompatan satu kaki.
“….!”
Sosok besarnya menghujam tanah, menggetarkan seisi
medan. Lyu berguling menjauh, mengenyahkan kekagetannya.
Monster hitam itu sudah muncul tepat di depannya dan siap
menguncinya dengan Labrys yang terangkat tinggi-tinggi,
kendati jarak mereka jauh.
—Dilemparkah?!
Rupanya tidak.
Harapan Lyu bertentangan, musuh menusuk kapak
berbilah gandanya ke tanah di kaki.
Kristal, batu, dan tumbuh-tumbuhan meledak oleh
gelombang proyektil yang meluncur persis ke arahnya.
“?!”
Walau Lyu berhasil menghindarinya tepat waktu—
“—Guh, argh!”
—Dia mendengar pecahan beberapa kristal karena
benturan di belakangnya, sekaligus jeritan kesakitan.
“Apa—?”
Lyu menoleh ke belakang dan melongo heran.
Asfi terbaring di tanah.
Lyu langsung mengerti.
Target utama musuh bukanlah dia, melainkan Perseus dan
barang sihirnya.
Entah dari bau atau firasat semata, minotaur telah
mendeteksi keberadaan Asfi dan menerbangkan semprotan
proyektil ke area luas.
Lyu tidak tahu kalau dirinya menghalangi pandangan Asfi,
menunda reaksinya.
“Andromeda ….”
Kepala Hades pecah oleh hujan pecahan kristal.
Asfi tidak lagi tembus pandang, wanita muda cantik itu
mendarat jatuh. Jubah putih yang senantiasa dia kenakan kini
berlubang-lubang dan dinodai darah. Kacamata berbingkai
peraknya terlepas dari wajah dan sekarang dia berbaring di tanah
tak jauh dari Lyu.
“….”
Mata tak percaya Lyu menatap Aisha dan Asfi. Melihat tak
seorang pun mampu bergabung kembali dalam pertempuran,
sang elf menghadap ke depan.
Monster tersebut berdiri di hadapannya, mimpi buruk
menjadi nyata.
Drap, drap! Labrys berlumuran darah parah petualang, atau
mungkin monster yang tidak terhitung jumlahnya, bergoyang-
goyan seiring langkah mahluk buas yang menggetarkan tanah.
Lyu tetap diam, kuda-kudanya merendah dan mengangkat
senjata.
Menghadapi musuhnya, mencengkeram pedang kayunya
dengan kedua tangan.
Monster hitam tersebut memperhatikan dan berhenti
otomatis.
Mata penasarannya tertuju pada Lyu, sesaat tiada emosi, ia
diam-diam menyiagakan Labrys.
Lyu melawan monster itu sendirian.
“….”
Kehilangan tudungnya sebab serangan musuh, kecantikan
elf-nya tampak jelas di hutan.
Semangat bertarungnya tetap kuat.
Alisnya meninggi, memelototi musuhnya dengan eksistensi
penuh wibawa serta raut wajah prajurit.
Biar begitu, sungai-sungai keringat yang menggulung jatuh
di wajah mengkhianati pikiran sejatinya.
Sudah lama sekali ….
Perasaan berada di ambang pintu kematian.
Lyu tidak mengalaminya semenjak ia berhenti menjadi
petualang dan menjauh dari urusan-urusan Dungeon.
Terdapat garis absolut antara kehidupan dan kematian,
garis yang selalu sukses ia hindari
Kini garis absolut tersebut berdiri di depannya, lebih tebal
dan berbeda dari yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Keheningan singkat menusuk telinganya.
Jantung berdegup cepat menumbuk peringatan di telinga,
dia melemaskan tangan di sekitar pedang kayu untuk
menyesuaikan genggamannya, kemudian diremas erat-erat.
Momen selanjutnya ….
“OOOOOOOOOOO!”
Lyu dan monster mulai bergerak.
Berjongkok agar terhindar irisan kapak yang disertai seruan
pertempuran lalu mendorong bilah kayunya dari bawah.
Serangannya meleset, tapi Lyu tidak peduli. Gadis itu terus
menggerakkan kakinya dan menambah kecepatan.
Pertempuran Aisha menunjukkan bahwa mencoba
menahan kekuatan besar musuh bukan solusi. Bahkan kontak
seminim mungkin harus dicegah sebisanya. Lyu berlari seperti
angin, menghindari sarangan layaknya badai. Dan dengan
kekuatan topan, dia melancarkan serangan. Lyu menuangkan
seluruh kekuatannya untuk menghindar dan menyerang balik,
memanfaatkan semua kesempatannya untuk menyerang si
monster hitam.
Potensi agresif lawannya selalu mengungguli langkah
pertama, memaksa Lyu membaca gerakan dan bereaksi setiap
saat.
Monster itu punya skill, dia sedang beradaptasi dan
memprediksi pola-pola serangannya. Sifatnya sama dengan
sebagian kecil monster bersenjata lainnya. Bagi Lyu, hal tersebut
ialah faktor paling menakutkan. Setiap musuh menyerang,
ketakutan mengancam hendak membanjirinya, tapi Lyu tidak
ingin takut. Takut berarti kalah, kalah berarti mati.
Mempertahankan kuda-kuda rendah di hadapan musuh
raksasanya, Lyu terus memborbardir kakinya.
“—Uoooo.”
Mata monster melebar ketika serangan Lyu terasa lebih
keras, setiap ketepatan serangan dan kecepatannya berangsur-
angsur meningkat. Dia melihat kegembiraan dalam wajah si
monster. Mahluk tersebut bukan monster yang biasa ia temui.
Monster ini tidak tertarik membantai orang, melainkan
suka bertarung melawan mereka.
Pemikiran tersebut terlintas dalam benaknya. Lyu pun
yakin makna pertempuran mereka. Perbedaan antara pembunuh
massal serta seorang prajurit terletak pada cita-cita tak
berkesudahan untuk naik tingkat dan mengecap kemenangan.
Perawakan elegan nan rahasia Lyu mulai berubah.
Lantas pertempuran antara seorang elf dan monster,
bergerak cepat hingga meninggalkan bayangan di tempat,
kekuatan tak terbatas minotaur nampaknya akan berakhir dalam
waktu kurang dari semenit.
Dari awal Lyu sudah bertarung dengan kekuatan penuh,
tidak berniat membuat pertarungannya alot.
Tahu bahwa tubuhnya barangkali telah mencapai batas,
prajurit itu berusaha menyelesaikan pertarungan untuk
selamanya:
“HYAHHHH!”
“OOOOOOOOOOOOOOOOOOO!”
Dia menerjang dari samping. Berjongkok bagai binatang
buas, Lyu meluncur maju dengan teknik coba lagi sedangkan
monster hitam mengayun-ayunkan Labrys tingginya di atas
kepala.
Kapak besar tersebut jatuh lebih cepat ketimbang terjangan
gilanya.
“?!”
Saat angin topan berikutnya membawa bilah kayu ke udara,
pundak monster bergerak.
Rasanya janggal.
Harusnya ada perlawanan di waktu-waktu kemenangan ini,
namun Labrys menembus udara belaka ketika diayunkan ke
tanah. Tidak ada apa-apa.
Kemudian, datang bayangan di atas bayangan tubuh
monster.
—Kena kau.
Bayangan itu adalah Lyu.
Dia melompat ke udara dari lari kijangnya persis sebelum
kapak ganda jatuh menghantam.
Bagian pertama strateginya adalah membuat lawannya
tetap fokus. Lyu memanipulasi fokus tersebut untuk mendesain
serangan selinapnya.
Lyu memainkan kartu truf, pertempuran udara.
Sewaktu musuh diharuskan menyesuaikan diri dari
pertempuran darat ke serangan udara, titik buta besar mulai
terbuka.
Taktik Lyu melebihi kekuatan serta keterampilan
monsternya.
“HAAAAAAAAAH!”
Membidik lawan tertegunnya, dia menghunus dua pedang
pendek dari pinggang.
Pedang pendek kembar. Dia mendapatkannya dari familia
Timur Jauh yang kini tidak lagi eksis.
Lyu berusaha menebas hidup monster di depannya, bilah-
bilah berkilat.
“—Whaa ….!”
Tetapi—itu menahannya.
