Anda di halaman 1dari 17

Karawang – Bekasi

Karya: Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang – Bekasi


Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda.
Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang – Bekasi
Bahasa Bangsa
Karya: Mohammad Yamin

Was du ererbt von deinen Vatern,


Erwirb es um es zu besitzen.
Goethe

Selagi kecil berusia muda


Tidur si anak di pangkuan bunda,
Ibu bernyanyi, lagu dan dendang
Memuji si anak banyaknya sedang;

Bebuai sayang malam dan siang


Buaian tergantung di tanah moyang.
Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri
Diapit keluarga kanan dan kiri

Besar budiman di tanah Melayu


Berduka suka, sertakan sayu;
Perasaan serikat menjadi berpadu,
Dalam bahhasanya, permai merdu.

Meratap menangis bersuka raya


Dalam bahagia bala dan baya;
Bernapas kita pemanjangkan nyawa,
Dalam bahasa sambungan jiwa,
Di mana Sumatera, di situ bangsa,
Di mana Perca, di sana bahasa.

Andalasku sayang, jana-bejana,


Sejakkan kecil muda teruna,
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa, tiadakan pernah,
Ingat pemuda, Sumatera malang
Tiada bahasa, bangsa pun hilang
Tahanan
Karya: W.S. Rendra

Atas ranjang batu


Tubuhnya panjang
Bukit barisan tanpa bulan
Kabur dan liat
Dengan mata sepikan terali.

Di lorong-lorong
Jantung matanya
Para pemuda bertangan merah
Serdadu-serdadu Belanda rebah.

Di mulutnya menetes
Lewat mimpi
Darah di cawan tembikar.
Dijelmakan satu senyum
Bara di perut gunung.
(Para pemuda bertangan merah
Adik lelaki neruskan dendam).

Dinihari bernyanyi
Di luar dirinya.
Anak lonceng
Menggeliat enam kali
Di perut ibunya.
Mendadak
Dipejamkan matanya.

Sipir memutar kunci selnya


Dan berkata:
- He, pemberontak
Hari yang berikut bukan milikmu!
Diseret di muka peleton algojo
Ia meludah
Tapi tak dikatakannya:
- Semalam kucicip sudah
Betapa lezatnya madu darah.

Dan tak pernah didengarnya


Enam pucuk senapan
Meletus bersama
Pemuda
Karya: Gus Mustofa Bisri

Wahai para pemuda Indonesia,


Banggalah dengan Indonesia kalian!
Jangan rendah diri!
Jangan menganggap semua yang dari luar lebih baik.

Negeri kalian paling indah dan subur.


Kebanyakan warganya orang-orang paling ramah.
Pemahaman keagamaan kebanyakan umatnya, paling otentik.

Paling kaya sumber alamnya.


Paling kaya ragam budayanya.
Paling... dan paling...
Termasuk Jamaah hajinya paling tertib di dunia.

Jangan terkecoh dengan segelintir orang


Atau kelompok yang rendah diri dan rendah budi
Yang tega melecehkan dan merusak negerinya sendiri.

Jangan terkecoh oleh mereka yang tersilaukan 'keindahan palsu' dari luar.
Mereka yang meremehkan dan berlagak asing di negeri sendiri.

Lawan!
Lawanlah mereka dengan kasih sayang,
Dengan akhlak Nabi-nabi!
Allah memberkahi kalian...
Wahai pemuda mana telurmu?
Karya: Sutardji Colzoum Bahri

Apa gunanya merdeka


Kalau tak bertelur
Apa gunanya bebas
Kalau tak menetas?

Wahai bangsaku
Wahai pemuda
Mana telurmu?

Burung jika tak bertelur


Tak menetas
Sia-sia saja terbang bebas

Kepompong menetaskan
kupu-kupu,
Kuntum membawa bunga
Putik jadi buah
Buah menyimpan biji
Menyimpan mimpi
Menyimpan pohon
dan bunga-bunga

Uap terbang menetas awan


Mimpi jadi, sungai pun jadi,
Menetas jadi,
Hakekat lautan

Setelah kupikir-pikir
Manusia ternyata burung berpikir

Setelah kurenung-renung
Manusia adalah
burung merenung

Setelah bertafakur
Tahulah aku
Manusia harus bertelur

Burung membuahkan telur


Telur menjadi burung
Ayah menciptakan anak
Anak melahirkan ayah

Wahai para pemuda


Wahai garuda
Menetaslah
Lahirkan lagi
Bapak bagi bangsa ini!

Menetaslah
Seperti dulu
Para pemuda
Bertelur emas

Menetas kau
Dalam sumpah mereka
Sumpah Pemuda Masa Kini

Karya: Monica Anggi

"Ayo umar, ucapkan!


Jangan ragu, bacakan!
Teman-temannya heran.
Umar nampak gemetaran

Halaman kampus tiada besar.


Peringatan sumpah pemuda digelar.
Hanya belasan aktivis yang datang.
Umar selama ini paling lantang.

Namun itu deklarasi sumpah pemuda.


Umar gagal membacanya.
Yaitu soal "Berbangsa satu, bangsa Indonesia."

