Anda di halaman 1dari 8

Persembunyian Rahasia

Perdebatan semakin panas. Orang-orang saling mencaci, tak ada yang mau
mendengar. Semua berbicara dan aku hanya menonton.

Hari-hari panas tanpa hujan membuat hati setiap orang mendidih. Hingga tiba
pada titik didihnya, semua tak lagi memedulikan etika, hati nurani dan Tuhan. Semua
mendewakan dirinya. Di bawah matahari, mereka merasa bahwa merekalah yang
berkuasa atas bumi. Tua yang seharusnya bijak atau pun muda yang harus
berkreatifitas, pria yang semestinya berlogika dan wanita yang berhati nurani, kanak-
kanak yang seharusnya polos dan asyik bermain tanah atau pun yang telah beraroma
tanah, semuanya tak lagi memandang harkat dan martabat dirinya.

Dunia telah kehilangan nilai keluhurannya oleh karena ulah orang-orang itu.
Di mana-mana mata saling melotot mencari kesalahan pembencinya, sedang
pembenci sibuk menjelek-jelekkan yang lainnya. Dan aku masih hanya menyaksikan.
Aku ingin bersuara memberi pencerahan, meluruskan yang bengkok dan
membersihkan kotoran kebencian ini. Namun apalah dayaku? Sebelum suara mampu
kuucapkan, mulutku telah dibekap dan saat kuingin mengacungkan tangan meminta
waktu, mereka mencacatkan telunjukku.

Aku menaruh pengharapan kepada si Kepala yang mengayomi kami, namun


ia jauh lebih sakit dari semua yang lain. Ia sibuk mengamankan tempat kediamannya
oleh ancaman pencurian Tangan yang mencoba menjadi kepala. Saat si Tangan asyik
mencari cela, si Mulut giat menebarkan fitnah. Kepala masih tak peduli. Entah
tangan, mulut, kaki, maupun jari-jari bahkan kuku-kuku yang telah dipotong itu
mencoba menariknya dari kursi kebesarannya ia tak peduli. Meski luka dan nanah,
borok dan bau menaungi negeri ia mesti mengamankan bantal tempat kepalanya
beristirahat. Dan aku yang merasa diri paling waras mencoba meluruskan jalan itu
meski aku tahu jalan tak perlu diluruskan hanya kaki-kaki yang melangkah yang
perlu dibenarkan.
“Untuk apa menyibukkan diri atas dunia yang tak mau mendengarkanmu?”
suara ayah memecah kebisuanku. “Jangan lagi menunjukkan jarimu jika ingin
tubuhmu utuh dan jangan berani bersuara bila tak mau lidahmu dipotong.”

“Apakah di dunia ini, hanya aku yang masih tak gila oleh karena ulah sang
Iblis? Bukankah Ayah dan Ibu pun masih waras? Mengapa mendiamkan dunia yang
lalim ini?”

“Karena kita hanyalah penoton yang suaranya akan senantiasa diabaikan,”


sahut ibu dari balik pintu dapur.

Tidak! Meski dunia telah jatuh dalam tipu muslihat si jahat, aku akan tetap
mempertahankan nilai luhur yang pernah merajai semesta ini. Dan jika suara tak akan
didengar maka akan kubuat mata dunia melihat dan telinganya mendengarkanku.

Dan demi martabat luhur dunia yang mulai hilang, aku menjadi pengecut. Aku
menarik diri dari pandangan dunia dan bersembunyi di balik topeng dunia yang
bernama maya.

***

Hai engkau yang bernama Kepala, mengapa mengabaikan kaki yang berjalan
dan melupakan jari yang terluka? Bukankah engkau harus menunduk memijat betis
yang lelah dan mengobati jari yang mulai membusuk? Atau adakah ingatmu pada
kuku-kuku yang telah kau buang?

Persembunyian Rahasia

Dan komentar bermunculan di bawah tulisan yang berakun Persembunyiann


Rahasia itu. Semua berasumsi. Orang pandai mencari jejaknya, orang cerdas
membaui langkahnya dan orang besar mengutuk.
Orang-orang mulai menyoroti dia yang bernama Kepala, ada pendukung dan
pembenci. Hasut menghasut menyerbu pendukung si Kepala, fintah mefitnah si
Tangan, sedang caci mencaci Si Mulut dan kuku-kuku bersuara melontarkan kata
pengecut kepada yang bernama Persembunyian Rahasia. Dan aku bersama arus yang
paling deras meneriaki yang tak bernama itu. Memamerkan senyum paling indah dan
mengucapkan kata dukungan kepada si Kepala.