Yang menahan serangan bilah ganda Lyu adalah satu
tanduk.
Tanduk merah tumbuh dari dahinya, bak banteng.
Menghadang serangan bilah ganda secara langsung, tetap
kuat seakan takkan bisa hancur.
Sesudahnya, monster menggunakan otot di lehernya untuk
melempar tubuh rentan Lyu ke udara setelah menyerap
dampaknya.
“Ghahhh!”
Bruk! Tubuh ramping Lyu menabrak pohon, suara berisik
tabrakan menggema di hutan.
Terengah-engah kala udara diperas keluar dari paru-
parunya, Lyu melihat sekelebat bayangan hitam menutupi
dirinya yang berusaha bangun.
“!”
Labrys menjulang tinggi di depannya, dan sudah sangat
terlambat untuk menghindar.
Lyu menatap bayangan hitam besar, tahu betul bahwa dia
akan mati.
“….”
Tepat sebelum kapaknya jatuh ….
Minotaur berhenti dan melihat ke arah lain. Matanya
melebar, Lyu juga mendengarnya—lolongan monster dari jauh,
jauh-jauh dari dalam hutan. Seolah lolongan itu menyampaikan
pesan.
Terdiam, monster hitam menurunkan kapaknya dan
menjauh dari Lyu.
Meninggalkan elf yang melongo, dia menghilang ke dalam
hutan dengan langkah kaki yang mengguncang tanah.
“… aku … diampuni.”
Gumam lirih Lyu ketika mahluknya menghilang dari
pandangan.
Dia menatap tangannya yang gemetaran, tidak bisa
mengepal, tak lama ia menyerah karena kelelahan dan bersandar
di pohon sebelah belakang.
Memandang langit biru yang menjadi ciri khas lantai.
Banyak petualang terbaring tanpa daya di sepanjang medan
perang yang diterangi cahaya-cahaya kristal menembus kanopi
hutan, tapi hanya Lyu seorang yang sanggup bergerak.
∆ιπλό τσεκούρι
Κολοσσός
Tetes-tetes air merah terjatuh ke lantai, suaranya bergemericik.
Seorang pria berjalan melewati lorong-lorong gelap
Knossos, jalannya ditandai jejak darah.
“Agh, sakitnya membakar, aw ….!”
Wajahnya berubah mengerikan, Dix menyeret tubuh
berdarahnya dan melampiaskan amarah serta frustasi dengan
menendang patung yang susah payah diukir di ujun glorong.
Dix yang dapat berpergian sesuka hati di Knossos berkat
Mata Daedalus, sedari tadi bergerak semenjak melarikan diri dari
ruang utama. Terbaksa membaca cetak biru yang digambar Buku
Catatan Daedalus sampai membuatnya muak, dia mengetahui
kerumitan lorong-lorongnya dengan mudah.
Kini dia berjalan menuju kediaman familianya, markas
bawah tanah tempat segala macam barang penyembuhan sedang
menunggunya agar dia dapat beristrirahat.
“Semua monster dan tuh bocah kentod ….! Akan kubunuh
mereka ….! Akan kubunuh mereka bila itu satu-satunya hal yang
bisa kulakukan ….!”
Selain dirinya, Ikelus Familia telah terbantai habis. Semua
Xenos yang mereka tangkap telah direbut.
Melirihkan sumpah sambil marah-marah untuk
membalasnya sepuluh kali lipat lebih berat atas perbuatan
mereka setelah Dix menemukan solusi atas seluruh perkara ini,
mata haus darah Dix melotot ke kegelapan.
“….?”
Dia mendadak berhenti.
Sesuatu serasa berbeda pada labirin yang selalu dia sebut
rumah.
Seakan-akan udaranya menggigil, ibarat kesunyian
berusaha memperingatkannya, rasanya seperti mengembara ke
Dungeon orisinil. Lampu berbatu sihir sangat sedikit dan
ditempatkan jauh-jauh, berkedip-kedip bak lilin.
Melewati beberapa pintu orikalkum, Dix merasa aman
lantaran yakin takkan pernah ditemukan. Namun kini selagi
melanjutkan pelariannya, dirinya merasa sangat merinding.
Mustahil, jangan-jangan, pintunya tertutup, tidak mungkin—
Bulu kuduknya serasa ditatap. Sesaat detak jantung
resahnya kian cepat, Dix tanpa sadar berlari.
Rasa sakit yang menusuk anggota tubuhnya tidak jadi
masalah lagi. Megap-megap, dia mencoba melarikan diri dari
sensasi merinding yang hendak menyelimutinya. Namun dia tak
bisa tenang. Ketika itulah ia mendapati jejak-jejak darah di
belakangnya, namun menyembunyikannya tidak membedakan
apa-apa. Apa pun yang mengirim aura-aura tidak nyaman ke
seluruh labirin ia sedang dekat dan mengikuti bau Dix.
Begitu dia menutup pintu belakang, terdengar pintu
berbeda terbuka di suatu tempat jauhdari sana. Bayangan
pengejarnya semakin dekat, memojokkannya sampai sudut.
“….?!”
Kendatipun diamengikuti rute yang terukir dalam-dalam di
benaknya, setiap sudut dan dinding mulai kelihatan sama.
Ketakutan bersama kepanikan meresap sementara realitas
bergabung dengan ilusi, mematikan akal sehatnya.
Obsesi Daedalus, dunia kacau yang diaku-akui sang arsitek,
sekarang menampakkan wujud aslinya. Labirin buatan manusia
ini mampu membingungkan semua orang, menjejalkannya ke
mimpi buruk tiada akhir. Apakah pengejarnya datang dari
belakang atau dari depan? Dix sama sekali tidak tahu.
Keyakinannya hilang.
Rasa aman setelah mengetahuinya, entah apa yang
menghalanginya, kutukan yang ‘kan meloloskannya telah
hancur. Demikianlah situasi saat ini—hal tersebut
mengguncangnya. Menyalakan lonceng peringatan membuat
pikirannya mengabur.
Dix melempar jauh-jauh kebanggaan dan martabatnya lalu
kabur.
Tak lama ….
“.”
Dix tiba-tiba berhenti.
Yang dia lihat di depan, di tengah lorong yang nampak
normal, sesuatu itu memblokadenya.
Lorong itu ialah jalan batu yang sangat dingin, sungguh
terselimuti kegelapan sampai-sampai mustahil melihat sisi lain.
Kegelapan itu bersuara.
Sesuatu yang muncul membuat mata merah Dix berkaca-
kaca.
Bagaikan penguasa Dungeon yang bersemayam dalam
balairung terdalam labirin, menunggu pengorbanna.
Monster hitam pekat—seekor banteng hitam—
memisahkan kegelapan dan muncul di hadapan Dix.
“… ayolah …. Kau pasti bercanda.”
Dix membuat kesalahan karena terperangkap kebencian
dan pembalasan dendamnya sampai lupa cara membuat
keputusan tenang nan rasional.
Seperti lupa bahwa musuh memegang kunci sendiri.
Lebih dari itu, kesalahan perhitungannya yang paling buruk
adalah tidak mengetahui keberadaan mahluk tersebut.
Hoff, hoff. Nafas kasar menghajar gendang telinga Dix.
Satu langkah, lalu langkah lain. Batu-batu retak di bawah
kaki monster-monster yang sedang menghampiri, namun kaki
Dix tidak mau bergerak.
Sinar cahaya menampakkan Labrys yang berlumuran darah,
senjata yang digenggam di tangan kiri hewan tersebut layaknya
batu.
“Darimana asalmu, MONSTEEEEEEEEEER?!”
Bayangan hitam gelap menutupi Dix seketika pria itu
melambaikan tangan dan menjerit ketakutan.
Sedetik kemudian—bruk!
Itulah akhirnya.
Tidak dapat mengaktifkan kutukan, kedatangan sang algojo
merenggut nyawanya dalam sekejap.
Kematian orang paling celaka nan kejam takkan datang
lebih lama lagi.
Monster itu berjalan melewati cipratan darah dan gumpalan
daging hancur, terus berjalan.
Tergesa-gesa untuk bergabung bersama kaumnya.
Ibarat lapar akan pertarungan hebat.
Ασκληπιός
“Bell Cranell!”
