I
S
U
S
U
N
Oleh
Bunga kaktus
Teramat paham
Pada gelar
Yang dipentas
Di trotoar
Kabut
Direbah halilintar
Lalu turun air hujan
Sederas biji buah ketumbar
Dan kota membangun perahu
Dari lembar kain jemuran
Daun pintu
Juga batang-batang tumbang
Sedang kaktus
Masih menyimpan durinya
Dalam-dalam
SAAT BERBAGI
Karya : Fritz Hendrik Nino
HATIKU,,HATINYA,,HATIMU
Karya : Deden Maqsudi
SOME DREAM’S
Karya : Ahmad Ridwan Rajih
RUSA
Karya : Fritz Hendrik Nino
Layaknya rusa
Yang berlari dan terus berlari
Pada sebuah padang yang kering
Lalu ada sederet pohon tumbang dihadapan
Yang ingin menahan lajunya
Sementara ia tahu
Ada segompyok rerumputan di balik
Si penghalang
Terlihat
Seorang anak kecil
Tengah memotong kertas-kertas berwarna
Menjadi potongan-potongan
Yang sangat kecil
Terlihat
Si anak kecil
Baru saja selesai
Menempeli gambar polos seekor burung
Dengan potongan kertas-kertas kecil
Berwarna-warni
Untuk Kau….
Putera Ibu yang berambut keriting
Ibu bertanya…,
Apa yang sebabkan kau merasa beda?
Bukankah bila kau terluka
Darah yang keluar berwarna merah,
Sama dengan warna darah putera Ibu yang berambut lurus
Untuk Kau….
Puteri Ibu yang berkulit putih
Ibu bertanya…,
Apa alasan kau merasa lebih?
Bukankah bila lapar
Kau memakan sari pati tanah Indonesia
Sama dengan yang di makan puteri Ibu yang berkulit hitam
SERPIHAN PESAN
Karya : Kristia Pratiwi
Gelap….
Tertutupnya malam …..
Bercahayakan bulan di titik sana……
Terlihat bocah kecil……
Melangkah hampa tiada arah…..
Oh, bangsaku!
Mengapa engkau terlalu angkuh untuk mengatakan maaf
Dan terlalu lugu untuk mengatakan kebenaran
Oh, bangsaku!
Mengapa engkau terlalu mudah untuk menumpahkan darah
Tetapi sulit untuk membersihkan amarah
Oh, bangsaku!
Mengapa engkau terlalu sudi untuk membisikan damai
Namun hina untuk menghentikan perang
Oh, bangsaku!
Mengapa engkau terlalu suci untuk memanggil Allah
Sementara haram untuk melakukan kebajikan
Oh, bangsaku!
Sadarlah!
Bahwa hanya kebencian yang ada padamu
Lihatlah!
Bahwa hanya pedang yang ada padamu
Dengarlah!
Bahwa hanya hujatan yang ada padamu
Ciumlah!
Bahwa hanya kebusukan yang ada padamu
Kecaplah!
Bahwa hanya kepahitan yang ada padamu
Rasakanlah!
Bahwa hanya kesakitan yang ada padamu
Oh, bangsaku!
Cepatlah bertobat
Sebelum dimakan oleh laknat
Oh, bangsaku!
Carilah kasih
Sebelum disembunyikan oleh benci
Oh, bangsaku!
Segeralah berobat
Sebelum dipatahkan oleh cacat
Oh, bangsaku!
Hadaplah Tuhan
Sebelum dimangsa oleh setan
Oh, bangsaku!