“Terima kasih, Arif. Suatu kehormatan melihat kamu masih berdiri bersamaku
di sini,” kata si Kepala menyalamiku. Aku membalasnya dan mengangguk cepat
dengan senyuman hangat. “Tenang saja, kerusuhan ini akan segera ditangani. Tangan
harus dipatahkan dan mulut itu harus dirobek sedangkan si Persembunyian Rahasia
akan kucincang dan kuberi makan anjing-anjingku. Dan mereka kumpulan kuku-kuku
yang terlupakan, manusia tak berguna itu baik dari bayi hingga tua bangka akan
kubuat menjadi sup makanan penutup makan malamku.”

Si Kepala itu memamerkan senyum liciknya dan menyalamiku sekali lagi.


Aku tak bersuara. Ah, betapa pengecutnya aku.

“Sungguh suatu anugerah tanganmu berjabat dengannya,” seru Jelo dengan


tatapan iri kepadaku.

Tak membalas, aku menuju ruang kosong di belakang keramaian. Dan layar
biru di pangkuanku siap menyambut jemariku.

Kepala benar-benar licik. Mengapa wahai kalian yang menyebut diri insan,
masih menuding dan menyalahkan? Tidakkah kalian tahu bahwa dia yang kalian
muliakan hanya mentertawakan bebodohan dan kedangkalan pikiranmu? Jangan
terkecoh oleh manisnya gula yang ditawarkan dan segarnya buah yang dihadiahkan
bagimu. Saatnya kita berbicara.

Tak perlu waktu lama, kini kuku-kuku yang berinsan itu meneriaki kutukan
kepada sosok tak berwajah itu. Mereka tidak rela jujungan yang dihormati, yang
memberi banyak kesenangan, mengizinkan kebebasan berkata dan bertingkah dikatai
licik. Mereka semakin giat untuk menemukan dia. Sedang aku di pojok keramaian
menyunggingkan senyum kemenangan.

“Sebentar lagi.”

Aku mengingatkan diriku bahwa sebentar lagi arus dunia akan berbalik.
Kehidupan anak negeri tidak akan sama lagi. Semua akan bebas bukan dengan kata
kotor dan tingkah tak tahu malu sebagaimana yang terjadi sudah-sudah, tetapi karena
damai akan memenuhi seluruh negeri.

“Jangan terlalu diam dalam mimpimu, Arif. Dari manakah datangnya ilham
itu hingga engkau menanti damai? Harapanmu akan damai itu bagi dunia kita yang
sekarang, bagaikan meletakkan telur di ujung tanduk, mustahil!”

Lagi dan lagi ayah meruntuhkan harapanku. Benarkah demikian? Mustahilkah


jika memimpikan damai? Bukankah damai itu tinggal di hati lalu mengapa hati
manusia tak lagi menghasilkan damai?

Aku melirik lagi keramaian itu. Di mana-mana semua memegang spanduk


hologram bertuliskan, Temukan Si Persembunyian Rahasia. Gantung, cincang dan
bakar dia. Ada lagi yang lain, Enyahlah kau Persembunyian Rahasia. Rugi sejengkal
tanah untuk mencetak jejakmu. Dan di atas gedung-gedung tinggi, layar-layar raksasa
menuliskan demikian, Persembunyian Rahasia, pengecut utusan Iblis pembawa
perpecahan dunia. Percaya kata-katanya adalah perbuatan dosa besar.

Semua mengutuknya. Dan aku bersama Jelo di tengah keramaian memegang


spanduk kecil yang bertuliskan kalimat singkat, Kami membenci pengecut itu.

Berhari-hari hingga minggu pun telah berganti bulan. Persembunyian Rahasia


masih belum ditemukan. Ia masih mencekcoki insan-insan dengan tulisannya. Si
Kepala mengaduh sakit kepala. Tangan dan mulut berdiam diri. Segala teknologi
diperbaharui, tenaga ahli diperbanyak, orang-orang cerdik cendekia sibuk berpikir
dan aku masih berdiri dengan spanduk di tengah keramaian yang kian sepi.

Orang-orang telah lelah mengutuk, pikiran mereka menyerah pada tubuh yang
kian lemah. Dan ketika pikiran dan tubuh mulai jatuh dalam ketakmampuan, nurani
sedikit demi sedikit berbisik.

Kuku-kuku yang terlupakan, mengapa masih berdiri untuk Kepala yang tak
mengingat rupamu? Yang tua yang bijak, bersuaralah! Yang muda generasi baru,
bangkitlah! Pria, wanita, anak-anak, jangan lagi terkurung dalam lingkaran Iblis
yang menulikan nuranimu. Saatnya dunia mendengarkan kita. Tiba waktunya kita
menghalau pergi bayangan kelaliman dan mengundang damai. Tidakkah hatimu
masih ber-Tuhan?