Tangga panjang dan besar membentang ke atas sejauh mata
memandang. Hanya anak tangga bantu yang mengarah ke sangat
atas, nampak tiada batas. Fels menyusul Bell, jubahnya berkibar-
kibar, selagi seorang pemuda berlari memanjat tujuh belas lantai
Dungeon.
“Tubuhmu tidak dalam kondisi yang tepat. Kau sudah lebih
dari kelelahan.”
“F-Fels.”
Fels memperingatkan Bell, mengingatkannya akan
kerusakan besar yang dideritanya selama pertempuran di ruang
besar di bawah.
Memang benar. Karena Bell tidak bisa bergerak semaunya,
bahkan Fels berhasil menyusul walau awal-awalnya Bell sangat
cepat.
“Kau bisa terus berlari, tapi tunggu sebentar dulu. ‘
Fels menggerakkan tangan bersarungnya kepada Bell yang
sedang terengah-engah.
“Tongkat Asclepius10, cahaya keibuan Asclepius. Demi kekuatan
regenerasi, segalanya ‘kan disembuhkan.”
Pola rumit dalam sarung tangan tersebut bessinar bagaikan
tongkat pengguna sihir seketika lingkaran sihir putih muncul di
telapak tangannya. Concurrent Casting yang dieksekusi
sempurna.
Bell terkejut melihatnya sewaktu Fels melantunkan mantra
itu.
“Dia Panacea11.”
Bola warna-warni berbeda dari pendar-pendar cahaya
menyelimuti Bell. Dia terkagum-kagum ketika luka di sekujur
tubuhnya menghilang, tinju patahnya telah sembuh, bahkan
letihnya mendadak hilang.
“Apa ini ….?”
“Sihir penyembuhan yang meringankan segala jenis cedera
dan penyakit, mirip ramuan.”
Sihir tingkat tinggi telah sepenuhnya memulihkan tubuh
Bell.
“Terima kasha banyak, Fels!”
Sekali lagi Bell bertenaga penuh, menuturkan beberapa kata
terima kasih kepada Fels dan menambah kecepatan.
Fels mendadak tertinggal di belakang seketika bocah
menaiki delapan tangga sekaligus seperti kelinci.
“Serius nih ….?!”
Terhadap kelincahan luar biasa Bell, kata-kata dewa-dewi
terucap oleh Fels. “Aku tidak bisa mneyusul ….!” erang penyihir
itu ketika Bell memompa tangannya tanpa peduli apa-apa.
“Wiene ….!”
Retakan batu pecah terdengar di kejauhan.
Cahaya bersinar dari jauh di atas, menandakan bahwa sang
monster telah mencapai dunia atas.
DarkNovel
ΣΟΦΌΣ
Pertarungan berlanjut.
Adu serangan antara petualang kelas satu dan black
minotaur telah mencapai puncak. Satu langkah maju, satu
langkah mundur. Ofensif dan defensif saling bergantian setiap
detik berlalu dalam gerakan maju-mundur nan epik sementara
petualang-petualang lain melongo. Akan tetapi, pihak petualang
unggul jumlah. Seketika Tiona dan Bete mengabaikan amarah
Tione kemudian menunjukkan sedikit kerja sama tim, monster
itu mulai terpukul mundur.
Sebagaimana gelombang pertempuran yang nampaknya
mulai memihak mereka ….
Langkah monster berikutnya mengubah seluruh alur
pertempuran.
“WOOOOOOOOOOOOOOOO!”
Pukulan lain menabrak baju besinya, black minotaur
merogoh belakang bahu kanannya.
Kelima jemari gemuk itu menggenggam gagang kapak
logam yang memanjang.
—Kapak Ganda?
Dihadapkan prospek perubahan gaya tempur, ketiga
petualang melihat setiap gerak-gerik black minotaur dengan
mata panik.
Yang pertama menyadari bahayanya bukan dari jajaran
Loki Familia—dia Welf.
“—Kita menjauh dari sini, sekarang!”
“Eh?!”
“Minggir saja!”
Mendepak efek terakhir Holw, Welf menghendaki
tubuhnya maju, mengambil tubuh tak sadarkan diri Lilly dan
meraih tangan Hestia. Mikoto membawa Haruhime dalam
tangannya di belakang, Welf berlari cepat ke arah lain, ke
tempat Riveria berdiri sambil mengangkat tongkatnya di
hadapan pasukan Loki Familia.
“!’
Otot-otot tangan dan bahu berdenyut-denyut, tangan
kanan sang monster mengayunkan kapak berlumuran
darahnya ke bawah.
Sewaktu terhubung pedang berbilah ganda Tiona—
guntur menjelma.
“””?!”””
Kilatan cahaya menelan Tione bersama senjatanya, Tione
dan Bete di kedua sisinya pun tersapu gelombang kejut.
Krak! Arus listrik menari-nari di bilah yang menghajar
trio petualang tersebut.
Lapisan darah meledak, dan emas sejati senjata tersebut
terungkap.
Tiona, Tione, Bete, dan seluruh Loki Familia tersadar
detik-detik itu bahwasanya senjatanya adalah kapak sihir.
Wajah Finn berubah, Aiz menakjub, Riveria
menyiagakan tongkatnya dengan kecepatan luar biasa berkat
kemampuannya sebagai pengguna sihir. Welf yang
memprioritaskan familia sendiri menggertak gigi sedangkan
anggota-anggota lain Loki Familia masih berada di medan
perang, membeku ketakutan.
“OOOOOOOOOO”
Masih terombang-ambing oleh sengatan listrik
mendadak, ketiga petualang yang mati rasa menyaksikan
tangan kanan si hitam raksasa mengayunkan kapaknya lagi.
Senjatanya menjulang tinggi ke langit. Mahluk buas itu
menyiapkan serangan lain tuk menghempas semua musuh-
musuhnya.
Finn berteriak, Riveria merapalkan sihirnya hampir
sesaat itu juga.
“Riveria, penghalang!”
Saat anggota terakhir Hestia Familia terjun ke dalam
lingkaran sihir ….
Sihir Riveria—sebuah penghalang kubah besar—
terbentuk.
“—ooOOoOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!”
Howl mengoyak udara sekaligus gelombang kejut
menerpa.
“—kurang ajar kau!”
Bete memaksa kakinya yang kesemutan terangkat ke
udara dan menghantamnya langsung ke senjata sihir. Baut-
baut petir meledak begitu sepatu bot logamnya menyentuh
senjata black minotaur.
Cahaya kuning menyilaukan menenggelamkan
padangan sekitar. Setiap baut melesat maju layaknya banyak
kepala hydra, taring elektrik yang merobek-robek jalan dan
mengubah lingkungannya menjadi putaran pusaran
kehancuran. Berada dekat ledakan tersebut jelas saja bahwa
bukan cuma Tiona, Tione, dan Bete, namun para petualang
lain di jalan tidak sempat menghindar. Mereka semua
terjebak dalam rangkaian elektrik itu.
Ledakan petir terus maju sampai penghalang Riveria.
Duar! Dampaknya memancarkan lidah api massif. Barikade
lampu hijau melindungi penduduk kota yang tak sadarkan
diri, pengguna sihir muda, Finn, Aiz, dan Welf hanya dapat
gemetar semata.
Kala telinga mereka pulih dari ledakan, kesemuanya
menunggu asap terangkat … hanya mendapati reruntuhan
total di depan mata mereka. Setiap rumah dan bangunan yang
dulunya berjejeran telah hancur lebur, ibarat trotoar batu
terukir cakar-cakar naga, dan tubuh terbakar membara para
petualang tersebar di segala penjuru.
Seakan kiamat telah tiba, namun ajaibnya mereka semua
masih bernafas.
“K-kesemutan ….! Aku lumpuh!”
“Sial ….! Tidak bisakah kau menampung seluruh efeknya,
dasar werewolf laknat!”
“Mau kuhancurkan kepalamu, Amazon nista ….?”
Tepat sebelum ledakan terjadi, Bete memposisikan
tubuhnya di garis depan sebagai pemblokir ledakan jarak
dekat dengan mengedepankan sepatu bot logamnya—mithril
tersebut menerima listrik kapak sihir—dan mengurangi
kekuatannya besar-besaran.