"Mulutku tak mau kuperintah," ujar Umar


"Lidahku tak mau mengucapkannya," ujar Umar
"Pikiranku tak mau membacanya," ujar Umar
"Apalah daya?" tanya Umar

"Seolah mulutku protes


Seolah lidahku protes
Seolah pikiranku protes
Mereka bersatu melawanku dengan protes"

"Seluruh tubuhku menggerutu:


Apa benar kita bangsa yang satu?
Yang nampak justru bangsa terpecah belah
Walau tetap bernama Indonesia."

"Konfik anak bangsa.


Sudah menelan 10 ribu nyawa.
Itu terjadi sejak reformasi sembilan delapan
Justru di era datangnya kebebasan.

"Kristen-Muslim konflik di Maluku


Itu tahun 99-2002
Dayak-Madura konflik di Sampit.
Itu tahun 2001
Etnis Cina dizalimi di Jakarta.
Itu tahun 98
Ahmadiyah diusir di Mataram.
Itu sejak tahun 2003
Etnis Bali ditindas di Lampung Selatan.
Itu tahun 2010"

"Mereka semua anak bangsa


Mereka tulen indonesia
Namun mereka saling menerkam
Ingin saling meniadakan"

itulah dahak di kerongkonganku


Mengapa sumpah pemuda itu
Gagal kubaca selalu

Soal mimpi bangsa Indonesia yang satu


Hanya tertulis di buku
Panca inderaku memberontak-membara
Tak mau ikut bersandiwara

"Tapi Umar," ujar Mona


Kita harus mulai dengan mimpi Indah
Itu untuk gelora
Mengubah realita."

Ujar Umar: "mimpiku telah dikalahkan realita


"Lihatlah di Mataram pengungsi Ahmadiyah
Lihatlah di Sampang pengungsi Syiah
"Lihatlah 250 perda dari Aceh hingga Papua
Lihatlah kesewenangan kepala daerah
Mereka mendiskriminasi warga negara

Mona diam merenung


Dilihatnya wajah Umar yang murung
Dulu Umar begitu berkobar
Kini ia layu seperti telur dadar

Mona tak ingin seperti Umar


Hatinya harus terus berkoar
Mimpi tak boleh henti
Sejarah baginya seindah pelangi
Dulu begitu banyak diskriminasi
Tumbuh di semua negeri
Kini bertukar sudah dengan prinsip hak asasi

Spirit Sumpah Pemuda ditumbuhkannya di hati


Ia sangat meyakini
Dengan perjuangan anak negeri
Akan datang sebuah negeri
Indonesia Tanpa Diskriminasi
Sajak Orang Lapar
Karya: Ws Rendra

Kelaparan adalah burung gagak


Yang licik dan hitam
Jutaan burung-burung gagak
Bagai awan yang hitam

O Allah !
Burung gagak menakutkan
Dan kelaparan adalah burung gagak
Selalu menakutkan
Kelaparan adalah pemberontakan
Adalah penggerak gaib
Dari pisau-pisau pembunuhan
Yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin

Kelaparan adalah batu-batu karang


Di bawah wajah laut yang tidur
Adalah mata air penipuan
Adalah pengkhianatan kehormatan

Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu


Melihat bagaimana tangannya sendiri
Meletakkan kehormatannya di tanah
Karena kelaparan
Kelaparan adalah iblis
Kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran

O Allah !
Kelaparan adalah tangan-tangan hitam
Yang memasukkan segenggam tawas
Ke dalam perut para miskin
O Allah !
Kami berlutut
Mata kami adalah mata Mu
Ini juga mulut Mu
Ini juga hati Mu
Dan ini juga perut Mu
Perut Mu lapar, ya Allah
Perut Mu menggenggam tawas
Dan pecahan-pecahan gelas kaca

O Allah !
Betapa indahnya sepiring nasi panas
Semangkuk sop dan segelas kopi hitam

O Allah !
Kelaparan adalah burung gagak
Jutaan burung gagak
Bagai awan yang hitam
Menghalang pandangku
Ke sorga Mu
Sajak Seonggok Jagung
Karya: W.S. Rendra

Seonggok jagung di kamar


Dan seorang pemuda
Yang kurang sekolahan.

Memandang jagung itu,


Sang pemuda melihat ladang;
Ia melihat petani;
Ia melihat panen;
Dan suatu hari subuh,
Para wanita dengan gendongan
Pergi ke pasar ………..
Dan ia juga melihat
Suatu pagi hari
Di dekat sumur
Gadis-gadis bercanda
Sambil menumbuk jagung
Menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
Tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
Tercium kuwe jagung

Seonggok jagung di kamar


Dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung
Ia melihat kemungkinan
Otak dan tangan
Siap bekerja

Tetapi ini :

Seonggok jagung di kamar


Dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.

Ia memandang jagung itu


Dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
Tidak menyangkut pada akal,
Tidak akan menolongnya.

Seonggok jagung di kamar


Tak akan menolong seorang pemuda
Yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
Dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
Dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
Yang hanya terlatih sebagai pemakai,
Tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.

Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
Di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya mendorong seseorang
Menjadi layang-layang di ibukota
Kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
Belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
Atau apa saja,
Bila pada akhirnya,
Ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”

Anda mungkin juga menyukai