Dan lihatlah roh kebenaran bekerja, mengetuk pelan-pelan hati yang sekian
lama tertutup. Ketika matahari baru mulai bersinar, mereka terjaga laksana manusia
baru yang telah tertidur sekian lama dalam mimpi yang tak berujung. Desah lega
terdengar di mana-mana menyambut pagi. Senyum tulus saling menyapa dan suara-
suara indah lagi damai laksana siulan burung pagi hari memenuhi negeri. Semua baru
dan damai.

Di mana-mana terdengar teriakan mengelu-elukan si Persembunyian Rahasia.


Yang tua memuja, anak-anak mengidolakan dia. Dia bagai juruselamat di tengah
badai kekejaman dunia. Semua orang menyerukan damai.

Namun yang baru dan damai itu meresahkan Kepala. Ia berbalik mencari
bayangan yang sekian lama menudunginya dalam dosa yang sempurna tetapi
bayangan menyunggingkan senyum licik, tertawa lalu terbang ke angkasa.

“Selamat tinggal, Kepala. Saatnya aku mencari mangsa yang lain.”


Si Kepala tak bergeming tetapi lemas seluruh tubuhnya ketika pintu ruang
tenangnya digedor massa, meneriaki namanya menuntut pertanggungjawaban.
Keringat mengalir di seluruh tubuhnya. Ia lari ke jendela kamar, didapatinya
manusia-manusia baru menghadangnya dengan seringai keji. Ia bergidik lalu berbalik
namun didapatinya pintu telah terbuka, massa telah mengepung dirinya. Dan belalak
matanya tak pernah berkedip lagi, tubuhnya rebah di lantai dan tak satu pun yang
peduli.

Mereka, insan-insan itu mentertawakan dia, melangkahi tubuhnya yang tak


lagi ber-roh, dan menurunkan poster besar di belakang meja.

“Baiklah, mari kita mengangkat si Persembunyian Rahasia menjadi kepala


baru,” seru seorang pemuda ceking.

“Tetapi kita tak pernah melihat dia. Baiklah kita mengangkat Si Tangan, ia
adalah pekerja yang giat,” teriak yang lain.

“Jangan! Mengapa bukan si Mulut? Ia pandai berbicara.”

Dan terjadi lagi. Saat dunia sedang merayakan hari merdeka oleh karena
kematian si Kepala, Tangan dan Mulut sibuk mencari massa pendukung. Dunia
kembali penuh hiruk pikuk oleh karena ambisi, ketamakan dan kerakusan. Seruan
damai kemarin yang ramai memenuhi negeri karena kehadiran manusia tak berwajah
itu hanyalah euforia. Sebentar saja ada lalu menghilang bagai buih di tengah lautan.
Tak berbekas. Bayangan yang pergi kemarin itu datang lagi memainkan gunting batu
kertas bersama dua calon mangsanya yang sedang berkoar.

Damai yang dinanti ternyata hanya mimpi belaka seperti kata ayahku.
Mustahil. Aku menyerah. Dunia masih penuh oleh kuasa si jahat yang
mempermainkan hatiku dengan damai yang hanya sebentar. Dan aku sempat
termakan oleh tipu muslihatnya. Tetapi dasar hatiku yang lemah, aku masih ingin
mencoba. Si Persembunyian Rahasia muncul lagi dengan kata-katanya yang
menenangkan namun apa yang diterimanya?

Ia dicaci dan diancam. Kini kepala si Persembunyian Rahasia dikenai harga


ratusan juta rupiah bagi siapa pun yang mampu memenggalnya dan semua orang
berlomba-lomba menemukan dia. Sedangkan aku, kini bersama yang lainnya ikut
memburu pengecut itu. Semakin tak bersuara dan tak pernah lagi mengacungkan
tangan. Bahkan jemariku pun ikut menyembunyikan diri di balik senyum getir
ketakutan. Aku telah lelah dan kalah oleh bayangan yang licik dan kini turut ambil
bagian dalam dunia yang lalim. Kebaikan yang pernah ada tetap bersembunyi di balik
nama Persembunyian Rahasia. Namun aku percaya bahwa akan tiba saatnya kebaikan
dan damai akan tinggal selamanya di bumi. Tunggu sedikit lebih lama lagi dan
semuanya akan terlaksana.
Tentang Penulis.

Nama Elisabeth Bengan. Lahir di Lembata, 4 Agustus 1991. Pernah menerbitkan


sebuah antologi cerpen bersama teman-teman komunitas menulis yang berjudul
Happiness in the Difference. Cerpennya yang berjudul Sepasang Sandal Ayah
menjadi cerpen terpilih dalam event bertema Usang yang diadakan penerbit Harasi.

Norek BRI : 4682-01-011303-53-4 a.n Kristina Sabu

Alamat email: Soromakingelisabeth@gmail.com

Tlpn/wa: 081237485340

Anda mungkin juga menyukai