Tapi jelas saja, dia tak bisa memblokir seluruh
serangannya.
Setelah meluncur di udara dan berguling-guling
melintasi puing, tiga petualang kelas satu yang terbakar parah
jatuh terlutut di sudut jalan. Hanya mereka yang masih
sanggup bergerak, namun masih saja saling menyumpah
biarpun terluka parah.
Sekalipun berhasil bertahan dari ledakan dalam keadaan
utuh, percikan api membakar tubuh mereka bak duri yang
menyala-nyala, tak satu pun dari ketiga orang itu yang bisa
bergerak dari tempat.
“….”
Terlepas dari monster yang berdiam diri di sisi timur,
tiada bayangan pun yang tersisa dari bangunan di jalan
tengah tempat minotaur berdiri. Segala sesuatu di barat sama
sekali tidak dikenal.
Finn menyipitkan mata ketika memperhitungkan
kehancurannya, melirik gunung-gunung puing dan monster
yang menatapnya.
“Lupakan perkara tangkap mereka hidup-hidup.”
Rambut emas berdesir di kepalanya, jenderal prum
membuka mulut untuk berbicara.
Tukasnya dari tempat, sendirian di atap:
“Lakukan, Aiz.”
Tiba-tiba, bruk!
Jelas suara sepatu bot menginjak tanah, ksatria
berambut pirang bermata emas mendarat di punggung
monster.
“Dimengerti.”
Rapalan lirih terurai dari bibirnya seketika menarik
saber peraknya.
“Bangkitlah, Prahara.”
Suara indah terdengar di tengah tiupan angin.
Mantra pemicu yang terlampau singkat mengaktifkan
sihirnya.
“—VUOOOOOO!”
Punggungnya rentan, minotaur cepat-cepat berbalik dan
mengayunkan senjata sihir di tangan kanannya.
Ksatria rambut pirang mata emas melihat bilah berlistrik
mendatanginya dan melirih:
“Airiel.”
Angin berhembus.
Tatkala angin menyelimuti tubuh Aiz, dia menebas maju
dengan kecepatan membutakan.
Bilahnya—menusuk lengan kanan musuh.
Waktu berhenti bagi Hestia Familia, Xenos, dan black
minotaur.
Bilah angin berjarajar mengirim senjata sihir bersama
sebagian besar lengan kanan monster. Berdistorsi di udara
sampai membanting bilahnya ke bongkahan batu pecah dan
pegangannya tetap lurus ke atas.
Energi listrik berdenyut di tanah bawah kaki ketika
monster raksasa tersebut terhuyung mundur.
Saat minotaur menjerit ke langit, darah menyembur dari
sisa lengan atas si mahluk, semua bagian dari siku sampai
ujungnya telah hilang.
Terlindungi arus angin di sekitar tubuhnya, Aiz seratus
persen menghindari air mancur darah. Setiap tetesnya
terhapus.
Sihirnya adalah Airiel.
Sihir angin yang meningkatkan atribut fisik dan senjata
pengguna.
Mereka yang bukan familianya, Welf, Mikoto dan
bahkan Hestia hanya memahami itu.
—Aiz Wallenstein.
Satu-satunya mahluk selain para petualang yang tak
terpengaruh oleh Howl, Hestia terkesima oleh penampilan
agung si gadis waktu itu.
Putri Pedang. Aiz Wallenstein.
Nama dan identitas sejatinya terkemuka. Ksatria wanita
terkuat Orario.
Idola Bell.
Terliputi angin, rambut pirang tertiup semilir-semilir
udara bagaikan peri dari kisah pahlawan, dia teramat cantik
sampai-sampai Hestia merasa layak bila dirinya diakui si
bocah.
Satu-satunya sesuatu yang tak terpengaruh Howl
monster mengguncang medan tempur, gadis itu
mengayunkan pedangnya ke udara.
“OOOOOOOOOOOOOOOO!”
Mata Minotaur membelalak terbuka, mengayunkan
Labrys-nya ke bawah sebagai serangan balik.
Serangan yang secara permanen menghilangkan banyak
petualang dari pertarungan. Alat eksekutor sang monster
bergerak.
Namun Aiz menggetoknya hanya dengan sentakan saber
tipis.
Tidak ada waktu berbangga-bangga atas kesuksesan
memotong lengan musuhnya, ataupun mengurangi
kewaspadaannya.
Aiz menatap monster terheran-heran itu, mata emasnya
menyipit.
“Aku datang.”
Menyerang dengan kekuatan penuh, pedang juga angin
saling bersatu menciptakan melodi tersendiri.
“AAAAHHH!”
Seri serangan tiada henti, tanpa ampun sama sekali.
Aiz mengukir tubuh tinggi lawannya, menebas-nebas
dari sudut yang tak terhitung jumlahnya secara bersamaan.
Tebasan diagonal ke bahu, melengkung ke atas,
berputar-putar, menebas ke bawah—minotaur satu tangan
tidak sanggup menahan semuanya. Celah-celah terbuka di
kulit hitam binatang buas tersebut amat tangguh, garis-garis
di sekujur baju besi tebalnya menutupi tubuh seiring
pergerakan black minotaur.
Menghadapi badai bilah, untuk pertama kalinya
minotaur melangkah mundur.
“Kau tahu, sihir Aiz sungguh tidak adil!”
“Kau baru sadar, otak otot ….?”
Bergerak lebih cepat dari Bete menyerang lebih keras
dari Tiona, menusuk lebih sering dari Tione.
Gadis Amazon yang tidak bisa turut bergabung,
menyaksikan dalam sedih. Di sebelahnya, manusia serigala
mengklik lidah frustasi pada sesuatu yang membuatnya
dikenal sebagai Putri Pedang: kekuatan yang dilimpahkan
kepadanya oleh angin.
Monster itu berusaha membela diri dan balas
menyerang. Aiz menyerbunya, bilah mereka saling
berbenturan.
Saber menyerang kapak. Tidak ada percikan api di udara,
hanya tiupan angin semata. Arus yang berdentuman kepada
minotaur pantang menyerah jauh lebih kuat dari biasanya,
memungkinkan teknik curang Aiz mendaratkan tiga
serangan padahal musuhnya hanya mengayun sekali.
Aiz menambah kecepatan.
Wajahnya tanpa emosi, Aiz hanya fokus pada minotaur
sembari menolak semuanya.
Ketepatan serangannya menajam, seakan-akan memaksa
lebih memfokuskan kesadarannya, dikembangkan lebih-lebih
lagi daripada sebelum-sebelumnya.
Darah keluar dari tubuh besar musuhnya oleh setiap
tiupan angin dan kilasan perak.
“I-itu ….”
Kendati sudah terpikat, Hesita masih syok saat
menontonnya, wajahnya berkedut-kedut sambil menelan
ludah.
Mikoto hampir sama, pucat pasi bagai hantu dan
suaranya menggetar:
“Itu … Putri Perang.”
Dia pernah mendegar julukan itu dari suatu tempat.
“Putri Perang.”
Pembunuh monster berkulit seorang gadis. Dia yang
berdiri di puncak gunung mayat hewan buas. Tak kenal
takut, berkeliaran di perut terdalam Dungeon tanpa lelah.
Welf, dan anggota-anggota Loki Familia lain, melihat
gadis magnifisen sambil merasa kagum walau takut ketika
dirinya menari-nari di tengah pancuran darah, sekalipun
anginnya bertindak sebagai tameng dari semprotan darah itu.
Angin mengeret lebih keras dalam pertempuran.
“!”
Tubuh besar itu goyah. Musuh mulai tidak seimbang.
Apalagi terluka, minotaur itu menampakkan kelemahan.
Aiz memanfaatkan titik butanya, merasa sangat bertekad.
Menghentak tanah secepat-cepatnya hingga mengubah
trotoar batu menjadi kerikil di bawahnya, Aiz menyalurkan
semua kekuatannya ke dalam serangan diagonal, membidik
bahu sebagai serangan penghabisan untuk selamanya.
“OOOOO!”
Akan tetapi, langkah musuh selanjutnya mengejutkan
Aiz.
Tersadar bahwa tidak akan sempat menahan dengan
Labrys, minotaur malah menggunakan kepalanya—tanduk
perkasanya. Proyektil merah tua membelokkan serangan
saber Aiz yang terselimuti angin.