Dengarlah suaraku
Sebelum ditelan oleh maut
Di bukit tursina
Kau bisikan kepada musa
Di sunyi hira
Sabda dan kasih setia
Menyusut ke wangi perih gema
Mustafa
Membacanya di antara wajah bengis latta dan uzza
Di Indonesia
Tuhan hanyalah milik agama
Sedang Negara bukankah kata lain dari ideologi
Ideologi renta dari suatu nama perusahaan
Perusahaan
Bukankah kumpulan orang-orang malas
Dan putus asa
Tiap hari mereka menyusun rumus
Dan produk mimpi untuk kepentingan diri
Indonesia
Kemudian menjelma tangan keji
Melalui berita-berita aneh
Dari raut pucat televisi
Tiap saat melalu mencuri ketenangan rumah tangga
Indonesia
Mungkinkah kau pergi bersama Tuhannya
Adakah kepak malaikat
Dalam setiap celah kata dan airmata
Hingga luka dan doa bisa menjumpaimu
Di sungai-sungai keruh
Dan tembok-tembok angkuh
PEJABAT MATAHARI
Karya : Ahmad Al Matin EM
“A T”
Alias Aku Tau
Karya : Yosi Adelina Rahman
Aku miskin tak makan, e…e…., mereka selalu disuguhi yang lezat
Bukan diriku saja, banyak sekali yang dalam kondisi darurat
Untuk mengatasinya, harta Negara mesti dipulangin para tukang sikat
Dermawan yang berezeki halal, pebanyaklah infak, sedekah dan zakat
Biar pahala berlipat, bermanfaat dan diridhoi Allah setiap saat
Amin……Amin…..Amin…..
Bagi semua yang berpangkat, tinggi derajat dan bermartabat
Tunaikan sungguh-sungguh, apa-apa yang telah menjadi amanat
Bukan main-main, takkala bersumpah dinobat
Diberi kepercayaan, berhak bergelar pejabat
Sebagai abdi masyarakat, agar hidup lebih maslahat
Namanya manusia memang tak sempurna, tapi suka langgar kodrat
Maka, ulah oknum yang tak mengindahkannya kualat
Sering mereka diperbudak jadi alat, karena imbalan kuat
Untuk orang kecil, kucurannya tersendat-sendat
Bagi penggede, muncrat…….
Mubazir dan percuma mereka di kasih mandat
Masuk di kepala, keluar dipantat
Bila hukum dijalankan sesuai dengan fungsi dan peranannya secara tepat
Yang tersorot, berjiwa besarlah hai sahabat
Itu resiko dalam link birokrasi, jadi birokrat itu berat
Agar semuanya selesai, sekali lagi kalian tunjukkan bukti akurat
Segalanya untuk rakyat, bahu membahu dengan aparat
Optimislah, aparatur Negara yang bersih impian rakyat
Saudaraku…..
Dulu kita rapat bergandengan
Dalam multiragam latarbelakang
Sampai membentuk kokoh lingkaran
Siapapun tak sanggup menyusup memecahkan
Saudaraku…..
Dari bulatan itu gugus energi dikerucutkan
Akan sebutir hakiki imagi asa
Rajut lestarinya sejahtera
Bersama sucinya sebuah nama
Saudaraku……
Saat mimpi menjadi nyata
Aku, kau, dan semua tertawa
Hingga hanyut dalam terlena
Lalu bagai ditampar tak percaya
Saudaraku…….
Kita hampir jadi kepingan
Menjinjing nanah menyandang darah
Terkapar di tebing putus asa
Tapi simpanlah tetes airmata
Saudaraku………
Adalah santun teguran mengitari raga
Untuk bercermin tengok ke belakang
Bahwa ego keserakahan membabi buta
Tlah menelan titisan bahagia
Saudaraku……….
Memang kita terlanjur terkoyak
Akankah rata menyatu tanah?
Tidak, kita bisa sembuh berbenah
Harapan didada masih tersisa
Saudaraku…..
