Perdebatan semakin panas. Orang-orang saling mencaci, tak ada yang mau
mendengar. Semua berbicara dan aku hanya menonton.
Hari-hari panas tanpa hujan membuat hati setiap orang mendidih. Hingga tiba
pada titik didihnya, semua tak lagi memedulikan etika, hati nurani dan Tuhan. Semua
mendewakan dirinya. Di bawah matahari, mereka merasa bahwa merekalah yang
berkuasa atas bumi. Tua yang seharusnya bijak atau pun muda yang harus
berkreatifitas, pria yang semestinya berlogika dan wanita yang berhati nurani, kanak-
kanak yang seharusnya polos dan asyik bermain tanah atau pun yang telah beraroma
tanah, semuanya tak lagi memandang harkat dan martabat dirinya.
Dunia telah kehilangan nilai keluhurannya oleh karena ulah orang-orang itu.
Di mana-mana mata saling melotot mencari kesalahan pembencinya, sedang
pembenci sibuk menjelek-jelekkan yang lainnya. Dan aku masih hanya menyaksikan.
Aku ingin bersuara memberi pencerahan, meluruskan yang bengkok dan
membersihkan kotoran kebencian ini. Namun apalah dayaku? Sebelum suara mampu
kuucapkan, mulutku telah dibekap dan saat kuingin mengacungkan tangan meminta
waktu, mereka mencacatkan telunjukku.
“Apakah di dunia ini, hanya aku yang masih tak gila oleh karena ulah sang
Iblis? Bukankah Ayah dan Ibu pun masih waras? Mengapa mendiamkan dunia yang
lalim ini?”
Tidak! Meski dunia telah jatuh dalam tipu muslihat si jahat, aku akan tetap
mempertahankan nilai luhur yang pernah merajai semesta ini. Dan jika suara tak akan
didengar maka akan kubuat mata dunia melihat dan telinganya mendengarkanku.
Dan demi martabat luhur dunia yang mulai hilang, aku menjadi pengecut. Aku
menarik diri dari pandangan dunia dan bersembunyi di balik topeng dunia yang
bernama maya.
***
Hai engkau yang bernama Kepala, mengapa mengabaikan kaki yang berjalan
dan melupakan jari yang terluka? Bukankah engkau harus menunduk memijat betis
yang lelah dan mengobati jari yang mulai membusuk? Atau adakah ingatmu pada
kuku-kuku yang telah kau buang?
Persembunyian Rahasia
“Terima kasih, Arif. Suatu kehormatan melihat kamu masih berdiri bersamaku
di sini,” kata si Kepala menyalamiku. Aku membalasnya dan mengangguk cepat
dengan senyuman hangat. “Tenang saja, kerusuhan ini akan segera ditangani. Tangan
harus dipatahkan dan mulut itu harus dirobek sedangkan si Persembunyian Rahasia
akan kucincang dan kuberi makan anjing-anjingku. Dan mereka kumpulan kuku-kuku
yang terlupakan, manusia tak berguna itu baik dari bayi hingga tua bangka akan
kubuat menjadi sup makanan penutup makan malamku.”
Tak membalas, aku menuju ruang kosong di belakang keramaian. Dan layar
biru di pangkuanku siap menyambut jemariku.
Kepala benar-benar licik. Mengapa wahai kalian yang menyebut diri insan,
masih menuding dan menyalahkan? Tidakkah kalian tahu bahwa dia yang kalian
muliakan hanya mentertawakan bebodohan dan kedangkalan pikiranmu? Jangan
terkecoh oleh manisnya gula yang ditawarkan dan segarnya buah yang dihadiahkan
bagimu. Saatnya kita berbicara.
Tak perlu waktu lama, kini kuku-kuku yang berinsan itu meneriaki kutukan
kepada sosok tak berwajah itu. Mereka tidak rela jujungan yang dihormati, yang
memberi banyak kesenangan, mengizinkan kebebasan berkata dan bertingkah dikatai
licik. Mereka semakin giat untuk menemukan dia. Sedang aku di pojok keramaian
menyunggingkan senyum kemenangan.
“Sebentar lagi.”
Aku mengingatkan diriku bahwa sebentar lagi arus dunia akan berbalik.
Kehidupan anak negeri tidak akan sama lagi. Semua akan bebas bukan dengan kata
kotor dan tingkah tak tahu malu sebagaimana yang terjadi sudah-sudah, tetapi karena
damai akan memenuhi seluruh negeri.
“Jangan terlalu diam dalam mimpimu, Arif. Dari manakah datangnya ilham
itu hingga engkau menanti damai? Harapanmu akan damai itu bagi dunia kita yang
sekarang, bagaikan meletakkan telur di ujung tanduk, mustahil!”
Orang-orang telah lelah mengutuk, pikiran mereka menyerah pada tubuh yang
kian lemah. Dan ketika pikiran dan tubuh mulai jatuh dalam ketakmampuan, nurani
sedikit demi sedikit berbisik.
Kuku-kuku yang terlupakan, mengapa masih berdiri untuk Kepala yang tak
mengingat rupamu? Yang tua yang bijak, bersuaralah! Yang muda generasi baru,
bangkitlah! Pria, wanita, anak-anak, jangan lagi terkurung dalam lingkaran Iblis
yang menulikan nuranimu. Saatnya dunia mendengarkan kita. Tiba waktunya kita
menghalau pergi bayangan kelaliman dan mengundang damai. Tidakkah hatimu
masih ber-Tuhan?
Dan lihatlah roh kebenaran bekerja, mengetuk pelan-pelan hati yang sekian
lama tertutup. Ketika matahari baru mulai bersinar, mereka terjaga laksana manusia
baru yang telah tertidur sekian lama dalam mimpi yang tak berujung. Desah lega
terdengar di mana-mana menyambut pagi. Senyum tulus saling menyapa dan suara-
suara indah lagi damai laksana siulan burung pagi hari memenuhi negeri. Semua baru
dan damai.
Namun yang baru dan damai itu meresahkan Kepala. Ia berbalik mencari
bayangan yang sekian lama menudunginya dalam dosa yang sempurna tetapi
bayangan menyunggingkan senyum licik, tertawa lalu terbang ke angkasa.
“Tetapi kita tak pernah melihat dia. Baiklah kita mengangkat Si Tangan, ia
adalah pekerja yang giat,” teriak yang lain.
Dan terjadi lagi. Saat dunia sedang merayakan hari merdeka oleh karena
kematian si Kepala, Tangan dan Mulut sibuk mencari massa pendukung. Dunia
kembali penuh hiruk pikuk oleh karena ambisi, ketamakan dan kerakusan. Seruan
damai kemarin yang ramai memenuhi negeri karena kehadiran manusia tak berwajah
itu hanyalah euforia. Sebentar saja ada lalu menghilang bagai buih di tengah lautan.
Tak berbekas. Bayangan yang pergi kemarin itu datang lagi memainkan gunting batu
kertas bersama dua calon mangsanya yang sedang berkoar.
Damai yang dinanti ternyata hanya mimpi belaka seperti kata ayahku.
Mustahil. Aku menyerah. Dunia masih penuh oleh kuasa si jahat yang
mempermainkan hatiku dengan damai yang hanya sebentar. Dan aku sempat
termakan oleh tipu muslihatnya. Tetapi dasar hatiku yang lemah, aku masih ingin
mencoba. Si Persembunyian Rahasia muncul lagi dengan kata-katanya yang
menenangkan namun apa yang diterimanya?
Tlpn/wa: 081237485340