Melihat gadis yang mendadak tanpa pertahanan,
minotaur menjejakkan kaki ke tanah dan mengayunkan
Labrys sekuat tenaga.
“?!”
Angin menderu.
Kekuatan tipis mahluk itu menyayat badai yang
melindungi bilah perak.
Terperangah oleh kekuatan maha kuat, kaki Aiz
memahat trotoar sebelum akhirnya berhenti dan memeriksa
pedangnya.
Senjatanya bergetar, sihir angin benar-benar telah
dihancurkan.
Tangan Aiz mati rasa setelah menahan dampak besar dan
tidak lagi mampu mempertahankan cengkeramannya pada
gagang. Di sisi lain wajahnya masih tanpa emosi, mata
emasnya sedikit terbuka lebar lanjut menatap sesuatu di
depannya.
Huff! Huff! Minotaur bersimbah darah yang sedang
terengah-engah itu tersenyum.
Bahkan kini, sang monster masihlah ganas, keji, dan tak
kenal takut.
Alis Aiz mengerut, matanya membeliak.
“Bangkitlah, Prahara.”
Sekali lagi Airiel menelan lengannya yang kesemutan,
secara paksa mengencangkan cengkeramannya dengan
kekuatan angin.
Minotaur melolong kepada musuh kuat dan pantang
menyerahnya, mengayunkan kapak ke jalur serbuan Aiz.
Bilah mereka saling bentrok dan pertarungan dimulai
lagi, alhasil menghempas mundur Hestia Familia dan para
penonton, mendadak ….
“HAHHH!”
“GOOH?!”
Sewaktu Aiz mulai merasa unggul, pertarungannya
diinterupsi.
Dia Gareth, berlengkapan baju besi berat. Akhirnya
kembali ke pertempuran, kurcaci yang menurunkan Ikelus di
atap bangunan terdekat sambil mengeluh-ngeluhkan: ‘Bocah-
bocah zaman sekarang, aku bersumpah ….’ lalu Gareth melompat
turun di belakang minotaur dan mengiris punggungnya
dengan kapak perang besar.
“Aiz, serangan dua arah.”
“… tapi Gareth, aku—”
“Kau membahayakan kami semua. Perkecil egomu—
benar ‘kan, Finn?”
Tombak panjang menjawab pertanyaan Gareth setelah
melesat ke arah monster.
“….?!”
“Betul. Lagipula, aku tidak perlu kau di sini, Gareth.”
Sesudah mengambil kembali tombaknya, Finn melempar
lagi, lantas mengangkat bahu tatkala tombaknya menusuk
bahu minotaur. Perkara dia mempermasalahkannya pada Aiz
atau tidak, untuk sementara waktu mengesampingkan
tugasnya sebagai komandan perang untuk bergabung daam
perangnya sendiri.
Masih ditatap tegas, Aiz enggan mengangguk. Tiga
petualang kelas satu penuh pengalaman mengepung
minotaur.
Monster itu masih hebat bertarungnya sekalipun
lukanya kronis, namun tak lama kemudian … bruk!
“….!”
Sosok berdarah, babak belur, dan memar-memar itu
berlutut.
“Asterios ….!”
Lido meringis seketika melihat sang black minotaur
jatuh terlutut di depan para petualang serta saber perak,
kapak perang besar, dan tombak mereka.
Demikianlah saudara sekaum terakhirnya tidak bisa lagi
bertarung. Merasa Xenos lain seperti Gros dan Rei mulai
mendekat sembari memelototi punggung para petualang—
tiba-tiba entah dari mana, tiga bola hitam dilempar ke tengah
jalan.
“!”
Membuat kontak dengan trotoar, memuntahkan aliran
asap hitam.
Mata Lido, Gros, dan Rei seketika menyala dan tersadar.
Barang sihir Fels.
“!”
“Tabir asap ….!”
“Asapnya, menyebar cepat!”
Aiz, Finn, dan Gareth tertegun ketika mendapati asap
yang berputar-putar tidak hanya menghampiri mereka,
namun juga menelan seluruh medan.
Beberapa detik setelah petualang kelas satu, Lido dan
dua rekannya bertukar pandang, menyatukan sisa-sisa
kekuatan terakhir, dan semuanya bergerak berbarengan.
“….!”
Gargoyle itu meraung.
Xenos-Xenos lainnya mulai bergerak sewaktu raungan
mencapai mereka, minotaur segera melihat ke atas.
Walau raungan berisiknya masih mendengung dalam
telinga, siren mengudara dan memancarkan gelombang suara
kuat nan luas.
“””?!”””
Dinding suara hanya menargetkan petualang kelas satu.
Ketiganya membeku di tempat, siap siaga melawan serangan
yang datang dari belakang.
Penglihatan juga aura perasa.
Mereka mungkin petualang kelas satu, namun akan
terbutakan sesaat jika pandangannya tertutupi dan suara
mengganggu.
Aura Minotaur-nya ….!
Menghilang.
Terbatasi asap yang menghalangi penglihatan,
telinganya juga diserang, Aiz tak percaya sewaktu hawa
kehadiran monster besar itu seperti menghilang dalam
kegelapan.
“Aku melihatnya ….!”
—Sedangkan, ingatan Hestia berkobar-kobar tatkala
menyaksikan asap hitam membanjiri jalan, menyembunyikan
Aiz dan petualang-petualang lain.
Kali pertama ia bertemu Fels dalam malam terang bulan,
semata-mata beberapa hari sebelumnya, asap serupa mengalir
keluar dari lengan sosok berjubah hitam sebelum sang
penyihir membawanya ke hadapan Ouranus. Bola hitam lain
terjatuh ke depan kelompok Hestia sekejap kemudian,
menutupi seluruh area dalam asap hitam.
“!”
Tak dapat mendengar suara Finn ataupun Gareth
dikarenakan gelombang suara yang memekakkan telinga, Aiz
memutuskan menggunakan Airiel sendirian.
Aliran udara di sekelilingnya meningkat dalam
kecepatan tinggi dan membersihkan asap sekitar beberapa
waktu kemudian.
Kala kabut menyebar, layaknya hewan yang bersemayam
dalam kabut yang mulai mundur cukup jauh. Minotaur telah
menghilang tanpa jejak.
—Jangan dendam, ya!
Sesaat kemudian ….
Sewaktu Aiz dan kawan-kawan petualang lain muncul
dari kedalaman kabut dan masuk garis pandang Lido, ia
menggembungkan dadanya sebagaimana balon dan
dihembuskan semuanya. Aiz, Gareth, dan Finn teralihkan
perhatiannya oleh minotaur yang menghilang lalu perlahan-
lahan menghadapi ancaman baru tersebut, sayangnya mereka
terlambat.
Api keluar dari mulut Lido.
“Lizardman bernafas api ….?!”
Aiz mengabaikan tutur Gareth yang terheran-heran dan
melingkarinya dengan dinding tameng angin. Sayang sekali,
mereka bukan target Lido.
Lizardman memindahkan kepalanya ke samping diikuti
nafas api, menyulut si jago merah di mana-mana.
“?!”
Angin Aiz sendiri takkan cukup melindungi bangunan
tempat tinggal di kedua sisi api.
Meskipun daerah kumuh, banyak pula benda mudah
terbakar kalau-kalau cepat tersentuh api. Material-material
kayu dan produk batu sihir tersulut, mengubah seluruh blok
menjadi neraka di depan mata mereka.
“GROOOOOOOOOOOO!”
Siren bersama lizardman menghentikan serangan
kemudian berlari tatkala suara gargoyle bergema menembus
hiruk-pikuk.
Monster-monster lain sudah meluncur lewat gang
belakang, Xenos sudah mundur sepenuhnya.
“….!”
“… kita kekurangan pasukan. Cruz dan yang lainnya
mesti diutamakan.”
Finn tampak dikalahkan ketika memerintahkan Aiz
untuk tetap tinggal tatkala dia hendak mengejar. Termasuk
mereka bertiga, sangat sedikit petualang yang masih bisa
bergerak.
“Apa yang terjadi di luar sana ….?!”