Mari berdiri tanggalkan nestapa
Satukan arah padukan cita
Sambut matahari bersama cahaya
Pagi esok, yakin semoga berbeda
JEMBATAN BURUNG-BURUNG
Karya : Ihung (Dian Nendi)
MAWAR
Karya : Ihung (Dian Nendi)
Seikat mawar
Dijual penyamun
Di jalanan
Seikat mawar
Yang dijual penyamun di jalanan
Tak lebih dari sepasir janji
Yang butirnya
membuat matamu buta
Dan kau
Tak bisa lagi meraba
di mana
Keadilan itu bertahta
Tuan, dengarlah
Aku tak akan menjual sebentuk kenangan
Karena pertiwi adalah jiwaku
Mengakar di hati
Seumpama rundukan padi
yang kini terendam air mata
Duhai tuan,
Betapa licik dan picik jalan pikiranmu
Membungkus semua dalam keping-keping mata uang
Bunyi gemerincing yang pilukan hati
Ayo tuan,
Ikutlah denganku
Kita bergegas meninggalkan batas
Ketaksadaran
NEGERI INI
Karya : Chairil Anwar ZM
Di negeri ini
Manusia jujur tidak punya tempat yang mujur
Kecuali hanya akan hancur dimakan jamur
Di negeri ini
Keserakahan mewabah
Kekuasaan merajalela
Kemunafikan membudaya
Sementara kebenaran takluk oleh rasa takut dan ambisi
Nurani lumpuh oleh nafsu memburu
Iman dan keadilan tunduk oleh kekuasaan
Di negeri ini
Mengimpor beras menjadi hal wajib dan biasa
Padahal para petaninya sendiri semakin teraniaya
oleh harga pupuk yang terus meraja
Sementara yang gencar digalakkan adalah ekspor babu dan asap dan debu
Tujuh belas tahun sudah kuhabiskan waktuku di ruang gerah sekolah dan kuliah
Namun tak memberiku otak brilian dan keterampilan yang sepadan
TIKUS-TIKUS KKN
Karya : Yashinta Nuniek Arsianty (Sintha)
Dan binatang tikus itu kalau dikejar paling cepat lari dan bersembunyi
Tikus bersembunyi dimana saja yang penting aman dan tak bisa ditangkap manusia
Tentu saja tikus tidak mungkin mempertanggungjawabkan perbuatannya
Dikejar kemanapun dan sampai kapanpun, kita tak pernah tahu dimana tikus bersembunyi
Jika seorang pejabat negara, atau pengusaha diberi wewenang oleh atasannya
Memperoleh kehidupan terhormat, mewah tidakkah cukup berbahagia
Mereka diberi amanat untuk menjalankan tugas dan jujur dan sebaik-baiknya
Namun ternyata didiri mereka apa yang sudah diberikan tak ada kepuasan baginya
Jika sudah demikian, tidakkah mereka sama saja dengan binatang tikus
Tikus adalah makhluk Allah tak punya fikiran, tapi mereka punya akal sehat dan fikiran
Jika tikus serakah dan tak punya malu, apakah mereka mau menjadi seperti tikus
Sedangkan mereka orang terhormat yang punya gelar dalam pendidikan
Namun,
Politik datang mengotak atik
Berlomba-lomba mencari simpatik
Agar Negara menjadi hak milik
Rakyat jelata mulai terpedaya
Terperangkaplah dalam puing cerita
KIDUNG PERSEMBAHAN
Karya : Keanan Moh. Ansorie
SELAIN LUKA
Karya : Keanan Moh. Ansorie
Aku gemetar
Menerima buah buah kearifan
Dalam suara
Luka yang dalam
Interupsi!
Bertahun-tahun kusaksikan, kau sangat tangkas menangkap pencopet, pencuri ayam, dan
pelacur kelas teri. Tapi sangat lamban memburu pengemplang Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia, pengemplang pajak, gembong-gembong perjudian, dan Bandar-bandar narkoba.
Bertahun-tahun kusaksikan, kau sangat tegas menuntut penjambret jemuran, perampok rumah
mewah, dan pencuri sepeda motor. Tapi begitu lemah dan malu-malu saat menuntut koruptor
dana Badan Usaha Logistik, pembobol bank, skandal pembelian tank – helikopter, dan kasus
penembakan mahasiswa Trisakti.
Selama ini pula kautorehkan budaya remisi bebas bagi narapidana kaya. Tapi hanya memberi
sehari dua hari potongan hukuman dari bertahun-tahun di balik jeruji untuk narapidana
miskin.
Interupsi!
Mengapa kau pandang bulu?
Mengapa di tanganmu pengadilan menjadi teater yang mementaskan lakon sarat ironi?
Mengapa kau manjakan para koruptor dibalik tirai besi dan rumah sakit?
Mengapa kau campakkan tuan Lopa, tuan Wirahadikusuma, tuan Syafiuddin, Bung Munir,
dan aktivis mahasiswa dari titik kritis.
Mengapa kau memvonisku sebagai anak durhaka?
Mengapa kau tega menipu orang bodoh yang sedang berusaha percaya kepadamu dan
memimpikan keadilan seperti aku?