Riveria berdiri diam, memastikan bahwa penghalang
yang melindungi penduduk kota tetap kokoh di tempat.
Dia tidak bisa begitu saja mengabaikan sihir karena
kabut hitam menutupi visinya dan mencegahnya merangkum
situasi terkini—kekhawatirannya barangkali malah menjadi
senjata makan tuan. Orang-orang yang dia tugaskan untuk
dilindungi menjadi belenggunya.
Tanpa orang yang mengatur pergerakan setelah Finn
bergabung ke lini depan, Loki Familia kehilangan keunggulan
ofensif.
Para petualang buru-buru kembali berkumpul seketika
Finn balik mengambil mandat. Gareth menghampiri Tiona,
Tione, dan Bete sebelum menjemput Ikelus dan mengantar
mereka semua ke tempat aman. Aiz juga turut dalam upaya
penyelamatan. Tuk menanggulangi api, penyihir tak terluka
ikut bergabung bersama Riveria dalam pembekuan daerah itu
dengan sihir es dan memanggil aliran air sehingga apinya
padam. Bahkan Hestia Familia pun yang tak dapat memihak
antara Xenos atau Loki Familia, terjun langsung.
Kerusakannya dapat dicegah sejauh satu blok dalam
waktu sepuluh menit saja berkat usaha para penyihir. Apinya
telah seratus persen dihapus.
Pilar-pilar asap hitam menjulang tinggi di jalan batu, kini
semuanya menjadi puing-puing hangus tandus.
“Finn, bagaimana minotaur-nya ….?”
“… dia di bawah tanah.”
Aiz berjalan murung di tengah jalan menuju Finn yang
tengah memandang tanah.
Trotoar batu telah rusak terbuka dari bawah sampai
membuat lorong menuju daerah bawah.
“Apa ini ….?”
“Lubang yang ditinggalkan raksasa logam itu. Si monster
bisa jadi lewat sana untuk memasuki jalan selokan.”
Aiz terkejut pada lubang tempat golem Fels muncul.
Memang, ada jejak darah yang mengarah ke kegelapan di
balik lubang hangus terbuka. Monster hitam telah
menghilang ke dalam celah selama kekacauan terjadi.
“… mestikah kita mengejarnya?”
“Ya, kejarlah … namun mengingat betapa bagusnya
pelarian mereka, pikirku monster bersenjata ini cukup
cerdas. Tolong jangan kejar mereka sendirian.”
Finn mendesah seraya menjawab pertanyaan Aiz,
menyadari bahwa tangan putus minotaur juga menghilang.
Sedikit waktu berlalu sebelum para petualang dan
karyawan Guild datang terbirit-birit.
Dalam sekejap orang yang terkena Howl menerima
medis di sekelilingnya, Finn menatap langit dan
merenungkan kekeliruannya.
“Yang tadi sebuah kesalahan …. Aku gagal.”
∆
Raungan ganas monster, ledakan eksplosif, dan terlebih lagi,
cerita-cerita para penduduk kota yang kabur dari distrik labirin
mengacaukan Orario yang tadinya mulai tenang.
Ketika Royman dan seluruh manajemen puncak lain Guild
memucat dan menurunkan perintah kepada semua familia, para
petualang tumpah-ruah ke Daedalus Street di distrik ketiga kota,
sebelah blok tenggara.
“Kehh ….!”
Matahari terbenam hampir menyinging dinding kota,
membakar setengah wajah seorang anak.
Bell berlari.
Mati-matian mengejar vouivre yang menghancurkan segala
sesuatu di jalannya.
“Wiene!”
Teriakan Bell tidak menggapai tangisan gadis naga saat
dirinya maju ke depan.
Menerobos dinding dan berlari menaiki tangga, gadis naga
dan Bell merengsek keluar dari distrik serumit Dungeon,
meninggalkan pemukiman kumuh di belakang.
“Ehhh ….! EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEHHHH!”
“Hei, kau—petualang! Sebelah sini! Sini!”
Sekelompok manusia hewan sering menjerit dan tersebar ke
semua arah begitu mereka mendapati monster ganas itu.
Meninggalkan Daedalus Street berarti mereka sedang
menyusuri jalan-jalan kota yang lebih sibuk, membuat keributan
dan teriakan-teriakan ngeri. Wanita berpakaian seperti pelacur
memanggil seorang petualang.
Bell saat itu kian resah.
“Wiene, berhenti!”
“AAAAAAAAAaaaaaaaaaaa!”
Dia melompat mendekatinya berkali-kali sewaktu melewati
Kota Dungeon, dia mendekapnya dan alhasil dijauhkan oleh
tubuh bak ular Wiene. Tangan Bell sudah luka-luka dan
berlumurah darah karena berusaha mempertahankan sisik tajam
si gadis. Memanggil-manggilnya terbukti percuma, membuat
misi pengembalian permata garnet menjadi mustahil.
Bell menempel ke tubuh bagian atasnya yang mungil, urat
nadi kejang-kejangnya tak henti-henti melemparnya bagaikan
boneka kain sampai terpisahkan oleh tanda jalan dan sekali lagi
berguling-guling di tanah. Saksi mata menjerit, takut akan nyawa
Bell.
Kutukan Dix seharusnya sudah terangkat ….!
Namun rona merah keji masih belum menghilang dari mata
Wiene.
Kutukan Dix harusnya terlepas. Namun demikian, amukan
gadis naga itu masih resistan.
Meski darah mengalir di wajah Bell, dia melirik luka tusuk
berantakan di tangan kiri Wiene.
—Tombak yang menusuknya.
Walau kebetulan, kemungkinan besar serangan tombak
Finn sangat-sangat membuatnya traumatis.
Pengingat akan tombak Dix, tawa ejeknya, kejahatannya.
Kutukan eksistensinya takkan hilang.
“Di sana! Tepat di sana!”
“?!”
Tidak mampu menghentikan Wiene, para petualang satu
per satu mulai bermunculan.
Awalnya mereka ragu-ragu, melihat vouivre menggila, yang
mana merupakan monster kategori monster seperti lamia,
menyerbu mereka. Akan tetapi, para petualang tetap
mengangkat senjata, bertekad untuk tidak membiarkan Wiene
mendekat.
Tali-tali busur berderit oleh panah yang disiapkan, jari-jari
menggenggam lembing, perhiasan di tongkat mereka berkilauan.
Bell berteriak sampai-sampai tenggorokannya sakit, kepada
petualang-petualang yang berbaris dan berdiri menghalangi
mereka.
“BERHENTI—!”
Namun, teriakan Bell tenggelam oleh sorak-sorai perintah
petualang yang mulai menyerang.
Lembing menusuk ekor naga, panah menusuk bahunya,
sihir api menerpa langsung. Sisik-sisik rusak tak terhitung
jumlahnya berjatuhan dari badan Wiene.
Raungan melengking terdengar darinya.
Menggeliat kesakitan oleh serangan tanpa ampun penjaga
kota, dia mempercepat usahanya untuk melarikan diri dari
ancaman.
Wiene membungkuk pada para petualang di jalurnya.
“….!”
Bell menggertakkan gigi keras-keras sampai nyaris patah.
Semakin banyak musuh berkumpul di jalur vouivre, Bell
menampik perselisihan dan keraguan di benaknya dan
mengulurkan tangan ke arah mereka.
“Firebolt!”
Satu Swift-Strike Magic menyongsong ke para petualang
yang bersiap-siap menyerang.
“Apa-apaan?!”
“?!”
“WAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!”
Di kaki mereka, menuju baju besi mereka, ke tubuh mereka.
Neraka listrik tersulut, menerbangkan mereka ke dalam
ledakan api.
Terus mengekor Wiene, Bell mengitari mereka yang
harusnya merupakan sekutu, para petualang.
“Pemula Kecil, dasar kau pukimay!”
Petualang berwajah merah panas meneriaki Bell ketika
baut-baut petir mengganggu serangan mereka.
Petualang kelas bawah, atas, bahkan familia mereka tidak
jadi masalah. Semuanya mendidih pada seorang anak muda yang
menghalangi mereka.
Wanita dan anak-anak yang penasaran mengintip dari
lantai-lantai bangunan yang berjejeran di jalanan, menyaksikan
aksi barbar Bell.