Mengapa kau dustai kuasa ilahi dan hati kecilmu?
Apa kau sakit ingatan?
Interupsi!
Kau benar-benar membuatku ragu dan cemas
Jangan-jangan, dari waktu ke waktu kau hanya menjadi budak nafsu dan alat pembersih
kejahatan yang bisa dibeli, alat rekayasa para pejabat untuk mencari untung, anjing penguasa,
pecundang sejati, atau pengecut?
Interupsi!
Berapa harga yang harus kubayar agar setiap keputusanmu bisa menumpas tuntas segala
tindak kriminal yang kini semakin melampaui batas?
Kapan kau akan bangkit dan membangun nyali?
Dan akankah kau secerah hangat mentari pagi?
BISIKAN AKAL BUDI UNTUK SAHABAT INTI
Karya : Abraham S
Marilah bernyanyi dan menari bersama-sama dalam segala suka dan duka
Dan sisakan ruang untuk menghayati dan menghargai
Nilai-nilai pribadi yang luhur
Cintaku kepada tanah air tidak menuntut memiliki ataupun ingin dimiliki
Karena makna cintaku kepada tanah air dan bangsaku
Adalah perasaan bahagiaku.
Dia senang,
Meskipun rembulan tak lagi mempertontonkan keindahan tubuhnya
Mungkin dia malu pada laut
Atau terlelap dibalik gugusan bintang
KERETA RAKYAT
Karya : Ria Amelia
AKU, KAU
Karya : Jaelani
Aku,
Kamu,
Kalian,
Kita semua,
Adalah manusia-manusia pekerja
Yang harus turun ke jalan
Dan butuh alat juang
Untuk memerangi pemilik modal
Dalam persembunyiannya,
Di balik represi Negara kelas
AKU MELIHAT SEBUAH BANGUNAN
Karya : Bayu Gautama
tapi,
mengapa cuma sesaat
smua sapaan cintamu itu?
Kemanakah cinta
Di hari-hari yang kita jelang?
Tolong……
Kami lelah menyambung hidup
Di bawah terik mentari
Tolong…..
Kami rindu bermain dan sekolah
Sama seperti teman-teman
Ko, hidupkanlah
Tulang-tulang kami yang tlah kering
Ci, dekatkanlah
Surga yang semakin jauh itu
Berdayakan kami
Topang kami
Dorong kami
Ci’……..
Ko,……
Taburlah cinta
Niscaya cinta ‘kan kau tuai
HAKIKAT PERBEDAAN
Karya : Maskur Adi Tarbiyanto
Demikianlah,
Alam telah mengaturnya
Demikianlah,
Alam telah mewujudkannya
Karenanya
Biarkan pelangi tetap menjadi pelangi
Menghiasi bumi
Dengan warna warninya
Karena demikianlah
Alam telah mengaturnya
ILMU
Karya : Doni WS
SATU
Karya : Ismail Marjuki
Dulu……
‘Kalau saja…….mungkin sekarang……’
‘Seandainya……barangkali saat ini…..’
‘Seharusnya ……jadi kita sudah……’
Rajutan evolusi telah coba resuki otak-otak kecil yang kian terpolusi
Menyeruak di antara kerlipan genit bintang dan rembulan
Di langit kelam jauh membumbung
Lentera yang temaram di ujung lorong
Tak kuasa mengarak jiwa tersesat itu kembali
Karena asanya terlalu senja tuk dirangkai
Harapan dan mimpinya telah dijarah zaman
Malang…….
Kini semua hening….
Subuh tetap sepi
Gerimis jadi deras
Tanah kembali berlumpur, kardus tidurnya jadi basah
Cobalah tuk mengerti, bahwa tak ada sinar tuk terangi malam ini
?
Karya : Anas
KKN
Karya : Nasrullah EmHa
Katamu,
Guru itu harus digugu dan ditiru
Tapi, kalau berdebu
Apa masih disebut guru?
Lantas…….!
KEK, KENAPA INDONESIA
Karya : Amsho
Kek,
Di tanah yang engkau
bilang Merdeka
di daerah yang engkau
anggap jaya
Kek,
Mungkin ini langka
Bagi tetangga sebelah kita!