Dia gilakah? Sampai segitunyakah menginginkan drop item? Apa isi
kepalanya di saat-saat seperti ini? Masing-masing kritik teman
petualang membekas dalam ke hati sampai tangannya
gemetaran, namun Bell tetap merapalkan sihir. Melindungi
vouivre, sambil mengejarnya.
Pengejaran tiada akhir hinggap di arena terbaru, zona
rekonstruksi Pleasure Quarter.
Bekas wilayah Ishtar Familia, lokasinya rusak parah selama
serangan Freya Familia sampai mengusir jauh mantan pemilik
bisnis itu. Banyak bangunan masih mengemban bekas luka hari
itu, tumpukan puing masih bersebaran bahkan di Pleasure
Quarter. Warga dilarang menginjakkan kaki ke daerah tersebut.
Rumah bordil berdiri kacau, barel berantakan dan debu
menutupi jalan-jalan. Belit Babili yang vakum akan kekuasaan
terlihat seperti kota kastil kosong nan sepi.
Mereka berdua berjalan menyusuri puing-puing yang
memenuhi jalan.
Sekelompok petulang di depan telah mengepung,
menunggu Bell dan Wiene tepat di jalur mereka.
“….?”
Ting! Bell seketika tahu ada yang tidak beres.
… mereka tidak menyerang?
Senjata diistrirahatkan, bahkan suara pengejar mereka
lenyap.
Para petualang semata-mata berdiri menghadang jalan
Wiene atau barangkali menakutinya dengan menembak senjata-
senjata mereka, namun serangan tersebut berhenti sejauh mata
Bell memandang.
Seolah-olah mereka telah menyerah ….
—Tidak, bukan itu persoalannya.
Si bocah langsung merinding begitu mencabut hipotesis
meyakinkannya.
Mereka memancing Wiene ….!
Sedetik kemudian Bell langsung pucat pasi.
“Wiene, jangan pergi ke sana!”
Dia dipancing ke perangkap.
Tiada lagi yang penting baginya begiu menyadari itu, lalu
berteriak sekeras mungkin.
Seorang manusia bersama kurcaci memegang perisai besar
yang disiapkan di jalan mereka. Vouivre membelok, berlari
menelusuri jalan berbeda tuk menghindari blockade orang-
orang. Bell menggapai-gapai ekornya, namun panah melintas
persis di depannya, membuang kesempatannya.
Panah tersebut ditembakkan manusia hewan di atas atap
terdekat seolah bilang, ‘Jangan menghalangi.’
“….?”
Lantas harapan Bell terbukti sia-sia.
Gang-gang redup cahaya tiba-tiba terbuka ke area luas
penuh penerangan matahari terbenam.
Layaknya mangkuk, tanah terbuka yang dikelilingi cincin
puing.
Gadis monster menerobos gerbang besi, menghancurkan
jeruji kuat-kuat dan tanah roboh di bawahnya, vouivre itu jatuh
ke bawah.
Trotoar batu bergoyah dan terjadi deretan kerusakan-
kerusakan yang menjalar hingga ke tempat Wiene yang persis
berada di tengah-tengah. Dari segala arah banyak petualang tak
terhitung jumlahnya berdiri di tepian untuk melihat
kejatuhannya.
Banyak petualang telah berkonspirasi bersama—antar
familia.
Jantung Bell berdebar lebih cepat sewaktu melihat banyak
penyihir bersiap melepaskan mantra yang telah mereka siapkan.
Bell terjun ke tanah kosong tanpa melewatkan satu langkah
pun.
“Pemula Kecil! Mundur!”
“Kau gila, ya?! Kau bakal mati!”
Petualang-petualang meneriakkan peringatan marah
kepada anak yang baru mendarat itu.
“Tidak masalah! Lakukan sajaaaaaa!”
Seorang pria yang nampaknya tidak tenang dalam
kekacauan itu berteriak entah dari mana, suaranya
menggerakkan segalanya.
Kilat-kilat energi sihir tak terhitung meledak setelah
rangkaian mantra dirapalkan secara simultan.
Proyektil-proyektil ditembakkan langsung ke tengah.
Mata Wiene menyusut, wajahnya terang sekejap sebelum
cahaya menelannya bulat-bulat.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!”
Ledakan sihir memupus jeritan Wiene si monster.
Wiene menghilang di tengah deru angin.
“!”
Bell berlari maju.
Api berkobar, listrik menyebar, angin dingin mengguncang
tubuhnya bolak-balik tatkala berusaha menembus ke tengah-
tengah tanah terbuka.
Tidak peduli sehangus apa kulitnya, sedesis apa rambutnya,
atau malah tubuhnya terbakar es, Bell merengsek maju
menjangkau gadis di pusat pusaran energi sihir.
Jeritan tanpa kata tersembur dari paru-parunya.
Waktu melambat sampai terlampau pelan hingga
membuatnya mual.
Terjebak dalam dunia tanpa waktu, Bell mengulurkan
tangan.
Persis di sana, di tengah energi sihir yang berkedip=kedip,
terdapat seekor monster naga tanpa sisik yang sedang menatap
langit.
Asap mengepul dari seluruh tubuhnya, rambut biru
keperakan berayun-ayun selagi sosok warna abunya mulai
membusuk.
Sekilas mendapati anak lelaki yang mendekat, mata
kosongnya menatap dan bibirnya merakit satu kata:
Bell.
“!!!”
Bell mendorong tangannya ke depan sekuat tenaga dan
hampir mau meraihnya, namun tiba-tiba—
Ujung tombak merah menembus dadanya.
Rudal tersebut dilempar dari belakang Bell.
Bilah terkutuk yang menyimpan dendam mendalam.
“HAH! Hyahahahahaha! AHAHAHAHAHAHAHAHAHA!
Berhasil! Aku menyelesaikannya!”
Seorang laki-laki bertubuh besar tertawa terbahak-bahak
seperti orang sinting.
Separuh wajahnya hilang, kekeh manusia itu mulai
menggerakkan waktu lagi.
Tubuh gadis yang tertusuk mulai sedikit memiring di
hadapan mata Bell.
“—Wiene!”
Tepat ketika teriakan menangis anak itu terdengar—tanah
mulai tampak.
“Apa itu?!”
“Sesuatu runtuh!’
Tanah terbuka itu hancur di tengah, titik fokus pusaran
sihir.
Batu-batu mulai menghilang dari bawah kakinya, lalu Bell
jatuh tepat bersamanya.
Meraih gadis yang ditelan kegelapan dan mendekapnya.
Σπήλαιο
Κόρη
Catatan Kaki:
1. Berserkers (atau berserks) adalah prajurit Norse yang
ditemukan terutama dalam literatur bahasa Islandia yang
berperang dalam keadaan trans, ciri khas yang kemudian
memunculkan kata bahasa Inggris berserk (mengamuk).
Para prajurit ini ini akan sering pergi ke medan perang tanpa baju
bersi. Berserkers dibuktikan dalam berbagai sumber-sumber Old
Norse, seperti Ulfhednar (mantel-serigala).
2. Alfrigg adalah nama salah satu dari empat kurcaci yang
disebutkan dalam Srila laáttr yang membuat Brísingamen
kalung Freyja.
3. Cinnabar atau Sinabar adalah jenis mineral mercuric sulfida
yang memiliki warna merah tua atau coklat terang. ...
Cinnabar terbuat dari senyawa yang disebut merkuri sulfide
atau mercuric sulfide. Rumus kimia senyawa ini adalah HgS.
4. Dalam Kitab “OVID, METAMORPHOSES 10”, Orpheus
memasuki dunia bawah bukan melalui Acheron, tetapi
melalui Styx yaitu gerbang Taenarus, terletak di tanjung
Tainaron (juga dikenal sebagai Cape Tenaro atau Tanjung
Matapan) dari ujung selatan Yunani di Peloponnese.
Dulunya Tanjung Matapan bernama Tanjung Malea. Menurut
mitologi Yunani, mengutip dari kita “OVID,
METAMORPHOSES 10” seseorang yang meninggal akan ke
akhirat melalui sungai Stynx dengan bantuan Charon si tukang
perahu yang harus dibayar dengan koin emas sebelum akhirnya
menuju Tartarus atau akhirat. Hal ini mirif adegan dalam film
Hercules. Di Matapan ada sebuah gua yang dipercaya sebagai
penghubung menuju neraka.