CHANNEL BELANTARA
Karya : Nada Indana
Awan menjelma jamur di langit senja, obor-obor sudah mulai menyala. Sebentar lagi film
layar tancap akan diputar. Sepasang terune dan dedare melayarkan perahu dari kulit
semangka. Tawanya sangat riang seperti kebahagiaan seorang putra mahkota mempersunting
permaisuri yang datang dari istana yang jauh. Seribu laba-laba membuat sarang di pohon
akasia. Akankah pesta malam ini dimeriahkan oleh pelecing kangkung, sepiring beberok atau
sebungkus kaliadem?
Dingin membatu di kulitku “di mana wayang kulit, di mana gendang belek?” malam semakin
tebal di hatiku. Kucoba menyimpan dongeng nenek moyang pada batu-batu, pada bening air
laut, dan pada reranting yang patah dengan sendiri.
Putri mandalike! Terasa tangismu masih terdengar antara batu-batu karang dan debur ombak
yang hampir hilang. Seorang nelayan tua di pantaimu berkisah pada puteranya tentang
wajahmu yang belum pudar dalam mimpinya, tapi ia bukanlah aku bukan pula Datu
Pejanggik yang selalu ditunggu.
Matahari pucat pasi di laut selatan, dan pesta yang dinanti telah datang. Lentera-lentera kecil
menyala, asapnya membumbung menembus batas cakrawala. Segerombolan kunang-kunang
mendinding malam. Pergantian siang dan malam terlalu kental dalam luka, tamu-tamu asing
mendirikan tenda dipantaimu sebagian lagi sedang bercinta dalam selimut sutera merah
tembaga. Barisan pedagang jagung bakar tersenyum menawarkan harga, mereka tidak paham
kemerdekaan. Mereka tidak mengerti cita-cita.
Pesta Bau Nyale : Pesta menangkap nyale (sejenis cacing laut berwarna hijau keemasan)
yang diyakini oleh warga lombok sebagai jelman puteri Mandalika yang menceburkan
dirinya ke laut saat diperebutkan oleh beberapa pemuda
Terune dan dedare : pemuda dan pemudi
Plecing kangkung, beberok, kaliadem : makanan khas Lombok
Gendang Belek : alat tabuh
Datu Pejanggik : Nama raja yang pernah berkuasa di daerah Lombok Tengah
KUNYANYIKAN INDONESIA
Karya : Lukman Asya
Di sini aku dan rakyat kecil lainnya hanya bisa tersenyum palsu
Seperti burung-burung mengeroki punggung langit biru
yang tampak malah awan-awan kelabu
Dan langit akan selamanya membisu
Karena korupsi, BBM dan beras impor telah membuatnya dungu
Dari pulau berkepala burung di timur kudengar suara keciprak ikan-ikan berenang dalam
genangan airmatanya sendiri. Sebelum akhirnya tenggelam
Karena luka-luka di perut terlalu lebar menganga
I-N-D-O-N-E-S-I-A
Indonesia…..Indonesia……
Tersenyumlah ibu tersayang
Negeriku Indonesia……Indonesia
Keringkanlah air mata duka
Esok untuk kita*)
*) adalah penggalan lagu “Indonesia Jangan Bersedih”, yang dinyanyikan Amanda Rachel
ANGLE
Karya : Ananda Tyas Munawaroh
Lihatlah aku secara keseluruhan! Bukan dari atas atau bawah, bukan juga dari depan atau
belakang. Sudah berkali-kali kukatakan, tapi mengapa kau lebih senang melihatku dari sisi
kiri? Ya, mungkin kau lebih senang memandangi andeng-andeng yang melekat di pipi kiriku.
Dan setelah kau puas memandangiku dari sebelah kiri, kau akan menghujaniku dengan jutaan
caci maki lalu kau berlalu begitu saja. Aku terpaku sambil bertanya dalam hati, mengapa kau
lebih suka melihatku dari sebelah kiri?