Dalam kisah mitologi Yunani, Orpheus ingin menyelamatkan
istrinya yang berada di neraka, Eurydice maka ia melewati
sebuah gua di Tanjung Matapan untuk pergi menjemput istrinya
di neraka. Kepercayaan orang Yunani bahwa Hercules pernah
melalui gua yang sama untuk menuju ke neraka tanpa harus
meninggal terlebih dahulu.
Volume 10 Epilog
Konsekuensi Keputusan
Penerjemah: DaffaTERCINTAAAAA
Dia berjalan menyusuri jalan-jalan kota yang dicerahkan
matahari barat.
Langit masih berdarah. Bell berpisah dengan para Xenos dan
kini dalam perjalanan pulang di Daedalus Street.
Walau rasanya menyakitkan untuk pergi meninggalkan
Wiene yang masih tertidur, dia menyerahkannya kepada Xenos-
Xenos lain.
Publik akan lebih dari curiga bila melihat Bell bersamanya.
Fels turut bergabung bersama kelompok Lido untuk membantu
Xenos lain yang tersebar di permukaan.
Bell berjalan sambil menundukkan kepala, biar tak menarik
perhatian.
Dia tiba di salah satu jalan bak teka-teki di distrik utama
tempat Hestia Familia dan Loki Familia masih berada. Bell tak
bisa pulang begitu saja ke rumah dan membiarkan segalanya
tanpa kabar.
Bell mesti melihat dengan mata kepala sendiri kejadian
sebenarnya, konsekuensi keputusannya.
Tidak ada yang menyorakinya di jalanan—namun
situasinya berubah drastis tatkala sampai di sana.
“….?!”
Para karyawan Guild bergegas menghampiri orang-orang
terluka yang tersebar di tanah. Beberapa dinding rusak yang
tampak tidak asing. Orang-orang di daerah itu mulai
memperhatikan si bocah pucat pasi yang sekadar lewat sambil
lihat-lihat.
Warga kota, petualang, dan karyawan Guild
memelototinya.
Dialah bocah yang mengutamakan keserakahan, melindungi
monster, dan mengejarnya semata-mata hanya demi uang,
mereka diam-diam bergosip dan hatinya merasa dendam.
“Woi, Bell Cranell. Kau dapat permata naganya?”
“Kenapa kau melakukannya ….? Loki Familia bertarung
hebat demi kami.”
“Pemula Kecil petualang hebat … pantat lu!”
Biarpun tidak lama sebelum orang-orang yang pernah ia
temui mulai melampiaskan amarah kepadanya.
Tidak sama sekali menyembunyikan penghinaan tiada
ampun kepada bocah yang lagi susah payah berjalan.
Kedengkian, kebencian, keputusasaan.
Tidak pernah dihadapkan oleh emosi manusia segelap itu,
nafas Bell tercekat dalam tenggorokannya.
Nama Pemula Kecil, yang terkenal semenjak kemenangannya
dalam Permainan Perang, telah jatuh sejatuh-jatuhnya.
Ketenaran dan harapan tinggi telah hilang sepenuhnya oleh
satu aksi semata. Keduanya adalah sama-sama sebuah sisi ganda
dari satu koin. Satu sisi berarti kepercayaan, satunya
kekecewaan.
Bell telah mengkhianati mereka semua. Koinnya takkan
pernah terbalik.
Ketika mendapati kemarahan orang-orang yang terluka oleh
perbuatannya, tangan gemetar Bell merasa dingin selagi bertahan
dan terus mendesak maju.
Kemudian ….
Bell tiba-tiba terhenti saat tiba di jalan.
Trotoar batu terbelah-belah dan hancur di mana-mana.
Gunung-gunung puing menempati ruang letak rumah-rumah
dahulu berdiri. Semuanya hanyalah sisa-sisa dari pertempuran—
demikianlah konsekuensi keputusannya.
“Bell ….”
Hestia berdiri di sisi jalan. Welf dan Mikoto bersamanya.
Lilly serta Haruhime terlihat sakit secara fisik. Membuat hati Bell
terasa sakit.
“….”
Aiz berada agak jauh. Menatap Bell bersama Loki Familia
yang menghantui di belakangnya. Sementara beberapa sibuk
bekerja, ada juga yang mengamati Bell. Bocah itu menelan ludah.
“….!”
Lalu, beberapa karyawan Guild mulai kelihatan, bersama
penampakan medan pertempuran utama.
Di tengah seluruh tatapan berbisa tersebut, seorang wanita
melihatnya dan buru-buru menghampiri.
Rambut coklatnya berombak, mata hijau zamrud terlihat
dari balik kacamatanya, telinganya menjelaskan bahwa ia adalah
setengah elf.
“Nona … Eina ….”
Eina berhenti tepat di depan bocah yang kebingungan.
Tatapan menusuknya disertai kerutan dalam, ekspresi yang
belum pernah dilihat Bell sebelumnya.
Tidak ada yang berani mendekat.
Semua orang di sekitar mereka berdiri hening, kesunyian
berdengung-dengung di telinga Bell.
Eina perlahan membuka mulut.
“Kau membahayakan banyak orang demi alasan egois. Kau
bahkan menyerang petualang lain. Benarkah itu?”
—Itu tidak benar.
Bell hendak berkata begitu.
Dia cuma ingin Eina menganggapnya kesalahpahaman
belaka.
Sayangnya, dia tidak bisa menjawab apa-apa demi Wiene—
demi semua Xenos.
Kepala Bell menunduk dan menjawab.
“… ya.”
Sejenak kemudian—Plak!
Dampak jelas itu memberikan sensasi sakit di pipinya.
Mata terbelalak kaget, dia mendongak. Eina berdiri sambil
mengulurkan tangan kanan dan mata berair—dia murka.
“Aku tidak percaya padamu ….!”
Selanjutnya air mata mengalir dari pupil zamrudnya.
“Aku takkan sanggup … mempercayaimu ….!”
Menangis, Eina memeluk Bell.
Dia tahu petualang itu bohong, dia pun berang sebab
menyembunyikan kebenarannya, sedih terhadap keengganan tuk
mengungkapkannya kepada Eina.
Bell terdiam seribu bahasa seketika Eina membungkamnya
di antara sedu.
—Pinjamkan bahumu kepada seorang wanita yang menangis, dekap
dia.
Ajaran kakeknya terlintas dalam benak, kedua tangan Bell
melingkupi punggung Eina … dan jatuh lemah ke samping.
—Kakek, aku ….
Tidak tahu harus melakukan apa.
Salahnyalah Eina yang dia anggap kakak perempuannya,
menangis. Orang-orang sekeliling fokus betul terhadap
pemandangan menyedihkan itu.
Hestia dan familianya diam-diam mengamati.
Kedua tangan Eina melingkari bahu, Bell mendongak.
Matanya memantulkan warna merah gelap.
Αθλιος
∫
Langit malam kebiruan memandang tumpukan puing-puing di
pinggiran kota.
Seekor monster menyelundupkan dirinya dalam bayang-
bayang, hembusan nafasnya lirih sekali.
Black minotaur, kehilangan lengan.
Darah masih mengalir dari luka terbukanya, mencelupkan
bulu hitamnya menjadi merah tua. Tes, tes. Labrys tampak
menonjol dari tanah berlumuran darah di samping minotaur yang
sedang mengalami pendarahan itu. Vitalitas luar biasa monster
adalah satu-satunya hal yang menyelamatkannya.
“….”
Ketenangannya terlampau sempurna, sensasi pertempuran
serasa bagai mimpi nan jauh tergapai. Monster itu berangsur-
angsur memindahkan pandangannya ke lubang reruntuhan di
langit-langit.
Langit dunia atas. Dia melihat kerlap-kerlip cahaya bintang
tak terhitung jumlahnya yang tidak ditemukan di Dungeon.
Seperempat bulan meyingsing mulai tampak dari balik
aliran awan tipis.
Sirnalah cahaya keemasan, tergantikan cahaya dingin.
Monster itu memandangi bulan sabit putih seakan-akan
mencari sesuatu yang belum ditemukannya.