Mustahil bersatu
Darahku tionghoa
Kamu pribumi
Dia berdarah India
Kini kami memahami, telah
Berbangsa Indonesia
Bertanah air Indonesia
Berbahasa Indonesia
PATTIMURA
Karya : Ghufron Ahmad
NEGERI
Karya : Ghufron Ahmad
AKU TERSUNGKUR
Karya : Galuh Candra A
Ku tersungkur disini
Tuk kesekian kalinya
Apalagi yang bisa kubanggakan lagi
Korupsi
Bencana besar era baru
Versi negeri ini
Pemimpin tertawa
Rakyat terlunta
Matipun tak mengapa
Maukah bangkit
Adakah asa di sana
Di mata generasi peduli
Generasi putih
Tersungkur ku disini
Menghiba tulus
Menetes air mata
Mengharap doa terkabul
Meminta pada Rabb manusia negeri ini
BANGKIT?
Karya : Ridha Widiawati
Bangkit?
Kau minta aku untuk bangkit?
Itu mudah!
Kalau saja kau singkirkan
Kaki dan pantat busukmu
Dari wajah melaratku ini!
Jelek-jelek begini, aku bukan keset!
Atau samudera spetinktank
Aku tak sudi jadi TPA
Sementara istana-istanamu berderet di atas awan…..
Bangkit?
Sampai kiamat pun aku akan terus sekarat terlindas
Atau berjamah terkubur hidup-hidup oleh longsoran tanah-tanah tandus
Yang kau perkosa dan gunduli dari hulu ke hilir
Atau mati kelaparan karena sawah-sawah terendam banjir-kiriman, hutan-hutan
yang kau gadaikan pada komplotan imperialis-materialistis itu!
Bangkit?
Ya, kapan terakhir kau ingat hari Berbangkit?
Sudah Saatnya...
Karya: Melody Muchransyah
kenapa tak berani kita ungkapkan secara blakblakan kebusukan demi kebusukan yang telah
sama-sama kita endus?
kenapa perlu takut mengatakan secara terus terang dusta demi dusta yang telah kita koyak
satu persatu?
kenapa diam seribu bahasa tatkala borok demi borok terbuka jelas-jelas di depan mata kita?
Menjadi Pejuang
Karya :Taufiq Ht.
Tuhan,
Ijinkan aku berlutut di depan-Mu
dan berdoa
Karena aku yakin
Engkau Maha Mendengar doa-doa
semua makhluk-Mu
meski ia penuh dosa seperti aku
(Bulan di angkasa
Cahayanya kuning emas
Berpendar menerpa jeruji penjara
yang kaku dan dingin)
Tuhan,
Inilah malam terakhirku.
Besok saat matahari sepenggalan naik,
satu regu tembak
tlah siap mengakhiri hidupku.
Aku akan segera menghadap-Mu,
meninggalkan semua milikku, hartaku dan keluargaku.
Dan yang paling berkesan
kutorehkan jejak abadi :
mati sebagai koruptor
Tuhan,
Kuakhiri doa terakhirku ini
Ijinkanlah aku memasuki sorga-Mu
Sambil kubawa najis dan dosaku.
Berapa keping yang harus kubayar
untuk mendapat satu kapling
di sorga-Mu?
Amin.
SATU
Karya : yopi kurniawan
ANTARA
karya : Issoykhun Supratmi
Ibu pertiwi
Aku rindu wajahmu dulu
Aku kangen senyum ramah itu
Bikin aku tetap cinta kamu
Ibu pertiwi
Kini saatnya kita bersatu lagi
Dari perbedaan-perbedaan dulu
Yang membuat namamu besar
Dimata negeri
I
Dirigen berbaris hampir sehari, tiada putus
Wajah-wajah berharap cemas menunggu giliran
Bau keringat dan minyak tak terelak
“Maaf, minyak tanah habis!”
Cemas makin mengganas
Harap tak kuasa didapat
“Duh Gusti…., dengan apa kumasak berasku?”
“Sedangkan kayu t’lah berubah jadi batu.”
II
Ajaib!, beras berubah emas
Sebab mahal pun langka.
“Maaf, beras habis!”
Beras habis di negeri agraris.
“Apa yang esok kujadikan isi periuk?”
III
Membuat api sesusah membuat nasi
Radio Mataram
Karya : Moh. Husein Arifin
Di kejauhan rayuan angin jelek sekali. Sontak nafas Ridwan gemuruh jatuh. Seorang preman
menembakkan senapan kejantanan ke atap langit sampai lusuh. Kejar-kejaran Ridwan dengan
preman begundal, keduanya mengepalkan belati.
Amboi! jari-jari preman aduhai lembut merobek daftar isi jantung dan paru-paru Ridwan.
Tamatlah Ridwan di halaman tak beraturan, huruf-huruf ususnya berserakan. Tak berdaya.
Teman-temannya berlarian ke paragraf-paragraf lain, mencari perlindungan. Meledak kardus
kampus. Terbakar sepatu, baju dan buku-buku. Gang kecil berdarah, gang kecil disulap jadi
lautan merah.
--Radio berdeham, lagu kamboja bergelantungan di dada Ridwan senandungnya lirih. Perih
seakan sedih--
Kubuat gang-gang di persimpangan sebuah sajadah panjang rimba doa kupanjatkan, di luar
kamar beriak-riak gerimis hujan. Ombak kata menderak di leherku. Selain Ridwan, berita lain
mengatakan orasi hak asasi di bumi matahari masih menari-nari dan semuanya menjelma
peri-peri berloncatan mengelilingi sekat-sekat radio kemudian berpulang ke haribaan usia.
Sebab kabel radio terputus kehilangan voltage waktu berirama.
Kulempar radio lewat jendela, antenanya kutancapkan di halaman rumah lalu aku berlari ke
gundukan tanah dekat sekolah, cahaya rembulan menyeretku ke tengah. Kulihat Ridwan
khusyu’ membasuh mukanya dengan air sembahyang. Melantunkan sebait revolusi sepotong
puisi dalam i’tikaf sunyi; diamnya Tan Malaka, berdirinya HAMKA, duduknya Soeharto,
senyumnya Prabowo, tuturnya Bung Karno, salamnya menajamkan puing-puing kata yang
tak terbilang di daftar menu ensiklopedi sejarah kuno.
Malam segera pasang, malam akan selimuti soreku yang lemah dari suara-suara renggang
kepodang lantaran mataku hilang ketika bunga demonstrasi mekar di tengah ilalang. Dan
pada kasidah rerumputan kudengar gelombang radio asyik mengisi berita di acara malam
tatap muka anak bangsa; preman ataukah mahasiswa manusia termulia?
Faradisha
Karya : Esha Tegar Putra
I
sebelum hujan menata air menjadi kayu menjadi daun
aku telah dulu membaca abjad-abjad di udara
dua nama telah berpaut dalam tunggal tanah
ku tata, ku sulam sumbing perca badan
yang terjilantang luka-luka basah
“faradisha, patahkanlah sekata cinta
setidaknya untuk perkabungan yang dikumandangkan murai”
II
mata-mata kenang meraba
setiap lipatan tahun digenggam
seiring kering butir pasir yang memecah rindu air
o, petualang telah menadah
sebab di perjalanan tak kunjung menemu biji-biji padi
sepanjang pencarian hanya kuduk yang mendenyut
“faradisha. yang menguap biar tak menjadi air
yang memecah biar tak terkatup”
III
kukalungkan zamrud di pergelangan kakimu
garis-garis cakrawala melentur, genting mengeringkan basah tanah
gemericik bandar melebihi rinai yang berkecipak beku
sedang bulan ke bulan terus diawali retak pada sendi
CATATAN FEBRUARI
Karya : Esha Tegar Putra
Agustus 1945
DIRI
karya : Pinto Anugrah
UNGKAPAN HATI
Karya : Widira Fajria
Indonesia X
Tuk: Teman se-nusantara
Karya : Nur Bakhrul Ilmi
Tsunami
Lumpur panas
Angin puting beliung
Gempa
Kan kita lewati bersama
Dan menunggu fajar diesok hari
Yang menyegarkan negeri ini
Karena kami burung. Kami selalu terbang bersama-sama mengikuti arah mata angin. Mulai
daerah kutub bagian paling utara, barat, timur, sampai selatan, kiranya semua sudah pernah
kami kunjungi. Kami sering bercumbu rayu melepas lelah—untuk sementara kami singgah
sembari istirah mengumpulkan galah. Mendirikan pilar-pilar penyangga. Membangun sebuah
bilik kecil dengan hiasan manik-manik jiwa. “Lihatlah saudara, kawasan ini kami namakan
sabang merauke” kata saudara kami dari barat. Terus saudara kami dari utara menjulukinya
dengan nama sejuta anak pulau. Saudara kami satunya lagi dari selatan memberi nama
bhinneka tunggal ika. Kemudian saudara kami yang baru datang dari timur mengasih jabatan
dengan titel Raden Mas “Indonesia” gemah ripah loh jinawi.
Karena kami burung. Kamipun selalu terbang bersama-sama menenteng beragam ideologi.
Asalkan satu misi dan satu visi, tidak ada bedanya bagi kami. Kami sering terbang bersama-
sama dari ranting satu ke ranting yang lain. Hinggap dari suku satu ke suku yang lain. Dari
budaya satu ke budaya yang lainnya pula. Dan jujur saja, dengan segala kerendahan hati yang
paling dalam kami akui, kadang di antara kami masih kesulitan bisa berkomunikasi dengan
gamblang. Lantaran adat istiadat kami berbeda. Agama, lidah, serta warna sayap kamipun
juga berbeda. Ada saudara kami yang datang dari pelosok desa hanya telanjang dada
mengenakan koteka. Ada juga saudara kami yang berada di kota metropolitan sudah
mengenakan model baju dan celana funky ala eropa. Kadang ada perasaan was-was pada diri
kami kalau terjadi salah paham. Hanya karena masalah sepele kurang seragam menafsirkan
rasa garam.
Karena kami burung. Sukurlah semua permasalahan bisa kami atasi dengan isarat bahasa
burung. Sampai pada ahirnya kami semua sepakat. Bahwa kami semua hanya butuh
pengayoman. Kami semua hanya butuh kedamaian. Kami semua hanya butuh kebebasan. Itu
yang paling penting. Kami semua juga sepakat kalau bahasa nasional yang sekarang kami
gunakan adalah bahasa burung. Budaya yang kami gunakan sekarang juga budaya burung.
Karena kami semua hamba burung. Kami ingin bebas menabuh genderang sekeras mungkin
di sepanjang bayang-bayang pagi, siang sore, dan malam. Kami juga ingin bebas menebarkan
taburan wangi kembang ke tempat di mana nantinya kami sekeluarga bisa tidur dan
bersemayam dengan tenang. Kami tidak ingin lagi mendengar suara bising dar-der-dor peluru
senapan, dentuman bunyi meriam, suara rintihan kesakitan saudara kami yang menderita
kelaparan, kecolongan sarang, kehilangan keluarga maupun sanak saudara hanya karena salah
sasaran aparat keamanan melesatkan peluru senapan dengan garang. Tanpa memperdulikan
arah kicauan teman atau lawan.
Karena kami burung. Hidup kamipun menggantung. Terbang kamipun membumbung. Suara
kamipun mendengung. Tapi jangan salah sangka kami tidak punya ideologi. Suara kami jujur
dari hati. Tulus tanpa dipaksa. Rela tanpa direkayasa. Karena kami bisa meraba ke mana
datang dan perginya warna suara, kami bisa mendengar arah mata angin, membaca gerak-
gerik awan—yang tiba-tiba saja timbul tenggelam—datang dan pergi tanpa pamitan. Selama
berpuluh-puluh tahun kami sudah sering terbang membumbung tinggi, hingga menjadikan
hidup kami yang penuh misteri dan teka-teki ini lebih terfahami—Bahwasanya tidak ada
sesuatu yang lahir dari ketiadaan. Mustahil yang ada lahir dari kehampaan. Dengan kata lain
mesti ada sesuatu di balik yang ada. Yakni Tuhan. Dan kesemuanya itu tidak bisa kami
pungkiri :Bahwa “Agama ageming ati.”
Karena kami burung. Bagi kami hidup ini sebuah transformasi permenungan dari ritus
perjalanan yang sangat panjang. Maka ijinkan kami terbang melanglang setinggi mungkin.
Bernyanyi, tertawa, menangis, berteriak, menjerit, berdo’a, dan bersembunyi sampai ke
semak belukar pusaran awan. Hingga ahirnya kami semua benar-benar menjelma jadi maha
malam. Diam. Tenggelam. Hingga memahami makna hitam. Di cakrawala keheningan paling
dalam.